PERKEMBANGAN EMOSIONAL ANAK YANG DIBANGU

PERKEMBANGAN EMOSIONAL ANAK YANG DIBANGUN
KE DALAM KERANGKA OTAK MEREKA
Cucu Susianti
Umi.haidar976@gmail.com

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perkembangan emosi merupakan salah satu perkembangan kecerdasan
atau kemampuan mengelola perasaan yang harus dibangun ke dalam karakter
anak sejak usia dini. Dari beberapa hasil penelitian para ahli tentang
perkembangan anak mengatakan bahwa perkembangan emosi anak
memberikan kontribusi yang lebih besar untuk keberhasilan masa depan.
Penemuan ini telah dibuktikan dengan fakta-fakta perkembangan emosional
anak yang awali sejak bayi, masa balita, pra sekolah, tahun-tahun akhir pra
sekolah, dan perkembangan manusia dewasa.
Perkembangan emosional dimulai sejak awal kehidupan. Hal ini
merupakan aspek penting dari perkembangan otak secara keseluruhan, dan
memiliki konsekwensi yang sangat besar seumur hidup. Sejak lahir anak-anak
cepat

mengembangkan


kemampuan

mereka

untuk

mengalami

dan

mengekspresikan emosi yang berbeda serta kemampuan mereka untuk
mengatasi dan mengelola berbagai perasaan. Perkembangan kemampuan ini
terjadi pada waktu yang sama dengan berbagai keterampilan lainnya, yang
sangat terlihat jelas adalah pada mobilitas (kontrol motor), berpikir (kognisi)
dan komunikasi (bahasa).
Namun demikian, masih banyak orang tua yang mengabaikan
pentingnya perkembangan emosi anak, hal ini disebabkan oleh pemahaman
orang tua terhadap perkembangan emosi anak masih sangat memprihatinkan,
para pendidik dan masyarakat pada umumnya juga belum mengetahui urgensi

perkembangan emosi anak sehingga perkembangan emosional yang dibangun
ke dalam kerangka otak anak masih belum optimal. Keadaan masyarakat kita

1

pada umumnya membangun karakter ke dalam kerangka otak anak dengan
mengutamakan perkembangan kognitif dan bahasa sebagai pondasi awal
kehidupan anak. Bahkan sejak bayi dan balita, anak-anak mendapat perhatian
penuh dari orangtuanya hanya pada perkembangan fisik motoriknya semata.
Kebanyakan orang tua hapal betul kapan anaknya mulai bisa melakukan
gerakan tengkurap, duduk, merangkak, berjalan, hingga mengucapkan satu
dua buah kata. Akan tetapi sedikit orang tua yang memperhatikan
perkembangan emosional anak.
Kemajuan ilmiah baru-baru ini menunjukkan bahwa perkembangan
emosi dan kognisi saling bergantung pada munculnya kematangan dan
interkoneksi dari sirkuit saraf yang kompleks di beberapa daerah otak,
termasuk prefrontal cortex, limbic cortex, basal forebrain, amygdala,
hipotalamus, dan brainstem. Perlu kita ketahui bahwa jaringan otak bersifat
platis, mudah di bentuk sesuai dengan stimulasi atau rangsangan yang
diberikan, faktor lingkungan berperan aktif dalam memberikan pengaruh

positif atau negatif dalam menentukan prilaku seseorang. Orang yang tadinya
pemalu pada usia 4 tahun, misalnya pada usia 10 tahun bisa menunjukkan
perkembangan emosionalnya sehingga menjadi anak yang pandai bergaul.
Perkembangan emosional terkait erat dengan karakteristik sosial serta
dipengaruhi oleh lingkungan di mana mereka tinggal. Anak-anak yang
memiliki kemampuan mengelola emosi dengan baik adalah anak-anak yang
mampu menjalin hubungan dengan orang tua, keluarga, komunitas lainnya
dan

lingkungannya

serta

memiliki

kesehatan

mental

yang


baik.

