Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Nurani Suku Buna' Spiritual Capital dalam Pembangunan D 902006009 BAB IX

BAB 9

SPIRITUAL CAPITAL
DALAM HIDUP MANUSIA SUKU BUNA’

Masyarakat suku Buna’ di DHL dalam kadar tertentu, masih
menghayati hidup yang ‘kolektivistis, holistis dan organisistis’ (Veeger
1993:10), biarpun tidak lagi seperti leluhur mereka yang tertutup dan
terisolir oleh tempat yang jauh di pedalaman pulau Timor. Mereka
sedang mengalami perubahan sebagaimana yang dialami oleh setiap
masyarakat di mana pun dan kapan pun saja (Piötr Sztompka 1993/2007:
9-10). Mereka berada di persimpangan jalan. Mau tetap berada dan
bertahan dalam cara hidup yang kolektivistis, holistis dan organisistis
atau mau beralih ke cara hidup yang bercorak ‘individualistis, atomistis
dan mekanistis’? (Veeger 1993: 11-12).
Orang-orang Buna’ mengalami perubahan secara menyeluruh.
Dalam hidup sehari-hari mereka (Bab 4 )penulis menemukan perubahan
yang mereka alami dari kehidupan yang lamban, statis ke arah
kehidupan yang serba cepat dan dinamis, dari kebiasaan makan dik (ubi)
ke makan nasi dan roti. Khusus dalam sistem kekerabatan melalui
perkawinan (dalam Bab 5), penulis menemukan perubahan yang sangat

berarti, dari kolektivisme ke arah individualisme. Penulis menemukan
pula perubahan yang menyolok dalam sistem kepemimpinan dan
perekonomian desa (dalam Bab 6). Mereka beralih dari pemerintahan di
tangan kaum bangsawan ke pemerintahan yang demokratis. Dalam hal
perekonomian desa, mereka mulai berusaha untuk menanam tanaman
umur panjang seperti kopi dan kemiri yang lebih mendatangkan hasil
dari pada hanya menanam jagung dan ubi-ubian. Masyarakat Buna’
masih mempertahankan beberapa unsur kesenian dan hiburan
tradisional ( Bab 7) namun di balik itu penulis menemukan pula
perubahan berupa peralihan dari kesenian dan hiburan tradisional ke
kesenian dan hiburan modern seperti dansa a ala Barat dan musik pop
247

menggantikan tei (tandak) dan teberai’ (likurai). Dalam Tentang sistem
religi (Bab 8), penulis menemukan perubahan dari praktek agama suku
yaitu agama Hot Esen ke agama Kristen Katolik biarpun masih ada
praktek-praktek pencampur-adukan antara ritus kedua agama. Dalam
penelitian ini penulis menemukan bukan hanya perubahan, tetapi ada
juga proses sosial, perkembangan sosial dan kemajuan sosial (Piötr
Sztompka 1993/2007: 12). Perubahan sosial dialami oleh masyarakat

suku Buna’ di DHL dalam bentuk pergeseran dari yang lama, tradisional
ke yang baru, modern. Proses sosial mereka alami dalam bentuk
kejadian-kejadian yang menimpa mereka yaitu malapetaka peperangan
yang menghancurkan harta milik dan harta budaya mereka dan diganti
dengan yang baru. Perkembangan sosial mereka alami dalam bentuk
‘kristalisasi sosial, dan artikulasi kehidupan sosial’ dari yang lama ke
yang baru ((Piötr Sztompka 1993/2007:12). Mereka mengalami
perubahan, proses, perkembangan dan kemajuan sosial. Dalam
pengalaman mereka ini terjadilah apa yang dikemukakan oleh Anthony
Giddens, suatu kontinuitas dan diskontinuitas sosial (Anthony Giddens
1979/2009: 411-5).
Kenyataannya memang ada kontinuitas dan diskontinuitas
dalam perubahan, proses, perkembangan dan kemajuan sosial yang
dialami oleh masyarakat suku Buna’. Ada diskonuitas, berarti ada unsurunsur sosial yang ditinggalkan entah sengaja atau tidak sengaja. Apa saja
yang ditinggalkan? Apa saja yang diteruskan sehingga disebut adanya
kontinuitas? Hal yang tertinggal dan tetap bertahan sampai sekarang
oleh Bourdieu disebut habitus (Anthony Giddens 1979/2009: 414).
Unsur-unsur yang bertahan itu (kontinuitas) semakin mantap melalui
proses reproduksi sosial. Ada unsur-unsur yang mengalami
diskontinuitas karena sedang memudar dan tergilas oleh arus zaman,

seperti tais, kain tenun asli dilindas oleh melimpahnya bahan tekstil
hasil dari pabrik yang mudah diperoleh dan murah harganya. Bahasa
Buna’ sedang memudar tergeser oleh bahasa Indonesia. Berdoa di rumah
adat sesuai habitus agama Hot Esen digantikan dengan berdoa di gereja
sesuai tradisi Gereja Katolik.
Masyarakat suku Buna’ menghayati spiritual capital sebagai satu
kesatuan dengan capital yang lain. Spiritual capital boleh disebut juga
modal rohani merupakan capital atau modal yang ada dalam diri
manusia sejak adanya manusia itu. Spiritual capital itu ada dalam diri

248

manusia yang adalah roh yang membadan dan badan yang me-roh
((Driyarkara 1956/2006: 366-375; 398-399). Kalau dilihat hanya sebagai
capital atau modal saja, maka spiritual capital itu merupakan salah satu
dari enam belas capital atau modal yang sampai sekarang ini
diungkapkan oleh berbagai ahli dari sudut pandang keahliannya
masing-masing (Alex Liu dkk. 2007). 37
Satu kelompok ahli dari kelompok Pasadena (The RM Institute’ ,
RM = Research Method, 2007-2008) merangkum semua capital yang

berjumlah enam belas capital itu ke dalam empat kelompok besar atau
hanya empat capital saja, yaitu material capital, intellectual capital,
social capital dan spiritual capital. Mereka tidak mempersoalkan arti dan
peranan dari tiga capital yang lain, material capital, intellectual capital,
social capital. Mereka memfokuskan diri pada spiritual capital dengan
alasan bahwa kepincangan dalam pembangunan secara menyeluruh di
dunia saat ini karena masyarakat global sedang mengabaikan arti dan
tempat serta peranan spiritual capital dalam pembangunan. Penekanan
terlalu material capital sambil mengabaikan spiritual capital, membuat
manusia semakin materialistis, egoistis dan hedonistis. Penekanan
terlalu pada intellectual capital sambil mengabaikan spiritual capital,
masyarakat semakin intelektualistis dan mendewakan ilmu pengetahuan
dan teknologi sampai melecehkan sesama manusia dan terutama
melecehkan eksistensi Yang Maha Tinggi. Penekanan terlalu pada social
capital sambil mengabaikan spiritual capital mengakibatkan masyarakat
manusia terjerumus ke dalam korporasi atau persekongkolan jahat
antara sesama manusia yang mencelakakan diri sendiri. Inilah
masyarakat dunia kita sekarang ini yang dilukiskan oleh Danah Zohar
dan Ian Marshall sebagai “Monster yang memangsa dirinya sendiri”
(Danah Zohar dan Yan Marshall 2004: 53). Kedua orang ini mengatakan


