Sahabat Senandika

Yayasan Spiritia

No. 55, Juni 2007

Sahabat Senandika
Newsletter Bulanan tentang Dukungan untuk Odha

Laporan Kegiatan
Pelatihan Pendidik
Pengobatan
Pontianak, 3-7 Juni 2007
Oleh: Caroline Thomas
Pelatihan Pendidik Pengobatan ini
dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa walaupun
ARV sudah tersedia, ada banyak Odha yang sudah
mulai terapi yang masih belum mengerti secara jelas
mengenai semua aspek pengobatannya. Hal ini
mencakup dampak dari kepatuhan, efek samping,
kombinasi obat, dll. Ada laporan bahwa banyak
Odha memakai obat tanpa mengikuti pedoman
walaupun telah diberi tahu mengenai hal ini oleh

dokter. Sebagai tambahan, kita harus menyadari
bahwa jumlah dokter yang memiliki pengetahuan,
pengalaman dan ketrampilan untuk menangani
terapi ini sangat terbatas di semua daerah di
Indonesia, dan kebanyakan mempunyai waktu yang
sangat terbatas untuk membahas dengan pasiennya.
Hasil yang tidak dapat dielakkan dari semua
tantangan ini adalah ketidakpatuhan, perkembangan
resistansi, kegagalan terapi, dan risiko pada
kesehatan masyarakat pada umumnya. Salah satu
cara yang penting untuk mengurangi kemungkinan
masalah ini akan terjadi dan meningkatkan
keefektifan terapi untuk Odha adalah untuk
melibatkan sebaya, keluarga dan komunitas.
Pelatihan ini mendukung pemberian informasi
kepada Odha, Ohidha dan tenaga medis
profesional.
Pelatihan ini dilaksanakan pada tanggal 3-7 Juni
2007 di Hotel Kini Pontianak ini melibatkan 16
peserta dari Kab. Sintang, Kab. Mempawah, Kab.

Sambas. Kab. Singkawang, Kab. Bengkayang dan
Kota Pontianak sendiri.
Hari pertama dimulai dengan Pembukaan/
Perkenalan, dilanjutkan dengan Tata Tertib
kemudian sesi tentang latar belakang pelatihan
melalui sesi “Informasi sebagai terapi”. Kegiatan
hari pertama ditutup dengan mengadakan tes pra

pelatihan.
Hari kedua dimulai dengan sesi dasar HIV,
kemudian dilanjutkan dengan Hak Pasien &
Dokter/Perawat yang dibawakan oleh dr. Willy
Brodus, Sp.PD. Selanjutnya, sesi dilanjutkan dengan
Peranan KPA dibawakan oleh Novianty dari KPAP
Pontianak. Sesi pada sore hari adalah dasar ART
dan kemudian dilanjutkan dengan sesi efek
samping. Sesi padat hari ini ditutup dengan evaluasi
hari.
Hari ketiga dimulai dengan sesi Resistansi,
kemudian dilanjutkan dengan sesi Perawatan di

Rumah Sakit yang dibawakan oleh Nazarius Jidai,
Amd. Kep. Setelah makan siang, sesi dilanjutkan
dengan sesi Kepatuhan, dan dilanjutkan dengan
sesi Infeksi Oportunistik. Sesi hari ini ditutup
dengan sesi Seleksi Penerima ART. Seperti
biasanya, setiap hari ditutup dengan evaluasi hari.
Hari keempat dimulai dengan sesi khusus tentang
koinfeksi HIV dan TB kemudian dilanjutkan
dengan sesi tentang AIDS pada perempuan. Sesi
mengenai AIDS pada anak berlangsung estela
makan siang yang kemudian dilanjutkan dengan sesi
mengenai Gizi. Setelah rehat sore, sesi mengenai

Daftar Isi

Laporan Kegiatan

1

Pelatihan Pendidik Pengobatan


1

Pengetahuan adalah kekuatan

2

HIV dalam ASI terbunuh oleh
pemanasan secara kilat
Hampir separuh orang di wilayah
terpencil Indonesia tidak sadar
mengenai HIV/AIDS

Tips
Tips untuk Odha

2

4


5
5

Tanya Jawab

6

Tanya-Jawab

6

Positive Fund
Laporan Keuangan Positive Fund

6
6

Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar untuk menambah wawasan dan pengetahuan.
Sebelum melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi dengan dokter.


