Syiah Bagian dari Islam syiah

Syiah Bagian dari Islam
argumentasi 11/11/2013 Comments: 101

Di antara hal yang kini mulai gencar diproduksi dan telah menyuntikkan virus sektarianisme ke tubuh
umat Islam ialah vonis bahwa Syiah bukan Islam. Hari-hari ini, beberapa orang dengan entengnya
berkata begitu. Oleh mereka, Syiah dianggap telah kafir, alias sudah berada di luar Islam. Vonis kafir itu
dilancarkan bahkan dengan pukul rata tanpa merinci dulu keragaman di dalam Syiah.

Statemen “Syiah bukan Islam” bukan semata klaim biasa. Ia berbahaya, sebab rawan membangkitkan
misi “jihad” dan penghalalan darah. Mereka yang ringan mulut berkata “Syiah bukan Islam”, disadari
atau tidak, telah menyiram bensin ke kobaran api sektarianisme—api yang membakar Timur Tengah,
menjerumuskannya dalam perang saudara yang susah dihentikan, dan, ironisnya, hendak mereka impor
ke Indonesia. Kacaunya kondisi Irak dan Suriah kini diakibatkan, antara lain, oleh vonis takfir itu. Dan saat
pertarungan politik, baik di dalam atau di luar negeri, dibalut dengan legitimasi agama, jadilah orang
dengan sukarela menyumbangkan nyawa.

Sudah berabad-abad lamanya, kita tahu, pertengkaran Sunni-Syiah tak kunjung redam. Umat Islam
tampaknya lebih mudah bertoleransi dengan agama lain ketimbang pada mazhab yang lahir dari
pergolakan di tubuh umat Islam sendiri. Banyak statemen dilancarkan untuk menyerang Syiah dengan
berbagai tuduhan yang, sedikit atau banyak, adalah klaim sepihak—klaim yang belum tentu dikonfirmasi
oleh pendapat yang dinyatakan oleh ulama yang terakui (mu’tabar) dari kedua belah pihak.


Karenanya, tulisan ini akan menjawab propaganda itu: Benarkah Syiah bukan Islam?

[1]

Pernah ada, dan sampai kini masih berlangsung, upaya pendekatan antar mazhab (at-taqrîb bain almadzâhib). Upaya ini sudah bermula sejak tahun 1950-an. Penggagasnya ialah para ulama Al-Azhar
waktu itu, dipimpin oleh Syaikh Mahmud Syaltut.

Upaya ini bertujuan untuk meminimalisasi ketegangan antar mazhab, rekonsiliasi Ahlus Sunnah-Syiah,
sekaligus mengakui delapan mazhab yang sah sebagai bagian dari Islam. Delapan mazhab itu ialah: 4
mazhab Ahlus Sunnah (Hanafi, Maliki, Syafi’i, & Hanbali), 2 mazhab Syiah (Zaidiyah & Ja’fariyahImamiyah), mazhab Zhahiriyah, dan mazhab Ibadhiyyah (Khawarij). [Mengenai proyek taqrib ini, anda
dapat dengan mudah mencari informasinya di google. Websitenya, antara lain, taghrib.org, atau search
dengan kata kunci Arab: at-taqrib baina as-sunnah wa asy-syi’ah]

Kedelapan mazhab itu diakui pula oleh Syaikh Wahbah az-Zuhaily dalam karya ensiklopedisnya tentang
fikih: Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu. Dikatakan oleh Syaikh Wahbah dalam penjelasannya di bagianbagian awal, pada bab tentang fikih Imamiyyah:

‫وفقه المامية وإن كان أقرب إلى المذهب الشافعي فهو ليختلف في المور المشهورة عن فقه أهل‬
‫ فاختلفهم ليزيد عن اختلف‬،‫ من أهمها إباحة نكاح المتعة‬،‫السنة إل في سبع عشرة مسألة تقريباا‬
‫ والحقيقة أن‬.‫ وينتشر هذا المذهب إلى الن في إيران والعراق‬.‫المذاهب الفقهية كالحنفية والشافعية مثل ا‬

‫ وإنما يرجع لناحية الحكومة والمامة‬،‫اختلفهم مع أهل السنة ليرجع إلى العقيدة أو إلى الفقه‬.

“Fiqh Imamiyah, meski lebih dekat ke mazhab Syafi’i, ia tak berbeda dengan fiqh Ahlus-Sunnah dalam
persoalan yang masyhur kecuali kira-kira terkait 17 masalah. Yang paling pokok (dari perbedaan itu)
adalah tentang pembolehan nikah mut’ah. Perbedaan Syiah Imamiyah dengan Ahlus Sunnah tak lebih
sebagaimana perbedaan mazhab-mazhab fiqh lainnya, seperti Hanafi dengan Syafi’i. Mazhab Imamiyah
ini sampai sekarang menyebar di Iran dan Irak. Secara substantif, perbedaan Syiah-Imamiyah dengan
Ahlus Sunnah tidak merujuk ke soal akidah atau fiqh, melainkan hanya pada aspek pemerintahan dan
imamah.”

