Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Nurani Suku Buna' Spiritual Capital dalam Pembangunan D 902006009 BAB I

BAB 1
PENDAHULUAN

Studi tentang spiritual capital ini termasuk bidang yang baru
karena kalangan ilmuwan belum banyak menaruh perhatian khusus
pada topik ini. Penulis memilih kelompok masyarakat suku Buna’ untuk
mempelajari seluk-beluk spiritual capital dalam pembanungan. Ternyata
pembangunan yang dilaksanakan sering kurang memenuhi harapan
karena spiritual capital ini sering diabaikan. Berarti kalau pembangunan
dalam segala bidang kehidupan manusia itu diharapkan berhasil dan
bermanfaat, maka spiritual capital harus diberi tempat yang wajar.
Dalam seluruh proses pembangunan, spiritual capital itu sangat
penting untuk didayagunakan. Spiritual capital tidak berdiri sendiri
tetapi berkaitan erat dengan capital yang lain seperti material capital,
intellectual capital dan social capital. Atas dasar pernyataan inilah
penulis mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut. Pertanyaan utama
ialah, apa itu spiritual capital dalam diri manusia? Apa peranan spiritual
capital dalam pembangunan? Apa kaitan spiritual capital dengan tiga
capital yang lain? Apakah spiritual capital ini disadari oleh masyarakat
suku Buna? Sejauh mana spiritual capital ini didaya-gunakan oleh
mereka? Apa dampak positif dan negatif dari pendaya-gunaan spiritual

capital oleh suku Buna’? Apa implikasi studi tentang spiritual capital ini
bagi pembangunan pada umumnya?
Dalam penelitian, penulis menemukan masyarakat suku Buna’
masih bertahan dengan adat istiadat dan agama mereka, agama asli,
biarpun kehidupan mereka sudah sekian jauh terkikis oleh arus
modernisasi termasuk arus kristenisasi. Apa yang menjadi dasar
ketahanan mereka sampai masih tetap terpelihara adat kekerabatan
mereka, adat sekitar siklus hidup mereka, adat pemeliharaan lingkungan
hidup mereka dan adat kepercayaan asli mereka?
Asal, arus dan arah perubahan itulah yang diteliti dalam tulisan
ini. Perubahan masyarakat yang terjadi sekarang ini dilihat sebagai
gejala yang sedang dialami oleh masyarakat itu sendiri. Dari mana
1

perubahan itu berasal? Dari dalam dan dari luar masyarakat DHL. Halhal apa saja yang berubah dan siap-siapa saja yang berperan dalam
perubahan itu? Arus perubahan itu menghanyutkan, menghancurkan
ataukah membawa masyarakat DHl menjadi lebih nyaman dan aman?
Ke arah manakah perubahan itu sedang menghantar masyarakat DHL?
Ke arah yang positif atau negatif? Jawabannya harus dicari di dalam
masyarakat itu sendiri dengan ungkapan-ungkapan dari mereka sendiri

agar tidak terjadi penilaian yang salah oleh orang yang melihatnya dari
luar dan dari jauh.
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang ditelusuri untuk dijawab
dengan penelitian di kalangan suku Buna’. Hasil studi yang dituangkan
dalam tulisan ini memuat uraian tentang arti, peranan dan manfaat dari
spiritual capital itu dalam pembangunan yang dilaksanakan oleh suku
Buna’.

DUA PEMAHAMAN:

RELIGIOUS CAPITAL DAN SPIRITUAL CAPITAL
Dua pemahaman ini, religious capital dan spiritual capital sering
disamakan atau dicampur-adukkan. Dua hal ini berbeda. Religious
capital itu kemampuan manusia untuk menyatakan perasaaan dan
pengalamannya dalam agama (Rahmat Subagya 1984:73). Sedangkan
spiritual capital itu muncul dari roh manusia yang yang menjadi
kemampuan untuk menyadari diri sebagai roh yang mem-badan dan
badan yang me-roh. Spiritual capital menjadi dasar untuk religious
capital, bukan sebaliknya.
Masyarakat suku Buna’ di DHL mengadakan upacara-upacara

persembahan kepada leluhur, roh-roh dan Yang Mahatinggi, sementara
itu mereka juga mengadakan upacara keagamaan sesuai dengan ajaran
agama Kristen Katolik. Perwujudan rasa keagamaan dalam dua agama
yang berdeda ini muncul dari religious capital yang dimiliki yang
dimiliki oleh pribadi dan masyarakat suku Buna’. Religious capital itu
sendiri timbul dengan sendirinya dari spiritual capital yang ada dalam
diri pribadi dan masyarakat suku Buna’. Atas fakta ini, orang bisa
beragama atau tidak beragama tetapi kesadaran akan adanya diri

