Sahabat Senandika

Yayasan Spiritia

No. 58, September 2007

Sahabat Senandika
Newsletter Bulanan tentang Dukungan untuk Odha

Laporan Kegiatan
Pelatihan Pendidik
Pengobatan Lanjutan
Jakarta, 20-23 Agustus
2007
Oleh: Caroline Thomas
Pelatihan Pendidik Pengobatan Lanjutan ini
merupakan Pelatihan yang dilatarbelakangi oleh
keinginan peserta Pelatihan Pendidik Pengobatan
sebelumnya untuk lebih up-to-date dengan
pengobatan untuk HIV dan juga peserta ingin
mendapatkan lebih banyak keterampilan untuk
memfasilitasi pelatihan serupa di daerah mereka.
Keinginan ini dituang melalui evaluasi tahunan

Yayasan Spiritia yang diadakan tahun yang lalu.
Peserta juga ingin agar Pelatihan ini lebih banyak
melibatkan dokter dan tenaga medis profesional
dalam sesinya.
Seperti biasanya, hari pertama diisi dengan
Pembukaan, Perkenalan, dan Tata tertib serta
Pengarahan untuk peserta.
Hari kedua dimulai dengan laporan dari peserta
tentang apa yang sudah mereka lakukan setelah
mengikuti pelatihan sebelumnya. Maisng-masing
peserta diberikan 10 menit untuk melaporkan.
Setelah makan siang, kegiatan dilakukan dengan
lokakarya pelatihan ketrampilan memfasilitasi
pelatihan. Pada kegiatan ini, peserta di bagi menjadi
3 kelompok kemudian diberikan tugas untuk
melakukan 4 langkah:
1. Menuliskan metode-metode yang mereka
kenal yang biasa digunakan dalam pelatihan
2. Membahas metode pelatihan berdasarkan
tujuan dan ukuran kelompok

3. Membahas tugas pelatih dalam setiap
metode pelatihan
4. Memilih 3 metode yang akan dipraktekkan
pada hari berikutnya
Hari kedua dimulai dengan update pengobatan
terbaru yang dibawakan oleh dr. Budiarto. Sesi
setelah rehat kemudian dilanjutkan dengan sesi

tentang HIV dan Hepatitis yang dibawakan oleh dr.
Maria Irawati. Setelah makan siang, sesi pelatihan
ketrampilan yang merupakan kelanjutan dari hari
pertama dilanjutkan dengan memberikan waktu 30
menit untuk masing-masing kelompok untuk
membawakan metode pelatihan. Kelompok 1
mempresentasikan teknik Studi Kasus, Kelompok
2 mempresentasikan teknik Diskusi Kelompok,
dan Kelompok 3 mempresentasikan teknik
Bermain Peran. Masing-masing kelompok diminta
bekerja sebagai tim untuk tampil mempraktekkan
ketrampilannya. Dari waktu 30 menit disisihkan

waktu 10 menit untuk membagikan dan mengisi
lembar evaluasi. Setelah rehat sore, sesi hari ini
dilajutkan dengan sesi HIV dan TB yang
dibawakan oleh dr. Wia Melia dari Klinik PPTI
Baladewa.
Hari kedua yang padat ini belum selesai karena
masih ada diskusi panel yang difasilitasi oleh dr.
Budiarto (IHPCP), dr. Alia (RSPI), dr. Dyah
(Subdit AIDS Departemen Kesehatan), dr. Alex
dan dr. Ana dari RSPAD. Sesi ini menarik dan
peserta mengajukan banyak pertanyaan dan
masukan terkait pelayanan untuk ARV dan harapan

Daftar Isi
Laporan Kegiatan
Pelatihan Pendidik Pengobatan Lanjutan
Pelatihan Pendidik Pengobatan

Pengetahuan adalah kekuatan
Morbiditas dan mortalitas tinggi pada

Odha perempuan setelah bedah sesar
Vaksinasi MMR ulang aman dan efektif
pada anak yang berhasil memakai ART
Viral load dibawah 50 harus menjadi
tujuan semua pasien

Pojok Info
Lembaran Informasi Baru

Tips
Tips untuk Odha

1
1
2

3
3
4
6


6
6

7
7

Tanya Jawab

8

Tanya-Jawab

8

Positive Fund

8

Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar untuk menambah wawasan dan pengetahuan.