Sejak tahun 50-an, Syaikh Mahmud Syaltut sudah memfatwakan kebolehan beribadah dengan
menggunakan mazhab Ja’fari (Syiah-Imamiyah). Diberitakan pula, bahwa Syaikhul Azhar Ahmad Thayyib
saat ke Iran bermakmum salat kepada ulama Syiah (lihat di sini). Syaikul Azhar Ahmad Thayyib pun
menyatakan bahwa Syiah tidak kafir; Syiah adalah bagian dari Islam (lihat di sini). Kalau Khawarij yang
lebih potensial menimbulkan friksi di tubuh umat Islam saja masih dihukumi Islam, apalagi Syiah.

Banyak ulama Al-Azhar yang berbeda dengan sikap Salafi-Wahabi dalam menghadapi Syiah (lihat di sini).
Banyak ulama Salafi-Wahabi yang menganggap Syiah sudah kafir, bukan lagi bagian dari Islam. Tapi
ulama-ulama Al-Azhar tidak mengkafirkan Syiah; paling maksimal mereka menyatakan Syiah telah
membuat bid’ah, tentu saja dalam perspektif kredo Sunni (a.l. karena akidah ‘ishmatul-a’immah, raj’ah,

ghaibah, bada’, dll.), tapi Syiah tetaplah masih berada dalam koridor Islam.

Proyek “taqrib” itu pernah pula dikukuhkan dalam Deklarasi Amman pada 2005. Deklarasi itu
menghimpun wakil-wakil tiap negara dari seluruh dunia Islam, tak terkecuali dari Irak dan Iran. Wakil dari
Indonesia saat itu, antara lain, ialah KH Hasyim Muzadi (Ketua PBNU saat itu). Dan jelas ternyatakan
dalam deklarasi itu bahwa mazhab Syiah diakui sah sebagai bagian dari Islam. [Sila search di google
tentang Deklarasi Amman, atau kunjungi websitenya di ammanmessage.com] Deklarasi itu
ditindaklanjuti lagi, untuk menyikapi konflik sektarian di Irak, dengan Dekrasi Mekkah pada 2006, dan
Deklarasi Bogor, Indonesia, pada 2007.

[2]

Sebenarnya dalam batasan yang bagaimana seseorang bisa divonis kafir?

Saya akan mengambil pandangan ulama ortodoks: Imam Abu Hamid al-Ghazali dengan karyanya Fayshal
at-Tafriqah. Tiada yang meragukan otoritas Al-Ghazali, kecuali segelintir saja dari kalangan Salafi. AlGhazali adalah ulama besar Sunni-Asy’ari-Syafi’i; menjadi rujukan ajaran tasawuf Nahdlatul Ulama (NU),
di samping Junaid al-Baghdadi.

Saya pernah mengulas tentang Fayshal at-Tafriqah itu di bagian lain di blog ini (rujuk ke tulisan ini:
Mengkafirkan itu Tidak Mudah). Saya ulas sedikit di sini beberapa poin penting darinya.


Sudah menjadi kesepakatan ulama Asy’ariyah (mazhab akidah yang diikuti mayoritas umat Islam): tidak
boleh mengkafirkan ahlul-qiblah. Tidak boleh mengkafirkan orang yang memegangi kalimat syahadat
(tiada tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya). Diterangkan pula oleh Al-Ghazali,
tidak boleh mengkafirkan mazhab yang tidak melanggar hal pokok (ushul) dalam agama yang mutawatir
(teriwayat oleh banyak orang dan mustahil ada persekongkolan untuk berdusta).

Terhadap hal yang mutawatir inipun Al-Ghazali masih merinci, sebab bisa jadi yang mutawatir bagi Ahlus
Sunnah, belum tentu mutawatir bagi Syiah. Karena itu, kata Al-Ghazali, perbedaan dalam kemutawatiran
suatu statemen akidah, tak bisa dijadikan dasar untuk mengkafirkan.

Contoh dari hal yang layak untuk dinyatakan bukan lagi bagian dari Islam, menurut Al-Ghazali, misalnya
kalau ada orang menyatakan bahwa kiblat yang menjadi arah salat bukanlah di Mekkah, sebab hal ini
disepakati mutawatir lintas mazhab. Misal lainnya, bila seseorang menyatakan bahwa Sayyidah ‘Aisyah
telah berzina, padahal mutawatir dan termaktub di Al-Quran, belasan ayat yang membebaskan ‘Aisyah
dari tuduhan zina.

