Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Nurani Suku Buna' Spiritual Capital dalam Pembangunan D 902006009 BAB VI
BAB 6
KEPEMIMPINAN LOKAL
DAN PEREKONOMIAN DESA
Masyarakat DHL mengalami keteraturan dan ketentraman
dalam hidup harian karena ada struktur kekuasaan lokal yang mereka
yakini sebagai warisan leluhur. Dalam struktur kekuasaan secara adat
ini mereka mempunyai rasa taat dan hormat yang mendalam kepada
karena orang-orang yang menjadi pemimpin mereka karena berasal
dari suku-suku rumah bangsawan (na’in) sesuai adat leluhur.
Pola hidup dan pengaturan mata pencaharian, bertani dan
beternak tertata berdasarkan tata aturan yang sudah berlaku turuntemurun. Pertanian dan peternakan secara tradisional ditata
berdasarkan kebiasaan yang berintikan keselarasan hidup antara
masyarakat manusia (en gubul guzu = manusia berkepala hitam /
masyarakat) dengan alam sekitar (pan o muk = langit dan bumi) di
bawah tuntunan arwah leluhur (tata bei mil), roh-roh penghuni langit
dan bumi ( pan muk gomo ) dan Yang Maha Tinggi (Hot Esen).
Dalam Bab ini dikemukakan uraian tentang masyarakat suku
Buna’ di DHL yang hidup dalam keterikatan atas dasar tata
kepemimpinan lokal dan diuraikan pula upaya pengaturan
perekonomian desa secara bersama dalam tradisi warisan leluhur.
TISI’AN-TAKNE’AN:
STRUKTUR KEPEMIMPINAN LOKAL
Ada dua sistem pemerintahan berjalan bersamaan di DHL.
Sistem pemerintahan adat sebagai kepempinan lokal dan sistem
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan Republik
149
Indonesia. Pemerintahan adat masih berlaku dalam arti na’i (raja) masih
ada dengan seluruh perangkatnya. Pemerintahan desa sesuai Undangundang baru berlaku pada tahun 1966 sampai sekarang.
Pemerintahan adat (muk ukon = penguasa dunia) mempunyai
struktur sesuai adat dan itu dihormati dalam urusan adat oleh segenap
anggota masyarakat sebagai hutun renu (rakyat jelata). Strukturnya
terdiri dari Na’i, Petor, Tamukun (Temukung). Tiga lapisan ini, Na’i
berasal dari uma-metan dato pana (suku bangsawan tinggi perempuan),
Fetor berasal dari uma-metan dato mone (suku bangsawan tinggi lakilaki) dan Tamukun berasal dari deu dato (suku bangsawan biasa). Status
’suku bangsawan tinggi perempuan’ lebih tinggi dari ’suku bangsawan
tinggi laki-laki’ atas dasar adat keturunan yang berlaku yaitu garis
matrilineal, keturunan dari garis si-ibu yang diakui sebagai pewaris
kekuasaan. Di bawah tiga tingkat kepemimpinan struktural ini, Na’i,
Fetor dan Tamukun, ada tiga jabatan fungsional secara adat sebagai
pelaksana khusus yaitu kabu, kapitan dan makle’at.
Dalam garis komando, di bawah Tamukun ada Dato Matas (tuatua adat) yang berfungsi sebagai penasehat dalam pelaksanaan hukum
adat di desa. Di lapisan paling bawah dari struktur kepemimpinan ini
ada deu gomo matas (ketua suku) yang memimpin secara langsung
semua anggota suku (deu gomo) masing-masing. Semua deu gomo
(anggota suku) inilah yang terhimpun dalam satu kesatuan sebagai
anggota masyarakat atau renu (rakyat).
Pelaksana khusus: Kabu (pemanggil orang), Kapitan (pengurus
cendana), Makle’at (pengurus kebun). Tiga jabatan ini pun berasal dari
suku yang sudah dikenal dalam struktur adat. Semua jabatan di atas ini
tidak bisa dijabat oleh orang dari suku lain. Dalam struktur
pemerintahan desa, orang-orang ini diserap juga dalam status sebagai
Kaur (Kepala Urusan) dan Pamong serta kepala-kepala Dusun.
Perpaduan ini dilaksanakan untuk tetap memberdayakan ketokohan
orang dalam masyarakat desa yang disesuaikan dengan hirarki dalam
urutan rumah suku (deu hoto).
Perekonomian masyarakat sangat erat bergantung pada
pemerintahan adat dan pemerintahan desa ini yang secara bersama
menata kegiatan masyarakat di bidang pertanian dan peternakan sebagai
upaya peningkatan pendapatan masyarakat desa.
150
Na’i
Fetor
Tamukun
Datomata
Datomata
Kabu
Makle’at
Kapitan
Datomata
Datomata
Datomatas
Deu’Gomom
atas
Deu’Gomom
atas
Deu’Gomom
atas
Deu’Gomom
atas
Deu’Gomo
En Gubul Guzu (Rakyat)
Deu’Gomo
(anggota
suku)
Gambar 28.
Deu’Gomo
(anggota
suku)
Deu’Gomo
(anggota
suku)
Deu’Gomo
(anggota
suku)
Deu’Gomo
(anggota
suku)
Struktur Kepemimpinan Lokal Suku Buna’ di Desa Henes dan
L k
Dalam pengurusan pemerintahan yang berkaitan dengan dari
pemerintah di tingkat lebih di atas, Kecamatan dan Kabupaten,
pemerintahan desalah yang berperan. Dalam uraian ini dikemukakan
bagaimana dua hal ini berjalan beriringan, pemerintahan desa dan
perekonomian desa di DHL.
151
KEPALA DESA
Sejak tahun 1966 berlaku pemerintahan desa di bawah
pimpinan seorang kepala desa30. Sebelum tahun 1966, masyarakat desa
Henes dan Lakmaras merupakan dua ke-na’i-an, dalam arti, dua wilayah
ini masing-masing dikepalai oleh seorang Na’i (raja). Suku rumah yang
berstatus Na’i (raja) itu disebut uma-metan (rumah bangsawan tinggi).
Di desa Lakmaras, uma-metan itu bernama Deu Gubul dan di Henes ada
uma-metan disebut Hol Lapit. Di Lakmaras, yang menjadi Na’i (Raja)
adalah salah seorang laki-laki dari suku Deu Gubul. Pada tahun 1966,
Na’i (raja) Lakmaras, bernama Yohanes Mau dan dia inilah yang
ditambah statusnya menjadi Kepala Desa sedangkan sebagai status Na’i
tetap diakui secara adat. Di Henes, yang menjadi Na’i adalah seorang
laki-laki dari suku Hol Lapit dan waktu itu yang menjadi Na’i adalah
Martinus Dasi dan dia memperoleh status tambahan sebagai kepala desa.
Dua Na’i ini dalam status sebagai kepala desa, berada di bawah
wewenang Camat yang berkedudukan di Weluli dan sebagai Na’i,
berada dalam satu kesatuan dan bukan bawahan dari seorang Loro yang
berkedudukan di Kewar. Pengakuan terhadap Loro ini masih ada
sampai sekarang.
30
Ketentuan ini berlaku dengan SK Bupati KDH Tk. II Belu, tgl. 31 Maret
1966, No.Pem.6/1966 tentang perubahan struktur pemerintahan dari ke-na’i-an
kepada kedesaan. Mulai saat itu seorang Na’i (raja) mempunyai dua fungsi yaitu
sebagai pemimpin adat dan pemimpin bidang pemerintahan.
152
Gambar 29. Loro Lamaknen Ignatius Kali bersama Isterinya
(Sumber: Eustachius Mali Tae)
Status dan jabatan Loro untuk suku Buna’ di Lamaknen sekarang
ini berada di tangan Bapak Ignatius Kali yang sehari-hari bertempat
tinggal di Atambua bersama keluarganya. Waktu ada urusan adat baru
Loro Lamaknen ini pergi ke Lamaknen.
Ada dualisme dalam pemerintahan desa dan kecamatan waktu
itu. Berhubung Loro waktu itu yang dijabat oleh Bapak A.A. Bere Tallo
dilantik menjadi Bupati Kepala Daerah Tingkat II Belu, maka untuk
meningkatkan wibawa camat, kepada camat itu diberi gelar adat, PD
Loro (Pejabat Loro) Lamaknen. Jabatan camat waktu itu dijabat oleh
seorang Guru Kepala SD, Bapak Gabriel Y. Asy, yang memang
statusnya dalam adat dia adalah seorang yang berasal dari suku
bangsawan maka wajar kalau dia menyandang jabatan Pejabat Loro
Lamaknen. Dia dapat bertindak dalam dua status: kalau mau
mengundang Na’i, dia mengundang dalam status PD Loro, yang
bertindak atas nama Loro yang sesungguhnya, yaitu Bapak A.A. Bere
Tallo yang sebagai Bupati berkedudukan di Atambua sebagai ibukota
Kabupaten Belu. Kalau mau mengundang kepala desa, maka status dan
wewenang yang dipakai ialah kepala kecamatan.
153
Di desa Henes dan Lakmaras jabatan Na’i, Fetor, Tamukun,
Kabu, Kapitan, Makle’at tetap berada di tangan orang-orang sesuai
sukunya masing-masing. Di desa-desa lain di seluruh Kecamatan
Lamaknen yang adalah wilayah suku Buna’, keadaan yang sama tetap
diberlakukan.
Setiap suku ada ketua suku dan mereka inilah orang-orang yang
bertanggung-jawab atas semua anggota suku. Para pejabat, tingkat
paling bawah: makle’at, kapitan dan kabu adalah pejabat yang
mendengar langsung berbagai usulan atau keluhan dari para ketua suku.
Pejabat di tingkat lebih tinggi: tamukun, petor dan na’i tunggu
mendengar laporan dari makle’at, kapitan dan kabu. Struktur
kepemimpinan berdasarkan adat ini sangat kuat karena didasarkan atas
keyakinan bahwa orang-orang yang menjabat itu dari suku yang sudah
diwariskan oleh leluhur. Kalau leluhur dilibatkan, maka dengan
sendirinya roh-roh dilibatkan dan semua itu diyakini berasal dari Tuhan
(Hot Esen). Dalam bahasa adat, status bangsawan ini berasal dari Tuhan,
Hot Esen na sile’en (Matahari Yang Tinggi yang turunkan). Dalam
urusan masyarakat, perintah para pejabat mulai dari yang rendah sampai
yang paling tinggi, Na’i, sulit dibantah. Para pejabat ini pun terikat oleh
satu keyakinan, kalau berani menyusahkan anggota masyarakat yang
dalam struktur pemerintahan desa ini disebut renu (rakyat), leluhur
akan marah, roh-roh akan marah dan Tuhan pun akan marah. Kalau
seorang pejabat bertindak salah, maka akan terucap ungkapan kutuk
dari mulut rakyat, Hot Esen ita mal ni’ (Tuhan tidak memihak engkau).
Para pejabat, termasuk Na’i sangat takut akan sumpah masyarakat ini.
Pejabat sebagai pemimpin yang melindungi rakyat benar-benar
didasarkan atas keyakinan pada campur tangan dunia roh ini.
Kalau seorang anggota masyarakat dalam status sebagai rakyat
berbuat salah maka ada ketua-ketua suku bersama para pejabat adat
untuk mengadili orang yang bersalah itu. Bermacam-macam ganjaran
sudah ditentukan secara adat. Kalau rakyat yang bersalah, denda lebih
ringan dari pejabat yang bersalah. Pejabat, terutama Na’i (Raja) kalau
bersalah maka seluruh pejabat di bawahnya bersama semua ketua suku
mengadakan musyawarah dan diberi sanksi adat yang berat sekali.
Dengan ketentuan adat yang sebegitu ketat maka pada masa Na’i
berkuasa, urusan kemasyarakatan umumnya berjalan aman karena
154
rakyat (renu) taat itu berdasarkan ketakutan pada sanksi manusia dan
lebih lagi karena ketakutan pada sanksi dari leluhur dan roh-roh.
Ada gejala perubahan yang sangat menyolok sewaktu status
pejabat adat dialih-statuskan ke struktur pemerintahan desa. Dalam
penataan pemerintahan desa ternyata kepandaian dan ketrampilan
memerintah saja tidak cukup. Harus ada kewibawaan yang sudah
tertanam dalam tatanan masyarakat desa. Kewibawaan ini tidak bisa
diperoleh dalam waktu pendidikan di luar desa seperti yang dialami
oleh dua orang kepala desa sekarang ini, di Henes kepala desa dijabat
oleh Linus Asa dari suku rumah Maubesi dan di desa Lakmaras kepala
desa dijabat oleh Anus Lou dari suku rumah Sosowili’. Dua orang ini
berasal dari suku yang bukan suku uma metan, suku Na’i atau suku
rumah yang dikenal sebagai suku turunan raja (na’i). Maka apa
komentar dari salah satu nara sumber di desa Lakmaras yang tidak mau
ditulis terang namanya dengan alasan kerukunan di desa? Narasumber
ini menjelaskan pada tgl.1 April 2011:
Pemilihan kepala desa secara langsung ini memang baik dari
segi demokrasi. Tapi ada hal mendasar lain yang perlu
dipertimbangkan. Pertama, masyarakat di desa ini rata-rata
delapan puluh lima persen berpendidikan SD ke bawah.
Mereka belum bisa berpikir kritis. Mereka ikut perasaan lebih
banyak dari pada pertimbangan akal-budi yang sehat. Mereka
hidup sehari-hari dengan sistim malu-ai, dasa’-rak (hubungan
suku dan hirarki dalam suku) dan tiba-tiba di pucuk pimpinan
desa ditempatkan orang yang bukan dari suku turunan raja
(na’i). Setengah mati. Wibawa sebagai kepala desa itu tidak
hanya berdasarkan kemampuan otak. Keturunan juga masih
dipertimbangkan oleh masyarakat. Sekarang ini berbagai
urusan di desa kurang berjalan. Orang tidak taat. Mau pukul
mereka? Tidak mungkin. Mereka kehilangan pegangan, tokoh
yang berwibawa tidak dipakai. Di desa itu biarpun orang biasabiasa, tetapi harus diperhatikan struktur adat juga. Kalau
masyarakat sudah berpendidikan tinggi, yah, waktu itu
mungkin demokrasi langsung bisa diterapkan. Pemilihan
kepala desa secara langsung dengan sistim terjun bebas, tiap
orang boleh mencalonkan diri dan dicalonkan, belum bisa
ditrapkan di desa seperti Lakmaras ini. Persaudaraan,
kekerabatan yang mendasar di desa dihancurkan melalui
pemilihan kepala desa secara langsung ini.