Perkembangan emosional anak menjadi sangat penting karena tidak hanya
menjadi pondasi untuk masa depannya tetapi juga sebagai fungsi sosial saat
ini. lingkungan setempat mempunyai pengaruh yang tak terbantahkan dalam
pembentukan karakter anak. Kekerasan dan penganiayaan pada masa kanakkanak, juga mempunyai peranan yang cukup besar dalam mempengaruhi
perkembangan emosional anak.
Dengan demikian, sudah semestinya orang tua memahami pentingnya
perkembangan emosi anak sejak dini. Orang tua dapat mengembangkan

2

kemampuan emosional anak dengan sebaik-baiknya melalui pemberian
stimulan

atau

rangsangan


yang

sesuai

dengan

pertumbuhan

dan

perkembangan usia anak, sehingga perkembangan emosional anak yang
dibangun ke dalam kerangka otak mereka dapat dilakukan secara optimal.
2. Tujuan Penulisan Artikel
Tujuan penulisan artikel ini secara umum adalah untuk mengetahui
sejauh mana perkembangan emosional anak yang dibangun ke dalam kerangka
otak mereka. Adapun tujuan penulisan artikel ini secara khusus, diantaranya
adalah sebagai berikut :
1) Untuk mengetahui perkembangan emosional anak menurut hasil penelitian
para ahli perkembangan anak.
2) Untuk mengetahui perkembangan emosional anak yang dibangun ke dalam

kerangka otak mereka.
3) Untuk memberikan pemahaman kepada para orang tua tentang pentingnya
perkembangan emosional anak usia dini.
B. PEMBAHASAN
1. Perkembangan Emosi Anak Usia Dini
Soetjiningsih

(1995)

mengemukakan

bahwa

Perkembangan

(development) adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan
fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat
diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Di sini menyangkut adanya
proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem
organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat

memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual, dan
tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya.
Sedangkan dalam pengertian lain, perkembangan dapat diartikan
sebagai “perubahan yang progresif dan kontinyu (berkesinambungan) dalam
diri individu dari mulai lahir sampai mati”. Pengertian lain dari perkembangan
adalah perubahan-perubahan yang dialami individu atau organisme menuju

3

tingkat kedewasaannya atau kematangannya (maturtion) yang berlangsung
secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan, baik menyangkut
fisik/jasmaniah maupun psikis/rohaniah (Syamsu, 2008).
Dari beberapa pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa
perkembangan adalah perubahan-perubahan yang terjadi terus menerus secara
teratur dan berkesinambungan.
Istilah emosi berasal dari kata emotus atau emovere atau mencerca (to
stir up) yang berarti sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu, missal emosi
gembira mendorong untuk tertawa, atau dengan perkataan lain emosi
didefinisikan sebagai suatu keadaan gejolak penyesuaian diri yang berasal dari
dalam dan melibatkan hampir keseluruhan diri individu (Sujiono, 2005).

Menurut Sarlito Wirawan Sartono berpendapat bahwa emosi merupakan setiap
keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif. Yang dimaksud warna
efektif ini adalah perasaan-perasaan tertentu yang dialami pada saat
menghadapi (menghayati) suatu situasi tertentu, contohnya: gembira, bahagia,
takut dan lain-lain. Sedangkan menurut Goleman Bahasa emosi merujuk pada
suatu perasaan atau pikiran. Pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan
psikologis serta rangkaian kecenderungan untuk bertindak (Syamsu, 2008).
Istilah kecerdasan emosi pada mulanya dilontarkan oleh dua ahli
psikologi, yakni Peter Salovey, dari Universitas Harvard, dan John Mayer, dari
Universitas New Hampshire, mereka menggunakan istilah kecerdasan emosi
untuk menggambarkan sejumlah keterampilan yang berhubungan dengan
keakuratan penilaian tentang emosi diri dan orang lain, serta kemampuan
mengelola perasaan untuk memotivasi, merencanakan, dan meraih tujuan
kehidupan. Dalam menjabarkan arti kecerdasan emosi, Salovey dan Mayer
menggunakan pengertian ‘Kecerdasan Pribadi’ yang dikemukakan oleh ahli
psikologi Howard Gardner sebagai definisi dasar, yakni : kemampuan untuk
memahami orang lain, apa yang memotivasi, serta cara bekerja dan cara
bekerja sama dengan mereka. Juga kemampuan untuk membedakan dan
menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi, dan hasrat orang