Al-Ghazali pernah menulis satu kitab yang membantah akidah salah satu aliran dalam Syiah. Judulnya:
“Fadha’ih al-Bathiniyyah”. Buku ini ditulisnya untuk membantah klaim-klaim akidah Syiah-Ismailiyah
(bukan Syiah-Imamiyah; yang mayoritas dalam Syiah sekarang). “Bathiniyah” waktu itu menjadi nama

yang lazim tersemat ke Syiah-Ismailiyah (7 Imam), dan masuk kategori Syiah-ekstrem. Bahkan dalam
menanggapi Bathiniyah pun Al-Ghazali masih memilah-milah, dan tampak sangat berhati-hati.

Al-Ghazali menerangkan bahwa meski Syiah mencaci Sahabat, dan itu dosa, ia tak menyatakan si pencaci
itu kafir. Kata Al-Ghazali, “Kalau keliru dalam menisbatkan sifat pada Allah, sebagaimana terjadi dalam
perdebatan antara Shifatiyyah dan Mu’atthilah, tidak dihukumi kafir, maka keliru dalam menisbatkan sifat
kepada manusia lebih ringan hukumnya.”

Al-Ghazali amat mewanti-wanti agar umat Islam tidak tergesa-gesa menjatuhkan vonis kafir. Sebab vonis
kafir itu berbahaya. Bila yang bersangkutan berpegangan pada fikih konservatif, yakni bahwa hukuman
murtad adalah dibunuh, maka vonis kafir bisa berarti status halal darahnya (ibâhah ad-dam).
Konsekuensi takfir ialah pencabutan nyawa. Maka terang Al-Ghazali berkata: Kesalahan dalam
membiarkan seratus kafir hidup, masih lebih ringan daripada kesahalan dalam menumpahkan darah
seorang muslim (wal-khatha’u fi tarki alfi kafirin fil-hayati ahwanu minal-khatha’i fi safki damin
limuslimin). Kata al-Ghazali pula, kesalahan memasukkan orang ke dalam Islam, lebih ringan daripada
kesalahan mengeluarkannya dari Islam.

Juga, dinyatakan oleh Syaikh ‘Abdul-‘Azhim az-Zarqani, “Jika suatu kalimat mengandung kemungkinan
kafir dalam 99 segi, tapi ia masih mengandung kemungkinan iman dalam 1 segi, hendaklah kalimat itu
dibawa pada kemungkinan yang terbaik, yakni masih beriman” (Manahil al-‘Irfan, II/35). Karena itu,

sudah menjadi ajaran Ahlus Sunnah, untuk tak mudah menjatuhkan vonis kafir. Pengkafiran yang
tergesa-gesa, apalagi sampai menggeneralisasi semua Syiah apapun cabangnya adalah kafir, bagi saya,
adalah bentuk pelanggaran terhadap ajaran Ahlus Sunnah sendiri.

[3]

Tak sedikit perawi-perawi Syiah yang diambil hadisnya oleh Shahih Bukhari dan Muslim. Ini jelas menjadi
fakta yang sulit dibantah: Kalau mereka bukan muslim, tentunya Al-Bukhari dan Muslim tak akan
mengambil hadisnya.

Namun, ada sebagian pandangan menyatakan keberatan. Katanya, perawi-perawi di dua kitab hadis
tersahih Ahlus Sunnah itu memang Syiah, namun Syiah dulu dengan sekarang berbeda. Syiah yang
diambil hadisnya oleh Bukhari-Muslim hanya yang berpandangan bahwa Ali lebih unggul (afdhal) di atas
Abu Bakar, Umar dan Utsman.

Namun klaim ini tidak tepat. Sebab jika ada kelompok Islam yang mengunggulkan Ali di atas ketiga
khalifah sebelumnya, tidak lantas menjadikannya Syiah. Sejarah Islam mencatat, dulu ada Mu’tazilahBashrah yang mengunggulkan Ali, tapi mereka memusuhi Syiah. Mu’tazilah-Bashrah ini berbeda
pandangan dengan Mu’tazilah Baghdad.

Lepas dari hal itu, para perawi Syiah yang diambil hadisnya oleh al-Bukhari dan Muslim bukan sekedar

Syiah saja. Ambil contoh sebagian dari perawi yang Syiah itu. Misalnya, Ubaydullah ibn Musa al-‘Absi.
Kata Ibn Mandah, Ubaydullah ini seorang Syiah-Rafidhah, dan ia tidak mengizinkan orang bernama
Mu’awiyah masuk ke rumahnya. Yang lain, misalnya Abbad ibn Ya’qub ar-Rawajini. Ia dinyatakan oleh Ibn
Hajar sebagai Rafidhah juga.

Itu sekedar contoh, dan masih banyak yang lainnya. Misalnya, Abdul Malik ibn Ayan al-Kufi, Awf ibn Abi
Jamilah al-A’rabi, Abdur Razaq as-Shan’ani, dll. Sebagian menyatakan, jumlah perawi Syiah yang terambil
riwayat hadisnya di kitab hadis yang enam (al-kutub as-sittah) ada puluhan orang. Mereka bukan sekedar
Syiah belaka, tapi juga Rafidhah (menolak kepemimpinan ketiga khalifah sebelum ‘Ali ibn Abi Thalib).