155
Pemerintahan di desa, khususnya jabatan kepala desa di
Lakmaras ternyata belum bisa dilaksanakan dengan sistim demokrasi
melalui pemilihan secara langsung. Hal yang sama terjadi juga di desa
Henes. Kepala desa yang sekarang, Linus Asa, memang berasal dari suku
bangsawan, tetapi bukan bangsawan tinggi yang behak menjadi Na’i
(raja) yaitu suku rumah na’i, Hol Lapit. Kepala desa sendiri baik di
Lakmaras maupun di Henes berpendapat, rakyat kepala batu, tidak mau
taat. Kalau tidak dengan kekerasan, tidak bisa. Ungkapan ini
menggambarkan ketaatan rakyat yang semu karena tidak didasarkan
pada kesadaran yang tertanam dalam lubuk hati yang terdalam yaitu
hukum adat. Sebagai contoh kasus yang jelas, pemilihan kepala desa di
Lakmaras, diselenggarakan pada bulan Agustus tahun 2007. Dari suku
uma metan (suku raja) calon dua orang sarjana, Ibu Aquilina Mutik
(kepala desa waktu itu) dan pamannya Yosef Bere Rudji. Dari suku yang
bukan bangsawan, Sosowili’, tampil calon, Anus Lou, berpendidikan
SMP. Pada saat pencoblosan, suara terbagi menjadi tiga: dari total suara
yang sah, 562 suara, Anus Lou mendapat 213 suara; Aquilina Mutik
(inkumben), mendapat 187 suara; Yosef Bere Rudji, mendapat 162
suara. Dengan sendirinya pemilihan dimenangkan oleh Anus Lou. Dua
calon dari suku bangsawan tinggi ini mengumpulkan suara 187 + 162 =
349 suara. Pihak yang menang ini berpendapat: Kami pilih kepala desa,
bukan na’i (raja). Kami tidak merampas kamu punya status na’i. Kamu
punya na’i itu tetap. Kita hargai. Adat ya adat, demokrasi yah
demokrasi. Kami pakai kami punya hak suara.
Secara matematis, calon terpilih mempunyai pengikut dari total
562 orang, 213 orang dan 349 yang tidak memilih dirinya tetap
beranggapan bahwa hasil pemilihan itu hanya suatu kenyataan yang
dipaksakan berdasarkan kelebihan suara. Dan memang untuk desa
Lakmaras, kepala desa terpilih ini yang dilantik pada bulan Agustus
2007 sampai sekarang masih berusaha keras untuk menanamkan
pengaruh. Namun kesan yang muncul, pemerintahan desa berjalan di
tempat dan masyarakat sebahagian besar bersikap apatis. Masyarakat
terpecah menjadi dua kelompok besar. Kelompok yang memihak pada
kepala desa terpilih berpendapat bahwa pembangunan di desa berjalan
baik dan aman. Yang mengatakan bahwa pembangunan di desa berjalan
di tempat itu adalah suara-suara dari orang-orang yang kecewa karena
kalah dalam pemilihan kepala desa.
156
Kenyataan yang ada, kepala desa hasil pemilihan menanggung
perasaan anti-pati secara terselubung atau terbuka dari kelompok yang
tidak memilih dirinya melebihi lima puluh persen dari orang dewasa
dalam desa. Dan perasaan tidak puas dengan kepala desa terpilih dari
pihak yang tidak memilih ini tetap berlangsung dan ada kemungkinan
sampai akhir masa jabatannya tahun 2013 nanti, perasaan itu masih
akan terbawa. Secara umum masyarakat yang delapan puluh lima persen
berpendidikan tingkat SD ke bawah cenderung mengandalkan perasaan
dari pada nalar. Akal sehat kurang digunakan dalam menganalisa
keadaan sekitar. Hal rasa sakit hati ini diperparah oleh sistim
pemerintahan di desa dengan sistim demokrasi, pemilihan secara
langsung. Dampak negatif lebih besar dari dampak positif bagi
pembangunan di desa.
PEREKONOMIAN DESA
MAR NA’EN : KEPEMILIKAN TANAH
Penduduk desa Henes dan Lakmaras hidup dari bertani dan
beternak secara tradisional. Tanah yang tandus dan berbukit-bukit
dengan iklim tropis, musim kemarau delapan bulan (April – November)
dan musim hujan hanya empat bulan (Desember – Januari – Februari Maret), kurang cocok untuk pertanian. Pengolahan ladang dengan
sistim tebas-bakar masih tetap berlangsung sampai sekarang. Sumber air
untuk pengairan hanya sedikit dan dapat mengairi lahan sekitar tidak
lebih dari sepuluh hektar.
Dua desa ini mempunyai adat yang sama dalam pengaturan
lahan pertanian. Tata-guna tanah di wilayah dua desa ini dibagi atas tiga
: tanah ladang, tanah padang gembalaan dan tanah hutan adat. Tanah
ladang itu dimiliki oleh suku dan bukan milik perorangan. Tanah
padang ini milik umum dan diperuntukkan bagi ternak besar dan kecil
tetapi semakin sempit karena mulai dipakai juga untuk kebun milik
pribadi. Keadaan yang sekarang sedang mencemaskan ialah tanah
padang gembalaan semakin sempit sehingga hutan adat pun mulai
dirambah untuk dijadikan ladang. Sistem kepemilikan tanah ladang di
dua desa ini sama dengan sistem di kalangan suku Buna’ pada umumnya
di wilayah dua kecamatan, Lamaknen dan Lamaknen Selatan. Tanah itu
157
milik suku dan hanya keluarga tertentu saja yang memiliki tanah
pribadi hasil perolehan dari mengolah tanah padang menjadi tanah
milik pribadi.
Contoh yang jelas dikemukakan oleh dua informan di bawah ini
yang diwawancara pada tahun 2010 dan 2011. Yang pertama, ialah:
Yosef Mali dan yang kedua, Theodorus Bere Laku’. Yang pertama,
Yosef Mali, bapak keluarga, warga desa Henes, umur 43 tahun, kawin
dengan Bernadetha Ili Uzu, warga desa Lakmaras, umur 42 tahun. Yosef
Mali anggota suku rumah Maubesi di Henes, isterinya anggota suku
rumah Gelaba’ di Lakmaras. Mereka mempunyai empat orang anak.
Mereka mengungsi ke kota, Atambua sejak empat tahun yang lalu.
Selama tinggal di desa Lakmaras, mereka dua sebagai suami isteri
menggarap tiga bidang ladang milik suku Gelaba’, suku isteri. Yosef
Mali tidak menggarap ladang mereka dari suku sendiri, Maubesi, karena
ladang-ladang milik suku Maubesi itu digarap oleh ipar-iparnya, para
suami dari saudari-saudarinya. Setiap bapak keluarga di desa Henes dan
Lakmaras, menggarap kebun atau ladang milik suku si isteri. Waktu
ditanya mengapa ke Atambua, meninggalkan kampung halaman, Yosef
Mali menjawab bahwa tiga ladang yang mereka kerjakan itu dari tahun
ke tahun hasilnya tidak cukup untuk dimakan setahun. Tiap tahun
alami kelaparan terus. Setiap tahun, hanya garap dua ladang yang
luasnya masing-masing tidak lebih dari satu hektar, tanahnya berbukitbukit, tanam padi sedikit dan lebih banyak jagung. Tiga ladang ini
dikerjakan dengan cara berpindah-pindah. Tahun pertama lading yang
pertama semak-beukarnya ditebas dan dibakar, sambil mengusahakan
ladang kedua yang tahun sebelumnya digarap dan sudah kurang subur.
Tahun kedua, ladang ketiga digarap dengan sistim tebas bakar, sedang
ladang yang pertama ditinggalkan agar pohon-pohon seperti gala-gala
(turi) tumbuh selama dua tahun untuk ditebang dan dibakar pada tahun
ketiga. Tiga bidang tanah ini dikerjakan secara bergilir, yang satu
dibiarkan dibiarkan untuk ditumbuhi semak belukar sambil dua yang
lain dikerjakan dengan pengertian, satu kebun baru (mar tip) dan satu
kebun lama (mar kolun). Hasil yang baik diharapkan dari kebun baru
karena baru selesai dibakar semak-semak dan pohon gala-gala (turi) dan
pada tahun kedua sudah tidak subur lagi tapi masih menghasilkan
jagung biarpun bulirnya kecil-kecil. Padi hanya ditanam di kebun yang
baru digarap dengan sistim tebas bakar. Kebun ini disebut mar tip
158
(kebun baru). Kebun atau ladang yang dikerjakan pada tahun kedua,
disebut mar kolun (kebun rumput) karena pohon-pohon perdu seperti
gala-gala yang tua sudah ditebas dan dibakar pada tahun sebelumnya
dan yang tumbuh hanyalah gala-gala yang masih kecil dan lebih banyak
rumput dan belukar yang tumbuh dan rumput dengan belukar ini
dibersihkan lalu tanah yang tidak lagi disuburkan dengan pembakaran
ini masih menumbuhkan jagung dan ubi-ubian serta kacang-kacangan
tetapi tidak subur seperti di mar tip (kebun baru).
Menurut Yosef Mali dan isterinya hasil tiga ladang ini tidak
memuaskan dan tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk makanan
sekeluarga selama setahun. Karena itulah mereka tinggalkan ladangladang itu dan mengungsi ke kota. Lalu ditanya, tiga ladang itu siapa
yang kerjakan sekarang? Mereka menjawab, disewakan kepada orang
dari kampung tetangga dan mereka bagi hasil, setengah – setengah.
Waktu ditanya, kenapa tidak usahakan tanaman umur panjang di tiga
bidang tanah itu, dijawab oleh Yosef Mali dengan ungkapan:
“Saya ini hanya manepou (laki-laki baru) jadi buat apa
tanam tanaman umur panjang. Saya hanya kerja untuk
makan. Nanti saya tidak bisa buat apa-apa kalau ketua
suku bilang saya dengan isteri saya harus garap bidang
tanah yang lain”.
Atas dasar itulah Yosef Mali dan isterinya dengan cukup mudah
meninggalkan tanah garapan mereka tanpa banyak memikirkan hasil
yang ada, sebab tiga bidang ladang itu tidak ada tanaman umur panjang
yang bisa diharapkan sebagai penghasilan tambahan. Tiga ladang yang
dikerjakan secara bergantian itu benar-benar hanya untuk menghasikan
padi dan jagung yang cukup untuk dimakan hanya setengah musim, lalu
selebihnya tidak ada lagi persediaan makanan untuk keluaga. Hal ini
menyebabkan ekonomi keluarga mereka tetap tidak berkembang dari
tahun ke tahun. Keprihatinan tentang kehidupan ekonomi keluarga
inilah yang mendorong keluarga Yosef Mali untuk berpindah ke kota
dan di kota hanya hidup dengan berjualan sayur dan kadang-kadang
mencari tambahan dengan ‘ojek’. Yosef Mali menambahkan,
“Kami ada empat anak, kalau di kampung terus, tidak bisa buat
apa-apa. Uang tidak masuk tiap hari seperti di kota ini. Kami
memang pernah ikat sapi kopel, pembahagian dari pemerintah
159
untuk digemukkan, tapi itu pun sangat sulit karena pakan
ternak tidak ada. Kami cari daun-daunan untuk makanan sapi di
kebun, dan sangat terbatas. Musim kemarau cari rumput ini
seperti cari emas. Pelihara sapi menjadi beban yang merugikan
dan tidak menguntungkan apa-apa. Mau biayai anak sekolah
bagaimana dengan keadaan seperti itu. Kami ke kota ini karena
di kampung memang benar-benar susah hidup sebagai petani.
Untuk makan saja tidak cukup, apalagi untuk bayar pajak dan
untuk pendidikan anak. Kadang-kadang sakit dan dapat uang
dari mana untuk beli obat. Di kota ini, dengan jualan sayur,
dengan ojek, biar sedikit-sedikit, tapi tiap hari uang masuk. Di
kampung, kita tunggu hasil apa? Makan saja tidak cukup apalagi
untuk jual. Paling-paling ternak ayam, tapi ayam juga bisa laku
satu dua ekor, dan soal lagi, untuk beli makanan ayam juga uang
susah. Pelihara babi, sama saja, makanan babi sulit didapat. Ubi
kayu yang harus untuk babi, kita manusia juga butuh untuk
makan. Jadi buat ini susah, buat itu susah. Begitulah hidup di
kampung.”
Keadaan yang digambarkan Yosef Mali ini rata-rata dialami sama oleh
sesama petani yang lain di desa Henes dan Lakmaras. Gambaran lain
dikemukakan oleh Theodorus Bere Laku’ , seorang sarjana muda,
pegawai negeri sipil di kantor kecamatan Lamaknen Selatan. Theodorus
Bere Laku’ (umur 47 tahun, lahir tanggal 31 Desember 1963 ) berasal
dari desa lain, Makir wilayah Kecamatan Lamaknen. Dia berasal dari
suku lain dan datang sebagai manepou di suku rumah isterinya,
Aquilina Mutik, warga suku Maligatal. Dia tinggal di desa isterinya,
desa Lakmaras dan sebagai seorang yang datang dari suku lain, dia
menggarap ladang milik suku isteri. Sebagai seorang berpendidikan
sarjana muda dari Akademi Pemberdayaan Masyarakat Desa, dia tidak
berdaya terhadap tuntutan adat, di mana dia harus menggarap ladang
milik suku isteri. Dia menjelaskan dalam wawancara tgl. 30 Maret 2011:
Saya dengan isteri harus cari tempat yang lain di luar tanah
milik suku isteri saya. Kami berusaha mendekati orang dan
membebaskan tanah padang gembalaan di luar tanah suku dan
kami jadikan milik kami. Kami dua bersama isteri sudah
bangun rumah kecil di tanah milik pribadi kami ini dan kami
sudah bebas dari ladang milik suku. Saya tidak kerjakan lagi
ladang itu karena memang kurang subur apalagi mau tanam
160
tanaman umur panjang juga belum tentu dinikmati oleh anakanak saya. Sebab tanah suku ini sewaktu-waktu bisa beralih
tangan ke anggota yang lain dalam suku. Itu hak ketua suku
untuk mengatur dan kita laki-laki sebagai manepou ini tidak
ada hak apa-apa.
Untuk urusan tanaman milik umum di tanah milik umum, ada
petugas adat, makle’at, dan khusus untuk mengurus tanaman cendana,
ada petugas khusus dikenal dengan jabatan kapitan. Dua petugas adat
ini sekarang difungsikan sebagai aparat desa yang bertugas sebagai
pengawas tanaman milik umum.
Seorang pejabat di Kantor Daerah Kabupaten Belu yang berasal
dari Lamaknen, wilayah suku Buna’ ini, bernama Drs. Yan Letto 31
memberikan penjelasan tentang masalah pemilikan tanah di Lamaknen,
termasuk di desa Henes dan Lakmaras sebagai berikut:
Memang di Lamaknen ada kasus khusus tentang kepemilikan
tanah. Sampai sekarang tidak dibuat sertifikat tanah, karena
tanah ladang di sana milik suku, bukan milik perorangan. Lakilaki yang datang kawin dengan perempuan dari satu suku,
menggarap tanah milik suku dari si-isteri itu. Petani dalam
status seperti ini, yang hanya penggarap dan bukan pemilik,
rasa tanggung-jawabnya sangat tipis. Paling-paling dia garap
tanah itu dan makan hasilnya, tapi untuk pemeliharaan jangka
panjang, tidak ada pikiran ke arah itu. Setiap laki-laki yang
adalah kepala keluarga, mempunyai tugas dan tanggung-jawab
untuk kebutuhan tanah milik sukunya, tanpa menggarap
langsung tanah milik suku sendiri. Tanah milik suku,
dikerjakan oleh saudari-saudari perempuan anggota suku
bersama suami-suami mereka yang berasal dari suku lain. Dan
secara adat, kawin masuk (ton terel), jadi kalau seandainya
isteri meninggal, laki-laki itu pulang ke sukunya tanpa
membawa apa-apa. Kebun yang dia garap bersama isterinya,
dia tinggalkan dan tidak boleh petik apa-apa lagi di tanah itu
sebab bukan miliknya, biarpun dia yang tanam. Misalnya
mangga atau kemiri, kalau isterinya sudah meninggal, dia
31 Yan Letto
, umur 57 tahun, seorang cendekiawan berpendidikan sarjana asal
suku Buna’. Dia lahir tanggal 14 Juli 1954 di Kewar, Kecamatan Lamaknen,
seorang pensiunan PNS, tinggal di Atambua memberikan penjelasan dalam
wawancara tanggal 30 Maret 2011.