Kewaspadaan Universal dibawakan oleh Babe dan
IMS dibawakan oleh dr. Rifka. Sesi-sesi sepanjang
hari ini menarik dan banyak mengundang
pertanyaan dan diskusi hangat.
Hari kelima dimulai dengan sesi HIV dan
Hepatitis, yang dilanjutkan dengan sesi Perawatan
Paliatif yang dilanjutkan dengan Perawatan di
rumah.Selanjutnya, keseluruhan sesi ini ditutup
dengan sesi tentang Pemantauan dan Evaluasi
Program ART.
Keseluruhan sesi pelatihan ini ditutup dengan tes
pasca pelatihan dan evaluasi akhir keseluruhan
pelatihan.
Secara umum, pelatihan ini berguna bagi peserta
yang hadir namun secara khusus, pelatihan ini
merupakan pelatihan dimana kami melibatkan
teman-teman yang pernah mengikuti Pelatihan
Pendidik Pengobatan sebelumnya untuk dilibatkan
sebagai fasilitator. Memfasilitasi pelatihan ini
bukanlah hal yang mudah bagi fasilitator tetapi hal

ini merupakan proses yang sangat baik bagi mereka.
Terima kasih kami haturkan kepada panitia lokal
Yayasan Pontianak Plus yang telah mendukung
proses pelatihan ini dari awal hingga akhir, dan dari
proses formal maupun informal.

Pengetahuan
adalah kekuatan
HIV dalam ASI terbunuh
oleh pemanasan secara
kilat
Oleh: Sarah Yang, University of
California Berkeley
Sebuah cara sederhana dengan memanaskan
secara kilat (flash-heating) air susu ibu (ASI) yang
terinfeksi HIV berhasil membunuh virus yang
mengambang bebas di ASI, berdasarkan penelitian
baru yang dipimpin oleh para peneliti di kampus
Berkeley dan Davis di Universitas California, AS.
Yang penting, cara ini – memanaskan sebotol

beling ASI dalam panci berisi air yang dididihkan di
kompor – dapat dilakukan secara mudah di rumah
ibu-ibu di rangkaian miskin sumber daya.

2

Temuan ini, yang akan muncul dalam Journal of
the Acquired Immune Deficiency Syndromes edisi
1 Juli 2007, tetapi sekarang sudah tersedia dalam
versi internet, memberi harapan bahwa ibu dengan
HIV di negara berkembang segera dapat memberi
makan bayinya secara lebih aman.
“Kami melakukan penelitian ini untuk menolong
ibu HIV-positif dan bayinya yang tidak mempunyai
pilihan yang aman pengganti menyusui,” dikatakan
Kiersten Israel-Ballard, mahasiswa S3 di School of
Public Health Universitas California, Berkeley, AS,
dan pemimpin penulis penelitian. “HIV dapat
ditularkan pada bayi melalui menyusui. Tetapi
untuk bayi di negara berkembang dengan angka

kematian bayi sudah sangat tinggi akibat diare dan
penyakit lain, mereka tidak tahan kehilangan
antibodi, unsur anti infeksi lain dan gizi tinggi yang
dikandung dalam ASI. Penelitian ini menunjukkan
bahwa cara pemanasan yang mudah diterapkan
dapat membunuh HIV dalam ASI.”
Penelitian ini dimulai waktu perempuan HIVpositif di Zimbabwe menanyakan bagaimana
mereka dapat menjadikan ASI mereka aman untuk
bayinya. Israel-Ballard melakukan penelitian di sana
yang menunjukkan bahwa perempuan HIV-positif
ingin mencoba cara memanaskan secara kilat.
WHO menyarankan memanaskan ASI yang
terinfeksi HIV, tetapi hanya sedikit penelitian yang
dilakukan terhadap cara sederhana agar ibu-ibu di
negara berkembang dapat memakainya.
Penelitian oleh tim peneliti ini menunjukkan
bahwa memanaskan ASI secara kilat dapat
membunuh bakteri sementara tetap
mempertahankan sebagian besar gizi dan
kandungan antimikroba dalam ASI, termasuk juga

sebagian besar antibodi penting di dalamnya.
“Banyak orang di bidang ini yang ragu apakah
cara ini akan berhasil,” dikatakan Barbara Abrams,
profesor epidemiologi dan kesehatan ibu dan anak
di Berkeley, dan penulis penelitian senior. “Kami
ingin memastikan bahwa ada bukti ilmiah bahwa
ASI yang dipanaskan secara kilat benar-benar bebas
HIV, mengandung gizi dan bermanfaat secara
imunologi. Penelitian ini dilakukan sebagai
tanggapan terhadap kekhawatiran para ibu di
Zimbabwe, dan sebagai ta mbahan yang
menyediakan bukti bahwa penelitian di lapangan
sebaiknya dilakukan.”
Pusat yang mengumpulkan, menyimpan dan
membagikan ASI (bank ASI) sudah

