REPRESENTASI PARIWISATA BUDAYA DALAM ILM
REPRESENTASI
PARIWISATA
BUDAYA
DALAM
ILMU
SOSIAL:
MATAHARI,
SEKS,
PERTARUHAN
DAN
PERBUDAKAN1
Putu
Diah
Sastri
Pitanatri
www.diahsastri.com
Pariwisata
meskipun
telah
menjadi
salah
satu
sektor
penyumbang
devisa
suatu
Negara,
perkembangannya
sampai
saat
ini
masih
terus
mendapatkan
kontradiksi.
Hal
ini
terpatri
jelas
dalam
tulisan
Levi
Straus2
(111:15)
dan
Mark
Twain
(198:402)
yang
sama-‐
sama
mengungkapkan
“fakta
gelap”
yang
tersembunyi
dibalik
gemerlapnya
dunia
pariwisata.
Tujuan
yang
ingin
disampaikan
oleh
Crick
pada
tulisannya
ini
adalah
untuk
mengetahui
representasi
pariwisata
internasional
(yang
lebih
dikenal
dengan
4S
Sun,
Sea,
Sand
and
Sex)
melalui
kajian
pustaka
dari
jurnal,
penelitian
terdahulu.
Pariwisata,
Pembangunan
Ekonomi,
dan
Ekonomi
Politis
Pendekatan
yang
muncul
tehadap
pariwisata
memang
beimplikasi
secara
ekonomis
dan
politis.
Perpaduan
ini
terjadi
karena
saat
pertama
kali
diperkenalkan,
pariwisata
direpresentasikan
hampir
sepenuhnya
secara
ekonomis.
Saat
itu,
dengan
kondisi
dunia
ketiga
yang
carut
marut
akibat
perang
disekitar
tahun
60an,
pariwisata
menjadi
salah
satu
sektor
“penyelamat”
yang
mampu
membawa
suatu
Negara
untuk
dapat
“survive”
secara
ekonomis.
OECD
(Organization
for
Economic
Cooperation
and
Development)
bahkan
menyebutkan
pariwisata
memiliki
potensi
yang
luar
biasa.
Untuk
mendukung
statement
ini
Bank
Dunia
dan
PBB
berkerjasama
untuk
mempromosikan
industry
pariwisata
di
Negara-‐negara
berkembang.
PBB
kemudian
mendeklarasikan
1967
sebagai
Tahun
Pariwisata
Internasional.
Dengan
meningkatnya
tingkat
keinginan
untuk
berpelesir,
pariwisata
menjadi
sebuah
representasi
pembangunan
yang
minim
biaya
disebabkan
karena
tersedianya
sumber
daya
yang
dibutuhkan
secara
“gratis”
seperti
laut
(sea),
pasir
(sand)
dan
budaya-‐
sehingga
tidak
begitu
banyak
membutuhkan
investasi
kapital
dalam
bentuk
infrastrukur.
1
Crick,
Malcolm
1989:18.
Representation
Of
Cultural
Tourism
In
The
Social
Sciences:
Sun,
Sex,
Sights,
Savings
and
Servility
2
Trites
Tropiques.
Putu
Diah
Sastri
Pitanatri
1
Namun
dalam
20
tahun
terakhir,
kita
semakin
melihat
adanya
pergeseran
sebagai
akibat
dari
masuknya
unsur
politis
dalam
kepariwisataan.
Saat
ini
bahkan
tidak
jarang
kita
membaca
di
text
book
bahwa
perkembangan
pariwisata
di
suatu
daerah
sering
“tidak
diinginkan”
oleh
masyakat
lokalnya.
Pariwisata
juga
disebut
sebagai
industry
yang
sangat
tidak
stabil
“masa
depannya”.
Selain
tingginya
tingkat
fluktuasi
wisatawan,
resesi
ekonomi
juga
dapat
menimbulkan
turunnya
jumlah
dan
minat
orang
yang
berpergian.
Selain
itu,
berwisata
memiliki
tingkat
elastisitas
harga
yang
tinggi
dengan
pengeluaran
yang
tidak
stabil.
Harga
secara
umum
berada
diluar
kontrol
dari
negara
destinasi.
Belum
lagi
perubahan
selera
wisatawan
yang
sangat
mengikuti
trend
sehingga
dapat
disimpulkan
bahwa
pariwisata
bukanlah
industri
yang
bebas
resiko
khususnya
untuk
negara
berkembang.
Hal
ini
juga
diperparah
dengan
adanya
pengaruh
dari
travel
organizer
yang
dengan
mudah
merubah
tujuan
destinasi
deri
klien,
sehingga
menimbulkan
banyak
orang
menjadi
kehilangan
pekerjaan
dan
tinggat
hunian
kamar
yang
dibawah
rata-‐rata
pada
sektor
akomodasi.
Selain
hal
tersebut
diatas,
pariwisata
juga
sangat
rentan
dengan
kebocoran
(leakages)
sebagai
akibat
dari
kurangnya
pengawasan
dan
regulasi
dari
pemerintah
setempat.
Belum
lagi
masalah
yang
timbul
akibat
kurangnya
kompetensi
sumber
daya
manusianya.
Banyak
sekali
pekerja
tanpa
skill
yang
masuk
dalam
industri
ini
sehingga
mengakibatkan
rendahnya
kualitas
destinasi.
