Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Nurani Suku Buna' Spiritual Capital dalam Pembangunan D 902006009 BAB II

BAB 2

SPIRITUAL CAPITAL
ARTI DAN MAKNANYA
Spiritual capital yang menjadi fokus dalam tulisan ini bukan
berdiri sendiri. Sebagai capital atau modal, spiritual capital adalah salah
satu dari sekian capital yang ada dalam diri manusia dan didayagunakan oleh manusia untuk membangun diri, sesama dan alam sekitar.
Apa itu sebenarnya spiritual capital? Apa kaitannya dengan capital yang
lain? Dalam Bab 2 ini penulis berupaya mengulas jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan itu. Pertama urain tentang spiritual capital, apa
itu sebenarnya spiritual capital. Mengapa spiritual capital ini
dimunculkan sebagai salah satu capital yang begitu penting? Hal ini ada
kaitannya dengan esensi manusia itu sendiri.
Spiritual capital tidak berdiri sendiri. Ada capital yang lain.
Capital yang yang lain itu dijelaskan dan bagaimana setiap capital itu
berperan dan bagaimana ada keterkaitan antara capital-capital itu
dengan spritual capital. Pokok inilah yang menjadi fokus dalam Bab 2
ini.

PENGERTIAN ISTILAH
‘SPIRITUAL CAPITAL’

Istilah ‘spiritual capital’ pertama kali digunakan oleh Adam
Heinrich Müller (1779-1829) dalam abad XIX, pada abad romantisme
Eropa (Iannaccone 2003:1).
Müller berpendapat, pembangunan
ekonomi sebagai ‘material capital’ merupakan hasil dari ‘social capital’
dan hasil dari dua ‘capital’ ini tidak lain dari penampilan ‘spiritual
capital’ atau ‘moral capital’. Müller berpendapat, pengetahuan dan
intuisi manusia lebih tinggi tarafnya dari pengalaman dan pengamatan
manusia. Pengalaman dan pengamatan manusia terpampang dalam
15

hasil-hasil pembangunan. Kegiatan membangun itu didorong oleh
pengetahuan dan intuisi manusia. Oleh karena itulah pengalaman dan
pengamatan yang sifatnya konkrit dan aksidental, dapat terwujud hanya
karena adanya faktor yang lebih tinggi dan lebih kuat, yaitu
pengetahuan dan intuisi yang bersifat abstrak dan transendental (Cheryl
Moana Rowles Waetford 2007:8-15).
Hasil pembangunan yang sifatnya konkrit, aksidental
(sementara), bergantung pada ‘spiritual capital’ yang sifatnya abstrak
dan transendental. Jadi Müller masih menyama-artikan dua istilah ini

: ‘moral capital’, dan ‘spiritual capital’ (Cheryl Moana Rowles Waetford,
2007:8). Max Weber (1864-1920) melanjutkan pendapat Müller dengan
mengatakan bahwa ada kaitan erat antara pola kepercayaan dengan
kegiatan sosial dan pola kepercayaan dengan kegiatan perdagangan.
Kegiatan sosial termasuk perdagangan itu mempunyai hubungan
timbal-balik dengan kepercayaan yang dianut oleh orang kristen
Protestan. Weber berpendapat bahwa perubahan sosial itu dipicu oleh
agama. Dalam agama, menurut Weber, khususnya kristen Protestan, ada
faktor pendorong yang kuat untuk kemajuan dunia perdagangan, dan
faktor itulah yang secara implisit dimaksudkan dengan ‘spiritual capital’.
Gary Becker (1964) seorang ahli ekonomi, pemenang hadiah
Nobel menegaskan pendiriannya tentang ‘human capital’ dalam
pembangunan, dan dalam ‘human capital’ itu terdapat ‘spiritual capital’.
Gary Becker mengemukakan pendapatnya itu untuk mengkritik teori
ekonomi klasik yang membatasi diri pada tiga ‘capital’, atau modal,
yaitu: tanah, tenaga kerja dan alam. Pendapat ini memberikan tempat
sentral untuk manusia sebagai pelaku pembangunan dan apa pun saja
yang dilaksanakan harus diarahkan kepada kesejahteraan manusia itu
sendiri.
Bourdieu (1980) menegaskan bahwa ‘spiritual capital’ adalah

cabang (sub-species) dari social capital. Dan spiritual capital itu
merupakan kekuatan, pengaruh, pengetahuan dan keadaan yang
diciptakan oleh partisipasi dalam tradisi religius tertentu. Bourdieu
mengemukakan teorinya tentang ‘social capital’ yang erat kaitannya
dengan ‘cultural capital’, (hasil-hasil kebudayaan), ‘economic capital’
(sumber daya alam dan kekayaan) dan ‘symbolic capital’. Dalam uraian
tentang ‘symbolic capital’ ini, Bourdieu mengatakan bahwa gelar
kebangsawanan, status sosial tertentu merupakan ‘capital’ yang

16

menempatkan dan mendorong orang untuk berprestasi. Seluruh ‘capital’
ini didorong dan disemangati oleh ‘spiritual capital’ yang muncul dalam
dan dari ‘religious capital’ (kekuatan dari ajaran dan tradisi agama
tertentu) yang membuat manusia itu terdorong untuk berbuat baik bagi
masyarakat. 4 James Coleman (1990) melanjutkan pemikiran Bordieu
bahwa ‘social capital’ adalah payung yang berada di atas semua kapasitas
untuk berelasi dalam masyarakat. Dan James Coleman juga searah
dengan Bordieu yang mengemukakan bahwa dalam ‘social capital’ itu
ada kekuatan dan pendorong, dan secara implisit, inilah ‘spiritual


capital’.
Robert Putnam (2000) terkenal dengan ‘social capital’ yang
dibedakan antara dua bentuk: bridging form dan bonding form.
Menurut Putnam, ‘bonding social capital’ membangun hubungan antara
anggota kelompok dan memperkuat kohesi sosial. Sedangkan ‘bridging
social capital’ menjalin hubungan antara individu dari kelompok yang
berbeda dan dengan demikian melahirkan jejaring (network) antar
kelompok. Gerakan baik di dalam masyarakat sendiri (bonding form)
maupun antar masyarakat (bridging form) secara implisit didorong oleh
satu kekuatan yang tidak terlihat, yaitu: ‘spiritual capital’.
Bradford Verter (2003) seorang sosiolog Amerika Serikat dengan
tegas berbicara tentang ‘spiritual capital’ sebagai kekuatan (power) yang
menguasai dan mendorong manusia untuk bertindak dalam situasi apa
pun saja. Verter membedakan ‘spiritual capital’ atas tiga ranah atau
keadaan (state): embodied state (pembiasaan / habitus ), objectified state
(perwujudan) dan institutional state (pelembagaan). Embodied state
(pembiasaan/habitus), adalah kebiasaan hidup, bergaul dan berperilaku
sesuai pendidikan dalam agama tertentu. Objectified
state

4 Dalam pendapat Bordieu ini terlihat titik tolak yang dipakai ialah
pandangan yang dikaitkan dengan agama sebagai sumber spiritual capital. Jadi
ada agama baru ada spiritual capital. Agama dilihat sebagai sumber spiritual
capital. Hal inilah yang harus dikoreksi. Bukan agama yang melahirkan
spiritual capital tetapi sebaliknya, spiritual capital itulah yang melahirkan
agama, dalam arti, adanya Tuhan yang dinyatakan dalam wahyu dari Tuhan
sendiri mampu ditangkap manusia dan diungkapkan manusia dalam iman
karena sudah ada spiritual capital dalam diri manusia yang dianugerahkan oleh
Tuhan, Pencipta kepada ciptaannya, manusia itu. Anugerah dari Tuhan itulah
yang dalam studi ini disebut capital sejalan dengan bahasa Kitab Suci, talenta
(Mat 25: 14-30).