Sahabat Senandika No. 55

mempasteurisasikan ASI, tetapi cara yang umum
dipakai membutuhkan termometer dan penunjuk

batasan waktu/timer yang mungkin sulit didapat di
rangkaian miskin sumber daya.
Pemanasan secara kilat adalah sejenis pasturisasi
yang membawa susu pada suhu yang lebih tinggi
dalam waktu yang lebih singkat, cara yang diketahui
menahan kandungan anti infeksi dan gizi dalam
ASI secara lebih baik dibandingkan cara yang
umum dipakai di bank ASI. Lebih lanjut,
perlengkapan rendah teknologi yang dipakai dalam
penelitian ini adalah mudah dan siap tersedia di
komunitas lokal di negara berkembang, dan cara
pemanasan ini dapat dilakukan secara mudah dalam
rutinitas ibu sehari-hari.
Di antara 700.000 anak yang terinfeksi HIV
setiap tahun, 40 persen diperkirakan tertular virus
dari penyusuan yang diperpanjang. WHO
menyarankan bahwa ibu yang HIV-positif
menghindari menyusui apabila pilihan aman lainnya
tersedia.
Tetapi di negara di mana ibu tidak mampu
membeli susu formula bayi, air yang tercemar, atau
keadaan sosial-budaya lain mempersulit
penggantian ASI, WHO menyarankan menyusui
secara eksklusif sampai enam bulan.
“Risiko dan manfaat memanaskan ASI yang
tercemar HIV adalah berbeda untuk ibu di negara
berkembang dibandingkan untuk ibu di AS,”
dikatakan Dr. Caroline Chantry, peneliti
pengobatan anak dan gizi bayi di Children’s
Hospital, UC Davis, AS dan penulis bersama
laporan ini. “Di sini kita mempunyai akses terhadap
air yang aman dan susu formula, sehingga menjadi
kurang masuk akal bagi ibu HIV-positif di negara
maju untuk mengambil risiko terkait dengan
menyusui bayinya.”
Penelitian menunjukkan bahwa apabila bayi
disusui secara eksklusif, ada tiga hingga empat
persen risiko penularan HIV. Tetapi, apabila bayi
diberi susu formula atau makanan lain sebagai
tambahan ASI, ada peningkatan yang bermakna
dalam risiko penularan HIV yaitu tiga hingga empat
kali lipat, kemungkinan karena alergen dan
pencermaran dalam makanan padat dan susu
formula yang dapat membahayakan dinding epitelia
pada saluran pencernaan bayi, yang mempermudah
virus untuk menembusnya.
Untuk alasan ini, pedoman WHO menyarankan
bahwa setelah enam bulan disusui secara ekslusif,