Seringkali
hal
inilah
yang
kemudian
menyebabkan
efek
multiplier
dalam
pariwisata
tidak
muncul.
Dengan
kata
lain,
perkembangan
pariwisata
pada
negara
berkembang
tidak
hanya
“merusak”
tatanan
kultur
dan
budaya
di
daerah
tersebut
namun
juga
hanya
menguntungkan
para
kaum
“elit”;
mereka
yang
sudah
kaya
dan
mereka
yang
memiliki
kekuasaan
politik.
Seperti
contohnya
di
kepulauan
Fiji,
dimana
masyarakat
lokal
semakin
“miskin”
dengan
adanya
wisatawan
yang
memiliki
tingkat
finansial
yang
lebih
tinggi
sehingga
menibumbulkan
gaya
hidup
baru.
Bahan
kebutuhan
pokok
menjadi
mahal
dan
tidak
terjangkau
lagi
bagi
masyarakat.
Begitu
juga
dengan
tanah
dan
properti
yang
hanya
mampu
dibeli
oleh
investor,
sehingga
kepemilikan
lahan
oleh
komunitas
lokal
pun
semakin
tersisihkan.
Perkembangan
ilmu
pariwisatajuga
mengalami
pergeseran
seiring
dengan
berkembangnya
pendapat
para
ahli
terhadap
dampak
pariwisata
dalam
berbagai
perspektif
yang
berbeda.
Pada
tahun
60an
pariwisata
dianggap
sebagai
pendorong
Putu
Diah
Sastri
Pitanatri
2
pertumbuhan
ekonomi.
Di
pertengahan
tahun
70an,
Levitt
dan
Gulati
mulai
menyoriti
keberadaan
agen-‐agen
konsultan
professional
seperti
Bank
Dunia
dan
UNWTO
didalam
“melobi”
kegiatan
pariwisata
baik
secara
nasional
maupun
internasional.
Ritchter
bahkan
mendefinisikan
UNWTO
sebagai
“cheerleader”
daripada
mengkritik
dan
memberi
rambu-‐rambu
pada
perkembangan
industry
ini.
Beberapa
analisis
teknis
yang
dikeluarkan
UNWTO
juga
disebut
“menyesatkan”
karena
seolah-‐olah
meng-‐agungkan
pariwisata
dibandingkan
memberi
masukan
bersifat
prefentif
terhadap
dampak
yang
mungkin
ditimbulkan.
Senada
dengan
pendapat
tersebut,
organisasi
religi
dunia
juga
mengkritisi
perkembangan
industry
pariwisata.
Disebutkan
bahwa
prostitusi
dan
narkoba
bukanlah
masalah
dari
moral
personal,
namun
lebih
menjadi
bagian
dari
eksploitasi
rasial.
Disebutkan
juga
bahwa
pariwisata
lebih
menghancurkan
dan
mendatangkan
malapetaka3
dibandingkan
memberi
manfaat
kepada
Negara
tuan
rumah.
Hal
ini
dapat
dilihat
dalam
bentuk
kerjasama
transaksional,
kaum
elit
yang
berkuasa
dan
politik
hagemoni
serta
“kelengahan”
terhadap
kebutuhan
spititual,
ekonomi,
politik
dan
social
budaya
Negara
penerima.
Lebih
lanjut
lagi,
deklarasi
UNWTO
di
Manila
yang
menyebutkan
pariwisata
sebagai
“kebutuhan
dasar
setiap
manusia”
menyebabkan
banyak
negara
untuk
ikut
berpartisispasi
terhadap
perkembangan
pariwisata
dunia.
WTO
juga
menyebutkan
bahwa
pariwisata
merupakan
“harapan
baru”
untuk
menghapus
jurang
ekonomi
antara
negara
maju
dengan
negara
berkembang.
Penyataaan-‐pernyataan
WTO
tersebut
dikritisi
didalam
wokshop
Ecumenical
Coalition
tahun
1984
di
Chiang
Mai
yang
menyatakan
pariwisata
adalah
“pelanggaran
dari
hak
dasar
dan
martabat
manusia”
Pariwisata
internasional
sangat
bernuansa
politis
karena
berhubungan
dengan
relasi
internasional,
modal
investasi
yang
besar
dan
perencanaan
skala
besar.
Sejalan
dengan
hal
tersebut
deklarasi
Arusha
menyebutkan
bahwa
investasi
pariwisata
sangat
tumpang
tindih
dan
hanya
melayani
satu
sektor
yang
kturang
berkontribusi
terhadap
stuktur
ekonomi
suatu
negara.
Terlepas
dari
hal
tersebut,
pariwisata
merupakan
sektor
yang
sangat
beresiko
dan
bersifat
sementara
dimana
kelangsungan
hidup
dan
keberlanjutannya
sangat
tergantung
dari
dari
negara
maju
yang
melakukan
perjalanan.
3
Wreaked
more
havoc
than
brought
benefits
to
recipient
Third
World
Countries
Putu
Diah
Sastri
Pitanatri
3
Secara
esensi,
image
imperialis
sangat
terlihat
didalam
pembahasan
peneliti
social
mengenai
pariwisata
internasional.