17

(perwujudan) merupakan pengejawantahan ajaran dan tradisi dalam
ilmu teologi, beribadat, simbol-simbol keagamaan dan upacara-upacara
liturgis. Dalam keadaan ini, agama dapat dilihat dan dialami secara
konkrit. Institutional state (pelembagaan) nyata dalam lembagalembaga agama yang berwenang menjaga dan melanjutkan ajaran dan
tradisi dari agama itu. Jadi Verter mengartikan ‘spiritual capital’ itu ada
di dalam lingkup agama.

Laurence Iannaccone (2003) mengemukakan satu istilah yang
lain, ‘religious human capital’ dengan suatu definisi: “bentuk-bentuk

kepercayaan dan pola tindak keagamaan yang mempengaruhi seluruh
siklus hidup, berlangsung antar generasi dan antar keluarga serta antar
kenalan”. (Patterns of religious beliefs and behaviour, over the lifecycle, between generations, and among families and friends) (Dikutip
oleh Cheryl Moana Rowles Waetford, 2007: 16).
Roger Finke dan Rod Stark (2000) mengemukakan definisi yang
hampir sama dengan Iannaccone hanya dalam rumusan yang lebih
padat dan berbunyi sebagai berikut, “derajat penguasaan dari dan
keterpautan pada kebudayaan religius tertentu”. (The degree of

mastery of and attachment to a particular religious culture).
Alex Liu, Danah Zohar, Marshall (2007) dan kawan-kawan
menghasilkan satu rumusan definisi di Pasadena, yang berbunyi,
“Spiritual capital refers to the power, influence and dispositions created

by a person or an organization’s spiritual belief, knowledge and
practice”. (Spiritual capital merujuk pada kekuatan, pengaruh dan
keadaan yang diciptakan oleh kepercayaan, pengetahuan dan praktek

rohani dari seseorang atau suatu organisasi). Kelompok Pasadena ini
menyatakan bahwa definisi tersebut merupakan penemuan mereka dan
mereka memegang hak cipta / copyright © The RM Institute 2007, 2008
(The RM Institute’ , RM = Research Method).
Dalam definisi yang terakhir ini, terlihat dua bahagian: bahagian
pertama terdiri dari tiga unsur, bahagian kedua terdiri dari tiga unsur
pula.
Bahagian pertama: merujuk pada kekuatan, pengaruh dan
keadaan. Jadi spiritual capital ini keterpaduan dari tiga unsur:
Pertama, kekuatan (power). Dalam diri manusia itu (pribadi dan
kelompok) ada kekuatan yang membuat dirinya berpikir, bertindak
untuk menghasilkan sesuatu demi kesejahteraan diri dan sesama dengan

18

mendayagunakan semua ‘capital’ yang ada. Berarti, sesuatu yang
dihasilkan itu harus demi kesejahteraan manusia sebagai hasil dari
pembangunan yang utuh dan menyeluruh.
Kedua, Pengaruh (influence). Kekuatan tadi tidak terkurung
dalam diri manusia pribadi atau kelompok. Kekuatan itu mendorong

manusia untuk beraksi. Itu pengaruh dari dalam. Hasil dari aksi itu
nampak dalam hal-hal yang konkrit di luar diri manusia. Dan proses
dari pengaruh yang ke luar dari diri manusia dan menyata di luar
dirinya, kembali lagi mempengaruhi manusia. Ada saling
mempengaruhi, timbal-balik.
Ketiga, Keadaan (dispositions). Keadaan yang dimaksudkan di
sini ialah kenyataan yang terlihat dalam keseluruhan pola tindak dan
hasil-hasil kegiatan yang ada dari masyarakat tertentu.
Bahagian kedua: yang diciptakan oleh kepercayaan,

pengetahuan dan praktek rohani dari seseorang atau suatu organisasi.
Bahagian kedua ini dihubungkan oleh kata ‘created’ (diciptakan,
tercipta, terjadi), sehingga dalam kalimat pasif, bahagian ini menjadi
penyebab (causa) untuk bahagian pertama. Jadi tiga unsur dalam
bahagian pertama: kekuatan, pengaruh dan keadaan, berasal dari tiga
unsur dari bahagian kedua ini. Yang pertama adalah akibat, yang kedua
ini penyebab.
Tiga unsur dari bahagian kedua itu, ialah:
Pertama, kepercayaan rohani (spiritual belief). Manusia yang
terdiri dari badan dan roh, dari kodratnya, sadar akan dirinya sebagai

roh, dan percaya akan adanya roh dalam dirinya dan di luar dirinya.

Manusia itu roh, tetapi juga barang yang berbadan. Sebagai roh, manusia
mengalami dirinya sendiri, sadar akan dirinya sendiri. (Driyarkara
1956/2006:27-30). Kaum ateis berusaha untuk menyangkal hal ini tetapi
tetap sia-sia(Van Peursen 1983: 113-116). Kepercayaan ini menurut
Rahmat Subagya (1981:9) ada yang asli, muncul dari kalangan
masyarakat itu sendiri, dan disebut kepercayaan (agama) asli. Ada
kepercayaan yang datang dari luar dalam rumusan dan tradisi lain,
seperti agama Islam atau agama Kristen yang dibawa oleh para pewarta
dari luar. Kepercayaan rohani ini ada karena ada roh dalam diri manusia
dan manusia percaya, lalu muncullah agama sebagai institusi yang
membakukan (tidak membekukan!) kepercayaan itu dalam ajaran dan
tradisi tertentu yang berlatar belakang tempat, waktu dan budaya
19

zaman tertentu (Aloysius Pieris, 1996: 22-28). Kepercayaan rohani ini
bukan agama, melainkan keadaan dalam diri manusia yang mendorong
dirinya untuk beragama.
Kedua, Pengetahuan rohani (spiritual knowledge). Kepercayaan

rohani itu dirumuskan entah secara lisan (dalam agama asli) atau secara
tertulis (dalam agama monoteis besar seperti: Yahwismus, Kristen,
Islam) menjadi pengetahuan yang didalami dan diwartakan dari
generasi ke generasi baik ke dalam kelompok (missio ad intra) maupun
ke luar kelompok (missio ad extra) (Aloysius Pieris 1996:67-72).
Ketiga, praktek rohani (spiritual practice). Praktek rohani ini
meliputi kegiatan doa dan ritus/upacara serta pembuatan sarana dan
prasarana yang ditata untuk kepentingan keagamaan. Semua praktek
rohani ini yang pada mulanya spontan, kemudian diatur oleh lembaga
keagamaan demi adanya kebersamaan dan keberlangsungan suatu
kepercayaan atau agama.
Dua bahagian dari definisi ini dengan masing-masing tiga
unsurnya dihubungkan dengan kata-kata keterangan milik: ‘by a person
or an organization’s spiritual belief, knowledge and practice” (oleh
kepercayaan, pengetahuan dan praktek rohani dari seseorang atau suatu
organisasi). Jadi orang atau organisasi/kelompok itulah yang menjadi
pemilik dari kepercayaan, pengetahuan dan praktek rohani yang
menyebabkan timbulnya kekuatan, pengaruh dan keadaan yang
semuanya terpadu dalam rumusan: ‘spiritual capital’.
Sesudah mengkaji berbagai pendapat tentang spiritual capital ini