Data ini tegas menunjukkan, meski ke-Rafidhah-an dinyatakan oleh Ahlus Sunnah sebagai bid’ah, tapi
mereka tetaplah bagian dari Islam. Jika mereka dikeluarkan dari Islam, entah ada berapa hadis Sunni
yang akan hilang. Artinya, pengkafiran Syiah meniscayakan kerugian besar bagi rujukan hadis milik Ahlus
Sunnah.

[4]

Tidak semua aliran dalam Syiah itu sesat; sebagaimana tidak semua aliran dalam Ahlus Sunnah itu lurus
seratus persen (dalam konteks sekarang, sesat-menyesatkan mestinya dihindari sebisa mungkin). Karena
itu, kita mesti menghindari generalisasi. Sebab, penisbatan pandangan bukan kepada orang yang

menyatakannya adalah salah satu bentuk kezaliman, apalagi bila kesalahan penisbatan itu berujung pada
tindak kekerasan.

Maka dari itu, tidak boleh menisbatkan pandangan sekte Syiah A, ke sekte Syiah B; tidak boleh
menisbatkan pandangan Syiah-minoritas sebagai tolok ukur yang mewakili Syiah keseluruhan; tidak
boleh menjadikan pandangan orang biasa, yang bukan ulamanya, sebagai representasi pandangan sekte
itu.

Ini pun berlaku sama saat Syiah, misalnya, hendak menilai Ahlus Sunnah. Tidak bisa menjadikan
pandangan Salafi-Wahabi misalnya, sebagai representasi Ahlus Sunnah. Di Indonesia, kita tak bisa
menjadikan pandangan salah satu partai Islam, misalnya, sebagai representasi satu-satunya Ahlus
Sunnah di Indonesia.

Syiah bukan lahir kemarin sore; ia ialah mazhab yang sama tuanya dengan Ahlus-Sunnah. Karena itu,
perkembangan di dalamnya pasti terjadi. Kita tak bisa serta merta menyamakan bahwa Syiah saat ini

adalah sama persis dengan Syiah masa lampau. Perubahan pandangan itu hal biasa. Bukan hanya di
Syiah, di sisi Ahlus Sunnah pun begitu.

Pandangan Abu Hanifah dengan Hanafiyah bisa beda. Pandangan Al-Asy’ari dengan Asya’irah (pengikut

Al-Asy’ari bisa beda). Bahkan pandangan As-Syafi’i di dalam dirinya sendiri antara saat beliau di Irak
dengan di Mesir, bisa berbeda. Syiah pun demikian. Mainstream Syiah-Imamiyah terbagi jadi dua:
Akhbari dan Ushuli (mirip Ahlul Hadits dan Ahlur Ra’yi dalam Ahlus Sunnah). Yang mayoritas di SyiahImamiyah adalah yang Ushuli.

Dalam hal menilai Syiah, saya memegangi statemen Syiah masa kini sesuai pernyataan buku “Buku Putih
Mazhab Syiah: Menurut Para Ulamanya yang Muktabar” yang ditulis oleh tim Ahlul Bait Indonesia (ABI),
terbitan 2012. Ini karena, penilaian yang adil adalah dengan mendasarkan pada klaim si “terdakwa”,
bukan tuduhan musuhnya, apalagi dengan pengadilan in absentia.

Ambil contoh tentang tuduhan bahwa menurut Syiah, Al-Quran yang ada sekarang ini telah mengalami
distorsi (tahrif). Menurut pengakuan buku putih itu (halaman 34): “Jumhur ulama Syiah meyakini bahwa
Al-Quran yang ada di tangan Muslim saat ini adalah satu-satunya Al-Quran.” Dikatakannya pula (masih di
halaman 34): “Asal-muasal tuduhan tahrif terhadap Syiah diambil dari pandangan minoritas ulama Syiah
dari kelompok Akhbari. Munculnya klaim tahrif itu diprakarsai kelompok Syiah-Akhbari, antara lain oleh
Ni’matullah al-Jazairi dan Syaikh Nuri dengan kitabnya ‘Fashlul Khitab’.”

Di situ cukup terang, tuduhan dari sebagian kalangan Sunni tidak terkonfirmasi oleh pihak Syiah yang
muktabar. Oleh karena itu, mari kita fair menilai. Dari dari bentuk fairness dalam menilai ialah kita tidak
bisa serta merta menilai pandangan Syiah masa kini dengan hanya berdasar pada kitab induk hadis
Syiah, seperti Al-Kafi karya Al-Kulaini—yang biasanya disetarakan dengan Shahih Bukhari bagi Ahlus

Sunnah. Sebab, tidak semua di Al-Kafi adalah sahih (al-Kulaini sendiri tak menisbati kitabnya dengan,
misalnya, Shahih al-Kafi), sebagaimana tidak semua yang di Shahih Bukhari adalah sahih (padahal judul
kitab itu ternisbati kata “Shahih”).

