Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Nurani Suku Buna' Spiritual Capital dalam Pembangunan D 902006009 BAB III

BAB 3
PULANG KAMPUNG
NIAT PRIBADI
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan mengalami kembali
keadaan kampung kelahiran, Henes dan Lakmaras. Penulis sebagai
peneliti sudah lama meninggalkan kampung ini, sejak tahun 1959 waktu
penulis memasuki bangku pendidikan di Seminari Menengah Lalian,
sekolah untuk menjadi imam dalam gereja Katolik. Jadi pada saat
penelitian ini dimulai, tahun 2006, praktis penulis telah meninggalkan
kampung halaman ini selama empat puluh tujuh tahun. Waktu penulis
meninggalkan kampung halaman ini, penulis berumur dua belas tahun.
Kesan-kesan tentang masyarakat di desa Henes dan Lakmaras hanya
berupa pengalaman yang sempat diingat dari masa penulis berumur
enam sampai dua belas tahun yaitu dari tahun 1953 sampai 1959. Hasil
rekaman selama masa kanak-kanak ini merupakan salah satu modal
yang kuat dalam penelitian ini. Dengan catatan ini penulis mempunyai
kewaspadaan dan kehati-hatian untuk menyatu dengan sasaran
penelitian sekaligus mengambil jarak untuk tetap menjaga obyektifitas
dalam penelitian.
Penulis merasa begitu tertarik untuk mengadakan penelitian ini
karena penulis cukup banyak bergaul dengan seorang tokoh suku Buna’,

Bapak A.A. Bere Tallo (almarhum). Manuskrip tentang suku Buna’ yang
beliau tinggalkan merupakan harta yang sangat berharga dan salinannya
masih penulis simpan dan menjadi salah satu bahan acuan dalam
penulisan hasil penelitian ini. Ketertarikan penulis ditambah dengan
pengalaman selama satu bulan bergaul dengan seorang peneliti
berbangsa Perancis, Louis Berthe (almarhum) dan isterinya Claudine
Berthe-Friedberg (almarhumah). Kedua suami-isteri ini mengadakan
penelitian di kalangan suku Buna’ dan tinggal di Lamaknen termasuk di
kampung Lakmaras dari tahun 1957 sampai 1959. Sebagai bocah
43

berumur sepuluh tahun yang baru duduk di kelas lima SR (Sekolah
Rakyat) penulis mengagumi segala peralatan yang dibawa oleh kedua
suami-isteri peneliti ini, mulai dari camera, tape-recorder sampai
kepada berbagai perlengkapan lain yang aneh dan asing. Karena begitu
akrabnya bergaul dengan para mako’an atau lal gomo (ahli adat suku
Buna’) maka masyarakat menjuluki dan memanggilnya Tuan Mako’an.
Siang dan malam, terutama malam hari, para mako’an (semua sudah
almarhum) menuturkan silsilah leluhur entah dengan berceritera atau
berlagu. Semua itu direkam dengan tape-recorder besar dengan cassette

roll besar dan dos-dos cassete yang besar itu memenuhi dos-dos di balebale. Pengalaman ini merupakan salah satu dorongan yang kuat untuk
mengadakan penelitian di kampung asal sendiri.8
8 Pada tahun 1957-1959, seorang Perancis bernama Louis Berthe, mengadakan
penelitian di Lamaknen dan wilayah suku Buna’ di Timor Leste.Louis Berthe
ini dikenal dengan julukan Tuan Mako’an. Mako’an artinya ahli adat. Tuan
Mako’an dan isterinya tinggal di rumah penduduk yang sengaja dikosongkan di
desa Lakmaras. Ada kawan-kawan penulis sesama anak-anak usia SR sempat
mengangkat kertas putih halus yang berhamburan di belakang rumah mereka
tinggal. Kawan-kawan saling merampas kertas putih halus itu. Sesudah mereka
membagi-bagi dan melihat dengan teliti, ternyata kertas-kertas itu adalah
kertas tissue bekas terpakai di kamar kecil yang berada di belakang rumah
yang sengaja dibuat oleh penduduk sebagai tempat buang air besar dan kecil.
Kami biasa membersihkan diri sesudah membuang air besar dengan tongkol
jagung, batu kecil atau daun-daun yang tidak gatal. Tapi mereka dua memakai
kertas putih halus. Ini sesuatu yang keterlaluan menurut kami. Memang air
sangat kurang sehingga di kamar kecil itu hanya diletakkan periuk tanah
dengan gayung terbuat dari tempurung kelapa untuk sekedar mencuci tangan.
Tempat ini dibuat dengan empat dinding terbuat dari alang-alang, pintunya
ditutup dengan kain tenun yang tua sebagai kain pintu. Tidak digali lubang
penampung kotoran. Ada semacam bale-bale yang diberi lubang dan di bawah

bale-bale ini babi-babi milik penduduk yang tidak dikandangkan selalu datang
pada saat yang tepat. Hidup menyatu dengan masyarakat ini merupakan suatu
kejanggalan. Orang kulit putih seperti mereka bergaul dengan orang kampung.
Orang mencintai mereka. Tuan Mako’an sibuk merekam pada malam hari dan
siang hari mengetik. Isterinya pergi ke luar masuk semak belukar diiringi anakanak mencari daun-daun dan akar-akar. Di halaman rumah darurat tempat
penginapan mereka itu ada kaca-kaca yang menjepit daun-daun itu untuk
dikeringkan. Ternyata Nyonya Claudine Friedberg Berthe ini seorang peneliti
di bidang botani yang mempelajari bermacam-macam tumbuhan. Hasil
kerjanya diterbitkan pada tahun 1982 sebagai thesis doktoral di Universite Paris
V Rene Descartes – Science Humaine – Sorbonne dalam enam jilid. Seluruh
halaman berjumlah 2.144 halaman (L + 1644). Judul buku itu, Muk Gubul Nor,
”La Chevelure de la Terre” Les Bunaq de Timor et les Plantes. Suaminya Tuan
Mako’an menerbitkan hasil penelitiannya dengan judul ”Bei Gua, Itineraire des
ancestres, Mythes des Bunaq de Timor”, diterbitkan pada tahun 1972 oleh
Centre National de la Recherche Scientifique, Paris. Suatu pemikiran tentang