37

Alex Liu, Danah Zohar, Marshall (2007) dan kawan-kawan
menghasilkan satu rumusan definisi di Pasadena, yang berbunyi, “Spiritual

capital refers to the power, influence and dispositions created by a person or an
organization’s spiritual belief, knowledge and practice”. (Spiritual capital
merujuk pada kekuatan, pengaruh dan keadaan yang diciptakan oleh
kepercayaan, pengetahuan dan praktek rohani dari seseorang atau suatu
organisasi). Kelompok Pasadena ini menyatakan bahwa definisi tersebut
merupakan penemuan mereka dan mereka memegang hak cipta / copyright ©
The RM Institute 2007, 2008 (The RM Institute’ , RM = Research Method).

249

bahwa masyarakat internasional sekarang ini sedang membuat diri stress
karena ulahnya sendiri yaitu tindakan ‘despiritisasi’, menghindari malah
mau menyangkali adanya roh dalam diri dan di luar diri sehingga
manusia baik pribadi maupun kelompok, semakin keropos, tak

bertulang, sakit dan sakit yang paling parah yaitu sakit jiwa. Gejala
gunung es yang sudah mulai muncul, kasus-kasus bunuh diri 38 yang
terjadi di mana-mana merupakan akibat dari ‘despiritisasi’ ini, atau
dengan kata lain, mengabaikan spiritual capital oleh manusia yang
tertanam dalam diri setiap manusia yang sedang diabaikan
pemberdayaannya dalam kegiatan pembangunan diri, sesama dan alam
sekitar. Keluhan tentang kebobrokan tindakan manusia ini sudah
diungkapkan oleh Driyarkara pada tahun 1956 dengan mengungkapkan
bahwa ibu kota (Jakarta) itu “ pusat kebudayaan juga pusat kebuayaan”.
(Driyarkara 2006/1956: 603).
Kelompok Pasadena secara tegas membuat satu rumusan khusus
tentang apa itu spiritual capital. Mereka membuat satu definisi:

Spirituaal capital adalah kekuatan, pengaruh dan keadaan yang
diciptakan oleh kepercayaan, pengetahuan dan praktek rohani dari
seseorang atau suatu organisasi. (The RM Institute’ , RM = Research
Method, 2007-2008). Untuk mengungkapkan apa itu spiritual capital
dalam kaitan dengan setiap capital dan implikasinya dalam
pembangunan, penulis kemukakan ulasan dalam Bab 9 ini.


TEMUAN LAPANGAN:
KONTINUITAS DAN DISKONUITAS
Tulisan Louis Berthe (1972), Bei Gua, tentang asal-usul suku
Buna’ menungkapkan silsilah dan adat istiadat suku Buna’ dalam bentuk
etnografis, pelukisan dan pendataan fakta sejarah dan budaya suku
Buna’. Di sana tidak ada suatu gambaran tentang kontinuitas dan
diskontinuitas keadaan sosio-budaya suku Buna’ atau interpretasi
tentang makna yang terkandung dalam peristiwa dan upacara-upacara
suku Buna’. Manuskrip A.A. Bere Tallo (1978) tentang Zapal (dongeng)
dan Adat Kebiasaan Suku Buna’ berisi data penting tentang suku Buna’
38

Ada data dari Kepolisian Daerah Metro Jaya, tercatat kasus bunuh diri di
Jakarta, tahun 2010, 175 kasus, tahun 2009, 165 kasus. (Kompas, Senin, 18 Juli
2011, hal. 25).

250

tanpa ada interpretasi tentang latar-belakang atau makna adat istiadat
itu sendiri. Tulisan Claudine Friedberg (1982), Muk Gubul Nor tentang

berbagai jenis tumbuhan yang dikenal oleh suku Buna’ benar-benar
berisikan data yang sangat lengkap tentang berbagai jenis tumbuhan
yang dikenal suku Buna’ tanpa pelukisan tentang makna tumbuhtumbahan tersebut sebagai pengungkapan nilai-nilai kearifan lokal
masyarakat suku Buna’. Tiga karya monumental tentang suku Buna’ ini
memang tidak mempunyai tujuan untuk membuat analisis filosofis
tentang kehidupan suku Buna’.
Penulis berusaha mempelajari kehidupan suku Buna’ melalui
pengamatan, wawancara, diskusi dan studi dokumentasi untuk
mengungkapkan falsafah kehidupan suku Buna’ melalui pengungkapan
mereka dalam kehidupan sehari-hari mereka. Untuk studi filosofis ini,
penulis memakai satu alat ukur yaitu alat ukur pembangunan yang
didasarkan pada rumusan kelompok Pasadena tentang capital dalam
pembangunan (Alex Liu, dkk. 2007). Kelompok Pasadena ini sudah
penulis gambarkan siapa mereka dalam Bab II.
Alat ukur pembangunan yang penulis maksudkan ialah
‘Kuadran CN’. Dua huruf CN singkatan dari ‘Capital N’. Kalau ada yang
kemudian mau mengalih-bahasakan nama alat ini ke dalam bahasa
Inggris, penulis mengusulkan untuk memakai nama ‘C-Quadrant’. 39 Alat
ukur ini penulis rumuskan dengan tujuan untuk memudahkan orang
mengukur maju-mundurnya, baik-buruknya proses dan hasil

pembangunan. Disebut kuadran karena gambar kuadran yang dipakai
untuk menampilkan bidang-bidang kekuatan dan kelemahan capital
yang didaya-gunakan manusia dalam pembangunan.
Dalam alat ukur ‘kuadran’ ini kata capital dipakai untuk dengan
jelas menunjukkan bahwa gambar kuadran ini memuat capital (modal
pembangunan) sebagai pokok uraian. Huruf N itu merupakan huruf
awal dari empat kata yang menggambarkan dalam alam pikiran bangsa
Indonesia tentang apa yang secara universal dikenal dengan empat
istilah, material capital, intellectual capital, social capital dan spiritual
39

Dalam versi Inggris kalau ada yang kemudian mau meng-inggris-kan gambar
ini maka setiap capital itu cukup diberi saja singkatan: material capital (Mc),
intellectual capital (Mi), social capital (So), Spiritual capital (Sp). Dengan
demikian tidak perlu lagi ada penomoran seperti dalam versi Indonesia ini, N1,
N2, N3, N4.

251

capital. Empat istilah ini di-Indonesia-kan dengan kata, Nafsu (material

capital ), Nalar (intellectual capital ), Naluri (social capital ) dan Nurani
(spiritual capital ). Setiap kata diberi kode dengan huruf awal, N
ditambah dengan angka sesuai urutannya, Nafsu = N1, Nalar = N2,
Naluri = N3 dan Nurani = N4.

