Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Nurani Suku Buna' Spiritual Capital dalam Pembangunan D 902006009 BAB IV

BAB 4
ORANG HENES-LAKMARAS
DALAM KESEHARIAN
Masyarakat desa Henes-Lakmaras masuk dalam kelompok suku
Buna’ di pedalaman Pulau Timor sampai sekarang masih tetap bertahan
hidup sebagai satu kesatuan yang utuh terpadu. Padahal mereka sudah
mengalami berbagai perubahan akibat pengaruh baik dari dalam
maupun dari luar. Ternyata perubahan yang terjadi entah positif atau
negatif, hanyalah perubahan dalam bentuk lahiriah. Jadi ada ketahanan
bathiniah. Secara bathin, tetap bertahan. Apa yang terjadi dengan
perubahan lahiriah? Adat istiadat dalam bentuk kekerabatan yang
begitu kuat sudah luntur. Adat istiadat yang berkaitan dengan
kelahiran, perkawinan dan kematian, sudah banyak berubah. Bahasa
daerah, bahasa Buna’ sedang mengalami kemerosotan, dicapur-adukkan
dengan bahasa Indonesia. Pola perumahan dan pola makan berubah.
Sistim matapencaharian pun berubah. Sistem pemerintahan tradisional,
berubah. Hidup sehari-hari dalam bentuk hiburan rakyat pun berubah.
Dan perubahan yang paling hebat ialah perubahan dalam kehidupan
beragama, dari beragama secara agama asli, agama Hot Esen telah
berubah ke agama Kristen Katolik.


ORANG HENES-LAKMARAS
TETAP BERTAHAN
Ada sesuatu yang tidak berubah dan memang tidak mungkin
berubah. Spiritual capital yang tidak berubah. Spiritual capital yang erat
berkaitan dengan material capital, intellectual capital dan social capital
tidak berubah. Perubahan terjadi hanya dalam pengungkapan saja.
Masyarakat suku Buna’ sudah seratus tahun lebih beralih dari agama
Hot Esen ke agama Kristen Katolik. Mengapa mereka masih
mempraktekkan ritus-ritus agama asli? Jawabannya harus dicari pada
61

kenyataan dasar dari manusia itu sendiri bahwa manusia mempunyai
empat capital yang harus ditampilkan secara berimbang. Jadi yang tidak
berubah dalam masyarakat suku Buna’ ini empat capital itu, sedangkan
pengungkapannya berubah terus menerus sejalan dengan pengaruh
yang muncul dari dalam atau yang datang dari luar.
Contoh yang paling jelas, agama Kristen Katolik datang dari luar
dan diterima oleh masyarakat suku Buna’ sudah selama seratus tahun
lebih. Mengapa ritus-ritus agama asli, agama Hot Esen masih
diprkatekkan? Pasti ada suatu dasar yang sulit dirubah. Hal inilah yang

menjadi fokus dalam tulisan ini. Pengungkapan kepercayaan masyarakat
dalam agama itu muncul dari religious capital yang bukan spiritual
capital. Pencampur-adukan spiritual capital dan relibious capital ini
membuat pertentangan dalam kehidupan masyarakat suku Buna’
dibarengi dengan pertentangan dalam bidang-bidang kehidupan yang
lain. Semua seluk beluk persesuaian dan pertentangan inilah yang dikaji
dalam tulisan ini.

EN BUNA’: ORANG BUNA’ DAN WILAYAHNYA
Suku Buna’ adalah sekelompok masyarakat yang menghuni daerah
di pedalaman Pulau Timor, Kabupaten Belu, Propinsi Nusa Tenggara
Timur. Menurut taksiran BPS Kabupaten Belu pada tahun 2009
populasi suku Buna’ berjumlah sekitar tiga puluh ribu orang di wilayah

Peta 1. Wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur
(Sumber: Pemda NTT)

62

Kabupaten Belu sedangkan di wilayah Negara Timor Leste diperkirakan

tiga puluhan ribu orang dan itu berarti pada tahun 2009 suku Buna’ ini
berjumlah sekitar enam puluh ribu orang.
Mereka yang menghuni bahagian Timor Indonesia, terkonsentrasi
di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Lamaknen dan Kecamatan
Lamaknen Selatan. Sebagian kecil lainnya tersebar di kecamatan lain
dalam Kabupaten Belu, seperti di Kecamatan Malaka Timur dan Kota
Atambua.
Suku Buna’ mempunyai keunikan, sebagaimana suku-suku lain
di mana pun saja di dunia ini. Suku Buna’ dikenal sebagai orang-orang
pekerja keras karena menghuni wilayah pegunungan yang tandus dan
kurang subur. Suku Buna’ juga dikenal dan dianggap sebagai kelompok
orang-orang yang kasar bahasanya dan kasar perilakunya karena
mereka selalu hidup dalam tantangan perang dengan tetangga yang
berada di Timor Leste. Tetapi seorang imam katolik, Pater Vincen Wun
SVD, yang berasal dari luar suku ini yang lama bekerja di kalangan suku
Buna’ memberikan kesaksian, bahwa ”Orang Buna’ itu saya kenal,

nampaknya saja kasar, tapi hati mereka baik sekali dan suka menerima
orang lain”.
Masyarakat suku Buna’ ini tidak termasuk dalam masyarakat

suku terasing. Masyarakat suku Buna’ mengalami perubahan sosial
karena adanya pengaruh dari dalam maupun dari luar komunitas
mereka. Derasnya pengaruh dari luar menyebabkan masyarakat suku
Buna’ sedang berubah drastis, dari yang dinyatakan kolot menjadi
modern, dari yang dinyatakan kafir, percaya sia-sia, menjadi penganut
Agama kristen katolik. Dari yang biasa makan ubi-ubian sebagai
makanan pokok beralih ke beras dan raskin (beras untuk otrang miskin)
bahkan sampai ke roti.
Masyarakat DHL mengalami suatu gejala perubahan yang
menurut pendapat penulis mencengangkan tetapi menegangkan, suatu
perubahan yang membuat kelompok masyarakat ini bisa tenggelam
dalam arus modernisasi yang menelanjangkan diri mereka dan
kehilangan pakaian budaya asli mereka sambil mengenakan pakaian
budaya asing yang semakin memiskinkan mereka secara jasmaniah
maupun rohaniah.
Mereka menganggap seorang itu kuno, atau buta huruf kalau
masih berbahasa Buna’ dan tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka yang
63

masih berbahasa Buna’, sering mencampurkan dalam percakapan

mereka dengan kata-kata bahasa Indonesia sebegitu banyak sampai
tidak dapat dimengerti lagi, bahkan sampai sudah tidak jelas lagi apakah
si pembicara berbicara dalam bahasa Buna’ atau bahasa Indonesia. Ada
anggapan bahwa jika seseorang semakin banyak memakai kata-kata
bahasa Indonesia, maka ia dianggap semakin modern. Kesan inilah yang
menjadi salah satu kecemasan penulis yakni bahwa suku ini
kemungkinan akan punah secara perlahan-lahan kalau harta budaya
mereka mulai ditinggalkan secara cepat atau lambat, secara sadar atau
tidak sadar. Contoh yang paling sederhana dari peralihan ini, seperti
yang telah dikemukakan di atas yaitu bahwa masyarakat ini mulai
meninggalkan ubi dan beralih ke roti.

