Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Nurani Suku Buna' Spiritual Capital dalam Pembangunan D 902006009 BAB VII

BAB 7
KESENIAN DAN HIBURAN RAKYAT

Masyarakat DHL memiliki harta kesenian dan acara-acara unik
sebagai hiburan rakyat. Kesenian yang dimiliki oleh masyarakat DHL
terdiri dari seni tenun, seni anyam, seni ukir, seni lukis. seni tari dan
seni lagu. Hiburan rakyat di kalangan masyarakat DHL terdiri dari
berbagai permainan yang sudah mengakar dalam keseharian masyarakat
HDL. Permainan-permainan itu dilakukan sesuai dengan kesempatankesempatan khusus seperti pesta-pesta adat atau kesempatan biasa sesuai
musim, entah musim hujan atau musim kemarau.
Permainan dalam pesta adat ialah cie ti (adu ayam). Permainan
yang disesuaikan dengan musim yaitu kute’ gete (lempar gasing) pada
musim kemarau, bon gete (lempar buah balam) pada musim hujan dan
barut gete (lempar kemiri) pada musim kemarau waktu panen kemiri.

HARTA KESENIAN
Kesenian yang dimiliki masyarakat DHL meliputi kesenian
tenunan, anyaman, ukiran, lukisan, tarian dan lagu. Mereka merasa
bangga dengan semua cabang kesenian ini. Kalau ditanya, mengapa
kesenian ini berbentuk begini atau begitu, langsung dijawab, mulai dari
leluhur sudah begitu. Jadi mereka sangat yakin bahwa segala macam

bentuk kesenian itu berasal dari leluhur dan itu berarti pula ada nilai
sakral yang melekat pada setiap cabang kesenian itu.

TAIS SELU: TENUNAN
Masyarakat DHL sangat menghargai tenunan kain-kain sebagai
satu karya warisan leluhur. Tais mone (kain untuk laki-laki) dan tais
pana (kain untuk perempuan) merupakan hasil karya tenun yang utama.
187

Dalam ukuran kecil ada tenunan untuk ikat pinggang disebut do’ ti’ gol
dan untuk ikat kepala disebut dubul ti gie.
Karya tenun-menenun ini dimulai dengan usaha pertanian,
tanam kapas (go’) untuk bahan benang dan tanaman perdu taun (tarum)
yang ditanam di ladang-ladang, daunnya dijadikan bahan pewarna
benang menjadi biru tua. Pohon-pohon yang dipakai kulit dan
batangnya untuk pewarna benang adalah hur (cemara) dipakai kulitnya
untuk mewarnakan benang menjadi merah tua dan nenu’ (nenuk,
pohon yang batang di dalamnya berwarna kuning) kayunya direndam
untuk mewarnakan benang menjadi kuning tua. Untuk mendapatkan
warna hitam, benang direndam di dalam lumpur berwarna hitam yang

bisa ditemukan dekat sumber-sumber air.
Kapas yang ditanam di ladang-ladang dengan sistim hambur
benih di dalam kebun, dipiara dan dipanen pada musim kemarau (pan
porat). Kapas ini tanaman umur pendek, rata-rata berumur delapan
bulan sehingga benih yang dihambur pada awal musim hujan (pan
salan) sekitar bulan Desember, maka tanaman kapas ini siap dipanen
pada bulan Juli.
Kapas yang dipanen dijemur lalu dipisahkan serat dari bijinya
dengan alat yang dinamakan leru (terbuat dari kayu sebagai alat
penggiling). Pekerjaan ini dilakukan oleh kaum perempuan. Proses
pemisahan serat kapas dari bijinya ini disebut go’ leru. Kapas yang sudah
terpisah dari bijinya diperhalus melalui proses go’ hosu (alat seperti
busur). Dengan alat seperti busur ini yang talinya dipetik seperti orang
memetik tali gitar, kapas dikebas-kebas di atas tikar dan menjadi seratserat yang halus. Ibu-ibu yang mengerjakan pekerjaan go’ hosu ini,
menutup kepalanya dengan kain agar serat-serat kapas yang
beterbangan itu tidak hinggap di rambut mereka.
Kapas yang sudah menjadi serat-serat halus ini digulung-gulung
menjadi gulungan sebesar ibu jari kaki orang dewasa yang panjangannya
sekitar sepuluh sentimeter. Menggulung kapas disebut go’ hugul.
Gulungan kapas ini disebut gugul. Setiap kesempatan senggang di

rumah dipakai oleh kaum perempuan untuk mengurai gugul ini menjadi
benang. Pekerjaan mengurai gugul menjadi benang disebut gugul hili’.
Benang kapas ini disebut ba’i. Benang atau ba’i ini digulung dalam
bentuk bola untuk mudah direntangkan dan diurai di atis (alat berupa
dua papan yang dilubangkan dan dihubungkan dengan dua batang

188

kayu) untuk diikat utas-utas benang itu menciptakan motif-motif dalam
bentuk gambar-gambar. Benang yang direntangkan di atis ini sudah
diukur untuk selembar kain, entah kain untuk laki-laki (tais mone) atau
kain untuk perempuan (tais pana). Untaian benang yang diikat utasutasnya ini disebut hotus. Mengikat utas benang yang direntangkan di
atis ini disebut hotus gin (ikat benang). Tali yang dipakai untuk
mengikat benang ini biasanya dipakai tali yang diambil dari serat pucuk
daun gewang, disebut hili’ . Benang yang sudah diikat dan menjadi
hotus ini direndam di dalam lumpur hitam dan ini disebut hotus lua
(membenamkan hotus dalam lumpur). Untuk mewarnakan hotus ini
ada beberapa cara. Cara pertama, untuk mewarnakan hotus menjadi
biru tua, hotus itu direndam dalam air yang didalamnya diisi daun
tarum (taun). Cara kedua, untuk mewarnakan hotus menjadi kuning

tua, hotus direndam dalam air yang didalamnya diisi irisan batang
pohon nenuk (nenu’). Cara ketiga, untuk mewarnakan hotus menjadi
coklat tua, hotus direndam dalam air yang didalamnya diisi kulit pohon
cemara (hur). Cara ketiga ini dianggap cara yang paling bernilai karena
pohon hur itu adalah pohon yang tinggi, kokoh dan mempunyai teras.
Dengan merendam hotus ke dalam air kulit pohon hur ini, kain itu
mempunyai nilai khusus, meresapkan kehebatan pohon hur, tinggi,
kokoh dan berteras.

Gambar 37 Kain Tenun Adat Suku Buna’

189

Gambar 38. Yosef Bere Ruji, seorang putera bangsawan tinggi dari Desa
Lakmaras, mengenakan kain tenun adat.
Sumber: Eustachius Mali TaE

190

Pemakai kain tenun ini pun merasa seperti pohon hur, tinggi

derajatnya, kokoh dalam pendirian dan mempunyai harga diri seperti
pohon hur yang ada teras yang berwarna coklat tua dan keras, tidak
mudah dimakan ngengat.
Atas dasar pemaknaan inilah kain-kain adat suku Buna’
berwarna dominan coklat tua diselingi dengan warna biru tua dan
kuning tua. Kain ini dijadikan kain adat yang dipakai untuk berbagai
kesempatan pesta-pesta di dalam dan di luar kampung. Untuk orang
mati, kain yang digunakan ialah kain adat ini yang menandakan suatu
keistimewaan dalam berbusana bagi si mati yang akan menghadap
leluhur dalam pakaian pesta.
Dalam gambar 37 terlihat tais (kain tenun) adat Buna’. Kain
tenunan (tais) ini berwarna merah tua campur coklat, warna yang
melambangkan keagungan, keperkasaan dan ketabahan seperti tegak
kokohnya pohon cemara yang kulitnya dipakai sebagai bahan pewarna
benang tenunan untuk kain adat ini. Untuk membuat tais (kain tenun)
ini benang yang sudah diwarnai dengan air hasil rebusan kulit pohon
cemara melalui proses perendaman, dijemur dan direntangkan di alat
bernama atis yang terbuat dari bilah papan dan nolu yang rerbuat dari
teras pohon. Pekerjaan menenun dimulai sampai selesai. Pekerjaan
menenun kain ini disebut tais selu (tenun kain).