Material capital
(Nafsu)

Intellectual
Capital
(Nalar)

Social capital
(Naluri)

Spiritual
capital
(Nurani)

Gambar 47. Kuadran CN. Perpaduan antara empat capital

sebagai syarat untuk tindakan manusia secara seimbang.

Pembangunan yang dilaksanakan oleh suku Buna’ sekarang
tidak seimbang karena mereka mengabaikan spiritual capital yang
terdapat dalam agama asli mereka, agama Hot Esen.Dalam agama itu
dibiasakan untuk memelihara pohon-pohon besar di sumber air karena
sakral. Pemunculan dalam agama asli ini sebenarnya spiritual capital
yang dirumuskan untuk ditaati. Dengan masuknya agama Kristen
Katolik, yang mengajarkan bahwa di sumber air tidak ada roh-roh yang
menjaga air dan pohon-pohon, maka mereka menebang pohon-pohon
itu tanpa rasa bersalah sedikitpun. Di sinilah terjadi ketimpangan dalam
pembangunan, khususnya dalam pelestarian lingkungan hidup.
Seharusnya dijaga keseimbangan, tetapi keseimbangan antara empat
capital itu tidak dijaga sehingga terjadilah kekeringan yang membuat
masyarakat suku Buna’ menderita. Ketimpangan ini dapat digambarkan
dalam kuadran CN dalam gambar 47.

252

Material capital
(Nafsu)

Social capital
(Naluri)

Intellectual
Capi
tal
(Nalar

Spirit.
Cap.

Gambar 48. Kuadran CN: pembangunan yang mengabaikan spiritual
capital (Nurani). Menebang pohon di sumber air (material capital).
Kurang memakai nalar dan merugikan kepentingan bersama.

Dalam gambar 48. yang menampilkan perpaduan capital-capital
itu menunjukkan satu cita-cita pembangunan yang ideal di mana empat
capital itu diupayakan untuk didayagunakan secara seimbang. Kalau
tidak seimbang maka pembangunan apa pun akan kurang memenuhi
harapan manusia itu sendiri yaitu kesejahteraan lahir dan bathin.

253

N1

N2

A

B

N1 + N3

N2 + N3

C

D

N1 + N4

N4 + N2

N3

N4

Gambar 49. Kuadran CN (Capital N)
Empat capital (N1+N2+N3+N4) ditampilkan utuh
dalam hidup sehari-hari suku Buna’.
Ada keseimbangan antara pemunculan N1=Nafsu (material capital);
N2=Nalar (spititual capital); N3=Naluri (social capital); N4=Nurani
(spiritual capital)

Dalam temuan lapangan tentang masyarakat Suku Buna’ di
DHL, khususnya dalam keseharian hidup orang-orang DHL, ternyata
mereka tidak memilah-milah kehidupan atas mana yang rohani dan
mana yang jasmani. Dalam adat molo a (makan sirih) sebagai satu
kebiasaan menerima tamu dan kebiasaan memakai sirih dan pinang
dalam berbagai acara adat dan keagamaan, empat capital itu
diungkapkan secara serentak. Molo (sirih) itu tanaman yang dihargai
sehingga dipelihara dan diperjual-belikan. Ini aspek material capital dari
suku Buna’ yang terungkap dalam materi molo (sirih). Adat menyajikan
sirih dan segala simbol yang dilekatkan pada sirih misalnya untuk
meminang, untuk menjalin persahabatan, merupakan aspek intellectual
capital dari molo. Dalam hal ini molo bukan lagi daun tanaman atau
benda biasa tetapi sudah sarat dengan arti simbolik. Penghargaan
terhadap molo sudah lain, sudah lebih tinggi dari penghargaan terhadap
daun-daun yang lain. Molo ini tanaman yang membutuhkan banyak air
254

maka biasa ditanam di tempat yang disebut natal hutan larangan atau
tempat terlindung yang ada sumber mata air dan tempat terlarang bagi
hewan dan manusia untuk mengambil kayu api. Tempat ini menjadi
hutan sakral dan sirih yang tumbuh di dalamnya pun turut terlindung.
Inilah unsur intellectual capital atau kearifan lokal masyarakat suku
Buna’ yang terungkap dalam hal molo atau sirih ini. Molo ini juga
masuk dalam aspek social capital sewaktu dipakai untuk saling
menjamu. Selanjutnya molo masuk dalam aspek spiritual capital
sewaktu dipakai untuk menjadi bahan persembahan waktu ada upacara
religi agama Hot Esen.
Pemisahan antara yang sakral dan profan adalah konsep Barat
yang membedakan hal-hal yang berkaitan dengan dunia roh itu disebut
sakral dan ha-hal yang berkaitan dengan dunia jasmani itu disebut
profan (Mariasusai Dhavamony 1973/1995: 147-8). Dalam fenomenologi
agama, Dhavamony menggolongkan agama-agama atas agama primitif
dan agama modern, agama polytheistis dan monotheistis. Penggolongan
ini sama sekali tidak berdasar pada hakikat kepercayaan manusia itu
sendiri. E.B. Tylor yang dikenal dengan istilahnya ‘animisme’ untuk
kepercayaan masyarakat primitif (Dhavamony 1973/1995: 66) membuat
kesalahan fatal karena menilai kepercayaan manusia berdasarkan
perkembangan sosiologi di mana perubahan masyarakat itu memang
mengikuti tahap-tahap perkembangan seturut ukuran manusia modern.
Kontak antara manusia dengan Tuhan itu berlaku pada zamannya dan
tidak boleh itu dikatakan primitif lalu manusia di zaman modern atau
post-modern sekarang ini dikatakan modern. Dalam agama tidak ada
primitif tidak ada modern. Agama sebagai ungkapan iman kepercayaan
manusia kepada Yang Maha Tinggi tetap sah dan unik bagi pemeluknya.
Tidak dapat diterima adanya pemikiran tentang orang yang menyatakan
diri paling benar dalam agama yang ia anut sehingga orang yang
beragama lain harus di-tobat-kan ke agama sendiri.
Masyarakat dunia sekarang ini sedang bergejolak dalam kasus
beragama karena adanya persepsi yang salah ini. Di Pulau Timor saat ini
ada suku Boti di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan yang masih
bertahan menganut agama asli mereka. Ada niat dari sementara
kalangan yang mau meng-agama-kan orang-orang ini. Niat semacam ini
sudah harus disadari sebagai suatu upaya pemerkosaan yang keji
terhadap hak azasi sesama manusia (Franz Magnis-Suseno 2005: 225-7).
255