penulis berpendapat, spiritual capital itu ada dalam diri manusia secara
pribadi dan kelompok kecil dan besar sebagai bawaan dalam kodrat
manusia. Spiritual capital merupakan pemberian cuma-cuma dari
Pencipta kepada manusia. Pemberian cuma-cuma dalam bahasa Latin
disebut gratia atau dalam bahasa Arab, rahmat yang masuk dalam
kosakata bahasa Indonesia dan dikenal istilah rahmat sebagai pemberian
dari Pencipta kepada manusia.
Pemberian dari Pencipta ini oleh manusia dijadikan capital,
modal dalam menumbuh-kembangkan diri. Capital atau modal itu
sendiri berarti “sejumlah barang yang digunakan untuk menghasilkan
barang lain” (aslinya: accumulated goods devoted to the production of
other goods). (Merriam–Webster, m-w-com). Spiritual capital itu
merupakan modal yang terdiri dari dorongan, semangat dan kehidupan

20

dalam diri manusia. Oleh Pencipta diberikan lagi kepada manusia,
capital yang lain yaitu akal budi, nalar atau dalam kaitan sebagai modal
untuk berkarya, nalar ini dikenal sebagai intellectual capital. Pada
kenyataan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun terlihat bahwa
manusia itu secara pribadi tidak dapat berdiri sendiri. Dia harus bersama
manusia lain. Kemampuan untuk bergaul, berkenalan dan bekerjasama
dengan orang lain inilah yang dikelompokkan dalam kemampuan
bermasyarakat atau social capital. Daya kehidupan dalam manusia yang
digunakan secara teratur melalui akal budi dalam kerjasama dengan
orang lain hanya dapat terwujud dalam benda-benda yang nyata.
Benda-benda yang tersedia untuk didaya-gunakan itulah yang
dinamakan modal bendawi atau material capital. Tubuh manusia itu
sendiri masuk kategori ini, material capital.
Seluruh rangkaian kegiatan seorang manusia dapat diuraikan
sebagai berikut. Manusia itu hidup dan mau hidup. Untuk itu manusia
memanfaatkan modal atau capital yang ada dalam dirinya yang
diberikan oleh Pencipta dan modal itulah yang dinamakan spiritual
capital dan dalam kerangka pikir ini digunakan istilah nurani. Manusia
itu berpikir dan belajar bagaimana dapat hidup. Harus ada modal khusus
dan modal khusus itulah yang disebut intellectual capital. Dalam kajian
ini intellectual capital itu disebut nalar. Manusia secara perorangan yang
mempunyai dorongan untuk hidup (nurani) atau spiritual capital,
memakai nalarnya atau intellectual capital membutuhkan orang lain
yang juga sama-sama mempunyai dorongan dan kebutuhan yang sama
dan kemampuan untuk menjalin hubungan ini disebut jaringan sosial
atau social capital atau naluri. Sudah ada tiga istilah yang digunakan
untuk menjelaskan spiritual capital, intellectual capital dan social
capital. Tiga istilah itu ialah nurani, nalar dan naluri. Jadi dalam diri
manusia itu ada nurani yang menjadi pendorong daya, ada nalar yang
menjadi penyaring daya dan ada naluri yang menjadi perambat daya.
Nurani, nalar dan naluri ini ada dalam benda yang bisa dimiliki,
dikuasasi, diolah dan diserap melalui kegitan makan-minum. Seluruh
daya untuk memiliki, menguasai, mengolah dan menyerap ini
diungkapkan dengan istilah nafsu. Lengkaplah kesatuan itu terungkap
dalam empat istilah ini, nurani, nalar, naluri dan nafsu. Nurani terarah
kepada pemahaman tentang roh (Latin, spiritus; Inggris, spirit) sehingga
dipakai istilah spiritual capital. Nalar tearah kepada pemahaman tentang
21

akal-budi (Latin, intellectus; Inggris, intelligence, intellectual) sehingga
dipakai istilah intellectual capital. Naluri terarah kepada tentang
kecenderungan pada yang lain, ketertarikan pada sesama (Latin, socius,
teman; Inggris, society,social) sehingga dipakai istilah social capital.
Nafsu terarah kepada pendaya-gunaan benda-benda oleh manusia yang
dirinya sendiri juga adalah benda yang mendaya-gunakan benda
lain(Latin,materia, benda; Inggris, matter, material, benda/bendawi)
sehingga digunakan istilah material capital. Empat unsur ini
ditampilkan dalam gambar 8 dan 9.

nurani

nalar

naluri

nafsu

Gambar 1 Empat segi kehidupan itu dilihat secara sejajar

Dalam gambar 8 dikemukakan empat capital dengan
pengisitilahan yang lain. Spiritual capital diistilahkan dengan istilah
Indonesia, nurani. Intellectual capital diistilahkan dengan nalar. Social
capital dengan istilah naluri. Material capital diistilahkan dengan kata
nafsu dalam arti yang netral, yaitu dorongan dan ketertarikan manusia
yang terarah kepada benda. Benda dalam hal ini dikenal pula dengan
istilah jasmani. (Van Peursen, 1983:23). Keempat capital ini merupakan
empat aspek yang berdiri sendiri dalam ikatan yang erat antara satu
dengan yang lain.

22

nalar

nurani
naluri

nafsu

Gambar 2 Kesatuan empat segi kehidupan.
Empat segi kehidupan itu merupakan satu kesatuan
dalam diri manusia.

Kesatuan antara empat capital dalam diri manusia itu dilukiskan
dalam gambar 9 di mana empat capital itu berada dalam satu segi-tiga
yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Manusia dari kodratnya
mempunyai empat capital itu sebagai pemberian langsung dari Pencipta.
Empat capital itu dapat dibedakan dalam penampilannya. Dalam gambar
9, nalar berada di puncak dari segitiga. Nalar (intellectual capital) itu
merupakan kemampuan manusia untuk berpikir dan mencari tahu
tentang diri dan di luar dirinya (Driyarkara 1956/2006:62-67). Sering
nalar diartikan dengan akal budi. Naluri (social capital) ditempatkan di
dasar segitiga sebelah kiri dalam gambar 9. Naluri ini kemampuan
manusia untuk hidup bersama orang lain dan bersama orang lain.
Dengan naluri inilah manusia itu memanusiakan diri (hominisasi) dan
memanusiawikan diri (humanisasi) (Driyarkara 1956/2006: 366-375;
398-399). Di dalam gambar 9, sudut kanan ditempati oleh segitiga yang
ketiga, nafsu (material capital). Nafsu di sini tidak diartikan khusus
dalam arti negatif seperti nafsu marah, nafsu mencuri dan nafsu
membunuh. Tetapi istilah nafsu di sini diberi arti yang netral misalnya
nafsu makan, dorongan untuk makan, nafsu tidur, dorongan untuk
tidur. Jadi nafsu di sini mencakupi segala macam dorongan manusia
untuk menguasai dan memiliki diri dan benda lain di luar dirinya. Tiga
capital ini, intellectual, social dan material harus dikendali oleh capital

23

yang keempat yaitu spiritual capital. Atas dasar itulah dalam gambar 9,
segitiga naluri (spiritual capital) ditempatkan di tengah.
Jadi pada kenyataannya, empat segi kehidupan itu menyatu
dalam diri pribadi seorang manusia, tak terpisahkan dan saling
melengkapi. Manusia itu terdiri dari empat segi ini dan empat segi ini
merupakan satu kesatuan capital atau modal untuk hidup.

