Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Nurani Suku Buna' Spiritual Capital dalam Pembangunan D 902006009 BAB V

BAB 5
MENATA KEKERABATAN
MELALUI PERKAWINAN

Masyarakat suku Buna’ merasa erat terikat oleh adanya sistem
kekerabatan yang didasarkan pada pengalaman dan pengamalan yang
sudah berlangsung lama dan diyakini sebagai warisan dari leluhur.
Kekerabatan ini diungkapkan dalam tiga macam pertalian yaitu
hubungan darah (malu-ai), hubungan pemerintahan (dasa’ rak) dan
hubungan perjanjian (hulo lep). 24
Kekerabatan ini dipererat pula oleh kesatuan bahasa, yaitu: bahasa
buna’. Bahasa buna’ ini sebagaimana biasanya semua bahasa yang lain,
mempunya kekhasan, namun ada kekhasan yang lain yaitu
kesederhanaan yang menunjukkan keaslian dan ketuaan dari bahasa
buna’ ini. Suku Buna’ merasa ada kekuatan dari bahasa ini bukan hanya
sebagai pemersatu tetapi ada kekuatan terselubung yaitu kekuatan roh
yang terungkap dari pemakai, orang buna’, sehingga dalam bahasa buna’
ini termuat modal rohani atau spiritual capital sebagai kesatuan dalam
pengungkapan diri orang buna’.
Dalam Bab tentang ”Menata Kekerabatan Melalui Perkawinan” ini
diungkapkan hasil penelitian tentang kekerabatan yang mengeratkan

suku buna’ dan uraian tentang bahasa buna’ yang menjadi kekuatan
pengungkap kerohanian masyarakat itu sendiri.

KEKERABATAN BERDASARKAN
24 Istilah hubungan
malu ai merupakan kata majemuk, perpaduan dari
dua kata: malu dan ai. Hubungan malu ai terjadi akibat perkawinan. Suku
pemberi perempuan disebut malu, suku penerima perempuan, disebut ai ba’a
yang disingkat dengan ungkapan ai.

127

SISTEM SUKU: MALU-AI
Sistim kekerabatan di kalangan suku Buna’ berdasarkan suku
rumah, disebut deu (rumah, suku). Setiap orang menjadi anggota dari
satu deu dalam arti suku. Ada dua macam suku: malu (pemberi
perempuan) dan ai-ba’a (penerima perempuan). Setiap suku dengan
status ai-ba’a menyadari diri sebagai suku yang berasal dari suku malu.

Malu

A

B
B

C
C

D
D

E

Ai-ba’a
Ai-ba’a

Aiba’a
Ai-ba’a

Ai-ba’a


Ai-

Ai-ba’a

Gambar 21. Awal terjadinya deu (suku) ai-ba’a
yang berasal dari deu (suku) malu.

Deu (suku) berdiri melalui perkawinan dua orang leluhur laki
dan perempuan. Perkawinan kedua leluhur ini membentuk satu deu.
Setiap suku mempunyai riwayat sendiri-sendiri tentang leluhur wanita
dan leluhur laki-laki yang mendirikan deu (suku) mereka. Dan
selanjutnya hubungan satu suku dengan suku yang lain melalui
perkawinan itu merupakan riwayat setiap suku yang menjadi riwayat
yang sakral karena menyangkut harga diri setiap deu bersama seluuh
anggotanya.
Hubungan malu dengan ai-ba’a terjadi saat perkawinan
dilaksanakan dalam tata cara yang asli yatu sul suli’ dara (menegakkan
tombak dan kelewang). Seorang laki-laki meminang seorang perempuan
dari kelompok lain lalu mengawininya dan kedua orang ini sebagai

suami-isteri yang mendirikan satu suku sendiri yang sampai sekarang
disebut deu. Ini merupakan suku yang pertama. Suku yang kedua
berdiri maka suku pertama disebut deu A dan suku kedua disebut deu B.

128

Kalau terjadi perkawinan antara laki-laki dari deu A dengan seorang
perempuan dari deu B, maka berdirilah deu (suku) ketiga, deu C. Hal
ini dapat dilihat dalam gambar 5.

Laki-laki dan perempuan dari A +
B

Deu A
Laki-laki

Deu B
Perempuan

Deu C


Gambar 22. Terjadinya deu : Deu malu dan deu ai-ba’a melalui proses
perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan melalui
perkawinan sul suli’ dara (menegakkan tombak dan kelewang).
Ini bentuk perkawinan patrilineal.
Keturunan diperhitungkan berdasarkan garis keturunan bapa.

Dalam proses pembentukan deu malu dan deu ai-ba’a seperti
yang ditampilkan dalam gambar 5 ini, laki-laki dari deu A kawin
dengan perempuan dari deu B dan keduanya membentuk satu deu baru,
deu C. Dalam keadaan ini, deu C akan menamakan deu A sebagai deu
malu mone gomo (suku asal leluhur laki-laki) dan deu B sebagai deu
malu pana gomo (suku asal leluhur perempuan). Dua deu itu, A dan B,
sama-sama malu dari deu C. Jadi deu A dan B melihat deu C sebagai aiba’a. Begitu seterusnya terjadi dan adanya suku-suku dalam status malu
dan ai-ba’a ini sudah tidak ditambah lagi sampai sekarang dan generasi
sekarang ini hanya mengenal saja adanya talik malu-ai, (kaitan
hubungan suku pemberi perempuan = malu, dan suku penerima
perempuan = ai-ba’a) sebagai warisan leluhur. Proses pembentukan
suku-suku atas pembahagian malu dan ai-ba’a ini sudah berlangsung
129


lama dan tidak diketahui lagi kapan mulai terjadi sehingga hubungan ini
dimasukkan ke dalam kesadaran masyarakat sebagai suatu kesadaran
yang sakral, tidak dapat diganggu gugat lagi.
Dasar dari sistem kekerabatan yang tampak dalam hubungan deu maluai ini ialah keyakinan akan satunya asal-usul dari orang-orang suku
Buna’. Selanjutnya dari satu keturunan ini berkembang di mana ada
leluhur yang mendirikan suku atau deu dengan sistim perkawinan sul
suli’ dara. Seorang laki-laki mengambil seorang perempuan ke dalam
kelompoknya sendiri dan memperisteri perempuan itu dengan
menjamin keselamatan isteri itu yang disimbolkan dengan penegakan
sul (tombak) dan didekatnya digantungkan suli’ (kelewang). Dengan
perkawinan antara kedua leluhur ini terjadilah satu deu (rumah suku).
Berdiri pula deu yang lain dengan sistem yang sama. Proses ini dapat
dilihat dalam gambar 6.