44

Penelitian di Desa Henes dan Lakmaras dilaksanakan dalam
bentuk pengamatan langsung dilengkapi dengan wawancara dan

pengkajian sumber-sumber tertulis. Penelitian secara intensif
dilaksanakan selama lima tahun, dari tahun 2006 sampai 2011.
Hubungan yang sulit dari Kupang di ujung Barat Pulau Timor dengan
wilayah penelitian di pedalaman Pulau Timor merupakan satu
hambatan tersendiri. Semua itu dapat teratasi berkat bantuan dari
berbagai pihak, keluarga, instansi Pemerintah Daerah Propinsi Nusa
Tenggara Timur dan Pemerintah Kabupaten Belu.
Permasalahan yang yang menjadi fokus penelitian adalah
spiritual capital 9 yang dimiliki oleh masyarakat Suku Buna’ dan
bagaimana spiritual capital itu dimunculkan dalam keseharian hidup
mereka. Kelompok suku Buna’ ini tersebar di dua Kecamatan di
Kabupaten Belu dan menjangkau pula wilayah pedalaman Negara Timor
Leste. Karena wilayah ini begitu luas, maka dipilih satu wilayah yang
terbatas sebagai contoh yaitu wilayah desa Henes dan Lakmaras (DHL)
sebagai satu kesatuan adat di Kecamatan Lamaknen Selatan. Masyarakat
di dua desa ini sudah merupakan satu kelompok yang cukup mewakili
seluruh kelompok Suku Buna’.
Penelitian ini bertujuan mengungkapkan masalah pokok, yaitu
sejauh mana spiritual capital menjadi basis dalam pembangunan
berkelanjutan di kalangan suku Buna’ khususnya di DHL. Pertama-tama

dicari informasi sejauh mana masyarakat suku Buna’ itu menampilkan
spiritual capital dalam kehidupan harian mereka. Untuk mengetahui hal
ini, digali latar belakang kehidupan yang mereka jalani sekarang ini.
kemajuan hidup dua orang suami-isteri ini tetap menarik penulis untuk kelak
menjadi orang seperti mereka dua. Kami anak-anak mengagumi mereka dan
kami berbicara tentang hebatnya dua orang itu. ”Betapa majunya dua orang ini.
Kita masih pakai tongkol, batu dan daun, mereka sudah pakai kertas putih
halus”, ungkap orang-orang tua kami. Tapi keduanya rendah hati, bergaul
akrab dengan kami punya orang tua-tua. Mereka dua juga kuat makan sirihpinang. Mereka dua mengerti bahasa Buna’ biarpun tidak bisa berbicaa lancar
dalam bahasa Buna’. Suku Buna’ berhutang budi pada dua orang ini.
9 Secara umum,
spiritual capital didefinisikan sebagai kekuatan, pengaruh dan
keadaan yang diciptakan oleh kepercayaan, pengetahuan dan praktek rohani
dari seseorang atau suatu organisasi (Danah Zohar, 2004). Dampak dari tempat
dan peran spiritual capital dalam pembangunan masyarakat di DHL menjadi
fokus dalam penelitian ini.

45

Cara ini termasuk dalam metode yang disebut ethnomethodology

(Martha S. Feldman 1995: 8-9) yaitu penelitian dengan metode
berdasarkan budaya masyarakat setempat (culturally based methods).
Penulis mendatangi orang-orang kunci.
Yohanes Mau Fetor (65 tahun) sangat kaget waktu penulis
mendatanginya pada bulan Oktober tahun 2006 di desa Henes. Dia
berseru, ”Hai, kau’, tero gene na man. Mugen na itiba ka?” (Hai, adik,
datang dari mana. Arwah yang suruh engkau?). Kedatangan penulis
mengagetkan tokoh masyarakat Henes ini. Dia adalah ponakan kandung
dari ayah penulis. Kaum keluarga berdatangan. Hari itu Minggu, tanggal
29 Oktober. Sore hari, kampung Geleba’ pengganti kampung Henes
yang sudah hancur terbakar, sedang ramai karena penduduk tidak ke
kebun. Semua kerabat yang seumur dengan penulis berdatangan.
Suasana kampung masih tetap seperti tahun lima puluhan, hanya ada
perbedaan, tidak ada lagi rumah beratapkan ilalang. Semua sudah
beratapkaan seng. Ada satu dua yang berdinding darurat dari bambu
atau bebak (batang daun gewang), tapi lebih banyak berdinding tembok.
Rumah permanen. Kaum ibu yang datang, hanya terbengong-bengong
dengan kedatangan penulis yang tidak diberitakan lebih dahulu.
Kesibukan di rumah adik sepupu, Petrus Mau, yang disapa orang Mau
Gulo’, mulai ramai. Sore berlanjut menjadi malam. Kerabat silih

berganti datang dan pergi. Tangisan dari ibu-ibu mengawali pertemuan
ini karena mereka mengenangkan lagi kerabat yang meninggal tanpa
kehadiran penulis. Suasana menjadi tenang dan berbagai pertanyaan
diajukan bertubi-tubi tentang maksud dan tujuan kedatangan penulis.
Sesudah terjawab, Marsel Bere, mantan kepala Desa Henes nyeletuk,
”Hai, engkau sudah tua begini, sekolah terus, mau apa lagi?” Marsel Bere
yang ini seorang Guru Agama di Henes yang disegani dan pernah
menjadi kepala desa. Kaum ibu berdatangan dari keluarga-keluarga yang
bertetangga dan mereka sibuk menyiapkan makan malam. Masingmasing membawa bahan-bahan makanan apa adanya, ada yang
membawa beras, kacang tanah dan ubi-ubian untuk dimasak dan
dimakan bersama malam itu. Itulah sore dan malam pertama penelitian
di Desa Henes dan Lakmaras yang dimulai dari desa Henes. Selama
seminggu penulis tinggal di desa sendiri, desa Henes. Pembicaraanpembicaraan awal dan pengambilan gambar-gambar diawali pada hari
ini.

