SIRI KULTUR DAMAI ORANG BUGIS DI SULAWES

SIRI’ (KULTUR DAMAI ORANG BUGIS DI SULAWESI
SELATAN)
I.

PENDAHULUAN
Orang Bugis mengenal suatu bentuk adat atau aturan yang

disebut dengan siri’. Siri’ merupakan nilai seseorang, yang dapat
berarti kehormatan atau martabat. Pada kehidupan sehari-hari, siri’
diaplikasikan dalam dua bentuk utama: siri’ sebagai kehormatan diri,
dan siri’ sebagai kehormatan masyarakat. Sebagai kehormatan diri,
siri’ mengindikasikan nilai makhluk hidup dan menstimulasi seseorang
untuk memperlihatkan perilaku yang baik dalam kehidupannya seharihari. Ini juga berarti bahwa orang tersebut harus selalu bekerja keras
agar dapat memperoleh kesuksesan dalam berbagai aspek kehidupan,
sehingga bagi orang Bugis, seseorang yang tidak memiliki siri’
bukanlah manusia. Sebagai kehormatan masyarakat, siri’ memainkan
peran utama dalam mendukung satu kelompok atau komunitas untuk
mencapai

kehidupan


mengimplikasikan
menunjukkan

yang

kewajiban

simpati

lebih
sebagai

kepada

orang

baik,

dengan


kata

lain,

masyarakat

untuk

membutuhkan

dalam

anggota
yang

masyarakat. Karena itu siri’ berfungsi untuk memperkuat integritas
individual dan komunitas.
Implementasi

siri’


dalam

kehidupan

sosial

Bugis

dimanifestasikan dalam 5 prinsip tindakan:
1. Ada’ Tongeng (bicara jujur); prinsip dimana seseorang harus selalu
jujur dalam menyampaikan segala sesuatunya, juga berarti bahwa
setiap kata yang diucapkan harus membawa kebaikan dalam hidup,
sehingga seseorang tidak boleh mengucapkan kata yang dapat
melukai orang lain maupun kelompok.
2. Lempuk (jujur); suatu prinsip tindakan dimana seseorang harus
selalu menunjukkan perilaku yang baik, pada diri sendiri maupun orang
lain.
3. Getteng (ketabahan); suatu prinsip tindakan dimana seseorang
harus selalu memiliki kepastian perilaku yang menyangkut satu hal.

1
Psikologi Perdamaian_Nur Fitriany Fakhri_259670

Bagi orang Bugis, mempertahankan satu posisi yang diyakini benar,
adalah suatu keharusan.
4. Sipakatau (rasa hormat sesama); suatu prinsip relasi dimana setiap
orang harus memperlakukan orang lain sebaik mungkin dan penuh
hormat.
5. Mappesona ri Dewata seuwae (tunduk terhadap perintah Tuhan);
suatu prinsip religuitas dimana setiap orang harus taat pada perintah
Tuhan. Karena itu, setiap orang Bugis harus beragama, sehingga akan
selalu mengikuti ajaran agama yang dianutnya.
Berbagai bentuk ketidakpatuhan terhadap nilai siri’ dalam
masyarakat akan menyebabkan kekacauan. Karena, siapapun yang
tidak

memiliki

kesadaran


siri’

dapat

bertindak

buruk

maupun

melanggar hukum dengan mudahnya. Dan apabila ini terjadi, maka
masyarakat akan merasakan dampaknya. Oleh sebab itu, peran utama
siri’ dalam masyarakat adalah untuk menjaga seluruh anggota
komunitas sehingga mereka dapat hidup dalam keharmonisan. Apabila
seluruh anggota komunitas tetap mengapresiasikan siri’ sebagai
referensi utama dalam mengatur tindakan yang baik, maka seluruh
anggota komunitas akan menikmati hasilnya dan hidup dalam suatu
situasi yang damai. Dengan dasar ini, sangatlah jelas bahwa inti nilai
budaya Bugis sejalan dengan pesan universal seluruh agama, yang
membawa kebaikan untuk seluruh makhluk hidup.