Intinya, silakan baca buku itu, dan anda akan mendapati hal yang berbeda dari propaganda negatif yang
selama ini menyebar tentang Syiah, padahal itu klaim dari segolongan saja.

[5]

Ada setidaknya tiga poin yang selama ini disepakati dalam berbagai muktamar taqrib Sunnah-Syiah.
Yakni: (1) Al-Quran sama—ini sudah dijelaskan di atas; (2) Tidak boleh mencela figur-figur yang dihormati
oleh kedua belah pihak; (3) tidak boleh ada Syiahisasi di negeri-negeri Sunni; begitu pula sebaliknya.

Mencela figur-figur terhormat, baik dari Syiah yang mencela Sahabat, atau Sunni yang mencela para
ulama Syiah masa kini, adalah sama dengan mengobarkan api sektarianisme. Jangankan mencela
manusia, mencela sesembahan orang musyrik pun dilarang (lihat QS 6:108). Karena itu jelas, dan ini
berlaku lintas mazhab, bahwa mencela mazhab atau agama lain itu merusak persaudaraan. Rekonsiliasi
Sunni-Syiah tiada akan terwujud jika Syiah, misalnya, masih mencaci Sahabat yang dihormati Sunni; atau
orang Sunni misalnya, mencaci Ayatullah Khomeini.


Itulah asas taqrib. Dan sebagian ulama Syiah kini sudah memfatwakan keharaman bagi orang Syiah untuk
mencaci Sahabat yang dihormati Ahlus Sunnah. Di sini, kita tahu, perkembangan pendapat itu ada.

Tentang poin ketiga itu, yakni tiada bolehnya Syiahisasi atau Sunnahisasi di negeri yang berbeda mazhab,
perkenankan saya untuk mengajukan kritik berikut.

Selama ini, argumen pelarangan penyebaran mazhab lain di negeri lain adalah karena penyebaran
mazhab itu, baik Sunnah ke negeri Syiah, atau Syiah ke negeri Sunni, akan menimbulkan perpecahan di
masyarakat. Menurut saya, perpecahan, friksi, fragmentasi, dan sebagainya terjadi bukanlah karena
keberadaan mazhab itu, tapi karena pengikut mazhabnya yang eksklusif dan tidak terbiasa dengan kritik
dari kalangan yang beda aliran.

Jangankan antara Sunni dengan Syiah, di dalam Sunni sendiri pun tak jarang terjadi friksi antara mazhabmazhabnya. Sampai kini, tidak bisa dimungkiri, terjadi pertengkaran hebat antara Sunni-Asy’ari-Maturidi
dengan Sunni-Salafi-Wahabi. Pertengkaran bukan hanya di level ulamanya, tapi juga di akar rumput. Di
Indonesia, Nahdhiyin bersitegang dengan Wahabi. Perlu pula dicatat, saat Wahabi mensyirikkan amaliyah
NU (tawassul, tabarruk, ziarah kubur, maulid Nabi, dll.), maka itu bukan lagi persoalan furu’ (cabangan),
itu sudah ushul (pokok). Apalagi, kita tahu, syirik adalah dosa terbesar, atau bahkan pelanggaran
terhadap prinsip tauhid.

Lagipula, dalam catatan sejarah, pertengkaran sektarian bukan saja terjadi karena perbedaan soal ushul,
melainkan juga furu’. Yaqut al-Hamawi dalam Mu’jam al-Buldan, bab entri huruf hamzah dan shad,
tentang kejadian pada abad ke-5 H, menyatakan bahwa pada masa itu di Isfahan pernah terjadi
fanatisme akut antara Hanafiyah dan Syafi’iyyah. Antara kedua mazhab itu terjadi peperangan cukup
lama. (Waqad fasyâ al-kharâb fi hadza al-waqt wa qablahu fi nawâhîhâ li katsrah al-fitan wa at-ta’asshub
baina asy-syafi’iyyah wa al-hanafiyyah wa al-hurûb al-muttashilah bain al-hizbain).

Masih di Mu’jam al-Buldan, bab entri huruf ra’ dan ya’, terjadi di Ray (Iran), pernah ada peperangan
antara Hanafiyah dengan Syafi’iyah yang, karena kemenangan berada di tangan Syafi’iyah, kemudian

penduduk Rustaq yang bermazhab Hanafi mendatangi Ray dengan membawa senjata dan bunuhbunuhan pun terjadi.