PEMAHAMAN TENTANG

‘SPIRITUAL CAPITAL’
Berdasarkan penelusuran kronologi terjadinya rumusan
‘spiritual capital’ dalam nomor 2.1, terlihat ada satu pergeseran dari
‘agama’ ke ‘sosial’, dari yang sakral ke yang profan. Pengetahuan dan
praktek rohani dilihat sebagai basis munculnya kekuatan, pengaruh dan
keadaan yang terjadi dalam diri pribadi atau kelompok tertentu untuk
membangun.
Kelompok Pasadena (2008) jelas menunjuk warnanya sebagai
kelompok penganut ‘spiritual capital’ yang bernuansa humanis global.
Mereka tidak mendasarkan diri pada agama sebagai titik pijak dalam
berlangkah tetapi bertolak dari visi tentang kemanusiaan yang utuh,
jasmani-rohani.
Kelompok Cardiff (2007, Kota Cardiff di Inggris) mengartikan
‘spiritual capital’ sebagai ‘kekuatan umat beragama’ di kota Cardiff.
Mereka tidak berkutat pada teori, tetapi pada praxis dalam hidup.
Kelompok Cardiff berhimpun dalam satu organisasi yang terdiri dari
pimpinan dari semua agama di dalam Kota Cardiff mulai dari Kristen,
Islam, Hindu dan Buddha untuk bekerja sama membangun masyarakat
kota Cardiff menjadi masyarakat ‘Spiritual’ yang menampakkan rasa
bersatu, saling menghargai dan saling membantu. Kelompok Cardiff ini
gerakannya mirip dengan gerakan Kerukunan Hidup Umat Beragama
yang disponsori oleh Departemen Agama di Indonesia saat ini. Semua
umat beragama merupakan ’spiritual capital’. Visi Kelompok Cardiff
untuk tahun 2007 – 2017: “To ensure that Cardiff is a world class

European capital city with an exceptional quality of life and at the heart
of a competitive city religion”. (Menjadikan Cardiff ibu kota kelas

24

dunia di Eropa dengan kualitas hidup yang sangat baik dan berada
dalam inti arena persaingan antar kota beragama).
Untuk mewujud-nyatakan visi ini, dicanangkan delapan
program oleh Pemerintah wilayah Wales meliputi kota Cardiff:
Delapan program itu terdiri dari : 1. menciptakan kesejahteraan dan
lapangan kerja dalam kelompok masyarakat (bottom up ); 2. menjamin
pendidikan untuk kehidupan; 3. menciptakan masyarakat yang jujur
dan adil; 4. mendukung bahasa Welsh sebagai bahasa daerah di samping
bahasa Inggris; 5. mempromosikan masa depan yang sehat (healthy
future); 6.menjamin lingkunan yang berkelanjutan (sustainable
environment); 7. membangun satu bangsa yang kuat dan terpercaya; 8.
mengembangkan suatu kebudayaan yang kaya dan beraneka-ragam,
dengan mempromosikan Wales sebagai bangsa yang berdua-bahasa dan
ber-budaya aneka-ragam (bilingual and multicultural nation).
Jadi kelompok Cardiff menggagaskan ide tentang ‘spiritual
capital’ lalu Pemerintah menyambutnya dengan membuat program
pembangunan yang sejalan dan sejiwa dengan pengertian ‘spiritual
capital’ itu sendiri.
Berdasarkan pemahaman kelompok Cardiff ini sebenarnya
setiap orang atau kelompok itu membawa nilai-nilai agama masingmasing dan dihimpun menjadi satu kekuatan yang membangun
masyarakat sebagai kesatuan kelompok-kelompok dari agama-agama.
Mereka tidak menamakan diri ‘religious capital’, tetapi ‘spiritual capital’
yang mau membantu pemerintahan Kota Cardiff untuk membangun
masyarakat kota Cardiff yang hidup rukun saling mengasihi satu sama
lain tanpa dibatasi oleh sekat-sekat agama.
Kelompok Chicago (1993) sebagai kelompok yang ketiga,
menyatukan pendapat mereka pada ‘etika’, cara berperilaku yang baik.
Para utusan dari agama-agama di seluruh dunia ini yang menamakan
diri Parlemen Agama-agama mendeklarasikan ‘etika global’ sebagai
suatu seruan untuk memperbaiki masyarakat dunia.
Seruan kelompok Chicago ini sangat mengesankan dan
mendesak:
“ Kami menyerukan kepada seluruh penduduk planet ini. Bumi
tidak bisa diubah menjadi lebih baik jika kesadaran individu
tidak berubah terlebih dulu. Kami berjanji untuk bekerja
menjalankan transformasi kesadaran individu dan kolektif,
bagi kebangkitan spiritual kita melalui refleksi, meditasi, doa,
25

atau berpikir positif, bagi perubahan hati. Bersama-sama kita
bisa memindah gunung! Tanpa kesediaan untuk mengambil
resiko dan kesiapan untuk mengorbankan tidak mungkin ada
perubahan fundamental dalam situasi kita! Karena itu, kami
mengikatkan diri kepada etik global umum, kepada saling
pengertian yang lebih baik, juga kepada pandangan hidup yang
menguntungkan secara sosial, mengembangkan perdamaian,
dan ramah kepada bumi. Kami mengajak semua laki-laki dan
perempuan, yang beragama atau tidak, untuk melakukan hal
yang sama.”

Kelompok

Kelompok

Cardiff

Chicago

Kelompok
Pasadena

Gambar 3 Tiga kelompok pemrakarsa Spiritual Capital:
Kelompok Cardiff bertolak dari agama, kelompok Chicago bertolak dari
Etika, sedangkan kelompok Pasadena bertolak dari kodrat manusia.

