Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam Peraturan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum T1 312014706 BAB II
BAB II
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Tinjauan Pustaka
1. Otoritas Negara dalam Penguasaan Hak Atas Tanah
Otoritas Negara Republik Indonesia dalam penguasaan hak atas tanah bersumber dari konstitusi, di mana dalam Undang-undang Dasar dinyatakan bahwa salah satu tugas Negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan melindungi segenap bangsa Indonesia. Kemudian, dalam Pasal 33 UUD 1945, ditegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal tersebut tidak mengikutkan wilayah angkasa, namun berdasarkan konvensi dan hukum internasional wilayah angkasa sampai batas ketinggian tertentu adalah juga termasuk dalam yurisdiksi batas kedaulatan suatu negara. Dari Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa secara konstitusional Negara memiliki legitimasi yang kuat untuk menguasai tanah sebagai bagian dari bumi, akan tetapi penguasaan tersebut harus dalam kerangka kemakmuran rakyat.
2. Hak Menguasai Tanah Oleh Negara
Hak menguasai tanah oleh Negara, dijabarkan dalam bentuk kewenangan tertentu untuk penyelenggaraan hak tersebut. Kewenangan yang diberikan oleh UUPA digolongkan dalam tiga bagian, yaitu pengaturan peruntukan, pengaturan hubungan hukum antara orang dengan bagian-bagian tanah, dan pengaturan hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum1. Ketiga hal tersebut adalah merupakan intisari dari pengaturan Pasal 2 ayat (2) UUPA yang menyangkut
1
Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Huk um Tanah Nasional, Universitas Trisakti, Jakarta, 2007, h. 46-47.
(2)
kewenangan yang diturunkan oleh Negara kepada Pemerintah. Pasal tersebut memberi wewenang pada Negara untuk mengatur bahwa tanah-tanah di daerah tertentu diperuntukkan untuk keperluan tertentu. Wewenang lain yang diberikan kepada Negara adalah untuk mengatur mengenai hak apa saja yang boleh dipunyai orang atas tanah, sifat hak tersebut, siapa yang bisa mempunyai tanah dengan hak tertentu, dan sebagainya. Wewenang yang lain diberikan kepada Negara yaitu : untuk mengatur apakah suatu hak boleh dialihkan pada pihak lain, apa syarat pengalihannya, apakah suatu hak boleh digunakan sebagai jaminan hutang, apakah orang boleh membiarkan saja hak atas tanahnya tanpa digunakan sama sekali, dan sebagainya.
Ketiga jenis kewenangan Negara tersebut sesungguhnya merupakan kewenangan pengaturan yang wajar dimiliki oleh Negara, meskipun dapat berakibat adanya pembatasan-pembatasan pada orang yang memegang hak tertentu atas tanah. Pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh Negara tersebut tentunya harus berdasarkan pada kepentingan rakyat Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan demikian, hak atas tanah di Indonesia, termasuk hak milik bukan merupakan hak mutlak, yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk melakukan tindakan apa saja semaunya sendiri atas tanah yang dihakinya tersebut.2
3. Independensi
3.1. Pengertian Independensi
Independensi berasal dari kata dasar Independence yang berarti The state of quality of being independent; a country freedom to manage all its affairs, whether
2
http://hadiwahono.blogspot.co.id/2013/05/hak-menguasai-negara-atas-tanah.html dikunjungi pada tanggal 13 Desember pada pukul 15.00.
(3)
external or internal without countrol by other country3. Pengertian Independensi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak ditemukan, tetapi memiliki padanan kata yaitu mandiri, kemandirian, bebas yang memiliki makna tidak memiliki ikatan pada pihak lain dalam melakukan segala bentuk aktifitasnya, bebas, otonom, ketidak berpihakan, kemandirian, atau hal lain yang memiliki persamaan makna tidak memiliki ketergantungan pada organ atau lembaga lain, dan dapat menjalankan tindakan sendiri termasuk dalam membuat suatu keputusan4.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan menulis tentang independensi dalam konsep kedudukan Panitia Pengadaan Tanah di peraturan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Dalam peraturan pengadaan tanah, Panitia Pengadaan Tanah terdiri dari beberapa unsur, namun yang paling mendominasi adalah unsur dari Pemerintah itu sendiri. Oleh karena itu terlebih dahulu harus diketahui pengertian dari pemerintah yang merupakan kemudi dalam bahasa latin asalnya Gubernaculum. Pemerintah adalah organisasi yang memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan dalam bentuk (penerapan hukum dan Undang-Undang) di kawasan tertentu. Kawasan tersebut adalah wilayah yang berada di bawah kekuasaan mereka. Pemerintah berbeda dengan pemerintahan, Pemerintah merupakan organ atau alat pelengkap jika dilihat dalam arti sempit pemerintah hanyalah lembaga eksekutif saja5.
3 Bryan A Garner, Black Law Dictionary, seventh edition, West group:United States of
America, 1999 page 773.
4
Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi k etiga. Departemen Pendidikan Nasional, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, h. 655.
5
http://demokrasipancasilaindonesia.blogspot.co.id/2014/12/pengertian -pemerintah-dan-pemerintahan.html dikunjungi pada tanggal 13 Desember pukul 18.50.
(4)
Dari penjelasan di atas, Independensi panitia pengadaan tanah dalam peraturan pengadaan tanah merupakan suatu kondisi dimana panitia pengadaan tanah merupakan penyelenggara dari kepentingan umum sehingga kedudukan panitia dalam hal ini harus dapat bersikap netral tanpa mengusung kepentingan salah satu pihak pun meskipun itu pihak instansi yang memerlukan tanah.
3.2. Tolak Ukur Independensi 3.2.1. Kedudukan
Dari pengertian di atas Panitia Pengadaan Tanah yang penulis maksud dalam penulisan skripsi ini adalah pelaksana dari pengadaan tanah yang berpedoman pada peraturan pengadaan tanah sebagai tolak ukur untuk menjalankan kedudukannya sebagai penyelenggara dari kepentingan umum. Independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam peraturan pengadaan tanah dapat diartikan sebagai suatu kondisi di mana Panitia Pengadaan Tanah berkedudukan sebagai pihak yang netral karena menjadi penengah antara instansi yang memerlukan tanah dengan masyarakat selaku pemegang hak atas tanah. Kenetralan yang penulis maksud di sini yaitu suatu kondisi dimana Panitia Pengadaan Tanah tidak boleh mengusung kepentingan salah satu pihak, meskipun itu pihak instansi yang memerlukan tanah sekalipun yang merupakan bagian dari pemerintah itu sendiri karena dalam menjalankan tugasnya, Panitia Pengadaan Tanah tidak boleh ada keterbepihakan Panitia Pengadaan Tanah sebagai penyelenggara dari kepentingan umum, maka kegiatan pembangunan yang dilakukan harus memperhatikan kepentingan seluruh lapisan masyarakat dan dibatasi pada kegiatan pembangunan yang dilakukan dan dimiliki oleh pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Karena inti dari pembangunan
(5)
untuk kepentingan umum sendiri adalah untuk kepentingan masyarakat yang lebih banyak dan digunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kedudukan Panitia Pengadaan Tanah dalam posisi ini juga berfungsi sebagai mediator antara instansi yang memerlukan tanah dengan masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah. Mediator yang penulis maksud adalah Panitia Pengdaan Tanah merupakan penghubung untuk menyalurkan aspirasi masyarakat yang berkenaan dengan pengadaan tanah kepada instansi yang memerlukan tanah.
3.2.2. Komposisi Keanggotaan
Didalam independensi panitia pengadaan tanah sangat berkaitan erat dengan komposisi keanggotaannya. Untuk memenuhi keindependensian dari ke anggotaan dari panitia pengadaan tanah harus terdapat orang yang bukan dari instansi pemerintah atau orang yang netral dari kepentingan pengadaan tanah tersebut, agar terdapat keseimbangan didalam anggota panitia karena terdapat anggota yang tidak memihak kepentingan rencana pengadaan tanah saja.
3.2.3. Penentu Ganti rugi
Penentu ganti kerugian dalam pengadaan tanah haruslah dari lembaga atau orang perseorangan yang professional yang dapat menentukan harga dengan layak dan adil, lembaga atau orang perseorangan tersebut haruslah dari luar instansi pemerintah agar tidak terdapat keterpihakan. sehingga terdapat independensi didalam proses penentuan ganti rugi karena terdapat lembaga atau perorangan yang tidak memiliki kepentingan didalam perencanaan pengadaan tanah. Meskipun jika tidak terdapat persetujuan nilai ganti rugi masih diberikan kesempatan pada pemegang hak atas tanah untuk mengajukan keberatan, dalam pengajuan keberatan pun harus terdapat badan lain dalam hal ini bukan termasuk
(6)
instansi pemerintah yang berkepentingan dalam perencanaan pengadaan tanah agar dapat memutus nilai ganti ruginya dapat dengan layak dan adil.
4. Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum
Dalam bagian ini penulis akan menguraikan tentang pengertian dari pengadaan tanah, kepentingan umum, musyawarah, ganti kerugian (syarat layak, dasar perhitungan).
4.1. Pengertian Pengadaan Tanah
Pengertian tentang pengadaan tanah terdapat di masing-masing peraturan pengadaan tanah. Dalam PMDN No. 15 Tahun 1975 pengadaan tanah dikenal dengan istilah Pembebasan Tanah yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) yang bunyinya:
“Pembebasan tanah ialah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat di antara pemegang hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi.”
Dalam pasal di atas terlihat jelas bahwa pembebasan tanah adalah proses melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah atau penguasa tanah dengan cara memberikan ganti kerugian, dalam pasal tersebut tidaklah adil karena untuk melepaskan hak atas tanah haruslah dari kerelaan setiap pemegang hak atas tanah, akan tetapi dengan pembebasan berarti tanpa kerelaan atau dengan paksaan pemegang hak atas tanah, hak atas tanahnya dapat diambil dengan cara memberikan ganti kerugian. Setelah PMDN No. 15 Tahun 1975 istilah Pembebasan tanah sudah tidak berlaku lagi dan diganti dengan pengadaan tanah yang terdapat di Pasal 1 ayat (1) Keppres No. 55 Tahun 1993 yang bunyinya:
“Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.”