Muhammad ibn Ismail as-Shan’ani di kitabnya, Irsyâd an-Nuqqâd fi Taysîr al-Ijtihad, pada bab Tawaqquf fi
tashdîq al-mukhbir hattâ taqûm al-bayyinah, menuliskan bahwa Mula ‘Ali al-Qari berkata bahwa dulu
pernah masyhur terjadi, bila ada Hanafi pindah ke mazhab Syafi’i maka akan dihukum; dan jika
sebaliknya, maka tidak dipersoalkan (isytahara baina al-hanafiyyah anna al-hanafiy idza intaqala ilâ
madzhab asy-syâfi’i yu’azzaru waidza kâna bi al-‘aksi fainnahu yukhla’u ‘alayh).

Sekali lagi, perpecahan di tubuh umat Islam bukan saja karena beda mazhab, melainkan, lebih dari itu,
karena masing-masing pengikut mazhab tidak terbiasa dengan kritik dan mudah tegang hanya karena
dipicu sentimen yang dibumbui panasnya tensi politik. Ini bukan berarti dukungan terhadapa pembukaan
lebar pintu bagi ajaran Syiah untuk disebar di negeri Sunni. Tentu saja, ajaran Syiah yang berisi cacian
kepada Sahabat tidak bisa ditolerir. Caci-maki terhadap figur terhormat, dari agama manapun, adalah
sama dengan menabuh genderang perang.

[6]

Dulu di masa-masa ketika kredo Sunni dan Syiah belum “dibekukan” dalam kitab-kitab induk, hubungan
Sunni-Syiah cukup damai. Keduanya terintegrasi dalam masyarakat.

Dalam hal ini saya merujuk ke ulasan yang pernah disampaikan Mukhtar as-Syinqiti, doktor bidang
sejarah agama yang menulis disertasi tentang pengaruh Perang Salib terhadap friksi Sunni-Syiah. Anda
bisa mencari makalahnya di websitenya (berbahasa Arab: shinqiti.net) dan kuliah-kuliahnya di Youtube
(Misalnya, search dengan kata kunci Arab: as-sunnah wa asy-syî’ah; baina at-tawâshul wa al-qathî’ah).

Dikatakannya, dulu di masa Abbasiyah, hubungan Sunni dan Syiah itu komunikatif (tawâshul), saling
terbuka dan saling belajar. Tidak ada friksi sektarian dalam skala yang massif antara Sunni & Syiah. Di
masa itu, Sunni & Syiah berintegrasi dalam masyarakat. Tak jarang, orang Sunni belajar di masjid Syiah,
demikian pula sebaliknya. Muhaddits Ahlus Sunnah, Al-Hakim an-Naisaburi, misalnya, yang menulis AlMustadrak ‘ala ash-Shahihain, didaku sebagai ulama Syiah, sebab al-Hakim lah yang menulis kitab
musthalah hadits yang diberikannya kepada murid-muridnya yang Syiah.

Di sisi lain, Sunni pun menyerap budaya Syiah. Muhammad Zaki Ibrahim dalam Fiqh as-Shalawat wa alMada’ih an-Nabawiyyah (2011: 103-105) menceritakan bahwa tradisi perayaan maulid Nabi dimulai oleh
kalangan Syiah dari Dinasti Fathimiyah di Mesir. Tradisi maulid waktu itu digalakkan untuk

membangkitkan semangat cinta Nabi dan Ahlul Bait, serta memperkokoh persatuan dan konsolidasi
negara sebagai rival pemerintahan Sunni di Baghdad.

Melihat efek dari tradisi maulid itu, Sultan Muzhaffar ad-Din di Irbil (masih bawahan Abbasiyah Baghdad
yang Sunni) ikut membudayakannya. Ia bahkan menggelontorkan lebih dari 1000 dinar sebagai hadiah
bagi siapa saja yang mampu menyusun syair-syair pujian kepada Nabi (madah nabawiy). Sejak saat itu,
tradisi maulid menjadi budaya populer dan semarak dilakukan di negara-negara kekhilafahan lainnya.

Tradisi maulid semakin berkembang ketika Shalahuddin al-Ayyubi memanfaatkan efek tradisi maulid itu.
Shalahuddin berpandangan bahwa maulid bisa menjadi manifesto persatuan dan persaudaraaan
(ukhuwwah) umat Islam. Untuk membangkitkan semangat juang prajuritnya, Shalahuddin mengadakan
sayembara menggubah syair-syair madah. Salah satu karya besar yang lahir setelah itu adalah kitab
Maulid al-Barzanji, karya Syaikh Ja’far al-Barzanji, yang masih banyak dibaca hingga kini dan cukup sering
didendangkan rutin mingguan oleh orang-orang NU.