Bei

Bei
Bei


Bei
Bei

Mone

Pana
Pana

Mone
Mone

Bei
Mon

Bei
Mone
Bei

Gambar 23. Perkawinan Leluhur : Seorang leluhur laki-laki (Bei Mone)
memperisteri seorang leluhur perempuan (Bei Pana) dan nanti

keturunan mereka inilah yang menamakan diri satu deu (suku).

Perkawinan dua orang ini menjadi awal dari suku baru (deu) dan
turunan keduanya akan mengenang mereka sebagai bei mone (nenek
laki) dan bei pana (nenek perempuan) pendiri suku. Sebagai contoh, di
Lakmaras saat ini ada suku (deu) bernama Tes gatal (cucu dari Tes),
berarti suku itu didirikan oleh seorang nenek laki-laki bernama Tes.
Dari suku Tes Gatal seorang laki-laki bernama Bere meminang seorang
perempuan bernama Bui dari suku Mali Gatal (cucu dari Mali) secara sul
suli’ dara. Bere bersama isterinya Bui mendirikan satu deu (suku) baru
dengan nama Bere Gatal (cucu dari Bere bersama isterinya Bui).
Dengan cara ini, deu Tes gatal menjadi deu malu (suku pemberi
perempuan) dari deu Bere gatal dan deu Bere gatal menjadi deu ai-ba’a
dari deu Tes gatal. Proses ini dijelaskan dalam gambar 7.
130

Deu

Deu


Tes gatal

Mali
gatal

Bui

Bere

Deu
Bere

Gambar 24: Contoh Berdirinya Satu Deu : Berdirinya Deu Bere gatal sebagai
hasil perkawinan antara Bei Mone (leluhur laki-laki) bernama Bere dan Bei
Pana (leluhur perempuan) bernama Bui dan suku baru ini disebut Bere Gatal
d
(l l h ) b

Dalam posisi ini Deu Bere gatal menjadi ai-ba’a dari deu Tes
gatal. Deu Tes gatal menjadi malu dari deu Bere gatal. Deu Bere gatal

melihat Deu Tes gatal sebagai malu mone gomo dan deu Mali gatal
dilihat sebagai malu pana gomo. Deu Tes gatal dan deu Mali gatal samasama melihat deu Bere gatal sebagai ai-ba’a.
Untuk menjelaskan hubungan malu-ai ini maka diambil contoh
dari gambar 7 dan dilihat satu per satu dari posisi deu atau suku masingmasing. Dari posisi deu Tes gatal, Deu Mali gatal menjadi malu, karena
dari deu Mali gatal berasal seorang perempuan, bernama Bui.
Selanjutnya, deu Bere gatal menjadi ai-ba’a, karena laki-laki Bere yang
berasal dari Tes gatal ini yang menjadi pendiri deu Bere gatal.
Dari posisi Deu Bere gatal, deu Tes gatal dilihat sebagai malu, secara
lebih khusus disebut malu mone gomo karena dari deu Tes gatal inilah
berasal leluhur laki-laki bernama Bere. Deu Mali gatal dilihat sebagai
malu, dan secara khusus disebut malu pana gomo dan secara lebih
131

khusus lagi disebut malu bul (pangkal atau sumber malu) karena leluhur
perempuan bernama Bui berasal dari deu Mali gatal ini.
Hubungan malu – ai ini sekarang masih dipertahankan secara
ketat karena dianggap warisan leluhur yang berkaitan dengan
kehidupan pribadi dan kehidupan suku atau deu. Dengan demikian
hubungan malu-ai inilah yang menjadi dasar seluruh kekerabatan dari
orang-orang suku Buna’, termasuk masyarakat DHL. Tidak ada satu

orang pun dalam kesatuan suku Buna’ yang tidak menjadi anggota dari
salah satu suku atau deu. Eratnya hubungan kekerabatan di kalangan
suku Buna’ terjadi dan terpelihara karena didasarkan atas hubngan suku
malu-ai ini. Kalau dua orang Buna’ bertemu di mana saja maka mereka
akan saling menanyakan masing-masing dari suku (deu) mana. Kalau
sudah saling mengenal suku atau deu masing-masing maka urusan apa
pun saja selanjutnya dilihat berdasarkan hubungan deu ini.
Ibu Theresia Ili dan suaminya Leo Mali yang sudah lama berurbanisasi dan tinggal di kota Atambua, di luar wilayah suku Buna’,
memberikan penjelasan berikut tentang hubungan malu-ai ini:
Namanya orang Buna’ tidak bisa lepas dari hubungan malu-ai.
Kami yang di kota ini selalu bertemu dan saling membantu atas
dasar tradisi suku, khususnya hubungan malu-ai ini. Ini bukan
sukuis tetapi satu warisan leluhur yang melekat dalam hati
kami. Kalau kami urus anak-anak kami sesama suku Buna’ di
kota Atambua ini, kami sebagai orang tua pertama-tama
melihat apakah mereka dua itu, pemuda dan pemudi ada
hubungan keluarga yang berasal dari satu suku, satu deu. Kalau
dari satu deu, langsung kami katakan tidak bisa. Kawin dalam
suku, tidak boleh. Leluhur larang. Kalau langgar, tidak selamat.
Keluarga itu akan celaka. Jadi hubungan suku atas dasar malu-ai
ini tetap kami pegang biarpun jauh dari daerah kami,
Lamaknen. (Hasil wawancara tgl. 4 Januari 2011 di Atambua).