(7)
Dari isi Pasal di atas terlihat adanya cara yang dilakukan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada orang yang berhak.
Setelah Keppres No. 55 Tahun 1993 tidak berlaku munculah peraturan Perpres No. 36 Tahun 2005 yang di dalamnya juga mengatur mengenai pengertian dari pengadaan tanah sebagaimana telah diubah dalam Pasal 1 ayat (3) Perpres No. 65 Tahun 2006 yang bunyinya:
“Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah."
Proses pengadaan tanah dalam peraturan ini berbeda dengan peraturan sebelumnya, karena di peraturan ini kegiatan untuk mendapatkan tanah tidak hanya terfokus pada proses penyerahan tanahnya saja tetapi juga pada bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Peraturan terbaru yang terdapat pengaturan mengenai pengertian pengadaan tanah adalah Pasal 1 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang bunyinya:
“Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.”
Dari isi Pasal di atas terlihat bahwa proses pengadaan tanah yang dilakukan harus secara layak dan adil agar pemegang hak atas tanah yang tanahnya terkena pengadaan tanah tidak mengalami kemunduran akibat dari hak atas tanahnya terkena pembangunan untuk kepentingan umum.
Selain pengertian pengadaan tanah berdasarkan peraturan pengadaan tanah, Gunanegara juga mendefiniskan mengenai pengadaan tanah yaitu proses
(8)
pelepasan hak atas kepemilikan orang atas tanah dan/atau benda-benda yang ada di atasnya yang dilakukan secara sukarela untuk kepentingan umum6.
Dari beberapa pengertian pengadaan tanah di atas terdapat persamaan karakter yaitu:
- Adanya kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan melepaskan hak atas tanah menjadi milik Negara;
- Adanya pemberian ganti kerugian.
Berdasarkan uraian dari unsur pengadaan tanah tersebut, menurut penulis pengadaan tanah pada intinya merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan tanah dari pemilik tanah. Jadi pengadaan tanah dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dengan cara pemberian ganti rugi kepada pemegang hak atas tanah.
4.2. Kepentingan Umum
Adanya kepentingan umum merupakan prinsip dasar jika ditinjau dari berbagai peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan pengadaan tanah di Indonesia. Secara eksplisit kata kepentingan umum didapati pada Pasal 18 UUPA yang berbunyi:
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan
Undang-undang.”
Dalam UU No. 20 Tahun 1961 tentang Pecabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya, dalam pengertian kepentingan umum ditambahkan dengan kepentingan pembangunan. Dalam peraturan ini ketentuan
6
Gunanegara, Rak yat & Negara, Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembanguan, PT.Tatanusa, Jakarta, 2008, h. 2.
(9)
hukum yang terkait dengan kepentingan umum adalah Pasal 6 UUPA yang berbunyi:“semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Pasal tersebut mengandung arti bahwa setiap pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah harus merelakan tanahnya apabila diperlukan atau dicabut oleh negara demi kepentingan umum. Setiap hak yang dikuasai atau dimiliki oleh seseorang tidak dibenarkan apabila dipergunakan hanya untuk kepentingan pribadinya. Maka dari itu, penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifatnya sehingga dapat bermanfaat bagi pemiliknya atau pemegang haknya maupun bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan Negara.
Demikian juga dalam PMDN No. 15 Tahun 1975 tidak memberikan pengertian tentang kepentingan umum, hanya dalam konsideran disebutkan tentang pembebasan tanah yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan akan tanah dalam usaha-usaha pembangunan yang dilakukan oleh instansi/badan pemerintah maupun kepentingan swasta khususnya untuk keperluan pemerintah. Dalam hal ini berarti pembangunan yang dilakukan adalah pembangunan untuk kepentingan umum maupun masyarakat luas.
Menurut Michael G Kitay, doktrin kepentingan umum dalam berbagai negara diungkapkan dalam dua cara yaitu7:
a. Pedoman Umum (General Guide)
Negara hanya menyatakan bahwa pengadaan tanah dibutuhkan untuk kepentingan umum atau yang secara umum menyebutkan bahwa pengadaan tanah harus berdasarkan kepentingan umum (Public Purpose). Istilah Public menjadi social, general, commom, atau
7
Andrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, Cet ke-1, Sinar Grafika: Jakarta, h. 68.
(10)
collective. Sedangkan, kata purpose diganti menjadi need, necessity, interest, function, utility, atau use. Negara yang menggunakan pedoman umum ini, biasanya tidak secara eksplisit mencantumkan kegiatan yang termasuk kepentingan umum.
a. Ketentuan-Ketentuan Daftar
Penyebutan kepentingan umum dalam suatu daftar kegiatan yang secara jelas mengidentifikasikan tujuannya. Daftar ini secara eksplisit mengidentifikasi kepentingan itu. Kepentingan yang tidak terdaftar dalam daftar tersebut, tidak dapat dijadikan dasar pengadaan tanah. Maria Sumardjono menyatakan bahwa kepentingan umum dapat dijabarkan dalam 2 hal yakni 8:
- Berupa pedoman umum yang menyebutkan bahwa pengadaan tanah dilakukan berdasarkan alasan kepentingan umum melalui berbagai istilah. Karena berupa pedoman, hal ini dapat mendorong eksekutif secara bebas menyatakan suatu proyek memenuhi persyaratan kepentingan umum.
- Penjabaran kepentingan umum dalam daftar kegiatan.
Dalam prakteknya pengadaan tanah yang dilakukan berdasarkan alas an kepentingan umum melalui berbagai istilah dan pengadaan tanah yang dilakukan dengan cara penjabaran kepentingan umum dalam daftar kegiatan, di tempuh secara bersamaan.
8
Maria S.W. Sumardjono, Perpres No 36/ 2005: Dampaknya Bagi Kepentingan Umum, Kompas 16 Juni 2005.
(11)
Selain pengertian kepentingan umum di atas, dalam UU No. 2 Tahun 2012 terdapat pengertian tentang kepentingan umum yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 6 yang berbunyi:
“Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”
Berdasarkan beberapa pengertian pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam Keppres No. 55 Tahun 1993, Perpres No. 36 Tahun 2005, Perpres No. 65 Tahun 2006 dan UU No. 2 Tahun 2012, maka kegiatan yang dapat di kategorikan sebagai kepentingan umum ada 5 (lima) unsur yaitu9:
a. Adanya kepentingan seluruh lapisan masyarakat; b. Dilakukan dan dimiliki oleh Pemerintah;
c. Tidak digunakan untuk mencari keuntungan;
d. Masuk dalam daftar kegiatan yang telah ditentukan; e. Perencannya sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.
4.3. Musyawarah
Pengadaan tanah diselenggarakan untuk kepentingan umum maka pelaksanaanya harus berdasarkan musyawarah antara instansi yang memerlukan tanah dengan pemilik tanah atau pemegang hak atas tanah. Sedangkan pemerintah dalam hal ini Panitia Pengadaan Tanah dalam kegiatan musyawarah berkedudukan sebagai mediator sehingga Panitia Pengadaan Tanah harus dapat bersikap netral.
9
Umar Said Sugiharto, Suratman, Noorhudha Muchsin, Huk um Pengadaan Tanah Pengadaan Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan Umum Pra dan Pasca Reformasi, Penerbit Setara Press, Malang, 2015, h. 73.
(12)
Seluruh kegiatan pengadaan tanah dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pihak yang memerlukan tanah dan pemegang hak atas tanah. Kegiatan fisik pembangunan baru dapat dilaksanakan bila telah menjadi kesepakatan antara pihak dan ganti rugi telah diserahkan10.
Dalam kegiatan musyawarah kedudukan antara Instansi yang memerlukan tanah dan pemegang hak atas tanah harus seimbang. Kedudukan seimbang yang penulis maksud yaitu bukan hanya instansi yang membutuhkan tanah saja yang mendominasi jalannya semua kegiatan musyawarah termasuk dalam hal pengambilan keputusan, namun kedudukan seimbang disini bagaimana Panitia Pengadaan Tanah sebagai pihak yang netral mengambil keputusan dari proses dialogis yang dilakukan dalam musyawarah antara pemegang hak atas tanah dengan instansi yang memerlukan tanah dengan memperhatikan aspirasi, pendapat, dan keinginan dari pemegang hak atas tanah sehingga tidak merugikan kehidupannya di kemudian hari jika pengadaan tanah di lakukan di lokasi tersebut.
Pengadaan tanah berbeda dengan pencabutan atas tanah yang dipaksakan walaupun tanpa musyawarah, apalagi untuk kebutuhan mendesak (Pasal 18 UUPA). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tiada pengadaan tanah tanpa musyawarah. Karena itu, pengadaan tanah berbasis pada kesepakatan, tanpa kesepakatan pada prinsipnya tidak ada pengadaan tanah. Kesepakatan dimaksud adalah kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian.
10
Maria S.W. Sumardjono, Kebijak an Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi, Kompas, Jakarta, 2009, h. 282-284.
(13)
4.4. Ganti Kerugian
Dalam Pengadaan tanah, pemberian ganti kerugian yang layak kepada pemegang hak atas tanah berdasarkan kesepakatan dalam prinsip musyawarah. Tiada pengadaan tanah tanpa ganti kerugian. Oleh karena itu penentuan bentuk dan besar ganti kerugian juga merupakan aspek penting dalam pengadaan tanah. Oleh karenanya pemberian ganti rugi harus mampu meningkatkan kesejahteraan pelepas hak secara ekonomi. Sehingga pemegang hak atas tanah tidak mengalami kemunduran ekonomi setelah adanya pengadaan tanah.
Ganti Kerugian merupakan penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah. Dalam ganti rugi terdapat beberapa unsur yaitu:
4.4.1.Penentu Penilaian Ganti Rugi
Salah satu unsur dari pengadaan tanah adalah pemberian ganti kerugian. Ganti rugi yang harus diberikan dalam pengadaan tanah haruslah ganti kerugian yang adil yang berarti bahwa pemberian ganti rugi tidak membuat seseorang menjadi lebih kaya atau lebih miskin dari keadaan semula11.