Siri’ merupakan suatu bentuk aturan yang memiliki nilai-nilai
kebajikan, namun, tidak tertutup kemungkinan bahwa akan ada konflik
yang

muncul

walaupun

siri’

ini

diberlakukan

dalam

komunitas

masyarakat Bugis. Bahkan banyak juga masalah atau konflik yang
timbul dengan mengatasnamakan siri’ ini. Salah satunya adalah konflik

yang ditampilkan sebelumnya. Mengapa hal ini terjadi? Latar belakang
apa yang menyebabkannya? Dan bagaimana bentuk penyelesaiannya?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang coba dijawab dalam paper ini.
II. SIRI’ SEBAGAI SUATU SISTEM NILAI
Salah satu yang menjadi dasar dari siri adalah penanaman
nilainya. Nilai tersebut menjadi konsep dasar baik pada tingkat individu
2
Psikologi Perdamaian_Nur Fitriany Fakhri_259670

maupun

pada

tingkat

kelompok.

Pada

tingkat


individu,

nilai

diinternalisasi sebagai representasi sosial atau kepercayaan moral
yang dianggap oleh individu sebagai hal yang paling rasional dalam
bertindak (Oysermen, 2001). Pada tingkat kelompok, nilai digambarkan
sebagai kultur ideal yang dipegang sebagai hal yang umum bagi
anggota kelompok, sebagai “sosial mind” kelompok. Nilai yang
dipegang oleh seseorang yang merasa menjadi bagian dari suatu
kelompok atau komunitas masyarakat tertentu, dipandang sebagai
perekat yang membuat kehidupan sosial dapat berjalan dalam
kelompok. Nilai merupakan tambahan dalam sistem sosial, yang dapat
membuat aturan sosial namun juga dapat menghalangi perubahan
yang bisa mempengaruhi suatu budaya dalam kelompok. Nilai
bukanlah

sifat


individual

yang

sederhana,

namun

merupakan

persetujuan sosial mengenai apa yang benar dan baik.
Hal umum yang ditemukan dari nilai itu sendiri adalah pada
tingkat individual, nilai mengandung elemen kognitif dan afeksi serta
memiliki kualitas selektif ataupun direksional yang telah diinternalisir.
Kecenderungan, penilaian dan tindakan adalah hal yang sering
diterangkan oleh nilai. Individu mengambil nilai sebagai bagian dari
sosialisasi ke dalam keluarga, kelompok dan komunitas masyarakat.
Nilai yang diambil oleh individu diasumsikan dapat memprediksi
perilaku individu yang bersangkutan. Seringkali pemilihan individu
terhadap perilaku yang sesuai dengan aplikasi nilai budayanya

menghasilkan konflik dengan nilai budaya lainnya. Nilai menekankan
sanksi terhadap perilaku tertentu dan reward bagi perilaku lainnya.
Sistem nilai menunjukkan apa yang diharapkan, yang dibutuhkan
maupun yang dilarang berlaku. Nilai bukanlah suatu laporan mengenai
perilaku aktual namun merupakan suatu sistem kriteria dimana
perilaku dinilai atau diadili dan sanksi diaplikasikan. Nilai dan sistem
nilai

seringkali

dijadikan

sebagai

alasan

yang

rasional


untuk

membenarkan tindakan.
Siri’ merupakan suatu sistem nilai yang mengatur kehidupan
masyarakat Bugis. Terdapat beberapa aturan atau norma-norma sosial
3
Psikologi Perdamaian_Nur Fitriany Fakhri_259670

yang mengajarkan setiap anggotanya dalam berperilaku. Konsep siri’
sebenarnya

merupakan

suatu

konsep

kultur

yang

mengajarkan

perdamaian bagi setiap masyarakat Bugis, namun, konsep Siri’ ini
seringkali menjadi alasan bagi orang-orang Bugis tertentu dalam
melancarkan aksi kejahatannya, seperti salah satu bentuk kasus Siri’
yang telah dipaparkan di awal.