Juni 2007

ibu HIV-positif menyapih bayinya segera setelah
makanan lain tersedia. Walau demikian, sementara
menyapih mungkin mengurangi risiko penularan
HIV, penelitian menunjukkan bahwa menyapih
meningkatkan risiko kekurangan gizi, diare dan
penyakit lain yang dapat mengarah pada kematian
bayi.
“Penghentian penyusuan dini sudah diuji coba
dalam berbagai penelitian baru-baru ini, dan
hasilnya memberi kesan bahwa menghentikan
menyusui lebih dini meningkatkan risiko sakit pada
bayi, kegagalan pertumbuhan dan kematian, dan
sesungguhnya melampaui risiko penularan HIV
melalui menyusui,” dikatakan Abrams. “Hal ini
menjadi dilema yang mendesak bagi ibu di negara
berkembang. Cara pemanasan susu yang kami
temukan menjadi sangat penting pada waktu ibu
akan menghentikan menyusui. Kira-kira 300.000
bayi tertular HIV akibat penyusuan setiap tahun.
Walau hanya sebagian kecil ibu HIV-positif di
negara miskin sumber daya yang berhasil
mengeluarkan dan memanaskan ASI-nya secara
kilat, cara sederhana, murah dan dapat
dipertahankan ini dapat menyelamatkan ribuan bayi
terhadap penularan HIV sementara menyediakan
manfaat terbanyak dari ASI.”
Penelitian ini mencerminkan hasil dari penelitian
tahap pertama, diketuai oleh Abrams, yang meneliti
dampak dari memanaskan ASI secara kilat. Chantry
akan memimpin uji coba di lapangan selanjutnya,
yang melibatkan memindahkan cara ini keluar dari
lab ke dalam rumah perempuan di Afrika. Para
peneliti mencari dukungan dana untuk menilai
kemungkinan keberhasilan cara pemanasan secara
kilat untuk bayi di komunitas lokal di negara
berkembang.
“Uji coba klinis diperlukan secara mendesak
untuk mendukung bahwa ibu dapat mengeluarkan,
memanaskan dan menyimpan ASI-nya secara aman,
dan untuk mentes dampak cara ini terhadap
penularan HIV yang sesungguhnya,” dikatakan
Chantry. “Apa yang penting tentang penelitian ini
adalah bahwa perempuan berhak atas informasi
pilihan yang tersedia. Adalah mengherankan bagi
saya bahwa dalam masyarakat paternalistik kami,
orang sering langsung menolak kemungkinan
bahwa ibu bersedia mengeluarkan dan memanaskan
ASI-nya untuk mencegah bayinya tertular HIV.”
Dari 98 contoh ASI yang dikumpulkan dari 84
perempuan HIV-positif di Durban, Afrika Selatan,

3

hanya 30 yang mempunyai tingkat HIV yang
terdeteksi sebelum dipanaskan. Tidak semua ASI
yang didapat dari ibu yang HIV-positif
mengandung HIV secara alami. ASI yang sudah
dikeluarkan dengan tangan dimasukkan ke dalam
tabung beling yang dibeli di sana yang disediakan
oleh para peneliti.
Untuk setiap contoh ASI yang terinfeksi HIV,
para peneliti menyisihkan 50 milliliter dalam tabung
yang mula-mula dipakai untuk menampungnya dan
memakai sisanya sebagai kontrol yang tidak
dipanaskan. Gelas yang tidak ditutup ditempatkan
dalam panci ukuran sedang berisi 450 mililiter air.
Air dan susu dipanaskan bersama di atas kompor.
Begitu air mulai mendidih, langsung susu diangkat
dan dibiarkan menjadi dingin.
Para peneliti memeriksa suhu ASI setiap 15 detik
dan menentukan bahwa ASI yang dipanaskan
secara kilat mencapai suhu tertinggi 72,9 derajat
Celsius dan biasanya bertahan lebih panas dari 56
derajat Celsius selama lebih dari enam menit.
Analisis viral terhadap ASI yang dipanaskan
secara kilat dan ASI yang tidak dipanaskan
menemukan bahwa HIV sel-bebas sudah dimatikan
dalam semua contoh yang sudah dipanaskan.
Para peneliti yang memakai pengukur reverse
transcriptase (RT) untuk mentes enzim yang
diproduksi oleh HIV yang tahanhidup, karena tes
HIV yang biasa tidak membedakan antara virus
yang hidup dan mati. Tetapi tes RT tidak dapat
mendeteksi HIV dalam sel, tetap data awal
memberi kesan bahwa pemanasan secara kilat juga
mematikan HIV terkait sel.
“Kami berharap cara ini tidak hanya menyediakan
ASI yang bebas HIV yang aman dikonsumsi, tetapi
bahwa ASI ini juga mempertahankan antibodi dan
gizi yang membantu mempertahankan kesehatan
bayi,” dikatakan Israel-Ballard. “Ibu-ibu di Afrika
memberi tahu kami bahwa mereka akan melakukan
apa saja untuk menjaga agar bayinya tetap hidup,
dan usaha ini terutama tentang menyediakan pilihan
yang dapat dilakukan hanya demi tujuan tersebut.”
Artikel asli: HIV in breastmilk killed by flash-heating, new study finds

