EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING GUNA PEMBENTUKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DALAM MATA PELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN PADA SISWA SMK PERINDUSTRIAN YOGYAKARTA.

(1)

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING GUNA PEMBENTUKAN KEMAMPUAN BERPIKIR

KRITIS DALAM MATA PELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN PADA SISWA SMK PERINDUSTRIAN

YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Disusun oleh:

DWI HETI NURDIYANTI 10401244015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN JURUSAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014


(2)

i

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING GUNA PEMBENTUKAN KEMAMPUAN BERPIKIR

KRITIS DALAM MATA PELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN PADA SISWA SMK PERINDUSTRIAN

YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Disusun oleh:

DWI HETI NURDIYANTI 10401244015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN JURUSAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014


(3)

(4)

(5)

v

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar karya saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan orang lain kecuali sebagai acuan atau kutipan dengan mengikuti tata penulisan karya ilmiah yang telah lazim

Tanda tangan dosen penguji yang tertera dalam halaman pengesahan adalah asli. Jika tidak asli, saya siap menerima sanksi ditunda yudisium pada periode berikutnya.

Yogyakarta, 16 Juni 2014 Yang Menyatakan,

Dwi Heti Nurdiyanti NIM. 10401244015


(6)

vi

Motto

Allah SWT tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS. Al-Baqarah:

286)

Hanya ada dua cara menjalani hidup ini dengan mudah, memppercayai segalanya atau

meragukan segalanya

Jangan berjalan jika kau bisa berlari Janganlah mengaharapkan kebahagian dari

orang lain, tetapi berusahalah memberikan kebahagian kepada orang lain

Jangan pernah meremehkan orang lain, karena kita belum tentu lebih baik dari orang yang kita


(7)

vii

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya kecil ini untuk: Kedua Orang Tuaku Tercinta

Bapak Mukhiban dan Ibu Kustiyah atas segenap doa, kasih sayang, pengorbanan, nasihat, motivasi dan semangat yang kau berikan

tiada henti baik materi maupun rohani.

Kakek yang selalu mendoakan dan memberi semangat kepada cucunya yang lemah ini, terimakasih kesabaranya menghadapi

cucumu ini.

Kubingkiskan karya ini untuk orang-orang yang berharga dan dekat dalam hidup penulis:

Mba Eni, Mas Andik, Adikku Alfian, Badar Arizzki, dan ponakanku Kaka

terima kasih atas doa, dukungan, dan motivasi yang diberikan selama ini.

Febri Handayani. Damayanti, Devi Nurhayatiningsih, Rahma Putri Damayanti

Teman-teman PKnH 2010, terimakasih atas segala motivasi dan keceriaan yang selalu mencairkan suasana


(8)

viii

Efektivitas Penggunaan Model Pembelajaran Problem Based Learning Guna Pembentukan Kemampuan Berpikir Kritis dalam Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Pada Siswa SMK Perindustrian Yogyakarta

Oleh :

Dwi Heti Nurdiyanti 10401244015

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa antara yang diajar dengan menggunaan model pembelajaran Problem Based Learning masalah riil atau nyata dengan masalah yang imajiner atau disimulasikan dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada siswa kelas X SMK Perindustrian Yogyakarta.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode komparasi, randomized pre-test, post-test control group design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMK Perindustrian Yogyakarta yang berjumlah 78 siswa dan terdiri dari 4 kelas. Jumlah sampel sebanyak 41 siswa yang terdiri dari 2 kelas sebagai kelas eksperimen dan kontrol yang dipilih secara random. Teknik pengumpulan data menggunakan tes kemampuan berpikir kritis dan lembar observasi. Teknik analisis data yang digunakan berupa perhitungan uji independent samples t-test dan gain score.

Hasil penelitian ini adalah ada perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa antara yang diajar menggunaan model pembelajaran Problem Based learning dengan masalah riil atau nyata dengan masalah yang imajiner atau disimulasikan dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada siswa kelas X SMK Perindustrian Yogyakarta. Hal ini ditunjukkan dengan hasil perhitungan uji independent t-test nilai thitung adalah 5,211 dengan db 39 pada taraf signifikansi 5% sebesar 2,021. Nilai thitung ttabel, atau nilai Sig. 0,000 < 0,05. Besarnya efektivitas dilihat dari perolehan gain score di kelas eksperimen 0,6 (sedang) dan kelas kontrol 0,2 (rendah).


(9)

ix

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Efektivitas Penggunaan Model Pembelajaran Problem Based Learning Guna Pembentukan Kemampuan Berpikir Kritis Pada Siswa SMK Perindustrian Yogyakarta”.

Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan karena bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd, M.A selaku Rektor Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M. Ag. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian Tugas Akhir Skripsi ini.

3. Bapak Dr. Samsuri, M. Ag. selaku ketua jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian Tugas Akhir Skripsi ini.

4. Bapak Muchson AR, M. Pd. selaku dosen pembimbing akademik.

5. Bapak Suyato, M. Pd. selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing penulis, memberikan pengarahan dan masukan dalam menyusun laporan ini.


(10)

x

6. Seluruh staf pengajar dan karyawan pada jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.

7. Bapak Dr. Sujarwanto, M. Pd. selaku kepala sekolah SMK Perindustrian Yogyakarta yang telah memberikan ijin penelitian kepada penulis.

8. Ibu Ina Nur Arina, S.Pd. selaku guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di SMK Perindustrian Yogyakarta yang telah banyak membantu dalam proses penelitian.

9. Segenap keluarga, sahabat, dan teman-teman yang telah memberikan motivasi dalam menyelesaikan laporan ini.

10.Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan laporan ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik sangat penulis harapkan. Harapan penulis semoga karya ini dapat bermanfaat bagi semua.

Yogyakarta, 4 April 2014 Penulis,


(11)

xi DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Pembatasan Masalah ... 9

D. Rumusan Masalah ... 10

E. Tujuan ... 10

F. Manfaat ... 11

BAB II. KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori ... 13

1. Kajian Berpikir Kritis ... 13

a. Pengertian Berpikir Kritis ... 13

b. Ciri-ciri Berpikir Kritis ... 16

c. Pentingnya Berpikir Kritis dalam Pendidikan... 18

2. Kajian tentang Pembelajaran ... 19

3. Model Problem Based Learning ... 22


(12)

xii

b. Hakikat Masalah Problem Based Learning ... 29

c. Langkah-langkah Pembelajaran ... 31

d. Keunggulan Problem Based Learning ... 34

e. Kelemahan Problem Based Learning ... 36

f. Perbedaan model pembelajaran Problem Based Learning dengan metode lain ... 37

4. Kajian tentang Pendidikan Kewarganegaraan ... 38

a. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan ... 38

b. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan ... 41

c. Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan ... 42

d. Aspek Pendidikan Kewarganegaraan ... 43

B. Kerangka berpikir... 45

C. Penelitian Relevan ... 47

D. Hipotesis ... 47

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Pendekatan Penelitian... 49

B. Variabel Penelitian ... 50

C. Tempat dan Waktu Penelitian ... 51

D. Populasi dan Sampel ... 51

E. Prosedur Penelitian... 53

F. Teknik Pengumpulan Data ... 55

G. Instrumen Penelitian... 56

H. Uji Coba Instrumen ... 58

I. Teknik Analisis Data ... 63

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian... 69

B. Hasil Penelitian ... 74

1. Waktu Penelitian ... 74

2. Pelaksanaan Penelitian ... 74


(13)

xiii

4. Deskripsi Hasil Observasi ... 95

C. Hasil Analisis Data ... 96

1. Uji Prasyarat Analisis ... 96

2. Uji Hipotesis ... 100

D. Pembahasan ... 102

E. Keterbatasan Penelitian ... 106

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 109

B. Saran ... 110

DAFTAR PUSTAKA ... 112


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Proses Pembelajaran ... 28 2. Kerangka Berpikir ... 46 3. Distribusi Frekuensi Pretest Kemampuan Berpikir Kritis

Siswa Kelas Kontrol ... 82 4. Diagram Pie Kecenderungan Skor Pretest Kemampuan

Berpikir Kritis Siswa Kelas Kontrol ... 84 5. Distribusi Frekuensi Postest Kemampuan Berpikir Kritis

Siswa Kelas Kontrol ... 86 6. Diagram Pie Kecenderungan Skor Potest Kemampuan

Berpikir Kritis Siswa Kelas Kontrol ... 87 7. Distribusi Frekuensi Pretest Kemampuan Berpikir Kritis

Siswa Kelas Eksperimen ... 89 8. Diagram Pie Kecenderungan Skor Pretest Kemampuan

Berpikir Kritis Siswa Kelas Eksperimen ... 91 9. Distribusi Frekuensi Postest Kemampuan Berpikir Kritis

Siswa Kelas Eksperimen ... 92 10. Diagram Pie Kecenderungan Skor Postest Kemampuan


(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Fase Model Pembelajaran Problem Based Learning ... 25

2. Perbedaan Problem Based Learning dengan Metode lain ... 37

3. Desain Penelitian Pre-test Post-test Control Group Design ... 49

4. Perincian Jumlah Siswa Kelas X Siswa SMK Perindustrian Yogyakarta ... 52

5. Kisi-kisi Tes Pendidikan Kewarganegaraan ... 57

6. Aspek Butir Soal ... 57

7. Skor Butir Soal Tes ... 57

8. Validasi Soal Tes ... 61

9. Kelompok Belajar Kelas Kontrol ... 76

10. Kelompok Belajar Kelas Eksperimen ... 79

11. Data Pretest Kemampuan Berpikir Kritis siswa Kelas Kontrol ... 82

12. Kategorisasi Kecenderungan Perolehan Skor Pretest Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas Kontrol ... 84