Di kalangan masyarakat DHL hubungan kekerabatan atas dasar
hubungan malu-ai ini sangat kuat sampai saat penelitian ini dilakukan
mulai dari tahun 2006 sampai 2011. Pembuatan rumah tinggal (deu),
pengolahan lahan garapan (mar), acara kelahiran (hoto tuka), acara
perkawinan (ton) dan urusan kematian (en heser) anggota masyarakat
DHL selalu didasarkan atas hubungan malu-ai ini. Pemilihan kepada
desa di dua desa ini, Henes dan Lakmaras selalu berdasarkan keaggotaan
132

suku atau deu. Kepala desa selalu dilihat dari deu apa dia berasal.
Urusan pemerintahan desa lebih mudah berdasarkan pendekatan maluai. Di kota Atambua sebagai ibu kota Kabupaten Belu, orang-orang
suku Buna’ ini memegang peranan penting di kantor-kantor karena
alasan ’deu’ ini. Kelompok orang-orang suku Buna’ dianggap sebagai
kelompok yang ’sukuis’ dan suka menguasai orang lain dari kelompok
masyarakat lain dari etnis di luar suku Buna’ karena orang-orang Buna’
mempunyai rasa keterikaan suku itu begitu kuat dan cenderung
eksklusif dalam pergaulan dengan orang lain. Kalau sesama orang suku
Buna’ bertemu, sering kelompok ini memakai bahasa mereka, bahasa
Buna’ dan kurang memperhatikan perasaan orang lain.
Dalam masa jabatan Bapak A.A. Bere Tallo (almarhum) sebagai
Bupati Kepala Daerah Kabupaten Belu, tahun l959 – 1969, ada keluhan
dari orang-orang di luar suku Buna’ di Atambua bahwa pegawaipegawai di kantor-kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Belu
umumnya kebanyakan orang Buna’. Mulai dari pesuruh, sopir sampai
kepala-kepala Dinas dan Kantor pada waktu itu kebanyakan orang
Buna’. Semasa hidupnya, tahun 1998, di kediaman beliau di Weluli,
Lamaknen, beliau pernah memberikan komentar di depan peneliti
tentang isu ’Buna’ ini:
”Orang Buna’ ini hidup di daerah yang sangat sulit alamnya.
Kering dan tandus. Ini menyebabkan orang Buna’ terkenal
sebagai pekerja keras. Tanah pertanian di Lamaknen ini tidak
subur. Air hampir tidak ada sehingga untuk bertani di musim
kemarau, tidak ada kemungkingan. Orang Buna’ ini biar susah
tapi terikat dengan wilayah mereka, Lamaknen ini. Hal ini ada
karena mereka terikat dengan kuburan leluhur dan adat istiadat.
Hubungan malu-ai menyatukan orang Buna’. Waktu jadi Bupati,
saya dituduh sukuis. Bukan. Saya beri kesempatan kepada orangorang dari suku lain juga di luar suku Buna’. Saya lihat orangorang Buna’ yang ada di kantor itu orang-orangnya tabah dan
tekun. Dan kekhususan orang Buna’ ini ialah: terus terang, tegas.
Kalau dia pencuri, langsung ketahuan dia pencuri. Itu lihat dari
dia punya muka. Tapi kalau dia tidak curi, tidak korupsi, kita
tidak bisa tuduh. Dan orang Buna’ takut curi uang kantor itu
karena dia takut leluhur, takut roh-roh dan tentu sekali takut
Tuhan. Alasan mereka itu jujur, tabah dan tekun itulah yang

133

menyebabkan saya pilih banyak dari mereka untuk kerja di
kantor bersama saya.”

Jadi ikatan dasar dalam kekerabatan itu ialah malu – ai dan ada
lagi ikatan dasar lain yang turut mempengaruhi kekerabatan ialah:
ikatan berdasarkan perjanjian dan ikatan berdasarkan pemerintahan.
Ikatan berdasarkan perjanjian disebut hulo lep (sejenis bambu) dan
ikatan berdasarkan pemerintahan disebut dasa’ rak (urutan berdasarkan
hirarki).

DASA’ RAK : KEKERABATAN
BERDASARKAN PERJANJIAN PEMERINTAHAN
Berdasarkan ceritera lisan yang dituturkan dalam berbagai
kesempatan urusan adat, suku Buna’ ini berasal dari satu rumpun yang
terbagi-bagi atas suku kecil dan kelompok yang berpisah ke berbagai
tempat di Pulau Timor. Ada catatan tertulis dari Bapak A.A.Bere Tallo
tahun 1957 dan dilengkapi dengan berbagai sumber, antara lain mako’an
Koli Uka yang sempat diwawancarai oleh penulis tahun 2008 dan
seorang tua adat di Apis, Ampou Leto. Penuturan mereka dipadukan
dengan catatan dari Bapak A.A. Bere Tallo dan jalannya ceritera sebagai
berikut.
Leluhur suku Buna’ itu berasal dari Hot Esen, Gepal Kere’ Giral
Uen (Matahari Yang Tinggi, bertelinga satu, bermata satu) sebagai satu
Roh Mahatinggi yang menciptakan matahari, bulan bintang, langit dan
bumi serta lautan. Perkawinan antara bintang dan bulan, melahirkan
manusia pertama. Manusia pertama ini berkembang biak dan
mempunyai keturunan yang kemudian berkelompok menjadi enam
kelompok. Enam kelompok itu bernama: Luta Rato Jopata; Lakulo’

Samoro; Sibiri’ Kailau; Roikun Robulan; Oburo Maboro; Ton Ba’ Ton
Wai’. 25
25 Ungkapan ini selalu diuraikan dalam tutur adat tentang sejarah leluhur orang
Buna’. Ceritera ini sudah pernah ditulis sebagai manuskrip oleh A.A.Bere Tallo
dengan judul “Pandangan Umum Wilayah Belu”, tahun 1957 dikonfirmasi
dengan wawancara lisan dengan mako’an Koli Uka dan Pit Bere Sorun di Abis
tahun 2008. Ada catatan tertulis tentang informasi ini dalam manuskrip dari
A.D.M. Parera, Sedjarah Politik Pemerintahan Asli (Sedjarah Radja-radja) di
Timor, Pemda Prop. NTT, Kupang, 1971, hal. 56-57.