161
paling-paling hanya nonton saja dan satu buah pun tidak akan
diberikan lagi kepada dia. Dan dia sendiri juga malu untuk
datang lagi ke kebun itu karena memang bukan miliknya. Dia
ada hak atas kebun milik suku sendiri, tetapi kebun-kebun itu
juga sulit dia nikmati hasilnya selama saudarinya atau saudarisaudarinya bersama suami-suami mereka masih menggarap
tanah-tanah tersebut. Seorang laki-laki suku Buna’ yang
menjadi duda, menjadi laki-laki paling kesasar di dunia ini
karena dia tidak lagi berhak atas tanah yang digarapnya selama
betahun-tahun. Bukan hanya tanah, anak-anak kandungnya
pun dia tingalkan karena anak-anak itu adalah anggota suku
isterinya. Sebaliknya, para ponakan pun cukup jauh dari
dirinya biarpun mereka itulah yang sebenarnya harus
mengurus dirinya karena mereka adalah anggota suku yang
sama. Biar dia sudah kembali dan tinggal di rumah sukunya
sendiri, tapi dia menjadi orang yang tidak bermilik pribadi apaapa kecuali sedikit uang atau binatang piaraan yang dia peroleh
dan bawa pulang ke rumah sukunya. Jalan ke luar, mungkin
dia harus berusaha kawin lagi supaya ada lagi harga diri tapi
berarti dia mulai lagi dari nol.
Keterangan dari Pak Yan Letto ini memberikan gambaran yang
sangat suram tentang status laki-laki sebagai tulang punggung
perekonomian desa di kalangan suku Buna’. Hal ini terjadi karena
sistem perkawinan asli, sul suli’ dara, meminang dan membawa
perempuan sebagai isteri ke suku sendiri oleh laki-laki sudah
ditinggalkan dan diganti dengan perkawinan dengan sistem ton terel,
laki-laki meninggalkan sukunya biarpun tetap menjadi anggota
sukunya sendiri, tetapi datang dan tinggal di suku isteri. Dia sebagai
penumpang di suku rumah isteri dan menggarap ladang milik suku
isteri. Selama dia menggarap tanah ini, dia membayar pajak atas tanah
yang dia garap dan kalau isterinya meninggal dunia, dia tidak ada lagi
tanah untuk digarap. Syukur kalau di suku rumahnya sendiri masih ada
ladang milik suku yang masih kosong, tidak digarap karena suku itu
sudah kekurangan anggotanya yang perempuan, maka dia bisa
menggarap tanah milik suku sendiri tetapi mulai nol, paling-paling
menikmati beberapa pohon mangga atau kemiri yang masih tumbuh di
ladang milik suku itu.
162
Akar dari kemiskinan warga desa Henes dan Lakmaras terletak
pada sistem kepemilikan tanah oleh suku ini yang mematikan inisiatif
para penggarap yang adalah pendatang untuk mengolah tanah ladang
dengan sistim baru yang lebih baik untuk meningkatkan penghasilan.
MAR HONE : KERJA KEBUN
Mar hone artinya, kerjakan kebun. Tenaga manusia menjadi
andalan untuk mengolah lahan di ladang-ladang milik suku rumah di
DHL. Alat pertanian seperti linggis, pacul, sekop belum biasa digunakan
untuk mengolah tanah. Apalagi traktor tangan, belum dikenal dan
tanah berbukitan yang kering dan tandus memang tidak cocok untuk
diolah dengan sistim modern. Atas dasar itulah orang-orang muda di
DHL merasa bernasib malang kalau tinggal di desa dan kerja kebun. Hal
inilah yang menyebabkan banyak orang muda berpindah ke kota kecil,
Atambua. Desa Henes dan Lakmaras sekarang ini dihuni oleh orangorang yang berusia rata-rata di atas empat puluh tahun dan yang berusia
di atas enam puluh tahun sudah tidak produktif lagi untuk mengolah
ladang supaya mendapatkan hasil panen untuk kebutuhan sehari-hari.
Tanah ladang yang digarap oleh kaum pria Buna’ disebut mar na’en
(kebun warisan). Sudah puluhan tahun sampai sekarang, cara mengolah
tanah di DHL tetap yang sama, tebas-bakar. Peralatan pun tetap yang
sama, nut dan turi’ so’ (tajak/tofa dan parang). Setiap pagi mulai mata
hari terbit warga DHL suami-isteri dengan anak-anak (yang belum atau
tidak bersekolah lagi), ramai beriring-iring menapaki jalan setapak pergi
ke kebun (mar). Setiap hari, kecuali hari Minggu atau hari pesta entah
pesta adat, pesta agama (Kristen Katolik) atau pesta hari-hari nasional
seperti tujuh belas Agustus, semua orang berada di ladang.
Pagi hari suami-isteri biasanya tidak sarapan, langsung berkemas
pergi ke kebun. Para suami menarik kuda piaraan untuk diurus di
ladang nanti, sambil di bahunya tergantung dua kelengkapan utama,
kaluk (saku tempat sirih pinang) dan turi’ so’ (parang yang diberi sarung
dan diberi bertali sehingga mudah digantungkan di bahu terjuntai di
antara lengan dan pinggang). Cara membawa dan menggantungkan
kaluk dan turi’ so’ ini disebut olon (menggantung di antara lengan dan
pinggang). Di atas bahu dipikul dua alat yang lain, nut (tofa) dan bat
(tombak). Nut itu alat untuk menggali tanah, besi yang dibuat seperti
163
kapak kecil yang selebar kurang lebih lima sentimeter ditancapkan pada
gagang sepanjang kurang lebih satu setengah meter. Gagangnya biasa
dibuat dari bambu kecil atau yang lebih modern sedikit dibuat dari pipa
besi. Yang dari bambu disebut nut bul ma (tofa bergagang bambu), yang
dari pipa besi disebut nut bul besi (tofa bergagang besi). Mereka
melafalkan kata besi tidak seperti aslinya dalam bahasa Indonesia, tetapi
mengikuti cara penglafalan dalam bahasa Buna’, seperti dalam bahasa
Indonesia, melafalkan pena, sedan.
Gambar 30. Nut (Tofa, Tajak) Tinggi 120 cm
Gambar 31. Nut bul barak
(Tofa, Tajak pendek) panjang 50 Cm
Ti
i 50
Alat yang lain, bat (tombak, dibuat ujungnya seperti pisau lancip
yang ditajamkan kedua sisinya dan sangat tajam, pangkalnya diberi besi
lancip untuk mudah ditancapkan di tanah disebut suta’ ) selalu menjadi
kawan setiap setiap laki-laki dewasa kalau pergi ke kebun atau ke hutan
dengan catatan sebagai senjata pelindung diri kalau ada musuh atau alat
untuk melempar babi hutan (celeng) kalau kebetulan diburu ramairamai di kebun. Semua kaum laki-laki umumnya memakai sarung dan
164
badan bahagian atas ditutup dengan selimut tebal hasil tenunan sendiri
atau kain panas yang dibeli di toko.
Gambar 32. Pria suku Buna’ di DHL memakai kain sebagai
selimutuntuk menahan cuaca yang dingin
Sumber: Eustachius Mali TaE
Kalau ada yang mampu, mulai memakai jaket. Udara yang dingin
hampir sepanjang tahun membuat para pria dewasa di DHL selalu
menutup badannya dengan selimut dengan cara melilitkannya di badan
bahagian atas.
Warga di DHL jarang memakai sendal atau sepatu karena
perkampngan dan ladang di daerah berbukit-bukit apalagi kalau musim
hujan, lorong-lorang di dalam kampung dan menuju kebun itu penuh
lumpur, sehingga pada umumnya sampai sekarang biasa berjalan dengan
bertelanjang kaki. Kaum perempuan bejalan beriring ke kebun dengan
kelengkapan utama, dene bako a (keranjang kecil tempat mengisi sirih
pinang) digantungkan di bahu atau digantungkan di kepala dan
tergantung ke belakang menempel di punggung. Cara ini disebut pin.
Kaum perempuan menjunjung bakul di kepalanya berisi pisau,
periuk, piring dan mok. Bakul ini seperti dapur berjalan. Berjalan ke
165
kebun ini jalan beriring, kaum perempuan biasa berjalan di depan dan
kaum laki-laki di belakang dengan alasan keamanan untuk melindungi
perempuan entah terhadap serangan binatang seperti babi hutan atau
serangan musuh.
Gambar 33. Rene bako’a
(Keranjang tempat sirih untuk perempuan)
Tinggi 30 cm
Mereka hidup di perbatasan dengan Timor Leste sehingga
keamanan sering terganggu oleh orang-orang baik dari Timor-Indonesia
maupun Timor-Leste yang mengambil kesempatan mencuri hewan
piaraan seperti sapi, kuda dan babi dari pendudk DHL atau dari
penduduk desa-desa di wilayah Timor Leste. Penjaga keamanan yang
paling akrab yaitu anjing piaraan selalu mengiring tuannya ke mana pun
mereka pergi. Dalam perjalanan ke kebun ratusan ekor anjing ramairamai mendahului tuan-tuan mereka mencium apa pun saja untuk
dimakan dan kalau ada jejak babi hutan tercium oleh mereka, maka
gonggongan akan memecah kesunyian dan kalau babi hutan ini berada
dekat tempat mereka berjalan, maka sulit luput, pasti menjadi mangsa
ratusan anjing peliharaan ini. Para tuannya biasa turut mengejar dan
166
tombak siap ditancapkan ke tubuh babi hutan yang diterkam anjing.
Perjalanan ke kebun agak terhambat, tetapi untuk hari itu ada santapan
ekstra, daging babi hutan yang biasa dibagi sama rata untuk semua
orang yang mempunyai ladang berdekatan.
Sesampai di kebun, dan ini kebun milik suku si-isteri, ibu-ibu
langsung menyalakan api di pondok untuk memasak jagung yang
dibawa dari rumah ditambah dengan merebus atau membakatr ubiubian yang digali di kebun itu sendiri. Laki-laki mulai mengerjakan
pekerjaan entah membersihkan rumput atau membakar kayu-kayu
penyubur tanah sesuai musim kerja kebun yaitu musim kemarau atau
musim hujan. Di ladang ini suami-isteri akan makan pagi sekitar jam
sepuluh, hot taru solat (matahari mulai panas). Ubi yang dibakar atau
direbus dimakan saat ini sekedar untuk alas perut. Minumannya il
huruk (air dingin), umumnya tidak dimasak, langsung diambil dari
sumur atau pancuran dekat kebun. Sesudah sarapan ini pekerjaan
dilanjutkan, suami mengerjakan pekerjaan yang berat seperti memotong
ranting pohon atau menyusun pematang kebun sedang isteri
mengerjakan pekerjaan yang ringan, membersihkan rumput atau
memetik kacang tali sambil terus menjaga makanan yang dimasak di
tungku api di pondok. Suami terus bekerja dan akan beristirahat sejenak
kalau tiba jam untuk molo a (makan sirih). Suami-suami jarang
berteduh di naungan pohon di kebun. Kalau ada yang suka bernaung,
biar panas terik, orang sekampung akan berceritera dari mulut ke
mulut, orang itu pemalas.
Sekitar jam satu siang, hot mugun ba’at, (matahari condong)
isteri akan memanggil suaminya dan makan pa’ol bolu (jagung rebus)
yang biasa dicampur langsung dengan kacang tali, sayuran berupa daun
labu atau daun pepaya. Sesudah makan siang ini, pekerjaan dilanjutkan
sampai sore. Mereka bergegas untuk segera kembali ke kampung
sebelum hot topa (matahari terbenam).
Kebun yang berjarak umumnya sekitar tiga atau empat
kilometer dari kampung dan semua berada di tempat yang lebih rendah,
membuat para warga DHL harus berjalan mendaki ke kampung sambil
memikul beban yang berat. Laki-laki memikul kayu api yang diikat dan
dipikul di bahu sambil memegang tali kuda dan menyeretnya agar
mengikuti dari belakang. Pada musim panen jagung, kuda-kuda ini
dijadikan hewan angkutan. Kaum perempuan umumnya mempunyai
167
tiga beban: pertama, nawa (bakul dapur berjalan) yang berisi peralatan
makan ditambah dengan bermacam-macam hasil kebun berupa ubiubian, kacang-kacangan dan sayur-sayuran seperti labu dan jantung
pisang sesuai musim, dan pikulan ini dijunjung di atas kepala (tutul).
Kadang-kadang di atas bakul ini masih ditambah dengan ikatan kayu api
yang berat. Beban kedua yaitu rene (bakul bertali) yang digantungkan di
kepala dan bergantung ke punggung. Cara memikul seperti ini disebut
pin. Bakul ini pun berisi hasil kebun yang mudah rusak seperti bunga
labu atau bunga pepaya dan pucuk ubi-ubian serta kacang panjang yang
muda sesuai musim untuk dikupas sepanjang jalan pulang ke desa.
Pekerjaan mengupas kacang panjang ini dilakukan di jalan supaya
sesampai di rumah bisa segera dimasak untuk makan malam. Beban
yang ketiga ialah: anak yang digendong dengan kain sarung (kula’ atau
ipak). Ini kalau keluarga itu mempunyai anak kecil. Rata-rata beban
seorang ibu lebih berat dari seorang suami.
Sesampai di rumah, kesibukan berlanjut dengan pembahagian
tugas: isteri memasak makanan untuk malam sambil memberikan
makanan kepada hewan piaraan, babi. Kuda, kambing dan ayam diurus
oleh suami. Ini pembahagian tetap. Kuda karena hewan tunggangan dan
biasa diikat di luar, kambing binatang padang dan ayam ada kaitan
dengan ayam jantan sebagai hewan piaraan untuk dijadikan hiburan, cie
ti (adu ayam). Sekitar jam delapan malam, kalau makanan sudah masak,
biasanya ubi-ubian yang dibawa dari kebun ditambah sedikit dengan a
piral (nasi beras jagung yang dihancurkan dengan batu) dan
minumannya tetap il huruk (air dingin). Kebiasaan minum air dingin
yang tidak dimasak ini masih berlangsung sampai sekarang biarpun
petugas dari dinas kesehatan sudah memberikan penyuluhan dibantu
oleh tim penggerak dari ibu-ibu PKK (Pendidikan Kesejahteraan
Keluarga) di desa.