13. Data Postest Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas Kontrol ... 85

14. Kategorisasi Kecenderungan Perolehan Skor Postest Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas Kontrol ... 87

15. Data Pretest Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas Eksperimen ... 89

16. Kategorisasi Kecenderungan Perolehan Skor Pretest Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas Eksperimen ... 90

17. Data Postest Kemampuan Berpikir Kritis siswa Kelas Eksperimen ... 92

18. Kategorisasi Kecenderungan Perolehan Skor Postest Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas Eksperimen ... 94


(16)

xvi

19. Rangkuman Hasil Uji Normalitas Sebaran Data

Kemampuan Berpikir Kritis ... 98 20. Hasil Perhitungan Homogenitas Tes ... 99 21. Rangkuman Hasil Uji-t Kemampuan Berpikir Kritis Siswa


(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Instrumen Soal, Lembar Observasi, dan Hasil Observasi ... 116

2. Data Penelitian Variabel Kemampuan Berpikir Kritis ... 137

3. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 147

4. Uji Normalitas dan Homogenitas ... 149

5. Uji Independent Samples t-tes ... 151

6. Gain Score ... 154

7. RPP ... 156

8. Daftar Nama Siswa ... 167

9. Dokumentasi ... 170


(18)

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING GUNA PEMBENTUKAN KEMAMPUAN BERPIKIR

KRITIS DALAM MATA PELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN PADA SISWA SMK PERINDUSTRIAN

YOGYAKARTA Oleh :

Dwi Heti Nurdiyanti 10401244015

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa antara yang diajar dengan menggunaan model pembelajaran Problem Based Learning masalah riil atau nyata dengan masalah yang imajiner atau disimulasikan dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada siswa kelas X SMK Perindustrian Yogyakarta.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode komparasi, randomized pre-test, post-test control group design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMK Perindustrian Yogyakarta yang berjumlah 78 siswa dan terdiri dari 4 kelas. Jumlah sampel sebanyak 41 siswa yang terdiri dari 2 kelas sebagai kelas eksperimen dan kontrol yang dipilih secara random. Teknik pengumpulan data menggunakan tes kemampuan berpikir kritis dan lembar observasi. Teknik analisis data yang digunakan berupa perhitungan uji independent samples t-test dan gain score.

Hasil penelitian ini adalah ada perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa antara yang diajar menggunaan model pembelajaran Problem Based learning dengan masalah riil atau nyata dengan masalah yang imajiner atau disimulasikan dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada siswa kelas X SMK Perindustrian Yogyakarta. Hal ini ditunjukkan dengan hasil perhitungan uji independent t-test nilai thitung adalah 5,211 dengan db 39 pada taraf signifikansi 5% sebesar 2,021. Nilai thitung ttabel, atau nilai Sig. 0,000 < 0,05. Besarnya efektivitas dilihat dari perolehan gain score di kelas eksperimen 0,6 (sedang) dan kelas kontrol 0,2 (rendah).


(19)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam mewujudkan warga negara yang berkepribadian tinggi dan berakhlak mulia, sehingga dapat menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Tujuan Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang sistem pendidikan nasional tentang pendidikan dituangkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Upaya untuk mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut tentunya harus dibarengi dengan peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Hal ini tidak terlepas dari keberhasilan proses pembelajaran, dimana antara guru, siswa, dan metode harus saling berkerja sama, serta ditunjang dengan faktor-faktor penentu lainnya seperti minat belajar siswa, tingkat kecerdasan siswa, fasilitas belajar yang tersedia atau sarana dan prasarana, kurikulum, media pembelajaran, dan sebagainya. Peran utama untuk


(20)

2

meningkatkan mutu pendidikan tersebut menjadi tanggung jawab seorang guru sehingga guru harus memiliki inovasi pembelajaran yang positif dalam mengembangkan metode pembelajaran.

Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dalam Pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa:

Guru adalah pendidik profesional dan tugas utamanya adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Tuntutan profesional guru ini ditujukan untuk semua guru mata pelajaran tanpa terkecuali. Seorang guru dituntut lebih kreatif dan inovatif dalam teknik pembelajaran. Akan tetapi, pada kenyataaannya banyak guru hanya menggunakan metode ceramah dalam mengajar karena kepraktisannya dan tanpa menggunakan model pembelajaran dalam proses belajar mengajar.

Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam Lampiran Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang standar isi bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan berpikir kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan; berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti korupsi; berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya; berinteraksi dengan bangsa-bangsa-bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Dari penjelasan di atas, kemampuan berpikir kritis sangatlah penting dalam mata pelajaran PKn terutama dalam


(21)

3

hal memberikan kritikan terhadap isu kewarganegaraan yang sedang berkembang pada masa kini baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, jika guru hanya menggunakan metode ceramah secara terus menerus maka hal itu akan menjadikan siswa pasif, karena guru hanya sebagai sumber informasi (Teacher Centered Learning) sedangkan siswa hanya sebagai objek didiknya sehingga umpan balik dari siswa relatif rendah.

Menurut Robert H. Ennis, sebagaimana dikutip H. A. R. Tilaar (2011: 15), berpikir kritis adalah suatu proses berpikir reflektif yang berfokus untuk memutuskan apa yang diyakini untuk diperbuat. Hubungan kemampuan berpikir kritis dengan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sangat erat dimana agar fungsi Pendidikan Kewarganegaraan yaitu sebagai wahana untuk membentuk warga negara cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945 bisa terlaksana dengan baik. Akan tetapi, jika guru hanya memberikan materi saja tidak menghubungkan dengan situasi nyata yang terjadi dalam masyarakat maka siswa cenderung pasif tidak menggali pengetahuan lebih dalam tentang materi yang sudah didapatkan di kelas. Dalam hal ini kemampuan berpikir kritisnya kurang berkembang.

Menurut teori dalam jurnal “The Teaching Brain and The End of The Empty Vessel” (Vanessa Rodriguez, 2012: 177), dahulu guru menganggap otak siswa diibaratkan seperti wadah kosong kemudian guru


(22)

4

mencari cara bagaimana untuk mengisi otak kosong tersebut seefektif mungkin akan tetapi sekarang ini pembelajaran sudah tidak seperti itu lagi dimana antara guru dan siswa bekerja sama dalam proses pembelajaran. Pada faktanya sekarang ini dalam pembelajaran guru masih menganggap siswa sebagai objek pembelajaran dimana guru adalah sumber informasi. Hal ini menjadikan kemampuan berpikir kritis siswa kurang berkembang

Guru yang kreatif akan selalu berupaya mencari metode belajar mengajar siswa yang sesuai dengan mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa, serta guru harus dinamis dalam mencari dan memanfaatkan sumber informasi dari berbagai media dan menghubungkannya dengan materi pembelajaran yang sedang diajarkan. Pada kenyataannya metode pembelajaran yang digunakan oleh guru khususnya guru mata pelajaran PKn adalah metode ceramah, dimana guru memegang peranan utama dalam menentukan isi dan langkah-langkah dalam menyampaikan materi kepada siswa. Metode ini berkisar pada pemberian ceramah, tanya jawab, diskusi, dan penugasan. Akibatnya kemampuan berpikir kritis siswa kurang berkembang.

Menurut Richard I. Arends (2008: 41) Problem Based Learning berupaya menyuguhkan berbagai situasi bermasalah yang autentik dan bermakna kepada siswa, yang dapat berfungsi sebagai batu loncatan untuk investigasi dan penyelidikan. Problem Based Learning dirancang terutama untuk membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir, keterampilan menyelesaikan masalah, dan keterampilan intelektualnya;


(23)

5

mempelajari peran-peran orang dewasa dengan mengalaminya melalui berbagai situasi riil atau situasi yang disimulasikan; dan menjadi pelajar yang mandiri dan otonom. Pada kenyataannya model pembelajaran ini jarang digunakan oleh guru terutama pada mata pelajaran PKn. Padahal PKn sebagai pendidikan politik, pendidikan demokrasi, pendidikan HAM, dan pendidikan karakter sangat cocok untuk menggunakan model ini dimana siswa dapat mengembangkan pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan kewarganegaraan (civic skills), dan karakter kewarganegaraan (civic dispositions) diantaranya adalah kemampuan berpikir kritis dalam mananggapi isu yang sedang berkembang dalam masyarakat dengan materi/ konsep yang didapatnya di sekolah.

Menurut pra-observasi yang dilakukan peneliti ketika kegiatan PPL di SMK Perindustrian Yogyakarta pada tanggal 18 Juli hingga 21 September 2013, bahwa metode pembelajaran yang digunakan oleh guru khususnya pada kelas X SMK Perindustrian Yogyakarta hanya sebatas metode konvensional yaitu hanya mengandalkan materi yang ada pada buku cetak atau LKS dan ceramah yang diberikan oleh guru di kelas. Oleh karena itu yang terjadi di lapangan adalah siswa pada saat mengikuti pelajaran di kelas cenderung pasif, hanya mencatat materi yang diberikan guru akibatnya mereka tidak dapat membedakan ide yang relevan dan tidak relevan. Ketika guru memberikan tanya jawab, siswa tidak tertarik untuk menjawab pertanyaan. Mereka hanya diam tanpa memberikan respon untuk menangggapi pertanyaan atau memberikan kritikan bahkan


(24)

6

ada siswa yang tidur di kelas dan ramai sendiri dengan teman lain sehingga kegiatan pembelajaran tidak berjalan lancar. Selain itu perpustakaan sebagai gudang ilmu yang menyediakan buku-buku, jurnal, majalah, surat kabar atau publikasi lain yang berguna bagi siswa sebagai sumber informasi dan tambahan referensi belajar masih kurang dimanfaatkan.