Dari tiga kelompok ini yang paling mutakhir pendapatnya
adalah kelompok Pasadena. Kelompok Cardiff berkutat pada agama
sebagai institusi dan Chicago bertolak dari rumus-rumus etika sebagai
ajang spiritual capital. Sedangkan kelompok Pasadena mengandalkan
curah pendapat dari tim ahli ekonomi dan sosiologi serta agamawan
untuk memperbaiki keadaan masyarakat dunia dari sudut modal atau
‘capital’ yang ada dalam diri pribadi dan kelompok manusia, yaitu
‘spiritual capital’. Sebelum dihasilkan definisi Pasadena, kelompok ini
sudah mengadakan berbagai seminar di berbagai tempat di belahan
dunia ini dengan tema sentral, ‘spiritual capital’.
Kelompok Pasadena menyatakan bahwa masyarakat itu
mempunyai ‘performance’ atau ‘penampilan’ yang kenyataannya dan
seharusnya ditunjang oleh empat pilar ‘capital’, yakni material capital,

26

intellectual capital, social capital dan spiritual capital. Pribadi yang
utuh sebenarnya penampilan diri atas dasar empat modal ini sebagai
empat pilar kehidupan manusia. Kelompok Pasadena memrihatinkan
keadaan dunia sekarang ini yang sangat mengesampingkan ‘spiritual
capital’ dalam pembangunan masyarakat dunia. Semua gejala yang
negatif dalam masyarakat, antara lain materialisme, hedonisme dan
individualisme disebabkan oleh kurangnya kesadaran dan kurangnya
perwujudan ‘spiritual capital’ dalam hidup sehari-hari.
Perwujudan ‘spiritual capital’ yang dimaksudkan oleh kelompok
Pasadena, tidak terbatas pada ranah atau keadaan (state) beragama,
pembiasaan (embodied state / habitus), perwujudan (objectified state )
dan pelembagaan (institutional state) seperti yang dikemukakan oleh
Verter (2003) dalam pemahamannya tentang spiritual capital’ (Cheryl
Moana Rowles Waetford 2007:16-24).
Orang beragama belum tentu menghayati nilai-nilai
kemanusiaan dan keilahian yang terpadu dalam spiritual capital.
Sebaliknya orang yang menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam
spiritual capital dengan sendirinya menghayati nilai-nilai luhur yang
diajarkan dan dianjurkan dalam agama mana pun di dunia ini biarpun
orang tersebut mungkin tidak menganut salah satu agama pun yang ada
pada zamannya. Agama bukanlah prasyarat untuk menghayati spiritual
capital dalam hidup seseorang atau sekolompok manusia. Sebaliknya,
spiritual capital merupakan prasyarat mutlak bagi orang atau
masyarakat untuk menghayati agama yang dianutnya secara benar.
Kelompok Pasadena menganjurkan agar manusia entah secara
pribadi atau kelompok, mewujudkan ‘spiritual capital’
sebagai
penampilan yang biasa dan tetap dalam hidup harian. Kehidupan
beragama ditunjang dengan kehidupan yang mengambil hikmah dari
‘spiritual capital’ yang dimiliki oleh setiap pribadi dan setiap kelompok.
Jadi dalam hidup manusia, agama merupakan saluran bagi spiritual
capital yang tertanam dalam diri manusia, bukan sebaliknya, spiritual
capital merupakan saluran dari ketentuan-ketentuan dalam agama.
Ada pernyataan yang menarik, ‘spiritual capital’
bukan
‘religious capital’. Spiritual capital itu modal yang tertanam dalam diri
manusia mana pun saja, tidak terikat pada kebudayaan atau agama.
Spiritual capital itu harta kekayaan bathin yang ditanam Pencipta dalam
diri manusia dari segala zaman. Spiritual capital itu sifatnya universal
27

dan berlaku secara mutlak. Untuk perwujudan nilai-nilai spiritual
capital inilah agama itu ada. Bukan sebaliknya, agama ada baru nilainilai spiritual capital itu dirumuskan. Karena religious capital’ milik
orang yang seagama dan tergantung pada orang atau kelompok itu
untuk membagikannya kepada orang atau kelompok lain. Sedangkan
spiritual capital kalau dihayati dengan sendirinya terbagi kepada orang
lain atau kelompok lain karena menjadi darah daging dan menjadi milik
dari setiap orang atau kelompok.
Ada jarak antara orang yang beragama yang mempunyai
religious capital’ yang kokoh dengan orang yang mempunyai spiritual
capital’ yang siap diabdikan kepada sesama manusia. Dalam diri seorang
yang menampilkan spiritual capital, sudah terakumulasi semua capital’
yang lain, termasuk ‘religious capital’. Orang yang rajin beribadat, luas
pengetahuannya tentang agama, ditambah dengan dirinya itu sebagai
seorang pejabat dalam lingkaran pemimpin agama, belum tentu dapat
menampilkan ‘spiritual capital’ yang benar dan baik. Misalnya kalau
‘dia’ itu rajin beribadat tetapi kurang jujur dalam tugas di kantor atau
sekolah, maka ‘spiritual capital’ tidak digunakan atau ditampilkan
dengan baik. Atau kalau ‘dia’ itu menjadi penghasut untuk memusuhi
orang dari agama lain, sama saja, dia tidak menampilkan ‘spiritual
capital’ yang ada dalam dirinya dengan baik dan benar. Jadi ‘spiritual
capital’ itu inti (core) dari tindakan manusia. Sebagai inti, tidak berdiri
sendiri, tetapi berasal dari pengalaman keberagamaan dan menjiwai
kehidupan keberagamaan.

PERANAN ‘SPIRITUAL CAPITAL’
DALAM PEMBANGUNAN
Pemahaman tentang ‘spiritual capital’ dari Kelompok Pasadena
ini menghantar pribadi manusia dan masyarakat untuk mengadakan
refleksi yang mendalam tentang keberadaan diri pribadinya dan
kelompoknya dalam tatanan masyarakat di mana dia berada.
Penampilan atau performance pribadi dan masyarakat
pembangun yang utuh itu berdiri di atas empat pilar: material capital,
intellectual capital, social capital dan spiritual capital (Kelompok
Pasadena). Tiga pilar: material capital, intellectual capital, social capital

28

harus dijiwai atau diresapi oleh spiritual capital supaya pembangunan
itu kokoh, seimbang dan utuh.

material
capital
(NAFSU)

intellectual
capital
(NALAR)

social
capital
(NALURI)

spiritual
capital
(NURANI)

Gambar 4. Kuadran N. Empat capital pada dasarnya
ada secara seimbang dalam setiap pribadi atau
k l
k

Contoh konkrit: sebuah gedung megah dibangun, pasti
dibangun dengan keterpaduan antara material capital (tanah, bahan
bangunan, uang), intellectual capital (teknologi), social capital
(pengerahan tenaga manusia). Di mana peranan dan tempat spiritual
capital? Dalam ketiga-tiganya. Dalam material capital, harus jelas bahwa
benda-benda itu bukan hasil curian atau hasil perusakan lingkungan.
Dalam intellectual capital, bangunan itu harus terjamin dari segi
teknologi tanpa ada penipuan atau pemalsuan mutu barang. Jadi harus
ada kejujuran secara intelektual dalam bangunan itu. Inilah namanya
spiritual capital yang tidak terlihat dan tak dapat diukur, tetapi harus
ada. Dalam social capital (misalnya pengerahan tenaga kerja) harus
diperhatikan upah yang adil. Ini sudah masuk dalam wilayah spiritual
capital .
Dalam contoh yang konkrit ini jelas terbaca bahwa spiritual
capital yang diharuskan ada dalam setiap segi pembangunan itu, ada
dalam diri setiap manusia dan kelompok. Hanya timbul pertanyaan,
apakah pribadi atau kelompok pembangun itu menyadari dan mendayagunakan spiritual capital
itu atau tidak. Empat pilar dalam
pembangunan ini tidak berdiri sendiri dan tidak terlepas satu dari yang