134

Enam kelompok ini mengadakan ikatan perjanjian sebagai hulo
– lep di tempat yang sekarang ini berada di wilayah Timor Leste, Turul
Tuk Siol Wa. Dari Turul Tuk Siol Wa inilah enam kelompok suku
Buna’ itu menyebar dan menempati wilayah Lamaknen sampai
sekarang. Mako’an Koli Uka menegaskan, istilah Lamaknen itu berasal
dari kata bahasa Tetun, bukan bahasa Buna’. Penamaan itu diberikan
oleh orang-orang Tetun yang menjadi tetangga suku Buna’ dan
berdasarkan tutur adat dari orang Buna’ sendiri bahwa orang Buna’ itu
gabungan dari enam kelompok, maka diberikan nama Lamaknen,
berasal dari kata dalam bahasa Tetun, nen artinya enam dan lamak
artinya kelompok.
Untuk mengurus enam kelompok yang tersebar di wilayah
Lamaknen ini para leluhur menentukan susunan pemerintahan yang
terbagi atas Na’i (raja) yang dikenal dengan istilah Bein Goni’il artinya
empat besar, Gewal, Lakmaras, Henes, Nualain. Saat sekarang ini
empat besar itu dijadikan masing-masing satu desa sejak tahun 1961.
Dari antara empat Na’i waktu itu, salah satunya disepakati sebagai Loro
(terang, raja agung) yaitu Gewal berfungsi sebagai penyatu dan tidak
membawahi yang lain. Di luar dari empat kelompok ini, kelompok
yang lain menjadi tala hol gomo (penguasa wilayah leluhur) dan kanu
hasan gomo (penguasa sawah dan ladang).
Setiap tala hol gomo dan kanu hasan gomo itu menjadi satu
desa, sama dengan desa-desa yang lain sambil tetap mempertahankan
statusnya sebagai Na’i (raja). Dengan perubahan dari wilayah yang
dikuasai oleh seorang Na’i menjadi wilayah desa, maka terbentuklah
desa-desa di Lamaknen sejak tahun 1966 dengan nama-nama: Kewar,

Lakmaras, Henes, Nualain, Fulur, Leowalu, Duarato, Ekin, Lo’ona,
Dirun ditambah dengan dua desa yang lain, Magil dan Leo sogo (Lamak
Senulu). Dua desa yang disebut terakhir ini, Magil dan Leo sogo
merupakan rumpun suku Buna’ yang datang ke Lamaknen berbeda
waktu dengan kelompok sebelumnya. 26

26

Pada thn. 1966, berdasarkan SK Bupati KDH Tk. II Belu, tgl. 31 Maret 1966,
No.Pem.6/1966, sistim kerajaan (ke-na’i-an; na’i = raja) di Belu diganti dg
sistim Desa, termasuk Lamaknen. Di Lamaknen ada 12 Desa, masing-masing
dngan kepala desa (kepdes):1. Kewar, kepdes, Matheus Bere Bau’; 2. Lakmaras
kepdes, Johanes Mau; 3. Fulur, kepdes Lambertus Ati; 4. Duarato kep des

135

Kekerabatan berdasarkan hubungan dasa’ rak (hirarki dalam
pemerintahan) ini tidak menurunkan derajat seorang menjadi atasan
dan bawahan. Hubungan suku atas dasar malu-ai selalu menjadi
hubugan yang utama sehingga dalam kesatuan adat dalam
pemerintahan, dikenal ‘dato’ (bangsawan) dan ‘renu’ (rakyat) tetapi
dalam pergaulan sehari-hari, hubungan persaudaraan berdasarkan
malu-ai lebih dominan.

HULO LEP : KEKERABATAN
BERDASARKAN PERJANJIAN PERSAUDARAAN
Kekerabatan jenis ketiga dikenal kekerabatan berdasarkan
perjanjian antara kelompok yang ditandakan dengan upacara do a
(minum darah). Dalam tutur adat secara lisan, upacara hulo lep yang
pertama diadakan oleh enam kelompok suku Buna’ yang diadakan di
Turul Tuk Siol Wa, diperkirakan terjadi sekitar abad ke 17. 27
Menurut Mako’an Pit Bere Sorun dari Lakmaras yang tinggal di
kampung Abis, tutur adat tentang asal-usul dan perjanjian persaudaraan
leluhur ini banyak versi, tetapi intinya sama, ada sumpah adat dengan
cara minum darah, do a.
Dalam wawancara di Abis, Oktober tahun 2008 itu Mako’an Pit Bere
Sorun menjelaskan:
Kami punya adat sampai sekarang ini masih mempertahankan
hubungan berdasarkan hulo lep. Awal mulanya enam
kelompok yang bersaudara itu mengadakan sumpah adat di

Nikolas Nahak; 5. Loonuna kepdes Gabriel Oes; 6. Makir kepdes (kosong); 7.
Nualain kepdes Asa Tuan; 8. Henes kepdes Martinus Dasi; 9. Leowalu kepdes
Arnol Boko; 10. Ekin kepdes P.Bere Bakurai; 11. Dirun kepdes Gaspar Lesu;
12. Lamaksenulu kepdes Bene Bere Mau.
27
Pekiraan waktu oleh Bpk. A.A. Bere Tallo berdasarkan tutur adat dan
berbagai peristiwa yang terjadi di Timor bahagian Timur waktu itu, yaitu
pergeseran penduduk karena perang antara suku yang baru datang dengan suku
yang sudah lebih dahulu mendiami Timor bahagian Timur lalu menggeser
penduduk yang lebih awal itu ke pedalaman Pulau Timor. Suku yang oleh Suku
Buna’ disebut dalam tutur adat lisan, kenurawan, diperkirakan orang Melus,
leluhur orang Dawan atau suku Atoni yang sekarang ini berada di wilayah
Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan dan Kupang. Hal ini dicatat pula
oleh A.D.M. Parera dalam manuskripnya, Sedjarah Politik Pemerintahan Asli
di Timor, 1971, hal. 30-31.

136

Turul Tuk Siol Wa. Itu sudah lama lalu. Kemudian antara
kampung pun diadakan sumpah serupa. Cara bersumpah itu
lain sekali. Menurut ceritera, setiap kelompok dari enam
kelompok itu mengutus seorang yang dituakan dan mereka
enam orang, masing-masing ambil kulit luar dari hulo atau lep
( dua-duanya sejenis bambu kecil dan sering dipakai untuk
membuat sumpitan) dan kulit bamdu itu tajam sekali, dipakai
itu untuk sayat ujung jari kelingking (don gulo’) dan kulit di
atas tumit (duol atit). Darah itu ditadah di dalam satu boge’
(talam dari kayu) dicampur dengan sopi lalu diedarkan dan
setiap orang minum dari boge’ itu. Bunyi sumpah itu begini:

Mete lorowen mete hot mil, i dini kere’ i dini uen, dini eme
ama dini kau’ ka’a. Ciro uen na, zonal gene man eno’ gene
man, toek no’ bare lal no’ bare, hone tama ni’ hakur hulakter,
hot gita mal ni’ muk gutuba ni’, ba’i giri pili ba’i rozomok.
(Terjemahan bebas: Hari ini, kita jadi satu, jadi ibu-bapa, jadi
adik-kakak. Barang siapa kemudian hari, tidak memegang isi
perkara ini dan melanggarnya, matahari tidak memihak dia,
bumi tidak menopang dia, dia punya kaki patah, dia hancur
lebur). Atas dasar sumpah setia seperti inilah kami sampai
sekarang, orang Buna’, tidak boleh bertengkar atau saling
memusuhi apalagi saling membunuh. Dan dari kelompok itu
ada dua bersaudara, Sabu Mau’ dan Ti Mau’ yang kemudian
berpindah sampai ke Pulau Sabu dan Rote, sama-sama diikat
dengan sumpah itu sehingga kami yang namanya orang Buna’
di Belu ini tidak boleh saling memarahi dengan orang-orang
Sabu dan Rote.