4

emapuKntkbigovlhsEdcr

lain. Definisi dasar ini diperluas oleh Salovey dan Mayer dalam lima wilayah

utama, yakni : Kemampuan untuk mengenali emosi diri sendiri, kemampuan

untuk mengelola dan mengekspresikan emosi diri sendiri dengan tepat,
kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, kemampuan untuk mengenali orang

lain dan kemampuan untuk membina hubungan dengan orang lain

(Baswardono, dkk. 1997). Untuk lebih jelasnya, kelima wilayah kecerdasan
emosi dapat penulis gambarkan pada grafik berikut :

Grafik. 1
Lima Wilayah Kecerdasan Emosi

Istilah kecerdasan emosi ini kemudian dipopulerkan oleh Daniel


Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence : “Why It Can Matter More

Than IQ“ (1995). Daniel Goleman (1995) merumuskan emosi sebagai sesuatu
yang merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan

biologis dan psikologis, serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak.
Emosi adalah “a complex feeling state accompained by characteristic motor

and glandular activities” (suatu keadaan perasaan yang kompleks yang disertai

karakteristik kegiatan kelenjer dan motoris). Yusuf (2000) menyatakan bahwa
emosi merupakan warna efektif yang menyertai setiap keadaan atau perilaku

individu. Contohnya : gembira, sedih, bahagia, putus asa, terkejut, benci, dsb.
Sedangkan menurut James and Lange, emosi timbul karena pengaruh

5

perubahan jasmaniah atau kegiatan individu. Misalnya menangis karena sedih,

tertawa karena bahagia.
Sebagaimana diungkapkan Sobur, Alex, Drs., M.si. 2003. Psikologi
umum. Perkembangan pada aspek ini meliputi kemampuan anak untuk
mencintai; merasa nyaman, berani, gembira, takut, dan marah; serta bentukbentuk emosi lainnya. Pada aspek ini, anak sangat dipengaruhi oleh interaksi
dengan orangtua dan orang-orang di sekitarnya. Emosi yang berkembang akan
sesuai dengan impuls emosi yang diterimanya. Misalnya, jika anak
mendapatkan curahan kasih sayang, mereka akan belajar untuk menyayangi.
Pengaruh emosi terhadap perilaku dan perubahan fisik individu : 1)
Memperkuat semangat bila merasa senang atas suatu keberhasilan. 2)
Melemahkan semangat apabila timbul rasa kekecewaan karena suatu
kegagalan. 3) Menghambat atau mengganggu konsentrasi belajar apabila
individu dalam keadaan gugup. 4) Terganggu penyesuaian sosial apabila terjadi
rasa cemburu dan iri hati. Perkembangan emosi pada anak melalui beberapa
fase yaitu :
Bayi hingga 18 bulan
1) Pada fase ini, bayi butuh belajar dan mengetahui bahwa lingkungan di
sekitarnya aman dan familier. Perlakuan yang diterima pada fase ini
berperan dalam membentuk rasa percaya diri, cara pandangnya terhadap
orang lain serta interaksi dengan orang lain. Contoh ibu yang memberikan
ASI secara teratur memberikan rasa aman pada bayi.
2) Pada minggu ketiga atau keempat bayi mulai tersenyum jika ia merasa
nyaman dan tenang. Minggu ke delapan ia mulai tersenyum jika melihat
wajah dan suara orang di sekitarnya.
3) Pada bulan ke empat sampai ke delapan bayi mulai belajar mengekspresikan
emosi seperti gembira, terkejut, marah dan takut.
4) Pada bulan ke-12 sampai 15, ketergantungan bayi pada orang yang
merawatnya akan semakin besar. Ia akan gelisah jika ia dihampiri orang
asing yang belum dikenalnya. Pada umur 18 bulan bayi mulai mengamati