29

lain. Dalam contoh konkrit tadi, orang dengan mudah mengatakan
bahwa itu ‘religious capital’ atau ‘moral capital’. Kedua istilah ini benar
tetapi cakupannya tidak luas dan tidak menyeluruh. Spiritual capital
mencakup dua-duanya, baik religious capital (pemunculan dari
penghayatan Agama tertentu) maupun moral capital (Norma Perilaku
sesuai ajaran tertentu). Jadi ‘spiritual capital’ lebih terbuka dan lebih
luas serta dalam, karena didasarkan atas kodrat manusia itu sendiri yang
terdiri dari segi insani (material) dan segi ilahi ( spiritual).
Kelompok Pasadena mengemukaan bahwa ‘spiritual capital’ itu
berlaku untuk tiga level atau tingkatan: pribadi, kelompok dan
masyarakat. Pribadi mempunyai ‘spiritual capital’ sendiri yang harus
ditampilkan dalam kelompok. Kelompok mempunyai ‘spiritual capital’
sebagai akumulasi dari ‘spiritual capital’ pribadi. Dan kelompok tidak
dapat menutup diri, tetapi terbuka untuk masyarakat di luar kelompok.
Masyarakat pun mempunyai ‘spiritual capital’ sendiri sebagai akumulasi
dari ‘spiritual capital’ kelompok-kelompok. Begitu seterusnya sampai
seluruh masyarakat dunia ini mempunyai ‘spiritual capital’ dalam arti
menjadi masyarakat yang baik, benar dan indah. Maka ada mata rantai
tak terputus yang terjalin dalam masyarakat di level yang lebih luas,
nasional, regional dan global.
Penampilan empat capital’ ini akan terlihat dalam etik yang oleh
kelompok Chicago disebut ‘etik global’.
“Yang kami maksud dengan etik global bukan sebuah ideologi
global atau kesatuan agama di atas semua agama yang ada, dan
tentu bukan dominasi satu agama atas agama lainnya. Dengan
etik global, kami maksudkan sebuah konsensus fundamental
tentang nilai yang mengikat, standar yang tidak bisa diganggu
gugat, dan sikap personal. Tanpa konsensus etik fundamental
semacam itu, cepat atau lambat, setiap komunitas akan terancam
oleh kekacauan atau penindasan, dan manusia akan menderita”.

Empat pilar pembangunan ini, material, sosial, intelektual dan spiritual,
tergambar jelas dalam pendapat kelompok-kelompok penggagas
‘spiritual capital’ yang sangat mencemaskan lajunya perkembangan
teknologi yang memicu kemajuan pembangunan fisik sekarang ini yang
pada akhirnya akan membawa malapetaka bagi manusi itu sendiri.
Keadaan itu dapat terhindarkan hanya kalau ada perhatian yang
30

sungguh-sungguh akan peranan ‘spiritual capital’ dalam pembangunan.
Kelompok Chicago menuntut adanya empat komitmen dari umat
manusia saat ini:
Komitmen pada budaya non-kekerasan dan hormat pada
kehidupan;
Komitmen pada budaya solidaritas dan tata ekonomi yang adil;
Komitmen pada budaya toleransi dan hidup yang tulus;
Komitmen pada budaya kesejajaran hak dan kerjasama antara
laki-laki dan perempuan.
Tidak ada tatanan global baru tanpa etik global baru
(Hans Küng dan Karl-Josef Kuschel 1999: 21-39).

Tuntutan akan kesadaran manusia sekarang akan peranan
‘spiritual capital’ dalam pembangunan yang holistik, jasmani-rohani,
tidak lagi suatu ide yang mengambang, tak berdasar, tetapi sudah
merupakan suatu keharusan, tanpa ada tawar-tawar lagi. Sekarang
tinggal proses: pemahaman, penyadaran, pengetrapan ‘spriritual capital’
yang adalah kekuatan, pengaruh dan keadaan dalam diri manusia itu
mau diterapkan dalam pembangunan atau tidak.
Dalam penyajian teori-teori tentang ‘capital’ ini sebenarnya
banyak istilah yang sudah dimunculkan. Khususnya dalam teori tentang
pembangunan, istilah-istilah ini sudah dikenal sebagai capital atau
modal. Roger Finke (2004) dari Penn State University mengemukakan
bahwa capital atau modal dalam pembangunan itu terdiri dari
bermacam-macam modal atau capital yaitu (1) material capital (modal
benda), (2) natural capital (modal alam), (3) human capital (modal
manusia), (4) cultural capital (modal kebudayaan), (5) intellectual
capital (modal akal budi), (6) social capital (modal sosial), (7) financial
capital (modal uang), (8) religious capital (modal agama) dan (9)
spiritual capital (modal rohani). Dalam Wikipedia, the free
Encyclopedia ada lagi-capital yang dikemukakan oleh Bourdieu yakni
(10) symbolic capital (modal dalam bentuk gelar dan status), (11)
economic capital, (modal di bidang ekonomi), (12) educational capital
(modal di bidang pendidikan). Gary Becker menambahkan lagi capital
yang lain yaitu (13) health capital, (modal berupa kesehatan jasmani),
(14) individual capital, (modal berupa milik pribadi), (15) erotic capital,
(modal dalam daya tarik erotik dari seseorang), dan (16) political capital
(modal di bidang politik).
31

Dari enam belas macam capital ini, Alex Liu bersama Roger
Finke dalam kelompok Metanexus Institute di bawah pimpinan Dana
Zohar merumuskan hanya empat modal, yaitu, 1. material capital
(modal benda), 2 intellectual capital (modal akal budi), 3. social capital
(modal sosial), dan 4. spiritual capital (modal rohani).
Dalam pembangunan terbukti bahwa material capital,
intellectual capital dan social capital dimanfaatkan dengan sangat
intens, sedangkan spiritual capital diabaikan. Ini berarti alam digarap
secara luar biasa malah secara brutal dengan bantuan modal berupa
uang (financial capital). Penggarapan alam (natural capital) secara
serakah ini meupakan akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (intelectual capital) yang begitu pesat berkembang dan dikuasi
serta digunakan untuk keuntungan sesaat tanpa memperhitungkan
secara matang risiko bagi manusia yang lain. Penggarapan alam dengan
bantuan teknologi mutakhir ini didukung oleh jaringan sosial (social
capital) yang begitu kuat di seantero dunia. Sementara itu modal rohani
(spiritual capital) diabaikan dengan pemikiran bahwa kerohanian
(spiritual capital) yang dikandangkan dalam agama (religious capital)
tidak ada sangkut pautnya dengan pembangunan fisik.
Spiritual capital boleh disebut juga modal rohani merupakan
capital atau modal yang ada dalam diri manusia sejak adanya manusia
itu. Spiritual capital itu ada dalam diri manusia yang adalah roh yang
membadan dan badan yang me-roh (Driyarkara 1956/2006: 366-375;
398-399). Kalau dilihat hanya sebagai capital atau modal saja, maka
spiritual capital itu merupakan salah satu dari enam belas capital atau
modal yang sampai sekarang ini diungkapkan oleh
berbagai ahli dari sudut pandang keahliannya masing-masing (Alex Liu
dkk. 2007). 5

5 Alex Liu, Danah Zohar, Marshall (2007) dan kawan-kawan
menghasilkan satu rumusan definisi di Pasadena, yang berbunyi, “Spiritual

capital refers to the power, influence and dispositions created by a person or an
organization’s spiritual belief, knowledge and practice”. (Spiritual capital
merujuk pada kekuatan, pengaruh dan keadaan yang diciptakan oleh
kepercayaan, pengetahuan dan praktek rohani dari seseorang atau suatu
organisasi). Kelompok Pasadena ini menyatakan bahwa definisi tersebut
merupakan penemuan mereka dan mereka memegang hak cipta / copyright ©
The RM Institute 2007, 2008 (The RM Institute’ , RM = Research Method).