Bugnicourt
contohnya
menulis
bagaimana
pariwisata
merepresentasikan
permintaan
konsumen
yang
telah
menghancurkan
linkungannya
sendiri
sehingga
mencari
penggantinya.
MacCannel
juga
menulis
mengenai
wisatawan
dari
kelas
social
menengah
keatas
yang
mencari
daerah-‐daerah
eksotis
di
dunia
untuk
mendapatkan
pengalaman
baru.
Banyak
kritikus
di
Thailand
dan
Filipina
yang
saat
ini
melihat
orang-‐orang
Jepang
merajarela
untuk
melakukan
aktivitas
“sex
tourism”
sebagai
pengulangan
dari
agresi
militer
Jepang,
yang
sama
sekali
tidak
memiliki
rasa
hormat
terhadap
komunitas
dan
masyarakat
lokal.
Meskipun
demikian,
adanya
perkembangan
pariwisata
alternative
yang
lebih
“peduli”
terhadap
aspek
sosial
budaya
diharapkan
mampu
untuk
menkounter
efek
negatif
yang
timbul
dari
pariwisata
internasional.
Tumbuh
dan
berkembanganya
usaha
pariwisata
skala
kecil
setidaknya
mampu
memberi
manfaat
secara
kangsung
terhadap
masyarakan
golongan
ekonomi
rendah.
Ditegaskan
oleh
Bugnicourt
bahwa
“akan
ada
saatnya
dimana
pariwisata
tidak
lagi
dikuasai
oleh
kolonialisme,
namun
lebih
kepada
membawa
orang-‐orang
menjadi
lebih
dekat
dan
untuk
memperkaya
penemuan
lingkungan
baru
dengan
peradaban
dan
budaya
yang
berbeda”
Pariwisata:
Arti,
motivasi
dan
Fungsi
Pariwisata
masal
internasional
memungkinkan
untuk
menilai
dan
mamahami
masyarakat
industri
modern
yang
melakukan
perjalanan
dalam
beragam
bentuk.
Riset
ilmu
sosial
juga
dapat
dilakukan
dalam
bentuk
arti
dan
motivasi.
Apa
yang
dipelajari
wisatawan
saat
berlibur?
Bagaimana
pengalaman
berwisata
mereka?
Kenapa
mereka
berpergian
ke
luar
negeri,
dan
sebagainya.
Terdapat
perbedaan
yang
cukup
mendasar
anatara
penelitian
sosiologi
dan
antropologi.
Sosiologi
melakukan
riset
terhadap
arti
pariwisata
sementara
antropologi
lebih
pada
perspektif
budaya
pada
negara
tujuan
dan
disiplin
ilmu
seperti
geografi
dan
economy
yang
hanya
sedikit
membahas
mengenai
manusia.
Sangat
umum
kita
melihat
pendahuluan
dalam
setiap
studi
pariwisata
membahasa
menganai
faktor
pendorong
dan
penarik
wisatawan
yang
secara
tidak
cukup
kompleksitas
dari
perilaku
wisatawan
termasuk
sikap,
pembelajaran
dan
arti.
Putu
Diah
Sastri
Pitanatri
4
Migrasi
manusia
yang
berkolerasi
terhadap
pariwisata
seringkali
berhubungan
dengan
tingkat
stress,
yang
mungkin
timbul
dari
tekanan
social
dan
bencana
alam.
Menjadi
wisatawan
berarti
memiliki
kesempatan
untuk
“keluar”
dari
permasalahan
social
dan
rutinitas
dan
menarik
diri
dari
segala
tanggung
jawab
sebagai
manusia
dewasa.
Tentu
saja
hal
ini
akan
sangat
berhubungan
dengan
keinginan
manusia
tersebut
didalam
mencari
bentuk
kenikmatan
yang
kemudian
dapat
menjadi
peluang
industri
narkoba
dan
seks.
Motivasi
seperti
relaksasi,
pengeluaran
yang
mencolok,
bersenang-‐senang
dan
sebagainya
justru
merupakan
masalah
bagi
mereka
yang
memang
mencari
otentisitas
budaya
sebagai
arti
tunggal
dari
pariwisata.
Wisatawan
dalam
hal
ini
lebih
terfokus
kepada
kegiatan
bersenang-‐senang
dibandingkan
belajar
budaya
baru.
Saat
dalam
keadaan
‘bersenang-‐senang’
mereka
tidak
ingin
untuk
disibukkan
dengan
kegiatan
belajar.
Pariwisata
yang
selama
ini
memliki
tujuan
“peace
and
understanding”
dikatakan
sebagai
kamuflase
dari
kepentingan
ekonomi
orang-‐orang
tertentu.
Perjalanan
yang
dilakukan
wisatawan
saat
ini,
apalagi
yang
dilakukan
secara
masal
cenderung
lebih
membuat
perubahan
struktur
budaya
masyarakat
local
dibandingkan
tujuan
pemahaman
budaya
yang
berbeda.
Hubungan
langsung
yang
terjadi
antara
wisatawan
dengan
penduduk
desa
memang
semakin
besar
namun
jarak
yang
terjadi
pun
semakin
besar.
Seringkali
promosi
yang
berlebihan
menyebabkan
esensi
dan
ciri
khas
dari
suatu
daerah
menjadi
hilang.