Gambar 10. Ubi jenis ini yang ditinggalkan masyarakat Buna’ dan
beralih ke roti. Ubi ini bermacam-macam. sesuai penelitian dari
Agrippina Agnes Bele (26 tahun), di daratan Timor ada 16 macam, tidak
termasuk ubi kayu dan ubi jalar
(Sumber: Agrippina Agnes Bele)

64


Suku Buna’ juga dikenal sebagai suku yang mengenakan belis
atau mas kawin yang mahal terhadap anak gadis mereka. Oleh karena
ini tidak heran kalau para pemuda dari kelompok dan suku lain tidak
mudah untuk mepersunting gadis suku Buna’. Kelompok suku Buna’ ini
juga dikenal karena kerasnya adat pertalian deu, malu-ai, (suku rumah
pemberi perempuan dan penerima perempuan). Karena itu, orang dari
suku Buna’ yang walaupun sudah tinggal di kota Atambua, ibu kota
Kabupaten Belu, mereka masih tetap hidup berkelompok dan tetap
mempertahankan identitas mereka, adat istiadat mereka adat Buna’ dan
bahasa mereka, bahasa Buna’. Orang Buna’ sedang berada dalam
pergulatan yang hebat, ada upaya mempertahankan jati diri mereka
tetapi kecenderungan untuk meninggalkan jati diri mereka itu juga
begitu kuat. Mengapa mereka tidak mudah melepaskan adat-istiadat
mereka dan beralih kepada adat istiadat yang baru? Ketahanan mereka
dalam melawan arus perubahan yang datang dari luar inilah yang
merupakan fakta yang menarik untuk diteliti. Apa yang menjadi dasar
bagi mereka untuk mempertahankan adat kebiasaan yang ada biarpun
dibanjiri arus perbahan dalam segala bidang kehidupan mereka?
Kaum laki-laki suku Buna’ ini diakui oleh kalangan mereka
sendiri sebagai kaum yang tertindas oleh kaum perempuan karena

pergeseran adat perkawinan dari patrilineal ke matrilineal. Suami
datang ke suku isteri, mengerjakan kebun milik suku rumah isteri dan
jika isterinya meninggal, maka laki-laki atau suami tersebut akan pulang
ke suku rumahnya dengan tidak membawa harta apapun termasuk
anak-anaknya sendiri. Sang suami menjadi seorang duda sebatang kara,
duda yang malang, karena selain kehilangan istri yang meninggal, ia
juga kehilangan harta. Dan yang lebih menyedihkan adalah bahwa
iapun kehilangan atau harus meninggalkan anak-anaknya sendiri. Pria
yang malang ini kembali ke suku rumahnya dan diterima kembali oleh
saudara-saudarinya dan para ponakannya sebagai baba atau na’i
(paman), mone paluk (duda) yang harus memulai hidup baru mulai dari
nol. Dia pulang ke tengah kaum keluarga di suku rumahnya seperti
orang yang kalah judi. Tidaklah mengherankan kalau dari kalangan
orang suku Buna’ sendiri menyatakan bahwa untuk suku Buna’ perlu
ada emansipasi laki-laki agar laki-laki juga ada hak, jangan hanya isteri
saja yang mempunyai hak atas kepemilikan tanah, harta dan anak-anak.

65

Kelompok suku Buna’ ini dikenal fanatik dalam agama yang

dianut sekarang, Kristen Katolik. Rata-rata seratus persen suku Buna’
memeluk agama Kristen Katolik sejak datangnya kekatolikan pada
tahun 1875 sebagaimana tercatat dalam sejarah Paroki Nualain (Anton
Bele, 1992). Biar mereka sudah menganut agama Kristen Katolik tetapi
sampai sekarang praktik agama asli mereka, Piar Hot Esen (Percaya pada
Yang Maha Tinggi) tetap dilaksanakan berdampingan dengan praktik
agama Kristen Katolik.
Suku Buna’ juga dikenal sebagai suku yang mengenakan belis
atau mas kawin yang mahal terhadap anak gadis mereka. Oleh karena
ini tidak heran kalau para pemuda dari kelompok dan suku lain tidak
mudah untuk mepersunting gadis suku Buna’. Kelompok suku Buna’ ini
juga dikenal karena kerasnya adat pertalian deu, malu-ai, (suku rumah
pemberi perempuan dan penerima perempuan). Karena itu, orang dari
suku Buna’ yang walaupun sudah tinggal di kota Atambua, ibu kota
Kabupaten Belu, mereka masih tetap hidup berkelompok dan tetap
mempertahankan identitas mereka, adat istiadat mereka adat Buna’ dan
bahasa mereka, bahasa Buna’. Orang Buna’ sedang berada dalam
pergulatan yang hebat, ada upaya mempertahankan jati diri mereka
tetapi kecenderungan untuk meninggalkan jati diri mereka itu juga
begitu kuat. Mengapa mereka tidak mudah melepaskan adat-istiadat

mereka dan beralih kepada adat istiadat yang baru? Ketahanan mereka
dalam melawan arus perubahan yang datang dari luar inilah yang
merupakan fakta yang menarik untuk diteliti. Apa yang menjadi dasar
bagi mereka untuk mempertahankan adat kebiasaan yang ada biarpun
dibanjiri arus perbahan dalam segala bidang kehidupan mereka?
Kaum laki-laki suku Buna’ ini diakui oleh kalangan mereka
sendiri sebagai kaum yang tertindas oleh kaum perempuan karena
pergeseran adat perkawinan dari patrilineal ke matrilineal. Suami
datang ke suku isteri, mengerjakan kebun milik suku rumah isteri dan
jika isterinya meninggal, maka laki-laki atau suami tersebut akan pulang
ke suku rumahnya dengan tidak membawa harta apapun termasuk
anak-anaknya sendiri. Sang suami menjadi seorang duda sebatang kara,
duda yang malang, karena selain kehilangan istri yang meninggal, ia
juga kehilangan harta. Dan yang lebih menyedihkan adalah bahwa
iapun kehilangan atau harus meninggalkan anak-anaknya sendiri. Pria
yang malang ini kembali ke suku rumahnya dan diterima kembali oleh

66

saudara-saudarinya dan para ponakannya sebagai baba atau na’i

(paman), mone paluk (duda) yang harus memulai hidup baru mulai dari
nol. Dia pulang ke tengah kaum keluarga di suku rumahnya seperti
orang yang kalah judi. Tidaklah mengherankan kalau dari kalangan
orang suku Buna’ sendiri menyatakan bahwa untuk suku Buna’ perlu
ada emansipasi laki-laki agar laki-laki juga ada hak, jangan hanya isteri
saja yang mempunyai hak atas kepemilikan tanah, harta dan anak-anak
Kebiasaan menghuni deu hoto (rumah adat yang terbuat dari
papan berukir dan atap alang-alang) telah ditinggalkan dan mereka
berdiam dalam deu balek, deu ewi, deu hol (rumah beratapkan seng,
rumah tipe melayu, rumah tembok) yang dianggap sebagai
perkembangan dari yang kolot ke yang maju. Masyarakat suku Buna’
menganggap diri masih kuno dan kolot kalau masih berdiam di dalam
deu hut (rumah beratapkan ilalang) dan berdinding papan atau bambu.
Perubahan sosial selalu terjadi. Perubahan ibarat jarum jam,
bergerak maju. Tidak pernah mundur. Masyarakat suku Buna’ di
pedalaman Pulau Timor juga demikian. Mereka mengalami perubahan.
Hanya sayang, masyarakat sukSu Buna’, khususnya di desa Henes dan
Lakmaras selanjutnya disingkat DHL (Desa Henes dan Lakmaras)
sebagai kelompok pilihan atau contoh yang mengalami perubahan ini
mengungkapkan bahwa perubahan yang mereka alami ibarat orang

yang berjalan telanjang. Pakaian budaya asli ditanggalkan dan pakaian
budaya baru tidak cocok dengan keadaan mereka sehingga mereka
merasa ada suatu kehilangan dan mereka sendiri tidak tahu kehilangan
itu dalam hal apa. Masyarakat suku Buna’ secara keseluruhan dan secara
khusus di DHL mengalami perubahan secara total, perubahan dalam
budaya dengan macam-macam sub-budaya seperti sistem kekerabatan,
sistem ekonomi, sistem pemerintahan dan sistem religi (Peter Burke,
1992).
Berdasarkan ungkapan dari mereka sendiri dibuat perbandingan
dengan gejala perubahan di tempat lain lalu diuji dengan berbagai teori
yang ada untuk mendapatkan suatu jawaban yang dapat diterima
sebagai jawaban yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah.
Perubahan apa saja yang sudah dan sedang terjadi dan ke arah mana
perubahan itu sedang berjalan merupakan pertanyaan sentral dalam
tulisan ini yang diawali dengan uraian dalam bab pertama ini sebagai
pendahuluan dari seluruh tulisan.
67

LOLO GONI’ON TAL :
TIGA KAMPUNG HANCUR
Masyarakat DHL (Desa Henes dan Lakmaras) sebagai bahagian
dari suku Buna’, merupakan satu rumpun yang berasal dari leluhur yang
bersaudara, sebagaimana yang diungkapkan oleh peneliti terdahulu,
Louis Berthe (1972: 25) seorang peneliti dari Perancis.