32

Tabel 1:Bermacam-macam capital atau modal dan pengelompokannya
Nomor
1

material capital

Capital/modal

2

natural capital

Digabungkan ke dalam:

(modal bendawi)
(modal alam)
3

financial capital

material capital

(modal uang)

(modal
bendawi/jasmani/ nafsu)

4

economic capital

5

(modal di bidang ekonomi)
health capital (modal berupa
kesehatan jasmani)

6

intellectual capital
(modal akal budi)

7

cultural capital

8

symbolic capital (modal dalam

intellectual capital

bentuk gelar dan status),
human capital
(modal
manusia),
educational capital (modal di
bidang pendidikan)
social capital (modal sosial)
individual capital, (modal
berupa milik pribadi)
erotic capital, (modal dalam
daya
tarik
erotik
dari
seseorang)
political capital (modal di
bidang politik)

(modal akal budi/ nalar)

(modal kebudayaan)

9
10
11
12
13

14
15
16

social capital
(modal social/naluri)

spiritual capital
(modal rohani).

spiritual capital

religious capital

(modal rohani/nurani)

(modal agama)
Sumber: Ditabulasikan berdasarkan uraian dari kelompok
Metanexus Foundation di bawah pimpinan
Finke dan Zohar, 2004 (Anton Bele)

33

Satu kelompok ahli dari kelompok Pasadena (The RM Institute’ ,
RM = Research Method, 2007-2008) merangkum semua capital yang
berjumlah enam belas capital itu ke dalam empat kelompok besar atau
hanya empat capital saja, yaitu material capital, intellectual capital,
social capital dan spiritual capital. Mereka tidak mempersoalkan arti dan
peranan dari tiga capital yang lain, material capital, intellectual capital,
social capital. Mereka memfokuskan diri pada spiritual capital dengan
alasan bahwa kepincangan dalam pembangunan secara menyeluruh di
dunia saat ini karena masyarakat global sedang mengabaikan arti dan
tempat serta peranan spiritual capital dalam pembangunan. Penekanan
terlalu material capital sambil mengabaikan spiritual capital, membuat
manusia semakin materialistis, egoistis dan hedonistis. Penekanan
terlalu pada intellectual capital sambil mengabaikan spiritual capital,
masyarakat semakin intelektualistis dan mendewakan ilmu pengetahuan
dan teknologi sampai melecehkan sesama manusia dan terutama
melecehkan eksistensi Yang Maha Tinggi. Penekanan terlalu pada social
capital sambil mengabaikan spiritual capital mengakibatkan masyarakat
manusia terjerumus ke dalam korporasi atau persekongkolan jahat
antara sesama manusia yang mencelakakan diri sendiri. Inilah
masyarakat dunia kita sekarang ini yang dilukiskan oleh Danah Zohar
dan Ian Marshall sebagai “Monster yang memangsa dirinya sendiri”
(Danah Zohar dan Yan Marshall 2004: 53).
Kedua orang ini mengatakan bahwa masyarakat internasional
sekarang ini sedang membuat diri stress karena ulahnya sendiri yaitu
tindakan ‘despiritisasi’, menghindari malah mau menyangkali adanya
roh dalam diri dan di luar diri sehingga manusia baik pribadi maupun
kelompok, semakin keropos, tak bertulang, sakit dan sakit yang paling
parah yaitu sakit jiwa. Gejala gunung es yang sudah mulai muncul,
kasus-kasus bunuh diri6 yang terjadi di mana-mana merupakan akibat
dari ‘despiritisasi’ ini, atau dengan kata lain, mengabaikan spiritual
capital oleh manusia yang tertanam dalam diri setiap manusia yang
sedang diabaikan pemberdayaannya dalam kegiatan pembangunan diri,
sesama dan alam sekitar. Keluhan tentang kebobrokan tindakan
manusia ini sudah diungkapkan oleh Driyarkara pada tahun 1956
6

Ada data dari Kepolisian Daerah Metro Jaya, tercatat kasus bunuh diri di
Jakarta, tahun 2010, 175 kasus, tahun 2009, 165 kasus. (Kompas, Senin, 18 Juli
2011, hal. 25).

34

dengan mengungkapkan bahwa ibu kota (Jakarta) itu “ pusat
kebudayaan juga pusat kebuayaan”. (Driyarkara 2006/1956: 603).
Kelompok Pasadena secara tegas membuat satu rumusan khusus
tentang apa itu spiritual capital. Mereka membuat satu definisi:

Spirituaal capital adalah kekuatan, pengaruh dan keadaan yang
diciptakan oleh kepercayaan, pengetahuan dan praktek rohani dari
seseorang atau suatu organisasi. (The RM Institute’ , RM = Research
Method, 2007-2008). Untuk mengungkapkan apa itu spiritual capital
dalam kaitan dengan setiap capital dan implikasinya dalam
pembangunan, penulis kemukakan ulasan dalam Bab 2 ini.

PENGELOMPOKAN MACAM-MACAM CAPITAL
ATAS EMPAT CAPITAL
Enam belas capital yang sempat terhimpun sampai sekarang
mempunyai makna dan tujuan masing-masing. Setiap capital itu
dikaitkan dengan makna dan peranannya masing-masing dalam
pembangunan. Enam belas capital itu dikelompokkan dalam empat
gugus dan setiap gugus itu menjadi satu aspek yang mengungkapkan
hal-hal yang paling esensial dalam diri manusia.
natural
capital

economic
capital

Material
Capital

financial
capital

health
capital

Gambar 5. Lima capital digabungkan menjadi material capital.

35

Pengelompokan atas empat aspek ini dibuat oleh kelompok
studi dari Pasadena – Amerika Serikat (The RM Institute 2007, 2008).
Gugus capital yang pertama terdiri dari lima capital, yaitu (1) material
capital (modal benda), (2) natural capital (modal alam), (3) financial
capital (modal uang), (4) economic capital, (modal di bidang ekonomi),
(5) health capital, (modal berupa kesehatan jasmani). Lima capital ini
dikelompokkan menjadi satu aspek saja yaitu material capital.
Dalam kelompok pertama, material capital ini terlihat
penggabungan antara, pertama benda-benda (material capital) di mana
tubuh manusia itu sendiri termasuk benda. ( Van Peursen 1983: 36-37).
Sebagai benda, manusia itu terikat pada alam sekitar (natural capital)
yang juga adalah benda. Untuk mengupayakan adanya benda dari
tempat lain, system perekonomian mengisyaratkan adanya financial
capital (modal uang). Manusia yang sehat sajalah yang dapat bekerja
secara optimal. Atas dasar itulah health capital dimasukkan dalam
kelompok ini (Iannaccone 2003:1-2). Empat capital ini menggerakkan
dan digerakkan oleh system ekonomi yang disebut economic capital.
Rasionalisasi inilah yang mendasarkan penggabungan lima capital itu
dalam satu kelompok menjadi satu capital, yaitu material capital.
Penulis meng-indonesia-kan konsep ini ke dalam konsep yang lazim di
Indonesia yaitu modal berupa dorongan dan ketertarikan manusia dari
benda ke benda lain dan istilah yang penulis gunakan ialah nafsu.
cultural
capital

educational
capital

Intellectual
capital

symbolic
capital

human
capital

Gambar 6. Lima capital digabungkan menjadi intellectual capital.
(Sumber Anton Bele, dipadukan dari kelompok Pasadena 2004)