46

Suasana seperti di desa Henes terulang lagi di Lakmaras. Petrus
Mau Rato (52 tahun) juga sangat kaget waktu penulis datang pada hari
Kamis, tanggal 2 Nopember 2006. Hari itu adalah hari matebean, hari

doa untuk orang-orang yang sudah meninggal dunia. Penduduk desa
Lakmaras seperti juga semua orang di seluruh Lamaknen, tidak ke
kebun karena mereka berdoa di kubur-kubur untuk mengenang semua
keluarga yang telah meninggal dunia. Pembicaraan tentang maksud da
tujuan kedatangan penulis berlangsung berhari-hari selama seminggu.
Ini gambaran sekilas tentang awal dan proses penelitian selanjutnya
selama lima tahun berturut-turut, dari tahun 2006 sampai awal tahun
2001.
Melalui pengamatan dan wawancara dengan para informan
kunci, kenyataan hidup masyarakat di DHL diteliti dalam kaitannya
dengan penghayatan spiritual capital. Pengungkapan spiritual capital
dalam kehidupan sehari-hari itu ditelusuri lagi sejauh mana dipengaruhi
oleh pengaruh-pengaruh yang muncul dalam masyarakat itu sendiri dan
pengaruh-pengaruh dari luar yang datang memberi warna baru kepada
spiritual capital yang sudah dan sedang dihayati oleh masyarakat DHL.
Untuk memahami apa itu spiritual capital dalam kehidupan
masyarakat suku Buna’ di DHL, pertama-tema diteliti segi-segi
kekerabatan yang muncul dari adat istiadat perkawinan. Masyarakat
suku Buna’ ini berjalan dalam suatu keteraturan kekuasaan, maka untuk
itu diteliti kepemimpinan lokal yang mereka junjung tinggi sampai

sekarang guna menggali ada tidaknya unsur spiritual capital dalam
kepemimpinan lokal ini. Kehidupan ekonomi masyarakat juga diteliti
untuk menungkapkan apakah benar ada unsur-unsur spiritual capital
yang menjadi basis dalam segala upaya pemenuhan kebutuhan di bidang
ekonomi. Hal ini diteliti dan diuraikan dalam uraian tentang
perekonomian desa.
Masyarakat DHL ini juga masih memiliki rupa-rupa harta
kesenian yang masih tersisa dan itu ditelusuri dengan pengkajian di
lapangan melalui pengamatan dan wawancara. Hal yang mau
diungkapkan dalam aspek kesenian ini masih tetap sama, apakah
memang ada unsur spiritual capital di sana. Lalu ada lagi kenyataan
bahwa masyarakat DHL juga masih mempunyai acara-acara hiburan
rakyat, ada yang sudah dilupakan ada yang masih dilaksanakan, dan ini
diamati lagi lalu dilengkapi dengan wawancara-wawancara langsung di
47

DHL. Hiburan rakyat ini pun diteliti dengan tujuan mengungkapkan
apakah ada unsur spiritual capital dalam hiburan rakyat ini. Terakhir
masyarakat DHL diamati lagi tentang penghayatan religi asli mereka
yang sudah dipadukan dengan kepercayaan kristiani. Apakah dalam

dalam penghayatan religi ini unsur spiritual capital itu terungkap
dengan jelas ataukah tersamar saja.
Dalam proses penelitian ini penulis tetap berpegang pada asumsi
pokok, bahwa spiritual capital itu sesuatu yang umum dimiliki oleh
setiap kelompok masyarakat di mana pun saja dan kapan pun saja
termasuk masyarakat suku Buna’ di DHL. Kalau spiritual capital itu
diyakini sebagai satu kenyataan umum maka bagaimanakah masyarakat
suku Buna’ di DHL ini menyadarinya dan menghayatinya dalam hidup
harian mereka? Dalam segi-segi kehidupan apa saja spiritual capital itu
dapat diamati? Apakah spiritual capital itu berkembang atau sudah
mapan dan tidak dapat dikembangkan lagi? Bagaimana spiritual capital
itu dikaitkan dengan capital yang lain sejauh konsep-konsep tentang
capital itu begitu banyak dirumuskan selama ini?
Sesudah mengungkapkan fenomena yang ada, dibuatlah sintesa
dalam mana dikemukakan bahwa keberlangsungan hidup masyarakat
suku Buna’ di DHL ini memang ternyata didasari oleh spiritual capital
yang terpadu dalam capital yang lain yaitu material capital, intellectual
capital dan social capital. Sintesa ini merupakan puncak dari seluruh
proses penelitan yang dilakukan selama lima tahun termasuk dalam
pengkajian literatur baik tentang masyarakat suku Buna’ sendiri

maupun tentang masyarakat-masyarakat lain yang ditulis oleh ahli-ahli
di berbagai bidang, ekonomi, sosiologi, dan filsafat manusia.
Berbagai informasi dari lapangan, dalam hal ini suku Buna’ di
DHL sebagai data primer dibandingkan dengan pengkajian oleh para
ilmuwan yang tertulis dalam literatur tentang suku Buna’ dan suku lain
dipakai sebagai data sekunder, diuji lagi dengan kajian khusus tentang
spiritual capital , ditemukan hasil yang diuraikan dalam sintesa.
Pengujian dengan memakai tiga sumber ini disebut triangulasi dalam
metodologi penelitian kualitatif di bidang sosial (Djam’an Satori dan
Aan Komariah, 2010: 170-2).
Melalui hasil penelitian ini terungkap bahwa spiritual capital
itu merupakan basis bagi setiap kegiatan yang membawa perubahan
masyarakat dalam kelompok suku Buna’ di DHL. Kenyataan ini kurang