Gambar 11 Bukit Lakmaras. Perkampungan ada di lereng dalembah.
Puncaknya sudah kosong, tinggal bekas rumah yang terbakar
(Sumber: Yosef Asa)

Kelompok masyarakat DHL berpindah dari sebelah Timur pulau
Timor yaitu wilayah yang sekarang ini menjadi bahagian Negara Oleh
karena itulah warga dua desa ini selalu mengatakan bahwa kedua
kelompok ini hanya dipisah oleh batas wilayah pemerintahan, tetapi
dari segi asal-usul dan adat-istiadat, keduanya adalah satu.
Timor Leste ke arah Barat, wilayah Negara Republik Indonesia.
Wilayah yang ditempati sekarang ini sebelumnya dihuni oleh satu suku
yang disebut suku Melus, kelompok suku berbahasa Dawan yang
turunannya sekarang ini menghuni wilayah kabupaten Timor Tengah
Utara (TTU), Timor Tengah Selatan (TTS) dan Kabupaten Kupang
(A.D.M. Parera, 1971: 30).
68

Kelompok masyarakat DHL berpindah dari sebelah Timur pulau
Timor yaitu wilayah yang sekarang ini menjadi bahagian Negara Timor
Leste ke arah Barat, wilayah Negara Republik Indonesia. Wilayah yang
ditempati sekarang ini sebelumnya dihuni oleh satu suku yang disebut
suku Melus, kelompok suku berbahasa Dawan yang turunannya
sekarang ini menghuni wilayah kabupaten Timor Tengah Utara (TTU),
Timor Tengah Selatan (TTS) dan Kabupaten Kupang (A.D.M. Parera,
1971: 30).
Dalam tutur adat orang Buna’, kelompok orang-orang Melus ini
masih sering disebut sebagai penghuni yang lebih dahulu menempati
empat bukit yang sekarang dihuni oleh masyarakat DHL. Empat bukit
itu adalah: Lakmaras, Henes, Abis, Si’arai. Penduduk DHL adalah
kelompok suku yang mulai menetap di empat bukit ini sesudah terjadi
perang antara suku Melus sebagai penduduk asli waktu itu dengan
orang-orang Buna’ sebagai pendatang baru ke wilayah Lamaknen
(A.A.Bere Tallo). Pada masa itu perang antar suku masih sering terjadi
dan yang menang perang mengusir yang kalah perang lalu empat bukit
dikuasai oleh leluhur masyarakat DHL dan didirikan tiga kampung di
tiga bukit, Lakmaras, Henes, Abis, sedangkan bukit Si’arai tidak dihuni,
tetap dibiarkan kosong. Dari saat itu dikenal tiga bukit sebagai tiga
kampung dengan sebutan lolo goni’on, artinya, tiga bukit (Bahasa Buna’,
lolo = bukit; goni’on = tiga).
Sebagaimana terlihat dalam peta wilayah suku Buna’ dan
wilayah desa Henes dan Lakmaras, (Peta 2), desa Henes dan Lakmaras
ini terletak dekat perbatasan antara Negara Timor Leste dan Negara
Republik Indonesia. Sebelah Utara berbatasan dengan desa-desa
tetangga, Nualain, Lo’onuna dan Duarato (wilayah Negara Republik
Indonesia), sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Negara Timor
Leste, sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Negara Timor Leste
dan sebelah Barat juga berbatasan dengan wilayah Negara Timor Leste.
Jadi desa Henes dan Lakmaras ini berada di kantong wilayah Negara
Republik Indonesia yang merupakan satu busur atau setengah lingkaran
yang dikelilingi oleh wilayah Negara Timor Leste.

69

TIMOR LESTE
INDONESIA

Peta 2 Wilayah Suku Buna’ dan wilayah desa Henes dan Lakmaras
(Sumber: Pemda Belu 2008)

Di sebelah Timur, sungai Atobauk dan di sebelah Barat, sungai
Tabara. Aliran dua sungai ini, Atobauk ke sebelah Utara dan Tabara ke
sebelah Selatan menjadi batas yang membentuk setengah lingkaran, dan
dalam wilayah setengah lingkaran atau busur inilah terletak desa Henes
dan Lakmaras.
Dua desa ini mempunyai tiga kampung di atas tiga bukit,
kampung Lakmaras di atas bukit Lakmaras di sebelah Selatan, dan
kampung Abis di atas bukit Abis di sebelah Utara, merupakan wilayah
desa Lakmaras. Di tengah kedua bukit ini, ada bukit Henes tempat
didirikan kampung Henes. Tiga bukit ini membentuk satu garis lurus
dari Selatan ke Utara dengan urutan, Lakmaras, Henes dan Abis.
70

Sejak adanya pemisahan wilayah berdasarkan pembahagian
wilayah penjajahan, dikenal dua kelompok orang Buna’ yaitu kelompok
orang Buna’ yang berada di wilayah yang dikuasai oleh pemerintah
Portugal, wilayahnya disebut Timor Portugis dan orang-orangnya
disebut Ewi Belis (orang asing berkulit putih) dan wilayah yang
dikuasai oleh pemerintah Belanda disebut wilayah Olandes (Holands)
dan orang-orangnya juga disebut orang Olandes.
Jadi ada orang Buna’ kelompok Ewi Belis di Timor Timur
sekarang dan orang Buna’ kelompok Olandes yang menghuni wilayah
Indonesia sekarang ini. Sampai sekarang (tahun 2011) kedua kelompok
ini tetap saling mengunjungi karena kesatuan asal-usul. Kalau ada pestapesta adat di kelompok Buna’ Ewi Belis (Timor Leste), kelompok Buna’
Olandes selalu dilibatkan dan sebaliknya, kalau ada pesta-pesta adat di
kalangan orang Buna’ Olandes, kelompok Buna’ Ewi Belis selalu
dilibatkan pula.

Gambar 12. Hewan tidak kenal batas. Siang merumput di Timor
Leste malam masuk kandang di Indonesia
(Sumber: Eustachius Mali Tae)

Saling mengunjung antara dua kelompok ini hal yang biasa
tanpa ada prosedur administrasi pemerintahan sampai sekarang. Tanah
yang berada di perbatasan antara Timor Leste dan Timor Indonesia
merupakan tanah padang rumput dan di sana dilepaskan ternak seperti
kerbau, sapi dan kuda milik kedua belah pihak.