Alat kerja para petani di DHL sampai sekarang masih tetap
sederhana seperti lima puluhan tahun lalu, terdiri dari turi’ so’ dan nut
(parang dan tofa). Parang (turi’ so’) untuk menebas ranting-ranting
kayu dan tofa (nut) untuk menyiangi rumput. Memacul tanah, tidak
biasa sehingga alat seperti pacul dan sekop tidak digunakan untuk
pekerjaan bertani. Dengan peralatan yang sederhana ini, nut dan tori’
so’, kebun tidak bisa diperluas.
168
Gambar 34 Turi’ so’ dan Turi’ gol’
Parang (panjang : 70 cm)
Pisau (panjang : 20 cm)
Tenaga manusia tidak cukup untuk membuka lahan yang luas,
apalagi kebun milik suku memang terbatas sekali, rata-rata setiap bidang
hanya seluas setengah hektar. Alat kerja yang lain, ta’ (kapak), dipakai
hanya sesewaktu kalau ada pohon yang besar yang sulit ditebang
dengan parang. Kapak (ta’) hanya sesewaktu saja dipakai untuk
membelah kayu kering guna kepentingan memasak di rumah. Inilah
kegiatan harian warga DHL yang rata-rata hidup dari bertani dan
beternak secara tradisional sampai sekarang. Pengolahan tanah ladang
tetap mengikuti proses yang sudah dijadikan tradisi. Urutan pengerjaan
kebun itu tetap mengikuti tahap-tahap yang tidak berubah dari tahun
ke tahun.
169
Gambar 35. Ta’ ( Kapak )
Panjang 100 cm
Tahap pertama, mar se (bersihkan kebun). Tanah ladang biasa
ditumbuhi pohon-pohon seperti kale’ (gala-gala atau turi), wana (sejenis
pohon berdaun lebar, batangnya terbalut kulit berwarna kelabu), siol
(lantana), bau koles (pohon bunga matahari) dan pohon dan tanaman
perdu ini dibiarkan bertumbuh selama dua tahun. Pohon-pohon dan
tanaman perdu ini menjadi sangat rimbun dan pada awal musim
kemarau (pan porat) bulan Juni – Juli pohon-pohon bersama tanaman
perdu ini ditebas. Kegiatan ini yang disebut mar se (bersihkan kebun).
Tahap kedua, mar hen (jemur kebun). Semua pohon-pohon dan
tanaman perdu yang sudah ditebas itu dibiarkan kering oleh terik
matahari atau dijemur (hen). Penjemuran ini berlangsung selama
kurang lebih satu bulan, bulan Agustus.
Tahap ketiga, hotel geteta’ (potong kayu). Batang-batang pohon
yang besar seperti kale’ (gala-gala/turi) dan wana (pohon berdaun lebar)
dipotong-potong dan diletakkan secara rapi di atas belukar dan
rerumputan yang sudah mengering.
Tahap keempat, mar alan dasa (membersihkan pinggir kebun).
Pada tahap ini pinggir kebun dibersihkan supaya api tidak merambat ke
bidang tanah lain. Di dalam kebun sendiri kalau ada pohon tanaman
umur panjang seperti turul (cendana), barut (kemiri), kulo (nangka), zo
(mangga), ma (bambu), hoza (kelapa), pu (pinang), mok (pisang), maka
sekitar pohon itu rumput kering dibersihkan agar api tidak
170
menghanguskan batang dan daun-daun pohon-pohon itu. Pohon-pohon
lain kalau terkena panas api dan layu, tidak dikenakan denda adat
karena milik sendiri. Tetapi kalau ada pohon cendana yang kedapatan
layu atau terbakar, maka denda yang dikenakan pada pemilik kebun
sangat besar, yaitu: seekor babi besar dan satu karfoun (botol besar) sopi,
ditambah dengan sehelai tais (kain tenun) sebagai simbol pembalut
batang kayu cendana yang terbakar itu. Aturan tentang cendana ini
dibuat pada masa penjajahan Belanda karena pohon cendana merupakan
pohon milik pemerintah dan dilindungi dari penebangan oleh siapa pun
tanpa izin dari pemerintah.
Tahap kelima, mar ini (bakar kebun). Bidang tanah yang
ditutupi batang pohon-pohon dan belukar yang sudah kering dibakar.
Dengan pembakaran ini kebun menjadi bersih dan rumput-rumput
tidak akan tumbuh pada musim hujan sebab benih dan akar-akarnya
pun hangus terpanggang api.
Tahap keenam, hoto koin (menyebar api). Pekerjaan hoto koin
ini dilakukan dengan megumpulkan batang-batang kayu yang tidak
habis terbakar waktu mar ini (bakar kebun) lalu dibakar dan dibiarkan
menjadi bara api. Si petani menyebarkan bara api ini memakai matala 32
(alat pengait bara api terbuat dari bambu kuning). Tujuan penyebaran
bara api ini ialah penghangusan akar rumput dan penyebaran abu yang
bakal menjadi pupuk bagi tanaman padi dan jagung.
Matala ini adalah alat pengait bara api untuk disebarkan di dalam ladang.
Matala dibuat dari batang bambu kuning (ma olas) yang dicabut dengan
32
akarnya dan akar yang melengkung inilah yang dijadikan alat pengait. Sebelum
dipakai, matala ini direndam di dalam air di kali-kali kecil agar menjadi lembab
dan tahan api. Sesudah dipakai seharian, direndam lagi untuk dipakai pada
keesokan hari.
171
Gambar 36. Matala
(Alat Pengait Bara Api di Ladang,
terbuat dari batang bambu kuning
yang dicabut dengan akarnya)
Panjang 3 m
Di bidang tanah yang diolah dengan cara hoto koin ini biasanya
tanaman padi atau jagung bertumbuh subur dan berhasil bagus. Ini pada
musim tanam tahun pertama. Pada musim tanam tahun kedua, tanah itu
tidak subur lagi sehingga disebut mar kolun (kebun rumputan) artinya
kebun yang sudah ditumbuhi rumput-rumputan dan tidak ada lagi
pohon-pohonan seperti kale’ dan wana. Pohon-pohon kale’ dan wana
pada tahun pertama ini mulai tumbuh dan dibiarkan besar untuk masa
dua tahun ke depan. Kebun ini yang disebut mar kolun masih diolah
lagi dengan pembersihan rumput-rumput kering itu yang ditumpuktumpuk untuk dibakar. Tumpukan rumput ini disebut sipil dan sipil
inilah yang dibakar sebelum musim hujan tiba. Hasil dari mar kolun ini
biasanya sangat memprihatinkan karena jagung yang ditanam sudah
tidak subur lagi. Di mar kolun tidak pernah ditanam padi karena
tanaman padi membutuhkan tanah yang subur berupa abu bekas
batang-batang kayu yang dibakar waktu hoto koin. Pada tahun ketiga
kebun ini dibiarkan (mar hi’il) sebagai tanah kosong yang ditumbuhi
belukar dan pohon-pohon kale’ dan wana bersama rumput-rumputan
untuk siap ditebas pada tahun kedua nanti. Di kebun yang ditinggalkan
172
ini masih tersisa ubi kayu dan ubi-ubian lain serta kacang-kacangan
lokal yang siap dipanen pada musim kemarau tahun berikutnya.
Tahap ketujuh, bata’ gara, lutuk ho’on (menyusun pematang,
membuat pagar). Kebun-kebun yang dikerjakan secara beramai-ramai di
wilayah tertentu, dilingkari dengan pagar yang dikerjakan secara
bersama. Dengan lutuk (pagar) ini tanah ladang dipisahkan dari tanah
yang diperuntukkan sebagai padang gembalaan bagi ternak seperti
kerbau, sapi dan kuda. Lutuk dibuat atas beberapa cara. Ada yang dibuat
dari potongan batang kayu-kayu yang ditanam dan dijepit dengan
belahan bambu. Ada yang dibuat dengan cara membaringkan kayukayu itu dalam bentuk memanjang. Ada juga yang membuat pagar
dengan menanam pohon-pohon hidup sehingga menjadi pagar hidup.
Ada yang membuat pagar dengan cara menyusun batu-batu berlapis dua
dan di antara lapisan itu diisi tanah lalu pada musim hujan tanah di
antara susunan batu ini ditanami tanaman kaktus atau tali sisal (agave).
Tanaman tali sisal ini mempunyai guna besar sekali karena pada saat
daun yang tebal itu sudah cukup tua, para pemilik kebun akan
memotong dan mengolahnya untuk mengambil seratnya dan membuat
tali yang kuat dari sera-serat itu. Tali buatan dari serat sisal ini biasa
dipakai untuk berbagai keperluan, terutama untuk tali pengikat kuda
piaraan.
Tahap kedelapan, umon dara (tegakkan tiang persembahan).
Tahap ini merupakan tahap puncak karena seluruh proses sebelumnya
disyukuri pada tahap ini dan proses selanjutnya akan dilaksanakan
dengan permohonan pada leluhur, roh-roh dan Hot Esen agar tidak ada
gangguan dan mendatangkan hasil kebun secara berlimpah-limpah.
Upacara umon dara itu diawali dengan pemotongan sebatang ma olas
(bambu kuning) yang ranting-rantingnya dibiarkan utuh, tidak
dipangkas. Di pertengahan kebun yang sudah bersih biasanya ada
susunan batu berupa bosok (susunan batu tempat persembahan) setinggi
setengah meter dari permukaan tanah. Susunan batu dalam bentuk
lingkaran dengan garis tengah kurang lebih satu meter ini merupakan
pertengahan dari kebun. Kalau susunan batu itu tidak teratur lagi, maka
saat inilah waktu yang cocok untuk menata kembali tempat
persembahan ini. Di samping bosok (susunan batu) inilah ditanam ma
olas (bambu kuning) yang masih beranting. Arti ma olas yang masih
beranting ini ialah lambang pembawa kerindangan dan penolak hama,
173
penolak bala termasuk penolak angin ribut. Kesatuan antara bosok dan
ma olas inilah yang disebut umon. Sesudah ma olas ditanam, bosok
dirapihkan, perempuan tertua dari suku meletakkan beberapa taka
(tenasak) berisi contoh benih yang akan ditanam di ladang itu. Setiap
taka berisi benih, mulai dari jagung, padi, kacang-kacangan, biji-biji
labu dan mentimun. Laki-laki tua yang akan mengolah kebun ini
membawa seekor ayam jantan berwarna merah dan menyembelih ayam
itu di atas bosok. Darah ayam ini dicampur ke dalam air dingin dalam
sebuah matu’ (tabung bambu) lalu daun iligoru (sejenis pakis yang biasa
tumbuh dekat sumber air) dicelupkan ke dalam tabung bambu itu dan
dipakai sebagai alat perecik benih-benih yang sudah disiapkan di sekita
umon. Sesudah benin-benih direciki, air itu dibawa ke empat sudut
kebun dan disana air bercampun darah itu direcikkan. Sementara itu
diucapkan kata-kata, ”Hoee bai late loi ni’, bai ha wen, hani mar mil
kakor, hani biso bin o pelek itil harat” (Hai semua makhluk yang buruk,
semua yang jahat, jangan berkeliaran dalam kebun, jangan merusakkan
benih dan jangan merusakkan tanaman). Sepulangnya dari empat sudut
kebun, tabung bambu yang masih berisi air bercampur darah ayam
ditanam di bawah batang bambu yang sudah lebih dahulu ditanam
dekat bosok. Air dalam tabung yang ditanam ini menjadi simbol untuk
kesuburan tanaman yang akan ditanam di kebun itu. Ayam yang sudah
disembelih itu dibersihkan bulunya dan bulu-bulu itu dihamburkan ke
segala penjuru dalam kebun dengan harapan tanaman akan bertumbuh
subur dan berhasil. Ayam itu dipotong dan hula (usus halus) dari ayam
itu diperiksa untuk mengetahui apakah tanaman di ladang itu akan
berhasil atau tidak. Kalau dilihat di hula (usus ayam) itu ada tanda baik
maka upacara dilanjutkan, tetapi kalau ada tanda buruk, maka
diusahakan seekor babi kecil untuk dibunuh dan menetralkan tanda
yang kurang baik itu untuk menjadi baik. Selanjutnya bahagian cakar
dari ayam itu digantungkan di batang ma olas (bambu kuning) sebagai
makanan bagi roh-roh jahat penghuni langit agar tidak mengganggu
tanaman dan sekaligus sebagai penolak bencana, longsor dan hujan
angin agar tidak merusak tanaman. Daging ayam dimasak dan sedikit
potongan daging yang matang itu diisi dalam taka bersama nasi,
diletakkan di bawah ma olas sebagai santapan bagi roh-roh yang baik.
Sedangkan untuk roh-roh jahat, irisan daging yang masih mentah
bersama sejemput beras dilemparkan ke empat penjuru mata angin
174
sambil berseru, ”Hoee, bai late loi ni’, bai ha wen, ei ie itu an o ba, ei ie
lama’ na o ba, det dege hosok, det dege holan, mal alan gene, mal ate
gene” (Hai semua makhluk yang buruk, semua yang jahat, itulah
bahagian kamu, itulah porsi kamu, tangkap sendiri, telan sendiri, pergi
ke pinggiran, pergi ke kejauhan). Sesudah upacara umon dara ini tibalah
tahap berikutnya, menanam.
Tahap kesembilan, muk ere (tanam bibit). Penanaman benih
padi dilaksanakan pertama di sekitar umon baru disusul dengan
penanaman di bahagian lagi dari ladang. Lalu ladang yang sudah
dibersihkan melalui pembakaran itu mulai ditanami dengan padi pada
bulan September-Oktober sebelum hujan turun. Batang-batang ubi
kayu pun ditanam pada waktu ini. Anakan pisang ditanam pada akhir
musim panas dengan tujuan batang pisang dalam tanah itu menjadi
panas dan mudah bertunas kalau dibasahi hujan. Kalau anakan pisang
ditanam sesudah tanah basah, maka menurut para petani suku Buna’,
pisang akan tumbuh merana karena batang dalam tanah itu dimakan
ulat. Kalau hujan turun dua atau tiga kali, tanah dianggap sudah cukup
basah dan para wanita mulai menanam jagung, kacang-kacangan dan
tanaman lain seperti labu, mentimun dan mendikai.
Tahap kesepuluh, u tul (tofa rumput). Pekerjaan membersihkan
kebun pada musim hujan ini biasa dilaksanakan secara gotong-royong,
disebut u gowol (tofa rumput bersama). Kalau beberapa orang saja yang
melaksanakan pembersihan kebun secara bergilir, maka sistim ini
disebut kawak (saling membantu).
Tahap kesebelas, a sagal (cari makanan, panen). Jagung yang
sudah tua dipanen, disebut, pa’ol gure’ (patah jagung). Padi yang sudah
tua dipotong, disebut, ipi wit (ambil padi/ panen padi). Turis yang sudah
kering dipetik dan dihancurkan kulitnya agar bijinya dapat diambil dan
disimpan. Pembersihan turis ini disebut tir tu’u (tumbuk turis).