Bahama
saat
ini
menjadi
playground
orang-‐orang
barat,
Amerika
Selatan
menjadi
“hutan
indah
memesona
tempat
Bambi
milik
Walt
Disney
hidup”
dan
masih
banyak
contoh
yang
lainnya
Pada
banyak
daerah
di
Hindia
Barat 4 ,
pariwisata
diasosiasikan
dengan
perbudakan
yang
menimbulkan
rasa
kebencian
dari
masyarakat
setempat.
Jelas
sekali
hal
ini
sangat
kontradiksi
dengan
tujuan
pariwisata
untuk
menciptakan
peace
and
relationship.
4
Hindia
Barat
merupakan
wilayah
Karibia
dan
Samudra
Atlantik
Utara
yang
mencakup
banyak
pulau
dan
negara
kepulauan
Antilles
dan
Lucayan
Putu
Diah
Sastri
Pitanatri
5
Pariwisata
dan
Perubahan
Sosial
Budaya
Tulisan
akademisi
dalam
perspektif
sosial
budaya,
lebih
banyak
menuliskan
mengenai
dampak
negatif
yang
ditimbulkan
dari
pariwisata.
Kompleksitas
permasalahan
yang
dihadapi
terutama
di
negara-‐negara
berkembang
lebih
dari
sekedar
urbanisasi,
tingkat
populasi,
peran
media
massa,
dan
sebagainya.
Banyak
tulisan
yang
membahas
bagaimana
masyarakat
local
mengimitasi
perilaku
wisatawan
pada
kehidupan
mereka.
Perubahan
ritual
dan
seremonial
juga
mengalami
perubahan
karena
pariwisata.
Di
Bali
sendiri
banyak
tulisan
mengenai
touristic
culture
dimana
masyarakat
Bali
‘merenovasi’
budayanya
dengan
kebutuhan
wisatawan.
Komodifikasi
budaya
merupakan
“trend”
pada
destinasi
yang
mengalami
pembangunan
kapitalis
sebagai
akibat
dari
pariwisata
massal.
Selalu
terjadi
perdebatan
mengenai
dampak
positif
dan
negative
pariwisata
internasional.
Tentu
saja
dampak
yang
ditimbulkan
pariwisata
berbeda
antara
satu
destinasi
dengan
yang
lainnya
tergantung
dari
cara
pandang
peneliti
terhadap
suatu
fenomena
social.
Seperti
misalnya
tumbuhnya
pertanian
local
di
Spanyol
sebagai
stimulus
dari
perkembangan
pariwisata
namun
disatu
sisi
sebagian
penduduk
mengalami
malnutrisi
karena
tidak
mampu
membeli
bahan
pangan
yang
harganya
meroket
karena
pariwisata.
Pariwisata
disatu
sisi
juga
dapat
menimbulkan
perpecahan
dan
konflik
social.
Seperti
misalnya
di
Tanah
Toraja
dimana
pariwisata
mempererat
tali
kekerabatan.
Namun
saat
upacara
religi
terlalu
dikomersialisasi,
terjadi
konflik
antara
kaum
tradisional
dan
kaum
modern.
Konflik
ini
menimbulkan
peleburan
budaya
dimana
muncul
prakter-‐praktek
seperti
pengulangan
ritual
untuk
atraksi
wisatawan,
memperpendek
waktu
pelaksanaan
upcara
atau
bahkan
menjadwal
ulang
kegiatan
sehingga
dapat
menarik
lebih
banyak
lagi
wisatawan.
Melihat
dampak
pariwisata
internasional
dari
dua
sisi
yang
sangat
kontradiktif
maka
seharusnya
pemerintah
di
negara-‐negara
destinasi
mulai
mendengarkan
aspirasi
masyarakat
local.
Dengan
mengetahui
persepsi
dan
pemahaman
masyarakat
local
terhadap
pariwisata
serta
dampak-‐dampak
yang
mungkin
ditimbulkan
maka
pemerintah
akan
dapat
menentukan
pariwisata
jenis
apa
yang
layak
dikembangkan
di
daerah
tersebut.
Putu
Diah
Sastri
Pitanatri
6
CASE
STUDY:
DAMPAK
SOSIAL
BUDAYA
PARIWISATA
INTERNASIONAL
DI
KAMBOJA
Pada
garis
depan
industri
pariwisata
yang
berkembang
Kamboja,
Angkor
Wat
merupakan
sumber
devisa
utama
untuk
salah
satu
negara
termiskin
di
dunia
tersebut.
Namun,
tingginya
animo
wisatawan
untuk
mengunjungi
situs
bersejarah
tersebut
menimbulkan
berbagai
macam
permasalahan.
Pada
tahun
1993,
ketika
Angkor
pertama
kali
ditambahkan
ke
UNESCO
World
Heritage
List,
militan
Khmer
Rouge
masih
aktif
bergerilya
di
Kamboja.
Oleh
sebab
itu
hanya
sekitar
7.600
jiwa
yang
berwisata
ke
Angkor
Wat
pada
tahun
itu.
Saat
Kamboja
menjadi
daerah
yang
‘aman’
pada
tahun
2007,
sekitar
dua
juta
wisatawan
mengunjungi
Kamboja,
dengan
setengah
berhenti
di
Angkor
Wat.
Dengan
lalu
lintas
turis
terus
meningkat
sekitar
20
per
tahun
persen
pada
tahun,
sekitar
tiga
juta
orang
mengunjungi
negara
itu
pada
tahun
2010.