71

Pada masa damai, sudah merupakan kebiasaan, ternak milik
orang-orang Henes-Lakmaras biasa merumput di wilayah Timor
Portugis atau sebaliknya, ternak milik orang Buna’ Ewi Belis (Timor
Leste) merumput di Timor Indonesia dengan alasan, hewan tidak kenal
batas. Hewan milik orang DHL, siang merumput di Timor Leste, malam
dikandangkan di Indonesia. Sebaliknya, hewan milik orang Buna’ di
Timor Leste, siang merumput di Indonesia, malam dikandangkan di
Timor Leste. Situasi perbatasan ini selalu aman karena adanya tali
kekeluargaan antara dua kelompok penghuni ini yang sama-sama
anggota dari satu suku, Buna’.
Ada sejarah kelabu di masa lalu. Malapetaka datang pada tahun
1911. Lolo goni’on tal. Perkampungan di tiga bukit hancur. Rumahrumah adat dari tiga kampung di atas tiga bukit itu dibumi-hanguskan
oleh Ewi Belis (Orang asing putih), musuh yang datang dari Timor
Portugis. Pertikaian antara dua bersaudara di Lakmaras, Bere Bau raja
Lakmaras dibenci oleh saudaranya, Leto Loe yang juga mau menjadi
raja, menyebabkan perpecahan. Leto Loe mengundang serdadu dari
Timor Portugis dan Bere Bau mengundang serdadu Belanda, dan
terjadilah pertempuran besar, tiga kampung direbut oleh Leto Loe dan
sekutunya orang-orang Timor Portugis. Semua rumah adat dengan
segala harta benda dihanguskan. Sesudah pertempuran reda, ada
perundingan dan tiga kampung yang sudah hangus terbakar dipulihkan
lagi. Perdamaian diadakan di perbatasan dengan perjanjian, kedua belah
pihak tidak boleh saling menyerang lagi dan Bere Bau yang diberi gelar
Bei Buis (Nenek yang ganas) tetap menjadi raja Lakmaras sampai tahun
1941. Sedangkan saudaranya, Leto Loe dibunuh atas perintah Bere Buis.
Penduduk DHL hidup aman kembali tanpa ada gangguan musuh baik
dari dalam maupun dari luar (Naskah Dinas P & K Propinsi NTT, 2004).
Dengan kejadian Lolo Goni’on Tal, masyarakat DHL menderita
kehilangan yang sangat besar yaitu kehilangan harta pusaka yang oleh
leluhur dibawa dari Timor Leste seperti gong, perhiasan emas dan perak
serta berbagai peralatan lain seperti sore (kelewang) dan bat (tombak)
pusaka. Mereka kehilangan harta pusaka yang dianggap keramat karena
diyakini sebagai warisan yang mempunyai kekuatan gaib dari leluhur
yang melekat pada setiap benda peninggalan leluhur itu. Masyarakat
DHL memulai lagi suatu peradaban dari titik yang terendah. Rumah-

72

rumah adat dibangun lagi tetapi warisan berupa harta pusaka dalam
bentuk hiasan-hiasan emas dan perak sudah musnah.

Gambar 13. Rumah adat suku Buna’. Rumah milik bagsawan di kampung
Ekin – Lamaknen Selatan, tetangga desa Henes dan Lakmaras. Rumahrumah dengan ukuran dan tipe yang persis sama inilah yang telah musnah
di kampung Henes dan Lakmaras. Sekarang tinggal kenangan dan air mata
(Sumber: Agrippina Agnes Bele)

Sesudah malapetaka tahun 1911, masyarakat DHL mulai
membangun lagi dan rumah-rumah adat berdiri megah di lolo goni’on.
Kebanggaan atas deu hoto (rumah adat) sebagai tempat kediaman yang
sarat dengan kepercayaan akan leluhur, roh-roh dan Roh Maha Tinggi
73

ini tidak bertahan lama. Malapetaka baru muncul lagi. Terjadilah lolo
goni’on tal ke-dua.
Tahun 1911 bisa dicatat sebagai lolo goni’on tal pertama.
Kehancuran kedua terjadi pada tahun 1996. Tiga kampung ini hancur
total lagi pada tanggal 11 April 1996, dibakar oleh kelompok perusuh
dari Timor Timur yang dikenal dengan nama kelompok Fretelin.
Menurut saksi mata, Yosef Mali (43), di kampung Henes, mereka
terbangun pada pagi hari tanggal 11 April 1996 dalam keadaan panik.
Bunyi tembakan terdengar di mana-mana. Penduduk berlarian dalam
kegelapan malam sambil menyeret anak-anak kecil masuk ke dalam
semak-semak lalu berlari meninggalkan kampung. Waktu matahari
terbit, kampung sudah mereka tinggalkan dan dari jauh mereka melihat
rumah-rumah terbakar satu demi satu sampai semuanya habis terbakar
di tiga kampung itu, Lakmaras, Henes dan Abis. Keesokan harinya,
tanggal 12 April 1996, para pembakar kampung itu tidak ada lagi dan
beberapa laki-laki dewasa kembali ke kampung dan mendapati jenazah
sesama saudara yang mati tertembak dan tergeletak begitu saja di
rerumputan. Jenazah mereka dikuburkan secara adat.
Orang-orang yang mati pada hari yang naas itu, berjumlah
sepuluh orang. Dari kampung Lakmaras, empat orang: Bere Manuel, Tes
Legul, Yosef Mali Mau, Mali Rato. Dari kampung Henes, empat orang:
Koi Mali, Mali Ari, Markus Mali Mau, Kornelis Bau. Dari kampung
Abis, dua orang: Momen Mau Gulo’, Asa Uju.
Seluruh penduduk dari tiga kampung ini mengungsi ke
Atambua, ibu kota Kabupaten Belu dan dua tahun kemudian baru
kembali ke kampung, membangun rumah-rumah sederhana dengan
susah payah. Pada tahun 2006 sewaktu penelitian ini mulai
dilaksanakan, banyak rumah sudah dibangun tetapi dengan tipe
’melayu’ dan tidak ada satu rumah pun yang dibangun dengan arsitektur
asli karena sulitnya memperoleh bahan bangunan berupa tiang-tiang
yang harus berasal dari hutan. Sesudah kehancuran total pada tahun
1996 ini, tiga kampung itu, Lakmaras, Henes dan Abis menjadi kampung
yang secara fisik berubah sama sekali dengan wajah yang berbeda, dari
kampung ’adat’ ke ’kampung melayu’.
Penduduk DHL kehilangan segala-galanya, bangunan rumah
adat dengan segala kesenian ukiran yang indah dan kaya, lalu satu
kehilangan yang sangat menyedihkan, ialah: tiga mot (tempat ibadat

74

umum) di puncak tiga bukit ini dirusak, susunan batu-batu dibongkar
oleh tentara untuk kepentingan pembuatan tempat perlindungan dari
musuh. Kerugian yang diderita oleh penduduk DHL meliputi kerugian
material, kultural dan yang paling parah ialah kerugian religius, dalam
arti kehilangan tempat dan sarana ibadah agama asli. Sebagai
perbandingan, kerugian besar seperti ini dialami juga oleh desa tetangga,
yaitu: Desa Nualain yang mengalami kebakaran seluruh rumah adat
yang megah pada tanggal 21 Juni 2008 akibat kebakaran tidak disengaja
yang berawal dari satu rumah lalu merambat dan menghanguskan
rumah-rumah adat yang lain di puncak bukit Nualain.
Kebakaran rumah-rumah adat ini memang tak terhindarkan
kalau ada kebakaran di salah satu rumah di dalam kampung karena
seluruh atap terbuat dari alang-alang dan ramuan di dalamnya terdiri
dari kayu-kayuan yang mudah dilalap api. Desa tetangga yang masih
utuh rumah-rumah adat mereka ialah: Ekin dengan rumah adat utama
dari suku Mone Goincet yang berdiri megah di samping mot (tempat
upacara keagamaan) di tengah kampung dan tipe kampung seperti inilah
yang menjadi tipe asli yang sudah hilang lenyap di DHL.