Pergaulan dengan suku ‘terasing’ yang menganut agama suku atau
agama asli tidak dilarang. Kemudian mereka tertarik dan mau belajar
lalu berpindah dari agama aslinya ke agama yang dibawa oleh orang
yang datang dari luar, kalau secara wajar, dalam arti tanpa bujukan
apalagi pemaksaan secara halus atau kasar, maka tindakan seperti itu
dapat diterima oleh akal sehat dan nurani yang murni. Kalau ada
pemaksaan dan bujukan teselubung, maka sudah harus disadari saat ini
bahwa tindakan itu tindakan tidak manusiawi dalam arti sesama
manusia membohongi sesama yang lain dengan dalih ‘menobatkan’.
Lain halnya dengan pengalaman Nommensen di tanah Batak tahun 1865
dan 1866. Di sana Nommensen membawa pekabaran Injil dan
membawa kedamaian (Lothar Scheriner 1972/2003: 43-44).
Sejarah sudah mencatat bahwa agama-agama ‘besar’ seperti
Kristen pernah disebarkan dengan cara yang licik yang pernah
diungkapkan dalam istilah ‘gold, glory, gospel’, penyebaran melalui
pencaharian emas, perluasan kekuasaan dan penyebaran Injil. Ada niat
baik dari Gereja Kristen (Katolik dan Protestan) sebagai institusi untuk
mewartakan kabar gembira (Injil) tetapi sering dibelokkan oleh para
pembawa agama itu yang berasal dari Barat. “Kolonialisme dan
sekularisme mencoba membelokkannya dari hasrat rohani kepada
kepentingan duniawi” (Rachmat Subagya 1981: 24). Hal itu tidak boleh
lagi terjadi dalam abad ini dan selanjutnya.
Dalam upacara yang berkaitan dengan kelahiran, perkawinan
dan kematian, empat aspek capital itu menyatu. Material capital
terwujud dalam bentuk kain adat, alat-alat kurban yang disiapkan
khusus untuk segala macam upacara itu. Tempat-tempat ibadat masuk
dalam material capital ini. Bagaimana cara menata upacara dan menata
urutan upacara merupakan aspek intellectual capital, kearifan lokal.
Semua peristiwa itu, kelahiran, perkawinan dan kematian merupakan
ajang pertemuan kekeluargaan dan ini jelas aspek social capital. Semua
acara itu selalu dikaitkan oleh manusia yang hidup ini dengan mugen
bei mil (arwah leluhur), pan muk gomo (roh-roh penghuni langit dan
bumi) dan Hot Esen (Yang Maha Tinggi).
Hal yang sama terjadi dengan sistem kepemimpinan lokal dalam
diri turunan bangsawan dan rakyat di mana bangsawan ada untuk
rakyat dan rakyat ada karena ada bangsawan yang menjamin
keberadaan mereka secara aman dan damai. Dua kelompok ini menyatu

256

dalam kesatuan tempat hunian yang dijaga bersama kelestariannya, baik
itu ladang, padang maupun hutan. Tempat bersama manusia itu
bahagian dari aspek material capital. Norma adat yang disepakati dan
ditaati bersama ini merupakan aspek intellectual capital. Kepentingan
bersama itu masuk dalam aspek social capital. Hal-hal ini diungkapkan
dengan bahasa Buna’ yang menjadi ungkapan cita dan rasa suku Buna’.
Dan semuanya ini selalu didasarkan pada keyakinan pada adanya
pengontrolan dari mugen bei mil (arwah leluhur), pan muk gomo (rohroh penghuni langit dan bumi) dan Hot Esen (Yang Maha Tinggi). Yang
terakhir ini masuk dalam unsur spiritual capital.
Hal yang cukup mengherankan ialah adanya keterkaitan empat
capital ini dalam kesenian dan hiburan rakyat masyarakat suku Buna’.
Hasil kesenian seperti tenunan, anyaman dan ukiran serta seni sastra
mempunyai keterpaduan antara empat aspek capital itu dalam satu
keutuhan yang asri. Sebagai contoh, tais, kain tenun itu mempunyai
nilai material, intellectual, social dan spiritual. Ini terjadi karena dalam
kain tenun, tais, itu terpadu curahan dan ungkapan material capital,
intellectual capital, social capital dan spiritual capital yang ada dalam
diri pribadi dan kelompok masyarakat suku Buna’.
Dalam sistem religi, agama suku Buna’, agama Hot Esen menjadi
ajang pengungkapan terdalam dari spiritual capital itu yang dipadukan
dengan material capital, intellectual capital dan social capital. Di sini
perlu ada suatu refleksi baru, spiritual capital itu bukan religious capital
atau sebaliknya, religious capital bukan spiritual capital. Dua hal ini
sangat berbeda satu sama lain. Memang ada kaitan, tetapi bukan sama.
Religious capital memampukan orang dapat hidup beragama. Spiritual
capital merupakan modal yang ada dalam diri manusia untuk
dimunculkan dalam agama sebagai pemunculan dari religious capital.
Dengan gambar 1, mau diungkapkan bahwa pada dasarnya suku
Buna’ menampilkan penghayatan empat capital dalam hidup harian itu
secara utuh terpadu.
Sebagai contoh dipakai keterangan tentang kepemimpinan dalam suku
Buna’ yang diurus oleh kelompok suku bangsawan. Kelompok suku
bangsawan itu orang-orang oleh adat diberi wewenang untuk mengatur
manusia sebagai rakyat. Ini ada unsur kemasyarakatan yang diberi kode
N3=Naluri (social capital). Mereka juga diakui dan diberi wewenang
oleh masyarakat untuk menata kampung serta kebun sebagai tempat
257

hunian. Ini termasuk dalam penampilan material capital, urusan ‘benda’
diberi kode N1=Nafsu (material capital). Perpaduan dari dua tugas ini,
menata alam dan mengurus rakyat masuk dalam bidang A dalam
Kuadran Capital N di mana ada pertemuan antara N1 + N3 (N1=Nafsu
/material capital + N3=Naluri /social capital).
Selanjutnya dalam bidang B ada pertemuan antara N2 + N3
(N2=Nalar /intellectual capital + N3=Naluri /social capital). Kaum
bangsawan ini termasuk pemegang kebijakan berdasarkan norma dan
karifan lokal. Itu dilukiskan dengan kode N2, Nalar, intellectual capital.
Dengan kearifan ini mereka mengurus rakyat yang dilukiskan dengan
kode N3, Naluri, social capital. Perpaduan antara bidang A dan B atas
cara yang wajar dan baik disebut kepemimpinan yang bertanggungjawab dan arif bijaksana.
Dalam bidang C ada pertemuan antara N1 dan N4. N1, Nafsu
yang berkaitan dengan alam bendawi bertemu denan N4 yang berkaitan
dengan alam roh. Dalam bidang ini masyarakat Buna’ mengakui adanya
kekuatan yang lebih besar dari kemampuan manusia. Kesadaran ini
adalah kesadaran berdasarkan spiritual capital yang ada tertana dalam
diri manusia. Mereka bukan berserah diri pada kekuatan ‘roh’ sebagai
yang lebih tinggi dari dirinya dalam menata alam, tetapi hanya sebatas
mengakui ‘roh’ daya tumbuh yang ada dalam alam. Keyakinan akan
adanya roh ini dituduh sebagai animisme oleh E.B. Tylor (Rachmat
Subagya 1981:76). Ini tidak benar dan pandangan harus dikoreksi
dengan pandangan baru bahwa kesadaran manusia akan spiritual capital
bukan suatu penyembahan kepada roh yang ada di luar dirinya
melainkan suatu kesadaran bahwa diri manusia itu sendiri adalah roh
dan roh dalam diri manusia itu berkontak dengan roh lain yang ada
dalam alam. Dalam hal ini ada kecocokan antara agama Hot Esen yang
dianut oleh suku Buna’ dengan agama Kristen yang sekarang dianut
oleh suku Buna’ generasi muda. Agama Kristen dalam Gereja Katolik
mengajarkan tentang adanya malaekat-malaekat sebagai roh-roh dan
orang kudus, santo dan santa yang patut diteladani oleh setiap orang
Kristen Katolik. Ini suatu penegasan pada kepercayaan suku Buna’ yang
percaya akan adanya roh-roh (pan muk gomo) dan arwah leluhur
(mugen tata bei mil). Kesadaran dan kepercayaan dari suku Buna’ ini
bukan sesuatu yang primitif yang harus dibasmih. Ini hanya perlu
ditegaskan dan dimurnikan dalam arti kesadaran ini diungkapkan secara