Di samping tenunan kain-kain dengan motif adat ini sudah ada
perkembangan baru, benang yang dipakai tidak lagi hasil dari kapas
yang ditanam sendiri tetapi benang dari toko. Kain yang dibuat dengan
benang toko ini lebih ’modern’ karena dihiasi dengan lukisan-lukisan
seperti bunga-bunga atau gambar-gambar lain tetapi tetap dinilai
sebagai kain murahan dan kurang bernilai. Penilain yang dikenakan
pada kain hasil tenunan asli ini termasuk harta yang dikelompokkan
sebagai modal rohani, spiritual capital. Kalau ditanya mengapa kain itu
disebut adat dan mengapa dinilai lebih tinggi dari kain tenunan yang
lain, maka jawabnya, itu dari leluhur. Jawaban ini merupakan jawaban
yang muncul dari ungkapan rasa terdalam berupa penilaian yang
didasarkan pada banyak aspek, warisan leluhur, simbol-simbol yang
dikenakan pada kain seperti warna dan sifat-sifat pohon yang dipakai
kulitnya untuk mewarnakan kain itu.

191

KERAJINAN RUMAH TANGGA:
ANYAMAN DAN MEMINTAL
Suku Buna’ mempunyai kesenian berupa anyaman berbagai

keperluan. Menganyam ini tugas perempuan. Bahan yang dipakai
biasanya daun pandan yang mudah diperolah karena tumbuh di tempattempat yang ada sumber air di wilayah DHL. Sering digunakan juga
daun lontar yang didatangkan dari tempat lain yaitu desa Makir dan
Lamaksenulu. Kerajinan memintal dilakukan oleh laki-laki sebagai
pekerjaan rumah. Kaum laki-laki memintal tali dalam ukuran besar dan
kecil untuk keperluan mengikat barang-barang. Tali dibuat dari serat
tali balan (tali sisal / agave), bol geti’ (kulit pohon waru), kibu (kulit
batang sejenis tanaman perdu) dan hili’ (serat daun gewang muda). Talitali yang dihasilkan ini dipakai untuk tali pengikat hewan seperti sapi
dan kuda dan tali kecil untuk mengikat barang-barang dalam rumah
dan untuk pengikat ayam.
Anyaman yang dibuat itu bermacam-macam dan semuanya ada
dua belas macam dengan tujuannya sendiri-sendiri.
Pertama, Taka (tenasak) dipakai untuk mengisi beras atau
menaruh hidangan nasi pada pesta-pesta. Secara adat, taka belis .
tenasak yang tidak berhias dipakai untuk menghidangkan nasi untuk
rakyat biasa, sedangkan taka li’as (tenasak yang dianyam dengan
ditambah hiasan warna-warni) dipakai untuk menghidangkan nasi bagi
kaum bangsawan. Taka gol (tenasak kecil) dipakai untuk mengisi bahan
persembahan bagi leluhur, roh-roh dan Hot Esen (Tuhan). Karena
itulah acara persembahan disebut taka gon inil artinya menyediakan

tenasak kecil yang berisi daging dan nasi persembahan. Kedua, Pil
(tikar) kecil dan besar untuk dijadikan alas bale-bale menjadi tempat
tidur atau tempat duduk. Ketiga, rene untuk mengisi sirih-pinang bagi
kaum perempuan atau mengisi barang-barang hasil kebun. Keempat,
nawa (bakul) tempat mengisi barang hasil kebun. Kelima, oput atau abil
(keranjang) yang bisa digulung dan diikat. Keenam, ol ( keranjang besar)
seperti ol tapi dalam ukuran besar untuk mengisi padi. Ketujuh, tubis
(keranjang bertutup) untuk mengisi pakaian seperti tas pakaian.
Kedelapan, tuban (nyiru) untuk menapis beras. Kesembilan, uhus
(anyaman berupa kerucut) untuk mengukus tepung menjadi makanan
ringan atau untuk mengisi bahan persembahan. Kesepuluh, opa
(tempat sirih pinang) berupa opa mone untuk laki-laki dan opa pana
192

untuk perempuan. Kesebelas, kaluk (kantung) dipakai untuk mengisi
sirih pinang yang dipakai oleh laki-laki. Keduabelas, kalabaka’ atau
kola’ (kantung besar) yang dipakai oleh laki-laki untuk mengisi hasil
kebun waktu pulang dari kebun.

Gambar 38. Opa Pana

Tempat Sirih Untuk Perempuan)
Tinggi : 15 cm

Gambar 39. Opa Mone
(Tempat Sirih untuk laki-laki)
Tinggi 10 cm

Semua jenis hasil anyaman ini dipakai untuk keperluan harian
dan juga ada yang dipakai untuk kesempatan upacara adat. Misalnha pil
193

(tikar) dibentangkan di tempat upacara adat untuk meletakkan taka
(tenasak) dan uhus (anyaman berbentuk kerucut) untuk mengisi bahan
persembahan kepada leluhur, roh-roh dan Yang Maha Tinggi. Dengan
demikian tiap-tiap jenis anyaman itu ada yang dikhususkan untuk
upacara adat dan mempunyai nilai rohani. Di sini terletak spiritual
capital yang melekat pada benda-benda anyaman itu. Hasil anyaman itu
tidak hanya dinilai dari segi ekonomis saja, tetapi lebih dalam lagi,
mempunyai nilai rohani, nilai spiritual atau spiritual capital.


KES – LI’AS: SENI UKIR DAN LUKIS
Masyarakat DHL mempunyai kepandaian mengukir dan meluks
dalam bentuk menghias kebutuhan harian mereka. Kepandaian melukis
dituangkan dalam tenunan dan anyaman oleh kaum perempuan. Kaum
lelaki menuangkan bakat mengukir dan melukis itu dalam bentuk
ukiran-ukiran di hau (tempat kapur untuk makan sirih) dan kuni
(tempat simpan sirih bagi kaum laki-laki). Ukiran yang dikerjakan oleh
kaum laki-laki suku Buna’ ialah hau (tempat isi kapur terbuat dari
bambu atau perak) dan kuni (tempat isi sirih dan pinang untuk laki-laki)
terbuat dari bambu. Ada juga orang khusus yang mengukir papan yang
dijadikan dinding rumah adat dan papan yang dikukir ini disebut bese’
kes. Pahatan yang dibuat hanya pahatan batu atau kayu dalam bentuk
manusia yang didirikan di hutan keramat, lambang leluhur.
Ukiran yang dibuat di hau dan kuni biasanya dalam bentuk garis
tak terputus dan berbentuk segi empat yang indah. Ukiran di papan
untuk dinding rumah adat, hampir sama bentuknya seperti yang diukir
dalam bentuk kecil di hau dan kuni.