Dari penjelasan di atas, penulis menyimpulkan tolak ukur dari syarat ganti rugi yang layak yaitu apabila ganti kerugian yang diberikan setidaknya tidak membuat menurunnya taraf kehidupan dari masyarakat yang terkena pengadaan tanah, bahkan ganti kerugian tersebut memiliki syarat layak yang cukup baik apabila dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari pada tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelumnya.
11
(14)
Untuk memenuhi syarat layak tersebut, maka di setiap peraturan pengadaan tanah terdapat penentu penilaian ganti kerugian yang berbeda. Pada PMDN No. 15 Tahun 1975 dan Keppres No. 55 Tahun 1993 yang berkedudukan sebagai penentu ganti kerugian adalah Panitia Pengadaan Tanah, kemudian di Pepres No.36 Tahun 2005 jo Perpres No. 65 Tahun 2006 dilakukan oleh Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah dan di UU No. 22 Tahun 2012 penentu penilaian ganti kerugian dilakukan oleh Penilai Pertanahan.
4.4.2. Dasar Perhitungan
Untuk mencapai syarat yang ditentukan dalam pemberian ganti rugi dalam rangka pengadaan tanah tersebut, harus diperhitungkan dengan membuat standar tertentu. Dalam PMDN No. 15 Tahun 1975 dasar perhitungan ganti kerugian di dasarkan pada harga umum setempat atau harga rata-rata taksiran dari masing-masing anggota jika terjadi perbedaan taksiran. Sedangkan di Keppres No. 55 Tahun 1993 dan Perpres No. 36 Tahun 2005 jo Perpres No. 65 tahun 2006 dasar perhitungannya didasarkan pada:
a. Nilai Jual Objek Pajak atau Nilai nyata/sebenarnya, dengan memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak tahun berjalan berdasarkan penetapan/penilaian Lembaga/ Tim Penilai harga tanah yang ditunjuk oleh Panitia.
b. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan;
c. Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian.
(15)
Sedangkan di peraturan terbaru pengadaan tanah, yaitu UU No. 2 Tahun 2012 dasar perhitungan ganti kerugiannya didasarkan pada hasil penilaian dari penilai pertanahan yang penilalaian dilakukan bidang per bidang tanah meliputi:
- tanah,
- ruang atas dan bawah tanah,
- bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah - kerugian lain yang dapat dinilai.
Adanya dasar perhitungan tersebut bisa dijadikan sebagai acuan dalam penentuan besarnya nilai ganti rugi, sehingga ganti rugi yang diberikan benar-benar ada landasan perhitungannya yang pasti. Oleh karena itu dapat memperkecil kemungkinan adanya sikap sewenang-wenang Panitia Pengadaan Tanah dalam menentukan ganti kerugiannya. Apabila pemegang hak atas tanah merasa nilai ganti rugi yang di berikan masih belum sesuai dengan nilai tanahnya maka pemegang hak atas tanah dapat mengajukan keberatan.
B. Hasil Penelitian
Dalam bagian hasil penelitian ini penulis akan menjabarkan pasal demi pasal di berbagai peraturan yang mengatur tentang kedudukan Panitia Pengadaan Tanah sebagai penyelenggara kepentingan umum dalam setiap peraturan pengadaan tanah.
Peraturan tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum digunakan sebagai pedoman bagi Panitia Pengadan Tanah sebagai penyelenggara dari kepentingan umum sehingga Panitia Pengadaan Tanah dalam menjalankan kedudukannya dapat bersikap profesional dan independen. Dalam kedudukannya sebagai penyelenggara dari kepentingan umum Panitia Pengadaan
(16)
Tanah memiliki beberapa tolak ukur yang terdapat dalam masing-masing peraturan pengadaan tanah yaitu:
1. PMDN No. 15 Tahun 1975
Dalam peraturan ini, pengadaan tanah masih dikenal dengan istilah pembebasan tanah yaitu melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat di antara pemegang hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi. Dalam peraturan ini terdapat juga pengertian tentang Panitia Pembebasan Tanah yang merupakan suatu Panitia dengan tugas melakukan pemeriksaan/penelitian dan penetapan ganti rugi dalam rangka pembebasan sesuatu hak atas tanah dengan atau tanpa bangunan/tanaman tumbuh di atasnya, yang pembentukannya
ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah untuk masing-masing
Kabupaten/Kotamadya dalam suatu wilayah Provinsi yang bersangkutan.
Dalam peraturan ini juga dapat dilihat adanya susunan keanggotaan dari panitia pembebasan tanah yang terdiri dari unsur:
- Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya sebagai Ketua merangkap anggota.
- Seorang pejabat dari Kantor Pemerintah Daerah Tingkat II yang ditunjuk oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah yang bersangkutan sebagai anggota.
- Kepala Kantor IPEDA/IREDA atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota.
- Seorang pejabat yang ditunjuk oleh instansi yang memerlukan tanah tersebut sebagai anggota.
(17)
- Kepala Dinas Pekerjaan Umum Daerah Tingkat II atau pejabat yang ditunjuknya apabila mengenai tanah bangunan dan/atau Kepala Dinas Pertanian Daerah Tingkat II atau pejabat yang ditunjuknya jika mengenai tanah pertanian sebagai anggota.
- Kepala Kecamatan yang bersangkutan sebagai anggota.
- Kepala Desa atau yang dipersamakan dengan itu sebagai anggota. - Seorang pejabat dari Kantor Sub Direktorat Agraria
Kabupaten/Kotamadya yang ditunjuk oleh Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan sebagai Sekretaris bukan anggota.
Gubernur Kepala Daerah dapat membentuk Panitia Pembebasan Tanah Tingkat Provinsi dengan susunan keanggotaan dari instansi-instansi sepanjang tanah yang dibebaskan itu terletak di wilayah beberapa Kabupaten/Kotamadya atau jika menyangkut proyek-proyek khusus. Adapun tugas dari panitia pembebasan tanah yaitu:
- mengadakan inventarisasi serta penelitian setempat terhadap keadaan tanahnya, tanam tumbuh dan bangunan-bangunan;
- mengadakan perundingan dengan para pemegang hak atas tanah dan bangunan/tanaman;
- menaksir besarnya ganti rugi yang akan dibayarkan kepada yang berhak;
- membuat berita acara pembebasan tanah disertai
(18)
- menyaksikan pelaksanaan pembayaran ganti rugi kepada yang berhak atas tanah Bangunan/tanaman tersebut.
Hal lain yang diatur dalam peraturan ini pengaturan terkait ganti kerugian. Di dalam mengadakan penaksiran/penetapan mengenai besarnya ganti rugi, Panitia Pembebasan Tanah harus mengadakan musyawarah dengan para pemilik/pemegang hak atas tanah dan/atau benda/ tanaman yang ada di atasnya berdasarkan harga umum setempat.
Panitia Pembebasan Tanah berusaha agar dalam menentukan besamya ganti rugi terdapat kata sepakat diantara para anggota Panitia dengan memperhatikan kehendak dari para pemegang hak atas tanah. Apabila terdapat perbedaan taksiran ganti rugi di antara para anggota Panitia itu, maka yang dipergunakan adalah harga rata-rata dari taksiran masing-masing anggota. Kemudian keputusan Panitia Pembebasan Tanah mengenai besar/bentuknya ganti rugi tersebut disampaikan kepada instansi yang memerlukan tanah, para pemegang hak atas tanah dan para anggota Panitia yang turut mengambil keputusan.
Akan tetapi jika terjadi penolakan ganti kerugian oleh pemilik tanah, maka Panitia Pembebasan Tanah setelah menerima dan mempertimbangkan alasan penolakan tersebut, dapat mengambil sikap sebagai berikut:
- Tetap kepada putusan semula;
- Meneruskan surat penolakan dimaksud dengan disertai pertimbangan-pertimbangannya kepada Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan untuk diputuskan.
(19)
Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan setelah mempertimbangkan dari segala segi, dapat mengambil keputusan yang bersifat mengukuhkan putusan Panitia Pembebasan Tanah atau menentukan lain yang bertujuan mencari jalan tengah agar dapat diterima oleh kedua belah pihak. Keputusan Gubernur disampaikan kepada masing-masing pihak yang bersangkutan dan Panitia Pembebasan Tanah.
2. KEPPRES No. 55 Tahun 1993
Dengan berlakunya Keppres No 55 Tahun 1993 ini sudah tidak digunakannya lagi istilah pembebasan tanah, melainkan sudah menggunakan istilah pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Menurut Keppres No. 55 tahun 1993 ini, Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut. Prosedur pengadaan tanah dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Adapun pengertian dari pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah.
Untuk membantu jalannya pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, maka oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dibentuk Panitia Pengadaan Tanah yang disetiap Kabupaten atau Kotamadya Tingkat II. Jika dalam Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah Kabupaten/Kotamadya atau lebih dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah Tingkat Provinsi yang diketuai atau dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang
(20)
bersangkutan, dan susunan keanggotaannya sejauh mungkin mewakili Instansi-instansi yang terkait di Tingkat Provinsi dan Daerah Tingkat II yang bersangkutan. Panitia Pengadaan Tanah susunan keanggotaannya terdiri dari:
-Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II sebagai Ketua merangkap Anggota;
-Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai Wakil Ketua merangkap Anggota;
-Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan sebagai Anggota; -Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggungjawab di bidang
bangunan, sebagai Anggota;
-Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggungjawab di bidang pertanian, sebagai Anggota;
-Camat yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana rencana dan pelaksanaan pembangunan akan berlangsung sebagai Anggota;
-Lurah/Kepala Desa yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana rencana dan pelaksanaan pembangunan akan berlangsung, sebagai Anggota;
-Asisten Sekretaris Wilayah Desa Bidang Pemerintahan atau Kepala Bagian Pemerintahan pada Kantor Bupati/Walikotamadya sebagai Sekretaris I bukan Anggota;
-Kepala Seksi pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai Sekretaris II bukan Anggota.