2

manusia sebagai roh tidak dapat disangkal. Di sini letak perbedaan
antara spiritual capital dan religious capital.
Dalam agama ada ritus-ritus dan ritus-ritus itu muncul dalam
kurun waktu tertentu dengan latar belakang budaya tertentu.
Masyarakat suku Buna’ sudah mempunyai ritus-ritus keagamaan yang
sangat kuat berakar sehingga belum bisa dirubah dalam waktu yang
singkat. Kalau orang-orang Buna’ melaksanakan ritus agama asli, bahan
persembahaan terdiri dari sirih-pinang, nasi, darah dan daging. Kalau
mereka menjalankan upacara keagamaan secara Kristen Katolik, mereka

mempersembahkan barang-barang persembahan dalam bentuk hostia
dan anggur kepada Tuhan yang dipercayai berubah menjadi Tubuh dan
Darah Yesus Kristus. Ini hanya salah satu contoh perbedaan yang sangat
mendasar. Masih ada lagi banyak perbedaan-perbedaan yang tidak dapat
didamaikan antara kedua agama ini. Akibatnya masyarakat suku Buna’
membenarkan diri dengan mengatakan bahwa membawa persembahan
kepada leluhur, roh-roh dan Yang Maha Tinggi itu hanyalah adat.
Mereka menyatakan diri katolik dan tidak lagi menganut agama asli
mereka.
Entah pembelaan diri atas cara apa pun, tetap ada dua agama,
bertemu dalam diri orang-orang yang sama, orang-orang suku Buna’.
Dalam agama suku atau agama asli, mereka percaya kepada Hot Esen ,
Yang Mahatinggi. Atas dasar kepercayaan yang jelas-jelas tertuju kepada
Hot Esen inilah penulis memberikan nama kepada agama asli suku
Buna’, agama Hot Esen. Agama Hot Esen dengan Agama Kristen Katolik
merupakan dua agama yang berbeda. Dua agama ini tidak dapat
dipertemukan apalagi dipersatukan. Atau memeluk agama asli atau
memeluk agama Kristen Katolik. Tidak mungkin keduanya disatukan
atau dicampur-adukkan.
Timbul pertanyaan, mengapa orang-orang suku Buna’ yang

sudah memeluk agama Kristen Katolik masih tetap berpegang teguh
pada ritus-ritus agama asli mereka, agama Hot Esen? Sebelum
menjawab pertanyaan ini perlu dikaji dua penelitian yang diadakan
oleh dua orang dari Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga,
Dharmaputra T. Palekahelu dan Helena Anggraeni Tjondro Sugianto.
Dua penelitian ini menarik karena dua-duanya meneliti tema yang
sama, agama asli masyarakat dalam kaitan dengan pembangunan.
Dharmaputra mengadakan penelitian di kalangan masyarakat Wunga di
3

Sumba Timur dan Helena mengadakan penelitian di kalangan
masyarakat Mondo di Manggarai, Flores. Dharmaputra menyatakan
dengan jelas peranan agama dalam tindakan masyarakat sebagai
manifestasi dari nilai-nilai agama yang dipercayai (Dharmaputra 2010:
250). Analisis ini berhenti pada agama. Tindakan masyarakat sebagai
manifestasi dari nilai-nilai agama merupakan suatu hasil dari hakikat
manusia itu sendiri yang mempunyai kemampuan untuk beragama.
Hakikat manusia itu sampai sekarang lazim diketahui sebagai makhluk
ciptaan Tuhan yang berbadan dan berjiwa, makhluk berakal budi,
makhluk sosial. Penelitian Helena mulai dari kepercayaan masyarakat