194


Gambar 40. Hau gebu dan Hau giral.
(Tempat kapur terbuat dari bambu atau perak)
Tinggi 20 cm. Hau giral(Tutupan tempat kapur,
digantungkan alat tusuk gigi terbuat dari tanduk
kerbau dan alat sikat gigi terbuat dari bulu babi)

Gambar 41. Kuni (tempat sirih untuk laki-laki), terbuat dari bambu

Mereka juga membuat ukiran-ukiran di bese’ (papan) untuk
dinding rumah. Di kalangan orang-orang yang tua, masih ada lukisan di
badan berupa tato. Macam-macam motif digambar di badan, kaki dan
195

tangan dengan cara menusuk-nusukkan duri jeruk ke kulit sesudah
dicelupkan ke dalam larutan arang yang dihaluskan dalam tempurung.
Lukisan di badan dalam bentuk tato ini disebut bel gota. Kegiatan bel
gota ini pada awalnya dibuat dalam upacara inisiasi untuk kaum wanita
muda dan laki-laki muda sebagai tanda bahwa dia sudah dewasa.Di
papan dinding rumah adat ada kekhasan yaitu ukiran diapit gambar susu
perempuan lambang leluhur yang menghuni rumah adat ini dan
memberikan kesuburan. Ukiran ini mempunyai nilai spiritual yang
khusus tentang kesuburan manusia.

SULU-BOGE’: ALAT DAPUR
Alat dapur dan perlengkapan makan dibuat sendiri sebagai
kepandaian rumah tangga. Senduk dibuat dari tempurung kelapa,
disebut sulu koul. Piring dibuat dari kayu disebut boge’. Piring dan
senduk dijadikan satu kata dengan ungkapan, sulu-boge’. Setiap kali
sesudah makan, biasanya orang tua memberikan nasihat dan kebiasaan
memberi nasihat ini disebut sulu kose (gosok senduk) dan ini
menandakan pengenaan arti spiritual pada sulu (senduk). Untuk
menyenduk makanan dari periuk mereka membuat sato (irus) yang
dibuat dari bambu.
Alat dapur yang lain, uer (periuk), bokan (belanga) terbuat dari
tanah dan ini tidak dibuat sendiri oleh masyarakat DHL karena mereka
tidak ada kepandaian dalam seni keramik. Perlengkapan periuk dan
belanga ini dibeli dari desa tetangga, yaitu orang-orang dari desa Lakus.
Ada perlengkapan yang lain yaitu nalas (semacam baskom bentuk segi
empat) terbuat dari kayu, tempat memandikan anak bayi atau
menampung air. Juga dipakai untuk merendam benang guna
mewarnakan benang untuk kain tenun.
Perlengkapan yang lain yaitu mapo (perian) untuk menimba air,
terbuat dari bambu besar beberapa ruas yang disandarkan di emperan
rumah sesudah diisi air yang ditimba dari sumur yang jauh dari
kampung. Air dari mapo (perian) dituangkan ke dalam matu’ (tabung
bambu satu ruas) untuk dibawa ke dalam rumah. Dari matu’ ini
dituangkan ke dalam matu’ gol (tabung kecil) sebagai gelas untuk
minum air. Di kebun, matu gol ini dibuat seadanya dari bambu kecil
dan disebut masol.
196

Gambar 42. Boge’ (Talam, Piring Kayu)
Garis tengah 20 cm
Tinggi 10 cm

Gambar 43. Sulu koul (senduk makan, terbuat dari
tempurung kelapa)
Panjang, 10 cm

Ada perlengkapan dapur ini yang dipelihara secara khusus
karena diyakini berasal dari leluhur tertentu, misalnya sulu (senduk)
atau boge’ (talam/ piring). Kedekatan anggota suku dengan leluhur
terungkap dalam pemakaian alat-alat makan yang dianggap warisan
leluhur. Dalam kaitan ini pun terungkap nilai spiritual dari alat-alat
makan ini yang tidak semata-mata dilihat sebagai alat saja tetapi sarana
penghubung antar manusia yang hidup dengan orang yang sudah mati.

197

Gambar 44. Sato (irus, terbuat dari bambu)
Panjang, 60 cm

NUT-TURI’: ALAT KERJA
Sebagai masyarakat yang hidup dari bertani dan beternak secara
tradisional, alat-alat yang digunakan pun masih tergolong sederhana.
Alat utama untuk pertanian ialah nut (tofa atau tajak) dipakai untuk
menggali tanah atau membersihkan kebun. Alat untuk memotong
pohon ialah turi so (parang) dan untuk memotong barang-barang halus
seperti sayur atau jeruk, mereka memakai turi’ gol (pisau kecil). Alat
untuk memotong kayu yang besar ialah ta’ (kapak). Isi nut, turi’ dan ta’
ditempa sendiri oleh orang pandai besi di kampung Lakmaras. Untuk
membalik tanah, mereka mamakai zok (batang kayu tajam). Untuk
menebarkan arang (hoto koin) di kebun baru yang dibersihkan dengan
sistim tebas-bakar mereka memakai matala, yaitu pengait yang dibuat
dari batang bambu kuning yang dicabut dengan akarnya dan akar yang
melengkung itulah yang dipakai untuk mengait bara api dan disebarkan
ke atas rumput-rumput supaya rumput itu hangus sampai ke akarakarnya.
Orang-orang dari DHL kalau pergi ke kota Atambua, biasa
berusaha mendapatkan potongan besi baja untuk ditempa menjadi mata
tofa, isi parang atau isi kapak. Besi yang diperoleh di kota dibawa pulang
dan ditempa dengan cara yang sederhana melalui pemanasan di tungku
perapian. Api dinyalakan dengan cara memompa udara lewat dua
bambu yang ditegakkan dan di bahagian dekat tanah diberi lubang dan
melalui bambu kecil udara ditiupkan ke bara api. Sistim ini disebut hoto
suk (memompa api). Alat untuk menekan udara terbuat dari bulu ayam
yang diikat diujung bambu yang dimasukkan ke dalam bambu yang
lebih besar dan dengan cara menaikkan dan menurunkan secara
198

bergantian, angin dipompakan dan ditiupkan ke arah bara api yang
memanaskan besi sampai siap untuk ditempa. Pekerjaan ini biasa dibuat
di rumah pandai besi yang disebut barani dan pengerjaannya biasa pada
hari libur, entah hari Minggu atau hari libur lain.
Alat kerja ini pun mempunyai nilai spiritual terutama ta’ dan
turi’ (kapak dan parang), dua alat yang menurut legende, dipakai
pertama-tama oleh leluhur yang mengerjakan kebun bernama La’lawar
yang kemudian ditumbuhi berbagai tanaman untuk dimakan. Atas dasar
itulah kalau ada seorang pria dewasa mati, alat-alat pertanian yang
pernah dipakai oleh almarhum digantung dekat jenazah lalu dipelihara
sebagai kenangan akan almarhum. Dalam hal ini alat kerja itu sudah
menjadi alat yang bernilai spiritual, pemberi semangat kepada orang
yang masih hidup untuk bekerja.

BAI SO’: SENJATA
Alat yang dipakai sebagai senjata entah untuk melawan musuh
atau melawan binatang, bermacam-macam, dan yang paling lazim yaitu
turi’ so’ (parang), bat (tombak) dan sore (kelewang). Setiap pria dewasa
orang Buna’ biasa ke luar rumah entah ke kebun atau ke hutan selalu
membawa turi’ so (parang) yang dimasukkan dalam sarungnya dan
digantung di bahu dan bat (tombak) yang dipikul di bahu kanan.
Senjata yang lain seperti sore (kelewang) dan rama (panah)
jarang dibawa-bawa. Hanya dalam keadaan darurat, kelewang dan
panah disiapkan untuk melawan musuh. Mereka mengenal juga senjata
api, meren (senapan tumbuk) tetapi oleh pemerintah sudah dilarang
sehingga tidak ada orang lagi yang menyimpan senapan sekarang ini di
rumahnya. Ada senjata yang lain untuk menyumpit burung atau juga
manusia kalau dibutuhkan, yaitu lep (sumpitan) dan di dalamnya diisi
no’ hu’ (anak sumpitan) yang terbuat dari irisan bambu sebagai batang
dan di ujung yang satu ada bulu-bulu ayam yang diikat dan di ujung
yang lain ditancapkan besi yang ditajamkan. Lep (sumpitan) ini sangat
berbahaya karena secara diam-diam dapat ditiupkan ke arah musuh
tanpa diketahui dan jalannya anak sumpitan biasa lurus dan tepat
sasaran.