Peneliti memilih kelas X SMK Perindustrian Yogyakarta dikarenakan tahap atau fase remaja itu dibagi menjadi dua yaitu remaja awal dan remaja akhir. Ada perbedaan yang signifikan antara karakter dan kemampuan sosial remaja awal dan remaja akhir kelas X adalah masa transisi antara kelas IX dengan kelas X oleh karenanya perlu penanganan lebih untuk mengembangkan kemampuan berpikir atau kemampuan kognisi siswa pada masa transisi tersebut.

Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan dalam proses pembelajaran yaitu dengan cara memperbaiki pola dalam pembelajaran PKn, agar kemampuan berpikir kritis terbentuk secara optimal. Hal ini dilakukan dengan menerapkan pola pembelajaran yang demokratis. Model pembelajaran ini yang sesuai dengan mata pelajaran PKn adalah pembelajaran yang menuntut peran serta aktif siswa dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu model pembelajaran Problem Based Learning digunakan agar selain tidak membosankan dan mengatasi kejenuhan siswa dalam belajar, diharapkan mampu untuk membentuk kemampuan berpikir kritis pada siswa.


(25)

7

Model pembelajaran Problem Based Learning memiliki akar intelektual yang sama dengan inquiry teaching dan cooperative learning. Dimana di dalam model ini ditandai oleh siswa-siswa yang bekerja bersama siswa-siswa lain, paling sering secara berpasangan atau dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Bekerja bersama-sama memberikan motivasi untuk keterlibatan secara berkelanjutan dalam tugas-tugas kompleks dan meningkatkan kesempatan untuk melakukan penyelidikan dan dialog bersama, dan untuk mengembangkan berbagai keterampilan sosial misalnya keterampilan kemampuan berpikir kritis. Proses pembelajaran ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk mampu memberikan kemandirian serta pengarahan diri, memiliki keterbukaan dan keutuhan diri dalam memilih alternatif tindakan terbaik, menyampaikan pendapat dalam memecahkan masalah serta mampu menghargai pendapat orang lain.

Salah satu kelebihan dari model pembelajaran Problem Based Learning adalah mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru. Oleh karena itu kelebihan dari model ini sangat cocok dengan tujuan dan fungsi Pendidikan Kewarganegaraan yaitu sebagai wahana untuk membentuk warga negara cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945.


(26)

8

Penelitian tentang penggunaan model pembelajaran Problem Based Learning memang sudah banyak dilakukan akan tetapi belum ada yang meneliti penggunaan model pembelajaran ini dengan membandingkan dua kelompok dimana kelompok yang pertama menggunakan masalah yang riil atau nyata yang terjadi dalam masyarakat dan kelompok kedua menggunakan masalah yang imajiner atau disimulasikan. Hal ini menarik untuk diteliti agar mengetahui bagaimana perbedaan perubahan siswa pada pembentukkan kemampuan berpikir kritis.

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa dengan penggunaan model pembelajaran Problem Based Learning dengan masalah riil atau nyata dengan masalah imajiner atau disimulasikan dalam mata pelajaran PKn diharapkan bisa membuat siswa aktif mampu berpikir kritis terhadap masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan nyata. Maka peneliti mengajukan penelitian tentang “Efektivitas Penggunaan Model Pembelajaran Problem Based Learning Guna Pembentukan Kemampuan Berpikir Kritis dalam Mata Pelajaran PKn Pada Siswa SMK Perindustrian Yogyakarta”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat diidentifikasi permasalahan-permasalahan sebagai berikut:


(27)

9

2. Fasilitas perpustakaan sebagai sumber referensi kurang dimanfaatkan oleh siswa.

3. Guru menggunakan metode ceramah secara terus-menerus sehingga siswa menjadi cepat bosan.

4. Ketika guru mengadakan tanya jawab, siswa tidak tertarik untuk menjawab pertanyaan mereka hanya diam tanpa memberikan respon untuk menangggapi pertanyaan atau memberikan kritikan. 5. Kemampuan berpikir kritis di SMK Perindustrian Yogyakarta

belum terbentuk secara optimal karena siswa hanya bersikap pasif yaitu hanya mencatat materi yang diberikan guru.

6. Keseriusan siswa mengikuti mata pelajaran PKn masih kurang, terbukti dengan ada beberapa siswa yang tidur di kelas, ramai sendiri sehingga siswa kurang memahami dan menguasai materi yang disampaikan oleh guru.

7. Model Pembelajaran Problem Based Learning yang membandingkan dua kelompok yaitu kelompok pertama yang menggunakan masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan riil atau nyata dan kelompok kedua dengan menggunakan masalah yang imajiner atau disimulasikan belum pernah diterapkan di SMK Perindustrian Yogyakarta.


(28)

10 C. Pembatasan Masalah

Adapun dalam penelitian ini, peneliti membatasi masalah yang telah disebutkan pada identifikasi masalah dengan maksud agar penelitian lebih terfokus pada permasalahan yang hendak diteliti, yaitu: Model Pembelajaran Problem Based Learning yang membandingkan dua kelompok yaitu kelompok pertama yang menggunakan masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan riil atau nyata dan kelompok kedua dengan menggunakan masalah yang imajiner atau disimulasikan belum pernah diterapkan di SMK Perindustrian Yogyakarta.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian identifikasi masalah dan batasan masalah maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu: Adakah perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa antara penggunaan model pembelajaran Problem Based Learning dengan masalah riil atau nyata dengan masalah yang imajiner atau yang disimulasikan dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada siswa kelas X SMK Perindustrian Yogyakarta.

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kemampuan berpikir kritis antara penggunaan model pembelajaran Problem Based Learning dengan masalah riil atau nyata dengan masalah yang imajiner atau disimulasikan dalam mata


(29)

11

pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada siswa kelas X SMK Perindustrian Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam ilmu pendidikan khususnya mata pelajaran PKn yang berhubungan dengan penggunaaan model pembelajaran dalam pembentukan kemampuan berpikir kritis.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Sekolah

Sebagai masukan mengenai variasi model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran khususnya mata pelajaran PKn.

b. Bagi Guru

Penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi guru untuk mengoptimalkan proses pembelajaran PKn dengan menggunakan metode pembelajaran yang inovatif sehingga pada akhirnya dapat mencapai tujuan pembelajaran.


(30)

12 c. Bagi Siswa

Dengan menggunakan metode pembelajaran ini diharapkan mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada siswa dan menjadikan mata pelajaran PKn lebih menyenangkan.

d. Bagi Peneliti

Dapat mengetahui efektivitas penggunaan model pembelajaran Problem Based Learning dengan menggunakkan masalah riil atau nyata dan masalah imajiner atau yang disimulasikan dalam pembentukan kemampuan berpikir kritis dalam mata pelajaran PKn pada siswa SMK Perindustrian Yogyakarta.


(31)

13 BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori

1. Kajian Kemampuan Berpikir Kritis a. Pengertian Berpikir Kritis

Pengertian berpikir kritis dijelaskan oleh beberapa ahli yang dikutip oleh H. A. R. Tilaar (2011: 15-16) sebagai berikut: Robert H. Ennis (2011), menyatakan bahwa Critical thinking is reasonable and reflective thinking focused on deciding what to believe or do (berpikir kritis adalah suatu proses berpikir reflektif yang berfokus untuk memutuskan apa yang diyakini untuk diperbuat). Hal ini berarti di dalam berpikir kritis diarahkan kepada rumusan-rumusan yang memenuhi kriteria tertentu untuk diperbuat. Richard Paul (1990), menyatakan berpikir kritis adalah suatu kemampuan dan disposisi untuk mengevaluasi secara kritis suatu kepercayaan atau keyakinan, asumsi apa yang mendasarinya dan atas dasar pandangan hidup mana asumsi tersebut terletak. Lipman (1991) mendefinisikan berpikir kritis sebagai berpikir yang memfasilitasi keputusan oleh karena didasarkan kepada kriteria yang nyata, yang self-corrective dan substantif dalam konteks.

Dalam Jurnal oleh Patricia C. Seifert tentang thinking critically mendefinisikan berpikir kritis secara formal maupun informal.


(32)

14

Definisi formal yang dijelaskan oleh Facione, Facione, and Sanchez sebagai berikut:

Critical thinking is a process of making reasoned judgments based on the consideration of available evidence, contextual aspects of a situation, and pertinent concepts (2010: 197).

(Berpikir kritis adalah sebuah proses pembuatan keputusan beralasan berdasarkan pertimbangan bukti yang tersedia, aspek kontekstual dari situasi, dan konsep yang bersangkutan).

Sedangkan definisi secara informal menurut Patricia C. Seifert adalah sebagai berikut:

less formal and more skeptical definition of critical thinking: deciding what to do and when, where, why, and how to do it (2010: 197).

(definisi kurang formal dan lebih skeptis terhadap pemikiran kritis: memutuskan apa yang harus dilakukan dan kapan, dimana, mengapa, dan bagaimana melakukannya).

Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa keterampilan berpikir kritis lebih mungkin untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang selalu adanya rasa ingin tahu dalam sebuah proses untuk memecahkan masalah.