Di
kota
terdekat
Siem
Reap,
sekarang
ada
ratusan
hotel
dan
guest-‐house
yang
hampir
seluruhnya
merupakan
kepemilikan
asing.
Associated
Press
bahkan
melaporkan
bahwa
beberapa
bangunan
tua
yang
terkenal
telah
rata
dengan
tanah
untuk
membuat
ruang
untuk
akomodasi
baru.
Identitas
Siem
Reap
selama
berabad-‐abad
secara
bertahap
menghilang.
hnom
Bakheng
sebagai
salah
satu
peninggalan
penting
dari
peradaban
Khmer
kuno
juga
mengalami
krisis.
Setidaknya
sekitar
3.000
wisatawan
memanjat
tangga
batu
sempit
setiap
malam.
Pada
puncaknya
orang
bisa
melihat
matahari
terbenam
yang
indah
di
atas
Angkor
Wat.
Namun
untuk
menuju
puncak,
wisatawan
harus
melalui
ukiran
batu
pasir,
yang
mereka
gunakan
sebagai
pegangan
selama
pendakian.
Oleh
sebab
itu,
saat
ini
Phnom
Bakheng
menderita
kerusakan
yang
fatal.
Gambar
1
Gambaran
Pariwisata
Internasional
di
Angkor
Wat
(Sumber:
www.global-‐goose.com
)
Putu
Diah
Sastri
Pitanatri
7
Pertumbuhan
Siem
Reap
yang
tidak
terkontrol
juga
menyebabkan
masalah
lain.
Menurut
laporan
Bank
Dunia
2005
guesthouse
dilaporkan
membuang
air
bekas
langsung
ke
sungai,
menyebabkan
polusi
sungai.
E.
coli,
bakteri
yang
ditemukan
dalam
kotoran
manusia,
telah
mulai
merembes
ke
sumur
lokal.
Selain
itu,
salah
satu
kuil
Angkor
bahkan
dilaporkan
jatuh
ke
jurang,
menunjukkan
bahwa
akuifer
bawah
tanah
semakin
menghilang.
Dalam
perspektif
sosial
budaya,
seks
tourism
juga
merupakan
dampak
negatif
yang
ditimbulkan
pariwisata.
Sebagai
salah
satu
negara
yang
masih
lemah
dalam
kekuatan
perekonomiannya,
Kamboja
menjadi
salah
satu
negara
yang
dimana
posisi
perempuan
sangat
rentan
terjebak
dalam
jaringan
kejahatan
perdagangan
manusia.
Kamboja
adalah
negara
asal
(source),
persinggahan
(transit),
dan
tujuan
(destination)
bagi
wanita,
dan
anak-‐anak
yang
diperdagangkan
untuk
tujuan
eksploitasi
seks
komersial
dan
tenaga
kerja
paksa.
Kamboja
merupakan
negara
persinggahan
dan
tujuan
bagi
perdagangan
perempuan
dan
anak-‐anak
untuk
tujuan
eksploitasi
seksual
baik
di
pedesaan
maupun
daerah
perkotaan
seperti
Phnom
Penh,
Siem
Reap,
dan
Sihanoukville.
Tidak
terdapat
angka
pasti
mengenai
jumlah
prostitusi
di
Kamboja,
akan
tetapi
jangkauan
perkiraan
paling
tinggi
mencapai
100
ribu
dari
13
juta
penduduk
Kamboja
dengan
35%
korban
yang
berusia
dibawah
18
tahun.
Gambar
2
Eksploitasi
Anak-‐Anak
Dan
Wanita
untuk
Tujuan
Seksual
Di
Kamboja
(Sumber:
www.khmer440.com)
Menjadi
sangat
penting
didalam
pengembangan
pariwisata
internasional
untuk
melihat
multiplier
effect
dari
sisi
positif
dan
negatif.
Kamboja
merupakan
salah
satu
contoh
destinasi
pariwisata
internasional
yang
perkembangannya
dibiarkan
‘liar’
sehingga
lebih
banyak
menimbulkan
dampak
negatif
dibandingkan
kontribusinya
terhadap
peningkatan
kesejahteraan
masyarakatnya.
Putu
Diah
Sastri
Pitanatri
8
PARIWISATA
BUDAYA
DALAM
ILMU
SOSIAL:
MATAHARI,
SEKS,
PERTARUHAN
DAN
PERBUDAKAN1
Putu
Diah
Sastri
Pitanatri
www.diahsastri.com
Pariwisata
meskipun
telah
menjadi
salah
satu
sektor
penyumbang
devisa
suatu
Negara,
perkembangannya
sampai
saat
ini
masih
terus
mendapatkan
kontradiksi.
Hal
ini
terpatri
jelas
dalam
tulisan
Levi
Straus2
(111:15)
dan
Mark
Twain
(198:402)
yang
sama-‐
sama
mengungkapkan
“fakta
gelap”
yang
tersembunyi
dibalik
gemerlapnya
dunia
pariwisata.
Tujuan
yang
ingin
disampaikan
oleh
Crick
pada
tulisannya
ini
adalah
untuk
mengetahui
representasi
pariwisata
internasional
(yang
lebih
dikenal
dengan
4S
Sun,
Sea,
Sand
and
Sex)
melalui
kajian
pustaka
dari
jurnal,
penelitian
terdahulu.