4
Psikologi Perdamaian_Nur Fitriany Fakhri_259670

III. SIRI’ SEBAGAI IDENTITAS DAN SISTEM DALAM BUDAYA
SERTA HUBUNGANNYA DENGAN KONFLIK
Siri’ merupakan suatu bentuk sistem budaya. Sistem budaya itu
sendiri merupakan pembimbing tindakan yang utama melalui berbagai
aktivitas yang telah terpola yang membentuk atau menyusun realitas
(Pedersen, 2003). Konflik dan perdamaian merupakan contoh dari
konstruksi budaya yang berbeda dalam setiap komunitas masyarakat.
Ury (Pedersen, 2003) menyatakan bahwa budaya adalah sisi ketiga
dari konflik. Pola-pola sikap, perilaku dan kepercayaan yang dibagi
bersama secara kultural merefleksikan cara konflik diterima diatur.
Pola-pola tersebut khususnya didasarkan pada asumsi yang dipelajari
secara kultural. Pentingnya budaya dan simbol-simbol budaya dalam
memfasilitasi

maupun

menghilangkan

komunikasi

antar

budaya

menunjukkan terdapatnya suatu kebutuhan untuk menyusun sikap dan
persepsi kultural ke dalam model dan teori analisa dan resolusi konflik.
Pendekatan berpusat pada budaya dalam manajemen konflik
memberikan alternatif untuk mempermudah manajemen konflik itu
sendiri. Pertama, kelompok yang konflik tidak akan memiliki batasan
pilihan yang disebabkan oleh perspektif kultural dalam budaya mereka
sendiri. Kedua, mengenali kompleksitas budaya dalam kontak dapat
meningkatkan kecepatan dan kemudahan dalam menghasilkan suatu
solusi. Ketiga, berbagai alternatif yang secara kultural berbeda dalam
memanajemen konflik akan bertambah melalui berbagi perspektif
kultural yang berbeda secara bersama-sama. Keempat, ketika orang
dari budaya berbeda mulai belajar memahami dan menghargai satu
sama lain, prinsip mengenai dasar umum dapat terbentuk dan
eksistensi perdamaian menjadi suatu hal yang sangat mungkin untuk
dicapai.
Seluruh perilaku dipelajari dan ditunjukkan dalam konteks
budaya. Budaya membentuk cara setiap orang berpikir, mempercayai,
dan berperilaku dengan mempengaruhi persepsi diri seseorang. Siri’
merupakan salah satu bentuk budaya yang mewarnai kehidupan
masyarakat Bugis. Sama dengan budaya lain dalam suatu kelompok
5
Psikologi Perdamaian_Nur Fitriany Fakhri_259670

komunitas, Siri menjadi bagian dari identitas sosial setiap anggota
komunitas

yang

bernaung

di

dalamnya.

Teori

identitas

sosial

menggambarkan bagaimana individu mendefenisikan diri mereka
sendiri

terhadap

kelompok

yang

dinaunginya.

Suatu

komunitas

merupakan kelompok sosial yang terdiri atas 2 atau lebih orang-orang
yang

memiliki

identitas

sosial

yang

sama,

dimana

mereka

mengidentifikasi diri mereka sendiri sama dengan definisi anggota
kelompoknya. Identitas sosial yang dikembangkan oleh masyarakat
Bugis berhubungan dengan identitas etnis dari budaya Bugis itu
sendiri. Siri merupakan bagian dari etnisitas yang dianggap sebagai
suatu

identitas

bagi

masyarakat

Bugis.