6

dan meniru reaksi emosi yang di tunjukkan orang-orang yang berada di
sekitar dalam merespon kejadian tertentu.
18 bulan sampai 3 tahun
1) Pada fase ini, anak mulai mencari-cari aturan dan batasan yang berlaku di
lingkungannya. Ia mulai melihat akibat perilaku dan perbuatannya yang
akan banyak mempengaruhi perasaan dalam menyikapi posisinya di
lingkungan. Fase ini anak belajar membedakan cara benar dan salah
dalam mewujudkan keinginannya.
2) Pada anak usia dua tahun belum mampu menggunakan banyak kata
untuk mengekspresikan emosinya. Namun ia akan memahami keterkaitan
ekspresi wajah dengan emosi dan perasaan. Pada fase ini orang tua dapat
membantu anak mengekspresikan emosi dengan bahasa verbal. Caranya
orang tua menerjemahkan mimik dan ekspresi wajah dengan bahasa
verbal.
3) Pada usia antara 2 sampai 3 tahun anak mulai mampu mengekspresikan
emosinya dengan bahasa verbal. Anak mulai beradaptasi dengan
kegagalan, anak mulai mengendalikan prilaku dan menguasai diri.
Usia antara 3 sampai 5 tahun
1) Pada fase ini anak mulai mempelajari kemampuan untuk mengambil
inisiatif sendiri. Anak mulai belajar dan menjalin hubungan pertemanan
yang baik dengan anak lain, bergurau dan melucu serta mulai mampu
merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.
2) Pada fase ini untuk pertama kali anak mampu memahami bahwa satu
peristiwa bisa menimbulkan reaksi emosional yang berbeda pada
beberapa orang. Misalnya suatu pertandingan akan membuat pemenang
merasa senang, sementara yang kalah akan sedih.
Usia antara 5 sampai 12 tahun
1) Pada usia 5-6 anak mulai mempelajari kaidah dan aturan yang berlaku.
Anak mempelajari konsep keadilan dan rahasia. Anak mulai mampu

7

menjaga rahasia. Ini adalah keterampilan yang menuntut kemampuan
untuk menyembunyikan informasi.
2) Anak usia 7-8 tahun perkembangan emosi pada masa ini anak telah
menginternalisasikan

rasa

malu

dan

bangga.

Anak

dapat

memverbalisasikan konflik emosi yang dialaminya. Semakin bertambah
usia anak, anak semakin menyadari perasaan diri dan orang lain.
3) Anak usia 9-10 tahun anak dapat mengatur ekspresi emosi dalam situasi
sosial dan dapat berespon terhadap distress emosional yang terjadi pada
orang lain. Selain itu dapat mengontrol emosi negatif seperti takut dan
sedih. Anak belajar apa yang membuat dirinya sedih, marah atau takut
sehingga belajar beradaptasi agar emosi tersebut dapat dikontrol (Suriadi
& Yuliani, 2006).
4) Pada masa usia 11-12 tahun, pengertian anak tentang baik-buruk, tentang
norma-norma aturan serta nilai-nilai yang berlaku di lingkungannya
menjadi bertambah dan juga lebih fleksibel, tidak sekaku saat di usia
kanak-kanak awal. Mereka mulai memahami bahwa penilaian baik-buruk
atau aturan-aturan dapat diubah tergantung dari keadaan atau situasi
munculnya perilaku tersebut. Nuansa emosi mereka juga makin beragam.
2. Pusat Emosi di Otak
Josep LeDoux, seorang ahli saraf di Centre for Neural Science di New
York University, melalui pemetaan otak yang sedang bekerja menemukan
peran penting dari amigdala. Amigdala adalah sekelompok sel berbentuk
seperti kacang almon yang bertumpu di batang otak. Amigdala merupakan
gudang ingatan emosi. Amigdala merupakan bagian tubuh yang memproses
hal-hal yang berkaitan dengan emosi. Rasa sedih, marah, nafsu, kasih sayang,
dan sebagainya bergantung pada amigdala. Bila amigdala hilang dari tubuh
kita, maka kita tidak akan mampu menangkap makna emosi dari suatu
peristiwa. Hidup tanpa amigdala bak hidup tanpa emosi (Baswardono, dkk.
1997).