4

Hampir separuh orang di
wilayah terpencil Indonesia
tidak sadar mengenai HIV/
AIDS
Oleh: The Kaiser Daily HIV/AIDS
Report
Kurang lebih separuh penduduk di wilayah Papua
yang terpencil di Indonesia bagian timur belum
pernah dengar mengenai HIV/AIDS. Hal ini
menurut penelitian yang didanai oleh Bank Dunia,
pemerintah AS dan Family Health International,
seperti dilaporkan oleh Reuters. Menurut laporan,
48 persen orang Papua tidak tahu-menahu
mengenai HIV/AIDS, dan jumlah kasus AIDS per
100.000 penduduk di Papua adalah 20 kali lipat
angka rata-rata nasional. Tambahan, persentase
orang yang dilaporkan tidak sadar mengenai HIV/
AIDS meningkat menjadi 74 persen di antara
populasi yang tidak dididik dalam wilayah, menurut
AP/International Herald Tribune.
Penelitian tersebut – dengan judul ‘Situasi
Perilaku Berisiko dan Prevalensi HIV di Tanah
Papua 2006’ dan diluncurkan pada 20 Juni kemarin
– berdasarkan wawancara dan contoh darah yang
diambil pada September dan Oktober 2006 dari
6.300 peserta berusia 15-49 tahun. Penelitian ini
menemukan bahwa 2,4 persen orang Papua adalah
HIV- positif. Tambahannya, penelitian ini
menemukan bahwa prevalensi HIV meningkat
menjadi 3,2 persen dari populasi di daerah
pegunungan Papua, dibandingkan dengan 1,8
persen di daerah rendah. Penelitian juga
menemukan bahwa 5,1 persen orang yang tinggal di
daerah pegunungan mengetahui di mana kondom
tersedia, dibandingkan 34,8 persen orang yang
tinggal di daerah perkotaan.
Penelitian ini mengkaitkan prevalensi HIV di
Papua dengan kekurangan pengetahuan mengenai
penyakit tersebut dan akses yang kurang pada
kondom. “Pendidikan mengenai HIV harus
diperluas,” dikatakan laporan, dengan menambah
bahwa upaya pendidikan harus dibidik pada
populasi berisiko, misalnya orang dengan beberapa
pasangan seks dan pekerja seks komersial serta
kliennya. Penelitian juga mendesak peningkatan

Sahabat Senandika No. 55

dalam pendanaan untuk program pendidikan seks
dan distribusi kondom. Pimpinan layanan
kesehatan sudah mengatakan bahwa bila langkah
tidak diambil untuk mengurangi penyebaran virus
tersebut di Papua dan wilayah prevalensi tinggi lain,
Indonesia dapat mencapai satu juta orang HIVpositif pada 2010. Indonesia mempunyai antara
169.000 dan 216.000 kasus HIV, menurut perkiraan
dari November 2006. Kurang lebih 7.000 kasus
AIDS dilaporkan di negara tersebut.
Artikel asli: About Half of People in Remote Region of Indonesia
Unaware of HIV/AIDS, Study Finds

Tips
Tips untuk Odha
Memantau penyakit lewat urin
Urin atau air seni adalah cairan yng diekskresikan
oleh ginjal yang kemudian akan dikeluarkan dari
dalam tubuh melalui proses urinasi. Dari urin kita
bisa memantau penyakit melalui perubahan
warnanya. Meskipun tidak selalu bisa dijadikan
pedoman namun Ada baiknya Anda mengetahui hal
ini untuk berjaga-jaga.
Kuning jernih

Urin berwarna kuning jernih merupakan pertanda
bahwa tubuh Anda sehat. Urin ini tidak berbau.
Hanya saja, beberapa saat setelah meninggalkan
tubuh, bakteri akan mengontaminasi urin dan
mengubah zat dalam urin sehingga menghasilkan
bau yang khas.
Kuning tua atau pekat

Warna ini disebabkan karena tubuh mengalami
kekurangan cairan. Namun bila terjadi terus, segera
periksakan diri Anda ke dokter karena merupakan
tahap awal penyakit liver.
Kemerahan

Urin mengandung darah. Kondisi ini bisa
menandakan gangguan batu ginjal dan kandung
kemih. Namun bisa juga karena Anda
mengonsumsi obat pencahar secara berlebihan.
Kecoklatan