Lebih lanjut Mark Mason (2007: 341-343) mengutip pendapat Robert H. Ennis, mendefinisikan konsep berpikir kritis terutama didasarkan pada keterampilan tertentu khususnya keterampilan mengamati, menyimpulkan, generalisasi, penalaran, mengevaluasi penalaran dan sejenisnya; Richard Paul juga menekankan keterampilan yang terkait dengan berpikir kritis dalam arti lemah (kemampuan untuk berpikir kritis tentang posisi diri sendiri) dan


(33)

15

berpikir kritis dalam arti kuat (kemampuan untuk berpikir kritis tentang posisi sendiri, argumen, asumsi, dan pandangan yang luas) termasuk pengetahuan yang mendalam tentang diri sendiri yang membutuhkan baik keberanian intelektual maupun kerendahan hati; John McPeck berpendapat bahwa berpikir kritis adalah khusus untuk disiplin tertentu yang tergantung pada pengetahuan yang menyeluruh dan pemahaman isi dan epistemologi dari disiplin; Harvey Siegel berpikir kritis adalah cara untuk memberikan alasan penilaian suatu komponen penting dalam domain disposisional; Jane Roland Martin menekankan disposisi terkait dengan berpikir kritis menunjukkan bahwa itu dimotivasi oleh dan didirikan pada perspektif moral khususnya nilai-nilai tertentu.

Definisi-definisi di atas menunjukkan bahwa berpikir kritis merupakan suatu konsep yang normatif. Menurut pendapat peneliti berpikir kritis adalah kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk mengembangkan pengetahuan yang dimiliki, mengevaluasi, dan menghubungkan dengan fakta atau informasi dari berbagai sumber. Berpikir kritis bukan hanya sebuah instumen akan tetapi tidak mudah menerima fakta, tidak puas dengan fakta pendukung. Dalam hal ini fakta bukan hanya merupakan pemberat jawaban tetapi benar-benar kebenaran.


(34)

16 b. Ciri-ciri Berpikir Kritis

Proses berpikir kritis merupakan keterbukaan pikiran, kerendahan hati, dan kesabaran. Tulisan kritis tergantung pada membaca kritis. Sebagian besar tulisan yang ditulis akan melibatkan refleksi pada teks tertulis, pemikiran, dan penelitian yang telah dilakukan. Dalam rangka untuk menulis analisis sendiri, maka perlu melakukan pembacaan kritis yang cermat, sumber dan menggunakannya secara kritis untuk membuat argumen sendiri. Penilaian dan interpretasi dalam membuat teks yang sudah dibaca adalah langkah pertama menuju merumuskan pendapat sendiri.

Cece Wijaya (1995: 72-73), ciri-ciri berpikir kritis sebagai berikut: mengenal secara rinci bagian-bagian dari keputusan; pandai mendeteksi permasalahan; mampu membedakan ide yang relevan dengan ide yang tidak relevan; mampu membedakan fakta dengan fiksi atau pendapat; dapat membedakan antara kritik yang membangun dan merusak; mampu mengidentifikasi atribut-atribut manusia, tempat, dan benda, seperti dalam sifat, bentuk, wujud, dan lain-lain; mampu mendaftarkan segala akibat yang mungkin terjadi atau alternatif terhadap pemecahan masalah, ide dan situasi; mampu membuat hubungan yang berurutan antara satu masalah dengan masalah lainnya; mampu menarik kesimpulan generalisasi dari data yang telah tersedia dengan data yang diperoleh di lapangan; mampu membuat prediksi dari informasi yang tersedia;


(35)

17

dapat membedakan konklusi salah dan tepat terhadap informasi yang diterima; mampu menarik kesimpulan dari data yang telah ada dan terseleksi.

Aspek-aspek berpikir kritis yang ditekankan oleh beberapa para ahli antara lain:

1) Keterampilan penalaran kritis (seperti kemampuan untuk menilai alasan benar).

2) Sebuah disposisi dalam arti sikap kritis (skeptis, kecenderungan untuk mengajukan pertanyaan menyelidik) dan komitmen untuk bersikap kritis, atau orientasi moral untuk berpikir kritis.

3) Pengetahuan substansial konten tertentu baik dari konsep berpikir kritis atau sebuah disiplin ilmu tertentu dimana kemudian mampu berpikir kritis (Mark Mason, 2007: 343-344).

Dari pengertian berpikir kritis dan ciri-ciri berpikir kritis, maka dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan indikator berpikir kritis meliputi: mampu mengidentifikasi suatu masalah, kemampuan mengevaluasi, kemampuan memberi solusi berdasar sebuah masalah, mampu menarik kesimpulan, mampu mengemukakan pendapat.


(36)

18

c. Pentingnya Berpikir Kritis dalam Pendidikan

Berpikir kritis merupakan suatu yang penting di dalam pendidikan karena beberapa pertimbangan antara lain:

1) Mengembangkan berpikir kritis di dalam pendidikan berarti kita memberikan penghargaan kepada peserta didik sebagai pribadi (respect a person). Hal ini akan memberikan kesempatan kepada perkembangan pribadi peserta didik sepenuhnya karena mereka merasa diberikan kesempatan dan dihormati akan hak-haknya dalam perkembangan pribadinya.

2) Berpikir kritis merupakan tujuan yang ideal di dalam pendidikan karena mempersiapkan peserta didik untuk kehidupan kedewasaannya.

3) Perkembangan berpikir kritis dalam proses pendidikan merupakan suatu cita-cita tradisional seperti apa yang ingin dicapai melalui pelajaran ilmu-ilmu eksata dan kealaman serta mata pelajaran lainnya yang secara tradisional dianggap dapat mengembangkan berpikir kritis.

4) Berpikir kritis merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan di dalam kehidupan demokratis. Demokrasi hanya dapat berkembang apabila warga negaranya


(37)

19

dapat berpikir kritis di dalam masalah-masalah politik, sosial, dan ekonomi (H. A. R. Tilaar, 2011: 19).

Hal yang disebutkan diatas khusunya pada poin 4 sangat tepat dikembangkan dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Dimana dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan berfungsi sebagai wahana untuk membentuk warga negara cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945.

2. Kajian tentang Pembelajaran

Kata pembelajaran merupakan terjemahan dari instruction istilah ini banyak dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang mana suatu kegiatan berasal atau berubah lewat reaksi dari suatu situasi yang dihadapi, dan karakteristik-karakteristik dari perubahan aktivitas tersebut tidak dapat dijelaskan berdasarkan kecenderungan-kecenderungan reaksi asli, kematangan, atau perubahan-perubahan sementara dari organisme (Jogiyanto, 2006: 12).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pembelajaran adalah proses, cara, menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. Sedangkan Model Pembelajaran adalah sebagai suatu desain yang menggambakan proses rincian dan penciptaan situasi lingkungan yang memungkinkan


(38)

20

siswa berinteraksi sehingga terjadi perubahan atau perkembangan pada diri siswa. Menurut Hanafiah & Cucu Suhana (2010: 41) Model pembelajaran merupakan salah satu pendekatan dalam rangka mensiasati perubahan perilaku peserta didik secara adaptif maupun generatif. Model pembelajaran sangat erat kaitannya dengan gaya belajar peserta didik (learning style) dan gaya mengajar guru (teaching style).

Menurut Holt sebagaimana dikutip Mukhamad Murdiono (2012: 23) proses belajar akan meningkat jika siswa diminta untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Mengemukakan kembali informasi dengan kata-kata mereka sendiri

2. Memberikan contoh

3. Mengenalinya dalam bermacam bentuk dan situasi

4. Melihat kaitan antara informasi itu dengan fakta atau gagasan lain

5. Menggunakannya dengan beragam cara 6. Memprediksi sejumlah konsekuensi 7. Menyebutkan lawan atau kebalikannya.

Arthur L. Costa (2009: 2) menjelaskan beberapa kriteria prinsip pembelajaran sebagai berikut:

1. The phenomena described by a principle should be universal 2. Research documenting any one specific principle should be

evidenced in, and its influence must span more than, one field or discipline


(39)

21

3. The principle should anticipate future research

4. The principle should provide implications for practice

(1. Fenomena yang dijelaskan oleh prinsip harus bersifat universal; 2. Penelitian mendokumentasikan salah satu prinsip tertentu harus dibuktikan dalam, dan pengaruhnya harus lebih dari, satu bidang atau disiplin; 3. Prinsipnya harus mengantisipasi penelitian di masa depan; 4. Prinsipnya harus memberikan implikasi untuk praktek).

Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang mampu mengubah sikap atau kepribadian siswa menjadi baik. Perubahan kepribadian siswa menjadi baik sangat ditentukan oleh kemampuan dan pengalaman dalam mengorganisir atau mengelola pembelajaran. Dalam pembelajaran tidak lagi menempatkan guru sebagai pemeran utama yang memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa, melainkan guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator dan mengorganisir berbagai sumber belajar untuk dipelajari siswa. Sebagai fasilitator guru membantu siswa dalam memahami berbagai konsep dalam materi yang sedang dipelajari. Biarkan siswa mengembangkan kreativitasnya dalam proses pembelajaran. Namun demikian, guru tetap harus mengarahkan dan memberikan jalan keluar terhadap permasalahan ketika siswa mengalami kebuntuan dalam memahami suatu konsep yang sedang dipelajari. Siswa dapat memperoleh berbagai informasi dari sumber yang beragam. Kemajuan teknologi sangat memudahkan siswa untuk mengakses informasi yang dapat menunjang proses pembelajaran. Pembelajaran yang berlangsung lebih terpusat kepada siswa (student centered) bukan kepada guru (teacher centered) (Mukhamad Murdiono, 2012: 24).


(40)

22 3. Model Problem Based Learning

a. Pengertian Problem Based Learning

Menurut Concetta A. Cassarino (2006: 7) Problem Based Learning is an instructional strategy that immerses the learner 'cold' in a problem related to the topic of study. by solving the problem, learners learn the topic an develop a set of techniques to solve the problem which can be used later in one's career (PBL merupakan strategi pembelajaran yang menenggelamkan pembelajar 'dingin' dalam masalah yang berkaitan dengan topik pembelajaran dengan memecahkan masalah, peserta didik belajar topik yang mengembangkan seperangkat teknik untuk memecahkan masalah yang dapat digunakan kemudian dalam karir seseorang).