Mondo kepada leluhur sebagai modal spiritual sampai kepada
kemampuan membangun sebagai penghayatan spiritual mereka (Helena
2011:256). Di sini ada keterpaduan antara spiritual capital, religious
capital dan social capital. Tetapi tidak secara khusus menyoroti apa itu
spiritual capital. Jadi kedua peneliti memberikan sumbangan kepada
dunia ilmu pengetahuan di bidang pembangunan tentang modal
spiritual yang dinyatakan dalam religious capital dan social capital.
Dua kenyataan yang diungkapkan oleh dua peneliti,
Dharmaputra (2010) dan Helena (2011) tentang peranan religious
capital dan spiritual capital dalam pembangunan merupakan temuan
yang membutuhkan kajian lebih lanjut. Religious capital itu muncul
dari spiritual capital. Dan spiritual capital tidak sama dengan religious
capital. Dalam hal ini religious capital dan spiritual capital erat
berkaitan dan menjadi satu mata rantai keberadaan manusia: spiritual
capital memampukan manusia untuk beragama dan religious capital
memampukan manusia untuk mengungkapkan kesadaran manusia akan
adanya roh dan Roh baik dalam diri maupun di luar diri manusia.
Dalam tulisan ini penulis mengemukakan hasil penelitian yang
mengkhususkan diri pada studi tentang spiritual capital sebagai faktor
esensial dalam diri manusia yang berada dalam kesatuan dengan tiga

capital lain, material, intellectual dan social capital. Pemahaman
tentang empat capital ini dimunculkan oleh satu kelompok studi di kota
Pasadena, Amerika Serikat, sejak tahun 2004. Mereka mengadakan
penelitian yang dibahas dalam berbagai seminar akhirnya pada tahun
2007 mengumumkan satu rumusan tentang manusia sebagai makhluk
yang mempunyai modal atau capital dalam dirinya terdiri dari material
capital, intellectual capital, social capital dan spiritual capital.

4

Perumusan ini penulis pandang sebagai satu rumusan yang tepat dan
memadai untuk menganalisis pola pikir dan pola tindak manusia dalam
pembangunan diri, sesama dan alam sekitar.

SPIRITUAL CAPITAL
IDENTIK DENGAN MODAL NURANI
Agama berkembang bersamaan dengan kemajuan kebudayaan
manusia. Agama dapat dibedakan atas tingkat-tingkat kemajuan mulai
dari agama primitif sampai kepada agama yang lebih maju seperti
agama-agama monotheis. Tapi dalam spiritual capital, tidak ada gradasi

atau tingkat-tingkat. Orang yang memeluk agama monotheis seperti
Yahwismus, Kristen atau Islam tidak dapat dikatakan memiliki spiritual
capital yang lebih maju dari suku-suku yang dikelompokkan sebagai
suku-suku primitif. Setiap manusia mempunyai modal nurani yang sama
dengan manusia yang lain. Nurani inilah yang dalam tulisan ini
diistilahkan dengan spiritual capital dalam kaitan dengan kegiatan
manusia sebagai manusia pembangun.
Dengan material capital atau modal nafsu, orang mengupayakan
kebutuhan jasmaninya. Di sini modal nurani bertemu dengan modal
nafsu (dalam arti positif) untuk mendaya-gunakan benda-benda baik
benda mati maupun benda hidup seperti tumbuhan dan hewan di dalam
alam untuk kepentingan manusia. Modal nafsu atau dorongan dalam
diri manusia untuk memanfaatkan alam ini masuk dalam kategori
material capital. Modal nalar atau intellectual capital mendorong orang
untuk berpikir tulus dan jujur terhadap orang lain. Inilah intellectual
capital atau modal nalar yang didorong oleh spiritual capital untuk
membuat manusia itu berpikir jernih. Dengan modal nurani sebagai
spiritual capital orang dapat berperilaku sebagai manusia yang berbudi
luhur. Dalam hal ini spiritual capital mendorong social capital agar
orang berada bersama orang lain dalam kesamaan derajat sebagai sesama

manusia.
Jadi dalam diri manusia dan dalam skala yang lebih luas dalam
masyarakat itu ada nurani (spiritual capital), ada nalar (intellectual
capital), ada naluri (social capital) dan ada naafsu (material capital).

5

Nurani disaring oleh nalar dan diperkaya oleh naluri dan ditampung
oleh nafsu. Manusia tanpa nurani, akan bersikap ganas terhadap sesama
dan alam. Manusia tanpa nalar akan bertindak tanpa arah dan tujuan.
Manusia tanpa naluri akan hidup menyendiri dan terasing di dunia ini.
Manusia tanpa nafsu akan menjadi kerdil dan menolak kehidupan.
Pernyataan-pernyataan ini yang dicari pembuktiannya dalam
masyarakat suku Buna’. Ternyata dalam kehidupan mereka sehari-hari
yang sedang mengalami perubahan dalam segala segi kehidupan mereka,
termasuk dalam hal beragama, empat capital ini menyatu dan itulah
yang menjadi daya yang kuat untuk mendorong manusia suku Buna’ itu
hidup menantang berbagai gelombang perubahan zaman.