Pertanda terjadi kerusakan otot, akibat aktivitas
tubuh yang berlebihan.
Oranye

Mengindikasikan penyakit hepatitis atau malaria.
Pyridium, antibiotik yang biasa digunakan untuk
infeksi kandung kemih dan saluran kencing juga
dapat mengubah warna urin menjadi oranye. Selain
warna, bau urin juga bisa digunakan untuk
mendeteksi penyakit. Misalnya pada penderita
diabetes dan busung lapar, urin cenderung berbau
manis, sementara jika seseorang mengalami infeksi
bakteri E. coli, urinnya cenderung berbau
menyengat. Sumber: conectique.com

Juni 2007

5

Tanya Jawab

Positive Fund
Laporan Keuangan Positive Fund

Tanya-Jawab
Herpes Zoster
Oleh: Rick Sowadsky, The Body
T: Berapa lama herpes zoster biasanya dialami
sejak tertular HIV atau pada jumlah CD4 berapa?
J: Herpes zoster disebabkan oleh virus varisela
(virus penyebab cacar air) yang aktif kembali. Di
AS sendiri diperkirakan ada 300.000 kasus herpes
zoster terjadi setiap tahun. Herpes zoster
menyebabkan lesi kulit menyakitkan yang muncul
mengikuti jalur saraf, biasanya pada permukaan
kulit. Rasa sakit dapat terasa terus, bahkan setelah
gejala yang terlihat hilang (dalam beberapa kasus
selama satu tahun). Gejala dapat lebih berat pada
orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh lemah
(karena HIV atau sebab lain). Seseorang dapat
terserang herpes zoster tanpa menghiraukan
terinfeksi HIV atau tidak. Oleh karena itu,
seseorang dengan herpes zoster tidak dapat
dianggap terinfeksi HIV.
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan
kemungkinan terserang herpes zoster, mencakup:
* Lanjut usia (menjelang usia 80 tahun, hampir
15% orang paling sedikit akan terserang herpes
zoster satu kali).
* Terinfeksi virus varisela pada waktu dalam
kandungan.
* Terserang cacar air sebelum usia 18 bulan.
* Vaksinasi dengan vaksin varisela (sangat jarang,
dan gejala yang terjadi biasanya ringan).
* Penurunan kekebalan (karena AIDS atau sebab
lain).
Apabila herpes zoster dihubungkan dengan HIV,
biasanya muncul ketika jumlah CD4 turun di bawah
500. Hal ini biasanya terjadi beberapa tahun setelah
infeksi virus HIV. Jika seseorang telah didiagnosis
herpes zoster, sebaiknya bicarakan dengan dokter
untuk mengetahui faktor apa yang menyebabakan
aktifnya kembali virus varisela. Jika gejala herpes
zoster sangat luar biasa parah, orang sebaiknya
berbicara dengan dokter tentang perlunya tes HIV
dan penyakit yang menurunkan sistem kekebalan
lain. Tetapi ingat, seseorang dapat terserang herpes
zoster, sekali pun tidak terinfeksi HIV.

Yayasan Spiritia
Periode Juni 2007

Saldo aw al 1 Juni 2007

18,020,669

Penerimaan di bulan
Juni 2007

1,050,000+
____________

Total penerimaan

19,070,669

Pengeluaran selama bulan Juni :
Item

Jumlah

Pengobatan

1,200,000

Transportasi

0

Komunikasi

0

Peralatan / Pemeliharaan

0

Modal Usaha

0+
_____________

Total pengeluaran

1,200,000-

Saldo akhir Positive Fund
per 30 Juni 2007

17,870,669

Sahabat Senandika
Diterbitkan sekali sebulan oleh

Yayasan Spiritia
dengan dukungan
T H E FORD
AT I ON
DA
FOU N D

Kantor Redaksi:
Jl. Johar Baru Utara V No 17
Jakarta Pusat 10560
Telp: (021) 422 5163 dan (021) 422 5168
Fax: (021) 4287 1866
E-mail: yayasan_spiritia@yahoo.com
Editor:
Caroline Thomas
Copyright 2002 Yayasan Spiritia. Izin dikeluarkan bukan untuk
diperdagangkan, sehingga bila mengutip isinya Anda harus
mencantumkan sumber (termasuk alamat dan nomor telepon).
Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar
untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebelum
melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi
dengan dokter.

6

Sahabat Senandika No. 55