Tahap keduabelas, pa’ol tula, ipi tula (angkut jagung dan
KEPEMIMPINAN LOKAL
DAN PEREKONOMIAN DESA
Masyarakat DHL mengalami keteraturan dan ketentraman
dalam hidup harian karena ada struktur kekuasaan lokal yang mereka
yakini sebagai warisan leluhur. Dalam struktur kekuasaan secara adat
ini mereka mempunyai rasa taat dan hormat yang mendalam kepada
karena orang-orang yang menjadi pemimpin mereka karena berasal
dari suku-suku rumah bangsawan (na’in) sesuai adat leluhur.
Pola hidup dan pengaturan mata pencaharian, bertani dan
beternak tertata berdasarkan tata aturan yang sudah berlaku turuntemurun. Pertanian dan peternakan secara tradisional ditata
berdasarkan kebiasaan yang berintikan keselarasan hidup antara
masyarakat manusia (en gubul guzu = manusia berkepala hitam /
masyarakat) dengan alam sekitar (pan o muk = langit dan bumi) di
bawah tuntunan arwah leluhur (tata bei mil), roh-roh penghuni langit
dan bumi ( pan muk gomo ) dan Yang Maha Tinggi (Hot Esen).
Dalam Bab ini dikemukakan uraian tentang masyarakat suku
Buna’ di DHL yang hidup dalam keterikatan atas dasar tata
kepemimpinan lokal dan diuraikan pula upaya pengaturan
perekonomian desa secara bersama dalam tradisi warisan leluhur.
TISI’AN-TAKNE’AN:
STRUKTUR KEPEMIMPINAN LOKAL
Ada dua sistem pemerintahan berjalan bersamaan di DHL.
Sistem pemerintahan adat sebagai kepempinan lokal dan sistem
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan Republik
149
Indonesia. Pemerintahan adat masih berlaku dalam arti na’i (raja) masih
ada dengan seluruh perangkatnya. Pemerintahan desa sesuai Undangundang baru berlaku pada tahun 1966 sampai sekarang.
Pemerintahan adat (muk ukon = penguasa dunia) mempunyai
struktur sesuai adat dan itu dihormati dalam urusan adat oleh segenap
anggota masyarakat sebagai hutun renu (rakyat jelata). Strukturnya
terdiri dari Na’i, Petor, Tamukun (Temukung). Tiga lapisan ini, Na’i
berasal dari uma-metan dato pana (suku bangsawan tinggi perempuan),
Fetor berasal dari uma-metan dato mone (suku bangsawan tinggi lakilaki) dan Tamukun berasal dari deu dato (suku bangsawan biasa). Status
’suku bangsawan tinggi perempuan’ lebih tinggi dari ’suku bangsawan
tinggi laki-laki’ atas dasar adat keturunan yang berlaku yaitu garis
matrilineal, keturunan dari garis si-ibu yang diakui sebagai pewaris
kekuasaan. Di bawah tiga tingkat kepemimpinan struktural ini, Na’i,
Fetor dan Tamukun, ada tiga jabatan fungsional secara adat sebagai
pelaksana khusus yaitu kabu, kapitan dan makle’at.
Dalam garis komando, di bawah Tamukun ada Dato Matas (tuatua adat) yang berfungsi sebagai penasehat dalam pelaksanaan hukum
adat di desa. Di lapisan paling bawah dari struktur kepemimpinan ini
ada deu gomo matas (ketua suku) yang memimpin secara langsung
semua anggota suku (deu gomo) masing-masing. Semua deu gomo
(anggota suku) inilah yang terhimpun dalam satu kesatuan sebagai
anggota masyarakat atau renu (rakyat).
Pelaksana khusus: Kabu (pemanggil orang), Kapitan (pengurus
cendana), Makle’at (pengurus kebun). Tiga jabatan ini pun berasal dari
suku yang sudah dikenal dalam struktur adat. Semua jabatan di atas ini
tidak bisa dijabat oleh orang dari suku lain. Dalam struktur
pemerintahan desa, orang-orang ini diserap juga dalam status sebagai
Kaur (Kepala Urusan) dan Pamong serta kepala-kepala Dusun.
Perpaduan ini dilaksanakan untuk tetap memberdayakan ketokohan
orang dalam masyarakat desa yang disesuaikan dengan hirarki dalam
urutan rumah suku (deu hoto).
Perekonomian masyarakat sangat erat bergantung pada
pemerintahan adat dan pemerintahan desa ini yang secara bersama
menata kegiatan masyarakat di bidang pertanian dan peternakan sebagai
upaya peningkatan pendapatan masyarakat desa.
150
Na’i
Fetor
Tamukun
Datomata
Datomata
Kabu
Makle’at
Kapitan
Datomata
Datomata
Datomatas
Deu’Gomom
atas
Deu’Gomom
atas
Deu’Gomom
atas
Deu’Gomom
atas
Deu’Gomo
En Gubul Guzu (Rakyat)
Deu’Gomo
(anggota
suku)
Gambar 28.
Deu’Gomo
(anggota
suku)
Deu’Gomo
(anggota
suku)
Deu’Gomo
(anggota
suku)
Deu’Gomo
(anggota
suku)
Struktur Kepemimpinan Lokal Suku Buna’ di Desa Henes dan
L k
Dalam pengurusan pemerintahan yang berkaitan dengan dari
pemerintah di tingkat lebih di atas, Kecamatan dan Kabupaten,
pemerintahan desalah yang berperan. Dalam uraian ini dikemukakan
bagaimana dua hal ini berjalan beriringan, pemerintahan desa dan
perekonomian desa di DHL.
151
KEPALA DESA
Sejak tahun 1966 berlaku pemerintahan desa di bawah
pimpinan seorang kepala desa30. Sebelum tahun 1966, masyarakat desa
Henes dan Lakmaras merupakan dua ke-na’i-an, dalam arti, dua wilayah
ini masing-masing dikepalai oleh seorang Na’i (raja). Suku rumah yang
berstatus Na’i (raja) itu disebut uma-metan (rumah bangsawan tinggi).
Di desa Lakmaras, uma-metan itu bernama Deu Gubul dan di Henes ada
uma-metan disebut Hol Lapit. Di Lakmaras, yang menjadi Na’i (Raja)
adalah salah seorang laki-laki dari suku Deu Gubul. Pada tahun 1966,
Na’i (raja) Lakmaras, bernama Yohanes Mau dan dia inilah yang
ditambah statusnya menjadi Kepala Desa sedangkan sebagai status Na’i
tetap diakui secara adat. Di Henes, yang menjadi Na’i adalah seorang
laki-laki dari suku Hol Lapit dan waktu itu yang menjadi Na’i adalah
Martinus Dasi dan dia memperoleh status tambahan sebagai kepala desa.
Dua Na’i ini dalam status sebagai kepala desa, berada di bawah
wewenang Camat yang berkedudukan di Weluli dan sebagai Na’i,
berada dalam satu kesatuan dan bukan bawahan dari seorang Loro yang
berkedudukan di Kewar. Pengakuan terhadap Loro ini masih ada
sampai sekarang.
30
Ketentuan ini berlaku dengan SK Bupati KDH Tk. II Belu, tgl. 31 Maret
1966, No.Pem.6/1966 tentang perubahan struktur pemerintahan dari ke-na’i-an
kepada kedesaan. Mulai saat itu seorang Na’i (raja) mempunyai dua fungsi yaitu
sebagai pemimpin adat dan pemimpin bidang pemerintahan.
152
Gambar 29. Loro Lamaknen Ignatius Kali bersama Isterinya
(Sumber: Eustachius Mali Tae)
Status dan jabatan Loro untuk suku Buna’ di Lamaknen sekarang
ini berada di tangan Bapak Ignatius Kali yang sehari-hari bertempat
tinggal di Atambua bersama keluarganya. Waktu ada urusan adat baru
Loro Lamaknen ini pergi ke Lamaknen.
Ada dualisme dalam pemerintahan desa dan kecamatan waktu
itu. Berhubung Loro waktu itu yang dijabat oleh Bapak A.A. Bere Tallo
dilantik menjadi Bupati Kepala Daerah Tingkat II Belu, maka untuk
meningkatkan wibawa camat, kepada camat itu diberi gelar adat, PD
Loro (Pejabat Loro) Lamaknen. Jabatan camat waktu itu dijabat oleh
seorang Guru Kepala SD, Bapak Gabriel Y. Asy, yang memang
statusnya dalam adat dia adalah seorang yang berasal dari suku
bangsawan maka wajar kalau dia menyandang jabatan Pejabat Loro
Lamaknen. Dia dapat bertindak dalam dua status: kalau mau
mengundang Na’i, dia mengundang dalam status PD Loro, yang
bertindak atas nama Loro yang sesungguhnya, yaitu Bapak A.A. Bere
Tallo yang sebagai Bupati berkedudukan di Atambua sebagai ibukota
Kabupaten Belu. Kalau mau mengundang kepala desa, maka status dan
wewenang yang dipakai ialah kepala kecamatan.
153
Di desa Henes dan Lakmaras jabatan Na’i, Fetor, Tamukun,
Kabu, Kapitan, Makle’at tetap berada di tangan orang-orang sesuai
sukunya masing-masing. Di desa-desa lain di seluruh Kecamatan
Lamaknen yang adalah wilayah suku Buna’, keadaan yang sama tetap
diberlakukan.
Setiap suku ada ketua suku dan mereka inilah orang-orang yang
bertanggung-jawab atas semua anggota suku. Para pejabat, tingkat
paling bawah: makle’at, kapitan dan kabu adalah pejabat yang
mendengar langsung berbagai usulan atau keluhan dari para ketua suku.
Pejabat di tingkat lebih tinggi: tamukun, petor dan na’i tunggu
mendengar laporan dari makle’at, kapitan dan kabu. Struktur
kepemimpinan berdasarkan adat ini sangat kuat karena didasarkan atas
keyakinan bahwa orang-orang yang menjabat itu dari suku yang sudah
diwariskan oleh leluhur. Kalau leluhur dilibatkan, maka dengan
sendirinya roh-roh dilibatkan dan semua itu diyakini berasal dari Tuhan
(Hot Esen). Dalam bahasa adat, status bangsawan ini berasal dari Tuhan,
Hot Esen na sile’en (Matahari Yang Tinggi yang turunkan). Dalam
urusan masyarakat, perintah para pejabat mulai dari yang rendah sampai
yang paling tinggi, Na’i, sulit dibantah. Para pejabat ini pun terikat oleh
satu keyakinan, kalau berani menyusahkan anggota masyarakat yang
dalam struktur pemerintahan desa ini disebut renu (rakyat), leluhur
akan marah, roh-roh akan marah dan Tuhan pun akan marah. Kalau
seorang pejabat bertindak salah, maka akan terucap ungkapan kutuk
dari mulut rakyat, Hot Esen ita mal ni’ (Tuhan tidak memihak engkau).
Para pejabat, termasuk Na’i sangat takut akan sumpah masyarakat ini.
Pejabat sebagai pemimpin yang melindungi rakyat benar-benar
didasarkan atas keyakinan pada campur tangan dunia roh ini.
Kalau seorang anggota masyarakat dalam status sebagai rakyat
berbuat salah maka ada ketua-ketua suku bersama para pejabat adat
untuk mengadili orang yang bersalah itu. Bermacam-macam ganjaran
sudah ditentukan secara adat. Kalau rakyat yang bersalah, denda lebih
ringan dari pejabat yang bersalah. Pejabat, terutama Na’i (Raja) kalau
bersalah maka seluruh pejabat di bawahnya bersama semua ketua suku
mengadakan musyawarah dan diberi sanksi adat yang berat sekali.
Dengan ketentuan adat yang sebegitu ketat maka pada masa Na’i
berkuasa, urusan kemasyarakatan umumnya berjalan aman karena
154
rakyat (renu) taat itu berdasarkan ketakutan pada sanksi manusia dan
lebih lagi karena ketakutan pada sanksi dari leluhur dan roh-roh.
Ada gejala perubahan yang sangat menyolok sewaktu status
pejabat adat dialih-statuskan ke struktur pemerintahan desa. Dalam
penataan pemerintahan desa ternyata kepandaian dan ketrampilan
memerintah saja tidak cukup. Harus ada kewibawaan yang sudah
tertanam dalam tatanan masyarakat desa. Kewibawaan ini tidak bisa
diperoleh dalam waktu pendidikan di luar desa seperti yang dialami
oleh dua orang kepala desa sekarang ini, di Henes kepala desa dijabat
oleh Linus Asa dari suku rumah Maubesi dan di desa Lakmaras kepala
desa dijabat oleh Anus Lou dari suku rumah Sosowili’. Dua orang ini
berasal dari suku yang bukan suku uma metan, suku Na’i atau suku
rumah yang dikenal sebagai suku turunan raja (na’i). Maka apa
komentar dari salah satu nara sumber di desa Lakmaras yang tidak mau
ditulis terang namanya dengan alasan kerukunan di desa? Narasumber
ini menjelaskan pada tgl.1 April 2011:
Pemilihan kepala desa secara langsung ini memang baik dari
segi demokrasi. Tapi ada hal mendasar lain yang perlu
dipertimbangkan. Pertama, masyarakat di desa ini rata-rata
delapan puluh lima persen berpendidikan SD ke bawah.
Mereka belum bisa berpikir kritis. Mereka ikut perasaan lebih
banyak dari pada pertimbangan akal-budi yang sehat. Mereka
hidup sehari-hari dengan sistim malu-ai, dasa’-rak (hubungan
suku dan hirarki dalam suku) dan tiba-tiba di pucuk pimpinan
desa ditempatkan orang yang bukan dari suku turunan raja
(na’i). Setengah mati. Wibawa sebagai kepala desa itu tidak
hanya berdasarkan kemampuan otak. Keturunan juga masih
dipertimbangkan oleh masyarakat. Sekarang ini berbagai
urusan di desa kurang berjalan. Orang tidak taat. Mau pukul
mereka? Tidak mungkin. Mereka kehilangan pegangan, tokoh
yang berwibawa tidak dipakai. Di desa itu biarpun orang biasabiasa, tetapi harus diperhatikan struktur adat juga. Kalau
masyarakat sudah berpendidikan tinggi, yah, waktu itu
mungkin demokrasi langsung bisa diterapkan. Pemilihan
kepala desa secara langsung dengan sistim terjun bebas, tiap
orang boleh mencalonkan diri dan dicalonkan, belum bisa
ditrapkan di desa seperti Lakmaras ini. Persaudaraan,
kekerabatan yang mendasar di desa dihancurkan melalui
pemilihan kepala desa secara langsung ini.