Lebih dari itu, dulu tak sedikit di antara para khalif Abbasiyah yang mengambil menteri dari orang Syiah.
Dinasti Fathimiyah, yang bermazhab Syiah-Ismailiyah, pun tak sedikit mengambil menteri dari orang
Sunni. Para ilmuwan dan saintis yang mengabdi pada negara juga banyak yang lahir dari kelompok Syiah:
Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Miskawayh, Jabir ibn Hayyan, Ibn Sina, dll—karena itu, bila sekolompok umat
Islam tak mengakui Syiah sebagai bagian dari Islam, maka mereka tak bisa mendaku penemuan para
saintis itu sebagai sumbangsih Muslim kepada dunia.

Dalam hal ini berlaku hukum sejarah: Peradaban yang berkembang (izdihâr) ialah peradaban yang
terbuka (infitâh), menyerap berbagai budaya, dan toleran pada perbedaan pandangan. Semakin
peradaban tertutup, maka ia makin menuju fase kemunduran (inhithâth). Tiada peradaban yang
berkembang hanya berdasar murni dari dirinya sendiri, tanpa ada kontak dengan peradaban,
kebudayaan, dan pemikiran yang berbeda.

Di masa inklusivisme—Dr Mukhtar menyebutnya ‘ashr at-tawâshul wa al-infitâh—pernah terjadi integrasi
Sunni-Syiah dalam masyarakat, dan hampir tiada friksi. Lalu, eksklusivisme—Dr Mukhtar menyebutnya
dengan istilah ‘ashr at-ta’asshub wa al-qathî’ah—menghinggapi hubungan Sunni-Syiah dengan ditandai
oleh dua perkembangan sejarah. Pertama, saat pandangan Hanabilah mendominasi dunia Sunni dan,
kedua, saat Mu’tazilah merasuk ke dunia Syiah.

Akar sengketa bermula pada awal-awal abad ke-5 H, sebagai imbas dari tragedi “mihnah”—yang
menyeret Imam Ahmad ibn Hanbal ke dalam siksaan penjara. Tragedi itu menyisakan permusuhan akut
antara Ahlul Hadits versus Mu’tazilah. Seiring dengan hegemoni Ahlul Hadits yang mengalahkan
dominasi Ahlur Ra’yi di dunia Sunni, permusuhan pada Mu’tazilah menguat. Di sisi lain, Mu’tazilah

terserap ke dalam Syiah. Jadilah Syiah bukan sekedar gerakan politik, melainkan menjadi mazhab akidah.
Sejak itulah, Syiah sebagai ideologi menemukan bentuk yang sempurna. Di masa itu pula kemudian 4
kitab hadis induk Syiah mulai ditulis. (Empat kitab hadis induk Syiah itu muncul setelah Sunni-Syiah
sudah mengalami fase separasi dan benih-benih permusuhan mulai tumbuh, sehingga tidak kecil
kemungkinannya sentimen sektarian ikut merembes ke dalam kitab hadis Syiah itu)

Pada mulanya, sengketa terjadi hanya antara Hanabilah versus Syiah. Kitab-kitab tarikh yang
menerangkan kejadian pada abad 5 H, kata Dr Mukhtar asy-Syinqithi, banyak menuliskan terjadinya
fitnah antara Hanabilah versus Syiah.

Pada perjalanan selanjutnya, ringkas cerita, pandangan Hanabilah ini mendominasi dunia Sunni [Apalagi,
saat permusuhan itu semakin diruncingkan oleh Ibn Taimiyyah, yang mengkritik keras Syiah melalui
kitabnya “Minhaj as-Sunnah”, kemudian ajaran Ibn Taimiyah itu dihidupkan oleh Muhammad ibn Abdil
Wahhab dan menjadi paham Salafi kini]. Di sisi Syiah-Imamiyah, gerakan politiknya semakin radikal
seiring ideologi politik harakiy ala Syiah-Ismailiyah menjadi ideologi arus utama: oposisi setia terhadap
Sunni. Sejak itu, Sunni dan Syiah terlibat sengketa tiada henti sampai sekarang.

Poin saya di sini adalah: sengketa akut Sunni-Syiah sangat tidak terlepas dari faktor sejarah politik. Tensi
politik dalam sejarah masa lampau itu, sedikit maupun banyak, ikut mempengaruhi ajaran dan kredo
yang kemudian merembes ke dalam kitab-kitab rujukan kedua mazhab tersebut.

Butuh usaha besar untuk menggali kembali sisi sejarah yang hilang; sejarah saat Sunni dan Syiah bisa
berdampingan, berintegrasi; dan perbedaan pandangan tidak menjadi alasan untuk bermusuhan, justru
jadi peluang untuk saling belajar; menerima dan memberi.

[7]

Data sejarah Nusantara menunjukkan bahwa Syiah sudah lama berada di bumi Indonesia. Salah satu
tesis terkuat tentang muasal Islam di Nusantara ialah dari Gujarat & Persia yang, sedikit atau banyak,
diwarnai oleh ajaran dan amaliyah Syiah.