Problem Based Learning adalah suatu strategi pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menentukan topik masalah, kemudian peserta didik diarahkan untuk menyelesaikan masalah yang sedang dibahas melalui serangkaian aktivitas pembelajaran secara sistematis dan logis. Strategi pembelajaran ini meminta peserta didik untuk berpikir, berkomunikasi, mencari, dan mengolah data sehingga pada akhirnya dapat menyimpulkan apa yang telah dipelajari berdasarkan pemahaman mereka (Wina Sanjaya, 2008: 211-212).


(41)

23

Prof. Howard Barrows dan Kelson, sebagaimana dikutip M. Taufiq Amir (2010: 2) menjelaskan bahwa Problem Based Learning adalah kurikulum dan proses pembelajaran. Dalam kurikulumnya, dirancang masalah-masalah yang menuntut siswa mendapatkan pengetahuan yang penting, membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki strategi belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dalam tim. Sedangkan menurut Dutch, PBL merupakan metode instruksional yang menantang siswa agar “belajar untuk belajar”, bekerja sama dalam kelompok untuk mencari solusi bagi masalah yang nyata. Masalah ini digunakan untuk mengaitkan rasa keingintahuan serta kemampuan analisis siswa dan inisiatif atas materi pelajaran. PBL mempersiapkan siswa untuk berpikir kritis dan analitis, dan untuk mencari serta menggunakan sumber pembelajaran yang sesuai.

Menurut Richard I. Arends (2008: 41) Problem Based Learning berupaya menyuguhkan berbagai situasi bermasalah yang autentik dan bermakna kepada siswa, yang dapat berfungsi sebagai batu loncatan untuk investigasi dan penyelidikan. Problem Based

Learning dirancang terutama untuk membantu siswa

mengembangkan keterampilan berpikir, keterampilan menyelesaikan masalah, dan keterampilan intelektualnya; mempelajari peran-peran orang dewasa dengan mengalaminya


(42)

24

melalui berbagai situasi riil atau situasi yang disimulasikan; dan menjadi pelajar yang mandiri dan otonom.

Dari beberapa pengertian di atas peneliti menyimpulkan bahwa Problem Based Learning adalah suatu model pembelajaran yang memberdayakan siswa dengan diberikan masalah-masalah yang nyata atau yang disimulasikan kemudian dicari solusinya dengan bekerja sama dalam kelompok untuk selanjutnya menyimpulkan apa yang telah dipelajari berdasarkan pemahaman mereka.

Model pembelajaran Problem Based Learning memiliki tiga tujuan belajar yaitu: meningkatkan pemahaman tentang proses-proses yang terlibat dalam pembelajaran berbasis masalah; mengembangkan pembelajaran mandiri siswa; dan mendapatkan pemahaman mendalam tentang topik-topik spesifik (Paul Eggen dan Don Kauchak, 2012: 347-348). Dari tujuan tersebut, fase model pembelajaran Problem Based Learning dan perilaku yang dibutuhkan dari guru dibagi menjadi lima fase yang untuk masing-masing fasenya dijabarkan sebagai berikut:


(43)

25

Tabel 1: Fase Model Pembelajaran Problem Based Learning Fase Perilaku Guru

Fase 1: Memberikan orientasi tentang permasalahannya kepada siswa

Guru membahas tujuan pembelajaran, mendeskripsikan berbagai kebutuhan logistik penting, dan memotivasi siswa untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah.

Fase2:

Mengorganisasikan siswa untuk

meneliti

Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar yang terkait dengan permasalahannya. Fase 3: Membantu

investigasi mandiri dan kelompok

Guru mendorong siswa untuk mendapatkan informasi yang tepat, melaksanakan eksperimen, dan mencari penjelasan dan solusi.

Fase 4:

Mengembangkan dan

mempresentasikan artefak dan exhibit

Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan artefak-artefak yang tepat, seperti laporan, rekaman video, dan model-model, dan membantu mereka untuk menyampaikannya kepada orang lain.

Fase 5:

Menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah

Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi terhadap investigasinya dan proses-proses yang mereka gunakan.

(Richard I. Arends, 2008: 56-57).

Menurut Tan, sebagaimana dikutip M. Taufiq Amir (2010: 22) karakteristik dalam proses Problem Based Learning adalah sebagai berikut:

1) Masalah digunakan sebagai awal pembelajaran

2) Biasanya masalah yang digunakan merupakan masalah dunia nyata yang disajikan secara mengambang (ill-structured).

3) Masalah biasanya menuntut perspektif majemuk (multiple perspective).


(44)

26

4) Masalah membuat pemelajar tertantang untuk mendapatkan pembelajaran di ranah pembelajaran yang baru.

5) Sangat mengutamakan belajar mandiri (selft directed learning).

6) Memanfaatken sumber pengetahuan yang bervariasi, tidak dari satu sumber saja.

7) Pembelajaran kolaboratif, komunikatif, dan kooperatif. Pemelajar bekerja dalam kelompok, berinteraksi, saling mengajarkan (peer teaching), dan melakukan presentasi. Sedangkan menurut Scott dan Laura sebagaimana dikutip oleh Paul Eggen dan Don Kauchak (2012: 307) karakteristik pembelajaran berbasis masalah antara lain:

1) Pelajaran berfokus pada pemecahan masalah

2) Tanggung jawab untuk memecahkan masalah bertumpu pada siswa

3) Guru mendukung proses saat siswa mengerjakan masalah. Menurut Caines, sebagaimana dikutip Arthur L. Costa (2009: xii) menyarankan bahwan pendidikan harus didasarkan pada bagaimana orang belajar secara alami, tiga elemen penting yang perlu ada yaitu:

1. Supportive yet challenging (relaxed alertness)


(45)

27 3. Immersed (active processing)

Dari ketiga elemen diatas model pembelajaran Problem Based Learning dengan menggunakan masalah yang riil atau nyata dan masalah imajiner atau yang disimulasikan masuk dalam kategori nomor 2 yaitu immersion dimana siswa terlibat langsung dalam pemecahan masalah yang disajikan di dalam kelas.

Arthur L. Costa (2009: 4) menjelaskan kunci untuk pembaharuan pendidikan yang efektif adalah untuk mengintegrasikan aspek-aspek yang berbeda dari belajar dalam kita mengajar antara lain:

1. Bagi sebagian orang, aspek utama dari belajar adalah menghafal, dan otak/ pikiran dirancang (sebagian) untuk menghafal.

2. Bagi sebagian orang, aspek utama dari belajar adalah pemahaman intelektual, danotak/ pikiran dirancang (sebagian) untuk pemahaman intelektual.

3. Bagi sebagian orang, aspek utama pembelajaran adalah membuat intelektual dan praktis dari pengalaman, dan otak/ pikiran dirancang (dalam ukuran besar) untuk membuat mengerti pengalaman.

4. Aspek lebih dari prinsip-prinsip yang dipahami dan dilaksanakan, akan tetapi apa yang dimaksud dengan siswa belajar mengembangkannya.


(46)

28

Dalam hal ini model pembelajaran Problem Based Learning termasuk dalam aspek yang ke empat dimana siswa tidak hanya belajar menghafal, pemahaman intelektual, merasakan pengalaman akan tetapi siswa mengembangkan apa yang dipelajari dengan masalah yang disediakan.

Proses pembelajaran Problem Based Learning masuk dalam kategori pembelajaran yang digambarkan Arthur L. Costa (2009: 6) sebagai berikut:

Learning

Relaxed Immersion In

Alertness Complex Experience Active Processing

Gambar 1. Proses Pembelajaran

Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa dalam proses pembelajaran terdapat beberapa kegiatan yaitu relaxed-alertness, immersion in-complex experience, dan active prosessing.

Dalam proses pembelajaran Masterman (1972) menjelaskan tujuh paradigma mengajar antara lain: teaching as a common-sense activity, teaching as an art, teaching as a craft, teaching as an applied science, teaching as a system, teaching as reflective


(47)

29

practice, and teaching as competence (mengajar sebagai kegiatan yang masuk akal, mengajar sebagai seni, mengajar sebagai sebuah kerajinan, mengajar sebagai ilmu terapan, mengajar sebagai suatu sistem, praktek mengajar sebagai reflektif, dan pengajaran sebagai kompetensi). PBL termasuk dalam mengajar sebagai ilmu terapan yaitu menerapkan konsep yang ada dengan masalah yang terjadi dapat berupa masalah yang nyata atau masalah yang disimulasikan. b. Hakikat masalah dalam model pembelajaran Problem Based

Learning

Hakikat masalah dalam model pembelajaran Problem Based Learning adalah gap atau kesenjangan antara situasi yang nyata dan kondisi yang diharapkan. Kesenjangan tersebut bisa dirasakan dari adanya keresahan, keluhan, kerisauan atau kecemasan. Untuk mengimplementasikan model pembelajaran Problem Based Learning guru perlu memilih permasalahan yang dapat dipecahkan. Permasalahan tersebut bisa diambil dari buku teks atau dari sumber-sumber lain misalnya dari peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar, dari peristiwa dalam keluarga atau dari peristiwa kemasyarakatan. Beberapa kriteria pemilihan bahan pelajaran dalam Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah (SPBM) menurut Wina Sanjaya (2010: 216-217) yaitu:

1) Bahan pelajaran harus mengandung isu-isu yang mengandung konflik (conflict issue) yang bisa


(48)

30

bersumber dari berita, rekaman video, dan yang lainnya.