Sebelum melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi dengan dokter.

dari para petugas medis profesional dengan adanya
pelatihan ini.
Hari ketiga dimulai dengan sesi yang menarik
tentang HIV dan perempuan yang dibawakan oleh
dr. Alia Puji Hartanti dan dr. Maria Irawati. Setelah
rehat, sesi kemudian dilanjutkan dengan sesi HIV
dan anak yang dibawakan oleh dr. Dyani. Setelah
makan siang, sesi dilanjutkan dengan sesi Infeksi
Oportunistik dibawakan oleh dr. Janto Lingga.
Keseluruhan pelatihan ini diisi dengan evaluasi
dan pembuatan rencana tindak lanjut oleh peserta.
Kami berterima kasih kepada semua pihak yang
bersedia untuk membawakan dan menghargai
usaha yang lebih dari komunitas untuk mendorong
adanya kepatuhan yang tinggi pada terapi ARV.

Pelatihan Pendidik
Pengobatan

Maumere, NTT. 19-24
September 2007
Oleh: Caroline Thomas
Pelatihan Pendidik Pengobatan ini
dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa walaupun
ARV sudah tersedia, ada banyak Odha yang sudah
mulai terapi yang masih belum mengerti secara jelas
mengenai semua aspek pengobatannya. Hal ini
mencakup dampak dari kepatuhan, efek samping,
kombinasi obat, dll. Ada laporan bahwa banyak
Odha memakai obat tanpa mengikuti pedoman
walaupun telah diberi tahu mengenai hal ini oleh
dokter. Sebagai tambahan, kita harus menyadari
bahwa jumlah dokter yang memiliki pengetahuan,
pengalaman dan ketrampilan untuk menangani
terapi ini sangat terbatas di semua daerah di
Indonesia, dan kebanyakan mempunyai waktu yang
sangat terbatas untuk membahas dengan pasiennya.
Hasil yang tidak dapat dielakkan dari semua
tantangan ini adalah ketidakpatuhan, perkembangan

resistansi, kegagalan terapi, dan risiko pada
kesehatan masyarakat pada umumnya. Salah satu
cara yang penting untuk mengurangi kemungkinan
masalah ini akan terjadi dan meningkatkan
keefektifan terapi untuk Odha adalah untuk
melibatkan sebaya, keluarga dan komunitas.
Pelatihan ini mendukung pemberian informasi
kepada Odha, Ohidha dan tenaga medis
profesional.

2

Pelatihan ini diadakan pada tanggal 19-24
September yang diadakan di hotel Sea World Club
dan dihadiri oleh 15 peserta yang terdiri dari Odha,
Ohidha, dokter, Romo, perawat, bidan, dan
beberapa staf LSM setempat.
Hari pertama dimulai dengan Pembukaan/
Perkenalan, dilanjutkan dengan Tata Tertib
kemudian sesi tentang latar belakang pelatihan

melalui sesi “Informasi sebagai terapi”. Kegiatan
hari pertama ditutup dengan mengadakan tes pra
pelatihan dan memberikan tugas Kepatuhan yaitu
dengan memberikan “obat-obatan” kepada semua
peserta yang harus diminum sesuai dengan petunjuk
dan waktunya. Peserta harus mencatat tingkat
kepatuhan mereka dengan mencantumkan jam
minum obat di formulir kepatuhan yang sudah
disediakan.
Hari kedua dimulai dengan sesi dasar HIV,
kemudian dilanjutkan dengan sesi Perawatan
Komprehensif. Selanjutnya, sesi dilanjutkan dengan
Peranan KPA yang dibawakan langsung oleh Wakil
Bupati Kabupaten Sikka selaku Ketua KPAD. Sesi
pada sore hari adalah dasar ART dan kemudian
dilanjutkan dengan sesi efek samping. Sesi padat
hari ini ditutup dengan evaluasi hari.
Hari ketiga dimulai dengan sesi Resistansi,
kemudian dilanjutkan dengan sesi Kewaspadaan
Universal. Sebelum makan siang, ada sesi menarik