Ceritera tentang sumpah adat pada masa leluhur ini masih
begitu kuat dalam ingatan para tua-tua adat yang mewarisi tutur adat
dari para pendahulu mereka sampai orang-orang dari generasi muda
sekarang pun masih memahami makna ceritera itu dan mentaatinya
dalam pergaulan harian. Secara lebih khusus ada kebiasaan yang
menjadi pegangan dalam hidup bertetangga antara warga desa Henes
dengan warga desa Lakmaras tempat diadakan penelitian ini. Dua desa
ini menamakan diri ‘sai pir’ artinya: pergi datang. Maksud istilah sai pir
ialah: warga kedua kelompok yang secara administratif pemerintahan
dipisahkan menjadi dua desa, Henes dan Lakmaras, tidak pernah

137

mengenal batas desa. Aquilina Mutik (47) 28 seorang ibu asal desa
Lakmaras yang pernah menjadi kepala desa di Lakmaras menjelaskan di
Lakmaras bulan Oktober 2009:
Kami orang-orang muda ini tidak pernah mau melanggar
pertalian suku antara warga desa Henes dan Lakmaras. Bicara
pun tidak pernah. Saya sebagai kepala desa waktu itu, cukup
tahu siapa rakyat desa Lakmaras atas dasar pembayaran pajak
tanah dan pajak padang rumput. Dia (rakyat) tinggal di Henes
atau Lakmaras, tidak ada masalah. Ada yang tinggal di Henes
tapi bayar pajak di Lakmaras, sebaliknya ada yang tinggal di
Lakmaras tapi bayar pajak di Henes. Siapa berani tegur? Dua
desa ini satu, hanya oleh pemerintah dibagi dua. Berani buat
batas, pasti mati. Jadi untuk bicara saja pun tidak berani,
apalagi bertindak untuk letakkan batas. Petugas dari
Kabupaten datang tanya di mana batas, mau buat peta, saya
bilang, kamu perkirakan sendiri dan buat peta. Saya tidak tahu
batas di mana sehingga tidak bisa tunjuk batas. Sesudah diberi
penjelasan sedikit, mereka mengerti dan mereka buat sendiri.
Saya luput. Di kebun-kebun, kalau kebun itu milik orang
Lakmaras, seorang dari Henes yang kebetulan lewat dan
melihat pepaya masak, dia lapar, petik dan makan, tidak boleh
tegur. Itu bukan curi. Kalau kebetulan tuan kebun ada, minta,
dan pasti diberi, asal untuk makan di tempat itu dan tidak
dibawa pulang. Kalau tuan kebun tidak ada, makan saja, kulit
dibiarkan di situ dan ambil satu ranting pohon, tindis dengan
batu, itu tanda bahwa buah-buahan itu tidak dipetik oleh
pencuri tapi oleh salah seorang yang kebetulan lewat dan
kelaparan di jalan. Ini perwujudan dari isi sumpah hulo lep,
kau’ ka’a yang pernah diadakan oleh para leluhur. Kami takut
mugen (arwah leluhur), takut pan muk gomo (roh-roh
penghuni langit dan bumi) dan Hot Esen (Matahari yang
tinggi) sehingga tidak berani langgar. Sudah ada banyak
28 Aquilina Mutik, Ibu keluarga, seorang sarjana pendidikan, lahir di Lakmaras,
28 Januari 1964, pernah menjabat sebagai Kepala Desa Lakmaras, tahun 20022006. Dia diwawancara pada bulan Oktober 2009, baik secara langsung maupun
tidak langsung melalui hand-phone untuk konfirmasi beberapa data tentang
desa Lakmaras. Suaminya, Theodorus Bere Laku’, sarjana muda (D3)
Administrasi Pembangunan Masyarakat, status PNS pada Pemda Belu, lahir tgl.
31 Desember 1963 di Builalu – Lamaknen. Dia menjadi nara sumber tentang
status seorang mane-pou dalam urusan hak menggarap tanah pertanian milik
suku si-isterinya, Aquilina Mutik.

138

ceritera tentang kecelakaan yang dialami orang yang
mengabaikan isi sumpah adat leluhur ini. Ada yang jatuh dari
pohon, ada yang dipagut ular, ada yang disambar kilat. Jadi isi
sumpah leluhur itu kami pegang teguh dan tidak main-main.

Dasar ketaatan pada isi sumpah adat itu ternyata terletak pada
kepercayaan akan adanya mugen (arwah leluhur), pan muk gomo
(roh-roh penghuni langit dan bumi) dan Hot Esen (Matahari yang
tinggi) yang diyakini dalam kepercayaan asli, turut menjaga
ditegakkannya isi sumpah itu oleh semua anak-cucu. Taat berarti
aman, melanggar berarti celaka.

DALE BUNA: KEKERABATAN BERDASARKAN
PERSAMAAN BAHASA
Ikatan yang ada berdasarkan kesatuan bahasa ternyata sangat
kuat. Suku ini yang menamakan diri En Buna’ (manusia Buna’)
memakai bahasa Buna’ yang oleh sekelompok peneliti di bidang bahasa
digolongkan dalam rumpun bahasa Trans-New Guinea yang masih ada
kesamaan dengan bahasa-bahasa di Papua – Kepala burung, Alor dan
Pantar (Lewis, M.Paul. ed. 2009). Bahasa Buna’ ini mempunyai
keunikan sebagai satu bahasa yang masih sangat sederhana
dibandingkan dengan bahasa-bahasa tetangga seperti Tetun di Belu dan
Dawan di Timor Indonesia bahagian Barat.
Bahasa Buna’ ini sangat mengikat para pemakainya dengan
alasan, bahasa Buna’ ini mempunyai fungsi: pertama, sebagai bahasa ibu
dan kedua, sebagai bahasa adat dan ketiga, sebagai bahasa doa.
Pertama, sebagai bahasa ibu, bahasa Buna’ dipakai dalam
pergaulan harian. Masyarakat DHL (Desa Henes dan Lakmaras) sebagai
bahagian dari masyarakat suku Buna’, sehari-hari memakai bahasa
Buna’ sebagai bahasa percakapan. Anak-anak sekolah suku Buna’
hanya memakai bahasa Indonesia di sekolah sedangkan di rumah tetap
memakai bahasa Buna’ sampai sekarang. Di sekolah tingkat dasar, anakanak sangat sulit mempelajari bahasa Indonesia karena struktur
tatabahasa kedua bahasa ini sangat berbeda. Bahasa Indonesia memakai
hukum DM (yang Diterangkan mendahului yang Menerangkan
sedangkan bahasa Buna’, terbalik, memakai hukum MD (yang