2) Bahan yang dipilih adalah bahan yang bersifat familiar dengan siswa, sehingga setiap siswa dapat mengikutinya dengan baik.

3) Bahan yang dipilih merupakan bahan yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak (universal), sehingga terasa manfaatnya.

4) Bahan yang dipilih merupakan bahan yang mendukung tujuan atau kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa sesuai dengan kurikulum yang berlaku.

5) Bahan yang dipilih sesuai dengan minat siswa sehingga setiap siswa merasa perlu untuk mempelajarinya. Menurut Barrows (1985) seperti dikutip Jean W. Pierce masalah yang digunakan dalam PBL dapat dengan masalah simulasi atau nyata. Dikatakan sebagai berikut:

The problems encountered in PBL require that students find more information than is given in order to define the issues and decide on solutions. In fact, as additional answers arelearned, the problem may be redefined in very different ways. Students must make decisions, eventhough they know that some data may be missing or in conflict with others. Finally, it is critical thatthe teacher who serves as a resource person (rather than information giver) debrief with thestudents to make explicit their thinking processes and principles learne. (Masalah yang dihadapi dalam PBL mengharuskan siswa menemukan informasi lebih lanjut daripada yang diberikan dalam rangka untuk menentukan masalah dan memutuskan solusi. Bahkan, jawaban sebagai tambahan belajar, masalahnya mungkin didefinisikan ulang


(49)

31

dengan cara yang sangat berbeda. Siswa harus membuat keputusan, bahkan meskipun mereka tahu bahwa beberapa data mungkin hilang atau dalam konflik dengan orang lain. Akhirnya, sangat penting bahwa guru yang berfungsi sebagaimana sumber (bukan pemberi informasi) berdiskusi dengan siswa untuk membuat eksplisit proses berpikir mereka dan prinsip-prinsip belajar).

Pembelajaran berbasis masalah menjadi pendekatan yang semakin populer untuk digunakan dalam berbagai pengaturan dengan siswa dari segala usia. Hal ini sangat cocok untuk digunakan dalam program yang dirancang untuk mempersiapkan siswa untuk karir dan situasi masyarakat yang melibatkan masalah dan pemecahannya. Sebagai pendidik membentuk kemitraan dengan praktisi di lapangan, mereka dapat memberikan kepada siswa dengan lebih dari cukup masalah di dunia nyata. Sebagai siswa bergulat dengan masalah otentik, mereka mempelajari informasi dan proses pemecahan masalah yang akan mereka butuhkan. Pengalaman ini akan membantu membekali mereka untuk menjadi praktisi terampil siap untuk memenuhi tantangan karir yang mereka pilih.

c. Langkah-langkah Model Pembelajaran Problem Based Learning John Dewey sebagaimana dikutip Wina Sanjaya (2010: 217) menjelaskan 6 langkah dalam Problem Based Learning sebagai berikut:

1) Merumuskan masalah, yaitu langkah siswa menentukan masalah yang akan dipecahkan.


(50)

32

2) Menganalisis masalah, yaitu langkah siswa meninjau masalah secara kritis dari berbagai sudut pandang. 3) Merumuskan hipotesis, yaitu langkah siswa

merumuskan berbagai kemungkinan pemecahan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.

4) Mengumpulkan data, yaitu langkah siswa mencari dan menggambarkan informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah.

5) Pengujian hipotesis, yaitu langkah siswa mengambil atau merumuskan kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan penolakan hipotesis yang diajukan. 6) Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah, yaitu

langkah siswa menggambarkan rekomendasi yang dapat dilakukan sesuai rumusan hasil pengujian hipotesis dan rumusan kesimpulan.

Proses PBL akan dapat dijalankan bila pengajar siap dengan segala perangkat yang diperlukan (masalah, formulir pelengkap, dan lain-lain). Siswa pun harus sudah memahami prosesnya dan telah membentuk kelompok-kelompok kecil. Umumnya, setiap kelompok menjalankan proses sebagai berikut:

1) Mengklarifikasi istilah dan konsep yang belum jelas 2) Merumuskan masalah


(51)

33

4) Menata gagasan anda dan secara sistematis menganalisisnya dengan dalam

5) Memformulasikan tujuan pembelajaran

6) Mencari informasi tambahan dari sumber yang lain (di luar diskusi kelompok)

7) Mensintesa (menggabungkan) dan menguji informasi baru, dan membuat laporan untuk dosen/ kelas (M. Taufiq Amir, 2010:24-25).

David Johnson & Johnson sebagaimana dikutip Wina Sanjaya (2010: 217-218) mengemukakan ada 5 langkah strategi pembelajaran berbasis masalah melalui kegiatan kelompok yaitu:

1) Mendefinisikan masalah, yaitu merumuskan masalah dari peristiwa tertentu yang mengandung isu konflik, hingga siswa menjadi jelag masalah apa yang akan dikaji. Dalam hal ini guru bisa meminta pendapat dan penjelasan siswa tentang isu-isu hangat yang menarik untuk dipecahkan.

2) Mendiagnosis masalah, yaitu menentukan sebab-sebab terjadinya masalah, serta menganalisis berbagai faktor baik faktor yang bisa menghambat maupun faktor yang dapat mendukung dalam penyelesaian masalah.

3) Merumuskan alternatif strategi, yaitu menguji setiap tindakan yang telah dirumuskan melalui diskusi kelas.


(52)

34

Pada tahap ini setiap siswa didorong untuk berpikir mengemukakan pendapat dan argumentasi tentang kemungkinan setiap tindakan yang dapat dilakukan. 4) Menentukan dan menerapkan strategi pilihan, yaitu

pengambilan keputusan tentang strategi mana yang dapat dilakukan.

5) Melakukan evaluasi, baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil.

Dari beberapaa pendapat diatas maka secara umum model pembelajaran Problem Based Learning dilakukan dengan langkah-langkah:

1) Menyadari masalah 2) Merumuskan masalah 3) Merumuskan hipotesis 4) Mengumpulkan data 5) Menguji hipotesis

6) Menentukan pilihan penyelesaian

d. Keunggulan Model Pembelajaran Problem Based Learning Sebagai salah satu model pembelajaran, maka model Problem Based Learning memiliki beberapa keunggulan. Wina Sanjaya (2010: 220-221), misalnya mengemukakakan keunggulan PBL diantaranya sebagai berikut:


(53)

35

1) Merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran.

2) Menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa.

3) Meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa.

4) Membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata. 5) Membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan

barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan serta mendorong untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya. 6) Memperlihatkan kepada siswa bahwa setiap mata pelajaran

pada dasarnya merupakan cara berpikir, dan sesuatu yang harus dimengerti oleh siswa, bukan hanya sekedar belajar dari guru atau dari buku-buku saja.

7) Dianggap lebih menyenangkan dan disukai siswa.

8) Mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru.

9) Memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.


(54)

36

10)Mengembangkan minat siswa untuk secara terus menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal berakhir. Dalam menggunakan PBL, siswa mengalami hasil yang lebih baik dalam kondisi kritis, analitis, dan berpikir evaluatif: mendengarkan, menulis, verbal, presentasi, pemecahan masalah dan keterampilan negosiasi, serta daerah lain yang lebih tinggi hasil belajarnya (Damron dan Mott 2005; Duch, Groh, dan Allen 2001; Harkness 2004; Tinggi Pippert 2003; Kaunert 2009; Leamnson 1999; Macdonald 2005; Ross dan Hurlbert 2004; Williamson dan Gregory 2010; Yilmaz 2008).

e. Kelemahan Model Pembelajaran Problem Based Learning Selain memiliki keunggulan model pembelajaran Problem Based Learning juga memiliki beberapa kelemahan. Wina Sanjaya (2010: 221), misalnya mengemukakan kelemahan PBL diantaranya sebagai berikut:

1) Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercaayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba.

2) Keberhasilan model pembelajaran Problem Based Learning membutuhkan cukup waktu untuk persiapan.


(55)

37

3) Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.

Dari beberapa hal di atas dapat peneliti simpulkan juga bahwa kelemahan model pembelajaran Problem Based Learning adalah tidak ada jawaban yang benar karena semua jawaban bisa digunakan.

f. Perbedaan model pembelajaran Problem Based Learning dengan metode lain

Perbedaan PBL dengan metode yang lain dapat dijelaskan dalam tabel di bawah ini:

Tabel 2. Perbedaan Problem Based learning dengan Metode lain

(M. Taufiq Amir, 2010: 23).

Indikator Ceramah Kasus atau studi kasus Problem Based Learning

Informasi Informasi dipresentasikan dan didiskusikan oleh guru dan siswa.

Pembahasan kasus biasanya dilakukan di akhir pelajaran dan selalu disertai dengan pembahasan di kelas tentang materi (dan sumber-sumbernya) atau konsep terkait dengan kasus. Berbagai materi terkait dan pertanyaan diberikan pada siswa.

Informasi tertulis yang berupa masalah diberikan sebelum kelas dimulai. Fokusnya adalah bagaimana siswa mengidentifikasikan isu pembelajaran sendiri untuk memecahkan masalah. Materi dan konsep yang relevan ditemukan oleh siswa sendiri.

Peran Guru

Guru sebagai sumber Informasi.

Guru sebagai sumber informasi.

Guru sebagai fasilitator karena siswa yang membangun pengetahuan.

Peran Siswa

Siswa menerima informasi secara pasif.

Siswa terlibat aktif dalam pembahasan kasus.

Siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.

Cocok untuk

Menjelaskan materi pada ranah kognitif (mengingat, memahami).