BAKAR AITOS :
PATUNG KAYU - LAMBANG LELUHUR
Aitos itu patung leluhur yang terbuat dari kayu atau batu dan
biasanya ditempatkan di hutan keramat milik suku rumah tertentu yang
seterusnya dijadikan hutan keramat dan dihormati oleh seluruh warga
masyarakat desa di mana hutan keramat itu beradaAitos itu patung
leluhur yang terbuat dari kayu atau batu dan biasanya ditempatkan di
hutan keramat milik suku rumah tertentu yang seterusnya dijadikan
hutan keramat dan dihormati oleh seluruh warga masyarakat desa di
mana hutan keramat itu berada
Seorang tokoh tua dari desa Lakmaras, Bone Bere (almarhum)
pada tahun 1957 sudah menyatakan, “Kami ini sekarang jalan telanjang.

Kami punya pakaian asli dibuka paksa. Pakaian baru tidak cocok. Kami
tidak bisa pakai.” Pernyataannya ini diungkapkan sesudah seorang
Pastor dari Jerman, bernama Pater Ernestus Barth biasa dipanggil Tuan

75

Barth 11 (sudah almarhum),

mengambil kapak dan membelah aitos
(patung kayu) yang didirikan di Por Gol (tempat keramat) di atas
puncak bukit Lakmaras. Seorang saksi mata yang masih hidup, Paulus
Tes, (76) menceriterakan pengalamannya dalam wawancara di Atambua
tanggal 2 Januari 2011:
“Saya masih kecil pada tahun 1957. Saya yang ambil kapak,
disuruh oleh Tuan Barth. Saya takut, jadi ikut saja. Tuan Barth
itu orang putih besar, suara keras. Dalam bahasa Buna’ yang
lancar, dia bilang, ‘Kamu di Lakmaras ini masih percaya sia-sia.
Kamu percaya aitos ini. (patung kayu setinggi manusia dewasa,
bahasa Buna’: aitos). Ini salah. Kafir. Kamu punya nenek moyang
salah. Bodoh. Tuhan Yesus sudah datang. Harus percaya saja
pada Tuhan Yesus. Kamu ikut Misa tiap hari minggu, lalu kamu
juga masih potong ayam, lihat ayam punya usus, persembahkan
nasi dan daging dalam tenasak (cie goro’, hula ho’on, taka gol
inil) kepada roh-roh (pan muk gomo) dan sembah sujud pada
aitos ini’. Saya sebagai anak kecil, sama-sama dengan orang tua,
diam saja. Kami takut. Hanya satu orang yang bersuara waktu
itu, nenek Koi Matas, dia yang bilang, ‘Tuan, kami tidak tahu,
tapi kami punya nenek moyang sudah tinggalkan itu untuk
kami’. Tuan Barth jawab, ‘Koi, engkau sudah serani toh. Mau
percaya kayu dan batu ini atau percaya Tuhan Yesus? Ini salah,
percaya sia-sia pada pemali (por hege piar). Mari, kasih api. Saya
bakar kayu ini’. Bapak Koi Matas tidak berdaya dan diam saja.
Saya sebagai anak kecil, umur belasan tahun, lihat Bapak Koi
Matas teteskan air mata. Beberapa orang tua yang hadir, juga
ibu-ibu, menangis, menyesal dan takut. Tuan Barth belah patung
itu, ambil daun-daun kering dan bakar. Sesudah bakar, Tuan
Barth naik kuda dan pulang ke pusat Paroki di Nualain.
Kemudian saya dengar, Pak Bere Tallo, tokoh orang Buna’, Loro
(raja) Lamaknen, dari kampung Gewal, omong dengan Tuan
Barth sehingga aitos di kampung-kampung lain tidak dibakar

Tuan Barth, sapaan umat katolik di Lamaknen untuk Pastor mereka, nama
lengkapnya, Pater Ernestus Barth SVD.,(almarhum), seorang imam katolik asal
Jerman yang menjadi Pastor Paroki di Nualain, wilayah Lamaknen dari tahun
1949-1953 dan 1957-1985. Ia sangat fasih berbahasa Buna’ sehingga puluhan
tahun tetap dipertahankan menjadi Pastor di wilayah suku Buna’ ini.
(Informasi ini diperoleh dari P. Yustus Asa SVD, 69, seorang Imam asal desa
Lakmaras melalui wawancara jarak jauh, tanggal 13 April 2011).
11

76

lagi. Kalau tidak, di seluruh Lamaknen ini semua aitos pasti
dibakar habis.”

Gambar 14 Paulus Tes (71 tahun), saksi mata yang membantu dalam
pembakaran aitos (patung leluhur) oleh Pater Barth (seorang misionaris
dari Jerman) di kampung Lakmaras pada tahun 1957
Sumber: Eustachius Mali TaE

Masyarakat DHL mengalami perubahan dalam sistem religi mereka
sejak masuknya agama Kristen Katolik ke wilayah ini pada akhir abad
19. Masyarakat Suku Buna’ sudah mengenal Agama Kristen Katolik
sejak tahun 1875. 12 Pada tahun 1958, lima puluh tahun yang lalu
12 Keterangan ini berasal dari catatan dalam bahasa Belanda oleh Bruder Petrus
Laan SVD (Penghimpun), yang kemudian diterjemahkan oleh P. Herman
Embuiru, SVD (Penerjemah). Catatan itu dihimpun dalam buku sejarah Gereja
di Timor, tiga jilid. Tentang katolikisasi masyarakat DHL, dicatat dalam buku,

77

(dihitung dari tahun dimulainya penelitian ini, 2008) masyarakat Desa
Henes dan Lakmaras, kebanyakan sudah menjadi Katolik, terutama
anak-anak dan orang muda. Hanya orang-orang usia lanjut saja yang
belum dibaptis menjadi katolik.

Gambar 15 . Bosok (susunan batu) tempat meletakkan
persembahan kepada roh-roh dan arwah leluhur
(Sumber: Agrippina Agnes Bele)

Sesuai ingatan dan pengalaman penulis (waktu itu penulis
berumur sebelas tahun; lahir tahun 1947), pada tahun-tahun itu semua
anak kecil sudah dibaptis menjadi katolik dan kalau sudah masuk
Sekolah Rakyat, pada tingkat kelas dua SR (Sekolah Rakyat) waktu
anak-anak berusia delapan tahun, anak-anak diterima untuk menerima
komuni pertama atau sambut baru.
Sampai tahun 2008, waktu penelitian ini dilakukan, dua desa ini
seluruh penduduknya sudah memeluk Agama Kristen Katolik.
Penduduk dua desa ini seratus persen katolik, paling tidak secara
statistik. Biarpun begitu, ritus-ritus Agama Asli yang percaya kepada
Sejarah Gereja Katolik di Timor, Jilid I, hal.29-31. Dilaporkan bahwa pada
tanggal 19 Juli 1875, Pater Dijkman, seorang misionaris dari Belanda,
mengunjungi Desa Kewar di wilayah Lamaknen dan membaptis 3 orang anak
di Desa itu. Selanjutnya desa-desa lain pun ikut dikunjungi dan di-katolik-kan.