SPIRITUAL CAPITAL

DASAR PERSATUAN MANUSIA
Studi tentang nurani masyarakat suku Buna’ di DHL ini adalah
upaya untuk menjawab pertanyaan, apakah spiritual capital itu
mempunyai peranan yang sentral dalam pembangunan atau tidak? Apa
kaitan antara spiritual capital dengan capital yang lain, material capital,
intellecual capital dan social capital dalam diri masyarakat suku Buna’?
Apa peranan dari spiritual capital dalam kaitan dengan tiga capital
yang lain ? Ini menjadi pertanyaan pokok.
Kehidupan masyarakat suku Buna’ yang didasarkan atas
keterpaduan empat capital ini menyebabkan mereka menerima arus
perubahan dengan tangan terbuka dengan akibat di sana-sini ada
kerugian-kerugian yang sudah menjadi risiko dari suatu pertemuan
antara arus perubahan. Upaya pemurnian jati diri perlu ada dan hal
itulah yang kurang disadari oleh masyarakat suku Buna’ sampai
sekarang. Ternyata dalam arus perumbahan yang begitu kuat, manusia
tidak dapat saling menerima atas agama yang dianut baik dalam agama
sendiri maupun antar agama. Suku Buna’ masih sulit menerima agama
Kristen Katolik secara utuh tetapi mereka saling menerima antar sesama
baik penganut agama yang sama maupun penganut agama yang lain,
atas dasar spiritual capital, bukan atas dasar religious capital. Kenyataan

ini menjadi bahan pemikiran untuk orang lain tentang ajakan dan
dorongan untuk hidup rukun dalam beragama. Orang kalau mau rukun,

6

tidak bisa atas dasar agama yang dianut tetapi harus atas dasar
kemanusiaan yang mempunyai empat capital itu dalam dirinya.

PERUBAHAN DAN RISIKONYA
Perubahan yang dialami suatu kelompok masyarakat adalah
sesuatu hal yang lumrah dan alami. Hal itulah yang dialami oleh
masyarakat suku Buna’’ 1 di pulau Timor. Jumlah anggota suku Buna’ ini
tidak terlalu banyak, diperkirakan enam puluh ribu orang, tiga puluhan
ribu ada di Timor Indonesia dan tiga puluhan ribu ada di Timor Leste.
Sadar atau tidak sadar, mereka sedang menghadapi satu tantangan besar,
bertahan hidup atau punah. Bukan punah secara fisik tetapi punah
secara kultural. Paling tidak sedang mengalami kekaburan jati diri
sebagai satu suku. Itulah suku Buna’ di pedalaman Pulau Timor, Nusa
Tenggara Timur.
Banyak unsur-unsur adat kebiasaan yang berasal dari leluhur
sedang ditinggalkan. Tetapi ada satu hal yang masih kuat bertahan,
kesadaran akan adanya leluhur, roh-roh dan Yang Maha Tinggi.
Kesadaran ini adalah kesadaran akan adanya dunia roh. Kesadaran akan
adanya dunia roh hanya dapat terjadi karena dalam diri manusia itu
sendiri ada roh. Manusia itu terdiri dari unsur jasmani dan roh.
Kesadaran ini merupakan kesadaran rohani. Kesadaran rohani ini yang
menjadi kemapuan untuk berkontak dengan roh-roh. Kemudian
kesadaran dan kemampuan rohani ini yang disebut dengan istilah
spiritual capital. Masyarakat suku Buna’ tetap bertahan dalam segala
terpaan pengaruh dari dalam dan dari luar itu karena spiritual capital
ini.
Setiap orang, setiap kelompok manusia mempunyai spiritual
capital. Hal itu suatu kenyataan dasar dari keberadaan manusia.
Kebenaran inilah yang ditelusuri melalui studi tentang suku Buna’ di
pedalaman Pulau Timor. Perubahan lahiriah didasarkan pada modal
dasar ini, spiritual capital. Ada lagi capital yang lain yang sama-sama

1 Nama suku Buna’ ini ditulis Bunaq oleh peneliti asal Perancis, Louis
Berthe (1972). Dalam tulisan ini, selanjutnya penulis menuliskan nama suku
ini, Buna’ bukan Bunaq. Huruf q diganti dengan tanda (’) sesuai ucapan kata
buna’ yang diberi tekanan pada akhir suku kata, buna’.