(21)
Adapun tugas dari Panitia Pengadaan Tanah yaitu:
- mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan;
- mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya;
- menaksir dan mengusulkan besarnya ganti kerugian atas tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan;
- memberi penjelasan atau penyuluhan kepada pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut;
- mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian;
- menyaksikan pelaksanaan penyerahan uang ganti kerugian kepada para pemegang hak atas tanah bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atasnya;
- membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan melalui musyawarah secara langsung antara pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah. Dalam hal jumlah pemegang hak atas tanah tidak memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara efektif, maka musyawarah dilaksanakan Panitia Pengadaan Tanah dan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dengan wakil-wakil yang
(22)
ditunjuk diantara dan oleh para pemegang hak atas tanah, yang sekaligus bertindak selaku kuasa mereka. Musyawarah dipimpin oleh Ketua Panitia Pengadaan Tanah.
Adapun cara perhitungan ganti kerugian ditetapkan atas dasar:
- harga tanah yang didasarkan atas nilai nyata atau sebenarnya, dengan memperhatikan nilai jual obyek Pajak Bumi dan Bangunan yang terkait untuk tanah yang besangkutan;
- nilai jual bangunan yang ditaksir oleh Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggungjawab di bidang pertanian;
- nilai jual tanaman yang ditaksir oleh Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian.
Apabila dalam musyawarah telah dicapai kesepakatan antara pemegang hak atas tanah dan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah, maka Panitia Pengadaan Tanah mengeluarkan keputusan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian sesuai dengan kesepakatan tersebut. Jika musyawarah telah diupayakan berulang kali dan kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian tidak tercapai juga, Panitia Pengadaan Tanah mengeluarkan keputusan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian dengan sejauh mungkin memperhatikan pendapat, keinginan, saran dan pertimbangan yang berlangsung dalam musyawarah.
Jika pemegang hak atas tanah yang tidak menerima keputusan panitia Pengadaan Tanah dapat mengajukan keberatan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I disertai penjelasan mengenai sebab-sebab dan alasan keberatan tersebut. Kemudian setelah menerima keberatan dari pemilik tanah, Gubernur Kepala
(23)
Daerah Tingkat I mengupayakan penyelesaian mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian tersebut, dengan mempertimbangkan pendapat dan keinginan semua pihak. Setelah mendengar dan mempelajari pendapat dan keinginan pemegang hak atas tanah serta pertimbangan Panitia Pengadaan Tanah, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I mengeluarkan keputusan yang dapat mengukuhkan atau mengubah keputusan Panitia Pengadaan Tanah mengenai bentuk dan atau besarnya ganti kergian yang akan diberikan.
3. PERPRES No. 36 Tahun 2005 jo PERPRES No. 65 Tahun 2006
Sama dengan peraturan sebelumnya, dalam peraturan ini juga terdapat pengertian tentang pengadaan tanah yaitu setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dan dengan cara jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum di wilayah kabupaten/kota dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah kabupaten/kota yang dibentuk oleh Bupati/Walikota. Panitia pengadaan tanah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk oleh Gubernur. Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah kabupaten/kota atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah provinsi yang dibentuk oleh Gubernur. Pengadaan tanah yang terletak di dua
(24)
wilayah provinsi atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri yang terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur pemerintah daerah terkait. Susunan keanggotaan panitia pengadaan tanah terdiri atas unsur perangkat daerah terkait. Keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota paling banyak 9 (sembilan orang) dengan susunan sebagai berikut:
- Sekretaris Daerah sebagai Ketua merangkap Anggota;
- Pejabat dari unsur perangkat daerah setingkat eselon II sebagai Wakil Ketua merangkap Anggota;
- Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atau pejabat yang ditunjuk sebagai Sekretaris merangkap Anggota; dan
- Kepala Dinas/Kantor/Badan di Kabupaten/Kota yang terkait dengan pelaksanaan pengadaan tanah atau pejabat yang ditunjuk sebagai Anggota.
Adapun tugas dari Panitia Pengadaan Tanah yaitu:
- memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat;
- mengadakan penelitian dan inventarisasi atas bidang tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan;
- mengadakan penelitian mengenai status hukum bidang tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya;
(25)
- menerima hasil penilaian harga tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dari Lembaga atau Tim Penilai Harga Tanah dan pejabat yang bertanggungjawab menilai bangunan dan/atau tanaman dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah;
- mengadakan musyawarah dengan para pemilik dan instansi pemerintah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi;
- menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan;
- menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemilik;
- membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak;
- mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada instansi pemerintah yang memerlukan tanah dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota; dan
- menyampaikan permasalahan disertai pertimbangan penyelesaian pengadaan tanah kepada Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta apabila musyawarah tidak tercapai kesepakatan untuk pengambilan keputusan.
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan melalui musyawarah dalam rangka memperoleh kesepakatan mengenai:
(26)
- pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilokasi tersebut;
- bentuk dan besarnya ganti rugi.
Musyawarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah bersama panitia pengadaan tanah, dan instansi Pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah. Dalam hal jumlah pemegang hak atas tanah tidak memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara efektif, maka musyawarah dilaksanakan oleh panitia pengadaan tanah dan instansi Pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dengan wakil-wakil yang ditunjuk di antara dan oleh para pemegang hak atas tanah, yang sekaligus bertindak selaku kuasa mereka. Penunjukan wakil atau kuasa dari para pemegang hakharus dilakukan secara tertulis, bermaterai cukup yang diketahui oleh Kepala Desa/Lurah atau surat penunjukan/kuasa yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang. Musyawarah dipimpin oleh ketua panitia pengadaan tanah. Dalam rangka menetapkan dasar perhitungan ganti rugi didasarkan atas:
- Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh panitia;
- nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggungjawab di bidang bangunan;
- nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggungjawab di bidang pertanian.
(27)
Dalam rangka menetapkan dasar perhitungan ganti rugi, Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Ganti rugi diserahkan langsung kepada pemegang hak atas tanah atau yang berhak sesuai dengan peraturan perundang-undangan; atau nadzir bagi tanah wakaf.
Pemegang hak atas tanah yang tidak menerima keputusan panitia pengadaan tanah dapat mengajukan keberatan kepada Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan disertai dengan penjelasan mengenai sebab-sebab dan alasan keberatan tersebut.
Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan mengupayakan penyelesaian mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi tersebut dengan mempertimbangkan pendapat dan keinginan dari pemegang hak atas tanah atau kuasanya. Setelah mendengar dan mempelajari pendapat dan keinginan pemegang hak atas tanah serta pertimbangan panitia pengadaan tanah, Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan mengeluarkan keputusan yang dapat mengukuhkan atau mengubah keputusan panitia pengadaan tanah mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti rugi yang akan diberikan.
4. UU No 2 Tahun 2012
UU No. 2 Tahun 2012 merupakan peraturan terbaru dari pengadaan tanah yang didalamnya termuat definisi dari pengadaan tanah yaitu kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak danadil kepada pihak yang berhak. Perbedaan dengan peraturan tanah sebelumnya,
(28)
peraturan ini mencantumkan tujuan dari pengadaan tanah adalah menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak.
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diselenggarakan melalui perencanaan dengan melibatkan semua pengampu dan pemangku kepentingan yang merupakan pemuka agama dan tokoh adat. Menurut pendapat penulis, pemangku kepentingan merupakan pihak yang memiliki kepentingan terhadap obyek pelepasan tanah seperti pihak yang berhak, pemerintah dan masyarakat.
Sama halnya dengan peraturan yang lain, UU ini juga mengatur mengenai adanya proses musyawarah, tetapi menggunakan istilah lain yaitu konsultasi publik yang berarti proses komunikasi dialogis atau musyawarah antar pihak yang berkepentingan guna mencapai kesepahaman dan kesepakatan dalam perencanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Apabila pihak yang berhak berhalangan hadir, dapat dilakukan perwakilan dengan surat kuasa dari dan oleh pihak yang berhak atas lokasi rencana pembangunan.
Konsultasi Publik rencana pembangunan dilaksanakan untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari Pihak yang Berhak yang dilakukan dengan melibatkan Pihak yang Berhak dan masyarakat yang terkena dampak serta dilaksanakan di tempat rencana pembangunan Kepentingan Umum atau di tempat yang disepakati. Pelibatan Pihak yang Berhak dapat dilakukan melalui perwakilan dengan surat kuasa dari dan oleh Pihak yang Berhak atas lokasi rencana pembangunan. Kesepakatan dituangkan dalam bentuk berita acara kesepakatan. Atas dasar kesepakatan, Instansi yang memerlukan tanah mengajukan
(29)
permohonan penetapan lokasi kepada gubernur. Kemudian Gubernur menetapkan lokasi.
Apabila sampai dengan jangka waktu 60 (enam puluh)hari kerja pelaksanaan Konsultasi Publik rencana pembangunan terdapat pihak yang keberatan mengenai rencana lokasi pembangunan, dilaksanakan Konsultasi Publik ulang dengan pihak yang keberatan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja. Apabila dalam Konsultasi Publik ulang masih terdapat pihak yang keberatan mengenai rencana lokasi pembangunan, Instansi yang memerlukan tanah melaporkan keberatan dimaksud kepada Gubernur setempat.
Gubernur membentuk tim untuk melakukan kajian atas keberatan rencana lokasi pembangunan. Tim kajian terdiri atas:
- Sekretaris daerah provinsi atau pejabat yang ditunjuk sebagai ketua merangkap anggota;
- Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional sebagai sekretaris merangkap anggota;
- Instansi yang menangani urusan di bidang perencanaan pembangunan daerah sebagai anggota;
- Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai anggota;
- Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota; dan akademisi sebagai anggota.