78

Hot Esen (Matahari Yang berada di Ketinggian), sebutan untuk Yang
Mahatinggi dan kepercayaan akan kekuatan arwah leluhur atau yang
oleh teolog Asia, Aloysius Pieris, S.J., (1988: 54-5) disebut ’cosmic
religion’ atau ’agama kosmis’ masih tetap dijalankan di samping ritusritus Agama Kristen Katolik.
Perubahan itu ditandai dengan upaya ‘penghapusan’
kepercayaan agama asli mereka, agama Hot Esen 13 dan diganti dengan
agama baru, Kristen Katolik yang dibawa oleh misionaris asing dari
Jerman dan Belanda. Salah satu upaya penggantian kepercayaan agama
asli dengan agama Kristen Katolik adalah dengan kekerasan seperti yang
diceriterakan oleh Paulus Tes dalam peristiwa pembakaran aitos (patung
leluhur) sebagai sarana ibadat kepercayaan kepada Hot Esen (agama
suku atau kepercayaan asli suku Buna’).
Ada juga upaya yang halus yaitu dengan mengajarkan inti ajaran
Kristen Katolik melalui guru agama asal suku Buna’ sendiri yang
menerjemahkan ajaran itu dari bahasa Melayu (Indonesia) ke dalam
bahasa Buna’. Perubahan dalam sistem kepercayaan ini berhasil secara
lahiriah tetapi tetap tidak berhasil secara bathiniah. Hal ini terbukti dari
mayarakat DHL yang sampai sekarang masih tetap berpegang pada
unsur-unsur kepercayaan agama asli di samping unsur-unsur
kepercayaan dalam agama baru, Kristen katolik.

Dalam seluruh tulisan ini penulis memakai istilah agama Hot Esen untuk
menamakan kepercayaan agama asli suku Buna’. Ada berbagai nama untuk
kepercayaan agama asli sebagaimana ditulis oleh Rachmat Subagya (Romo
W.J.M. Bakker, SJ) dalam bukunya Agama Asli Indoneia 1981, maka untuk
agama asli suku Buna’ di Timor ini nama yang terselubung ialah Hot Esen.
Maka nama yang paling tepat menuru penulis adalah agama Hot Esen.
Asalannya ialah orang-orang Buna’ mengarahkan seluruh kepercayaan mereka
kepada Hot Esen dengan arwah leluhur (bahasa Buna’: mugen tata bei mil) dan
roh-roh (pan muk gomo) sebagai perantara. Setiap doa asli suku Buna’ selalu
diawali dan diakhiri dengan sapaan kepada Hot Esen, yang secara lengkap ada
ungkapan, Hot ligi o le esen, artinya, “Matahari, yang terbuka matanya dan
bersinar di tempat yang tinggi”. Sebagai perbandingan, penamaan agama
Kristen, berawal di Antiokhia (Kis 11:26) karena Barnabas dan Saulus (Paulus)
berbicara tentang kepercayaan mereka akan Kristus Tuhan. Maka suku Buna’
yang percaya kepada Yang Mahatinggi dengan ungkapan Hot Esen, wajar dan
sah kalau kepercayaan asli mereka itu dinamakan Agama Hot Esen.
13

79

MANEPOU : ANAK MANTU
LAKI-LAKI YANG MALANG
Laki-laki dari suku Buna’, termasuk di DHL bernasib malang
seumur hidup. Waktu hidup sebagai seorang suami, laki-laki suku Buna’
berada di bawah kuasa perempuan, si-isteri. Kalau ia kematian isteri
dan menjadi duda, maka laki-laki ini akan kembali ke suku rumahnya
sendiri dan di sana menjadi orang asing lagi karena para ponakannya
belum tentu akrab dengan dirinya.
Pengalaman pria suku Buna’, termasuk di DHL umumnya sama.
Adat perkawinan dengan sistem yang mudah dan murah ialah: ton terel.
Laki-laki datang dan tinggal di suku rumah isteri. Di kalangan anggota
suku rumah isteri ini laki-laki itu disapa oleh saudara-saudari dari isteri
dengan sapaan ’kela’ artinya ipar. Orang tua si-isteri menyapa anak
mantu ini dengan sapaan ’manepou’ artinya laki-laki baru. Dia datang
dan tinggal sebagai orang baru yang statusnya hanya sebagai
penumpang karena tidak ada hak atas tanah garapan dan tidak ada hak
pula atas anak-anak kandungnya. Tentang nama anak ini ada
keterangan dari seorang warga desa Lakmaras, Eustachius Mali Tae yang
tinggal di luar desanya dan menetap di Atambua. Ia mempersunting
seorang puteri dari Belu Selatan, Maria Ancila Abuki (34) yang berasal
dari luar suku Buna’.
Anak-anak yang mengikui garis keturunan ibu, diberi nama
sesuai dengan nama leluhur dari suku ibu. Ada nama yang
khas untuk perempuan dan ada nama yang khas untuk lakilaki. Jadi nama ayah kandung tidak pernah boleh dipakai oleh
anak kandungnya sebab si ayah ini dari suku yang berbeda
dengan suku si isteri dan anak-anak yang dilahirkan. Ada hal
yang ganjil terjadi kalau keluarga yang ’modern’ dari suku
Buna’ memberikan nama ayah kepada anak-anaknya. Sebagai
contoh, seorang bapa keluarga bernama Yosef Bere. Nama
Bere ini adalah nama khas untuk laki-laki dan tidak ada satu
pun kaum perempuan asli suku Buna’ yang bernama Bere.
Bere itu nama laki-laki. Bukan nama perempuan. Dalam kasus
keluarga ’modern’ ini sang ayah memberikan nama kepada
anak perempuannya, misalnya, Maria Bere. Nama ini menjadi
lucu. Perempuan Buna’ bernama Bere. Aneh. Tetapi itulah
perubahan yang diterima sebagai perubahan baru. Tetapi di
kalangan suku Buna’ asli, nama perempuan tetap nama untuk

80

perempuan dan nama laki-laki untuk laki-laki. Pemberian
nama tidak boleh dari nama ayah ini karena ada alasan
mendasar yaitu anak itu anggota suku ibu dan bukan suku
ayah.

Kalau ada pertemuan keluarga, si manepou ini hanya menjadi
pendengar dan penonton, tidak ada hak suara. Ada ungkapan, manepou
itu di rumah isteri hanya berfungsi sebagai tasu hotol gomo (penjaga
kuali) yang bertugas untuk masak daging bagi anggota suku rumah yang
sedang berkumpul.
Kalau isteri meninggal dunia, laki-laki yang sudah menjadi duda
ini kembali ke suku rumah sendiri tanpa membawa apa-apa. Dia
berangkat dengan pakaian di badan, maksudnya tidak lagi menjadi
penggarap kebun milik suku isteri dan anak-anak kandungpun
ditinggalkan. Manepou yang malang. Dia memulai hidup baru dan kalau
kawin lagi, maka nasib yang sama seperti yang dialami dengan isteri
pertama akan dialami lagi. Dia menjadi kela (ipar) bagi orang-orang
baru dan menjadi manepou untuk bapa dan mama mantu baru.
Kebiasaan ini menyebabkan banyak laki-laki suku Buna’ cukup banyak
yang mengambil isteri dari luar suku sendiri.
Di pihak lain, laki-laki yang mendapat status sebagai kela atau
manepou yang selama perkawinan berlangsung statusnya lebih rendah
dari anggota suku rumah si isteri, tetap mempunyai status sebagai tuan
rumah di suku rumahnya sendiri. Kalau ada pertemuan keluarga di suku
rumahnya, laki-laki ini menjadi tuan rumah atau ada yang menjadi
ketua suku (deu gomo matas) dan memperlakukan suami-suami dari
para saudarinya dengan cara yang sama sebagaimana dia diperlakukan di
suku rumah isterinya.