Identitas

etnis

adalah

kombinasi sikap dari kelompok asal dengan praktek kultural umum dan
perasaan keterikatan terhadap kelompok tersebut (Valk & Karu, 2001).
Identitas etnis merupakan suatu yang spesifik, yaitu suatu bentuk
multidimensional dari identitas sosial dalam kerangka teori identitas
sosial. Perasaan sebagai bagian dari kelompok asal disertai dengan
sikap positif terhadap kelompok tersebut, merupakan salah satu dari 3
dimensi universal identitas etnis yang dideteksi oleh Phinney (Valk &
Karu, 2001) baik secara teoritis maupun empiris. Dimensi universal
lainnya adalah identifikasi diri sebagai anggota dari kelompok yang
menjadi syarat dalam pembentukan identitas etnis. Identifikasi diri
(kategorisasi diri) dipandang seimbang dengan identitas di dalam teori
kategorisasi diri. Teori ini menyatakan bahwa hasil dari proses
kategorisasi diri adalah penekanan pada persamaan antara diri dan
anggota lain dalam kelompok yang sama dan perbedaan antara diri
dengan anggota kelompok yang lain (streotipe diri). Kategorisasi
berjalan bersama dengan perbandingan sosial yang menggerakkan
perilaku-perilaku kelompok yang khusus (contohnya diskriminasi, ingroup favoritism, persepsi streotipe in-group dan out-group). Sehingga
dapat disimpulkan bahwa selain perasaan positif terhadap in-group
(keterikatan in-group dan rasa bangga), perbedaan antara kelompok
asal dengan kelompok lain atau adanya perasaan kecenderungan

6
Psikologi Perdamaian_Nur Fitriany Fakhri_259670

terhadap kelompok asal (misalnya in-group bias atau favoritisasi ingroup) dapat menjadi komponen penting dalam identitas etnis.
Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin besar perbedaan
kultural antara orang-orang yang sedang berkonflik, maka semakin
sulit bagi mereka untuk berkomunikasi atau memahami mengapa
mereka

gagal

dalam

berkomunikasi.

Rabiie

(Pedersen,

2003)

menyatakan bahwa perbedaan ketertarikan dan kebutuhan manusia,
kepercayaan sosial dan agama yang memiliki perbedaan yang sangat
besar, dan kompetisi tujuan individual dan kelompok dapat menjadi
penyebab lahir dan gagalnya suatu konflik. Lebih lanjut lagi, perbedaan
kesetiaan,

nilai

kultural,

ideologi

dan

pertimbangan

geopolitis

menyediakan basis yang subur dalam menanam dan membesarkan
suatu konflik. Perbedaan dalam kemakmuran, sumber daya alam,
teknologi dan kekuatan antara kelas sosial dan kelompok etnis di
dalam dan antar suatu wilayah juga dapat menyebabkan peningkatan
konflik.
Ross menyatakan bahwa setiap budaya memiliki budaya konflik
mereka sendiri (Pedersen, 2003) yang mendefinisikan bagaimana
budaya itu diterima, dievaluasi dan diatur. Konflik dan perdamaian
merupakan konstruksi budaya dalam pemikiran setiap orang, sehingga
memanajemen konflik membutuhkan manajemen sikap orang itu
sendiri mengenai konflik dan perdamaian.
IV. RESOLUSI KONFLIK DALAM KONTEKS KULTURAL
Teori identitas sosial menyatakan bahwa seseorang cenderung
untuk mendefinisikan diri mereka sendiri dengan referensi terhadap
kelompok sendiri, dan perbendingan positif memberikan mereka
identitas sosial yang memuaskan sedangkan perbandingan negatif
mengarah kepada identitas sosial yang tidak memuaskan bagi mereka
(Garling dkk, 2000). Identitas kelompok atau sosial memainkan peran
yang penting dalam masalah sosial, yaitu dalam konflik antara
kepentingan mutual dan kepentingan diri. Teori identitas sosial juga
membantu dalam memahami bahwa banyak konflik yang muncul
akibat hilangnya dasar objektivitas. Teori ini mengatakan bahwa konflik
7
Psikologi Perdamaian_Nur Fitriany Fakhri_259670