36

Sebagai konsep kerja, dalam tulisan ini kelompok pertama ini
penulis berikan kode N1 sebagai modal yang pertama. Konsep-konsep
tentang capital dalam kelompok pertama ini dimunculkan dari para
pencetusnya, Gary Becker, Coleman dan Bordieu (Iannaccone 2003:2).
Kelompok yang kedua adalah kelompok intellectual capital
terdiri dari lima capital juga. Kelima capital itu terdiri dari
(1) intellectual capital (modal akal budi), (2) cultural capital (modal
kebudayaan), (3) symbolic capital (modal dalam bentuk gelar dan
status), (4) human capital (modal manusia), (5) educational capital
(modal di bidang pendidikan).
Lima capital ini dikelompokkan di bawah judul intellectual
capital atas kedekatan mereka satu sama lain yang berkaitan dengan
akal-budi atau intelek manusia sehingga disebut intellectual capital
(Roger Finke 2003: 2).
Dalam kelompok kedua, intellectual capital ini terlihat
penggabungan antara, pertama akal budi manusia (intellectual capital)
sebagai pengendali yang mengaktifkan manusia untuk berbudaya
sehingga muncul cultural capital. Bermacam-macam gelar dan status
yang dinamakan symbolic capital masuk dalam kelompok ini. Secara
keseluruhan manusia yang berakal budi cerdas dan berbudaya itulah
yang menjadi modal dalam pembangunan yang disebut human capital.
Dan manusia yang tampil sebagai orang intelek, berbudaya, berdaya itu
merupakan hasil dari suatu proses pendidikan sehingga keadaan ini
dilukiskan sebagai educational capital.
political
capital

Individual
capital

social
capital

erotic
capital

Gambar 7. Empat capital digabungkan menjadi social capital.
(Sumber Anton Bele, dipadukan dari kelompok Pasadena 2004)

37

Kelompok ketiga adalah social capital (Putnam dalam
Iannaccone 2003:3). Dalam kelompok ini terhimpun empat capital.
Kedekatan dari empat capital ini satu sama lain menjadi alasan untuk
digabungkan bersama social capital menjadi kelompok social capital
yang terdiri dari, (1) social capital (modal sosial), (2) individual capital,
(modal berupa milik pribadi), (3) erotic capital, (modal dalam daya tarik
erotik dari seseorang) dan (4) political capital (modal di bidang politik).
Dalam kelompok ketiga, social capital ini kesadaran manusia
akan dirinya sebagai pribadi itu menjadi penting karena dia akan
bertemu dengan pribadi-pribadi yang lain. Itu termasuk dalam
individual capital. Sudah hukum alam, manusia yang terdiri dari lakilaki dan perempuan ini ada rasa ketertarikan satu sama lain dan ini
dimungkinkan oleh adanya satu modal ini, erotic capital. Tanpa
mendaya-gunakan capital ini, manusia sudah lama punah. Pertemuan
manusia dengan manusia yang sekian banyak dan berhimpun di satu
tempat pada satu kurun waktu tertentu perlu ada pengaturan. Dan
pengaturan itulah yang terjadi dalam kemampuan manusia untuk
berpolitik dalam arti yang tulus dan murni yaitu mengupayakan
kesejahteraan bersama. Itulah political capital. Wajar kalau empat
capital ini digabungkan di bawah satu judul, social capital.
Kelompok keempat adalah spiritual capital. Dalam kelompok ini
terhimpun dua capital yang terdiri dari (1) spiritual capital (modal
rohani) dan (2) religious capital (modal agama). Kedekatan dari dua
capital ini satu sama lain menjadi alasan untuk digabungkan menjadi
kelompok spiritual capital.
religious
capital

Spiritual
capital

Gambar 8. Dua capital : religious capital digabungkan menjadi

spiritual capital.
(Sumber Anton Bele, dipadukan dari kelompok Pasadena 2004)

38

Dalam kelompok keempat ini religious capital itu begitu erat
berkaitan dengan spiritual capital sehingga dua capital ini digabungkan
menjadi satu capital yaitu spiritual capital. Nama yang diberikan bukan
religious capital tapi spiritual capital karena spiritual capital itu lebih
mendasar dan lebih umum daripada religious capital. Religious capital
itu muncul dari pengalaman beragama, sedangkan spiritual capital itu
bukan muncul atau dimunculkan tetapi diletakkan oleh Pencipta dan
berada langsung dalam diri manusia sebagai sesuatu yang kodrati
(Rachmat Subagya 1981: 64-66).

KETERPADUAN EMPAT CAPITAL
Munculnya istilah empat capital sebagai satu kerangka teori
merupakan hasil studi kelompok Pasadena yang belum terlalu lama,
baru pada tahun 2007 pemahaman ini dimunculkan dan dirumuskan
(The RM Institute’, RM = Research Method, 2007-2008). Bagaimana
keterpaduan antara empat capital itu, material, intellectual, social dan
spiritual capital dalam diri manusia?
Manusia yang adalah materi tampak dalam tubuh jasmani. Dia
berakal budi. (Van Peursen 1983: 172-3). Dia adalah pribadi yang hidup
bermasyarakat. Dia adalah roh yang mem-badan dan badan yang meroh (Driyarkara 1954/2006: 72). Di sini dasar keterpaduan empat capital
itu secara utuh dalam diri manusia. Empat capital inilah yang menjadi
modal dasar untuk manusia itu memanusiakan dan memanusiawikan
diri, sesama dan alam sekitar. Memanusiakan atau hominisasi berarti
manusia itu menjadi pribadi yang utuh lahir dan bathin (J.W.M. Bakker
SJ 1984:15). Memanusiawikan atau humanisasi berarti manusia itu
menyentuh dirinya dan sesama serta alam sekitar dengan cara yang
tepat dan sesuai norma-norma yang berlaku baik secara adi-kodrati
maupun secara kodrati. Secara adi-kodrati berarti memperlakukan diri,
sesama dan alam sekitar sebagai hasil ciptaan Tuhan yang harus
dipertanggung-jawabkan kepada Tuhan. Secara kodrati berarti
memperlakukan diri, sesama dan alam sekitar sesuai keberadaan diri,
sesama dan alam sekitar itu dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai
contoh, manusia menyadarkan diri dan sesama untuk beragama, itu

39

tanda suatu perlakuan adi-kodrati, menggantungkan hidup pada kuasa
Yang Maha Tinggi (Frans Magnis-Suseno 2005: 66-70).
Manusia bekerjasama dengan sesama untuk menggarap tanah
agar ada hasil untuk dimakan, itu suatu perlakuan manusia te