258

lain dalam agama Kristen Katolik. Kalau dalam agama Hot Esen,
keterjalinan antara manusia yang hidup sekarang dengan leluhur
diungkapkan dengan peletakan sirih-pinang, dalam Gereja Katolik
diungkapkan dengan doa, pembakaran lilin dan perayaan Ekaristi (Misa
Kudus). Di sini perlu ada penjembatanan, bukan penghapusan. Dan
ternyata tidak bisa dihapuskan. Mengapa? Karena baik agama Hot Esen
maupun agama Kristen-Katolik hanyalah suatu pengungkapan atas
spiritual capital yang tertanam dalam diri manusia secara universal.
Titik tolak untuk pertemuan antara semua manusia harus mulai bukan
atas dasar agama, melainkan atas dasar kesadaran akan spiritual capital
yang ada dalam diri setiap manusia. Upaya tobat-menobatkan ke dalam
agama tertentu harus dirobah ke dalam upaya penyadaran akan adanya
capital dalam dalam diri manusia, dan salah satu capital itu adalah

spiritual capital.
Dalam bidang D ada pertemuan antara N4 dan N2, Nurani dan
Nalar. Ini pertemuan dua capital, spiritual capital dan intellectual
capital yang membuat manusia menjadi sangat manusiawi-ilahi dan
ilahi-manusiawi. Manusia yang sadar melalui N2 (Nalar = intellectual
capital) tentang adanya roh-roh melalui N4 (Nurani = spiritual capital)
melahirkan agama dalam bentuk ajaran/dogma dan ritus, doa dan
upacara (Dwi Narwoko – Bagong Suyatno 2007: 244-276). Orang Buna’
beragama atas dasar keterpaduan N2 dan N4 ini. Atas dasar ini kalau
orang Buna’ beralih dari agama asli, agama Hot Esen ke agama baru,
agama Kristen Katolik, harus berani untuk meninggalkan
(diskontinuitas) simbol-simbol yang dipakai dalam agama Hot Esen dan
harus menerima dan memakai simbol-simbol yang dipakai dalam agama
Kristen Katolik. Pejabat agama seperti Mako’an harus beralih ke Guru
Agama dan Pastor. Tempat upacara di bosok dan mot harus dialihkan ke
kapela dan gereja. Dalam hal ini masyarakat suku Buna’ masih dalam
taraf peralihan yang perlahan-lahan dari mot ke gereja, seperti dalam
pola makan, dari ubi ke roti. Waktu lapar ubi pun jadi. Waktu kesepian,
mot pun jadi.
Jadi masyarakat suku Buna’ menghayati spiritual capital
bersamaan dengan capital yang lain secara serentak. Hal ini yang oleh
Danah Zohar dan Ian Marshall disebut sebagai penjabaran
pembangunan secara utuh dalam membangun persaudaraan sejati, suatu
“persaudaraan umat manusia (the brotherhood of man)” (Danah Zohar
259

dan Ian Marshall 2004/2007: 89). Keakraban yang terjadi dalam
pergaulan harian suku Buna’ menunjukkan persaudaraan yang sejati
dalam arti saling menghargai atas dasar kesamaan asal-usul, kesamaan
adat, kesamaan bahasa dan penghargaan atas status masing-masing
sesuai peran masing-masing dalam masyarakat. Keakraban dan
persaudaraan ini sudah menjadi satu pola mini untuk persaudaraan
umat manusia sedunia saat ini dalam versi yang lebih luas. Untuk
perwujudan persaudaraan seperti ini perlu ada modal dasar yang
dimiliki bersama sebagai titik tolak. Modal dasar itu adalah empat
capital ini: material capital, intellectuan capital, social capital, spiritual

capital.
Dalam tulisan ini penulis menamakan material capital itu Nafsu.
Penulis memberi kode untuk nafsu itu N1. Intellectual capital itu
dinamakan Nalar. Kode yang diberikan ialah N2. Social capital itu
dinamakan Naluri. Kode yang diberikan N3. Spiritual capital itu diberi
nama oleh penulis, Nurani dan diberi kode N4.

N2

N4
N3

N1

Gambar 50. Kesatuan empat capital: N1=Nafsu (material capital); N2=Nalar
(intellectual capital); N3=Naluri (social capital); N4=Nurani (spiritual capital)
(Sumbe: Anton Bele)

Gambar tentang penyatuan ini ditampilkan dalam bentuk ‘kuadran’
untuk memperlihatkan kekuatan dan kelemahan dalam keterpengaruhan antara keempat-empatnya.

260

N1

N3

N4

N2

A

B

N1 + N3

N2 + N3

C

D

N1 + N4

N4 + N2

Gambar 51. Kuadran CN (Capital N)
N1=Nafsu (material capital); N2=Nalar (intellectual capital);
N3=Naluri (social capital); N4=Nurani (spiritual capital)
(Sumbe: Anton Bele)

Dalam kuadran ini terlihat di lajur atas dari kiri ke kanan, ada:
N1=Nafsu (material capital); N2=Nalar (spititual capital) . Di lajur kiri
dari atas ke bawah ada: N3=Naluri (social capital); N4=Nurani (spiritual
capital).
Dalam bidang A ada pertemuan antara N1 dan N3. Ini
menandakan pripadi orang itu mempunyai kekuatan yang terpadu
antara pengutamaan pada Nafsu dan Naluri. Ciri orang ini secara positif
menghargai benda (spiritual capital) dan suka bergaul dengan orang lain
(social capital). Secara negatif pribadi ini dapat menjadi orang yang
serakah dan suka memperalat sesama, kalau tidak ditopang dengan
bidang B,C,D. Pengenaan pada diri pribadi dapat dianalogikan dengan
satu kelompok masyarakat lokal, nasional maupun internasional.
Dalam bidang B ada pertemuan antara N2 dan N3. Ini
menandakan pribadi orang itu mempunyai kekuatan yang terpadu
antara pengutamaan Nalar/N2 (Intellectual Capital) dan N/Naluri (Social
Capital). Secara positif orang ini memakai nalarnya (intelectual capital)
untuk mempengaruhi orang lain (social capital) untuk suatu kegiatan