8

Dalam Wikipedia dikatakan bahwa amigdala berasal dari bahasa latin
amygdalae (bahasa Yunani αμυγδαλή, amygdalē, almond, 'amandel') adalah
sekelompok saraf yang berbentuk kacang almond. Pada otak vertebrata
terletak pada bagian medial temporal lobe, secara anatomi amigdala dianggap
sebagai bagian dari basal ganglia. Amigdala dipercayai merupakan bagian
otak yang berperan dalam melakukan pengolahan dan ingatan terhadap reaksi
emosi. Oleh karenanya amigdala juga merupakan bagian dari sistem limbik
yang dipelajari pada ilmu neurosains kognitif. Letak amigdala di dalam otak,
dapat lihat pada gambar berikut ini :
Amigdala

3. Perkembangan Emosional Anak Yang Dibangun Ke Dalam Kerangka
Otak Mereka
Perkembangan emosi dan kognisi saling bergantung pada munculnya
kematangan dan interkoneksi dari sirkuit saraf yang kompleks di beberapa
daerah otak, termasuk prefrontal cortex, limbic cortex, basal forebrain,
amygdala, hipotalamus, dan brainstem. (seperti perencanaan, penilaian, dan
pengambilan keputusan) yang sangat terlibat erat dalam pengembangan
keterampilan memecahkan pemecahan masalah pada masa prasekolah. Dalam
hal fungsi otak dasar, emosi mendukung fungsi eksekutif ketika diatur dengan
baik, tetapi mengganggu perhatian ketika dikelola dengan buruk.
Perkembangan emosional sebenarnya dibangun ke dalam kerangka
otak anak dalam menanggapi pengalaman pribadi masing-masing dan

9

pengaruh dari lingkungan di mana mereka tinggal. Emosi adalah aspek
biologis dari fungsi otak manusia yang disambungkan ke beberapa daerah
dari sistem saraf pusat.
Pertumbuhan dan perkembangan otak sebenarnya ditentukan oleh sel
syaraf panjang yang mengantarkan pesan-pesan listrik lewat sistim syaraf dan
otak yang disebut dengan neuron. Otak yang telah terbentuk itu menghasilkan
neuron yang jumlahnya kurang lebih 100 milyar yang mana jumlah ini jauh
melebihi kebutuhan yang sebenarnya. Neuron-neuron yang telah terbentuk ini
terus tumbuh dan berkembang dengan mengeluarkan sambungan transmisi
jarak jauh sistim syaraf yang dinamakan akson. Di setiap ujungnya, aksonakson ini mengeluarkan cabang-cabang sebagai penghubung sementara
dengan banyak sasaran. Kegiatan inilah yang sebenarnya merupakan kerja
sel-sel otak dalam mempersiapkan segala kebutuhan yang diperlukan oleh
manusia dari sejak terjadinya konsepsi sampai menjelang ajalnya (Nash,
1997:2-3).

Potensi-potensi yang terbentuk pada saat terjadinya konsepsi adalah
potensi fisik dan potensi psikis. Potensi fisik berkenaan deangan aspek-aspek
fisik dan kerja organ-organ fisik (physically aspect and physically organs
work), sedangkan potensi psikis berkenaan dengan aspek-aspek kejiawaan