Hasil kajian tim berupa rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan rencana lokasi pembangunan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan oleh Gubernur. Kemudian Gubernur
(30)
berdasarkan rekomendasi mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya keberatan atas rencana lokasi pembangunan. Dalam hal ditolaknya keberatan atas rencana lokasi pembangunan, Gubernur menetapkan lokasi pembangunan. Dalam hal diterimanya keberatan atas rencana lokasi pembangunan, Gubernur memberitahukan kepada Instansi yang memerlukan tanah untuk mengajukan rencana lokasi pembangunan di tempat lain.
Jika setelah penetapan lokasi pembangunan masih terdapat keberatan, Pihakyang Berhak terhadap penetapan lokasi dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara setempat paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dikeluarkannya penetapan lokasi.Pengadilan Tata Usaha Negara memutus diterima atau ditolaknya gugatan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya gugatan. Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalamwaktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima. Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi dasar diteruskan atau tidaknya Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk Kepentingan Umum. Lembaga Pertanahan menetapkan Penilai sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penilai Pertanahan, yang selanjutnya disebut Penilai adalah orang perseorangan yang melakukan penilaian secara independen dan profesional yang telah mendapat izin praktek penilaian dari Menteri Keuangan dan telah mendapat lisensi dari Lembaga Pertanahan untuk menghitung nilai/harga objek pengadaan tanah. Lembaga Pertanahan mengumumkan Penilai yang telah ditetapkan untuk
(31)
melaksanakan penilaian Objek Pengadaan Tanah yang memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab terhadap penilaian yang telah dilaksanakan. Pelanggaran terhadap kewajiban Penilai dikenakan sanksi administratif dan/ atau pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian oleh Penilai dilakukan bidang per bidang tanah, meliputi:
tanah;
-ruang atas tanah dan bawah tanah; -bangunan;
-tanaman;
-benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau -kerugian lain yang dapat dinilai.
Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh Penilai merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai disampaikan kepada Lembaga Pertanahan dengan berita acara yang menjadi dasar musyawarah penetapan Ganti Kerugian.
Lembaga Pertanahan melakukan musyawarah dengan Pihak yang Berhak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak hasil penilaian dari Penilai disampaikan kepada Lembaga Pertanahan untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Ganti Kerugian. Hasil kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak yang Berhak yang dimuat dalam berita acara kesepakatan.
(32)
Apabila tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian, Pihak yang Berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama14 (empat belas) hari kerja setelah musyawarah penetapan Ganti Kerugian. Pengadilan negeri memutus bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan.
Jika terdapat Pihak yang keberatan terhadap putusan pengadilan negeri dalamwaktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima. Putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran Ganti Kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan.
Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti· Kerugian, tetapi tidak mengajukan keberatan, karena hukum Pihak yang Berhak dianggap menerima bentuk dan besarnya Ganti Kerugian.
Pemberian Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah diberikan langsung kepada Pihak yang Berhak berdasarkan hasil penilaian yang ditetapkan dalam musyawarah dan/atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung. Pada saat pemberian Ganti Kerugian Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian wajib melakukan pelepasan hak dan menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan Objek Pengadaan Tanah kepada Instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan.
(33)
C. ANALISIS
Dari hasil penelitian yang telah penulis uraikan di atas, maka penulis akan memaparkan analisis independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam setiap peraturan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, sehingga dapat diketahui pasal-pasal dalam peraturan pengadaan tanah yang menjadi tolak ukur independesi Panitia Pengadaan Tanah, sebagai penyelenggara dari kepentingan umum.
Independensi yang penulis maksud disini merupakan independensi dalam konsep kedudukan Panitia Pengadaan Tanah di peraturan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang dalam proses pengadaan tanah harus bersikap netral dan tidak berpihak kepada salah satu pihak sekalipun itu pihak instansi yang memerlukan tanah, sehingga dalam menjalankan tugas dan kewenengannya sebagai penyelenggara dari kepentingan umum, panitia pengadaan tanah dapat bersikap obyektif tanpa menitikberatkan kepada salah satu pihak dalam mengambil sikap dan keputusan yang terkait dengan penyelenggaraan pengadaan tanah.
Sebelum menganalisis independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam masing-masing peraturan pengadaan tanah, penulis akan memaparkan tolak ukur independensi pemerintah dalam tiap peraturan pengadaan tanah yaitu sebagai berikut:
(34)
Tabel
Tolak Ukur Independesi Pemerintah dalam Peraturan Pengadaan Tanah
No. Tolak Ukur PMDN No.15 Tahun 1975
dan PMDN No.2
Tahun 1976
KEPPRES No. 55 Tahun 1993
dan Perka BPN No.1 Tahun
1994
PERPRES No. 36 Tahun 2005 jo PERPRES No. 65 Tahun
2006 dan Perka BPN No.3 Tahun
2007
UU No. 2 Tahun 2012
dan PERPRES No.71
Tahun 2012
1. Keanggotaan Panitia Pengadaan
Tanah
- Panitia pengadaan tanah terdiri dari: a.) Unsur Kantor Pertanahan b.) Instansi Pemerintah yang terkait c.) Instansi yang memerlukan tanah. d.) Kepala Kecamatan. e.) Kepala Desa (Pasal 2 PMDN No. 15 Tahun 1975)
- Panitia
pengadaan tanah terdiri dari: a.) Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II b.) Unsur Kantor Pertanahan c.) Instansi Pemerintah yang terkait
d.) Instansi yang memerlukan tanah. e.) Camat f.) Lurah/Kepala Desa
(Pasal 7 Keppres No. 55 Tahun 1993)
- Panitia
pengadaan tanah terdiri dari: a.) Unsur Kantor Pertanahan b.) Instansi Pemerintah yang terkait
c.) Instansi yang memerlukan tanah.
(Pasal 6 Perpres No.65 Tahun 2006 jo Pasal 14 Perka BPN No. 3 Tahun 2007)
- Panitia
pengadaan tanah terdiri dari: a.) Tim Persiapan Pengadaan Tanah yang
beranggotakan: Bupati/Walikota, satuan kerja perangkat daerah Provinsi
terkait, Instansi yang memerlukan tanah, dan Instansi terkait lainnya.
(Pasal 9 Perpres No.71 Tahun 2012)
b.) Tim Kajian atas Keberatan Rencana Lokasi Pembangunan yang
(35)
beranggotakan: - Unsur Kantor Pertanahan - Instansi
Pemerintah yang terkait
- Instansi yang memerlukan tanah. - akademisi sebagai anggota. (Pasal 21 ayat (3)UU No. 2 Tahun 2012) c.)Tim
Pelaksanaan yang beranggotakan: - Unsur Kantor Pertanahan - Instansi
Pemerintah yang terkait
- Instansi yang memerlukan tanah.
- Carnat setempat pada lokasi
Pengadaan Tanah - Lurah/ Kepala Desa atau nama lain pada lokasi Pengadaan Tanah. (Pasal 49 Perpres No.71 Tahun 2012)
(36)
2. Penentuan Ganti Kerugian -Penilaian Ganti Kerugian -Dasar Penilaian Ganti Kerugian
- Dilakukan oleh panitia pembebasan tanah.
(Pasal 3 huruf c PMDN No. 15 Tahun 1975)
-Didasarkan pada: -harga umum setempat, -lokasi, -faktor-faktor strategis yang dapat
mempengaruhi harga tanah -ketentuan yang telah ditetapkan oleh Dinas
Pekerjaan Umum/Dinas Pertanian setempat. (Pasal 6 ayat
- Dilakukan oleh panitia
pengadaan tanah.
(Pasal 8 ayat (3) Keppres No. 55 Tahun 1993)
-Didasarkan pada: -Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/ sebenarnya, -faktor-faktor strategis yang dapat
mempengaruhi harga tanah. (Pasal 15 Kepres No. 55 Tahun 1993 jo Pasal 16 dan Pasal 17 Perka BPN No.1 Tahun 1994)
- Dilakukan oleh Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang profesional dan independen. (Pasal 1 ayat (12) Perpres No. 36 Tahun 2005
jo Pasal 27 Perka BPN No. 3 Tahun 2007)
-Didasarkan pada: -Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/ sebenarnya, -nilai jual bangunan -nilai jual tanaman
(Pasal 15 Pepres No.65 Tahun 2006)
-Dilakukan oleh Penilai
Pertanahan yang telah mendapat izin praktik penilaian dari Menteri Keuangan dan telah mendapat lisensi dari Lembaga Pertanahan. (Pasal 1 ayat (11)
jo Pasal 63 Perpres No. 71 Tahun 2012)
- Didasarkan pada penilaian penilai pertanahan yang penilalaian dilakukan bidang per bidang tanah meliputi: - tanah,
- ruang atas dan bawah tanah, -bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah -kerugian lain yang dapat dinilai.
(Pasal 31 UU No. 2 Tahun 2012 jo
(37)
- Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian
- Jika Pemilik Tanah Tidak Setuju Dengan Penetapan Ganti Kerugian
(1) dan ayat (2) huruf a PMDN No. 15 Tahun 1975)
-Dilakukan oleh Panitia pembebasan tanah dengan para
pemilik/pemeg ang hak atas tanah. (Pasal 6 ayat (10 PMDN No. 15 Tahun 1975)
-Pengajuan penolakan atas penentuan ganti kerugian diajukan kepada Panitia pembebasan tanah. (Pasal 7 PMDN No. 15 Tahun 1975)
-Dilakukan oleh Panitia
pengadaan tanah dengan para pemilik/ pemegang hak atas tanah. (Pasal 8 ayat (5) Keppres No. 55 Tahun 1993 jo
Pasal 14 Perka BPN No.1 Tahun 1994)
-Pengajuan keberatan atas penentuan ganti kerugian
diajukan kepada Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I (Pasal 20 Keppres No. 55 Tahun 1993 jo
Pasal 23 dan Pasal 24 Perka BPN No. 1 Tahun 1994)
-Dilakukan oleh Panitia
pengadaan tanah dengan para pemilik/ pemegang hak atas tanah. (Pasal 7 huruf e Perpres No. 65 Tahun 2006 jo
14 ayat 3 huruf f Perka BPN No.3 Tahun 2007)
-Pengajuan keberatan atas penentuan ganti kerugian
diajukan kepada Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri. (Pasal 17 Perpres No. 36 Tahun 2005 jo
Pasal 41 ayat (1) Perka BPN No. 3 Tahun 2007)
Pasal 65 Perpres No. 71 Tahun 2012)
-Dilakukan oleh Panitia pengadaan tanah dengan para pemilik/
pemegang hak atas tanah. (Pasal 37 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2012 jo Pasal 68 Perpres No.71 Tahun 2012)
-Pengajuan keberatan atas penentuan ganti kerugian diajukan kepada:
- Panitia
pengadaan tanah - Pengadilan Negeri - Mahkamah Agung.