merupakan usaha untuk mempertahankan, membangun, dan menjaga
identitas sosial positif anggotanya.
Hewstone dan Greenland (Garling dkk, 2000)mengajukan 2
bentuk intervensi utama untuk mengurangi kekerasan dan konflik
antar kelompok. Satu, berdasar pada mengangkat kontak positif dan
kooperatif

antar

anggota

masing-masing

kelompok,

dan

kedua,

berdasar pada perubahan struktur kategorisasi sosial seseorang.
Intervensi pertama mengindikasikan bahwa kontak antar anggota dari
kelompok yang berbeda meningkatkan hubungan antar kelompok,
namun, harus terdapat kondisi yang menyenangkan bagi bentuk
intervensi ini agar dapat berlangsung. Misalnya, status kelompok yang
sejajar. Intervensi yang kedua dapat dicapai dengan berbagai cara.
Terdapat

3

pendekatan

yang

telah

diidentifikasi,

yaitu:

(a)

dekategorisasi, yang berusaha untuk mengeliminasi kategorisasi sosial
dengan menyediakan informasi yang personal dan berbeda; (b)
rekategorisasi, yang berusaha untuk mengurangi bias antar kelompok
dengan mentransformasi persepsi anggotanya mengenai batasan
kelompok, dari “kami” dan “mereka” menjadi “kita”; serta (c) crosscategorization, yang berusaha untuk meminimalisasi berbagai pusat
kategorisasi sosial.
Pada konflik identitas kelompok yang disebabkan oleh dasar fisik
dan moral, Rothman (Pedersen, 2003) mengajukan kerangka ARIA
untuk mengatasi konflik identitas yaitu Antagonism, Resonance,
Invention and Action. Antagonism didasari pada mengenai apa konflik
yang terjadi. Resonance, mengekspresikan kebutuhan identitas dari
berbagai sisi mengenai mengapa berbagai sisi tersebut berkonflik.
Invention, melibatkan brainstorming untuk memperolehsolusi integratif
mengenai bagaimana kedua sisi dapat mencapai keuntungan bersama.
Terakhir, Action, mengimplementasikan agenda baru untuk kooperasi.
Konflik identitas berlangsung pada kebutuhan dan nilai-nilai dasar
anggota kelompok, sehingga seringkali mereka tidak menyadari bahwa
kedua kubu yang berkonflik pada dasarnya memiliki kepentingan yang

8
Psikologi Perdamaian_Nur Fitriany Fakhri_259670

sama, walaupun perilaku dan ekspresi terhadap kebutuhan dan nilainilai tersebut diekspresikan secara berbeda.
Budaya yang berbeda mengembangkan manajemen konflik
formal dan informal masing-masing. Triandis (Garling dkk, 2000)
menyatakan pemahaman mengenai negosiasi dan mediasi antar
kelompok

dengan

latar

belakang

budaya

yang

berbeda

perlu

ditingkatkan. Salah satu syarat dasarnya adalah komunikasi antar
budaya yang berbeda harus dipelajari dan dipraktekkan. Dimulai
dengan usaha untuk membagi tingkatan perbedaan atau jarak antar
budaya. Triandis mengidentifikasikan berbagai tahap berbeda dalam
pengembangan komunikasi yang adekuat. Ketika anggota suatu
budaya berhadapan dengan anggota dari budaya lain, mereka akan
lebih cenderung berpikir bahwa orang tersebut akan berpikir sesuai
dengan apa yang dipikirkannya (tahap unconscious incompetence).
Setelah komunikasi yang tidak berhasil terjadi, orang tersebut akan
memahami bahwa terjadi kesalahpahaman, namun tidak mampu
mengkhususkannya ke dalam detail yang lebih lanjut (tahap conscious
incompetence). Apabila keduanya termotivasi untuk mencari akses
terhadap norma dan kode budaya keduanya, maka tahap conscious
competence dapat tercapai. Setelah berbagai usaha komunikasi
dibangun yang mengarah pada pengembangan komunikasi yang tepat
secara kultural, maka tahap unconscious competence dapat dibentuk,
dimana komunikasi berjalan lancar, adekuat dan menggunakan usaha
yang tidak besar.
V. KESIMPULAN
Sesuai pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Siri’
sebagai suatu sistem budaya dan menjadi identitas etnis bagi
masyarakat Bugis membawa nilai yang diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari oleh komunitas Bugis. Siri’ ini sendiri membawa suatu
konsep nilai budaya yang sangat baik, namun seperti konsep identitas
sosial, siri’ dapat menghasilkan konflik antar kelompok. Hal tersebut
disebabkan oleh perbedaan nilai dengan kelompok budaya lain. Konsep
9
Psikologi Perdamaian_Nur Fitriany Fakhri_259670