10

(Psychologically aspects). Melalui kegiatan-kegiatan pertumbuhan dan
perkembangan otak inilah yang menyebabkan seorang anak manusia
memiliki potensi yang unggul yang nantinya akan menjadi kemampuan anak
secara fisik maupun psikisnya. Pertumbuhan dan perkembangan sel-sel otak
ini terus berlangsung sampai janin itu lahirkan ke dunia. Di dalam
pertumbuhan dan perkembangannya sel-sel otak menghadapi hambatanhambatan baik secara langsung maupun secara tidak langsung (Sujiono,
2009).
Sebagaimana dikutip dari buku Konsep Dasar Penddikan Anak Usia
Dini, bahwa Setelah anak dilahirkan, tahun-tahun awal kehidupan merupakan
saat yang paling kritis bagi pertumbuhan dan perkembangan otak. Lonjakan
pertumbuhan dan perkembangan otak ini terus berlangsung dimana neuron
melalui aksonnya sebagai pengirim signal terus mengadakan sambungan
(sinapsis) baru dengan dendrit sebagai penerima signal. Kegiatan ini
disebabkan oleh berbagai pengalaman seorang bayi melalui panca inderanya.
Semakin banyak pengalaman indera yang dialami seorang bayi, semakin
banyak sambungan yang diperoleh yang berarti semakin banyak pula potensi
bawaan itu berkembang. Seperti yang telah diuraikan pada halaman
sebelumnya bahwa sel-sel otak itu tumbuh dan berkembang melebihi
kebutuhan yang sebenarnya, namun begitu sambungan-sambungan yang telah
diciptakannya akan dengan sendirinya dimusnahkan apabila jarang atau tidak
pernah digunakan. Melalui perkataan lain, sel-sel otak yang telah siap untuk
menjadi kemampuan apa saja itu apabila jarang atau tidak pernah
mendapatkan

latihan

(rangsangan)

secara

perlahan

pasti

akan

dimusnahkannya (Sujiono, 2009).
Pengalaman emosional bayi yang baru lahir mengalami aktivitas
emosional paling sering selama periode interaksi dengan pengasuh (seperti
makan, menghibur, dan memegang). Bayi menunjukkan perasaan tertekan
dan menangis ketika mereka merasa lapar, dingin, basah, atau dengan cara
lain apabila tidak nyaman dan mereka mengalami emosi positif ketika mereka
makan, ditenangkan, dan dipegang. Selama periode awal ini, anak-anak tidak

11

mampu memodulasi ekspresi perasaan yang luar biasa, dan mereka memiliki
kemampuan yang terbatas untuk mengendalikan emosi mereka.
Keadaan emosional balita dan anak prasekolah jauh lebih kompleks.
Mereka bergantung pada pengalaman pribadi mereka sendiri dalam
memahami apa yang orang lain lakukan dan pikirkan, mereka (dan otak
mereka)

membangun

landasan

yang

dibentuk

sebelumnya,

mereka

berkembang dan memperolah pemahaman yang lebih baik dari berbagai
emosi. Mereka juga lebih mampu mengelola perasaan mereka. Anak-anak
yang telah memperoleh landasan emosional yang kuat memiliki kemampuan
untuk mengantisipasi, berbicara, dan menggunakan kesadaran mereka sendiri
dan perasaan orang lain untuk mengelola interaksi sosial dalam kehidupan
sehari-hari dengan lebih baik.
Pengalaman buruk yang dialami oleh anak pada masa kecilnya, juga
akan sangat mempengaruhi perkembangan emosinya. Tekanan emosi yang
berkepanjangan bisa mempengaruhi kerangka otak anak. Dengan demikian,
hal ini harus menjadi prioritas perhatian para orang tua dalam mengenal dan
memahami perkembangan emosi anak. Diharapkan para orang tua
memperhatikan perkembangan emosi dan sosial anak-anak, termasuk
neurologi yang mendasarinya, disebabkan orang tua saat ini pada umumnya
lebih berfokus pada perkembangan kognitif, bahasa dan motorik.
Kebanyakan para orang tua lebih khawatir jika anak-anak mereka
tidak mempunyai