155
Pemerintahan di desa, khususnya jabatan kepala desa di
Lakmaras ternyata belum bisa dilaksanakan dengan sistim demokrasi
melalui pemilihan secara langsung. Hal yang sama terjadi juga di desa
Henes. Kepala desa yang sekarang, Linus Asa, memang berasal dari suku
bangsawan, tetapi bukan bangsawan tinggi yang behak menjadi Na’i
(raja) yaitu suku rumah na’i, Hol Lapit. Kepala desa sendiri baik di
Lakmaras maupun di Henes berpendapat, rakyat kepala batu, tidak mau
taat. Kalau tidak dengan kekerasan, tidak bisa. Ungkapan ini
menggambarkan ketaatan rakyat yang semu karena tidak didasarkan
pada kesadaran yang tertanam dalam lubuk hati yang terdalam yaitu
hukum adat. Sebagai contoh kasus yang jelas, pemilihan kepala desa di
Lakmaras, diselenggarakan pada bulan Agustus tahun 2007. Dari suku
uma metan (suku raja) calon dua orang sarjana, Ibu Aquilina Mutik
(kepala desa waktu itu) dan pamannya Yosef Bere Rudji. Dari suku yang
bukan bangsawan, Sosowili’, tampil calon, Anus Lou, berpendidikan
SMP. Pada saat pencoblosan, suara terbagi menjadi tiga: dari total suara
yang sah, 562 suara, Anus Lou mendapat 213 suara; Aquilina Mutik
(inkumben), mendapat 187 suara; Yosef Bere Rudji, mendapat 162
suara. Dengan sendirinya pemilihan dimenangkan oleh Anus Lou. Dua
calon dari suku bangsawan tinggi ini mengumpulkan suara 187 + 162 =
349 suara. Pihak yang menang ini berpendapat: Kami pilih kepala desa,
bukan na’i (raja). Kami tidak merampas kamu punya status na’i. Kamu
punya na’i itu tetap. Kita hargai. Adat ya adat, demokrasi yah
demokrasi. Kami pakai kami punya hak suara.
Secara matematis, calon terpilih mempunyai pengikut dari total
562 orang, 213 orang dan 349 yang tidak memilih dirinya tetap
beranggapan bahwa hasil pemilihan itu hanya suatu kenyataan yang
dipaksakan berdasarkan kelebihan suara. Dan memang untuk desa
Lakmaras, kepala desa terpilih ini yang dilantik pada bulan Agustus
2007 sampai sekarang masih berusaha keras untuk menanamkan
pengaruh. Namun kesan yang muncul, pemerintahan desa berjalan di
tempat dan masyarakat sebahagian besar bersikap apatis. Masyarakat
terpecah menjadi dua kelompok besar. Kelompok yang memihak pada
kepala desa terpilih berpendapat bahwa pembangunan di desa berjalan
baik dan aman. Yang mengatakan bahwa pembangunan di desa berjalan
di tempat itu adalah suara-suara dari orang-orang yang kecewa karena
kalah dalam pemilihan kepala desa.
156
Kenyataan yang ada, kepala desa hasil pemilihan menanggung
perasaan anti-pati secara terselubung atau terbuka dari kelompok yang
tidak memilih dirinya melebihi lima puluh persen dari orang dewasa
dalam desa. Dan perasaan tidak puas dengan kepala desa terpilih dari
pihak yang tidak memilih ini tetap berlangsung dan ada kemungkinan
sampai akhir masa jabatannya tahun 2013 nanti, perasaan itu masih
akan terbawa. Secara umum masyarakat yang delapan puluh lima persen
berpendidikan tingkat SD ke bawah cenderung mengandalkan perasaan
dari pada nalar. Akal sehat kurang digunakan dalam menganalisa
keadaan sekitar. Hal rasa sakit hati ini diperparah oleh sistim
pemerintahan di desa dengan sistim demokrasi, pemilihan secara
langsung. Dampak negatif lebih besar dari dampak positif bagi
pembangunan di desa.
PEREKONOMIAN DESA
MAR NA’EN : KEPEMILIKAN TANAH
Penduduk desa Henes dan Lakmaras hidup dari bertani dan
beternak secara tradisional. Tanah yang tandus dan berbukit-bukit
dengan iklim tropis, musim kemarau delapan bulan (April – November)
dan musim hujan hanya empat bulan (Desember – Januari – Februari Maret), kurang cocok untuk pertanian. Pengolahan ladang dengan
sistim tebas-bakar masih tetap berlangsung sampai sekarang. Sumber air
untuk pengairan hanya sedikit dan dapat mengairi lahan sekitar tidak
lebih dari sepuluh hektar.
Dua desa ini mempunyai adat yang sama dalam pengaturan
lahan pertanian. Tata-guna tanah di wilayah dua desa ini dibagi atas tiga
: tanah ladang, tanah padang gembalaan dan tanah hutan adat. Tanah
ladang itu dimiliki oleh suku dan bukan milik perorangan. Tanah
padang ini milik umum dan diperuntukkan bagi ternak besar dan kecil
tetapi semakin sempit karena mulai dipakai juga untuk kebun milik
pribadi. Keadaan yang sekarang sedang mencemaskan ialah tanah
padang gembalaan semakin sempit sehingga hutan adat pun mulai
dirambah untuk dijadikan ladang. Sistem kepemilikan tanah ladang di
dua desa ini sama dengan sistem di kalangan suku Buna’ pada umumnya
di wilayah dua kecamatan, Lamaknen dan Lamaknen Selatan. Tanah itu
157
milik suku dan hanya keluarga tertentu saja yang memiliki tanah
pribadi hasil perolehan dari mengolah tanah padang menjadi tanah
milik pribadi.
Contoh yang jelas dikemukakan oleh dua informan di bawah ini
yang diwawancara pada tahun 2010 dan 2011. Yang pertama, ialah:
Yosef Mali dan yang kedua, Theodorus Bere Laku’. Yang pertama,
Yosef Mali, bapak keluarga, warga desa Henes, umur 43 tahun, kawin
dengan Bernadetha Ili Uzu, warga desa Lakmaras, umur 42 tahun. Yosef
Mali anggota suku rumah Maubesi di Henes, isterinya anggota suku
rumah Gelaba’ di Lakmaras. Mereka mempunyai empat orang anak.
Mereka mengungsi ke kota, Atambua sejak empat tahun yang lalu.
Selama tinggal di desa Lakmaras, mereka dua sebagai suami isteri
menggarap tiga bidang ladang milik suku Gelaba’, suku isteri. Yosef
Mali tidak menggarap ladang mereka dari suku sendiri, Maubesi, karena
ladang-ladang milik suku Maubesi itu digarap oleh ipar-iparnya, para
suami dari saudari-saudarinya. Setiap bapak keluarga di desa Henes dan
Lakmaras, menggarap kebun atau ladang milik suku si isteri. Waktu
ditanya mengapa ke Atambua, meninggalkan kampung halaman, Yosef
Mali menjawab bahwa tiga ladang yang mereka kerjakan itu dari tahun
ke tahun hasilnya tidak cukup untuk dimakan setahun. Tiap tahun
alami kelaparan terus. Setiap tahun, hanya garap dua ladang yang
luasnya masing-masing tidak lebih dari satu hektar, tanahnya berbukitbukit, tanam padi sedikit dan lebih banyak jagung. Tiga ladang ini
dikerjakan dengan cara berpindah-pindah. Tahun pertama lading yang
pertama semak-beukarnya ditebas dan dibakar, sambil mengusahakan
ladang kedua yang tahun sebelumnya digarap dan sudah kurang subur.
Tahun kedua, ladang ketiga digarap dengan sistim tebas bakar, sedang
ladang yang pertama ditinggalkan agar pohon-pohon seperti gala-gala
(turi) tumbuh selama dua tahun untuk ditebang dan dibakar pada tahun
ketiga. Tiga bidang tanah ini dikerjakan secara bergilir, yang satu
dibiarkan dibiarkan untuk ditumbuhi semak belukar sambil dua yang
lain dikerjakan dengan pengertian, satu kebun baru (mar tip) dan satu
kebun lama (mar kolun). Hasil yang baik diharapkan dari kebun baru
karena baru selesai dibakar semak-semak dan pohon gala-gala (turi) dan
pada tahun kedua sudah tidak subur lagi tapi masih menghasilkan
jagung biarpun bulirnya kecil-kecil. Padi hanya ditanam di kebun yang
baru digarap dengan sistim tebas bakar. Kebun ini disebut mar tip
158
(kebun baru). Kebun atau ladang yang dikerjakan pada tahun kedua,
disebut mar kolun (kebun rumput) karena pohon-pohon perdu seperti
gala-gala yang tua sudah ditebas dan dibakar pada tahun sebelumnya
dan yang tumbuh hanyalah gala-gala yang masih kecil dan lebih banyak
rumput dan belukar yang tumbuh dan rumput dengan belukar ini
dibersihkan lalu tanah yang tidak lagi disuburkan dengan pembakaran
ini masih menumbuhkan jagung dan ubi-ubian serta kacang-kacangan
tetapi tidak subur seperti di mar tip (kebun baru).
Menurut Yosef Mali dan isterinya hasil tiga ladang ini tidak
memuaskan dan tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk makanan
sekeluarga selama setahun. Karena itulah mereka tinggalkan ladangladang itu dan mengungsi ke kota. Lalu ditanya, tiga ladang itu siapa
yang kerjakan sekarang? Mereka menjawab, disewakan kepada orang
dari kampung tetangga dan mereka bagi hasil, setengah – setengah.
Waktu ditanya, kenapa tidak usahakan tanaman umur panjang di tiga
bidang tanah itu, dijawab oleh Yosef Mali dengan ungkapan:
“Saya ini hanya manepou (laki-laki baru) jadi buat apa
tanam tanaman umur panjang. Saya hanya kerja untuk
makan. Nanti saya tidak bisa buat apa-apa kalau ketua
suku bilang saya dengan isteri saya harus garap bidang
tanah yang lain”.
Atas dasar itulah Yosef Mali dan isterinya dengan cukup mudah
meninggalkan tanah garapan mereka tanpa banyak memikirkan hasil
yang ada, sebab tiga bidang ladang itu tidak ada tanaman umur panjang
yang bisa diharapkan sebagai penghasilan tambahan. Tiga ladang yang
dikerjakan secara bergantian itu benar-benar hanya untuk menghasikan
padi dan jagung yang cukup untuk dimakan hanya setengah musim, lalu
selebihnya tidak ada lagi persediaan makanan untuk keluaga. Hal ini
menyebabkan ekonomi keluarga mereka tetap tidak berkembang dari
tahun ke tahun. Keprihatinan tentang kehidupan ekonomi keluarga
inilah yang mendorong keluarga Yosef Mali untuk berpindah ke kota
dan di kota hanya hidup dengan berjualan sayur dan kadang-kadang
mencari tambahan dengan ‘ojek’. Yosef Mali menambahkan,
“Kami ada empat anak, kalau di kampung terus, tidak bisa buat
apa-apa. Uang tidak masuk tiap hari seperti di kota ini. Kami
memang pernah ikat sapi kopel, pembahagian dari pemerintah
159
untuk digemukkan, tapi itu pun sangat sulit karena pakan
ternak tidak ada. Kami cari daun-daunan untuk makanan sapi di
kebun, dan sangat terbatas. Musim kemarau cari rumput ini
seperti cari emas. Pelihara sapi menjadi beban yang merugikan
dan tidak menguntungkan apa-apa. Mau biayai anak sekolah
bagaimana dengan keadaan seperti itu. Kami ke kota ini karena
di kampung memang benar-benar susah hidup sebagai petani.
Untuk makan saja tidak cukup, apalagi untuk bayar pajak dan
untuk pendidikan anak. Kadang-kadang sakit dan dapat uang
dari mana untuk beli obat. Di kota ini, dengan jualan sayur,
dengan ojek, biar sedikit-sedikit, tapi tiap hari uang masuk. Di
kampung, kita tunggu hasil apa? Makan saja tidak cukup apalagi
untuk jual. Paling-paling ternak ayam, tapi ayam juga bisa laku
satu dua ekor, dan soal lagi, untuk beli makanan ayam juga uang
susah. Pelihara babi, sama saja, makanan babi sulit didapat. Ubi
kayu yang harus untuk babi, kita manusia juga butuh untuk
makan. Jadi buat ini susah, buat itu susah. Begitulah hidup di
kampung.”
Keadaan yang digambarkan Yosef Mali ini rata-rata dialami sama oleh
sesama petani yang lain di desa Henes dan Lakmaras. Gambaran lain
dikemukakan oleh Theodorus Bere Laku’ , seorang sarjana muda,
pegawai negeri sipil di kantor kecamatan Lamaknen Selatan. Theodorus
Bere Laku’ (umur 47 tahun, lahir tanggal 31 Desember 1963 ) berasal
dari desa lain, Makir wilayah Kecamatan Lamaknen. Dia berasal dari
suku lain dan datang sebagai manepou di suku rumah isterinya,
Aquilina Mutik, warga suku Maligatal. Dia tinggal di desa isterinya,
desa Lakmaras dan sebagai seorang yang datang dari suku lain, dia
menggarap ladang milik suku isteri. Sebagai seorang berpendidikan
sarjana muda dari Akademi Pemberdayaan Masyarakat Desa, dia tidak
berdaya terhadap tuntutan adat, di mana dia harus menggarap ladang
milik suku isteri. Dia menjelaskan dalam wawancara tgl. 30 Maret 2011:
Saya dengan isteri harus cari tempat yang lain di luar tanah
milik suku isteri saya. Kami berusaha mendekati orang dan
membebaskan tanah padang gembalaan di luar tanah suku dan
kami jadikan milik kami. Kami dua bersama isteri sudah
bangun rumah kecil di tanah milik pribadi kami ini dan kami
sudah bebas dari ladang milik suku. Saya tidak kerjakan lagi
ladang itu karena memang kurang subur apalagi mau tanam
160
tanaman umur panjang juga belum tentu dinikmati oleh anakanak saya. Sebab tanah suku ini sewaktu-waktu bisa beralih
tangan ke anggota yang lain dalam suku. Itu hak ketua suku
untuk mengatur dan kita laki-laki sebagai manepou ini tidak
ada hak apa-apa.
Untuk urusan tanaman milik umum di tanah milik umum, ada
petugas adat, makle’at, dan khusus untuk mengurus tanaman cendana,
ada petugas khusus dikenal dengan jabatan kapitan. Dua petugas adat
ini sekarang difungsikan sebagai aparat desa yang bertugas sebagai
pengawas tanaman milik umum.
Seorang pejabat di Kantor Daerah Kabupaten Belu yang berasal
dari Lamaknen, wilayah suku Buna’ ini, bernama Drs. Yan Letto 31
memberikan penjelasan tentang masalah pemilikan tanah di Lamaknen,
termasuk di desa Henes dan Lakmaras sebagai berikut:
Memang di Lamaknen ada kasus khusus tentang kepemilikan
tanah. Sampai sekarang tidak dibuat sertifikat tanah, karena
tanah ladang di sana milik suku, bukan milik perorangan. Lakilaki yang datang kawin dengan perempuan dari satu suku,
menggarap tanah milik suku dari si-isteri itu. Petani dalam
status seperti ini, yang hanya penggarap dan bukan pemilik,
rasa tanggung-jawabnya sangat tipis. Paling-paling dia garap
tanah itu dan makan hasilnya, tapi untuk pemeliharaan jangka
panjang, tidak ada pikiran ke arah itu. Setiap laki-laki yang
adalah kepala keluarga, mempunyai tugas dan tanggung-jawab
untuk kebutuhan tanah milik sukunya, tanpa menggarap
langsung tanah milik suku sendiri. Tanah milik suku,
dikerjakan oleh saudari-saudari perempuan anggota suku
bersama suami-suami mereka yang berasal dari suku lain. Dan
secara adat, kawin masuk (ton terel), jadi kalau seandainya
isteri meninggal, laki-laki itu pulang ke sukunya tanpa
membawa apa-apa. Kebun yang dia garap bersama isterinya,
dia tinggalkan dan tidak boleh petik apa-apa lagi di tanah itu
sebab bukan miliknya, biarpun dia yang tanam. Misalnya
mangga atau kemiri, kalau isterinya sudah meninggal, dia
31 Yan Letto
, umur 57 tahun, seorang cendekiawan berpendidikan sarjana asal
suku Buna’. Dia lahir tanggal 14 Juli 1954 di Kewar, Kecamatan Lamaknen,
seorang pensiunan PNS, tinggal di Atambua memberikan penjelasan dalam
wawancara tanggal 30 Maret 2011.