48

disadari sehingga perubahan masyarakat menjadi perubahan yang
semakin tidak manusiawi. Pengabaian terhadap spiritual capital ini telah
membawa banyak malapetaka di DHL. Penelitian ini menggugah
masyarakat DHL untuk menyadari dan menghayati kembali nilai-nilai
inti dari spiritual capital yang mereka warisi dan miliki saat ini. Hasil
penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan kepada masyarakat
di mana pun saja di tingkat apa pun saja untuk menyadari dan
menghayati sungguh-sungguh adanya spiritual capital itu sebagai basis
untuk segala bentuk kegiatan yang membawa perubahan dalam
masyarakat.
Secara lebih luas, hasil penelitian di kelompok kecil, masyarakat
suku Buna’ di DHL ini bertujuan menyadarkan masyarakat lain untuk
melihat bahwa segala ketimpangan dalam pembangunan seyogyanya
disebabkan oleh pengabaian terhadap spiritual capital dan lebih
mengutamakan tiga capital yang lain, material capital, intellectual
capital dan social capital. Dengan terlalu mengutamakan material capital
sambil mengabaikan spiritual capital masyarakat akan menjadi semakin
materialistis. Dengan terlalu mengutamakan inttelllectual capital
sambil mengabaikan spiritual capital, masyarakat akan semakin
intelektualistis yang mendewakan akal budi dan mengesampingkan
kemanusiaan. Dengan terlalu mengutamakan social capital tanpa
memperhatikan spiritual capital, masyarakat akan menjadi kelompok
yang bersekutu untuk terus berseteru karena kurang menghargai sesama
manusia sebagai bahagian dari diri mereka sendiri. Jadi dalam proses
pembangunan, spiritual capital
itu mempunyai peran sentral.
Kenyataan yang dihadapi oleh masyarakat manusia sekarang ini ialah
masyarakat semakin materialistis, hedonistis dan individualistis karena
pengabaian faktor spiritual capital ini. Penelitian ini mengupayakan
adanya kesimpulan yang mengajak para pemegang kuasa, baik
pemerintahan, tokoh adat, tokoh masyarakat maupun pemimpin
keagamaan untuk menyadarkan dan menuntun masyarakat tentang
pentingnya peranan spiritual capital dalam pembangunan secara
menyeluruh. Lewat penelitian ini juga penulis menyumbangkan
pengetahuan dan kesadaran kepada dunia ilmu pengetahuan tentang
arti dan peranan spiritual capital dalam proses pembangunan dan
membuka kemungkinan untuk penelitian lebih lanjut.

49

Penulis memilih metode penelitian kualitatif deskriptif, yaitu
penelitian yang bertujuan mengungkapkan gejala sosial dari satu
kelompok masyarakat yang terjadi secara menyeluruh, luas dan
mendalam. Penelitian seperti ini termasuk dalam cara penelitian di
bidang ethnomethodology (Martha S. Feldman 1995: 8-9) suatu
penelitian yang mempelajari satu kelompok masyarakat berdasarkan
kehidupan nyata mereka sebagaimana apa adanya untuk
mengungkapkan apa latar-belakang mereka dan hal-hal apa saja yang
mempengaruhi mereka. Penelitian ini diadakan di tempat masyarakat
itu sendiri guna mengungkapkan dengan jelas fenomen-fenomen yang
ada dalam masyarakat itu (Sugiyono, 2007: 209).
Masyarakat yang diteliti adalah masyarakat suku Buna’ di dua
Desa, Henes dan Lakmaras. Dua desa ini merupakan satu kesatuan adat,
tetapi dalam sistim pemerintahan dibagi atas dua desa, sebagai bahagian
dari kecamatan Lamaknen Selatan, Kabupaten Belu, Propinsi Nusa
Tenggara Timur, Indonesia. Mulai tahun 2006, penulis sengaja
mendatangi masyarakat berusaha mendatangi lokasi penelitian dan
melihat langsung situasi yang terjadi di kalangan masyarakat dua desa
ini. Peneiti berusaha mendekati masyarakat secara menyeluruh dan
mendekati tokoh-tokoh masyarakat untuk mengungkap sebab-musabab
dan latar belakang perubahan yang terjadi. Ini merupakan suatu
pendekatan fenomenologis, yaitu usaha memahami arti peristiwa dan

kaitan-kaitannya terdahap orang-orang biasa dalam situasi-situasi
tertentu (Lexy J. Moleong 2004: 9).
Penelitian ini bersifat perspektif emic, yaitu penelitian yang
berdasarkan data sebagaimana apa adanya di lapangan. Penelitian ini
juga merupakan grounded research’ yaitu penelitian yang berdasarkan
penemuan teori atas dasar data yang diperoleh di lapangan sesuai situasi
sosial yang terjadi (Sugiyono, 2007: 214).
Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan keadaan sosial (social
situation) yang terdiri dari tiga elemen, yaitu tempat (place), pelaku
(actors) dan kegiatan (activity) yang berinteraksi secara sinergis (Harold
Garfinkel dikutip dalam Martha Feldman, 1995: 9-12). Dalam penelitian
ini, tempat (place) adalah desa Henes dan Lakmaras; pelaku (actors)
adalah penduduk di dua desa, Henes dan Lakmaras yang berjumlah
1.607 jiwa (tahun 2008); kegiatan (activity) adalah perubahan yang