Menjelaskan materi pada ranah kognitif (mengingat, memahami, menerapkan) dan ranah afektif.

Menjelaskan materi pada ranah kognitif (menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan); ranah afektif, dan ranah psikomotorik.

Tidak cocok untuk

Menjelaskan materi pada ranah kognitif (menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan); ranah afektif dan ranah psikomotorik.

Menjelaskan Materi pada ranah psikomotorik.

Menjelaskan materi pada ranah kognitif (mengingat dan memahami).


(56)

38

Beberapa perbedaan di atas dapat menerangkan bahwa “masalah” yang biasa seperti “pertanyaan untuk diskusi”, tidak sama dengan “masalah” dalam PBL. Dalam diskusi, pertanyaan diajukan untuk memicu siswa terhubungkan dengan materi yang

dibahas. Sementara “masalah” dalam PBL menuntut penjelasan

atas sebuah fenomena. PBL juga berbeda dengan masalah dalam

“penugasan” (assignments). Dimana siswa diberi masalah tapi juga

sekaligus ditunjukkan hal-hal tertentu yang terkait dengan relatif lengkap maka ini dapat dikatakan penugasan. Dalam PBL, penugasan seperti ini akan digunakan saat individu anggota kelompok harus mendalami materi tertentu yang ditugaskan untuknya.

4. Kajian tentang Pendidikan Kewarganegaraan a. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) merupakan salah satu bidang kajian yang mengemban misi nasional untuk

mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia melalui koridor “value

based education” (Sonarso dkk, 2006: 1). Mata pelajaran ini wajib harus dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan tinggi. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 37 ayat (1) dinyatakan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat


(57)

39

“Pendidikan Kewarganegaraan”. Sementara itu pada bagian penjelasan pasal 37 dikemukakan bahwa “Pendidikan Kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk siswa menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cita tanah air”. Pernyataan yang dimuat dalam undang-undang tersebut merupakan landasan yuridis formal pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan dalam sistem pendidikan nasional.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi menyebutkan bahwa mata pelajaran Pendidikan Kewarganenagaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan fungsi dari pendidikan kewarganegaraan adalah sebagai wahana untuk membentuk warga negara cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945.

Pada saat ini menurut Wahab dan Sapriya yang dikutip oleh Mukhamad Murdiono (2012), prinsip pembelajaran yang dikembangkan dalam Pendidikan Kewarganegaraan sudah bergeser


(58)

40

yang lebih menekankan aspek kebebasaan, keterbukaan dan jati diri serta lebih berorientasi pada nilai-nilai demokratis, yaitu

prinsip “how to think”. Prinsip ini lebih menekankan pada

kemampuan untuk berpikir kritis sebagai salah satu aspek penting dalam kehidupan yang demokratis. Pembelajaran yang demokratis memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi siswa untuk terbiasa berpikir kritis dan sistematis. Dalam hal ini pemilihan model pembelajaran yang tepat di kelas akan mampu membentuk warga negara yang baik dengan memiliki kemampuan berpikir kritis dan sikap demokratis.

Melalui model pembelajaran Problem Based Learning setidaknya dikembangkan tiga kemampuan dasar yang meliputi: kemampuan melakukan investigasi, kemampuan untuk berpartisipasi, dan kemampuan untuk berkomunikasi. Melalui model pembelajaran ini siswa melakukan investigasi secara sederhana dengan mencari dan menggali informasi sebanyak-banyaknya terkait dengan permasalahan yang sedang dikaji di kelas. Investigasi mengajarkan siswa untuk bertindak secara cermat, teliti, dan berpikir kritis. Dalam hal kemampuan untuk berpartisipasi dalam memecahkan masalah sudah semestinya siswa sebagai generasi penerus bangsa ikut berpartisipasi secara aktif dalam upaya pemecahan masalah. Dimana setelah mendapatkan solusi terhadap permasalahan yang dipecahkan, siswa harus dapat


(59)

41

menyampaikan solusi tersebut di depan kelas untuk kemudian didiskusikan dengan yang lain.

b. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan

Secara klasik sering dikemukakan bahwa tujuan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia adalah membentuk warga negara yang baik (a good citizen) yaitu cerdas, terampil, dan berkarakter sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Untuk membentuk warga negara yang baik maka role (peran) harus dibina dan dikembangkan dengan baik. Role (peran) tersebut antara lain: Peran aktif yakni memberikan masukan, mengkritisi kebijakan publik; Peran pasif yakni mematuhi kebijakan pemerintah; Peran positif yakni meminta kepada pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasarnya supaya sebagai warga negara dapat hidup sejahtera; Peran negatif yakni menolak segala bentuk intervensi pemerintah yang berkenaan dengan hal-hal yang berkaitan dengan masalah urusan pribadi (privasi).

Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan menurut Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang standar isi adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:

1) Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan;

2) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta antikorupsi;

3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat


(60)

42

Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya;

4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Fungsi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah sebagai wahana untuk membentuk warga negara cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945, konsep ini sebagaimana dinyatakan dalam standar isi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.

c. Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan

Menurut Permendiknas No. 22 Tahun 2006 ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk pendidikan dasar dan menengah secara umum meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

1) Persatuan dan kesatuan bangsa, meliputi: hidup rukun dalam perbedaan, cinta lingkungan, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, partisipasi dalam pembelaan negara, sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, keterbukaan dan jaminan keadilan

2) Norma, hukum, dan peraturan, meliputi: tertib dalam kehidupan keluarga, tata tertib di sekolah, norma yang berlaku di masyarakat, peraturan-peraturan daerah, norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sistem hukum dan peradilan nasional, hukum dan peradilan nasional

3) Hak asasi manusia, meliputi: Hak dan kewajiban anak, hak dan kewajiban anggota masyarakat, instrumen nasional dan internasional HAM, pemajuan, penghormatan, dan perlindungan HAM


(61)

43

4) Kebutuhan warga negara meliputi: hidup gotong royong, harga diri sebagai warga masyarakat, kebebasan berorganisasi, kemerdekaan mengeluarkan pendapat, menghargai keputusan bersama, prestasi diri, persamaan kedudukan warga negara

5) Konstitusi negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, hubungan dasar negara dengan konstitusi

6) Kekuasaan dan politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintahan pusat, Demokrasi dan sistem politik, budaya politik, budaya demokrasi menuju masyarakat madani, sistem pemerintahan, pers dalam masyarakat demokrasi 7) Pancasila, meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar

negara dan ideologi negara, proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka

8) Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, dampak globalisasi, hubungan internasional dan organisasi internasional, dan mengevaluasi globalisasi.

d. Aspek Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan Kewarganegaraan harus memenuhi tiga aspek, yaitu pengetahuan, keterampilan (skill), dan pembentukan karakter. Menurut Center for Civic Education pada tahun 1994 dalam National Standards for Civics and Government dalam Sunarso dkk (2006: 14) ketiga komponen pokok tersebut ialah civic knowledge, civic skills, dan civic dispositions.

Pengetahuan Kewarganegaraan (civic knowledge) merupakan materi substansi yang harus diketahui oleh warga negara. Pada prinsipnya pengetahuan yang harus diketahui oleh warga negara berkaitan dengan hak dan kewajiban sebagai warga


(62)

44

negara, nilai-nilai universal dalam masyarakat demokratis, cara-cara kerja sama untuk mewujudkan kemajuan bersama, serta hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat internasional. Keterampilan Kewarganegaraan (civic skills) merupakan keterampilan yang dikembangkan dari pengetahuan kewarganegaraan agar pengetahuan yang diperoleh menjadi sesuatu yang bermakna karena dapat dimanfaatkan dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan berbangsa dan bernegara. Civic skills mencakup intellectual skills (keterampilan intelektual) dan participation skills (keterampilan partisipasi). Karakter kewarganegaraan (civic dispositions) merupakan sifat-sifat yang harus dimiliki setiap warga negara untuk mendukung efektivitas partisipasi politik, berfungsinya sistem politik yang sehat, berkembangnya martabat dan harga diri serta kepentingan umum (Sunarso dkk, 2006: 14).

Dalam hal ini keterampilan intelektual yang akan dibentuk pada model pembelajaran Problem Based Learning adalah keterampilan kewarganegaraan (civic skill) dalam hal keterampilan intelektual (intellectual skills) khususnya kemampuan berpikir kritis.


(63)

45 B. Kerangka Berpikir

Kamampuan berpikir kritis siswa di SMK Perindustrian Yogyakarta pada mata pelajaran PKn dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah penerapan model pembelajaran yang digunakan oleh guru hanya sebatas metode konvensional yaitu hanya mengandalkan materi yang ada pada buku cetak atau LKS dan ceramah yang diberikan oleh guru di kelas. Oleh karena itu yang terjadi di lapangan adalah siswa pada saat mengikuti pelajaran di kelas cenderung pasif bahkan ada yang tidur di kelas sehingga kegiatan pembelajaran tidak berjalan lancar. Selain itu fasilitas perpustakaan gudang ilmu yang menyediakan buku-buku, jurnal, majalah, surat kabar atau publikasi lain yang berguna bagi siswa sebagai sumber informasi.

Penggunaan model pembelajaran yang variasi dan sesuai dengan karakteristik siswa diharapkan mampu membentuk kemampuan berpikir kritis. Dalam hal ini peneliti menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dimana pada model ini memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menentukan topik masalah, kemudian peserta didik diarahkan untuk menyelesaikan masalah yang sedang dibahas melalui serangkaian aktivitas pembelajaran secara sistematis dan logis. Strategi pembelajaran ini meminta peserta didik untuk berpikir, berkomunikasi, mencari, dan mengolah data sehingga pada akhirnya dapat menyimpulkan apa yang telah dipelajari berdasarkan pemahaman mereka. Dalam hal siswa mencari solusi dan penyelesaian dari suatu masalah yang meliputi


(64)

46

berpikir, mencari, dan mengolah data maka akan membentuk siswa berpikir kritis.