Menurut Agus Sunyoto di buku Wali Songo, Islam mulai berkembang di India, salah satunya, dimotori
oleh kalangan Alawiyyin yang lari dari kejaran penguasa Umayyah dan Abbasiyah. Pengaruh tradisi dan
pemikiran Alawiyyin yang dianut orang-orang Persia terbawa ke India. Dari India, kemudian terbawa ke
Nusantara.

Pengaruh Persia itu antara lain ada dalam sistem pengajaran al-Qur’an yang menggunakan istilah-istilah
berbahasa Persia untuk menyebut harakat (vokal) dalam bahasa Arab, seperti jabar untuk fathah, jer
untuk kasrah, dan pes (fesy) untuk dhammah. Generasi simbah saya masih ada yang mengeja al-Quran
dengan jabar, jer, dan pes itu.

Pengaruh dalam bidang kesusastraan juga cukup besar. Ini muncul dalam karya terjemahan dari sastra
Persia: Qissa-i-Emir Hamza (Hikayat Amir Hamzah, mengisahkan kepahlawanan Hamzah ibn Abdul
Muthalib, paman Nabi Muhammad Saw), Qissah Insyiqaq al-Qamar (Hikayat Terbelahnya Bulan, salah
satu mukjizat Nabi Muhammad Saw), Rawdhat al-Ahbab (Hikayat Nur Muhammad), Wafat Nameh
(Hikayat Nabi Wafat), Qissah Wasiyyah al-Mustafa li Imam ‘Ali (Kisah Wasiat Nabi kepada Ali), Qissah
Amir al-Mu`minin Hasan wa Husain (Kisah Amirul Mukminin Hasan dan Husain), Qissah i Ali Hanafiyah
(Kisah Ali al-Hanafiyah [putra Ali ibn Abi Thalib dari istrinya, Khaulah, dari Bani Hanifah]), dan lain-lain.
[Simaklah judul-judul karya itu; yang indikatif pada Syiah]

Konon, dulu juga pernah ada Kesultanan Perlak di Aceh—yang sezaman dengan masa Daulah Abbasiyah
—yang bermazhab Syiah. Ada pula beberapa tradisi Syiah yang bertahan lama, mungkin sampai kini
masih ada, yakni perayaan Asyuro dengan Tabot & bubur Asyuro—dan bulan Muharram pun lazim
disebut orang Jawa dengan nama “Sasi Suro”. Adapula beberapa ajaran yang mirip—untuk tak dikatakan
sama persis—antara Syiah dengan Ahlus Sunnah. Misalnya, tawassul, tabarruk, peringatan hari kematian,
ziarah kubur, maulid Nabi, dan lain-lain.

Data sejarah ini menunjukkan bahwa sudah sejak lama Syiah menjadi bagian integral dalam Islam di
Nusantara. Santri-santri Nahdliyin yang gemar shalawat pasti tahu bahwa syair “Ya Rasulallah Salamun
‘Alayk” yang biasa dibaca dalam Barzanji atau Diba’i menyebut imam-imam Syiah: dari ‘Ali ibn Abi Thalib
sampai ‘Ali ar-Ridha. (Lihat mulai bagian syair: kam imâmin ba’dahu khalafû). Orang-orang NU yang
gemar bershalawat tentu tahu kasidah-kasidah macam “Ya Zahra”, “Ya Ala Baitin Nabi”, “Birasulillah walBadawi”, “Li Khamsatun”, dll. [Sebagai misal, “Li Khamsatun” oleh anak-anak Syiah di sini; “Li Khamsatun”
oleh anak-anak NU di sini]

Kasidah-kasidah pujian kepada Ahlul Bait itu tak hanya didendangkan oleh Sunni, melainkan juga oleh
Syiah. Kenyataan ini menunjukkan kebenaran ungkapan masyhur dari Gus Dur itu: NU adalah Syiahkultural.

[8]

‘Ala kulli hal, rekonsiliasi itu lebih baik daripada perpecahan. Al-Quran menyatakan banyak ayat tentang
perdamaian dan rekonsiliasi (ash-shulh): Wash-shulhu khair; Wa ashlihû dzâta baynikum, dll. Al-Quran
melarang umat Islam berpecah belah: la tafarraqû. Mari akhiri sengketa panjang lebih dari satu milenium

ini. Juga, mari untuk tak mengimpor konflik sektarian dari Timur Tengah ke Nusantara tercinta ini. Ada
satu ayat bagus sekali yang dikutip Syaikh Wahbah dalam salah satu Muktamar Taqrib: Tilka ummatun
qad khalat, lahâ ma kasabat wa ‘alayha ma iktasabat. Mereka kaum yang telah lalu; bagi mereka apa
yang mereka lakukan. Sejarah kelam mestinya kita tinggalkan, demi menatap masa depan yang lebih
toleran terhadap perbedaan, bukan?

In urîdu illa al-ishlâh ma istatha’tu. Wamâ tawfîqî illâ billâh.