261

yang positif pula. Misalnya dalam urusan politik, orang ini mempunyai
pengaruh yang baik untuk kepentingan umum. Tetapi secara negatif,
orang ini dapat menjadi pembohong besar yang cerdik untuk
memperdaya orang banyak demi kepentingan yang jahat. Hal negatif ini
terjadi kalau bidang A, C dan D diabaikan.
Dalam bidang C ada pertemuan antara N1 dan N4. Ini
menandakan pribadi orang itu mempunyai kekuatan yang terpadu
antara pengutamaan Nafsu/N1 (Material Capital) dan N4 /Nurani
(Spiritual Capital). Secara positif orang ini memakai nafsunya (material
capital) untuk memenuhi kebutuhan hidup secara maksimal dengan
memperhatikan nurani (spititual capital). Para tokoh agama yang alim
masuk dalam kategori ini. Secara negatif, orang ini menjadi rakus dan
tamak sambil memakai nurani yang diberangus untuk mengeruk
keuntungan sebanyak-banyaknya dalam posisi itu.
Dalam bidang D ada pertemuan antara N4 dan N2. Ini
menandakan pribadi orang itu mempunyai kekuatan yang terpadu
antara pengutamaan N4 /Nurani (Spiritual Capital) dan N2/Nalar
(Intellectual Capital). Secara positif orang ini memakai N4 /Nurani
(Spiritual Capital) untuk menggulati Nalar/N2 (Intellectual Capital)
sehingga dirinya menjadi rohaniwan sekaligus ilmuwan atau sebaliknya.
Secara positif orang ini sangat mempengaruhi pola pikir dan pola tindak
masyarakat di sekitarnya. Secara negatif, orang ini bisa membuat
skandal yang besar kalau dengan kemampuannya di bidang rohani dan
ilmu untuk merusakkan watak orang lain.
Keadaan yang ideal adalah pengutamaan salah satu bidang
sambil memakai pula bidang yang lain sebagai penyeimbang, penyaring
dan penyatu. Pribadi utuh terpadu adalah pribadi yang unggul di salah
satu ‘bidang’ sambil tidak mengabaikan ‘bidang’ yang lain,
Dengan kuadran ‘capital N’ ini pribadi atau masyarakat dapat
diukur sejauh mana seseorang atau sekelompok orang itu mengabaikan
atau merangkum dalam dirinya secara utuh terpadu empat capital secara
bersama.

KEPINCANGAN DALAM PEMBANGUNAN
Contoh yang jelas terlihat dalam masyarakat suku Buna’ ialah
hilangnya rumah-rumah adat atau deu hoto mereka dalam dua kali
262

bencana peperangan antar kelompok (Timor Portugis/Fretelin dan
Timor Indonesia). Masyarakat kehilangan simbol-simbol yang begitu
kuat terungkap dalam deu hoto. Fungsi deu hoto sebagai tempat
pemersatu suku merupakan pemunculan dari material capital. Segala
simbol yang ada dalam deu hoto merupakan unsur intellectual capital
suku Buna’. Deu hoto sebagai simbol pemersatu merupakan unsur social
capital dan deu hoto sebagai tempat upacara keagamaan merupakan
pemunculan spiritual capital masyarakat suku Buna’. Kesatuan empat
capital itu melemah karena masyarakat dalam keterpaksaan mendirikan
rumah-rumah yang hanya menjadi simbol dari simbol yang asli. Deu
hoto yang asli hanya kenangan, deu hoto yang sekarang hanya
bayangan. Jati diri masyarakat menjadi hambar, mengambang dan
kehilangan arah.
Pembangunan yang terjadi sekarang ini di DHL banyak
kepincangannya karena pembangunan tidak lagi dilaksanakan dalam
keterpaduan antara empat capital. Sistim perladangan dilihat secara
ekonomis melulu sehingga pelestarian alam perladangan ditinggalkan.
Sumber air menjadi kering karena alam sekitar tidak dipelihara atas
keterpaduan empat capital. Penebangan pohon-pohon di sumber air
hanya dirasakan sebagai kesalahan di mata hukum sipil tetapi tidak
disadari lagi sebagai kesalahan adat (intellectual dan social capital) dan
lebih lagi tidak disadari sebagai kesalahan terhadap spiritual capital
karena hutan sudah dicopot dari ke-sakral-annya. Ini yang oleh Danah
Zohar dinamakan ‘despiritisasi’.
Dalam kenyataan yang dialami oleh suku Buna’ di DHL ini, ada
satu kekurangan yang mereka tidak sadari, melunturnya spiritual capital
dalam hidup mereka. Spiritual capital itu “khazanah pengetahuan dan

kecakapan spiritual yang tersedia bagi seseorang atau suatu budaya.
Spiritual capital itu sendiri merupakan makna, nilai-nilai dan tujuan
fundamental dari hidup manusia” (Danah Zohar 2004: 94). Atas dasar
pengertian ini, semua aktivitas manusia bersumber dari spiritual capital.
Secara tegas Danah Zohar menulis, “Spiritual capital bukan agama”.
Manusia itu mampu dan harus menampilkan spiritual capital ini dalam
hidupnya. Penampilan itu tidak berdiri sendiri. Spiritual capital dapat
ditampilkan dalam agama menjadi religious capital bukan sebaliknya,
agama menampilkan spiritual capital. Masyarakat suku Buna’
mengalami kemerosotan dalam agama asli mereka, tetapi spiritual
263

capital tetap ada untuk memperbaiki perilaku mereka. Spiritual capital
mendorong manusia, memotivasi manusia dan menarik manusia dengan
visi yang luhur untuk menjadi manusia yang baik. Ungkapan yang
dipakai oleh Danah Zohar, “Spiritual capital adalah lem yang

merekatkan kita semua. Spiritual capital memberi kita kerangka moral
dan motivasi, sebuah etos, sebuah ruh (spirit)” (Danah Zohar, 2004: 16).
Selanjutnya Danah Zohar menyatakan, “Spiritual capital adalah modal
yang merefleksikan berbagai nilai bersama, visi bersama, dan tujan
mendasar kita dalam kehidupan” (Danah Zohar, 2004: 38). Sebagai
pemunculan spiritual capital Danah Zohar juga menegaskan,
“Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang kita gunakan untuk
membuat kebaikan, kebenaran dan keindahan, dan kasih sayang dalam
hidup kita” (Danah Zohar, 2004: 41).