Siri’ memang mengajarkan berbagai bentuk kebaikan, tetapi sistem
nilainya sangat didasari oleh penghargaan baik terhadap orang lain
dan pada diri sendiri. Siri’ memandang bahwa setiap orang harus
saling menghargai dan menghormati, tidak terkecuali satu pun. Sistem
nilai yang dibentuk ini memiliki dua sisi moralitas dan psikologis yang
sangat bertentangan. Pihak yang satu menghendaki orang lain untuk
saling

menghargai,

namun

pada

pihak

yang

lain

seperti

“membenarkan” orang untuk meminta balasan terhadap orang yang
tidak menghargainya. Nilai inilah yang dipertahankan dan dianggap
sebagai

suatu

alasan

rasional dalam bertindak,

bahwa selama

seseorang tidak mengganggu atau melanggar hak individu yang
bersangkutan, maka hal tersebut dapat diartikan sebagai suatu bentuk
penghargaan. Nilai-nilai Siri’ yang positif pada akhirnya dipahami
dalam satu sudut pandang yaitu harga “Aku”, padahal Siri’ yang
berkembang tidak lagi mengajarkan “Aku” tetapi “Kita”. Hal ini sesuai
dengan

pendapat

Bjorkqvist

dan

Fry

(Pedersen,

2003)

yang

menyatakan bahwa sumber konflik berasal dari benak setiap orang.
Konflik sosial eksternal merupakan refleksi konflik intrapsikis. Kontrol
eksternal tidak dapat menyelesaikan akar dari masalah. Hanya ketika
setiap orang belajar untuk memahami dan menghargai setiap orang,
maka eksistensi damai dapat tercapai.
Perdamain seringkali dideskrikipsikan secara sempit bahwa
perang tidak terjadi. Konsep budaya mengenai damai jauh lebih luas
didefinisikan dalam setiap budaya. Perdamaian merupakan aplikasi
terakhir dari kekerasan dan pemaksaan terhadap makhluk hidup dan
merupakan kebebasan terhadap akses individual dalam menghargai
berbagai nilai. Definisi ini tidak hanya terbatas pada hilangnya perang
namun juga mencakup pemahaman positif mengenai kebebasan dan
harmoni universal.

10
Psikologi Perdamaian_Nur Fitriany Fakhri_259670

REFERENSI

Garling, T., Kristensen, H., Ekehammar, B., Ohsako, G.B., & Wessells,
M.G. 2000. Diplomacy and Psychology: Psychological Contributions
to Internal Negotiations, Conflict Prevention, and World Peace.
International Journal of Psychology, 2000, 35 (2), 81-86.
Oyserman, D. 2001. Values: Psychological Perspectives. International
Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences, 2001.
Pedersen, P.B. 2003. The Cultural Constructions of Conflict and Peace.
Valk, A & Karu, K. 2001. Ethnic Attitudes in Relation To Ethnic Pride and
Ethnic Differentiation. Journal of Sosial Psychology, 2001, 141(5),
583-601.

11
Psikologi Perdamaian_Nur Fitriany Fakhri_259670