139

Menerangkan mendahului yang Diterangkan). (J.S.Badudu, 2003).
Bahasa Indonesia, “Makan sirih”, dalam bahasa Buna’ “Molo a”, molo
artinya sirih, a artinya makan. Jadi tidak mengherangkan kalau anakanak yang baru belajar bahasa Indonesia atau orang tua-tua yang
kurang tahu bahasa Indonesia, mengatakan, “Sirih makan”, terjemahan
lurus dari “Molo a”. Bahasa Indonesia, “Naik kuda”, bahasa Buna’, “Kura
sa’e”, dan orang Buna’ yang kurang tahu bahasa Indonesia sering
berkata, “Kuda naik”, maksudnya “Naik kuda”. Begitu juga sering
terdengar, “Saya Atambua pergi”, maksudnya “Saya pergi ke Atambua”,
tapi karena terpengaruh oleh bahasa Buna’, “Neto Atambua mal”, (neto
= saya; mal = pergi), maka tidaklah mengherankan kalau secara tidak
sadar orang Buna’ berbahasa Indonesia secara salah karena terpengaruh
oleh struktur tatabahasa yang memang berbeda dengan tatabahasa
Indonesia.
Ada lagi kekhasan yang lain dalam arti betapa sederhananya
bahasa Buna’ ini, ialah: setiap huruf hidup ada arti. Huruf hidup yang
pertama, a mempunyai tiga arti dalam bahasa Indonesia: (1) makanan,
(2) nasi (kata benda) dan (3) makan (kata kerja). Kalimat bahasa
Indonesia, “Makan nasi”, dalam bahasa Buna’, “a a”. Huruf a yang
pertama berarti nasi, dan huruf a yang kedua, kata kerja, makan.
Seorang anak SD suku Buna’ sering berkata dalam bahasa Indonesia,
“Nasi makan” dan ini jelas pengaruh bahasa ibunya, Buna’. Huruf
hidup yang kedua, e. Huruf e ini artinya garam. Kalimat “Makan
garam”, dalam bahasa Buna’, “E a”. (E = garam; a = makan). “Kita makan
garam”, dalam bahasa Buna’, “I e a”. (I artinya kita). Huruf hidup yag
ketiga, i. Huruf ini merupakan kata dengan dua arti: (1) kita; (2) gigit
(kata kerja). Kalimat bahasa Indonesaia, “Menggigit kita”, dalam bahasa
Buna’, “I i “ (i yang pertama artinya kita; i yang kedua artinya
menggigit). Huruf hidup yang keempat, o. Huruf ini, o, ( kata bahasa
Buna’) dalam bahasa Indonesia ada tiga arti: (1) udang, (2)
darahmu/engkau punya darah, (3) ada pada engkau. Kalimat “O u”,
artinya: udang hidup. (o = udang; u = hidup/kata kerja). Kalimat “I o”
artinya, “Pada kita” atau “Kita punya darah”. Huruf hidup yang kelima,
u, mempunyai tiga arti: (1) rumput, dan (2) hidup (kata kerja) dan (3)
hidup - kehidupan (kata benda). Kalimat bahasa Buna’, “U u” artinya:
Rumput hidup, u yang pertama artinya rumput, u yang kedua artinya
hidup. Keunikan bahasa Buna’ ini dapat dibuktikan dengan lebih

140

banyak contoh lagi baik kata-katanya maupun susunan kalimatnya
(Anton Bele, 2009). Sebagai contoh tambahan, ada banyak kata yang
hanya terdiri dari dua huruf: ba = menggulung daun pandan (heran ba);
bi = (1) bintang, (2) berulat; be = sibak/buka; bo’ = potong; bu = fufuk
(binatang kecil sejenis kutu atau hama yang merusak biji jagung). Sa =
menyapu; si = daging; su = susu; se = tebas; so’ = kering, tajam.
Ada satu hal yang perlu diteliti lebih lanjut oleh ahli bahasa,
ialah suatu asumsi dari peneliti bahwa bahasa Buna’ termasuk dalam
bahasa tua yang menjadi akar atau awal dari bahasa proto- dan deutromelayu: dalam bahasa Melayu /Indonesia, kata rumput, dua vokal u
terwakili dalam bahasa Buna’, u yang artinya rumput. Dalam bahasa
Melayu dan Jawa, kata hidup, urip, dalam bahasa Buna’, u artinya
hidup. Dalam bahasa Melayu/Indonesia, makan, dalam bahasa Buna’, a
sebagai suatu ungkapan bunyi yang sangat sederhana dan mendasar,
menggambarkan mulut yang terbuka untuk memasukkan makanan,
mulut terbuka dan ada letusan bunyi ‘a’, dan huruf yang mewakili satu
bunyi saja ini menjadi kata dalam bahasa Buna’. Dalam bahasa
Melayu/Indonesia, kita, dalam bahasa Buna’, i. Dalam bahasa
Melayu/Indonesia, gigit, dalam bahasa Buna, i. Kata gigit, dengan satu
huruf saja i memberikan kesan, pengucap itu sebagai pencetus awal kata
i yang artinya gigit melihat orang menggigit atau binatang menggigit
biasanya gigi kelihatan dan bunyi yang tercetus hanyalah bunyi ‘i’. Lalu
bunyi i ini menjadi satu kata untuk menggigit. Perlu digali lebih lanjut
tentang keunikan yang ada dalam bahasa Buna’ ini. Hal ini baru
merupakan asumsi awal dari peneliti untuk membuka horison bagi
peneliti lain di bidang bahasa.

141

Gambar 25 Mgr. Anton Pain Ratu SVD, Uskup Atambua Emeritus
Beliau mengatakan bahwa bahasa Buna’ itu sukar sekali karena tiap huruf
hidup bisa ada arti.