tentang Seleksi Penerima ART yang membuat
peserta sedikit berpikir tentang bagaimana jika
suatu hari nanti obat tidak akan disubsidi lagi.
Setelah makan siang, sesi dilanjutkan dengan sesi
Pemantauan dan evaluasi program ART kemudian
dilanjutkan dengan sesi penutup yaitu
Pembelajaraan orang dewasa. Hari ini ditutup
dengan evaluasi hari.
Hari keempat dimulai dengan sesi khusus tentang
Infeksi Oportunistik kemudian dilanjutkan dengan
sesi tentang AIDS pada perempuan. Setelah makan
siang, sebagai kelanjutan dari Sesi sebelumnya,
dibahas sesi tentang AIDS pada anak.. Beberapa
peserta merasa perlunya retreat dari pelatihan oleh
karena itu, kita memindahkan beberapa sesi ke hari
berikutnya. Sesi-sesi sepanjang hari ini menarik dan
banyak mengundang pertanyaan dan diskusi hangat.
Seperti hari-hari sebelumnya, hari ini ditutup
dengan evaluasi hari.
Hari kelima dimulai dengan sesi koinfeksi HIV

dan TB, yang dilanjutkan dengan sesi Tugas pelatih.
Selanjutnya sesi dilajutkan dengan sesi IMS oleh dr.
Asep Purnama, SpPD dari RS TC Hillers Maumere

Sahabat Senandika No. 58

yang juga merupakan alumni pelatihan pendidik
pengobatan yang dilaksanakan di Jogjakarta. Setelah
makan siang, kami melanjutkan dengan sesi Hak
Pasien dan dokter yang juga di bawakan oleh dr.
Asep Purnama, SpPD. Sesi kemudan dilanjutkan
dengan Perawatan di RS yang dibawakan oleh
Suster Margaretha dari RS TC Hillers. Setelah rehat,
sesi diisi dengan sesi GIPA dan advokasi. Hari ini
ditutup dengan evaluasi. Yang menarik, sebagian
besar peserta belum mengerti mengenai GIPA dan
akhirnya sadar tentang pentingnya keterlibatan
pasien dalam penanggulangan penyakit mereka.
Hari keenam dimulai dengan sesi Perawatan di
rumah, kemudian dilanjutkan dengan sesi menegnai
gizi terkait dengan ART. Sesi selanjutnya adalah
Perawatan Paliatif. Kemudian setelah makan siang,
sesi dilanjutkan dengan sesi HAM kemudian
keseluruhan pelatihan ini ditutup dengan sesi HIV
stop disini..
Keseluruhan sesi pelatihan ini ditutup dengan tes
pasca pelatihan dan evaluasi akhir keseluruhan
pelatihan. Nilai rata-rata yang diperoleh sebelum
pelatihan adalah 9, dan setelah pelatihan mengalami
peningkatan sampai 17,2 dari 20 pertanyaan. Ada
peningkatan yang berarti dari sisi kualitas
pengetahuan peserta. Dari evaluasi yang diberikan
oleh peserta, mereka menilai bahwa mereka lebih
berempati kepada Odha yang minum ARV karena
sulit untuk mengikuti ‘tepat pada waktu’ untuk
selalu menjaga kepatuhan.
Secara umum, pelatihan ini berguna bagi peserta
yang hadir namun secara khusus, pelatihan ini juga
melibatkan teman-teman dari komunitas untuk
terlibat sebagai fasilitator. Pada pelatihan ini, kami
mengundang Mas Aries Setyawan dari KDS
Untitled di Salatiga untuk menjadi co-fasilitator.
Memfasilitasi pelatihan ini bukanlah hal yang mudah
bagi fasilitator tetapi hal ini merupakan proses yang
sangat baik.
Pelatihan ini terselenggara berkat kerjasama antara
Yayasan Spiritia, Wahana Visi Indonesia NTT dan
juga klinik VCT TC Hillers (yang bertindak sebagai
‘mak comblang’ pelatihan ini). Pelatihan serupa
direkomendasikan juga buat kelompok lain yang
ingin melakukan pelatihan serupa. Pelatihan
sebelumnya difasilitasi secara penuh oleh Yayasan
Spiritia tetapi pelatihan kali ini berbeda karena kami
bergandengan tangan bersama dengan organisasi
lain. Keterlibatan kerja ini membuat semakin
banyak orang peduli dan berusaha menanggulangi
HIV di Indonesia.