7

terdapat dalam diri manusia yaitu material capital (nafsu), intellectual
capital (nalar) dan social capital (naluri). Spiritual capital itu bukan
agama. Agama itu muncul karena spiritual capital ini. Orang yang sadar
akan adanya roh, mempunyai modal untuk beragama. Modal untuk
beragama inilah yang dinamakan religious capital. Masyarakat suku
Buna’ beralih dari agama mereka agama Hot Esen ke agama Kristen
Katolik. Perubahan terjadi dalam beragama, tetapi tidak berubah dalam

spiritual capital.
Sejauh mana ada perubahan yang dalam bentuk penyesuaian,
pergeseran dalam religious capital atas dasar spiritual capital ini? Sejauh
mana spiritual capital itu diseleksi oleh intellectual capital? Dan
bagaimana spiritual capital itu diwujudkan dalam kebesamaan dengan
orang lain dalam pemunculan social capital? Dan spiritual capital itu
tidak melayang saja. Dia terungkap secara nyata dalam diri manusia dan
benda-beda serta alam sekitar yang dikenal sebagai material capital.
Dalam tulisan ini setiap capital itu diuraikan tersendiri lalu
diungkapkaan keterkaitan empat capital itu satu sama lain dalam
perubahan satu kelompok masyarakat, dalam hal ini suku Buna’.
Perubahan yang ada ternyata perubahan lahiriah. Hal yang
paling mendasar yang tidak berbuah, yaitu spiritual capital yang
dinyatakan dalam kepercayaan suku Buna’ pada adanya arwah leluhur,
roh-roh dan Yang Mahatinggi.
Orang Buna’ itu sudah seratus tahun lebih memeluk agama
Kristen Katolik, tetapi ritus-ritus agama asli mereka, agama Hot Esen 2,
tetap dipertahankan. Kebiasaan lain sudah mereka rubah sesuai keadaan
Dalam seluruh tulisan ini penulis memakai istilah agama Hot Esen untuk
menamakan kepercayaan agama asli suku Buna’. Ada berbagai nama untuk
kepercayaan agama asli sebagaimana ditulis oleh Rachmat Subagya (Romo
W.J.M. Bakker, SJ) dalam bukunya Agama Asli Indoneia 1981, maka untuk
agama asli suku Buna’ di Timor ini nama yang terselubung ialah Hot Esen.
Maka nama yang paling tepat menurut penulis adalah agama Hot Esen.
Asalannya ialah orang-orang Buna’ mengarahkan seluruh kepercayaan mereka
kepada Hot Esen dengan arwah leluhur (bahasa Buna’: mugen tata bei mil) dan
roh-roh (pan muk gomo) sebagai perantara. Setiap doa asli suku Buna’ selalu
diawali dan diakhiri dengan sapaan kepada Hot Esen, yang secara lengkap ada
ungkapan, Hot ligi o le esen, artinya, “Matahari, yang terbuka matanya dan
bersinar di tempat yang tinggi”. Sebagai perbandingan, penamaan agama
Kristen, berawal di Antiokhia (Kis 11:26) karena Barnabas dan Saulus (Paulus)
berbicara tentang kepercayaan mereka akan Kristus Tuhan. Maka suku Buna’
yang percaya kepada Yang Mahatinggi dengan ungkapan Hot Esen, wajar dan
sah kalau kepercayaan asli mereka itu dinamakan Agama Hot Esen.
2