199

Dalam upacara adat, sore dan bat yang selalu dipakai oleh
penunjuk jalan yang memimpin rombongan menuju tempat upacara.
Penunjuk jalan ke tempat upacara membawa kelewang terhunus
mengayun-ayunkan ke kiri dan kanan sebagai lambang membersihkan
jalan dari berbagai rintangan. Dan rintangan yang dimaksud adalah rohroh jahat. Di tempat upacara, kelewang digantungkan di tiang tempat
upacara dan tombak ditancapkan dekat pemimpin upacara. Pada
kesempatan seperti itu, kelewang dan tombak menjadi lambang
kebesaran dan kuasa dari si pemimpin upacara. Di sini jelas terlihat nilai
spiritual yang melekat pada alat-alat itu, kelewang dan tombak.

HATAIS : TATA BUSANA
Masyarakat DHL mempunyai kebanggaan tersendiri dengan
busana yang mereka hasilkan dan pakai sebagai busana adat. Busana
yang paling penting ialah tais ( kain tenun) dari kapas yang khusus
untuk laki-laki dan perempuan. Tais ini dipakai juga sebagai sarana
saling menghargai dalam berbagai urusan adat.
Kaum perempuan suku Buna’ memakai perhiasan terdiri dari
keke (gelang) yang terbuat dari perak atau emas. Di jari, biasa mereka
mengenakan rikit (cincin) yang terbuat dari perak atau emas. Antinganting yang mereka sebut karobu dipakai oleh perempuan muda
sedangkan perempuan tua mengenakan anting-anting yang besar
disebut kawata. Di rambut kaum perempuan memakai sikun (tusuk
konde) terbuat dari tanduk kerbau, emas atau perak dan di ujung sikun
ini biasa dilekatkan mata uang emas dari Inggris yang disebut soferen.
Kaum perempuan suku Buna’ di DHL ini juga berlomba-lomba untuk
melapis giginya dengan emas, dewe geri (lapis gigi) dan ini menandakan
status suami di masyarakat bahwa suami mampu melapis gigi isterinya
dengan emas. Pada pesta-pesta adat, kaum perempuan memakai sawe
(sisir) di kepalanya, terbuat dari tanduk kerbau yang dilapisi dengan
perak atau emas. Kaum lelaki yang tua memakai saseki (gelang besar)
terbuat dari perak atau emas yang dipakai di lengan dan bukan di
pergelangan tangan. Baik laki-laki maupun perempuan pada pesta adat,
memakai kaebauk (hiasan seperti tanduk) yang terbuat dari perak atau
emas, diikatkan di dahi menunjukkan status bangsawan dari si-pemakai.
Di leher biasa digantungkan hiasan berupa belak (pelat) terbuat dari
200

perak atau emas dan juga pe’ (untaian manik-manik) dihargai sangat
tinggi di kalangan masyarakat suku Buna’.
Kebanyakan perhiasan emas dan perak ini merupakan
peninggalan leluhur sehingga si pemakai merasa ada kebanggaan
tersendiri kalau pada pesta adat mengenakan hiasan-hiasan ini. Seluruh
hiasan mempunyai nilai spiritual karena didasarkan pada kenangan akan
leluhur yang menandakan harga diri dan status dalam masyarakat.

TEI DAN TEBERAI’
(TANDAK DAN LIKURAI, TARIAN DENGAN GENDERANG)
Tari-tarian yang menjadi milik suku Buna’ ialah pertama, tei
(tandak) yang ditarikan pada malam hari. Tei ini ditarikan dalam
bentuk lingkaran, setengah lingkaran perempuan dan setengah
lingkaran lagi laki-laki, membuat lingkaran utuh, berpegangan tangan,
menggerakkan kaki, berjalan berputar sesuai arah jarum jam sambil
melagukan lagu-lagu asli. Tei diadakan waktu pesta rumah adat dan
waktu pesta ipi lete (injak padi). Tarian ini biasa dilakukan semalam
suntuk dan setiap malam selama perayaan berlangsung, tei tetap
dilakukan.
Tarian lain yaitu teberai’ (likurai), dilakukan oleh kaum
perempuan yang mengepit alat genderang kecil (teberai’) itu di ketiak
kirinya dan menabuh genderang itu sambil menari berputar dalam
bentuk lingkaran utuh. Rupa-rupa gerakan kaki dan irama pukulan
menjadi penentu jenis tarian itu. Laki-laki menari (biru atau sila) di
tengah lingkaran penari perempuan. Di antara barisan penabuh
genderang kecil ini ada seorang perempuan pemukul kon (gong) kecil
yang menambah gaung dan gemerincingnya bunyi teberai’ yang
menggetarkan hati setiap pendengar.

201

Gambar 45 Tei (Tarian Tandak Suku Buna’)

Gambar 46. Teberai’ (Tarian Likurai Suku Buna’)

202

Tarian teberai’ ini sangat erat kaitannya dengan hal-hal spiritual
karena teberai’ pada dasarnya tarian kaum perempuan yang menjemput
para pahlawan yang menang perang. Para mako’an menuturkan bahwa
orang-orang yang jago berperang, meo, membawa pulang kepala musuh
atau telingah musuh yang menandakan bahwa dia sudah berhasil
membunuh musuh dan mengalahkan musuhnya. Bukti kemenangan ini
ditandakan dengan kepala musuh dipenggal dan dibawa pulang. Juga
ada yang memotong telinga musuh dan dibawa pulang ke kampung.
Mereka inilah yang disambut dengan teberai’ oleh kaum perempuan
dan pembawa kepala manusia ini menari-nari (biru atau sila) di tengah
lingkaran para penabuh genderang. Asal usul tarian teberai’ yang
berlatar-belakang perang ini membuat tarian ini tidak ditarikan pada
sembarang waktu. Penari laki-laki sekarang tetap mengenang tarian
perang ini dengan menari sambil memegang pedang terhunus dan
memekikkan pekikan kemenangan sambil menamakan diri, cie obil,
ayam jago.

KON TITIL (GONG DAN GENDERANG)
ALAT BUNYI-BUNYIAN
Alat bunyi-bunyian yang biasa digunakan oleh masyarakat DHL
terdiri dari alat-alat yang dibuat sendiri dan digunakan lebih banyak
untuk upacara-upacara religius sehingga nilai spiritualnya sangat tinggi.
Alat yang pertama yaitu kon (gong). Kon dengan berbagai ukuran
dimiliki oleh suku-suku bangsawan sebagai warisan leluhur. Kon hanya
boleh dibunyikan pada waktu khusus yang bertalian dengan ritus-ritus
khusus. Pada waktu pesta atap rumah suku bangsawan, pada waktu
acara kematian orang bangsawan dibunyikan kon besar kecil di samping
titil (genderang besar yang didirikan) yang dipukul dengan dua
pemukul secara berirama. Titil itu dibuat dari pokok kayu yang
dilubangkan setinggi satu meter dan ditutup dengan kulit kerbau yang
tebal. Bunyinya besar dan bergema sampai ke lembah dan bukit yang
jauh. Bunyi titil ini diiringi dengan bunyi kon menjadi perpaduan yang
syahdu. Dua alat bunyi-bunyian ini biasanya dibunyikan serempak
sehingga biasa disebut bersamaan, kon – titil. Makna bunyi kon – titil
ialah penyampaian khabar kepada masyarakat bahwa ada pesta orang