September 2007

Pengetahuan
adalah kekuatan
Morbiditas dan mortalitas
tinggi pada Odha
perempuan setelah bedah
sesar
Oleh: Martha Kerr, Reuters Health
Tanggal laporan: 14 Agustus 2007
Secara keseluruhan tingkat komplikasi adalah
60% lebih tinggi di antara perempuan yang
terinfeksi HIV yang menjalani bedah sesar
dibandingkan dengan sebayanya yang tidak yang
terinfeksi HIV. Hal ini berdasarkan temuan dari
sebuah penelitian oleh National Institutes of Health.
Peneliti utama Dr. Judette Louis dari Universitas
Case Western Reserve di Cleveland, Ohio, AS dan
rekan dari National Institutes of Child Health dan
Human Development (NICHD) Maternal-Fetal
Medicine Units Network, membandingkan
dampak bedah sesar pada 378 perempuan yang
terinfeksi HIV dan 54.281 perempuan tidak yang
terinfeksi HIV.
“Pasien yang terinfeksi HIV lebih cenderung
mengalami endometritis pascakelahiran (11,6%
dibandingkan dengan 5,8%), membutuhkan
transfusi darah pascakelahiran (4,0% dibandingkan
dengan 2,0%), mengembangkan sepsis (1,1%
dibandingkan dengan 0,2%), diobati terhadap
pneumonia (1,3% dibandingkan dengan 0,3%), dan
meninggal saat melahirkan (0,8% dibandingkan
dengan 0,1%),” Dr. Louis dan rekan melaporkan
dalam jurnal Obstetrics and Gynecology edisi
Agustus 2007.
Bahkan setelah menyesuaikan terhadap
kemungkinan pembaur, termasuk tipe anestesis,
jumlah kelahiran sesar sebelumnya, dan masa pecah
ketuban, “pasien dengan infeksi HIV lebih
cenderung mengalami satu atau lebih morbiditas
pascakelahiran,” dengan rasio odds 1,6, para
peneliti mengatakan.
“Walau kami juga menemukan peningkatan risiko
kematian, tampaknya terkait dengan penyakitnya
dan bukan semata-mata karena kelahiran sesar itu
sendiri,” Dr. Louis berkomentar pada Reuters
Health.
Ukuran kelompok dan rancangan berbagai pusat
adalah kekuatan penelitian ini, tetapi “ketiadaan data

3

sehubungan dengan terapi antiretroviral (ART) dan
status kekebalan di antara perempuan yang
terinfeksi HIV adalah kelemahan yang membatasi
kemampuan generalisasi hasil penelitian kami ini,”
Dr. Louis dan rekan mengingatkan.
“Namun demikian,” mereka mengatakan,
“temuan kami adalah bermakna dan sesuai dengan
penelitian yang diterbitkan di negara lain yang
menunjukkan peningkatan angka kematian saat
melahirkan dan risiko pascabedah terkait dengan
kelahiran sesar pada pasien yang terinfeksi HIV.”
Para peneliti mencatat bahwa risiko morbiditas
dan mortalitas dapat diminimalisasi dengan
intervensi misalnya “menghindari kelahiran dengan
bedah sesar pada pasien dengan viral load tidak
terdeteksi, terapi antibiotik profilaktik secara lebih
luas, atau menentukan dan memberi profilaksis
pada individu dengan risiko lebih tinggi terhadap
morbiditas infeksi.”
Pencegahan yang paling efektif, Dr. Louis
mengatakan, “mungkin adalah penekanan virus
secara optimal selama kehamilan dengan rejimen
antiretroviral (ARV) yang tepat. Hal ini akan
mencegah kebutuhan akan bedah sesar yang hanya
berdasarkan viral load yang tinggi.”
“Tindakan tambahan lain adalah dengan
memastikan bahwa pasien tersebut menerima dosis
antibiotik profilaktik pada saat bedah sesar. Hal ini
adalah satu tindakan yang selama ini terbukti
menurunkan risiko morbiditas karena infeksi.”
Ringkasan: Morbidity and Mortality High in HIVInfected Women After Cesarean Section
Sumber: Obstet Gynecol 2007;110:385-390.