AKAR KEPINCANGAN
DALAM PEMBANGUNAN
“Manusia modern selaku apa pun dan di mana pun diingatkan
supaya tetap bertanggungjawab moral atas perbuatannya. Adalah wajar
jika setiap orang berusaha berperan dalam kehidupan bersama” (Daoed
Yoesoef, Kompas 18 Juli 2011). Apa yang terjadi di Inonesia? Ada
gambaran yang suram yang diungkapkan oleh Daoed Yoesoef. “Tingkah
laku politisi yang saling menuduh dan mencerca, sikap para birokrat
yang acuh tak acuh, ulah para pebisnis yang serba asosial dan
antilingkungan, serta kebijakan pemerintah yang tidak merakyat dan
membingungkan menunjukkan betapa tanggungjawab moral
memudar”. Keadaan masyarakat yang sedang mengeluh tentang
pembangnan di Indonesia diungkapkan oleh Kartini Kartono, “Di
Indonesia, korupsi berkembang subur di segala bidang pemerintahan
dan sektor kehidupan” (Kartini Kartono 2001: 116).
Dua kutipan ini menunjukkan Indonesia sedang berada dalam
krisis besar, krisis kepemimpinan dan krisis dalam pembangunan secara
menyeluruh. Di mana letak akar permasalahannya? Secara teoretis
keadaan ini dapat dijelaskan dengan alat ukur kuadran capital N.

264

N1

N3

N2

A

B

N3 + N1

N2 +
N3

N4

C
N4 + N1

D
N4 +
N2

Gambar 52. Kuadran Capital N tentang kepincangan dalam
pembangunan. (Sumber: Anton Bele)

Dalam kuadran capital N yang ditampilkan pada gambar 7,
terlihat bahwa Bidang A yang ditempati oleh N3 (Naluri/Social Capital)
dan N1 (Nafsu/Material Capital). Bidang A menjadi begitu besar
sehingga bidang B, C dan D menjadi kecil. Orang-orang yang berada
pada posisi sebagai politisi, pebisnis menduduki bidang A ini yang
berurusan dengan ‘materi’ (Material Capital / N1) dan ‘kemasyarakatan’
(Social Capital / N3). Kalau mereka menangani bidang A ini secara tepat
dan baik, maka tidak akan ada kepincangan yang muncul dalam
kekecewaan dan kerugian yang diderita oleh masyarakat. Kalau ada
keluhan tentang pembangunan di Indonesia sekaang ini, maka sudah
terjadi kepincangan dalam pengurusan ‘materi’ dan ‘masyarakat’.
Gejala itu terlihat dalam mengecilnya bidang B (N2 + N3) yaitu
nalar dan naluri. Dengan kata lain, para penanggungjawab pembangunan itu mengabaikan nalar dan naluri, kurang membuat perhitungan
yang matang dan kurang mempertenggangkan kepentingan masyarakat.
Ini kesalahan fatal. Hasil pembangunan menjadi tidak bermanfaat dan
masyarakat tidak disejahterakan dengan pembangunan itu. Bidang C
(N1 + N4), Nafsu dan Nurani diabaikan dalam arti penguasaan benda itu
265

tidak diimbangan dengan pertimbangan nurani sehingga kesewenangwenangan telah terjadi. Akibatnya hal-hal yang mendasar seperti hak
orang dilecehkan. Bidang D (N2 + N4), Nalar dan Nurani diabaikan.
Pertimbangan akal sehat, perhitungan ilmu pengetahuan dan teknologi
diabaikan dan hati nurani tidak didengarkan sehingga kepincangan
pembangunan terjadi. Contoh konkrit, kasus Lapindo bisa dianalisa
dengan alat kuadran Capital N ini.
Jadi yang diharapkan dalam pembangunan itu adalah
keseimbangan antara empat bidang itu di mana empat capital itu
dijadikan modal yang dipakai secara seimbang.
Dalam hal hidup beragama pun diharapkan empat capital itu
didaya-gunakan secara seimbang, utuh terpadu. Penyebaran agama
secara menggebu-gebu menandakan semangat membara para
penganutnya. Penyebaran yang santun selalu dapat diterima dengan
baik oleh semua pihak, baik internal agama sendiri maupun pihak
eksternal dari agama yang bersangkutan. Penyebaran agama ini dapat
diukur dengan Kuadran CN (C-Quadrant).

N3

N1

N2

A
N1 + N3

B
N3 + N2

C

D

N1 + N4

N2 + N4

N4

Idealnya bahwa bidang D ini harus sama luas dan seimbang
dengan bidang A (N1 + N3) dan bidang B (N2 + N3) dan bidang C (N1 +
N4). Tetapi kalau tidak wajar, maka digambarkan dalam Kuadran CN
seperti dalam gambar 53.

266

Pembangunan di bidang agama termasuk penyebaran dan
pendirian rumah ibadat di mana-mana digambarkan dalam Kuadran
CN, masuk di bidang D, di mana ada pertemuan antara N4 dan N2. Itu
berarti ada pertemuan antara pengembangan N4 (spiritual capital) dan
N2 (intellectual capital). Secara positif dapat digambarkan bahwa orangorang yang mempunyai kerohanian yang dalam (N4) dan pengetahuan
yang luas (N2) merancang dan melaksanakan penyebaran agama. Ini
terpampang dalam bidang D.
Pembangunan di bidang agama yang dalam Kuadran CN
terletak di bidang D ini ternyata mempersempit bidang B dan C. Yang
paling dipersempit adalah bidang A. Ini berarti, pembangunan bidang
Agama yang didasarkan pada pengembangan N2 + N4 (intellectual
capital dan spiritual capital) tidak ditunjang dengan bidang A (N1+N3).
Ini berarti N1 (Nafsu) dan N3 (Naluri) yang sangat dihambat. Dan itu
dapat diungkapkan dengan kata lain, serakah (Nafsu/material capital)
dan desakan masyarakat yang tidak wajar (Naluri/social capital) yang
menguasai pengembangan keagamaan ini. Bidang A tidak diperhatikan.
Sedangkan bidang B dan C
kurang diperhatikan. Bidang B
(Nalar/intellectual capital dan Naluri/social capital). Pertimbangan akal
sehat kurang diperhatikan dan pertimbangan kemasyarakatan secara
menyeluruh juga kurang diperhatikan. Bidang C juga kurang
diperhatikan dalam arti N1 dan N4 (Nafsu/material capital dan
Nurani/spiritual capital), pertimbangan akal sehat kurang diperhatikan
dan bisikan nurani pun kurang diperhitungkan. Ini contoh kasus
pengembangan agama yang tidak proporsional dalam segala bidang.
Hasil dari pengembangan agama seperti ini akan merusak ke dalam
agama sendiri dan ke luar agama. Ke dalam agama akan terjadi
perpecahan dan ke luar agama akan terjadi antipati terhadap agama
yang bersangkutan. Dalam kasus seperti ini jalan ke luarnya ialah
penyeimbangan kembali semua bidang, A, B, C dan D harus seimbang.
Untuk itu harus kembali ke posisi titik tolak awal yang sangat mendasar,
bertolak dari perpaduan empat capital. Dalam hal ini harus diingat
bahwa empat capital itu ada dan sama dalam diri setiap individu dan
setiap kelompok masyarakat. Hanya ada perbedaan dalam
pengembangan dan pengetrapan. Empat capital ini dapat salah
dikembangkan melalui pendidikan yang keliru mulai dari keluarga
sampai ke masyarakat. Peranan pendidikan sangat besar dalam
267