161
paling-paling hanya nonton saja dan satu buah pun tidak akan
diberikan lagi kepada dia. Dan dia sendiri juga malu untuk
datang lagi ke kebun itu karena memang bukan miliknya. Dia
ada hak atas kebun milik suku sendiri, tetapi kebun-kebun itu
juga sulit dia nikmati hasilnya selama saudarinya atau saudarisaudarinya bersama suami-suami mereka masih menggarap
tanah-tanah tersebut. Seorang laki-laki suku Buna’ yang
menjadi duda, menjadi laki-laki paling kesasar di dunia ini
karena dia tidak lagi berhak atas tanah yang digarapnya selama
betahun-tahun. Bukan hanya tanah, anak-anak kandungnya
pun dia tingalkan karena anak-anak itu adalah anggota suku
isterinya. Sebaliknya, para ponakan pun cukup jauh dari
dirinya biarpun mereka itulah yang sebenarnya harus
mengurus dirinya karena mereka adalah anggota suku yang
sama. Biar dia sudah kembali dan tinggal di rumah sukunya
sendiri, tapi dia menjadi orang yang tidak bermilik pribadi apaapa kecuali sedikit uang atau binatang piaraan yang dia peroleh
dan bawa pulang ke rumah sukunya. Jalan ke luar, mungkin
dia harus berusaha kawin lagi supaya ada lagi harga diri tapi
berarti dia mulai lagi dari nol.
Keterangan dari Pak Yan Letto ini memberikan gambaran yang
sangat suram tentang status laki-laki sebagai tulang punggung
perekonomian desa di kalangan suku Buna’. Hal ini terjadi karena
sistem perkawinan asli, sul suli’ dara, meminang dan membawa
perempuan sebagai isteri ke suku sendiri oleh laki-laki sudah
ditinggalkan dan diganti dengan perkawinan dengan sistem ton terel,
laki-laki meninggalkan sukunya biarpun tetap menjadi anggota
sukunya sendiri, tetapi datang dan tinggal di suku isteri. Dia sebagai
penumpang di suku rumah isteri dan menggarap ladang milik suku
isteri. Selama dia menggarap tanah ini, dia membayar pajak atas tanah
yang dia garap dan kalau isterinya meninggal dunia, dia tidak ada lagi
tanah untuk digarap. Syukur kalau di suku rumahnya sendiri masih ada
ladang milik suku yang masih kosong, tidak digarap karena suku itu
sudah kekurangan anggotanya yang perempuan, maka dia bisa
menggarap tanah milik suku sendiri tetapi mulai nol, paling-paling
menikmati beberapa pohon mangga atau kemiri yang masih tumbuh di
ladang milik suku itu.
162
Akar dari kemiskinan warga desa Henes dan Lakmaras terletak
pada sistem kepemilikan tanah oleh suku ini yang mematikan inisiatif
para penggarap yang adalah pendatang untuk mengolah tanah ladang
dengan sistim baru yang lebih baik untuk meningkatkan penghasilan.
MAR HONE : KERJA KEBUN
Mar hone artinya, kerjakan kebun. Tenaga manusia menjadi
andalan untuk mengolah lahan di ladang-ladang milik suku rumah di
DHL. Alat pertanian seperti linggis, pacul, sekop belum biasa digunakan
untuk mengolah tanah. Apalagi traktor tangan, belum dikenal dan
tanah berbukitan yang kering dan tandus memang tidak cocok untuk
diolah dengan sistim modern. Atas dasar itulah orang-orang muda di
DHL merasa bernasib malang kalau tinggal di desa dan kerja kebun. Hal
inilah yang menyebabkan banyak orang muda berpindah ke kota kecil,
Atambua. Desa Henes dan Lakmaras sekarang ini dihuni oleh orangorang yang berusia rata-rata di atas empat puluh tahun dan yang berusia
di atas enam puluh tahun sudah tidak produktif lagi untuk mengolah
ladang supaya mendapatkan hasil panen untuk kebutuhan sehari-hari.
Tanah ladang yang digarap oleh kaum pria Buna’ disebut mar na’en
(kebun warisan). Sudah puluhan tahun sampai sekarang, cara mengolah
tanah di DHL tetap yang sama, tebas-bakar. Peralatan pun tetap yang
sama, nut dan turi’ so’ (tajak/tofa dan parang). Setiap pagi mulai mata
hari terbit warga DHL suami-isteri dengan anak-anak (yang belum atau
tidak bersekolah lagi), ramai beriring-iring menapaki jalan setapak pergi
ke kebun (mar). Setiap hari, kecuali hari Minggu atau hari pesta entah
pesta adat, pesta agama (Kristen Katolik) atau pesta hari-hari nasional
seperti tujuh belas Agustus, semua orang berada di ladang.
Pagi hari suami-isteri biasanya tidak sarapan, langsung berkemas
pergi ke kebun. Para suami menarik kuda piaraan untuk diurus di
ladang nanti, sambil di bahunya tergantung dua kelengkapan utama,
kaluk (saku tempat sirih pinang) dan turi’ so’ (parang yang diberi sarung
dan diberi bertali sehingga mudah digantungkan di bahu terjuntai di
antara lengan dan pinggang). Cara membawa dan menggantungkan
kaluk dan turi’ so’ ini disebut olon (menggantung di antara lengan dan
pinggang). Di atas bahu dipikul dua alat yang lain, nut (tofa) dan bat
(tombak). Nut itu alat untuk menggali tanah, besi yang dibuat seperti
163
kapak kecil yang selebar kurang lebih lima sentimeter ditancapkan pada
gagang sepanjang kurang lebih satu setengah meter. Gagangnya biasa
dibuat dari bambu kecil atau yang lebih modern sedikit dibuat dari pipa
besi. Yang dari bambu disebut nut bul ma (tofa bergagang bambu), yang
dari pipa besi disebut nut bul besi (tofa bergagang besi). Mereka
melafalkan kata besi tidak seperti aslinya dalam bahasa Indonesia, tetapi
mengikuti cara penglafalan dalam bahasa Buna’, seperti dalam bahasa
Indonesia, melafalkan pena, sedan.
Gambar 30. Nut (Tofa, Tajak) Tinggi 120 cm
Gambar 31. Nut bul barak
(Tofa, Tajak pendek) panjang 50 Cm
Ti
i 50
Alat yang lain, bat (tombak, dibuat ujungnya seperti pisau lancip
yang ditajamkan kedua sisinya dan sangat tajam, pangkalnya diberi besi
lancip untuk mudah ditancapkan di tanah disebut suta’ ) selalu menjadi
kawan setiap setiap laki-laki dewasa kalau pergi ke kebun atau ke hutan
dengan catatan sebagai senjata pelindung diri kalau ada musuh atau alat
untuk melempar babi hutan (celeng) kalau kebetulan diburu ramairamai di kebun. Semua kaum laki-laki umumnya memakai sarung dan
164
badan bahagian atas ditutup dengan selimut tebal hasil tenunan sendiri
atau kain panas yang dibeli di toko.
Gambar 32. Pria suku Buna’ di DHL memakai kain sebagai
selimutuntuk menahan cuaca yang dingin
Sumber: Eustachius Mali TaE
Kalau ada yang mampu, mulai memakai jaket. Udara yang dingin
hampir sepanjang tahun membuat para pria dewasa di DHL selalu
menutup badannya dengan selimut dengan cara melilitkannya di badan
bahagian atas.
Warga di DHL jarang memakai sendal atau sepatu karena
perkampngan dan ladang di daerah berbukit-bukit apalagi kalau musim
hujan, lorong-lorang di dalam kampung dan menuju kebun itu penuh
lumpur, sehingga pada umumnya sampai sekarang biasa berjalan dengan
bertelanjang kaki. Kaum perempuan bejalan beriring ke kebun dengan
kelengkapan utama, dene bako a (keranjang kecil tempat mengisi sirih
pinang) digantungkan di bahu atau digantungkan di kepala dan
tergantung ke belakang menempel di punggung. Cara ini disebut pin.
Kaum perempuan menjunjung bakul di kepalanya berisi pisau,
periuk, piring dan mok. Bakul ini seperti dapur berjalan. Berjalan ke
165
kebun ini jalan beriring, kaum perempuan biasa berjalan di depan dan
kaum laki-laki di belakang dengan alasan keamanan untuk melindungi
perempuan entah terhadap serangan binatang seperti babi hutan atau
serangan musuh.
Gambar 33. Rene bako’a
(Keranjang tempat sirih untuk perempuan)
Tinggi 30 cm
Mereka hidup di perbatasan dengan Timor Leste sehingga
keamanan sering terganggu oleh orang-orang baik dari Timor-Indonesia
maupun Timor-Leste yang mengambil kesempatan mencuri hewan
piaraan seperti sapi, kuda dan babi dari pendudk DHL atau dari
penduduk desa-desa di wilayah Timor Leste. Penjaga keamanan yang
paling akrab yaitu anjing piaraan selalu mengiring tuannya ke mana pun
mereka pergi. Dalam perjalanan ke kebun ratusan ekor anjing ramairamai mendahului tuan-tuan mereka mencium apa pun saja untuk
dimakan dan kalau ada jejak babi hutan tercium oleh mereka, maka
gonggongan akan memecah kesunyian dan kalau babi hutan ini berada
dekat tempat mereka berjalan, maka sulit luput, pasti menjadi mangsa
ratusan anjing peliharaan ini. Para tuannya biasa turut mengejar dan
166
tombak siap ditancapkan ke tubuh babi hutan yang diterkam anjing.
Perjalanan ke kebun agak terhambat, tetapi untuk hari itu ada santapan
ekstra, daging babi hutan yang biasa dibagi sama rata untuk semua
orang yang mempunyai ladang berdekatan.
Sesampai di kebun, dan ini kebun milik suku si-isteri, ibu-ibu
langsung menyalakan api di pondok untuk memasak jagung yang
dibawa dari rumah ditambah dengan merebus atau membakatr ubiubian yang digali di kebun itu sendiri. Laki-laki mulai mengerjakan
pekerjaan entah membersihkan rumput atau membakar kayu-kayu
penyubur tanah sesuai musim kerja kebun yaitu musim kemarau atau
musim hujan. Di ladang ini suami-isteri akan makan pagi sekitar jam
sepuluh, hot taru solat (matahari mulai panas). Ubi yang dibakar atau
direbus dimakan saat ini sekedar untuk alas perut. Minumannya il
huruk (air dingin), umumnya tidak dimasak, langsung diambil dari
sumur atau pancuran dekat kebun. Sesudah sarapan ini pekerjaan
dilanjutkan, suami mengerjakan pekerjaan yang berat seperti memotong
ranting pohon atau menyusun pematang kebun sedang isteri
mengerjakan pekerjaan yang ringan, membersihkan rumput atau
memetik kacang tali sambil terus menjaga makanan yang dimasak di
tungku api di pondok. Suami terus bekerja dan akan beristirahat sejenak
kalau tiba jam untuk molo a (makan sirih). Suami-suami jarang
berteduh di naungan pohon di kebun. Kalau ada yang suka bernaung,
biar panas terik, orang sekampung akan berceritera dari mulut ke
mulut, orang itu pemalas.
Sekitar jam satu siang, hot mugun ba’at, (matahari condong)
isteri akan memanggil suaminya dan makan pa’ol bolu (jagung rebus)
yang biasa dicampur langsung dengan kacang tali, sayuran berupa daun
labu atau daun pepaya. Sesudah makan siang ini, pekerjaan dilanjutkan
sampai sore. Mereka bergegas untuk segera kembali ke kampung
sebelum hot topa (matahari terbenam).
Kebun yang berjarak umumnya sekitar tiga atau empat
kilometer dari kampung dan semua berada di tempat yang lebih rendah,
membuat para warga DHL harus berjalan mendaki ke kampung sambil
memikul beban yang berat. Laki-laki memikul kayu api yang diikat dan
dipikul di bahu sambil memegang tali kuda dan menyeretnya agar
mengikuti dari belakang. Pada musim panen jagung, kuda-kuda ini
dijadikan hewan angkutan. Kaum perempuan umumnya mempunyai
167
tiga beban: pertama, nawa (bakul dapur berjalan) yang berisi peralatan
makan ditambah dengan bermacam-macam hasil kebun berupa ubiubian, kacang-kacangan dan sayur-sayuran seperti labu dan jantung
pisang sesuai musim, dan pikulan ini dijunjung di atas kepala (tutul).
Kadang-kadang di atas bakul ini masih ditambah dengan ikatan kayu api
yang berat. Beban kedua yaitu rene (bakul bertali) yang digantungkan di
kepala dan bergantung ke punggung. Cara memikul seperti ini disebut
pin. Bakul ini pun berisi hasil kebun yang mudah rusak seperti bunga
labu atau bunga pepaya dan pucuk ubi-ubian serta kacang panjang yang
muda sesuai musim untuk dikupas sepanjang jalan pulang ke desa.
Pekerjaan mengupas kacang panjang ini dilakukan di jalan supaya
sesampai di rumah bisa segera dimasak untuk makan malam. Beban
yang ketiga ialah: anak yang digendong dengan kain sarung (kula’ atau
ipak). Ini kalau keluarga itu mempunyai anak kecil. Rata-rata beban
seorang ibu lebih berat dari seorang suami.
Sesampai di rumah, kesibukan berlanjut dengan pembahagian
tugas: isteri memasak makanan untuk malam sambil memberikan
makanan kepada hewan piaraan, babi. Kuda, kambing dan ayam diurus
oleh suami. Ini pembahagian tetap. Kuda karena hewan tunggangan dan
biasa diikat di luar, kambing binatang padang dan ayam ada kaitan
dengan ayam jantan sebagai hewan piaraan untuk dijadikan hiburan, cie
ti (adu ayam). Sekitar jam delapan malam, kalau makanan sudah masak,
biasanya ubi-ubian yang dibawa dari kebun ditambah sedikit dengan a
piral (nasi beras jagung yang dihancurkan dengan batu) dan
minumannya tetap il huruk (air dingin). Kebiasaan minum air dingin
yang tidak dimasak ini masih berlangsung sampai sekarang biarpun
petugas dari dinas kesehatan sudah memberikan penyuluhan dibantu
oleh tim penggerak dari ibu-ibu PKK (Pendidikan Kesejahteraan
Keluarga) di desa.