4

Vaksinasi MMR ulang aman
dan efektif pada anak yang
berhasil memakai ART
Oleh: Michael Carter, aidsmap.com
Tanggal laporan: 9 Agustus 2007
Anak HIV-positif yang mengalami pemulihan
kekebalan karena pengobatan terapi anti-HIV
(ART) menanggapi dengan baik vaksinasi ulang
untuk campak, gondong dan rubela (MMR). Hal
ini berdasarkan penelitian Thailand yang diterbitkan
dalam jurnal Clinical Infectious Diseases edisi 1
September 2007.
Para peneliti juga menemukan bahwa vaksinasi
ulang adalah aman, tidak menyebabkan efek
samping yang bermakna maupun penurunan
persentase CD4 serta peningkatan viral load HIV.
Pada 2006, UNAIDS memperkirakan bahwa
ada 2,3 juta anak HIV-positif di seluruh dunia.
Akses ART untuk anak HIV-positif membaik, dan
di Thailand, pengobatan anti-HIV gratis sudah
tersedia untuk orang dewasa dan anak sejak 2002.
Berkat pengobatan HIV, sudah terjadi peningkatan
yang bermakna dalam prognosis anak yang
terinfeksi HIV di Thailand yang sekarang
berkesempatan untuk berperan serta dalam
kegiatan normal, misalnya sekolah dan berharap
untuk kelangsung hidup hingga dewasa.
Penyakit anak yang umum, misalnya campak
menjadi lebih berat pada anak HIV-positif.
Walaupun 98% anak Thailand menerima vaksinasi
campak, 88% - 95% di antaranya mengembangkan
antibodi pelindung, kemanjuran vaksinasi serupa itu
jauh lebih rendah pada anak dengan sistem
kekebalan yang lemah. Penelitian sebelumnya di
Thailand mengungkapkan bahwa hanya 42% anak
HIV-positif yang menerima vaksin MMR
mengembangkan antibodi pelindung terhadap
campak.
Anak yang memakai ART menanggapi vaksinasi
campak dengan lebih baik. Tetapi masih ada
pertanyaan yang belum terjawab tentang
kemanjuran vaksinasi ulang pada anak tersebut.
Pertanyaan juga masih belum terjawab tentang
waktu yang paling tepat untuk vaksinasi ulang,
kemanjuran vaksinasi ulang, risiko efek samping,
dan kemungkinan dampak vaksinasi ulang terhadap
tanda immunologi dan virologi.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, para
peneliti di rumah sakit Universitas Chiang Mai di

Sahabat Senandika No. 58

Thailand merancang penelitian prospektif yang
melibatkan 51 anak HIV-positif yang memakai
ART.
Semua anak berusia di atas lima tahun,
mempunyai nadir CD4 15% atau kurang, tetapi
mengalami pemulihan kekebalan dengan
peningkatan CD4 menjadi di atas 15% setelah tiga
bulan memakai ART. Tidak ada anak yang
mempunyai antibodi pelindung terhadap campak.
Vaksinasi dengan vaksin MMR dosis tunggal
disediakan pada Oktober 2005.
Anak berusia rata-rata 10 tahun, 53% laki-laki,
76% diketahui pernah menerima vaksinasi MMR,
dan pada saat vaksinasi, 55% anak mempunyai
antibodi pelindung terhadap rubela dan 20%
mempunyai antibodi pelindung terhadap gondong.
Anak yang antibodinya menanggapi vaksinasi
MMR diperiksa empat dan 24 minggu setelah
menerima vaksinasi.
Kira-kira separuh anak (51%) digolongkan
mempunyai AIDS, dan nadir CD4 adalah 5%.
ART dimulai ketika anak berusia rata-rata delapan
tahun, dan masa terapi HIV rata-rata untuk
vaksinasi ulang adalah 127 minggu. CD4 rata-rata
pada saat vaksinasi ulang adalah 27% dan 92%
anak mempunyai viral load di bawah 50.
Empat minggu setelah vaksinasi MMR ulang,
90% anak yang mempunyai antibodi pelindung
terhadap campak, 78% mempunyai antibodi
pelindung terhadap rubela, dan semua anak
mempunyai antibodi pelindung terhadap gondong.
Setelah 24 minggu, persentase anak dengan
pelindung terhadap setiap jenis infeksi yang
tercakup dalam vaksin MMR mengalami
penurunan 80% untuk campak, 61% untuk
gondong, dan 94% untuk rubela.
Tidak ada efek samping yang diamati, walaupun
45% anak melaporkan nyeri pada bekas suntikan
antara satu dan tiga hari. Tidak ada efek samping
vaksinasi MMR ulang yang mengarah pada
perubahan CD4 atau viral load secara bermakna.
“Mayoritas anak yang terinfeksi HIV dengan
pemulihan kekebalan setelah ART mengembangkan
antibodi pelindung setelah vaksinasi MMR ulang”,
komentar para peneliti.
Para peneliti mencatat bahwa dalam penelitian
sebelumnya di AS, hanya 64% anak pengguna ART
yang menerima vaksinasi campak mengembangkan
antibodi pelindung terhadap infeksi ini. Tetapi anak
dalam penelitian ini sudah memakai ART untuk
jangka waktu yang lebih pendek secara bermakna