81

Gambar 16. Pasangan isteri dan suami: Bernadeta Ili dan Yosef Mali. Isteri
dari Lakmaras, suku Gelaba’, suami dari Henes suku Maubesi. Suami berpindah
ke Lakmaras, kerjakan kebun milik suku Gelaba’, suku si-isteri.
(Sumber: Agrippina Agnes Bele)

Seorang suami atau bapa keluarga di kalangan suku Buna’
mempunyai tanggung-jawab untuk memperhatikan anak-anak dari
saudari-saudarinya. Dia menjadi baba atau na’i (paman) yang
mempunyai kewajiban memberikan jaminan untuk pendidikan para

82

ponakannya. Sedangkan anak kandungnya sendiri menjadi tanggungan
baba atau na’i mereka.
Ada suami atau bapak keluarga yang membesarkan anak-anaknya
dengan penuh tanggungjawab sambil menanggung pula beban
pendidikan para ponakannya. Ini dianggap berlebihan. Kalau si bapak
ini membesarkan dan memberikan pendidikan yang baik kepada anakanaknya sambil melupakan para ponakannya, maka laki-laki ini
dianggap tidak bertanggung-jawab. Karena anak-anak kandungnya itu
bukan warga sukunya, sehingga membesarkan dan mendidik anak
kandung sama arti membuat baik suku orang lain dan membiarkan
sukunya sendiri terlantar.
Kenyataan ini masih berlangsung sampai sekarang dengan alasan,
suku itu warisan leluhur, sedangkan isteri dan anak-anak itu hasil usaha
sendiri dalam mencari jodoh. Leluhur menuntut dari setiap laki-laki
dalam suku untuk menjaga nama baik dari suku sebagai warisan leluhur.
Laki-laki yang dianggap berhasil dan bertanggung-jawab adalah lakilaki yang dalam status manepou atau kela di suku rumah isterinya, tetap
membesarkan anak-anak dari saudari-saudarinya atau anak-anak dari
para ponakan puterinya yang adalah anggota suku sendiri.
Setiap laki-laki suku Buna’ dalam tradisi asli tidak terlalu
mengaharapkan para kela (ipar) untuk bertanggung-jawab penuh bagi
anak-anak mereka karena seorang pria suku Buna’ yakin bahwa para
iparnya itu mempunyai tanggung-jawab untuk ponakan-ponakan
mereka. Syukur kalau ada kela (ipar) yang memperhatikan juga anakanak kandungnya yang adalah ponakan dari laki-laki deu gomo (tuan
rumah). Mata rantai tanggung-jawab yang berat sebelah ini belum bisa
diputuskan sampai sekarang biarpun ada intervensi dari pihak
pemimpin Gereja Katolik dan Pemerintah. Masyarakat suku Buna’
masih merasa aman dengan sistem ini, hanya ada kecualian bagi para
pria suku Buna’ yang sudah berpendidikan. Mereka mulai merobah
sistem in dengan cara bertanggung-jawab penuh untuk membersarkan
dan mendidik anak-anak kandungnya sambil tidak melupakan
kewajiban untuk membantu para ponakan di suku rumah sendiri.
Dalam kaitan dengan sistem perkawinan yang melahirkan istilah
manepou ini, seorang isteri atau ibu rumah tangga suku Buna’
mempunyai kedudukan yang tinggi dan aman saja biarpun kalau pada
satu saat ia menjadi janda. Ia yang kehilangan suami, tetap berada di
83

suku rumahnya tanpa kehilangan apa pun, karena tanah garapan dan
anak-anak tetap berada di tangannya. Hubungan dengan keluarga suku
mendiang suami hanya sebatas kerabat biasa. Sedangkan para saudara
atau saudari dari mendiang suami mengganggap anak-anak dari
almarhum ini hanya sebatas gowo (anak) tanpa ada kewajiban untuk
menanggung biaya hidup mereka.

MA’AS : PACEKLIK RUTIN
Masyarakat DHL yang sekarang ini selalu mengeluh karena
mengalami paceklik atau rawan pangan secara rutin setiap tahun.
Sewaktu ditanya mengapa mereka mengalami kelaparan setiap tahun,
seorang warga dari desa Henes, Yohanes Mau (65 tahun) yang menjabat
pamong desa memberikan penjelasan pada Oktober 2010:
”Kami alami kelaparan terus menerus setiap tahun itu bukan
karena kami malas. Lihat kami punya tangan ini, kasar karena
pegang tofa. Kebun yang kami garap yah, itu-itu saja dari tahun
ke tahun. Kami tidak bisa perluas kebun karena kebun itu milik
suku, warisan leluhur. Tanah yang kami garap ini tidak subur
lagi. Hasil jagung tidak seberapa. Padi lebih tidak subur lagi.
Kami bergantung pada ubi-ubian dan kacang-kacangan. Untuk
makan sendiri tidak cukup apa lagi untuk jual. Yah, kalau kami
panen sekitar bulan April, kami makan dan sekitr Oktober atau
Nopember, makanan sudah habis. Jagung sisa untuk bibit dan
padi juga hanya untuk bibit saja. Untuk makan, tidak ada lagi.
Untung ada raskin (beras untuk orang miskin). Kalau tidak, kami
sudah mati semua”.

Tanah ladang sebagai tanah milik suku rumah, mar na’en,
luasnya sudah terbatas dan diolah dengan sistim tebas-bakar sehingga
memang semakin tidak subur. Jagung sebagai tanaman utama sering
tidak bisa dipanen karena rusak entah oleh angin atau oleh curah hujan
yang tidak menentu. Padi yang juga ditanam di kebun yang baru
dibakar, sering tidak berbulir karena alasan musim atau alasan hama.
Tanaman lain yang bisa dimakan hasilnya ialah tanaman tradisional
seperti ubi-ubian dan kacang-kacangan. Kacang tanah ditanam untuk
dijual. Tetapi ada kacang-kacangan lain yang ditanam untuk dikonsumsi
oleh penduduk. Kacang-kacangan itu ada macam-macam. Ho (kacang

84

panjang), tir (turis), pau (sejenis kacang) ada macam-macam mulai dari
yang beracun, pau lelo sampai kepada jenis yang tidak beracun, seperti
pau uor, pau loi. Semua jenis kacang-kacangan ini ditanam sebagai
tanaman sela di ladang tetapi hasilnya tidak seberapa. Lebih banyak
hanya sebagai penghias ladang seturut tradisi bercocok tanam yang
belum diperbaharui sampai sekarang. Ubi-ubian yang begitu banyak
macamnya selain ubi kayu dan ubi jalar, tidak ditanam tetapi dibiarkan
begitu saja tumbuh di ladang dan masyarakat sudah puas dengan hasil
yang ada. Ubi-ubian yang mudah tumbuh dan dapat menjadi kebutuhan
akan pangan tradisional ini sudah ditinggalkan secara perlahan-lahan
karena sudah digeser dengan pola konsumsi baru, yaitu beras padi yang
didatangkan dari luar pulau Timor.
Wilayah dua desa ini sebenarnya cukup luas untuk
dijadikan lahan pertanian yang ditanami segala macam tanaman
tradisional untuk memenuhi kebutuhan pangan. Tetapi arus
modernisasi yang mengalihkan perhatian penduduk dari ubi ke beras
malah ke roti membuat masyarakat DHL semakin tergantung pada
dunia luar dalam hal pangan dan juga dalam hal-hal yang lain seperti
sandang dan papan. Kain tenun asli sudah diganti dengan kain sarung
buatan Jawa. Piring dari kayu sudah diganti dengan piring porselin.
Periuk tanah yang biasa mereka buat dari tanah liat sudah diganti
dengan periuk besi. Atap rumah alang-alang sudah diganti dengan atap
seng. Uang yang mereka peroleh dari hasil ternak seperti kambing, babi,
sapi dan kerbau, habis dibelanjakan untuk membeli bahan makanan.
Ubi-ubian yang mereka dapat hasilkan sendiri sudah ditinggalkan. Jajan
anak-anak sudah beralih dari ubi ke roti yang didatangkan dari kota
Atambua yang berjarak 56 km dari Henes dan Lakmaras. Roti yang
dibakar di Atambua pada pagi hari sudah tiba di dua desa ini karena
pada musim kemarau arus transportasi cukup lancar dengan sarana bis,
bemo atau sepeda motor. Masyarakat mempunyai anggapan kalau
makan ubi dianggap kolot, miskin. Makan nasi dan roti baru dianggap
maju, modern, ikut zaman.
Tari-tarian asli pun sudah diganti dengan dansa a la barat. Lagu-lagu
barat dan lagu-lagu pop Indonesia sudah menggeser ragam lagu asli.
Masyarakat sudah meninggalkan jati diri dalam budaya mereka dan
diganti dengan budaya dari luar. Hal-hal inilah yang menjadi pokok