203

bangsawan dan penghormatan kepada leluhur serta roh-roh. Nilai
spiritual dari kon-titil ialah pernyataan rasa persaudaraan di bawah
lindungan orang bangsawan yang direstui oleh leluhur dan roh-roh
dalam kuasa Hot Esen (Yang Maha Tinggi). Sebelum dibunyikan pada
awal pesta, kon-titil direciki dahulu dengan darah hewan kurban, babi
atau kerbau dan pada akhir pesta, kon-titil ini direciki lagi dengan darah
hewan kurban sebagai tanda akhir dari perhelatan besar yang telah
melibatkan seluruh masyarakat, leluhur, roh-roh dan Yang Maha
Tinggi.
Alat bunyi-bunyian yang lain yaitu he’u (seruling) alat yang
dibuat dari bambu, kayu atau tanduk kerbau, biasa dibunyikan oleh
orang yang sedang menjaga kerbau atau sapi di padang. He’u juga
dibunyikan orang di kebun-kebun sebagai hiburan.
Ada juga alat bunyi-bunyian untuk berjaga di kebun yaitu oloolo (kentongan) yang terbuat dari bambu, dua buah olo-olo yang
diletakkan di tanah dan dipukul kedua-duanya untuk menimbulkan
irama yang indah. Olo-olo dipukul hanya pada malam hari di ladangladang sehingga terdengar sampai di tempat yang jauh. Tujuan utama
ialah saling memberi kabar antara para penjaga ladang pada malam hari
supaya berjaga-jaga agar babi hutan tidak merusak tanaman di kebun. Di
samping olo-olo ada alat bunyi-bunyian yang disebut ru’-ru’. Disebut
demikian karena bunyinya memang seperti bunyi kata ru’-ru’. Alat ini
sangat sederhana, terbuat dari seludang bambu, direntangkan di atas
lubang tanah sedalam sepuluh sentimeter, garis tengah sepuluh
sentimeter. Di tengah lembar seludang bambu ini ada lobang dan di
lobang ini dimasukkan batang gelagah yang licin sebesar ibu jari orang
dewasa, menyentuh dasar lubang di tanah, ujung yang muncul
sepanjang sepuluh sentimeter, dan ujung yang muncul inilah yang
diurut-urut dengan air, terasa licin dan bunyi urutan secara bergantian
inilah yang menimbulkan bunyi ru’ru’. Bunyi ini bergema di
permukaan tanah dan semacam menyebar di antara batang-batang
jagung muda di ladang dan dengan adanya bunyi yang bergaung ini,
babi hutan akan takut dan tidak berani memasuki ladang jagung.

204

DIOL GOGO (LAGU)
Masyarakat suku Buna’ mempunyai tradisi berlagu dalam tarian
yaitu tei (tandak) dengan bermacam-macam gaya. Ada lagu-lagu yang
dinyanyikan dalam keadaan duduk, yaitu kawen, semacam lagu yang
berisi pantun-pantun dinyanyikan oleh kelompok perempuan dan
dibalas oleh kelompok laki-laki. Lagu kawen ini hanya dilagukan pada
kesempatan berjaga di rumah duka pada saat ada kematian.
Lagu ratapan, holon, merupakan lagu sedih waktu meratapi
orang yang meninggal dunia. Holon dibawakan dalam bentuk lagu yang
mengungkapan kata-kata puitis tentang jasa orang yang meninggal.
Kata-kata puitis itu dilagukan oleh seorang peratap sebagai solo lalu
disambung oleh semua perempuan peratap yang berada sekitar jenazah
dan terdengar sebagai satu paduan suara yang melagukan lagu sedih.

DALE: SASTRA
Sastra orang Buna’ terdiri dari kalimat-kalimat berirama yang
mengisahkan silsilah leluhur disebut bai to’an dan magalia’. Jenis sastra
ini bersifat lisan yang dihafal oleh para mako’an (ahli tutur adat) dan
kata-katanya sangat puitis sehingga orang kebanyakan sulit memahami
arti jenis sastra ini. Syukur bahwa sastra lisan ini sudah ditulis oleh dua
orang, Bapak Alfons Bere Tallo (almarhum), seorang tokoh suku Buna’
dan ditulis pula oleh Louis Berthe (almarhum) seorang peneliti asal
Perancis. Jenis sastra yang lain ialah zapal (dongeng) yang mengisahkan
mitologi asal usul manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Ada lagi
jenis sastra berupa doa-doa yang biasa diungkapkan oleh para mako’an
dalam bahasa berirama, ditujukan kepada leluhur, roh-roh dan Yang
Maha Tinggi. Semua jenis sastra ini dalam bahasa Buna’ dan hal ini
menjadi alasan mengapa orang Buna’ begitu mencintai bahasa mereka
biarpun ada yang sudah mulai mencampur-adukkan bahasa Buna’
dengan bahasa Indonesia. Ini hanya karena soal lingkungan di mana
anak-anak muda dipaksa untuk berbahasa Indonesia mulai dari SD
sehingga kesempatan untuk mendalami bahasa Buna’ tidak pernah
diberikan.

205

MUK GIE RAHUL: PERMAINAN RAKYAT
Permainan rakyat ini ada macam-macam. Permainan dalam
pesta adat ialah cie ti (adu ayam). Permainan yang disesuaikan dengan
musim yaitu kute’ gete (lempar gasing) pada musim kemarau, bon gete
(lempar buah balam) pada musim hujan dan barut gete (lempar kemiri)
pada musim kemarau waktu panen kemiri.
Yang paling besar ialah cie ti (adu ayam). Orang muda
mempunyai permainan yang lain, yaitu kute’ gete (lempar gasing), bon
gete (lempar balam) dan barut gete (lempar kemiri).

CIE TI : ADU AYAM
Masyarakat DHL mempunyai kebiasaan yang unik, mengadakan
pesta adat, entah itu pesta rumah baru atau pesta syukur panen yang
diisi dengan hiburan rakyat dan salah satu hiburan rakyat yang paling
menarik perhatian ialah: cie ti (adu ayam: cie = ayam, ti = adu). Orang
yang pandai dalam menerka kejagoan jenis-jenis ayam jantan (cie gamal
atau cie hobil ) disebut cie duga gomo (penerka ayam). Setiap pemilik
ayam jantan (cie gamal atau cie hobil ) yang dijagokan meminta nasihat
dari cie duga gomo untuk menentukan ayam miliknya mempunyai ciak
(bulu rahasia ) boleh diadu dengan ayam yang berbulu apa dan jam
berapa yang cocok untuk diadu. Kejagoan ayam dilihat dari berbagai
penampilan. Warna bulu yang sangat menentukan, terutama bulu yang
tumbuh khusus yang disebut ciak. Faktor lain yang turut menentukan
keunggulan seekor ayam jago itu ialah warna kaki dan bentuk balung
(cie getal). Keseluruhan ciri khas ini menjadi penentu untuk memilih
lawan yang bisa dikalahkan pada jam berapa. Jam yang tepat itu ada di
antara jam empat sampi jam enam sore. Berdasarkan jenis-jenis ciak
(bulu khusus tanda kejagoan) dari setiap ayam, diperkirakan jam yang
tepat untuk diadu dengan ayam yang mempunyai ciak yang bisa
dikalahkan.
Terkadang dua ayam yang diadu itu sama kuat, dan itu diartikan
sebagai suatu kebetulan bahwa kedua ayam yang diadu itu mempunyai
ciak yang sama. Untuk melihat kekhasan penilaian ciak dan waktu yang
tepat menurut perhitungan para ’ahli’ adu ayam suku Buna’, disajikan
keterangan tentang jenis-jenis bulu ayam itu yang dituturkan oleh
206