(Pasal 38 UU No. 2 Tahun 2012 jo
Pasal 73 Perpres No. 71 Tahun 2012)
(38)
- Penetapan Ganti Kerugian - Didasarkan atas Keputusan Bupati/Walikot a atau Gubernur. (Pasal 8 PMDN No. 15 Tahun 1975)
- Didasarkan atas Keputusan Bupati/Walikota atau Gubernur. (Pasal 20 Keppres No. 55 Tahun 1993 Tahun jo Pasal 23 Perka No. 3 Tahun 1994)
- Didasarkan atas Keputusan Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri (Pasal 41 ayat (7) Perka BPN No.3 Tahun 2007)
- Didasarkan atas Keputusan Gubernur dan putusan/ Pengadilan Negeri atau Mahkamah Agung.
(Pasal 38 ayat (5) UU No. 2 Tahun 2012)
Sumber: Diolah dari Peraturan Pengadaan Tanah di Indonesia.
1. PMDN No. 15 Tahun 1975
Dalam peraturan ini, pengadaan tanah menggunakan istilah pembebasan tanah yang penjelasannya tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) PMDN No. 15 Tahun 1975. Pembebasan tanah tersebut juga disebut dengan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang dapat diartikan dengan penyerahan hak oleh pemilik atau pemegang hak atas tanah kepada Panitia pembebasan tanah. Pengertian tersebut mengandung arti bahwa pembebasan tanah merupakan tindakan sepihak dari pemerintah melalui panitia pembebasan tanah kepada pemegang hak atas tanah. dengan adanya tindakan sepihak pemerintah tersebut berarti pemerintah menyalah gunakan kekuasaannya. Selain itu perbuatan melepaskan hubungan hukum mempunyai arti bahwa yang bermaksud melepaskan hak atas tanah adalah pemilik/pemegang hak atas tanah, bukan kehendak pemerintah, dan seolah olah
(39)
pemegang hak atas tanah melepaskan tanahnya dengan sukarela tidak ada unsur paksaan. Meskipun dalam peraturan tersebut terdapat adanya penggantian ganti rugi dan berdasarkan asas musyawarah (Pasal 1 ayat (3)). Tetapi dalam musyawarah tersebut terdapat kata sepakat diantara para anggota Panitia. Kesepakatan yang penulis maksud di sini bukan kesepakatan antara Panitia dengan pemilik tanah, melainkan kesepakatan dalan intern panitia itu sendiri sehingga dalam pembebasan hak atas tanah itu, kehendak dari pemegang hak atas tanah kurang diperhatikan. Adanya kesepakatan yang terjadi hanya dalam intern panitia pembebasan tanah tersebut terlihat bahwa tidak independen karena tidak adanya keterlibatan pihak lain dalam pembuatan kesepakatan terhadap hasil musyawarah, maka dari itu terlihat jelas keterpihakan Panitia Pengadaan Tanah kepada instansi yang memerlukan tanah. Selain itu jika terjadi perbedaan taksiran ganti rugi diantara para anggota panitia, maka yang dipergunakan adalah harga rata-rata dari taksiran masing-masing anggota yang tercantum dalam Pasal 6 ayat (3). Dengan penggunaan harga rata-rata dari taksiran masing-masing anggota terlihat bahwa tidak ada Independensi dari Panitia Pengadaan Tanah karena pada saat penentuan harga rata-rata taksiran tersebut sangat besar kemungkinan terjadinya kerjasama di antara para anggota panitia, sehingga dapat merugikan pemegang hak atas tanah. Seharusnya kesepakatan pembebasan atau pelepasan hak atas tanah beserta ganti ruginya dari kedua belah pihak yaitu dari pemegang hak atas tanah dan Panitia pembebasan tanah bukan hanya sepihak dari Panitia pembebasan tanah saja. Peraturan ini juga menjabarkan mengenai susunan keanggotaan panitia pembebasan tanah beserta tugasnya di Pasal 2 dan Pasal 3 PMDN No. 15 Tahun 1975. Tugas Panitia Pembebasan Tanah tersebut memiliki
(40)
cakupan yang sangat luas karena selain sebagai pelaksana pembebasan tanah juga merangkap sebagai tim penaksir harga tanah. Hal tersebut bisa memunculkan permasalahan pada pelaksanaan pembebasan tanah karena kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah semakin besar.
Dalam peraturan ini juga mengatur adanya kesempatan yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah untuk mengajukan keberatan terhadap hasil musyawarah ganti rugi kepada Panitia pembebasan tanah yang tercamtum di Pasal 7 PMDN No. 15 Tahun 1975. Setelah itu Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan dapat mengambil keputusan mengenai keberatan terhadap hasil musyawarah tersebut. Dari adanya pengajuan keberatan terhadap bentuk/besarnya ganti kerugian yang ditetapkan oleh Gubernur tersebut terlihat bahwa tidak ada independensi dari penyelenggaraan pengadaan tanah yang dilakukan oleh Panitia Pengadaan Tanah, karena di peraturan ini memposisikan Gubernur memiliki kuasa penuh dalam penyelenggaraan pengadaan tanah, bahkan keputusan terakhir mengenai bentuk/besarnya ganti kerugian juga menjadi kekuasaan dari Gubernur, padahal di satu sisi Gubernur merupakan bagian dari pemerintah itu sendiri. Maka dari itu tentu akan sangat sulit bagi Gubernur untuk bersikap profesional dan netral dalam menjalankan kedudukannya sebagai penyelenggara kepentingan umum.
Pada penjelasan di atas, setelah dianalisis dari tolak ukur independensi dalam PMDN No. 15 Tahun 1975 yaitu keanggotaan Panitia Pembebasan Tanah dan proses penentuan ganti kerugian menurut pendapat penulis terlihat bahwa tidak ada independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam menjalankan kedudukannya sebagai penyelenggara dari kepentingan umum karena dalam
(41)
peraturan ini semua proses pembebasan tanah dilakukan oleh unsur dari pemerintah itu sendiri tanpa adanya keterlibatan dari pihak masyarakat maupun pihak akademisi bahkan keputusan akhir yang terkait dengan penentuan ganti kerugian juga berada di tangan Pemerintah, sehingga mengakibatkan kondisi masyarakat sangat terdesak dan terjadinya tindakan sewenang-wenang Pemerintah.
2. KEPPRES No. 55 Tahun 1993
Pengadaan tanah dibantu oleh panitia pengadaan tanah yang susunan anggotanya tercantum dalam Pasal 7. Dalam susunan keanggotaan panitia pengadaan tanah tersebut terlihat adanya keterlibatan Lurah/Kepala Desa yang mengetahui secara baik kondisi sosial, ekonomi dan budaya dari masyarakat sekitar yang terkena pengadaan tanah, sehingga Lurah/Kepala Desa tersebut merupakan wakil dari masyarakat yang dilibatkan dalam keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah. Meskipun demikian keterlibatan Lurah/Kepala Desa belum tentu bisa dijadikan sebagai jaminan adanya Independensi Panitia Pengadaan Tanah, karena Lurah dipilih oleh Pemerintah Daerah sehingga Lurah juga merupakan bagian dari pemerintah itu sendiri, sedangkan Kepala Desa dipilih oleh masyarakat secara langsung. Dari adanya sistem pemilihan Lurah/Kepala Desa tersebut terlihat bahwa masih dimungkinkan tidak profesionalnya dalam menjalankan kedudukannya karena Lurah/Kepala Desa tersebut besar kemungkinannya lebih memihak kepada kepentingan Pemerintah bukan kepentingan dari masyarakat. Selain itu tidak ada keterlibatan akademisi dalam keanggotaan panitia pengadaan tanah sehingga memperkecil kemungkinan Panitia
(42)
Pengadaan Tanah untuk dapat bersikap profesional dan independen dalam melaksanakan proses pengadaan tanah.
Dalam pengadaan tanah, panitia pengadaan tanah memiliki berbagai macam tugas salah satunya adalah melakukan musyawarah dengan para pemilik tanah yang tercantum dalam Pasal 10 Keppres No. 55 Tahun 1993 jo Pasal 14 Perka BPN No. 1 Tahun 1994. Dalam kegiatan musyawarah ini panitia sebagai penyelenggara dari kepentingan umum berperan sebagai mediator antara instansi yang memerlukan tanah dengan masyarakat selaku pemegang hak atas tanah. mediator yang penulis maksud di sini yaitu Panitia Pengadaan Tanah sebagai tempat menampung aspirasi dan keinginan dari masyarakat yang terkena pengadaan tanah untuk disampaikan kepada instansi yang memerlukan tanah. Posisi Panitia Pengadaan Tanah yang merupakan mediator tersebut berarti harus dapat bersikap netral tanpa mengusung kepentingan salah satu pihak pun meskipun pihak instansi yang memerlukan tanah sekalipun.
Kegiatan musyawarah yang dilakukan bertujuan untuk menetapkan bentuk/besarnya ganti kerugian yang tercantum dalam Pasal 15 Kepres No. 55 Tahun 1993 jo Pasal 16 dan Pasal 17 Perka BPN No. 1 Tahun 1994 yang perhitungannya didasarkan pada:
- Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya, - faktor-faktor strategis yang dapat mempengaruhi harga tanah.