September 2007

(rata-rata 40 minggu) dibandingkan dengan anak
dalam penelitian di Thailand, dan secara bermakna
lebih sedikit anak di AS mempunyai viral load tidak
terdeteksi (64% banding 92%).
Para peneliti didorong oleh tingkat tanggapan
terhadap komponen vaksinasi rubela “yang sangat
baik” terlihat dalam penelitian ini. Mereka menulis,
“tanggapan yang sangat baik terhadap revaksinasi
rubela yang ditunjukkan dalam penelitian kami
memberi kesan bahwa vaksinasi ulang pada remaja
perempuan terinfeksi HIV yang memasuki usia
subur menurunkan riskio infeksi rubela pada
kelamin selama masa suburnya.”
Sehubungan dengan proporsi anak yang
mengembangkan antibodi pelindung terhadap
gondong setelah vaksinasi ulang, para peneliti
mencatat bahwa hal ini tidak lebih rendah
dibandingkan dengan proporsi anak HIV-negatif
dalam penelitian lain. Tetapi, tiga sampai enam
bulan setelah vaksinasi, proporsi anak yang sehat
masih terlindungi terhadap gondong oleh vaksinasi
adalah serupa dengan yang terlihat dalam penelitian
di Thailand.
Ringkasan: MMR revaccination safe and effective
in children taking successful anti-HIV treatment
Sumber: Aurpibul L et al. Response to measles, mumps, and
rubella revaccination in HIV-infected children with immune
recovery after highly active antiretroviral therapy. Clin Infect Dis
45: 637 – 642, 2007.

5

Viral load dibawah 50
harus menjadi tujuan
semua pasien
Oleh: hivandhepatitis.com (Tanggal
laporan 14 Agustus 2007)
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak pasien
HIV yang sangat berpengalaman dengan virus yang
sangat resistan terhadap obat tidak dapat mencapai
viral load HIV tidak terdeteksi, yang selama ini
menjadi tujuan pasien yang belum pernah diobati
yang memulai terapi antiretroviral untuk pertama
kalinya.
Tetapi, sebagaimana dijelaskan dalam jurnal
AIDS edisi 31 Juli 2007, dengan obat baru yang
semakin membaik dan pemahaman yang lebih baik
tentang penggunaannya, sekarang banyak ahli
berpendapat bahwa pencapaian viral load HIV di
bawah 50 harus menjadi tujuan pengobatan semua
pasien penerima ART.
Dalam tiga uji coba besar yang sangat penting
(TORO, RESIST, dan POWER), titik akhir viral
load HIV di bawah 50 menunjukkan ketahanan
yang terkuat selama beberapa waktu, para peneliti
mencatat. Ukuran penekanan virus lain –
penurunan viral load HIV sebanyak lebih dari 1 log
atau di bawah 400 – menunjukkan hasil yang
kurang bertahan selama 48 minggu pengobatan.
Para peneliti menambahkan bahwa uji coba klinis
terhadap ARV baru pada pasien yang sangat
berpengalaman dengan pengobatan menunjukkan
tingkat penekanan viral load menjadi di bawah 50
yang tinggi, menunjukkan bahwa tujuan ini adalah
realistis untuk sebagian besar pasien.
Dalam kesimpulannya, para peneliti menulis,
“Penekanan viral load HIV di bawah 50 sekarang
harus dijadikan titik akhir kemanjuran yang dalam
uji coba pada pasien yang berpengalaman dengan
pengobatan dan pasien yang belum pernah
diobati.”
Ringkasan: Recent Studies Show HIV RNA
Below 50 Copies/mL Should Be the Goal for
Both Treatment-naive and Treatment-experienced
Patients