50

terjadi sebagai hasil interaksi sosial dari masyarakat dua desa yang
berlangsung sampai sekarang.
Alasan penggunaan metode kualitatif deskriptif yang sifatnya
perspektif emic dan didasarkan atas ’grounded research’ ialah karena
metode ini cocok untuk mengungkapkan kenyataan yang dihadapi dan
mau diteliti, meliputi perubahan yang terjadi selama ini. Metode ini
secara ilmiah dapat dipertanggung-jawabkan karena dalam dunia
penelitian sosial, metode penggunaan data pengalaman individu sudah
diterima sebagai metode yang sah. Peneliti mempunyai data
pengalaman tentang masyarakat yang diteliti karena peneliti berasal
dari kalangan masyarakat sasaran sendiri dan mempunyai minat untuk
mengkaji secara ilmiah perubahan yang sudah dan sedang terjadi.

LOLO GONI’ON:
TIGA BUKIT
Secara geografis, Desa Henes dan Lakmaras ini merupakan
wilayah yang berbatasan langsung dengan wilayah Timor-Leste (dahulu
Timor jajahan Portugal) sehingga biasa juga disebut Timor Portugis.
Desa Henes, luasnya 6,22 Km2 dan Desa Lakmaras, luasnya 21,39 Km,
dan itu berarti dua Desa ini keseluruhannya mempunyai luas wilayah
27,61 Km2.
Tabel 2 Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Desa Henes dan

Lakmaras
No

Desa

Km2

Kepadatan Penduduk
(Km2)

1

Henes

6, 22

49,51

2

Lakmaras

21,39

68,02

27,61

Rata2: 58,76 Jiwa/Km2

Jumlah

(Sumber: Statistik Desa Henes dan Lakmaras 2008).

Dua Desa ini dikenal dengan istilah ’Lolo Goni’on’ (Bahasa
Buna’) artinya ’tiga bukit’, yaitu bukit Lakmaras, bukit Henes dan bukit
51

Abis. Ditambah lagi bukit yang keempat, bukit Si’arai di dusun Kotasai.
Jadi sebenarnya ada empat kampung adat, kampung Lakmaras di puncak
bukit Lakmaras, kampung Henes di puncak bukit Henes, dan kampung
Abis di bukit Abis. Sedang bukit Si’arai sudah lama ditinggalkan
penghuninya dan dibuatlah kampung di kaki bukit Si’arai, dikenal
dengan nama, kampung Kotasa’i.
Empat bukit ini diselimuti kabut hampir sepanjang tahun,
karena terletak di daerah ketinggian dan selalu mendapat hembusan
angin yang membawa hujan dari arah Laut Timor di sebelah Selatan.
Empat bukit ini menjadi penghasil tanaman seperti kentang, bawang
putih, cabai, sayuran labu jepang, ubi jalar dan ketela rambat. Seluruh
wilayah seluas 21 km2 persegi ini dengan seluruh bukit dan lembah,
padang dan belukar, sumber air dan ladang serta hutan dan
perkampungan inilah yang menjadi tempat penelitian selama lima
tahun. Di wilayah inilah ada masyarakat suku Buna’ yang secara khusus
berada dalam dua desa, Henes dan Lakmaras. Penduduk desa Henes dan
Lakmaras menurut data Statistik 2008, ada 1.607 jiwa. Jumlah kepala
Keluarga: 319. (Henes = 104 kk; Lakmaras = 215 kk).
Tabel 3 Jumlah Penduduk Desa Henes dan Lakmaras Tahun 2008
No.

Desa

Laki-laki

Perempuan

Jumlah

1

Henes

276

272

548

2

Lakmaras

548

511

1.059

824

783

1.607

Sumber: Data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Belu, Lamaknen dalam
Angka 2008.

Dalam penelitian ini penulis berkunjung langsung ke desa
Henes dan Lakmaras baik langsung untuk penelitian maupun secara
tidak langsung untuk menghadiri acara-acara adat yang selalu dikaitkan
dengan tujuan penelitian. Catatan-catatan harian menjadi alat utama
untuk menghimpun berbagai data dan informasi. Dengan sangat hatihati penulis mengajak sumber informasi untuk rela pembicaraannya
direkam. Dan rekaman ini menjadi begitu banyak, dua puluh-an casette
dihabiskan untuk merekam berbagai pembicaraan berkaitan dengan
52

jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh
peneliti. Pada setiap kesempatan, gambar-gambar diambil dan obyek
yang difoto menjadi dokumen yang sangat berharga. Orang-orang yang
diwawancara pun rela diambil gambar dengan permintaan dari mereka
untuk diberikan hasilnya kalau sudah dicuci. Dan permintaan itu sudah
dipenuhi untuk sebahagian besar nara sumber yang diambil gambarnya
pada waktu diwawancara.
Sebagai satu kelengkapan yang sangat berarti dalam penelitian
ini ialah pengalaman penulis sendiri. Dua desa ini penulis pahami mulai
dari keadaan alam, manusia dan adat istiadatnya karena di desa
Lakmaras, penulis dilahirkan pada tanggal 18 April 1947. Penulis
menjalani masa kecil di desa Lakmaras karena mama, Agnes Habu’
(almarhumah) berasal dari desa Lakmaras dan ayah penulis, Petrus Asa
(almarhum) berasal dari desa Henes. Kedua orang tua ini membesarkan
penulis dalam lingkungan kepercayaan agama Hot Esen (agama asli
suku Buna’) dan adat istiadat yang ketat dari suku Buna’. Keduanya
dibaptis sebagai orang ’serani’ (katolik) pada usia lanjut. Doa-doa dan
lagu-lagu liturgi katolik tidak ada yang mereka kuasai sampai akhir
hidup mereka. Hasil didikan mereka dalam tradisi Buna’ yang nonkatolik menjadi salah satu dasar bagi penulis dalam penelitian dan
perumusan tulisan ini.
Dalam penelitian ini penulis memakai sumber tertulis tentang
suku Buna’ . yang ditulis oleh Louis Berthe dan Claudine Friedberg 10,
A.A. Bere Tallo, Dinas Pendidikan Propinsi NTT dan Pater Bene Mali
SVD. Semuanya ada lima sumber tertulis. Sumber-sumber tertulis ini
memang tidak banyak karena studi tentang suku ini memang masih
sangat terbatas. Keterbatasan sumber tertulis ini membuat penulis lebih
terdorong lagi untuk menambah tulisan tentang suku ini melalui
penelitian yang dilaksanakan oleh penulis. Ada satu hal khusus yang
penulis perbaharui dalam tulisan ini yaitu soal penulisan nama Buna’.
10 Pada tahun 1957-1959, seorang Perancis bernama Louis Berthe, mengadakan
penelitian di Lamaknen dan wilayah suku Buna’ di Timor Leste dan hasil
penelitian itu ditulis dalam buku Bei Gua – Itineraire des ancestres, mythes des
bunaq de timor, 1972, Centre National de la Recherche Scientifique, Paris.
Isterinya, Claudine Friedberg juga mengadakan penelitian di kalangan suku
Buna’ dan menulis buku Muk Gubul Nor “La Chevelure de la Terre” Les Bunaq
de Timor et les Plantes, 1982, Universite Paris V – Rene Descartes. Dua buku
ini ditulis dalam bahasa Perancis.

53

Louis Berthe memulai penulisan nama suku ini dengan menuliskan
Bunaq. Ini penulis robah karena lebih sesuai dengan cara Indonesia
yang memakai apostropha atau tanda (’) untuk mengganti huruf q. Lalu
penulis juga memakai nama untuk kepercayaan suku Buna’, bukan
agama suku saja, tetapi dengan jelas menulis ”Agama Hot Esen”, satu
istilah yang penulis pakai dan belum ditulis dalam literatur-literatur
yang ada.

INFORMAN KUNCI
Sumber data terdiri dari kelompok informan yang diwawancarai
dalam bentuk wawancara langsung, diskusi antara pribadi dan diskusi
kelompok. Penulis membedakan kelompok informan ini atas tiga
kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok inhabitan yaitu para
tokoh masyarakat yang ada di DHL dan masih menetap di DHL sampai
sekarang. Kelompok kedua adalah kelompok Exodus: yaitu para Tokoh
yang sudah ke luar dari DHL dan sudah menetap di tempat lain,
khususnya di Atambua, ibu kota Kabupaten Belu yang jaraknya dari
DHL, 63 km. Sekarang ditempuh dengan kendaraan bermotor roda dua
atau empat, dalam jangka waktu 4 jam.
Sampai dengan tahun 1970-an, perjalanan antara DHL dengan
ibu kota Kabupaten Belu, Atambua, biasa ditempuh dengan berkaki atau
berkuda, ditempuh dalam waktu 12 jam. Sekarang, waktu penelitian ini
dilaksanakan, hubungan antara kota Atambua dan DHL sudah lebih
mudah dan murah. Kelompok ketiga yaitu kelompok intelektual yang
terdiri dari para Pastor/ Guru/ Dosen/ asal DHL atau yang pernah
berada di DHL dan sekrang berada baik di DHL maupun di luar DHL
yaitu di Kota Atambua, Kefamenanu dan Kupang.
Penulis mengumpulkan data dengan cara observasi dan
wawancara secara langsung. Ada wawancara yang dilaksanakan dengan
cara tatap muka ada juga wawancara yang dilakukan dengan
pembicaraan lewat telepon celular. Sejak disetujui rencana penelitian
ini pada tahun 2006, penulis membuat rencana pengumpulan data.
Penulis mendatangi tempat penelitian dan mengadakan observasi
langsung. Hasilnya dicatat dan direkam serta diabadikan lewat camera.
Orang-orang yang dilihat sebagai sumber informasi didaftarkan dan
dikunjungi satu per satu. Hasil wawancara dengan orang yang
54

ditemukan langsung dicatat dan direkam. Orang yang tidak dapat
ditemui langsung, penulis berusaha menghubungi lewat telpon celular
dan berhasil ditemui orang-orang kunci baik yang berada di Lamaknen
maupun di luar Lamaknen.
Hasil yang terkumpul di lapangan penulis uji dengan tulisantulisan yang sudah ada tentang suku Buna’. Hal-hal yang kurang jelas
penulis tanyakan lagi kepada orang lain lagi. Orang yang menjadi
pembantu utama dalam penelusuran informasi ini ialah Ibu Aquilina
Mutik seorang sajrana asal kampung Lakmaras, mantan kepala desa
Lakmaras yang berdomisili di Lakmaras. Banyak informasi penulis
verifikasi lewat Ibu Aquilina Mutik ini bersama suaminya, seorang
pegawai pada Kantor Kecamatan Lamaknen Selatan. Kedua nara sumber
ini menjadi pemberi informasi utama yang dapat dipercayai khusus
tentang informasi mengenai keadaan masyarakat, pemerintahan dan
perekonomian desa Henes dan Lakmaras.