Tentang keunikan bahasa Buna’ ini, seorang pemimpin Gereja
Katolik di Keuskupan Atambua, Bapak Uskup Mgr. Anton Pain Ratu
SVD, pernah berkata pada tahun 1987 dalam kunjungan kerja beliau
ke wilayah Lamaknen bersama peneliti.
“Wah, bahasa Buna’ ini sukar sekali. Dan ganjil. Bagaimana tiap
huruf ada arti dan kalau kita ucap salah-salah, orang tidak
mengerti dan orang tertawa. Karena bahasanya sukar itulah
maka dari pihak pimpinan Gereja Katolik, kalau sudah
tempatkan satu misionaris (Pastor) dari luar, entah dari
Indonesia sendiri atau dari Eropah, seperti Pater Barth (orang
Jerman, alm.) atau Pater Roth (orang Jerman) di wilayah suku
Buna’ seperti di Lamaknen ini, dan kalau dia sudah fasih
berbahasa Buna’, sulit sekali untuk dipindahkan dengan
pertimbangan, orang baru yang menggantikan nanti setengah
mati, belajar bahasa Buna’ ini. Dan umat juga nanti susah, tidak
dapat penggembalaan dari orang yang mengerti bahasa mereka.
Jadi kami pimpinan Gereja Katolik atau pimpinan Konggregasi
Pastor-pastor cenderung untuk mempertahankan Pastor yang
sudah menguasai bahasa Buna’ di wilayah orang Buna’ ini.”

Jadi bahasa Buna’ ini merupakan bahasa persatuan yang
menyatukan orang Buna’ sebagai satu kesatuan yang unik dan kuat.

142

Dalam pergaulan harian, mungkin oleh kosa kata dan struktur bahasa
yang sederhana, para pengguna bahasa Buna’ ini cenderung berbicara
singkat-singkat dan kedengarannya kasar. Bahasa Buna’ tidak mengenal
tingkatan bahasa halus dan kasar. Hanya dalam ungkapan kepada orang
yang lebih tua, ada ungkapan yang diperhalus tetapi tidak ada tingkatan
khusus dalam ungkapan baik kepada orang yang sederajat maupun
kepada yang lebih tinggi tingkatannya. Hal ini mempengaruhi juga
watak orang-orang Buna’ yang suka bicara singkat dan tidak mau
berbelit-belit yang oleh orang-orang luar yang bukan suku Buna’
beranggapan bahwa orang Buna’ itu wataknya kasar. Hal ini terungkap
dalam wawancara peneliti dengan Pater Vincent Wun SVD (59) 29 yang
dilakukan pada tanggal 30 Maret 2011 melalui percakapan jarak jauh. Ini
kesannya tentang orang Buna’:
“Orang Buna’ itu sepintas lalu kita sangka kasar. Itu watak orang
yang hidup di tanah yang gersang dan tanah bukit-bukit. Bahasa
mereka juga bahasa yang kata-katanya singkat, tegas. Bayangkan,
kalau kita suruh seorang pemuda Buna’ buat apa-apa, dia bilang
“Cia’ “ artinya, “Tidak mau”, dia langsung katakan singkat begitu
dan tetap tidak mau. Kalau dia bilang “Ni’ “ (“Tidak”), yah tetap
tidak. Mereka ini orang-orangnya terkesan bicara kasar, gerak
kasar, tapi hatinya lembut. Saya delapan tahun saya sebagai
Pastor di antara orang Buna’ di Nualain, dan sangat mengenal
watak oran-orang Buna’. Saya memang belajar bahasa Buna’ dan
kotbah dalam bahasa Buna’, tapi ada banyak kata dengan banyak
arti, saya tidak bisa tangkap. Yah, bahasa Buna’ itu memang
sukar.”

Kedua bahasa Buna’ sebagai bahasa adat yang memperat tali
kekerabatan orang Buna’. Dalam setiap tutur adat yang didaraskan oleh
Mako’an (ahli adat suku Buna’), bahasa Buna’ dengan kata-kata khusus
yang berpadanan arti dirangkai dalam syair yang bunyinya berirama
Pater Vincent Wun SVD, seorang imam berasal dari Niki-niki, TimorTengah-Selatan, dari suku Dawan campuran Tionghoa, lahir 17 Juli 1951.
Ditahbiskan menjadi imam pada tgl 9 Juli 1982. Menjadi Pastor Paroki di
Nualain, wilayah suku Buna’ selama delapan tahun, 1984 – 1993.
Pengalamannya selama delapan tahun bergaul dengan orang-orang Buna’
merupakan kesan yang mendalam bagi dirinya tentang perilaku orang-orang
29

Buna’.

143

dalam bentuk lagu yang datar. Untuk menerima tamu dilaksanakan
acara pail (sapaan adat) yang meriwayatkan asal-usul dan kedudukan
tamu yang disambut. Untuk upacara kematian, didaraskan riwayat asalusul leluhur dan tujuan pengantaran arwah orang mati ke tempat
tinggal para leluhur. Bahasa yang digunakan dalam adat ini sulit
dimengerti oleh orang kebanyakan tetapi karena padanan kata dan
irama yang mempunyai kekuatan mistik tersendiri membuat para
pendengar dan para peserta upacara tetap menghayatinya tanpa banyak
mengerti artinya. Masyarakat di desa Henes dan Lakmaras mempunyai
satu orang Mako’an (ahli tutur adat) yang muda bernama Markus Tay
Giral (62) menggantikan Mako’an yang sudah meninggal dunia tinggal
di Abis.

Gambar 26. Mako’an: Masyarakat di desa Henes dan Lakmaras mempunyai
satu orang Mako’an bernama Markus Tay Giral (62) menggantikan Mako’an
yang sudah meninggal dunia tinggal di Abis. Mako’an Markus Tay Giral
sedang
berdoa.
Mako’an ini tidak melalui
“Saya laksanakan tugas
sebagai
(Sumber:
Eustachius
Maliikut-ikut
Tae)
pendidikan khusus macam sekolah. Saya
mereka

Dalam keterangannya sebagai Mako’an, penutur adat, Bapak
Markus Tay Giral ini menjelaskan pada bulan Oktober tahun 2008 di
Lakmaras:
144

(Mako’an) yang sudah tua dan sudah meninggal semua. Untuk
tahu bahasa adat dan silsilah leluhur harus banyak dengar dan
ikut mereka yang tua-tua. Saya ikut mereka sehingga
masyarakat percaya saya dan panggil saya ke sana-sini untuk
bawakan tutur adat”.