Dengan adanya dasar penilaian tersebut dapat memperkecil terjadinya penyalah gunaan kedudukan Panitia Pengadaaan Tanah di proses penentuan ganti kerugian karena pemegang hak atas tanah mempunyai acuan dalam penentuan besarnya nilai ganti rugi, sehingga pemerintah tidak sewenang-wenang dalam menentukan
(43)
ganti kerugiannya dan jika pemegang hak atas tanah merasa nilai ganti rugi yang di berikan masih belum sesuai dengan nilai tanahnya maka pemegang hak atas tanah dapat mengajukan keberatan.
Sama dengan peraturan sebelumnya, peraturan ini juga mengatur adanya kesempatan yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah untuk mengajukan keberatan terhadap hasil musyawarah penetapan ganti rugi kepada Panitia Pengadaan Tanah setelah itu dilanjutkan ke Gubernur. Dari adanya pengajuan keberatan tersebut terlihat bahwa tidak ada independensi Panitia Pengadaan Tanah karena di peraturan ini memposisikan Gubernur memiliki kuasa penuh dalam penyelenggaraan pengadaan tanah, bahkan dalam peraturan ini Gubernurlah yang berhak memutuskan mengenai keberatan terhadap penetapan bentuk/besarnya ganti kerugian padahal di satu sisi Gubernur merupakan bagian dari Panitia Pengadaan Tanah itu sendiri. Maka dari itu tentu akan sangat sulit bagi Gubernur untuk bersikap netral dan independen dalam menjalankan kedudukannya sebagai penyelenggara kepentingan umum karena dengan posisi Gubernur yang memiliki kuasa penuh tersebut dapat memperbesar kesempatan adanya penyalahgunaan kekuasaan sehingga Gubernur tersebut lebih memihak pada kepentingan instansi yang memerlukan tanah dan mengesampingkan kepentingan dari masyarakat.
Dari penjelasan di atas, setelah dianalisis dari tolak ukur independensi dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 yaitu keanggotaan Panitia Pembebasan Tanah, penentuan lokasi, dan proses penentuan ganti kerugian menurut pendapat penulis terlihat bahwa tidak ada independensi Panitia Pengadaan Tanah dalam menjalankan kedudukannya sebagai penyelenggara dari kepentingan umum karena dalam peraturan ini semua proses pengadaan tanah dilakukan oleh unsur
(44)
dari pemerintah itu sendiri meskipun dalam susunan anggota panitia pengadaan tanah di peraturan ini sudah ada keterlibatan Lurah/Kepala Desa, namun keberadaannya belum bisa menjadi jaminan Pemerintah untuk Independen, sehingga kemungkinan untuk terjadinya intervensi pemerintah dalam proses pengadaan tanah sangat besar yang berakibat pada semakin kecilnya kemungkinan Panitia Pengadaan Tanah untuk dapat profesional dan independen dalam menjalankan kedudukannya sebagai penyelenggara dari kepentingan umum.
3. PERPRES No 36 Tahun 2005 jo PERPRES No 65 Tahun 2006
Kegiatan Pengadaan tanah dilakukan oleh panitia pengadaan tanah. Susunan keanggotaan panitia pengadaan tanah yang tercantum dalam Pasal 6 Perpres No. 65 Tahun 2006 jo Pasal 14 Perka BPN No. 3 Tahun 2007 terdiri dari pihak pemerintah itu sendiri dan tidak adanya keterlibatan pihak akademisi maupun perwakilan dari masyarakat dalam keanggotaan kepanitiaan sehingga memperkecil kemungkinan Panitia Pengadaan Tanah tidak dapat independen dalam melaksanakan proses pengadaan tanah.
Dalam peraturan ini yang membedakan dengan peraturan sebelumnya di proses musyawarah ganti kerugian yaitu adanya lembaga/tim penilai harga tanah yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (12) Perpres No. 36 Tahun 2005 yang bertugas untuk menentukan nilai harga tanah yang akan dijadikan sebagai dasar penentuan jumlah/besarnya ganti kerugian. Lembaga/tim penilai harga tanah ini merupakan lembaga/tim yang profesional dan independen untuk menentukan nilai/harga tanah yang akan digunakan sebagai dasar guna mencapai kesepakatan atas jumlah/besarnya ganti rugi. Dengan adanya Lembaga/tim penilai harga tanah
(45)
dapat meminimalisir kemungkinan Panitia Pengadaan Tanah untuk memihak pada salah satu kepentingan dalam penentuan bentuk dan besarnya ganti kerugian karena dengan adanya keterlibatan Lembaga/tim penilai harga tanah, setidaknya Panitia Pengadaan Tanah telah melibatkan pihak ketiga diluar dari pihak pemerintah itu sendiri, sehingga dimungkinkan bisa lebih obyektif dalam menentukan nilai/harga tanah yang akan digunakan sebagai dasar guna mencapai kesepakatan atas jumlah/besarnya ganti rugi. Selain itu dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan pada:
- Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/ sebenarnya,
- nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggungjawab di bidang bangunan,
- nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggungjawab di bidang pertanian.
Dalam dasar penetuan besarnya ganti kerugian di peraturan ini melibatkan perangkat daerah yang bertanggungjawab di bidang bangunan dan pertanian, sehingga terlihat bahwa penilaian terhadap besarnya ganti kerugian tidak dilakukan secara sewenang-wenang oleh Pemerintah karena pemegang hak atas tanah mempunyai acuan dalam penentuan nilai ganti rugi.
Setelah adanya musyawarah, terdapat adanya kesempatan yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah untuk mengajukan keberatan terhadap hasil musyawarah ganti rugi kepada Panitia pengadaan tanah setelah itu baru ke Gubernur ataupun Menteri Dalam Negeri. Berbeda dari dua peraturan sebelumnya, adanya pengajuan keberatan terhadap hasil musyawarah di peraturan ini juga bisa diajukan ke Menteri Dalam Negeri namun di satu sisi Menteri itu
(46)
merupakan bagian dari pemerintah itu sendiri. Oleh sebab itu tentu akan sangat sulit bagi Menteri Dalam Negeri untuk bersikap profesional dan independen dalam mengambil keputusan terhadap keberatan yang diajukan tanpa mengusung kepentingan dari instansi yang memerlukan tanah.
Dari analis peraturan di atas penulis berpendapat bahwa independensi Panitia Pengadaan Tanah apabila dilihat tolak ukur independensi sudah mulai diperhatikan dengan baik karena dalam peraturan ini di proses penentuan ganti kerugiannya dilibatkan Lembaga/Tim Penilai harga Tanah sehingga penilaian terhadap bentuk/besarnya ganti kerugian dimungkinkan untuk bisa lebih obyektif. Adanya penilaian yang obyektif tersebut berarti penilaian yang dilakukan tidak merugikan pihak masyarakat selaku pemegang hak atas tanah.
4. UU No. 2 Tahun 2012
Menurut Pasal 3 dinyatakan bahwa tujuan dari pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum adalah menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak.
Dalam peraturan ini terlihat adanya susunan anggota Panitia Pengadaan Tanah yang melibatkan Lurah/Kepala Desa dalam susunan anggota Tim Pelaksanaan yang mengetahui secara baik kondisi sosial, ekonomi dan budaya dari masyarakat sekitar yang terkena pengadaan tanah serta mengetahui bagaimana kondisi tanah di daerah yang terkena pengadaan tanah tersebut, sehingga keterlibatannya bisa dijadikan sebagai lambang dan merupakan wakil dari masyarakat dalam keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah. Meskipun
(47)
demikian keterlibatan Lurah/Kepala Desa belum tentu bisa dijadikan sebagai jaminan adanya Independensi Panitia Pengadaan Tanah, karena Lurah dipilih oleh Pemerintah Daerah sehingga Lurah juga merupakan bagian dari pemerintah itu sendiri, sedangkan Kepala Desa dipilih oleh masyarakat secara langsung. Dari adanya sistem pemilihan Lurah/Kepala Desa tersebut terlihat bahwa masih dimungkinkan tidak profesionalnya dalam menjalankan kedudukannya karena Lurah/Kepala Desa tersebut besar kemungkinannya lebih memihak kepada kepentingan Pemerintah bukan kepentingan dari masyarakat.
Selain Lurah/Kepala Desa terlihat adanya itu keterlibatan akademisi dalam keanggotaan panitia pengadaan tanah yang merupakan pihak diluar Instansi Pemerintah sehingga Panitia Pengadaan Tanah dapat bersikap lebih profesional dan independen dalam melaksanakan proses pengadaan tanah.
Dalam peraturan ini dikenal adanya Konsultasi Publik yang merupakan proses komunikasi dialogis atau musyawarah antar pihak yang berkepentingan guna mencapai kesepahaman dan kesepatan dalam perencanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Apabila setelah diadakannya konsultasi publik, masih terdapat pihak yang keberatan, maka dapat mengajukan keberatan yang pengaturannya terdapat dalam Pasal 35 ayat (3) Perpres No. 71 Tahun 2012. Jika terdapat keberatan Gubernur membentuk Tim Kajian yang salah satu anggotanya merupakan akademisi. Dari adanya keterlibatan akademisi dalam tim kajian tersebut, terlihat adanya independensi keanggotaan kepanitiaan karena akademisi merupakan pihak diluar dari pemerintah sehingga tim kajian tersebut dapat melakukan kajian dengan lebih profesional dan obyektif tanpa mengusung kepentingan dari salah satu pihak.
(1)
dari pemerintah itu sendiri meskipun dalam susunan anggota panitia pengadaan tanah di peraturan ini sudah ada keterlibatan Lurah/Kepala Desa, namun keberadaannya belum bisa menjadi jaminan Pemerintah untuk Independen, sehingga kemungkinan untuk terjadinya intervensi pemerintah dalam proses pengadaan tanah sangat besar yang berakibat pada semakin kecilnya kemungkinan Panitia Pengadaan Tanah untuk dapat profesional dan independen dalam menjalankan kedudukannya sebagai penyelenggara dari kepentingan umum.