WAWANCARA
Penulis mengadakan wawancara dan diskusi secara intensif
dengan tokoh agama yang berasal dari kampung Lakmaras sendiri yaitu
Pater Yustus Asa SVD yang saat penelitian berlangsung, menjabat
jabatan ’Vikaris Jenderal Uskup Atambua”, orang nomor dua dalam
Gereja Katolik di Keuskupan Atambua. Uskup Atambua waktu itu Mgr.
Anton Pain Ratu SVD dan kemudian diganti oleh Mgr. Dominikus
Saku, Pr. Dari Pater Yustus ini penulis mendapatkan informasi dan
analisa yang tajam tentang kehidupan religi orang Buna’ di DHL.
Penunlis mengadakan diskusi yang hangat juga dengan orang-orang
yang mengenal dengan baik situasi masyarakat DHL. Orang itu adalah
Eustachius Mali TaE, seorang sarjana Ilmu Pendidikan Agama dan saat
ini menjadi Guru Agama di SMU Katolik Surya, Atambua. Pengalaman
dan pendapatnya tentang berbagai segi kehidupan orang-orang di DHL,
termasuk kehidupan religi mereka, dibahas secara mendalam dengan
Eustachius Mali Tae ini.
Penulis banyak bertanya pada tokoh-tokoh adat seperti mako’an
(ahli tutur adat). Penulis menggali informasi dari mereka dan banyak
hal yang terungkap melalui pembicaraan dengan mereka. Sayang bahwa
dua orang mako’an yang menjadi sumber informasi utama sudah
55

meninggal dunia pada tahun 2010 yang lalu. Mako’an Pit Bere Sorun
meninggal dunia di Abis (desa Lakmaras) dan mako’an Koli Uka juga
meninggal di Abis pada tahun yang sama. Mereka dua inilah yang
memberikan informasi paling berharga tentang adat istiadat leluhur
berkaitan dengan kekerabatan, kelahiran, kematian, pertanian dan
sistem religi masyarakat DHL. Berdasarkan keterangan mereka berdua
inilah penulis mengambil keputusan untuk menyebut kepercayaan
orang Buna’ itu Agama Hot Esen, yang disebut agama asli oleh para
ahli, antara lain Romo Bakker (nama samaran: Rachmat Subagya) dalam
bukunya yang berjudul ’Agama Asli Indonesia’ . Pada awalnya buku ini
merupakan diktat bahan kuliah sewaktu penulis menjadi mahasiswa
beliau di Sekolah Tinggi Kateketik – Yogyakarta tahun 1978 - 1980.
Ada lagi kelompok orang-orang asal suku Buna’ dari DHL yang
berdomisili di luar DHL yang menjadi informan penting bagi penulis
untuk mendapat kesan dan pengalaman mereka tentang perubahan di
DHL yang mereka alami dan amati. Kelompok ini terdiri dari orangorang yang berada di luar DHL, mulai dari Ibu Guru Berna Olo (Kepala
SD) di Nualain, Theresia Ili (pensiunan pegawai negeri) di Atambua,
Eustachius Mali Tae (Guru SMU) di Atambua dan Yosef Asa (Insinyur
Pertanian Tanah Kering) tinggal di Kefamenanu.
Kelompok yang mengenal orang Buna’ tapi bukan orang Buna’
adalah kelompok orang-orang yang pernah tinggal di Lamaknen dan
bergaul cukup lama dengan orang-orang DHL. Seorang misionaris asing
asal Jerman, Pater Yosef Roth SVD penulis datangi di Alas, jauh dari
Lamaknen dan beliau memberikan kesan-kesan positif dan negatif
tentang orang Buna’. Kesan positifnya, Pater Yosef Roth mengatakan
bahwa orang-orang Buna’ itu tegas, kerja keras dan pendirian kuat.
Kesan negatifnya ialah bahwa orang Buna’ itu kaku dengan adat
terutama adat perkawinan, adat belis yang mahal yang menyebabkan
banyak gadis dari suku bangsawan menjadi perawan tua karena tidak
ada pemuda yang berani melamar mereka.
Melalui cara-cara ini penulis merasa yakin bahwa informasi
yang penulis peroleh dapat dipercayai dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya untuk dikaji secara ilmiah. Hasil observasi
peneliti dan rekan-rekan yang diminta bantuan, dihimpun dan
dirumuskan dan disajikan bahan dalam tulisan ini.

56

PENGOLAHAN DATA
Data yang terkumpul dianalisis menurut prosedur berikut.
Penulis memilah-milah data itu atas kategori-kategori berupa topiktopik yang meliputi unsur-unsur pokok dalam kehidupan masyarakat
suku Buna’ di DHL. Topik-topik itu adalah topik tentang kehidupan
sehari-hari orang desa Henes dan Lakmaras, sistem kekerabatan mereka,
sistem kepemimpinan lokal, perekonomian desa, kesenian dan hiburan
rakyat dan yang terakhir, sistem religi mereka.
Hasil dari pengolahan data inilah yang dituangkan dalam
kesimpulan-kesimpulan, baik kesimpulan dalam setiap Bab maupun
dalam kesimpulan umum. Selanjutnya berdasarkan kesimpulan umum
itu penulis mengemukakan berbagai rekomendasi untuk ditindaklanjuti
dalam menerapkan pembangunan berkelanjutan berdasarkan empat
capital, tanpa mengabaikan salah satu capital, terutama ’spiritual capital’
yang sampai saat ini sangat diabaikan.
Data yang terkumpul dan yang sudah dianalisa, diuji dengan cara
kajian lapangan, kajian teoretis dan diskusi dengan orang ahli untuk
mendapatkan unsur-unsur yang diteliti, apakah sasarannya sudah
tercapai atau tidak. Sesudah melewati proses ini penulis yakin bahwa
tulisan ini memenuhi unsur kredibilitas (dapat diyakini bahwa data itu
sah), reliabilitas (dapat dipercaya kebenarannya), transferabilitas (dapat
dijadikan kebenaran yang dipakai di mana saja) dan obyektifitas (dapat
diuji sesuai kenyataan yang sebenarnya).
Soal obyektifitas ini memang cukup sulit dalam arti tertentu
karena penulis berasal dari wilayah tempat penelitian. Tetapi penulis
sudah sangat lama meninggalkan tempat penelitian ini, 1959 sampai
2006, empat puluh tujuh tahun, maka jarak antara penulis sebagai
peneliti dan sasaran penelitian, cukup jauh dan cukup terjaga dalam
mengumpulkan dan mengolah data. Penulis sudah berusaha maksimal
untuk menjaga jarak dan menghindari subyektifitas dalam membuat
analisa data yang ada.
Dalam menguji keabsahan data ini penulis membutuhkan waktu
cukup lama dan sering mengganggu orang-orang di lapangan. Hal yang
membuat penulis lega ialah bahwa orang-orang yang diminta bantuan
ini dengan rela dan penuh rasa tanggung-jawab mencari dan