Fungsi yang ketiga bahasa Buna’ ialah bahasa doa. Dalam setia
upacara sakral ungkapan berupa sapaan kepada mugen (arwah leluhur),
muk gomo (roh-roh penghuni langit dan bumi) dan Hot Esen (Matahari
Yang Tinggi) didaraskan doa dalam bentuk bahasa syair dengan katakata yang bermakna sangat dalam. Sebagai contoh, Yang Maha Tinggi
disapa dengan ungkapan, Hot ligi o le esen, Bei Gepal kere’ gial uen,
Esen hitu gene, as hitu gene. (Terjemahan bebas: Matahari, terbuka dan
bersinar di tempat yang tinggi, Nenek bertelinga satu, bermata tunggal,
berdiam di ketinggian berlapis tujuh).Mulai dari upacara kelahiran,
perkawinan dan kematian doa-doa khusus sudah terhafal oleh Mako’an
dan didaraskan dengan lancar sambil membuat gerak-gerik sesuai
maksud doa-doa itu sendiri.

Gambar 27. Mako’an Markus Tay sedang memimpin ibadat agama
Hot Esen dikitari oleh anggota suku yang mempunyai hajatan
(Sumber: Eustachius Mali Tae)

145

Doa dalam bahasa harian, tidak ada. Semuanya itu dalam bahasa
yang tinggi sehingga kedengarannya berwibawa tetapi tidak dimengerti
oleh peserta upacara. Suasana mistik inilah yang diungkapkan dalam
bahasa Buna’ yang khusus dan akibatnya doa-doa dalam bahasa harian
bukanlah dianggap doa tetapi bahasa pembicaraan biasa yang tidak
mempunyai nilai sakral.Secara sederhana dapat dikatakan bahasa Buna’
merupakan bahasa ‘primitif’, sederhana, miskin kosa kata, tetapi di
situlah letaknya keunikan bahasa ini yang untuk sementara penulis
mengganggapnya sebagai satu gambaran munculnya suatu bahasa
sebagai tiruan bunyi yang dibakukan dalam gerak mulut dan bibir
sesuai bunyi yang dicetuskan. Keunikan bahasa ini melekat pada
pemakainya dan menjadi alat komunikasi yang dipakai untuk secara
horisontal berkontak dengan sesama manusia dan secara vertikal
berkontak dengan alam roh.

KESIMPULAN
Dasar dari keberlanjutan hidup kelompok suku Buna’ di desa
Henes dan Lakmaras ini ialah kekerabatan yang nampak dalam
keterkaitan antara suku. Masyarakat merasa bahwa keberadaan mereka
itu ditentukan oleh leluhur yang telah merintis kebiasaan dalam sistem
malu-ai dan sistem dasa’ rak atau hirarki dalam pemerintahan
berdasarkan suku ini. Sampai sekarang suku-suku rumah itu masih
tetap saling menopang dalam berbagai urusan kehidupan harian dan hal
ini membuat masyarakat hidup dalam kebersamaan tanpa mau
menonjolkan kelebihan satu suku di atas suku yang lain.
Ikatan suku-suku di DHL ada yang berdasarkan hubungan
darah (malu-ai) ada yang berdasarkan perjanjian atau sumpah adat
(hulo-lep). Masyarakat dua desa ini ternyata direkatkan oleh dua
macam dasar ini sehingga sangat kokoh. Mereka menyadari diri sebagai
satu keturunan dari leluhur yang bersaudara dan sewaktu berkembang
menjadi suku-suku yang berpisah untuk menghuni tempat yang
berjauhan, leluhur mengadakan sumpah untuk tidak saling
meninggalkan satu sama lain. Dampak dari ikatan malu-ai dan hulo-lep
ini secara positif ialah: kedua kelompok yang dipisahkan atas dua desa
ini tidak pernah mempermasalahkan tanah, baik wilayah desa maupun
tanah perkebunan. Mereka merasakan sebagai milik bersama untuk
146

kepentingan bersama. Siapa berani melanggar kebiasaan ini merasa
melanggar bukan hanya ketentuan manusiawi, tetapi melanggar
kehendak dari leluhur (mugen), kehendak dari roh-roh (pan muk
gomo) dan yang terpenting ialah kehendak Tuhan (Hot Esen).
Kekerabatan diperkokoh oleh adanya bahasa pemersatu, bahasa
Buna’ yang mengungkapkan kepribadian dan harga diri yang terdalam,
baik dalam pergaulan harian maupun dalam ungkapan adat dan doadoa. Sampai tahun-tahun 2000-an ini, masyarakat DHL masih hidup
dalam alam pikiran dari ratusan tahun lampau yang dihidupi oleh para
leluhur mereka. Hal ini mengherankan karena arus modernisasi dalam
bentuk pendidikan, ekonomi dan agama sudah lama masuk ke dalam
masayarakat ini, paling tidak sudah lebih dari seratus tahun, sejak tahun
1900-an.
Satu hal yang sangat nyata ialah: ikatan secara manusiawi, baik
ikatan keluarga maupun ikatan pemerintahan adat, ternyata didasarkan
atas keyakinan terdalam yang tidak dapat diganggu-gugat, ialah
keyakinan atas dasar kepercayaan pada dunia roh: leluhur, roh dan
Tuhan. Kalau kekerabatan itu hanya berdasarkan ikatan keturunan saja
tanpa dikokohkan dengan riwayat leluhur, maka ikatan akan rapuh dan
mudah timbul berbagai percekcokan dan perpisahan. Kalau
kekerabatan itu hanya didasarkan atas kharisma kepemimpinan
seseorang atau atas dasar harta dan kuasa yang dimiliki seseorang
pemimpin, maka kekerabatan itu tidak akan bertahan lama seperti
keadaan yang dialami oleh masyarakat DHL sekarang ini.
Jadi kalau tanpa ikatan-ikatan ini, baik ikatan darah dan
sumpah persaudaraan maupun ikatan berdasarkan bahasa, masyarakat
DHL tidak mungkin tetap bersatu seperti sekarang ini. Ada dasar yang
terdalam yang begitu menyatu dalam cita dan rasa berkelompok dan
dasar itu adalah dasar rohani, dasar yang diletakkan dalam kesadaran
bersama, ialah: kesadaran rohani, kesadaran akan adanya dan peranan
dunia rohani yang berada di balik semua gejala hidup bermasyarakat
yang nampak dalam hidup sehari-hari.

147

148