keterampilan membaca atau berhitung. Memang,

perkembangan bahasa, motorik dan kognitif juga perlu mendapat perhatian,
tetapi karena besarnya perhatian orang tua terhadap kemampuan tersebut,
membuat orang tua sedikit mengabaikan perkembangan emosi anak.
Emosi Berkembang Sejak Anak Dilahirkan. Sejak lahir, seorang bayi
sudah dapat menunjukkan perasaannya, apakah ia cenderung merasa
tenang/tentram atau sulit diatur. Sejak lahir anak-anak cepat mengembangkan
kemampuan mereka untuk mengalami dan mengekspresikan emosi yang
berbeda serta kemampuan mereka untuk mengatasi dan mengelola berbagai
perasaan.
Jaringan otak bersifat platis, mudah di bentuk sesuai dengan stimulasi
yang didapat. Apa yang dialami dan dipelajari oleh anak dalam kehidupan
12

sehari-harilah yang lebih menentukan bagaimana ia akan bertingkah laku.
Oleh karena itu perlu kiranya orang tua meninjau kembali cara-cara
pengasuhan yang selama ini dilakukan. Jika selama ini orang tua lebih suka
melindungi anaknya, cobalah untuk membiarkan anak mengalami hal-hal
yang mengecewakan dirinya, beri anak kesempatan untuk mengatasi
masalahnya sendiri. Tetapi bukan berarti orang tua lepas tangan, tetapi
sebaiknya orang tua lebih mendukung anak untuk mengatasi masalahnya
dengan menunjukkan sikap empati pada apa yang dihadapinya. Cara-cara
pengasuhan yang dilakukan orang tua di rumah akan sangat mempengaruhi
perkembangan emosi anak. Orang tua hendaknya melatih dan membiasakan
anak-anaknya untuk bertingkah laku (Baswardono, dkk. 1997).
Di sekolah, guru adalah panutan dan model bagi anak-anak. Guru
tidak cukup hanya mengembangkan aspek kognitif dan bahasa saja, akan
tetapi guru juga harus dapat mengajarkan berbagai keterampilan berperilaku
seperti berterima kasih ketika mendapat pemberian, meminta maaf ketika
melakukan kesalahan, berempati pada teman yang sedang mengalami
kesulitan, meningkatkan motivasi belajar, menumbuhkan rasa percaya diri,
mengajarkan berinfaq atau membantu teman yang mengalami musibah dan
lain-lain. Hal ini tentu harus ditanamkan pada anak sejak mereka masih kecil
sehingga diharapkan menjadi perilaku pembiasaan ketika anak sudah dewasa.

C. PENUTUP
Dari Pembahasan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi
tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan,
sebagai hasil dari proses pematangan, termasuk juga perkembangan emosi,
intelektual, dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya.
2. kecerdasan emosi merupakan keterampilan yang berhubungan dengan
keakuratan penilaian tentang emosi diri dan orang lain, serta kemampuan

13

mengelola perasaan untuk memotivasi, merencanakan, dan meraih tujuan
kehidupan.
3. Jaringan otak bersifat plastis, mudah di bentuk sesuai dengan stimulasi yang
didapat. Pengalaman yang dialami oleh anak dimasa kecilnya dan apa
dipelajari oleh anak dalam kehidupan sehari-harinya itulah yang membangun
perkembangan emosi anak, baik positif maupun negatif.

REFERENSI
14

Baswardono, dkk. Perkembangan Kecerdasan Emosi Anak. Majalah. Seri Ayah
Bunda. Jakarta:PT. Dian Rakyat.1997.
National Scientific Council on the Developing Child, Children’s Emotional
Development is Built into the Architecture of their Brains.2005.
Panitia Sertifikasi Guru dalam Jabatan Rayon 110 UPI, Bahan Ajar Pendidikan
Anak Usia Dini.UPI. Bandung. 2012.
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/110/jtptunimus-gdl-jumiatig2a-5475-3babii.pdf
http://id.wikipedia.org/wiki/Amigdala
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_SEKOLAH/194412051967
101-KOKO_DARKUSNO_A/ASPEK-ASPEK_PERKEMBANGAN.pdf
https://www.facebook.com/notes/ioanes-rakhmat-full/pengalaman-pengalamanspiritual-ditinjau-dari-neurosains
www.developingchild.harvard.edu.
Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. PT. Indeks: Jakarta. 2009.

15