57

menemukan lalu menyampaikan kepada penulis berbagai informasi
yang dibutuhkan.

KERJA TIM
Penulis melaksanakan penelitian dalam tim. Peneliti sendiri
sebagai koordinator, dan seorang peneliti lapangan di Desa Henes, dan
Lakmaras, yaitu Ibu Aquilina Mutik, mantan kepala desa Lakmaras yang
sekarang tinggal di desa Lakmaras. Dia adalah seorang sarjana
pendidikan tamatan Universitas Nusa Cendana Kupang. Informasi dan
analisanya tajam dan hal ini sangat membantu penulis dalam
merumuskan hasil penelitian. Dia bersama suaminya, Theodorus Bere
Laku sangat membantu penulis dalam menghimpun tokoh-tokoh
masyarakat DHL di rumah mereka untuk diajak berdialog tentang
topik-topik dalam penelitian ini.
Di luar DHL ditunjuk dua orang koordinator masing-masing di
Kota Atambua, saudara Eustachius Mali Tae SPd., dan di Kefamenanu
saudara Ir. Yosef Asa. Tugas peneliti lapangan ialah mewawancara,
menghimpun data dan menyampaikan kepada penulis. Hasilnya sangat
memuaskan karena mereka sangat memahami apa yang ditugaskan
kepada mereka.

HASIL TEMUAN
Dalam kesimpulan umum yang dipaparkan dalam Bab 10,
penulis mengemukakan temuan dan pendirian penulis tentang adanya
keterpaduan antara empat capital dalam diri manusia yang
menyebabkan manusia itu seharusnya hidup utuh terpadu. Penulis
mengemukakan pendapat bahwa sebab-musabab kegalauan dalam
pembangunan saat ini disebabkan oleh adanya dikotomi pemahaman
tentang spiritual dan non-spiritual dalam pengetrapannya oleh manusia.
Hal ini yang akhirnya mempengaruhi manusia dalam pengetrapan
pemahaman itu sewaktu melaksanakan kegiatan pembangunan. Lebih
sering tidak seimbang dari pada yang seimbang.
Masyarakat suku Buna’ dalam mengalami perubahan,
mengalami keseimbangan dan ke-tidak-seimbang-an (disequilibrium)

58

Tidak ada kesempurnaan dalam diri manusia dan masyarakat. Namun
yang harus diupayakan agar ada keseimbangan dalam pendaya-gunaan
keempat capital itu di setiap bidang kegiatan pembangunan.
Implikasi penemuan ini dalam pembangunan berkelanjutan, penulis
tuangkan dalam tulisan ini sebagai uraian tentang pengetrapan hasil
temuan dalam pembangunan di berbagai aras, mulai dari pribadi,
keluarga, aras lokal sampai aras mondial.
Topik yang terakhir adalah topik tentang Hot Esen: esensi religi
orang Buna. Dalam topik ini data dihimpun berkaitan dengan sasaran
pemujaan dalam agama Hot Esen, tempat dan waktu pemujaan dan
upacara pemujaan. Ternyata hasil analisa yang terungkap ialah, bukan
hanya spiritual capital saja yang terungkap di sana, hal mana merupakan
salah persepsi sampai sekarang. Dalam agama Hot Esen, ada penampilan
material capital, yaitu segala hasil usaha masyarakat seperti sandang,
pangan, papan dan ternak merupakan ’benda-benda (materi)’ yang
diyakini berasal dari Hot Esen, direstui oleh Mugen Bei Mil (arwah
leluhur) dan dipelihara oleh Pan Muk Gomo (roh-roh penghuni langit
dan bumi) dan diberkati oleh Hot Esen (Yang Mahatinggi).

YMT

ROH-ROH

LELUHUR

MANUSIA

Gambar 9. Hirarki kepercayaan suku Buna’. YMT singkatan

dari Yang Maha Tinggi

59

Dalam agama Hot Esen juga ada penampilan intellectual capital
yang terdiri dari begitu banyak kearifan yang harus dipelajari dan
diwariskan secara lisan turun-temurun. Mako’an sebagai ahli adat, ahli
tentang kepercayaan kepada Hot Esen, mempunyai daya nalar
(intellectual capital) yang tinggi. Dia mampu menghafal sekian ribu
ayat-ayat berupa syair-syair yang berisi sejarah leluhur dan doa-doa
kepada roh-roh dan Yang Maha Tinggi. Dalam pemujaan kepada Hot
Esen juga ada penampilan social capital berupa perayaan bersama di
mana ada perdamaian, pengukuhan status dan perayaan upacara syukur
bersama. Inilah unsur-unsur dari
social capital. Jadi tetap ada
keterpaduan empat capital itu dalam diri manusia baik pribadi maupun
kelompok, mulai dari keluarga sampai segenap umat manusia sejagat.

60