Bapak Emanuel Mali dan kawannya dalam tabel 2. Semua macam bulu
ayam itu ada enam belas dan anehnya bahwa ayam dengan bulu yang
nampak ini bisa saja terjadi mempunyai ciak yang dimiliki oleh ayam
dari bulu yang berbeda. Penentuan bulu ayam dengan lawannya serta
ketentuan jam untuk diadu dapat dilihat dalam Tabel 2.
Tabel 3. Daftar jenis cie got (bulu ayam) dan lawannya serta jam yang cocok
untuk diadu.
Daftar jenis ciak /cie got (bulu ayam) dan lawannya
serta jam yang cocok untuk diadu
No

Jenis ciak /cie got (bulu ayam)

1

Mea ata (warna merah)

2

Sikus (merah campur hitam)

3
4
5
6
7
8
9

Silasi’ (abu-abu gelap)
Rala (bintik-bintik putih-hitam)
Laka (Merah hati)
Teki (bintik seperti kulit cecak)
Kulabu ( abu-abu mengkilap)
Kasin (merah mengkilat)
Meluk (merah campur putih)

10

Pilas (abu-abu bintik hitam)

11

Nase (putih campur hitam)

12

Onuk (bintik-bintik merah)

13

Purama (merah bintik hitam)

14

Tapui (merah)

15

Morok (merah tua)

16

Mea ata punak (merah bintik putih)

Lawan yang cocok untuk
dikalahkan
Nase – kasin (kelabu)
Mea ata punak
(merah bintik putih)
Mea ata (warna merah)
Laka (Merah hati)
Mea ata (warna merah)
Kulabu ( abu-abu)
Mea ata (warna merah)
Mea ata (warna merah)
Mea ata (warna merah)
Sikus
(merah campur
hitam)
Teki (bintik seperti kulit
cecak)
Rala (bintik-bintik putihhitam)
Mea ata punak (merah
bintik putih)
Teki (bintik seperti kulit
cecak) Teki (bintik seperti
kulit cecak)
Onuk (bintik-bintik merah)
Rala (bintik-bintik putihhitam)

Jam
yang
tepat untuk
diadu
16.00
16.00
16.30
16.00
16.00
16.30
16.00
16.00
17.30
17.00
16.00
17.00
17.00
16.00
16.00
16.30

Para penggemar cie ti (adu ayam) sering terkecoh oleh
keanehan seperti ini. Dan untuk menduga jenis ciak dari ayam milik
lawan, seorang pemilik biasanya mempercayai bisikan-bisikan mimpi
menjelang kesempatan adu ayam dilaksanakan. Misteri cie ti inilah yang
membuat masyarakat suku Buna’ mempunyai penilaian sakral tentang
mata permainan ini yang bukan lagi permainan saja atau perjudian,
207

tetapi satu kesempatan mengadu otak dan kepahlawanan yang
dipertontonkan melalui pertumpahan darah, darah ayam jago. Untuk
adu ayam ini memang dipakai benda tajam yaitu tara (taji), pisau yang
terbuat dari besi dan diikat pada kaki ayam, disangkutkan pada susu
ayam dengan cara ujung yang tajam mengarah ke belakang ayam.
Waktu mengikat tara di kaki ayam, cie gomo (pemilik) dan cie duga
gomo (’peramal’) biasa memanjatkan doa-doa khusus kepada leluhur
dan roh-roh memohon kemenangan. Para pendukung kedua belah
pihak mengikuti persiapan ini dengan hati berdebar-debar. Kaum
perempuan turut menonton dari kejauhan. Kalau menang, pihak yang
menang akan mengangkat jagonya tinggi-tinggi dan meronggeng
keliling arena sambil meneriakkan nama jagonya yang sudah menjadi
cie meo (ayam jago, pahlawan). Pihak yang kalah biasanya termenung
dan banyak yang mengucurkan air mata, terlebih para ibu dan anakanak.
Menurut keterangan dari dua orang yang dikenal ahli dalam
menerka kejagoan ayam ini, Emanuel Mali (67) seorang mantan Guru
SD dari desa Kewar dan Yosef Asa (60) dari desa Lo’onuna, ada enam
belas jenis cie got (bulu ayam) menurut orang Buna’. Tiap jenis bulu
ayam (cie got) menandakan kejagoannya terhadap cie got lawan dan
waktu diadu pun sudah direka-reka waktu yang tepat sesuai dengan
jenis bulu ayam itu.
Memelihara ayam jago merupakan kegemaran kaum laki-laki
suku Buna’. Ayam jantan mempunyai nilai khusus dengan kelebihan
yang dimiliki hewan ini di mata orang-orang Buna’.
Pertama, ayam jago adalah penentu waktu pagi hari dan sore
hari. Ayam jantan berkokok pada pagi hari sekitar pukul lima pagi
menjadi tanda untuk bangun pagi dan memulai kegiatan baik bagi kaum
perempuan untuk menyiapkan sarapan pagi maupun untuk kaum lakilaki untuk mengeluarkan hewan dari kandang dan mempersiapkan alatalat pertanian untuk pergi ke ladang.
Kedua, ayam jago juga dipercaya sebagai hewan pembawa
keuntungan atau kemalangan. Kalau ayam jantan berkokok pada siang
hari atau tengah malam, maka ditafsirkan sebagai pertanda akan datang
suatu kejadian istimewa, entah keberuntungan atau kemalangan bagi
seseorang. Kalau ayam jantan bekokok pada siang hari, pertanda akan
ada keberuntungan. Kalau berkokok pada malam hari, diyakini akan

208

datang suatu kemalangan entah bagi pemilik atau bagi masyarakat
umum. Kalau ada orang yang berdoa kepada leluhur atau roh-roh
sambil membuat suatu niat dan terdengar ayam jantan berkokok maka
orang itu yakin bahwa niatnya akan terkabul. Atas kekhususan yang
dikenakan pada ayam jantan inilah orang Buna’ selalu memakai ayam
jantan merah untuk disembelih dalam berbagai upacara yang tujuannya
baik, misalnya mohon keselamatan. Sedangkan untuk niat mengutuk
orang lain, ayam jantan hitam yang disembelih dan dikurbankan sebagai
permohonan kutuk bagi yang didoakan. Ayam jantan hitam juga yang
dipatahkan kakinya dan dibiarkan menggelepar sebagai simbol
permohonan pada roh-roh untuk membuat seorang lawan mengalami
kesulitan malah kalau perlu mengalami kematian melalui suatu
kecelakaan.
Ketiga, ayam jago diyakini sebagai lambang kehebatan seorang
pria. Seorang laki-laki yang tampil dan menjadi pembicara dalam urusan
yang penting selalu dijuluki, cie hobil (ayam jago) dari kelompok. Ada
ungkapan, nei nie cie hobil, (kami punya jago) artinya orang yang kami
jagokan untuk mewakili kami. Kalau ahli tutur adat, mako’an, tampil
untuk membawakan doa-doa secara adat di mot atau zobu’ por (hutan
keramat), mako’an ini berdandan sebagai ayam jago yang siap untuk pa’,
(berkokok), cie pa’, (ayam berkokok). Di destarnya disisipkan bulu ayam
dari bahagian ekor sehingga kelihatannya seperti satu hiasan yang
terpancang dan merupakan jumbai di kepala menandakan kejagoan si
mako’an dalam bertutur kata. Di kedua kakinya diikat kulit kambing
bahagian jenggot dan ini melambangkan tara (taji) yang biasa
dipakaikan pada ayam jago waktu berlaga untuk menikam dan
mematikan lawan.
Ayam jago (cie gamal atau cie hobil ) yang dipelihara secara
khusus untuk diadu, cie ti, diikat di dalam rumah dan diperlakukan
secara istimewa dalam pemberian makanan berupa jagung, padi dan
diberi minum air pada waktunya. Untuk dibuat galak waktu berlaga,
sering pula oleh sementara pemilik ayam jago ini diberi makan cabai
rawit. Menjelang kesempatan untuk diadu, pemilik menafsirkan
mimpinya pada malam hari untuk menduga apakah ayamnya akan
menang atau kalah. Cie ti (adu ayam) bukan lagi menjadi hiburan biasa,
tetapi suatu hiburan yang penuh makna rohani. Kesempatan untuk adu
ayam selalu dinantikan dengan gembira dan menjadi tontonan yang
209