3. PERPRES No 36 Tahun 2005 jo PERPRES No 65 Tahun 2006
Kegiatan Pengadaan tanah dilakukan oleh panitia pengadaan tanah. Susunan keanggotaan panitia pengadaan tanah yang tercantum dalam Pasal 6 Perpres No. 65 Tahun 2006 jo Pasal 14 Perka BPN No. 3 Tahun 2007 terdiri dari pihak pemerintah itu sendiri dan tidak adanya keterlibatan pihak akademisi maupun perwakilan dari masyarakat dalam keanggotaan kepanitiaan sehingga memperkecil kemungkinan Panitia Pengadaan Tanah tidak dapat independen dalam melaksanakan proses pengadaan tanah.
Dalam peraturan ini yang membedakan dengan peraturan sebelumnya di proses musyawarah ganti kerugian yaitu adanya lembaga/tim penilai harga tanah yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (12) Perpres No. 36 Tahun 2005 yang bertugas untuk menentukan nilai harga tanah yang akan dijadikan sebagai dasar penentuan jumlah/besarnya ganti kerugian. Lembaga/tim penilai harga tanah ini merupakan lembaga/tim yang profesional dan independen untuk menentukan nilai/harga tanah yang akan digunakan sebagai dasar guna mencapai kesepakatan atas jumlah/besarnya ganti rugi. Dengan adanya Lembaga/tim penilai harga tanah
(2)
dapat meminimalisir kemungkinan Panitia Pengadaan Tanah untuk memihak pada salah satu kepentingan dalam penentuan bentuk dan besarnya ganti kerugian karena dengan adanya keterlibatan Lembaga/tim penilai harga tanah, setidaknya Panitia Pengadaan Tanah telah melibatkan pihak ketiga diluar dari pihak pemerintah itu sendiri, sehingga dimungkinkan bisa lebih obyektif dalam menentukan nilai/harga tanah yang akan digunakan sebagai dasar guna mencapai kesepakatan atas jumlah/besarnya ganti rugi. Selain itu dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan pada:
- Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/ sebenarnya,
- nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggungjawab di bidang bangunan,
- nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggungjawab di bidang pertanian.
Dalam dasar penetuan besarnya ganti kerugian di peraturan ini melibatkan perangkat daerah yang bertanggungjawab di bidang bangunan dan pertanian, sehingga terlihat bahwa penilaian terhadap besarnya ganti kerugian tidak dilakukan secara sewenang-wenang oleh Pemerintah karena pemegang hak atas tanah mempunyai acuan dalam penentuan nilai ganti rugi.
Setelah adanya musyawarah, terdapat adanya kesempatan yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah untuk mengajukan keberatan terhadap hasil musyawarah ganti rugi kepada Panitia pengadaan tanah setelah itu baru ke Gubernur ataupun Menteri Dalam Negeri. Berbeda dari dua peraturan sebelumnya, adanya pengajuan keberatan terhadap hasil musyawarah di peraturan ini juga bisa diajukan ke Menteri Dalam Negeri namun di satu sisi Menteri itu
(3)
merupakan bagian dari pemerintah itu sendiri. Oleh sebab itu tentu akan sangat sulit bagi Menteri Dalam Negeri untuk bersikap profesional dan independen dalam mengambil keputusan terhadap keberatan yang diajukan tanpa mengusung kepentingan dari instansi yang memerlukan tanah.
Dari analis peraturan di atas penulis berpendapat bahwa independensi Panitia Pengadaan Tanah apabila dilihat tolak ukur independensi sudah mulai diperhatikan dengan baik karena dalam peraturan ini di proses penentuan ganti kerugiannya dilibatkan Lembaga/Tim Penilai harga Tanah sehingga penilaian terhadap bentuk/besarnya ganti kerugian dimungkinkan untuk bisa lebih obyektif. Adanya penilaian yang obyektif tersebut berarti penilaian yang dilakukan tidak merugikan pihak masyarakat selaku pemegang hak atas tanah.
4. UU No. 2 Tahun 2012
Menurut Pasal 3 dinyatakan bahwa tujuan dari pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum adalah menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak.
Dalam peraturan ini terlihat adanya susunan anggota Panitia Pengadaan Tanah yang melibatkan Lurah/Kepala Desa dalam susunan anggota Tim Pelaksanaan yang mengetahui secara baik kondisi sosial, ekonomi dan budaya dari masyarakat sekitar yang terkena pengadaan tanah serta mengetahui bagaimana kondisi tanah di daerah yang terkena pengadaan tanah tersebut, sehingga keterlibatannya bisa dijadikan sebagai lambang dan merupakan wakil dari masyarakat dalam keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah. Meskipun
(4)
demikian keterlibatan Lurah/Kepala Desa belum tentu bisa dijadikan sebagai jaminan adanya Independensi Panitia Pengadaan Tanah, karena Lurah dipilih oleh Pemerintah Daerah sehingga Lurah juga merupakan bagian dari pemerintah itu sendiri, sedangkan Kepala Desa dipilih oleh masyarakat secara langsung. Dari adanya sistem pemilihan Lurah/Kepala Desa tersebut terlihat bahwa masih dimungkinkan tidak profesionalnya dalam menjalankan kedudukannya karena Lurah/Kepala Desa tersebut besar kemungkinannya lebih memihak kepada kepentingan Pemerintah bukan kepentingan dari masyarakat.
Selain Lurah/Kepala Desa terlihat adanya itu keterlibatan akademisi dalam keanggotaan panitia pengadaan tanah yang merupakan pihak diluar Instansi Pemerintah sehingga Panitia Pengadaan Tanah dapat bersikap lebih profesional dan independen dalam melaksanakan proses pengadaan tanah.
Dalam peraturan ini dikenal adanya Konsultasi Publik yang merupakan proses komunikasi dialogis atau musyawarah antar pihak yang berkepentingan guna mencapai kesepahaman dan kesepatan dalam perencanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Apabila setelah diadakannya konsultasi publik, masih terdapat pihak yang keberatan, maka dapat mengajukan keberatan yang pengaturannya terdapat dalam Pasal 35 ayat (3) Perpres No. 71 Tahun 2012. Jika terdapat keberatan Gubernur membentuk Tim Kajian yang salah satu anggotanya merupakan akademisi. Dari adanya keterlibatan akademisi dalam tim kajian tersebut, terlihat adanya independensi keanggotaan kepanitiaan karena akademisi merupakan pihak diluar dari pemerintah sehingga tim kajian tersebut dapat melakukan kajian dengan lebih profesional dan obyektif tanpa mengusung kepentingan dari salah satu pihak.
(5)
Dalam proses musyawarah ganti kerugian terdapat adanya Penilai Pertanahan yang merupakan orang perseorangan yang melakukan penilaian secara independen dan profesional yang telah mendapatkann izin praktek penilaian dari Menteri Keuangan dan telah mendapatkan lisensi dari BPN untuk menghitung nilai/harga objek pengadaan tanah yang tercantum dalam Pasal 32 UU no. 2 Tahun 2012 jo Pasal 63 Perpres 71 Tahun 2012. Dari adanya keterlibatan penilai pertanahan dalam menentukan besarnya nilai ganti kerugian yang akan diterima oleh pemegang hak atas tanah, keobyektifan terhadap penilaian besarnya ganti kerugian dapat berjalan secara baik karena penilai pertanahan merupakan pihak perseorangan yang berkompeten di bidangnya yang dilibatkan dalam panitia pengadaan tanah. Penilai pertanahan dalam melakukan penilaian terhadap besarnya ganti kerugian tidak memihak kepada pihak manapun baik pihak instansi yang memerlukan tanah maupun pihak pemegang hak atas tanah, maka independensi pemerintah dalam menjalankan kedudukannya sebagai penyelenggara dari kepentingan umum di UU No. 2 Tahun 2012 dapat berjalan secara baik.
Di peraturan ini dasar penilaian ganti kerugiannya didasarkan pada penilaian penilai pertanahan yang pengaturannya tercantum dalam Pasal 31 UU No. 2 Tahun 2012 jo Pasal 65 Perpres No. 71 Tahun 2012 yang penilalaian dilakukan bidang per bidang tanah meliputi tanah, ruang atas dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah dan kerugian lain yang dapat dinilai.
Dari dasar penilaian ganti kerugian terlihat bahwa Pemerintah tidak berlaku sewenang-wenang dalam penentuan besarnnya ganti kerugian karena didasar
(6)
perhitungan tersebut, di perkirakan adanya kerugian-kerugian lain yang mungkin terjadi dan dapat dinilai selain itu dasar perhitungannya sangat spesifik sehingga terlihat adanya Independensi Panitia Pengadaan Tanah. Dalam menjalankan kedudukannya Di proses penentuan ganti kerugian, Panitia Pengdaan Tanah terlihat obyektif memberikan penilaiannya dan tidak cenderung memihak pada kepentingan Instansi yang memerlukan tanah.
Setelah menentukan dasar penilaian ganti rugi, dalam musyawarah membahas mengenai bentuk ganti rugi yang akan diberikan kepada pihak yang berhak. Apabila dalam musyawarah tersebut terdapat pihak yang keberatan, maka diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan seperti yang tercantum dalam Pasal 38 UU No. 2 Tahun 2012 jo Pasal 73 Perpres No. 71 Tahun 2012. Kesempatan pengajuan keberatannya bisa sampai ketingkat kasasi di Mahkamah Agung. Dalam posisi ini Mahkamah Agung merupakan pihak diluar pemerintah sehingga dengan adanya kesempatan pengajuan keberatan sampai ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung, terlihat bahwa pemerintah telah independen.
Dari analisis di atas, penulis berpendapat bahwa sudah ada Independensi Pemerintah di UU No. 2 Tahun 2012 karena berdasarkan tolak ukur independensi dari segi keanggotaan panitia pengadaan tanah di peraturan ini terlihat adanya keterlibatan pihak akademisi dalan Tim kajian yang di bentuk oleh Gubernur, dan terdapat keterlibatan Penilai Pertanahan yang merupakan pihak diluar pemerintah selain itu adanya kesempatan yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah untuk mengajukan keberatan ke tingkat Pengadilan Negeri bahkan sampai ketingkat Kasasi di Mahkamah Agung. Dalam posisi ini Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung merupakan pihak diluar pemerintah.