8

zaman seperti kebiasaan hidup perkawinan, kekerabatan, mata
pencaharian, sistem kepemimpinan, pola makan dan hiburan. Satu hal
yang paling jelas, kebiasaan suku Buna’ yang biasa makan ubi telah
berubah ke kebiasaan makan nasi, malah ada loncatan jauh ke depan,
sudah berkenalan dengan roti dan terbiasa makan roti. Ini salah satu
gejala perubahan yang mendasar dan menonjol. Oleh karena itulah
tulisan ini diberi judul, Dari ubi ke roti. Ubi yang menjadi makanan
harian telah ditinggalkan dan diganti dengan nasi, malahan roti dari
terigu dianggap sebagai makanan elit, simbol kemajuan dan status sosial.
Inilah perubahan yang sedang terjadi. Ada suatu perubahan yang
mengarah kepada memudarnya jati diri.
Keprihatinan dan kekhawatiran akan memudarnya jati diri suku
Buna’ inilah yang menjadi motivasi awal dari tersusunnnya tulisan ini.
Mereka nanti akan tercatat hanya dalam ingatan dan catatan sejarah
kebudayaan kalau keadaan yang sekarang berjalan tidak segera
ditangani secara tepat. Cepat atau lambat kelompok ini sedang
mengalami perubahan yang mengarah kepada kehilangan segalagalanya, bukan hanya harta fisik tetapi lebih dari itu, kehilangan jati
diri. Jati diri yang dimaksudkan di sini adalah harta kekayaan budi
berupa akumulasi pengalaman bathiniah yang mewujud dalam
penampilan diri pribadi dan kelompok suatu masyarakat dari waktu ke
waktu.
Harta kekayaan budi ini menjadi pendorong (motivator)
sekaligus penyemangat (inspirator) dan penarik (aspirator) masyarakat
untuk berubah. Jadi ada tiga dimensi dari harta kekayaan budi ini, yaitu
motivator, inspirator, aspirator. Harta kekayaan budi itulah yang disebut
capital atau modal yang tak ternilai dalam pribadi dan kelompok suatu
masyarakat, suatu modal rohani. Dan dalam seluruh tulisan ini, harta
kekayaan budi sebagai capital atau modal ini diungkapkan dengan
istilah spiritual capital (Danah Zohar & Ian Marshall, 2004). 3
Istilah spiritual capital ini dipopulerkan oleh Danah Zohar & Ian Marshall,
dua orang penulis dari Amerika Serikat yang pada tahun 2004 menulis buku
dengan judul: Spiritual capital: Wealth We Can Live By Using Our Rational,

3

Emotional And Spiritual Intelligence To Transform Ourselves And Corporate
Culture, Bloomsbury Publishing Plc. London. Buku ini begitu banyak
pembacanya di seantero dunia karena mengulas satu hal yang baru yaitu
Spiritual capital sebagai salah satu capital (modal) dari empat capital dalam diri
manusia . Tiga capital yang lain ialah material capital, intellectual capital dan
social capital. Menurut Danah Zohar & Ian Marshall, manusia zaman sekarang

9

Untuk menelusuri akar terdalam dari sumber ketahanan mereka
inilah dibuat penelitian selama lima tahun, 2006 sampai 2011 ditambah
dengan perbendaharaan pengalaman dan pengetahuan penulis tentang
suku Buna’ ini dengan pendampingan dari para promotor dan kopromotor di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
Demi intensitas penelusuran ini maka dipilihlah satu kelompok
yang merupakan satu kesatuan adat dalam suku Buna’ yaitu: kelompok
masyarakat desa Henes dan Lakmaras yang warganya terdiri dari 1.607
jiwa (laki-laki: 824 jiwa; perempuan: 783 jiwa) pada tahun 2010. Jumlah
kepala keluarga, 319 KK : desa Henes ada 104 KK dan desa Lakmaras
ada 215 KK (Data statistik desa Henes dan Lakmaras 2010). Kelompok
orang Buna’ dari dua desa inilah yang dipilih sebagai
kelompok
contoh ( sampel ) dari keseluruhan suku Buna’.
Masalah yang diteliti itu menyangkut ketahanan masyarakat
suku Buna’ dalam mempertahankan eksistensi mereka yaitu apa modal
dasar atau capital yang mereka miliki untuk bertahan selama ini biarpun
ada berbagai pengaruh yang sedang mengikis ketahanan diri mereka
sebagai satu kelompok etnis yang namanya suku Buna’.
Apakah ketahanan mereka itu bersumber dari kuatnya pendayagunaan modal berupa material capital dalam bentuk benda-benda
jasmaniah seperti alam sekitar, lingkungan hidup dan harta milik?
Ataukah ketahanan mereka itu disebabkan oleh kuatnya pendayagunaan modal berupa intellectual capital dalam bentuk kearifan lokal,
falsafah hidup? Ataukah ketahanan hidup mereka disebabkan oleh
ketatnya pendaya-gunaan modal sosial atau social capital berupa tali
kekerabatan serta ikatan suku? Ataukah ketahanan hidup ini disebabkan
oleh pendaya-gunaan modal yang lain yang lebih mendasar tetapi yang
tak kelihatan yaitu spiritual capital, yang terdiri dari kekuatan dari
kepercayaan akan adanya roh dari leluhur, roh penghuni langit dan
bumi dan Roh Yang Maha Tinggi?
ini melaksanakan usaha pembangunan dengan mengandalkan material capital,
intellectual capital dan social capital sambil mengabaikan spiritual capital.
Akibatnya manusia mendewa-dewakan benda, intelek dan jejaring sosial
sambil mengesampingkan keberadaan spiritual capital (modal rohani) dalam
diri manusia. Pikiran Danah Zohar & Ian Marshall tentang spiritual capital ini
mulai dipelajari di Indonesia dengan tersebarnya buku mereka itu yang
diterjemahkan oleh Helmi Mustofah, 2005, ke dalam bahasa Indonesia dengan
judul: Spiritual capital, memberdayakan SQ di Dunia Bisnis, Penerbit Mizan,
Bandung.