menarik. Begitu eratnya cie ti ini dengan hiburan yang bermakna
rohani maka larangan dari pihak pemerintah untuk tidak boleh adu
ayam karena dianggap perjudian, merupakan larangan yang tidak
pernah ditaati oleh masyarakat suku Buna’.
Orang yang dianggap pandai dalam membuat perkiraan tentang
keunggulan ayam jago mempunyai keahlian khusus dalam menafsir
mimpi, menaksir jam dan mengartikan kekhususan warna bulu ayam.
Warna yang kelihatan tidak menandakan kekhasan setiap ayam. Di
dalam bulu ayam (cie got) itu biasanya tersisip bulu penentu jenis setiap
ayam aduan. Jenis bulu khusus penentu kejagoan ini disebut ciak. Dan
ciak ini biasanya tumbuh hanya satu batang saja dekat paha di bahagian
dalam atau di punggung dekat ekor atau di bahagian leher. Orang yang
pandai menaksir kejagoan ayam disebut cie duga gomo (pandai
menduga ayam/peramal) biasanya mudah melihat mana bulu yang
khusus itu yang disebut ciak. Bulu khusus penanda kejagoan ayam atau
ciak ini biasa tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya susu ayam di kaki.
Kalau sudah tumbuh, pemilik langsung mencabutnya dan
menyimpannya di ikat pinggang, dibawa ke mana-mana dan sangat
dirahasiakan. Menurut para ahli ayam jago, ciak hanya tumbuh satu kali
saja dan kalau sudah dicabut tidak pernah akan tumbuh lagi. Ciak ini
biasa ditunjukkan hanya kepada cie duga gomo (orang pandai menduga
ayam/peramal) yang dipercaya dan pemilik cie gamal (ayam jantan) itu
akan dihubungi oleh cie duga gomo (pandai menduga ayam) kalau
sudah ada kesempatan untuk adu ayam. Pemilik dan peramal
bekerjasama untuk menentukan jago lawan. Kalau ayam jago ini
menang dalam pertarungan maka ayam itu disebut cie meo (ayam jago
atau pemenang). Dari mulut ke mulut para pria dari kampung sekitar
akan berbicara tentang kemenangan cie meo itu dan mulai berunding
antara kawan dan lawan, untuk menentukan lawan baru bagi cie meo
itu. Banyak waktu dipakai pada pertemuan-pertemuan sosial untuk
membicarakan cie meo ini. Banyak pendapat dikemukakan dan orangorang yang terlibat dalam pembicaraan itu biasanya menanti-nanti
kapan cie meo baru akan diperhadapkan dengan lawan yang baru.
Permainan cie ti (adu ayam) ini sarat dengan makna spiritual.
Pertarungan dua ekor ayam jago dilihat sebagai pertarungan antara
manusia yang mempunyai semangat kepahlawanan. Keberanian,
semangat, nasib, tenaga dalam ini disebut so’e. Kalau ada ayam yang

210

menang, maka ayam itu dianggap mempunyai so’e lebih besar dan lebih
hebat dari so’e dari ayam yang kalah. Waktu dua ekor ayam mau diadu,
ada orang khusus yang berperan secara tersamar di dua belah untuk
memakai so’e masing-masing mengalahkan so’e lawan.
Jadi waktu ayam berlaga, ada upaya keras dari orang-orang
untuk mencurahkan segala dayanya untuk memberikan dorongan
berupa kekuatan gaib pada ayam jagonya. Kekuatan gaib ini yang
dinamakan so’e. Jadi cie ti (adu ayam) bukan permainan biasa atau
perjudian murahan, melainkan saat orang-orang di kedua belah pihak
menguji kehebatan naluri berjuang untuk saling mengalahkan. Atas
dasar cie ti ini dilihat sebagai pertarungan kehebatan semangat dan adu
nasib, maka permainan ini biasa diadakan di mot, tempat upacara
umum, di bahagian yang biasa dikhususkan untuk pertemuan umum.
Jadi di mot, permainan cie ti diadakan. Di tempat yang sama inilah biasa
dipancangkan kepala atau telinga musuh yang kalah perang sewaktu
para leluhur masih sering berperang. Adu ayam erat dikaitkan dengan
perang. Ayam yang menang disanjung-sanjung dan ayam yang kalah
biasanya dipotong pahanya untuk diberikan kepada pemenang.
Dalam permainan cie ti ini memang orang bertaruh dalam
bentuk uang, tetapi tidak terlalu banyak. Bertaruh bukan tujuan utama
dari cie ti. Memang ada ekses, kadang-kadang ada yang mengutamakan
perjudian dan mengadakan permainan cie ti ini di tempat tersembunyi.
Hal itu terjadi karena kesempatan untuk cie ti berupa pesta adat jarang
diadakan. Dan juga karena sudah dilarang dan memancing nafsu orang
untuk berjudi. Kalau cie ti ini dijadikan kesempatan terbuka dan
terjadwal maka bermain secara tersembunyi tidak akan terjadi. Kalau
cie ti ini dipahami dari segi permainan ketangkasan, kejagoan, maka cie
ti ini harus dilegalkan dan dikembangkan menjadi permainan yang
bermartabat seperti untuk manusia, olah raga bertinju. Kalau manusia
saja diadu, mengapa ayam tidak bisa diadu untuk mengungkapkan rasa
kepahlawanan manusia? Lebih baik olah raga tinju yang dilarang dari
pada melarang adu ayam (cie ti).

KUTE’ GETE : MAIN GASING
Jenis permainan yang mengasyikkan orang-orang muda pada
musim kemarau yaitu kute’ gete (bermain gasing). Alat permainan ini
211

dibuat dari kayu yang keras, hotel sis (pohon yang berdaun halus,
kayunya putih dan keras), sabul (jeruk) atau goiga’ (jambu). Kute’ dibuat
dalam dua bentuk, kute’ mone lebih pendek dan kute’ pana lebih
lonjong. Permainan dapat dilaksanakan antara dua orang yang
berlawanan atau antar kelompok terdiri empat lawan empat. Tiap-orang
dengan kute’ yang bermacam-macam ukurannya masuk gelanggang
pertandingan. Permainan ini menjadi hiburan yang sangat ramai dan
membuat masyarakat bergembira secara sehat dalam mengisi waktu
senggang. Permainan ini dimainkan oleh para pemuda. Sayangnya
permainan ini sudah menghilang. Padahal menurut legende, permainan
ini dimainkan oleh anak-anak di dunia yang indah dan sempurna
sebelum manusia dibuang ke bumi oleh Pencipta. Inilah nilai spiritual
yang melekat pada permainan kute’ gete.