Pariwisata,
Pembangunan
Ekonomi,
dan
Ekonomi
Politis
Pendekatan
yang
muncul
tehadap
pariwisata
memang
beimplikasi
secara
ekonomis
dan
politis.
Perpaduan
ini
terjadi
karena
saat
pertama
kali
diperkenalkan,
pariwisata
direpresentasikan
hampir
sepenuhnya
secara
ekonomis.
Saat
itu,
dengan
kondisi
dunia
ketiga
yang
carut
marut
akibat
perang
disekitar
tahun
60an,
pariwisata
menjadi
salah
satu
sektor
“penyelamat”
yang
mampu
membawa
suatu
Negara
untuk
dapat
“survive”
secara
ekonomis.
OECD
(Organization
for
Economic
Cooperation
and
Development)
bahkan
menyebutkan
pariwisata
memiliki
potensi
yang
luar
biasa.
Untuk
mendukung
statement
ini
Bank
Dunia
dan
PBB
berkerjasama
untuk
mempromosikan
industry
pariwisata
di
Negara-‐negara
berkembang.
PBB
kemudian
mendeklarasikan
1967
sebagai
Tahun
Pariwisata
Internasional.
Dengan
meningkatnya
tingkat
keinginan
untuk
berpelesir,
pariwisata
menjadi
sebuah
representasi
pembangunan
yang
minim
biaya
disebabkan
karena
tersedianya
sumber
daya
yang
dibutuhkan
secara
“gratis”
seperti
laut
(sea),
pasir
(sand)
dan
budaya-‐
sehingga
tidak
begitu
banyak
membutuhkan
investasi
kapital
dalam
bentuk
infrastrukur.
1
Crick,
Malcolm
1989:18.
Representation
Of
Cultural
Tourism
In
The
Social
Sciences:
Sun,
Sex,
Sights,
Savings
and
Servility
2
Trites
Tropiques.
Putu
Diah
Sastri
Pitanatri
1
Namun
dalam
20
tahun
terakhir,
kita
semakin
melihat
adanya
pergeseran
sebagai
akibat
dari
masuknya
unsur
politis
dalam
kepariwisataan.
Saat
ini
bahkan
tidak
jarang
kita
membaca
di
text
book
bahwa
perkembangan
pariwisata
di
suatu
daerah
sering
“tidak
diinginkan”
oleh
masyakat
lokalnya.
Pariwisata
juga
disebut
sebagai
industry
yang
sangat
tidak
stabil
“masa
depannya”.
Selain
tingginya
tingkat
fluktuasi
wisatawan,
resesi
ekonomi
juga
dapat
menimbulkan
turunnya
jumlah
dan
minat
orang
yang
berpergian.
Selain
itu,
berwisata
memiliki
tingkat
elastisitas
harga
yang
tinggi
dengan
pengeluaran
yang
tidak
stabil.
Harga
secara
umum
berada
diluar
kontrol
dari
negara
destinasi.
Belum
lagi
perubahan
selera
wisatawan
yang
sangat
mengikuti
trend
sehingga
dapat
disimpulkan
bahwa
pariwisata
bukanlah
industri
yang
bebas
resiko
khususnya
untuk
negara
berkembang.
Hal
ini
juga
diperparah
dengan
adanya
pengaruh
dari
travel
organizer
yang
dengan
mudah
merubah
tujuan
destinasi
deri
klien,
sehingga
menimbulkan
banyak
orang
menjadi
kehilangan
pekerjaan
dan
tinggat
hunian
kamar
yang
dibawah
rata-‐rata
pada
sektor
akomodasi.
Selain
hal
tersebut
diatas,
pariwisata
juga
sangat
rentan
dengan
kebocoran
(leakages)
sebagai
akibat
dari
kurangnya
pengawasan
dan
regulasi
dari
pemerintah
setempat.
Belum
lagi
masalah
yang
timbul
akibat
kurangnya
kompetensi
sumber
daya
manusianya.
Banyak
sekali
pekerja
tanpa
skill
yang
masuk
dalam
industri
ini
sehingga
mengakibatkan
rendahnya
kualitas
destinasi.
Seringkali
hal
inilah
yang
kemudian
menyebabkan
efek
multiplier
dalam
pariwisata
tidak
muncul.
Dengan
kata
lain,
perkembangan
pariwisata
pada
negara
berkembang
tidak
hanya
“merusak”
tatanan
kultur
dan
budaya
di
daerah
tersebut
namun
juga
hanya
menguntungkan
para
kaum
“elit”;
mereka
yang
sudah
kaya
dan
mereka
yang
memiliki
kekuasaan
politik.
Seperti
contohnya
di
kepulauan
Fiji,
dimana
masyarakat
lokal
semakin
“miskin”
dengan
adanya
wisatawan
yang
memiliki
tingkat
finansial
yang
lebih
tinggi
sehingga
menibumbulkan
gaya
hidup
baru.
Bahan
kebutuhan
pokok
menjadi
mahal
dan
tidak
terjangkau
lagi
bagi
masyarakat.
Begitu
juga
dengan
tanah
dan
properti
yang
hanya
mampu
dibeli
oleh
investor,
sehingga
kepemilikan
lahan
oleh
komunitas
lokal
pun
semakin
tersisihkan.