85

permasalahan, mengapa sampai perubahan itu terjadi yang nampaknya
ke arah negatif lebih banya daripada ke arah yang positif.
Watak dan perilaku satu kelompok masyarakat dapat dikenal
dengan baik melalui pengamatan kehidupan sehari-hari mereka.
Masyarakat desa Henes dan Lakmaras (DHL = Desa Henes dan
Lakmaras) hidup di pegunungan di pedalaman Pulau Timor yang
sehari-hari bekerja sebagai petani sederhana ditunjang dengan kegiatan
sebagai peternak tradisional. Kelompok masyarakat ini sedang
mengalami perubahan mengikuti perkembangan zaman. Kelompok
masyarakat DHL ini merupakan bahagian dari suku Buna’ yang
menghuni wilayah Timor Barat milik Indonesia dan Timor Leste
bahagian Timur.
Perubahan kehidupan masyarakat di pedalaman yang terkesan
kolot dan statis inilah yang akan dilihat melalui kebiasaan, perangai dan
watak dalam kehidupan sehari-hari, untuk diketahui sejauh mana
mereka berubah sambil menjaga tradisi leluhur mereka dan sejauh mana
mereka meninggalkan tradisi yang mereka warisi sejak turun-temurun.

EN BUNA’ : SUKU BUNA’
Masyarakat Suku Buna’ ini berbahasa Buna’ sebagai salah satu
bahasa yang unik karena kesederhanaan kata-katanya dan
kesederhanaan tata-bahasanya. Menurut James Fox (2009) bahasa Buna’
ini termasuk dalam rumpun Trans New Guinea yang mempunyai ciriciri yang sama dengan bahasa-bahasa di Papua Barat.
Kedua kelompok besar ini yang pertama dinamakan oleh suku
sekitar, Buna’ Ewi Belis (kata bahasa Buna’, Ewi Belis artinya orang
asing berkulit putih, maksudnya orang Portugal yang menjajah Timor
bahagian Timur) dan kelompok kedua di Timor bahagian Indonesia
dinamakan Buna’ Olandes (Olandes penglafalan kata Holandes,
maksudnya orang Belanda yang menjajah wilayah ini bersamaan dengan
penjajahan Belanda di Nusantara). Nama yang lebih lazim yang dipakai
oleh orang-orang Buna’ sendiri ialah: Buna’ Hot Taru (hot taru artinya
matahari terbit, sebelah Timur) untuk kelompok di Timor Leste dan
Buna’ Hot Topa (hot topa artinya matahari terbenam, sebelah Barat)
untuk kelompok yang menghuni Timor bahagian Indonesia.

86

Suku Buna’ ini secara umum mempunyai kekhasan dalam hidup
berkelompok. Pemimpin Suku Buna’ sekarang ini dikenal sebagai Loro
yaitu gelar setingkat di atas Na’i atau raja. Namanya Ignatius Kali. Di
kediamannya di Atambua, Bapak Ignatius Kali yang disapa oleh
masyarakat dengan sapaan Ama Loro ( bapa loro) didampingi isterinya
yang biasa disapa Eme Loro (mama Loro) memberikan keterangan
tentang suku Buna’ sebagai berikut:
Kami orang Buna’ ini dikenal pekerja keras. Kami hidup di
tanah yang tandus, di pegunungan. Kami kerja. Kami tidak
banyak bicara. Kami suka terus terang. Musuh ya musuh,
kawan yah kawan. Kami terkenal sebagai orang yang berani
karena lama hidup di perbatasan antara Timor Portugis dan
Timor Belanda. Kalau kami penakut, kami habis. Punah. Kami
punya leluhur bertahan karena berani. Kami perang ya perang.
Kami punya leluhur usir orang Melus dan tetap bertahan
sampai sekarang. Kami punya keluarga yang di Timor Timur
(sesama suku Buna’) selalu ada hubungan dan saling berkunjung
untuk urusan adat istiadat. Satu-satu kali ada gangguan, tapi itu
politik kotor dari orang-orang yang mau cari untung di
perbatasan. Ada pencuri yang suka ganggu keamanan di
perbatasan. Kalau orang biasa, tidak pernah ribut. Jadi kalau ada
pertumpahan darah di perbatasan, bukan permusuhan antara
sesama kami orang Buna’. Kami diperintah oleh adat istiadat
untuk tidak boleh saling mengganggu apalagi membunuh
sesama orang Buna’. Kami semua terikat oleh ikatan darah.
Orang lain juga kami tidak boleh ganggu sembarang. Itu ajaran
leluhur. Dan kami percaya Hot Esen (’Matahari yang Tinggi’,
gelar untuk Tuhan Allah) tidak setuju dengan perbuatan yang
menyusahkan orang lain. Kami buat susah orang, nanti orang
lain juga buat susah kami. (Wawancara langsung di Atambua,
tgl. 2 Januari 2011 ).

Seluruh suku Buna’ yakin bahwa mereka berasal dari satu
wilayah yang disebut ’Sina Mutin Malaka’. Daerah asal ini dituturkan
dalam setiap upacara adat dan diperkirakan tempat yang dimaksud itu
ada kemungkinan Malaka (Malaysia) atau Cina atau kedua-duanya.
Menurut ceritera lisan, kelompok suku Buna’ ini berpindah dari wilayah
daratan Asia Tenggara menuju pulau-pulau di sebelah Timur akhirnya
sampai ke pulau Timor bahagian Selatan. Dari Timor bahagian Selatan
87

ini terus berpindah ke pedalaman dan akhirnya menetap di wilayah
pedalaman Timor yang ada sekarang.
Dari masyarakat Suku Buna’ ini diambil kelompok masyarakat
desa Henes dan desa Lakmaras sebagai sampel dengan alasan, dua desa
ini merupakan satu kesatuan yang erat tali kekerabatannya dan
menggambarkan ciri masyarakat suku Buna’ secara keseluruhan. Dua
desa ini dipilih sebagai sasaran penelitian karena sebagai satu kesatuan
adat, dua desa ini sama-sama mengalami perubahan-perubahan
(Soerjono Soekamto, 2007, p. 299-300) dari tahun ke tahun. Masyarakat
di dua desa ini, Henes dan Lakmaras, selanjutnya disebut masyarakat
DHL diyakini sebagai satu rumpun yang berasal dari leluhur yang
bersaudara. Oleh karena itulah warga dua desa ini selalu mengatakan
bahwa kedua kelompok ini hanya dipisah oleh batas wilayah
pemerintahan, tetapi dari segi asal-usul dan adat-istiadat, keduanya
adalah satu.
Di wilayah Kabupaten Belu, masyarakat suku Buna’ ini
merupakan salah satu dari empat kelompok masyarakat yang menghuni
Kabupaten Belu. Dari segi besarnya jumlah anggota suku-suku ini dapat
dikemukakan berturut-turut: Suku Tetun merupakan suku yang
terbanyak anggotanya. Suku kedua adalah suku Buna’, suku ketiga
adalah suku Dawan (Manlea) dan suku keempat adalah suku Kemak.
Empat suku inilah yang menghuni wilayah Kabupaten Belu
yang mempun