Penerapan model pembelajaran Problem Based Learning yang akan dilakukan peneliti dalam hal pembentukan kemampuan berpikir kritis akan dijelaskan dalam gambar dibawah ini:

PBL dengan masalah Riil

PBL dengan masalah Imajiner

Gambar 2. Kerangka berpikir Keterangan:

KE = Kelompok Eksperimen KK = Kelompok Kontrol

KBK = Kemampuan Berpikir Kritis = Menggunakan

Dari gambar diatas diharapkan terjadi peningkatan yang signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis pada kelas yang menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dengan memberikan masalah nyata daripada kelas yang memberikan masalah yang disimulasikan pada proses pembelajarannya.

KE

Pretest

KBK

KK

Pretest

KBK

Postest

KBK Postest


(65)

47 C. Penelitian Relevan

1. Penelitian dari Heni Sulistyani (2010) yang berjudul “Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Prestasi Belajar Siswa dalam Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)” menyimpulkan bahwa penerapan strategi Problem Based Learning telah berhasil dilaksanakan sesuai dengan kriteria keberhasilan tindakan yaitu meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan prestasi belajar dalam Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).

2. Penelitian dari Wahyu Ari Sartono (2013) yang berjudul “Pengaruh

Penggunaan Model Problem Based Learning (PBL) terhadap Aktivitas Belajar Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Siswa Kelas VII di

SMP Negeri 16 Yogyakarta” menyimpulkan bahwa model Problem

Based Learning lebih efektif untuk meningkatkan aktivitas belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan siswa kelas VII SMP Negeri 16 Yogyakarta.

3. Penelitian dari Fahrul Maulana (2013) yang berjudul “Efektivitas Model Pembelajaran Berbasis Deep Dialogue Critical Thinking (DDCT) Pada Kemampuan Berpikir Kritis dan Prestasi Belajar PKn Kelas X SMA Negeri 3 Cirebon” menyimpulkan bahwa pembelajaran dengan model deep dialogue critical thinking (DDCT) lebih efektif dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan prestasi belajar daripada pembelajaran konvensional.


(66)

48

4. Penelitian dari Lina Anggraeni (2012) yang berjudul “Penerapan

Model Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Mata Pelajaran IPS di SMP N 2 Depok Yogyakarta” menyimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran berbasis masalah dapat membantu siswa dalam kegiatan pembelajaran yaitu dapat menggali dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.

D. Hipotesis

Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir di atas maka hipotesis dalam penelitian ini dapat dirumuskan yaitu: “ Ada perbedaan kemampuan berpikir kritis pada siswa SMK Perindustrian Yogyakarta antara yang diajar menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dengan memberikan masalah yang nyata (riil) dan model pembelajaran Problem Based Learning dengan memberikan masalah yang disimulasikan (imajiner)”.


(67)

49 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode komparasi. Kata komparasi dalam bahasa Inggris comparation, yaitu perbandingan. Makna dari kata tersebut menunjukkan bahwa dalam penelitian ini peneliti bermaksud mengadakan perbandingan kondisi yang ada di dua tempat, apakah kedua kondisi tersebut sama, atau ada perbedaan, dan kalau ada perbedaan, kondisi di tempat mana yang lebih baik (Suharsimi Arikunto, 2013: 6). Analisis data yang digunakan berupa analisis komparatif atau analisis komparasi atau analisis perbedaan yaitu bentuk analisis variabel (data) untuk mengetahui perbedaan di antara dua kelompok data (variabel) atau lebih. Teknik statistik yang digunakan adalah uji statistik yaitu, pengujian hipotesis komparatif. Analisis komparatif atau uji perbedaan ini sering disebut uji signifikansi (Iqbal Hasan, 2010: 116).

Desain penelitian yang digunakan adalah pre-test, post-test control group design dengan format:

Tabel 3. Desain Penelitian Pre-test Post-test Control Group Design

KE O1 X1 O2


(68)

50 Keterangan:

KE : Kelompok eksperimen KK : Kelompok Kontrol O1 : Pretest

X1 : Model Problem Based Learning dengan masalah yang riil X2 : Model Problem Based Learning dengan masalah yang imajiner O2 : Postest

Teknik pengumpulan data dengan menggunakan tes dan lembar observasi.

B. Variabel Penelitian

Variabel adalah objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian (Suharsimi Arikunto, 2006: 118-119). Variabel dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi dua, yaitu variabel diskrit (X) dan variabel terikat (Y). Variabel dalam penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut:

1. Variabel Diskrit

Variabel diskrit disebut juga variabel nominal atau variabel kategorik (Suharsimi Arikunto, 2013: 159). Variabel diskrit dalam penelitian ini adalah penggunaan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL).


(69)

51 2. Variabel Terikat

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2012: 39). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemampuan berpikir kritis dalam mata pelajaran PKn setelah diberi perlakuan berupa model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dengan menggunakan masalah yang nyata dan yang disimulasikan.

C. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMK Perindustrian Yogyakarta yang beralamat di Jl. Kalisahak (Kompleks Balapan) 26 Yogyakarta. Subyek penelitiannya adalah kelas X tahun ajaran 2013/ 2014.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan 25 Februari 2014 sampai dengan 2 April 2014 pada semester 2 tahun ajaran 2013/ 2014.

D. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Menurut Sugiyono (2012: 80) populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/ subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sedangkan menurut Suharsimi


(70)

52

Arikunto (2006: 130) Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Dan menurut Latipun (2002: 29) populasi merupakan keseluruhan individu atau objek yang diteliti yang memiliki beberapa karakteristik yang sama. Berdasarkan pengertian diatas peneliti berpendapat bahwa populasi adalah keseluruhan wilayah yang mempunyai kualitas dan karakteristik yang sama dan dijadikan subjek penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMK Perindustrian Yogyakarta kelas X sebanyak 4 kelas dengan jumlah 78 orang.

Tabel 4. Perincian Jumlah siswa kelas X SMK Perindustrian Yogyakarta

(Sumber: Arsip TU SMK Perindustrian Yogyakarta, 2013/ 2014). 2. Sampel

Menurut pendapat Sugiyono (2012: 81) pengertian sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Sedangkan menurut Suharsimi Arikunto (2006: 131) sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang akan diteliti. Berdasarkan pengertian diatas, peneliti berpendapat bahwa sampel adalah bagian dari populasi sebagai wakil dari populasi untuk diselidiki sehingga didapatkan data

Kelas Jumlah Siswa X A 17 Siswa X B1 20 Siswa X B2 20 Siswa X B3 21 Siswa Total 78 Siswa


(1)

170

LAMPIRAN 9


(2)

171

Dokumentasi saat Validasi soal tes untuk penelitian di kelas X A dan X B1

Siswa kelas X A dan X B1 yang tidak termasuk dalam kelas eksperimen dan kontrol diberikan soal yang sama untuk validasi soal tes.


(3)

172

Dokumentasi Kelas Kontrol

Siswa X B3 sedang mengarjakan soal pretest

Masing-masing kelompok diskusi sedang berdiskusi kemudian mempresentasikan tentang masalah yang dibahas dalam proses pembelajaran PKn


(4)

173

Dokumentasi Kelas Eksperimen

Siswa X B2 sedang mengarjakan soal pretest

Masing-masing kelompok diskusi sedang berdiskusi kemudian mempresentasikan tentang masalah yang dibahas dalam proses pembelajaran PKn


(5)

174

LAMPIRAN 10


(6)

Dokumen yang terkait

Pengaruh model pembelajaran learning cycle 5e terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa: penelitian quasi eksperimen di salah satu SMP di Tangerang.

6 24 248

PENINGKATAN BERPIKIR KRITIS SISWA MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN PORTOFOLIO PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

0 6 118

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL) DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA Efektivitas Model Pembelajaran Problem Based Learning (Pbl) Dalam Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Pada Mata Pelajaran Pengantar Ak

0 3 16

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL) DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS Efektivitas Model Pembelajaran Problem Based Learning (Pbl) Dalam Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Pada Mata Pelajaran Pengantar Akuntans

0 2 17

PENDAHULUAN Efektivitas Model Pembelajaran Problem Based Learning (Pbl) Dalam Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Pada Mata Pelajaran Pengantar Akuntansi Kelas Ak 1 Smk N 4 Klaten Tahun Ajaran 2016/.

1 3 5

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA Penerapan Model Pembelajaran Problem Based Learning Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Mata Pelajaran Ekonomi Kelas Xi Ips 2 Sma N 2 Su

0 6 17

PENGARUH PROBLEM BASED LEARNING (PBL) PADA MATA PELAJARAN IPA TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA Pengaruh Problem Based Learning (PBL) Pada Mata Pelajaran Ipa Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas VIII SMP Ta’mirul Islam Surakarta Semester

0 1 14

PENGARUH PROBLEM BASED LEARNING (PBL) PADA MATA PELAJARAN IPA TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA Pengaruh Problem Based Learning (PBL) Pada Mata Pelajaran Ipa Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas VIII SMP Ta’mirul Islam Surakarta Semester

0 2 16

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MAHASISWA.

0 0 18

PERBEDAAN PENGGUNAAN METODE ILMIAH DAN METODE CERAMAH TERHADAP PEMBENTUKAN KARAKTER TANGGUNG JAWAB DALAM MATA PELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN PADA SISWA SMK PERINDUSTRIAN YOGYAKARTA.

0 6 211