Pojok Info
Lembaran Informasi Baru
Pada Agustus/September 2007, Yayasan Spiritia
telah menerbitkan 10 lembaran informasi yang
direvisi:
• Informasi Dasar
Lembaran Informasi 001—Daftar Lembaran
Informasi
Lembaran Informasi 105—Hasil Tes Lab
Normal
Lembaran Informasi 107—Tes Kimia Darah
Lembaran Informasi 109—Tes Fungsi Hati
• Pencegahan Penularan HIV
Lembaran Informasi 156—Penggunaan
Narkoba dan HIV
• Terapi Antiretroviral
Lembaran Informasi 425—Abacavir
Lembaran Informasi 431—Nevirapine
• Terapi Penunjang & Alternatif
Lembaran Informasi 700—Terapi Penunjang &
Alternatif
• Referensi
Lembaran Informasi 910—Daftar Interaksi
Obat NNRTI/PI
Lembaran Informasi 999—Daftar Istilah (Urutan
baru, mengganti LI 900)
Untuk memperoleh lembaran revisi ini atau seri
Lembaran Informasi lengkap, silakan hubungi
Yayasan Spiritia dengan alamat di halaman belakang
atau browse ke situs web Spiritia:


Sumber: A Hill, D Miralles, T Vangeneugden, and others. Should
we now adopt the HIV-RNA < 50 copy endpoint for clinical trials
of antiretroviral-experienced as well as naive patients? AIDS
21(12): 1651-1653. July 31, 2007.

6

Sahabat Senandika No. 58

Tips
Tips untuk Odha
Awali Hari Bugar dengan Saluran Cerna Sehat

Tahukah Anda, bahwa memulai hari yang
menyenangkan dengan tubuh bugar dan sehat di
awali dari tidak mengabaikan kesehatan saluran
cerna. Mengapa demikian? Karena, saluran cerna
merupakan cermin kesehatan umum, dimana
sebagian besar produksi imunitas untuk daya tahan
tubuh berasal dari sana.
Saluran cerna dikatakan sehat jika:
1. Dapat mencerna, menyerap dan memanfaatkan
nutrisi secara optimal
2. Fungsi sistem imunitas terjaga sehingga daya
tahan tubuh kuat
3. Keteraturan usus membuang residu (tinja) yang
berisi sisa makanan, kelembaban (air), kumankuman termasuk yang patogen serta berbagai
toksin.
Pembuangan residu yang tak teratur dan
tak lancar sangat merugikan, karena akan diserap
kembali oleh tubuh, termasuk toksin dan kuman
patogen yang ada di dalamnya. Jika hal ini
berkelanjutan dapat menjadi masalah
berkepanjangan, dan dapat mengganggu sistem
tubuh.
Bagaimana menjaga saluran cerna agar
senantiasa sehat? Berbagai langkah dapat dilakukan,
antara lain:
1. Pola hidup sehat
2. Teratur olah raga
3. Konsumsi makanan bergizi seimbang, empat
sehat lima sempurna
4. Cukup asupan serat
Hal penting perlu diperhatikan adalah
konsumsi serat, yang sering kurang bahkan terlewat
dari daftar makanan sehari-hari. Padahal, fungsi
serat sangat penting bagi kesehatan tubuh.
Berdasarkan sifat kelarutannya, ada serat makanan
larut dan tidak larut; keduanya memiliki fungsi
saling terkait untuk saluran kesehatan cerna. Sifat
dan fungsi serat tak larut antara lain menahan air,
tidak difermentasi, memberi volume dan berat
feses, membersihkan usus besar, memberi rasa
kenyang serta memperlambat penyerapan gula. Sifat
dan fungsi serat larut adalah pekat sehingga
memperlambat waktu pengosongan lambung dan