Perkembangan
ilmu
pariwisatajuga
mengalami
pergeseran
seiring
dengan
berkembangnya
pendapat
para
ahli
terhadap
dampak
pariwisata
dalam
berbagai
perspektif
yang
berbeda.
Pada
tahun
60an
pariwisata
dianggap
sebagai
pendorong
Putu
Diah
Sastri
Pitanatri
2
pertumbuhan
ekonomi.
Di
pertengahan
tahun
70an,
Levitt
dan
Gulati
mulai
menyoriti
keberadaan
agen-‐agen
konsultan
professional
seperti
Bank
Dunia
dan
UNWTO
didalam
“melobi”
kegiatan
pariwisata
baik
secara
nasional
maupun
internasional.
Ritchter
bahkan
mendefinisikan
UNWTO
sebagai
“cheerleader”
daripada
mengkritik
dan
memberi
rambu-‐rambu
pada
perkembangan
industry
ini.
Beberapa
analisis
teknis
yang
dikeluarkan
UNWTO
juga
disebut
“menyesatkan”
karena
seolah-‐olah
meng-‐agungkan
pariwisata
dibandingkan
memberi
masukan
bersifat
prefentif
terhadap
dampak
yang
mungkin
ditimbulkan.
Senada
dengan
pendapat
tersebut,
organisasi
religi
dunia
juga
mengkritisi
perkembangan
industry
pariwisata.
Disebutkan
bahwa
prostitusi
dan
narkoba
bukanlah
masalah
dari
moral
personal,
namun
lebih
menjadi
bagian
dari
eksploitasi
rasial.
Disebutkan
juga
bahwa
pariwisata
lebih
menghancurkan
dan
mendatangkan
malapetaka3
dibandingkan
memberi
manfaat
kepada
Negara
tuan
rumah.
Hal
ini
dapat
dilihat
dalam
bentuk
kerjasama
transaksional,
kaum
elit
yang
berkuasa
dan
politik
hagemoni
serta
“kelengahan”
terhadap
kebutuhan
spititual,
ekonomi,
politik
dan
social
budaya
Negara
penerima.
Lebih
lanjut
lagi,
deklarasi
UNWTO
di
Manila
yang
menyebutkan
pariwisata
sebagai
“kebutuhan
dasar
setiap
manusia”
menyebabkan
banyak
negara
untuk
ikut
berpartisispasi
terhadap
perkembangan
pariwisata
dunia.
WTO
juga
menyebutkan
bahwa
pariwisata
merupakan
“harapan
baru”
untuk
menghapus
jurang
ekonomi
antara
negara
maju
dengan
negara
berkembang.
Penyataaan-‐pernyataan
WTO
tersebut
dikritisi
didalam
wokshop
Ecumenical
Coalition
tahun
1984
di
Chiang
Mai
yang
menyatakan
pariwisata
adalah
“pelanggaran
dari
hak
dasar
dan
martabat
manusia”
Pariwisata
internasional
sangat
bernuansa
politis
karena
berhubungan
dengan
relasi
internasional,
modal
investasi
yang
besar
dan
perencanaan
skala
besar.
Sejalan
dengan
hal
tersebut
deklarasi
Arusha
menyebutkan
bahwa
investasi
pariwisata
sangat
tumpang
tindih
dan
hanya
melayani
satu
sektor
yang
kturang
berkontribusi
terhadap
stuktur
ekonomi
suatu
negara.
Terlepas
dari
hal
tersebut,
pariwisata
merupakan
sektor
yang
sangat
beresiko
dan
bersifat
sementara
dimana
kelangsungan
hidup
dan
keberlanjutannya
sangat
tergantung
dari
dari
negara
maju
yang
melakukan
perjalanan.
3
Wreaked
more
havoc
than
brought
benefits
to
recipient
Third
World
Countries
Putu
Diah
Sastri
Pitanatri
3
Secara
esensi,
image
imperialis
sangat
terlihat
didalam
pembahasan
peneliti
social
mengenai
pariwisata
internasional.
Bugnicourt
contohnya
menulis
bagaimana
pariwisata
merepresentasikan
permintaan
konsumen
yang
telah
menghancurkan
linkungannya
sendiri
sehingga
mencari
penggantinya.
MacCannel
juga
menulis
mengenai
wisatawan
dari
kelas
social
menengah
keatas
yang
mencari
daerah-‐daerah
eksotis
di
dunia
untuk
mendapatkan
pengalaman
baru.
Banyak
kritikus
di
Thailand
dan
Filipina
yang
saat
ini
melihat
orang-‐orang
Jepang
merajarela
untuk
melakukan
aktivitas
“sex
tourism”
sebagai
pengulangan
dari
agresi
militer
Jepang,
yang
sama
sekali
tidak
memiliki
rasa
hormat
terhadap
komunitas
dan
masyarakat
lokal.
Meskipun
demikian,
adanya
perkembangan
pariwisata
alternative
yang
lebih
“peduli”
terhadap
aspek
sosial
budaya
diharapkan
mampu
untuk
menkounter
efek
negatif
yang
timbul
dari
pariwisata
internasional.
Tumbuh
dan
berkembanganya
usaha
pariwisata
skala
kecil
setidaknya
mampu
memberi
manfaat
secara
kangsung
terhadap
masyarakan
golongan
ekonomi
rendah.