pembentukan perkembangan empat capital ini dalam diri pribadi dan
masyarakat. Pengetrapan empat capital ini pun bisa berbeda dari tempat
ke tempat dan dari waktu ke waktu. Yang diharapkan terjadi ialah
empat capital ini dikembangkan dan ditrapkan secara seibang sesuai
norma yang umum berlaku.
Untuk mudahnya daftar nilai-nilai ini disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Daftar nilai-nilai
No.

Material capital

Intellectual
capital

Social capital

Spiritual
capital

1

Cinta tempat
tinggal

ketekunan

saling
memperhatikan

menghargai
lingkungan hidup
menyatu dengan
alam
memelihara alam

ketabahan

saling percaya

percaya
pada
yang
ilahi
ada harapan

2

kerajinan

kasih sayang
pada sesama
rendah hati

5

memelihara
tanaman

keberanian

saling
mendengar
penghargaan
kepada sesama
gotong-royong

6

hargai makanan

keuletan

hidup jujur

7

hargai pakaian

kecerdasan

saling
membantu
keakraban

3
4

ketaatan

takut buat
kesalahan

murah hati

Sumber: Hasil wawancara dengan tokoh-tokoh masyakat suku Buna’

di DHL.
Nilai-nilai inilah dihayati oleh masyarakat suku Buna’ dalam
kehidupan mereka dan terus bertahan. Penghayatan nilai-nilai ini
terlepas dari agama apa yang dianut. Mereka yang mengaut agama asli
sebelum menganut agama Kristen Katolik, sudah membawa nilai-nilai
ini dalam diri mereka. Nilai-nilai itu ditegaskan dalam agama asli
mereka dan dipertegas dalam rumusan yang lain dalam agama yang
baru, agama Kristen Katolik.
268

Jadi penghayatan nilai-nilai dari empat capital ini tidak terbatas
pada suku, agama atau golongan. Oleh karena itulah melalui penemuan
ini kehidupan masyarakat manusia seharusnya kembali penghayatan
nilai-nilai yang umum ini agar tidak terjadi benturan-benturan dalam
pertemuan budaya dan agama. Di sinilah letaknya tempat spiritual
capital yang bukan religious capital. Spiritual capital bersama tiga capital
yang lain merupakan satu kesatuan yang dapat terungkap dalam budaya
mana pun saja sejauh budaya itu memanusiakan dan memanusiawikan
manusia.

KESIMPULAN
Masyarakat suku Buna’ di DHL hanyalah satu kelompok
manusia yang dapat mewakili masyarakat yang lebih luas entah itu di
tingkat regional, nasional malah bisa mewakili masyarakat mondial.
Penghargaan manusia terhadap alam sudah sangat menipis. Pengurasan
dan pengrusakan alam yang termasuk dalam material capital sudah
sangat memprihatinkan. Pembangunan berkelanjutan sekarang ini
hanya tinggal slogan. Ketahanan pangan, ketahanan lingkungan hidup
semakin terancam. Arus de-sakralisasi dan profanisasi dianggap sebagai
keunggulan manusia post-modern ini yang mengandalkan kehebatan
dalam penemuan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang serba canggih. Namun sudah sering terbukti bahwa segala macam
teknologi itu tak berdaya sedikitpun dalam kasus-kasus bencana alam.
Itu tanda yang jelas bahwa manusia tidak dapat menggarap sesuka hati
alam ini.
Penemuan-penemuan yang spektakuler di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi merupakan hasil dari pendaya-gunaan
intellectual capital yaitu capital yang kedua dalam tulisan ini. Berbagai
penemuan dan aplikasinya dalam kehidupan kalau tidak dibarengi
dengan kesadaran akan keterbatasan sumber daya alam (material
capital), maka oleh Danah Zohar umat manusia diibaratkan dengan
“monster yang memangsa dirinya sendiri”. Atau seperti yang
diungkapkan oleh Driyarkara, di mana ada pusat kebudayaan tercipta
pula pusat kebuayaan, binatang yang dapat memangsa manusia sampai
luluh lantak.

269

Jejaring sosial yang terbentuk sekarang ini di seantero dunia
sudah menghapus batas-batas alam dan suku bangsa. Ini adalah hasil
dari pendayagunaan social capital dalam diri manusia baik perorangan
maupun masyarakat. Sejauh korporasi itu diadakan dan bergiat untuk
kesejahteraan umat manusia, maka patut diterima dengan segenap hati.
Tetapi apa yang terjadi?
Negara-negara kaya semakin kaya dan
negara-negara miskin semakin miskin merupakan kenyataan yang
memilukan sebagai hasil dari social capital yang didayagunakan tanpa
ada kaitan yang erat dengan capital-capital yang lain seperti material
capital, intellectual capital dan terlebih spiritual capital.
Penolakan terhadap agama oleh cukup banyak orang sekarang
ini dianggap sebagai suatu krisis yang hebat dalam kehidupan beragama.
Sebenarnya ini bukanlah krisis yang paling besar. Dunia ditimpa
malapetaka saat ini karena terutama oleh pengingkaran atas kesadaran
spiritual capital dalam diri manusia itu sendiri. Nilai-nilai percaya pada
yang ilahi, adanya harapan, kasih sayang pada sesama, hidup suci, takut
buat kesalahan, hidup jujur, murah hati dan rendah hati ada dalam
spiritual capital itu. Nilai-nilai inilah yang diabaikan sehingga manusia
menggarap alam (material capital) sesuka hati, memakai iptek hasil
intellectual capital tanpa ada rasa tanggung-jawab dan bersekongkol
(social capital) untuk membangun kekuatan sosial, politik dan ekonomi
serta kekuatan persenjataan untuk saling menghancurkan antar
kelompok, suku dan bangsa.
Keterpaduan pemahaman dan pemanfaatan empat capital sudah
tidak dapat ditawar-tawar lagi. Danah Zohar menyerukan harus ada
cultural shift (pergeseran budaya), pergeseran budaya tanpa spiritual
capital sudah harus diganti dengan budaya penuh daya spiritual, daya
tumbuh-kembang yang dijiwai oleh roh dan roh itulah yang
memampukan manusia untuk rendah hati, saling menyayangi antara
sesama dalam satu kesadaran akan adanya Yang Mutlak, Pencipta alam
semesta ini.

270