September 2007

membuat rasa kenyang lebih lama, diperfemntasi
oleh bakteri-baik usus, memperlambat penyerapan
karbohidrat dan lemak, mempengaruhi komposisi
bakteri usus menjadi lebih baik (efek prebiotik) dan
meningkatkan penyerapan kalsium. Penting diingat
bahwa serat bersifat menahan air; hal ini
bermanfaat untuk melembabkan, melunakkan dan
memberi berat feses. Karenanya, perlu minum
cukup air agar fungsi serat optimum.
Kemajuan teknologi pangan yang berhasil
melakukan ekstraksi serat larut dari makanan
tertentu, memberi banyak manfaat. Konsumsi serat
dengan volume kecil (tidak memenuhi ruang
lambung), namun diperoleh jumlah dan manfaat
serat yang besar.
Sumber: http://www.keluargasehat.com/tipsisi.php?news_id=815

7

Tanya Jawab

Positive Fund
Laporan Keuangan Positive Fund

Tanya-Jawab

Yayasan Spiritia

T: Pagi ini saya membaca artikel di milist aids-ina,
ada yang mengajukan pertanyaan mengenai
keakuratan dari test ora-quick atau menggunakan
air liur.
Ini yang saya agak bingung, seperti yang saya baca
dari buku-buku atau artikel atau pertanyaanpertanyaan di website Spiritia, menyebutkan kalau
penularan HIV sangat kecil kemungkinannya
bahkan boleh dibilang tidak ada jika melalui air liur.
Ini karena kandungan virus dalam air liur sangat
kecil sekali dan boleh dibilang tidak ada. Sehingga
boleh dikatakan aman bagi ODHA untuk
berciuman dengan pasangannya.
Nah, yang ingin saya tanyakan, kenapa test
Oraquick bisa mengetahui bahwa seseorang itu
terinfeksi HIV/tidak hanya dengan menggunakan
air liur sebagai sample test?
Mohon dijelaskan ya, karena gara-gara ini, saya
jadi ketakutan lagi. Saya pikir berciuman dengan
ODHA itu aman (pasangan saya adalah ODHA).
J: Harus diingat bahwa tes HIV mencari antibodi
terhadap virus, bukan virus sendiri. Antibodi tidak
menular. Adanya antibodi dalam cairan di dalam
mulut dengan jumlah cukup untuk menunjukkan
hasil positif pada tes tersebut bukan berarti ada
virus dalam cairan itu, atau sedikitinya tidak ada
dalam jumlah yang cukup untuk menularkan
infeksi.
Sebetulnya, untuk tes Oraquick, yang diambil
BUKAN air liur, tetapi cairan yang lebih kental di
dalam pipi, yang diseka dengan alat khusus. Kalau
hanya diambil air liur, hasil bisa salah.

Periode September 2007

Pertanyaan diajukan di kolom “pertanyaan” di website Yayasan
Spiritia pada tanggal 13 September 2007

Saldo aw al 1 September 2007

18,823,919

Penerimaan di bulan
September 2007

1,436,000+
__________

Total penerimaan

20,259,919

Pengeluaran selama bulan September :
Item

Jumlah

Pengobatan

565,000

Transportasi

0

Komunikasi

0

Peralatan / Pemeliharaan

0

Modal Usaha

0+
_________
565,000-

Total pengeluaran

Saldo akhir Positive Fund
per 30 September 2007

19,694,919

Sahabat Senandika
Diterbitkan sekali sebulan oleh

Yayasan Spiritia
dengan dukungan
T H E FORD
FOU N D
AT I O N
DA

Kantor Redaksi:
Jl. Johar Baru Utara V No 17
Jakarta Pusat 10560
Telp: (021) 422 5163 dan (021) 422 5168
Fax: (021) 4287 1866
E-mail: [email protected]
Editor:
Caroline Thomas
Copyright 2002 Yayasan Spiritia. Izin dikeluarkan bukan untuk
diperdagangkan, sehingga bila mengutip isinya Anda harus
mencantumkan sumber (termasuk alamat dan nomor telepon).
Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar
untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebelum
melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi
dengan dokter.

8

Sahabat Senandika No. 58