10

Dalam penelurusan yang melelahkan tetapi membahagiakan
tentang peri kehidupan orang-orang Buna’ yang diwakili oleh kelompok
masyarakat desa Henes dan Lakmaras, ternyata dari empat capital ini,
material capital, intellectual capital, social capital, spiritual capital, yang
paling kuat pengaruhnya ialah: spiritual capital.
Spiritual capital
sendiri tidak lain dari ”kekuatan, pengaruh dan keadaan yang muncul
dari kepercayaan, pengetahuan dan praktek rohani dari seseorang atau
suatu organisasi, baik perorangan maupun kelompok” (Danah Zohar,
2004).
Pengaruh dari spiritual capital di kalangan masyarakat Buna’
inilah yang diamati, ditelusuri dan diteliti oleh penulis dalam jangka
waktu lima tahun, dari tahun 2006 sampai 2011, dan hasilnya
dirumuskan lalu dituliskan dalam tulisan ini.

MENEMUKAN SPIRITUAL CAPITAL
DI KALANGAN SUKU BUNA’
Proses mempelajari makna dan peran spiritual capital di
kalangan suku Buna’ ini melelahkan namun membahagiakan penulis.
Dalam seluruh tulisan ini penulis menyajikan hasil pengkajian dan
pendalaman masalah spritual capital dalam keterkaitan dengan tiga
capital yang lain. Dalam Bab 2 penulis mengkaji teori-teori tentang
spiritual capital, apa itu spiritual capital, bagaimana perkembangan
pemahaman ini dan apa saja pengaruhnya dalam kehidupan suatu
masyarakat yang dalam penelitian ini difokuskan pada masyarakat suku
Buna’ di Desa Henes dan Lakmaras (DHL).
Dalam Bab 3 penulis mengemukakan metodologi yang dipakai
dalam penelusuran hakekat dan makna serta pengetrapan spiritual
capital di kalangan suku Buna’. Untuk menjamin kebenaran dan
keabsahan hasil penelitian yang dilaksanakan, peneliti menjelaskan
metode ilmiah yang penulis gunakan dalam penelitian ini agar hasilnya
dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Penulis mengadakan
pengamatan dan wawancara langsung serta mempelajari sumber-sumber
tertulis yang tersedia tentang suku Buna’. Data dan fakta yang penulis
himpun diuji dengan cara triangulasi agar rumusan hasil akhir benarbenar valid dan reliable.