BON GETE : MAIN BALAM
Alat permainan ini adalah bon (balam) sejenis buah tumbuhan
merambat yang hidup di hutan. Buah tanaman ini berupa buah polong
yang kalau sudah tua berwarna merah tua dan berbentuk pipih. Buah
tumbuhan ini biasanya matang pada musim kemarau sekitar bulan
September dan Oktober. Musim kemarau bisa diisi dengan hiburan jenis
ini dan bon gete bisa dimainkan oleh anak-anak dan orang muda baik
laki-laki maupun perempuan. Permainan ini dilakukan dengan cara bon
milik lawan ditegakkan di tanah dan pihak yang lain dalam posisi
setengah berlutut, meletakkan bon di atas lutut dan dengan ibu jari
kanan menguti bon yang diletakkan di atas lutut itu ke arah bon milik
lawan. Kemenangan ditentukan dengan berapa banyak bon lawan yang
dijatuhkan. Seperti permainan kute’ gete, menurut legende, permainan
inipun merupakan permainan anak-anak di dunia yang indah dan
sempurna sebelum manusia dibuang ke bumi oleh Pencipta. Ini juga
nilai spiritual yang mendasari permainan bon gete.

BARUT GETE : MAIN KEMIRI
Permainan ini erat berkaitan dengan pesta syukur panen kemiri,
barut sau (panen kemiri). Hasil kemiri yang biasa dipanen pada musim
kemarau, dikumpulkan dari kebun-kebun dan dibawa ke kampung.
212

Pesta syukur diadakan dengan persembahan di mot (tempat upacara
umum di tengah kampung) dalam bentuk nasi dan daging yang ditaruh
di bosok op (susunan batu utama). Persembahan ini ditujukan kepada
mugen tata bei mil (roh-roh leluhur), pan muk gomo (roh-roh penghuni
langit dan bumi) dan Hot Esen (Yang Maha Tinggi).
Barut (kemiri) yang dikumpulkan oleh setiap keluarga dari
kebun-kebun, semua dibawa ke mot. Di sana hasil ini diambil sedikitsedikit oleh makle’at (petugas penjaga tanaman) dan dikumpulkan lalu
dibagi-bagi sesuai struktur kepemimpinan di kampung, mulai dari na’i
(raja), fetor (bangsawan menengah) sampai ke tamukun (bangsawan
rendah) dan kabu (petugas pemanggil masyarakat). Di samping ada
pembahagian untuk para pejabat struktur adat ini, disisihkan pula
bahagian dari pengumpulan itu untuk keperluan urusan pemerintahan
umum di desa. Hasil barut (kemiri) ini diperlakukan khusus karena
pohon kemiri ini biasa ditebang untuk membuat peti jenazah bagi kaum
bangsawan yang meninggal dunia. Dalam kaitan inilah masyarakat biasa
tidak menanam kemiri karena dianggap pemali dan barang siapa yang
menanam kemiri pasti akan mengalami kematian. Pohon kemiri
dibiarkan tumbuh sendiri di kebun atau di hutan.
Permainan dilakukan dengan cara anak-anak muda membuat
kelompok yang saling berlawanan. Kalau ada dua kelompok, A dan B
bermain, maka kelompok A meletakkan buah-buah barut (kemiri)
dalam satu lingkaran. Kelompok B, setiap anggotanya berusaha
melemparkan satu kemiri yang disebut kemiri induk, barut hasuk, dari
jarak yang agak jauh, sekitar sepuluh meter ke arah lingkaran itu. Setiap
buah kemiri yang terlontar ke luar menjadi milik si pelempar. Begitu
terus bergantian sampai ada kelompok yang kehabisan kemiri dan
dinyatakan kalah.
Kepercayaan tentang pohon kemiri dan buah kemiri ini menjadi
dasar untuk permainan kemiri sebagai permainan yang kuat bermuatan
spiritual.

MUKAT GO’ON : MAIN TALI DI TANGAN
Permainan ini dimainkan oleh puteri-puteri saat berjaga di
rumah duka pada waktu ada kematian seseorang anggota masyarakat.
Biasanya dimainkan pada malam hari. Mukat adalah tali yang
213

dilingkarkan di antara jari-jari dan membentuk pola-pola tertentu dan
dipertukarkan dari orang ke orang yang duduk dalam lingkaran. Kalau
tali yang sedang dibentuk dalam salah satu gambar ini tidak berhasil
diterima oleh kawan, maka kedua orang itu dinyatakan kalah dan diberi
hukuman dengan berceritera atau berdiri melakukan gerak yang
diminta oleh semua anggota kelompok.

HOL GO’GUMI : MENYEMBUNYIKAN KELIKIR
Permainan ini juga dimainkan pada malam hari, saat berjaga di
rumah duka orang yang meninggal. Puteri-puteri duduk dalam
lingkaran dan sebuah kelikir digenggam oleh seseorang lalu diberikan
kepada kawan yang duduk di sebelahnya. Seorang diberi tugas untuk
menerka di tangan siapa kelikir itu berada. Pengoperan kelikir ini
berlanjut sampai ke orang terakhir dalam lingkaran. Kalau berhasil
menerka di tangan siapa kelikir itu berada maka orang itu dinyatakan
menang tetapi kalaau tidak berhasil menerka, dia disoraki dan diberi
ganjaran untuk melakukan gerak atau berceritera sesuai tuntutan semua
pemain.
Pada saat inilah biasanya setiap anak puteri berusaha mengingat
ceritera-ceritera dongeng untuk diceriterakan kepada teman-teman.
Kalau ceritera itu baru, yang lain mendengarkan dengan penuh
perhatian. Kalau ceritera lama, maka ceritera itu ditambah-kurangkan
di mana ada kekeliruan di pihak si penceritera. Melalui permainan ini
dan permainan mukat, tradisi berceritera dongeng dibiasakan dan
menjadi milik anak-anak dan remaja. Permainan hol go’ gumi dan
mukat merupakan permainan di saat duka sehingga tidak pernah
dimainkan pada waktu lain di luar saat penjagaan orang mati.

KEROK : MENGUNGKIT POTONGAN KAYU
Permainan ini merupakan permainan anak-anak baik laki-laki
maupun perempuan. Permainan ini dimainkan pada siang hari di
lapangan terbuka untuk mengisi waktu. Alat-alat permainan terdiri dari
dua batang kayu, satunya panjang sekitar lima puluh cm dan satunya
lebih pendek sekitar 20 cm. Untuk memulai permainan, digali lubang di
tanah sekitar sepuluh cm dalam dan batang kayu yang pendek
214

diletakkan di atas lubang itu. Seorang anak mengungkit kayu itu
dengan batang kayu yang panjang sejauh mungkin agar lawan tidak
dapat menangkapnya. Kayu yang pendek ini dilemparkan kembali dan
teman yang mengungkit tadi berusaha memukulkan kayu yang panjang
supaya tidak jatuh di lubang. Jarak jatuhnya kayu pendek itu dari
lubang diukur dengan kayu panjang itu dan jumlah angka itulah yang
akan menjadi penentu kemenangan dalam permainan ini.
Permainan kerok menjadi permainan yang digemari juga oleh anakanak di sekolah sehingga permainan ini masih bertahan sampai
sekarang.

AKAN DOLI’ : LOMPATI GARIS
Permainan ini umum diketahui yaitu permainan bagi puteriputeri dengan membuat garis-garis bersambung persegi empat di tanah
dan sebilah batu ceper dipakai untuk dilemparkan ke dalam bidang
persegi itu untuk menandakan bidang yang tidak boleh diinjak dalam
lompatan. Selanjutnya pemain melewati bidang-bidang persegi itu
sambil melompat dari satu bidang ke bidang yang lain. Akan doli’ ini
merupakan permainan uji ketangkasan dalam menjaga keseimbangan
badan sewaktu melompat dari bidang ke bidang yang dibatasi dengan
garis. Siapa yang berhasil menyelesaikan lompatan dari bidang ke
bidang menjadi pemenang.

HOL OKO’ GO’ON:
PERMAINAN DENGAN KELIKIR DI LUBANG TANAH
Permainan ini sama seperti congklak di Jawa. Hanya di DHL
anak-anak dan kaum ibu meng