Alat kerja para petani di DHL sampai sekarang masih tetap
sederhana seperti lima puluhan tahun lalu, terdiri dari turi’ so’ dan nut
(parang dan tofa). Parang (turi’ so’) untuk menebas ranting-ranting
kayu dan tofa (nut) untuk menyiangi rumput. Memacul tanah, tidak
biasa sehingga alat seperti pacul dan sekop tidak digunakan untuk
pekerjaan bertani. Dengan peralatan yang sederhana ini, nut dan tori’
so’, kebun tidak bisa diperluas.
168
Gambar 34 Turi’ so’ dan Turi’ gol’
Parang (panjang : 70 cm)
Pisau (panjang : 20 cm)
Tenaga manusia tidak cukup untuk membuka lahan yang luas,
apalagi kebun milik suku memang terbatas sekali, rata-rata setiap bidang
hanya seluas setengah hektar. Alat kerja yang lain, ta’ (kapak), dipakai
hanya sesewaktu kalau ada pohon yang besar yang sulit ditebang
dengan parang. Kapak (ta’) hanya sesewaktu saja dipakai untuk
membelah kayu kering guna kepentingan memasak di rumah. Inilah
kegiatan harian warga DHL yang rata-rata hidup dari bertani dan
beternak secara tradisional sampai sekarang. Pengolahan tanah ladang
tetap mengikuti proses yang sudah dijadikan tradisi. Urutan pengerjaan
kebun itu tetap mengikuti tahap-tahap yang tidak berubah dari tahun
ke tahun.
169
Gambar 35. Ta’ ( Kapak )
Panjang 100 cm
Tahap pertama, mar se (bersihkan kebun). Tanah ladang biasa
ditumbuhi pohon-pohon seperti kale’ (gala-gala atau turi), wana (sejenis
pohon berdaun lebar, batangnya terbalut kulit berwarna kelabu), siol
(lantana), bau koles (pohon bunga matahari) dan pohon dan tanaman
perdu ini dibiarkan bertumbuh selama dua tahun. Pohon-pohon dan
tanaman perdu ini menjadi sangat rimbun dan pada awal musim
kemarau (pan porat) bulan Juni – Juli pohon-pohon bersama tanaman
perdu ini ditebas. Kegiatan ini yang disebut mar se (bersihkan kebun).
Tahap kedua, mar hen (jemur kebun). Semua pohon-pohon dan
tanaman perdu yang sudah ditebas itu dibiarkan kering oleh terik
matahari atau dijemur (hen). Penjemuran ini berlangsung selama
kurang lebih satu bulan, bulan Agustus.
Tahap ketiga, hotel geteta’ (potong kayu). Batang-batang pohon
yang besar seperti kale’ (gala-gala/turi) dan wana (pohon berdaun lebar)
dipotong-potong dan diletakkan secara rapi di atas belukar dan
rerumputan yang sudah mengering.
Tahap keempat, mar alan dasa (membersihkan pinggir kebun).
Pada tahap ini pinggir kebun dibersihkan supaya api tidak merambat ke
bidang tanah lain. Di dalam kebun sendiri kalau ada pohon tanaman
umur panjang seperti turul (cendana), barut (kemiri), kulo (nangka), zo
(mangga), ma (bambu), hoza (kelapa), pu (pinang), mok (pisang), maka
sekitar pohon itu rumput kering dibersihkan agar api tidak
170
menghanguskan batang dan daun-daun pohon-pohon itu. Pohon-pohon
lain kalau terkena panas api dan layu, tidak dikenakan denda adat
karena milik sendiri. Tetapi kalau ada pohon cendana yang kedapatan
layu atau terbakar, maka denda yang dikenakan pada pemilik kebun
sangat besar, yaitu: seekor babi besar dan satu karfoun (botol besar) sopi,
ditambah dengan sehelai tais (kain tenun) sebagai simbol pembalut
batang kayu cendana yang terbakar itu. Aturan tentang cendana ini
dibuat pada masa penjajahan Belanda karena pohon cendana merupakan
pohon milik pemerintah dan dilindungi dari penebangan oleh siapa pun
tanpa izin dari pemerintah.
Tahap kelima, mar ini (bakar kebun). Bidang tanah yang
ditutupi batang pohon-pohon dan belukar yang sudah kering dibakar.
Dengan pembakaran ini kebun menjadi bersih dan rumput-rumput
tidak akan tumbuh pada musim hujan sebab benih dan akar-akarnya
pun hangus terpanggang api.
Tahap keenam, hoto koin (menyebar api). Pekerjaan hoto koin
ini dilakukan dengan megumpulkan batang-batang kayu yang tidak
habis terbakar waktu mar ini (bakar kebun) lalu dibakar dan dibiarkan
menjadi bara api. Si petani menyebarkan bara api ini memakai matala 32
(alat pengait bara api terbuat dari bambu kuning). Tujuan penyebaran
bara api ini ialah penghangusan akar rumput dan penyebaran abu yang
bakal menjadi pupuk bagi tanaman padi dan jagung.
Matala ini adalah alat pengait bara api untuk disebarkan di dalam ladang.
Matala dibuat dari batang bambu kuning (ma olas) yang dicabut dengan
32
akarnya dan akar yang melengkung inilah yang dijadikan alat pengait. Sebelum
dipakai, matala ini direndam di dalam air di kali-kali kecil agar menjadi lembab
dan tahan api. Sesudah dipakai seharian, direndam lagi untuk dipakai pada
keesokan hari.
171
Gambar 36. Matala
(Alat Pengait Bara Api di Ladang,
terbuat dari batang bambu kuning
yang dicabut dengan akarnya)
Panjang 3 m
Di bidang tanah yang diolah dengan cara hoto koin ini biasanya
tanaman padi atau jagung bertumbuh subur dan berhasil bagus. Ini pada
musim tanam tahun pertama. Pada musim tanam tahun kedua, tanah itu
tidak subur lagi sehingga disebut mar kolun (kebun rumputan) artinya
kebun yang sudah ditumbuhi rumput-rumputan dan tidak ada lagi
pohon-pohonan seperti kale’ dan wana. Pohon-pohon kale’ dan wana
pada tahun pertama ini mulai tumbuh dan dibiarkan besar untuk masa
dua tahun ke depan. Kebun ini yang disebut mar kolun masih diolah
lagi dengan pembersihan rumput-rumput kering itu yang ditumpuktumpuk untuk dibakar. Tumpukan rumput ini disebut sipil dan sipil
inilah yang dibakar sebelum musim hujan tiba. Hasil dari mar kolun ini
biasanya sangat memprihatinkan karena jagung yang ditanam sudah
tidak subur lagi. Di mar kolun tidak pernah ditanam padi karena
tanaman padi membutuhkan tanah yang subur berupa abu bekas
batang-batang kayu yang dibakar waktu hoto koin. Pada tahun ketiga
kebun ini dibiarkan (mar hi’il) sebagai tanah kosong yang ditumbuhi
belukar dan pohon-pohon kale’ dan wana bersama rumput-rumputan
untuk siap ditebas pada tahun kedua nanti. Di kebun yang ditinggalkan
172
ini masih tersisa ubi kayu dan ubi-ubian lain serta kacang-kacangan
lokal yang siap dipanen pada musim kemarau tahun berikutnya.
Tahap ketujuh, bata’ gara, lutuk ho’on (menyusun pematang,
membuat pagar). Kebun-kebun yang dikerjakan secara beramai-ramai di
wilayah tertentu, dilingkari dengan pagar yang dikerjakan secara
bersama. Dengan lutuk (pagar) ini tanah ladang dipisahkan dari tanah
yang diperuntukkan sebagai padang gembalaan bagi ternak seperti
kerbau, sapi dan kuda. Lutuk dibuat atas beberapa cara. Ada yang dibuat
dari potongan batang kayu-kayu yang ditanam dan dijepit dengan
belahan bambu. Ada yang dibuat dengan cara membaringkan kayukayu itu dalam bentuk memanjang. Ada juga yang membuat pagar
dengan menanam pohon-pohon hidup sehingga menjadi pagar hidup.
Ada yang membuat pagar dengan cara menyusun batu-batu berlapis dua
dan di antara lapisan itu diisi tanah lalu pada musim hujan tanah di
antara susunan batu ini ditanami tanaman kaktus atau tali sisal (agave).
Tanaman tali sisal ini mempunyai guna besar sekali karena pada saat
daun yang tebal itu sudah cukup tua, para pemilik kebun akan
memotong dan mengolahnya untuk mengambil seratnya dan membuat
tali yang kuat dari sera-serat itu. Tali buatan dari serat sisal ini biasa
dipakai untuk berbagai keperluan, terutama untuk tali pengikat kuda
piaraan.
Tahap kedelapan, umon dara (tegakkan tiang persembahan).
Tahap ini merupakan tahap puncak karena seluruh proses sebelumnya
disyukuri pada tahap ini dan proses selanjutnya akan dilaksanakan
dengan permohonan pada leluhur, roh-roh dan Hot Esen agar tidak ada
gangguan dan mendatangkan hasil kebun secara berlimpah-limpah.
Upacara umon dara itu diawali dengan pemotongan sebatang ma olas
(bambu kuning) yang ranting-rantingnya dibiarkan utuh, tidak
dipangkas. Di pertengahan kebun yang sudah bersih biasanya ada
susunan batu berupa bosok (susunan batu tempat persembahan) setinggi
setengah meter dari permukaan tanah. Susunan batu dalam bentuk
lingkaran dengan garis tengah kurang lebih satu meter ini merupakan
pertengahan dari kebun. Kalau susunan batu itu tidak teratur lagi, maka
saat inilah waktu yang cocok untuk menata kembali tempat
persembahan ini. Di samping bosok (susunan batu) inilah ditanam ma
olas (bambu kuning) yang masih beranting. Arti ma olas yang masih
beranting ini ialah lambang pembawa kerindangan dan penolak hama,
173
penolak bala termasuk penolak angin ribut. Kesatuan antara bosok dan
ma olas inilah yang disebut umon. Sesudah ma olas ditanam, bosok
dirapihkan, perempuan tertua dari suku meletakkan beberapa taka
(tenasak) berisi contoh benih yang akan ditanam di ladang itu. Setiap
taka berisi benih, mulai dari jagung, padi, kacang-kacangan, biji-biji
labu dan mentimun. Laki-laki tua yang akan mengolah kebun ini
membawa seekor ayam jantan berwarna merah dan menyembelih ayam
itu di atas bosok. Darah ayam ini dicampur ke dalam air dingin dalam
sebuah matu’ (tabung bambu) lalu daun iligoru (sejenis pakis yang biasa
tumbuh dekat sumber air) dicelupkan ke dalam tabung bambu itu dan
dipakai sebagai alat perecik benih-benih yang sudah disiapkan di sekita
umon. Sesudah benin-benih direciki, air itu dibawa ke empat sudut
kebun dan disana air bercampun darah itu direcikkan. Sementara itu
diucapkan kata-kata, ”Hoee bai late loi ni’, bai ha wen, hani mar mil
kakor, hani biso bin o pelek itil harat” (Hai semua makhluk yang buruk,
semua yang jahat, jangan berkeliaran dalam kebun, jangan merusakkan
benih dan jangan merusakkan tanaman). Sepulangnya dari empat sudut
kebun, tabung bambu yang masih berisi air bercampur darah ayam
ditanam di bawah batang bambu yang sudah lebih dahulu ditanam
dekat bosok. Air dalam tabung yang ditanam ini menjadi simbol untuk
kesuburan tanaman yang akan ditanam di kebun itu. Ayam yang sudah
disembelih itu dibersihkan bulunya dan bulu-bulu itu dihamburkan ke
segala penjuru dalam kebun dengan harapan tanaman akan bertumbuh
subur dan berhasil. Ayam itu dipotong dan hula (usus halus) dari ayam
itu diperiksa untuk mengetahui apakah tanaman di ladang itu akan
berhasil atau tidak. Kalau dilihat di hula (usus ayam) itu ada tanda baik
maka upacara dilanjutkan, tetapi kalau ada tanda buruk, maka
diusahakan seekor babi kecil untuk dibunuh dan menetralkan tanda
yang kurang baik itu untuk menjadi baik. Selanjutnya bahagian cakar
dari ayam itu digantungkan di batang ma olas (bambu kuning) sebagai
makanan bagi roh-roh jahat penghuni langit agar tidak mengganggu
tanaman dan sekaligus sebagai penolak bencana, longsor dan hujan
angin agar tidak merusak tanaman. Daging ayam dimasak dan sedikit
potongan daging yang matang itu diisi dalam taka bersama nasi,
diletakkan di bawah ma olas sebagai santapan bagi roh-roh yang baik.
Sedangkan untuk roh-roh jahat, irisan daging yang masih mentah
bersama sejemput beras dilemparkan ke empat penjuru mata angin
174
sambil berseru, ”Hoee, bai late loi ni’, bai ha wen, ei ie itu an o ba, ei ie
lama’ na o ba, det dege hosok, det dege holan, mal alan gene, mal ate
gene” (Hai semua makhluk yang buruk, semua yang jahat, itulah
bahagian kamu, itulah porsi kamu, tangkap sendiri, telan sendiri, pergi
ke pinggiran, pergi ke kejauhan). Sesudah upacara umon dara ini tibalah
tahap berikutnya, menanam.
Tahap kesembilan, muk ere (tanam bibit). Penanaman benih
padi dilaksanakan pertama di sekitar umon baru disusul dengan
penanaman di bahagian lagi dari ladang. Lalu ladang yang sudah
dibersihkan melalui pembakaran itu mulai ditanami dengan padi pada
bulan September-Oktober sebelum hujan turun. Batang-batang ubi
kayu pun ditanam pada waktu ini. Anakan pisang ditanam pada akhir
musim panas dengan tujuan batang pisang dalam tanah itu menjadi
panas dan mudah bertunas kalau dibasahi hujan. Kalau anakan pisang
ditanam sesudah tanah basah, maka menurut para petani suku Buna’,
pisang akan tumbuh merana karena batang dalam tanah itu dimakan
ulat. Kalau hujan turun dua atau tiga kali, tanah dianggap sudah cukup
basah dan para wanita mulai menanam jagung, kacang-kacangan dan
tanaman lain seperti labu, mentimun dan mendikai.
Tahap kesepuluh, u tul (tofa rumput). Pekerjaan membersihkan
kebun pada musim hujan ini biasa dilaksanakan secara gotong-royong,
disebut u gowol (tofa rumput bersama). Kalau beberapa orang saja yang
melaksanakan pembersihan kebun secara bergilir, maka sistim ini
disebut kawak (saling membantu).
Tahap kesebelas, a sagal (cari makanan, panen). Jagung yang
sudah tua dipanen, disebut, pa’ol gure’ (patah jagung). Padi yang sudah
tua dipotong, disebut, ipi wit (ambil padi/ panen padi). Turis yang sudah
kering dipetik dan dihancurkan kulitnya agar bijinya dapat diambil dan
disimpan. Pembersihan turis ini disebut tir tu’u (tumbuk turis).
Tahap keduabelas, pa’ol tula, ipi tula (angkut jagung dan