11

Dalam Bab-bab empirik penulis
menghimpun berbagai
inormasi, data dan fakta tentang masyarakat suku Buna’ di DHL untuk
mendapatkan gambaran yang jelas tentang pemaknaan spiritual capital
oleh masyarakat DHL dalam hidup sehari-hari. Secara berturut-turut
dalam Bab 4 dikemukakan hasil penelitian empirik tentang orang
Henes-Lakmaras dalam keseharian mereka. Mereka bekerja, bergaul
seperti biasa namun dasar terdalam dari kebiasaan berkerabat itu ialah
kesadaran akan modal nurani atau spiritual capital.
Dalam Bab 5 dikemukakan kenyataan tentang masyarakat DHL,
bagaimana mereka menata kekerabatan melalui perkawinan. Seluruh
anggota masyarakat suku Buna’ di DHL itu terikat dalam tali
kekerabatan yang dipercayai sebagai warisan leluhur. Ikatan
perkawinan dikukuhkan dengan tahap-tahap ritual yang sarat dengan
keterlibatan leluhur dan roh-roh. Ini suatu kesadaran masyarakat akan
adanya spiritual capital dalam diri pribadi dan dalam masyarakat.
Dalam Bab 6
dikemukakan hasil penelitian tentang sistem
kepemimpinan lokal dan perekonomian rakyat. Pemimpin lokal yang
secara hirarkis tersusun mulai dari raja, fetor, temukung dan kabu
diyakini sebagai warisan leluhur yang dikukuhkan oleh roh-roh sebagai
perantara antara manusia dan Yang Mahatinggi. Atas dasar ini
masyarakat sangat menghormati orang-orang bangsawan sebagai
perpanjangan tangan Yang Mahatinggi. Para bangsawan ini ada untuk
mengatur masyarakat, menata lingkungan dan menegakkan normanorma adat. Pada pundak mereka ada tanggung-jawab untuk menjamin
masyarakat untuk berpenghasilan cukup melalui usaha pertanian dan
peternakan. Hasil panen diberikan kepada para bangsawan ini bukan
merupakan upeti melainkan sebagai tanda terimakasih atas jasa mereka
dalam menata dan melindungi masyarakat.
Dalam bab 7 dikemukakan hasil penelitian tentang kesenian dan
hiburan rakyat sebagai satu sisi dari kehidupan masyarakat DHL. Hasilhasil kesenian seperti tenunan, anyaman dan ukir-ukiran ternyata sarat
dengan makna spiritual. Berarti dalam kesenian ini masyarakat
menampilkan spiritual capital yang dijadikan dasar untuk menghargai
hasil kesenian itu sebagai milik mereka yang harus dijaga dan
diteruskan. Mereka memiliki permainan rakyat yang begitu beragam.
Ada permainan rakyat yang sudah ditinggalkan, ada yang masih

12

dipertahankan seperti adu ayam. Permainan ini pun mempunyai nilainilai rohani yang berasal dari spiritual capital yang dimiliki masyarakat.
Dalam Bab 8 dikemukakan temuan tentang pandangan orang Buna’
di DHL mengenai Hot Esen sebagai esensi religi orang Buna’. Mereka
dituduh oleh pihak Gereja Katolik sebagai penyembah berhala. Ternyata
tuduhan itu tidak benar karena masyarakat suku Buna’ percaya akan
adanya arwah leluhur sebagai pelindung, roh-roh baik dan roh-roh
jahat sebagai makhluk yang diberi tempat dalam ritus-ritus dan Roh
Mahatinggi yang disembah sebagai Pencipta dan Pemberi rahmat untuk
orang-orang yang hidup . Dalam Bab 8 ini muncul dengan sangat jelas
peranan spiritual capital sebagai modal yang mendorong orang Buna’
untuk memuja dan beribadat kepada Yang Mahatinggi sesuai alam
pikiran mereka.
Seluruh uraian ini dipadukan dalam Bab 9 sebagai sintese dari
semua Bab empirik. Dalam sintese ini dikemukakan arti dan peranan
spiritual capital dalam pembangunan. Spiritual capital tidak berdiri
sendiri. Dalam keterpaduan dengan tiga capital yang lain, pembangunan
akan berjalan dengan baik dan membawakan hasil yang bermanfaat
untuk manusia.
Lalu dalam Bab 10 dikemukakan kesimpulan yang terdiri dari
pemaknaan spiritual capital dalam kehidupan masyarakat dan
pengetrapannya dalam pembangunan yang holistik. Pembangunan yang
holistik ini sebenarnya sudah biasa dihayati oleh masyarakat suku
Buna.’ Ini sesuai dengan pendapat Daniel Daud Kameo yang menulis
tentang pembangunan model Timor, ”Pemenuhan Kebutuhan Pokok
dan Pengembangan SDM berbasis Ekonomi Rumah Tangga” (Daniel
Daud Kameo, 2003: 30-35). Semua penampilan kehidupan masyarakat
suku Buna’ ini pada dasarnya ditegakkan atas dasar spiritual capital
dalam kaitan dengan tiga capital yang lain.

13

14