Ditegaskan
oleh
Bugnicourt
bahwa
“akan
ada
saatnya
dimana
pariwisata
tidak
lagi
dikuasai
oleh
kolonialisme,
namun
lebih
kepada
membawa
orang-‐orang
menjadi
lebih
dekat
dan
untuk
memperkaya
penemuan
lingkungan
baru
dengan
peradaban
dan
budaya
yang
berbeda”
Pariwisata:
Arti,
motivasi
dan
Fungsi
Pariwisata
masal
internasional
memungkinkan
untuk
menilai
dan
mamahami
masyarakat
industri
modern
yang
melakukan
perjalanan
dalam
beragam
bentuk.
Riset
ilmu
sosial
juga
dapat
dilakukan
dalam
bentuk
arti
dan
motivasi.
Apa
yang
dipelajari
wisatawan
saat
berlibur?
Bagaimana
pengalaman
berwisata
mereka?
Kenapa
mereka
berpergian
ke
luar
negeri,
dan
sebagainya.
Terdapat
perbedaan
yang
cukup
mendasar
anatara
penelitian
sosiologi
dan
antropologi.
Sosiologi
melakukan
riset
terhadap
arti
pariwisata
sementara
antropologi
lebih
pada
perspektif
budaya
pada
negara
tujuan
dan
disiplin
ilmu
seperti
geografi
dan
economy
yang
hanya
sedikit
membahas
mengenai
manusia.
Sangat
umum
kita
melihat
pendahuluan
dalam
setiap
studi
pariwisata
membahasa
menganai
faktor
pendorong
dan
penarik
wisatawan
yang
secara
tidak
cukup
kompleksitas
dari
perilaku
wisatawan
termasuk
sikap,
pembelajaran
dan
arti.
Putu
Diah
Sastri
Pitanatri
4
Migrasi
manusia
yang
berkolerasi
terhadap
pariwisata
seringkali
berhubungan
dengan
tingkat
stress,
yang
mungkin
timbul
dari
tekanan
social
dan
bencana
alam.
Menjadi
wisatawan
berarti
memiliki
kesempatan
untuk
“keluar”
dari
permasalahan
social
dan
rutinitas
dan
menarik
diri
dari
segala
tanggung
jawab
sebagai
manusia
dewasa.
Tentu
saja
hal
ini
akan
sangat
berhubungan
dengan
keinginan
manusia
tersebut
didalam
mencari
bentuk
kenikmatan
yang
kemudian
dapat
menjadi
peluang
industri
narkoba
dan
seks.
Motivasi
seperti
relaksasi,
pengeluaran
yang
mencolok,
bersenang-‐senang
dan
sebagainya
justru
merupakan
masalah
bagi
mereka
yang
memang
mencari
otentisitas
budaya
sebagai
arti
tunggal
dari
pariwisata.
Wisatawan
dalam
hal
ini
lebih
terfokus
kepada
kegiatan
bersenang-‐senang
dibandingkan
belajar
budaya
baru.
Saat
dalam
keadaan
‘bersenang-‐senang’
mereka
tidak
ingin
untuk
disibukkan
dengan
kegiatan
belajar.
Pariwisata
yang
selama
ini
memliki
tujuan
“peace
and
understanding”
dikatakan
sebagai
kamuflase
dari
kepentingan
ekonomi
orang-‐orang
tertentu.
Perjalanan
yang
dilakukan
wisatawan
saat
ini,
apalagi
yang
dilakukan
secara
masal
cenderung
lebih
membuat
perubahan
struktur
budaya
masyarakat
local
dibandingkan
tujuan
pemahaman
budaya
yang
berbeda.
Hubungan
langsung
yang
terjadi
antara
wisatawan
dengan
penduduk
desa
memang
semakin
besar
namun
jarak
yang
terjadi
pun
semakin
besar.
Seringkali
promosi
yang
berlebihan
menyebabkan
esensi
dan
ciri
khas
dari
suatu
daerah
menjadi
hilang.
Bahama
saat
ini
menjadi
playground
orang-‐orang
barat,
Amerika
Selatan
menjadi
“hutan
indah
memesona
tempat
Bambi
milik
Walt
Disney
hidup”
dan
masih
banyak
contoh
yang
lainnya
Pada
banyak
daerah
di
Hindia
Barat 4 ,
pariwisata
diasosiasikan
dengan
perbudakan
yang
menimbulkan
rasa
kebencian
dari
masyarakat
setempat.
Jelas
sekali
hal
ini
sangat
kontradiksi
dengan
tujuan
pariwisata
untuk
menciptakan
peace
and
relationship.
4
Hindia
Barat
merupakan
wilayah
Karibia
dan
Samudra
Atlantik
Utara
yang
mencakup
banyak
pulau
dan
negara
kepulauan
Antilles
dan
Lucayan
Putu
Diah
Sastri
Pitanatri
5
Pariwisata
dan
Perubahan
Sosial
Budaya
Tulisan
akademisi
dalam
perspektif
sosial
budaya,
lebih
banyak
menuliskan
mengenai
dampak
negatif
yang
ditimbulkan
dari
pariwisata.
Kompleksitas
permasalahan
yang
dihadapi
terutama
di
negara-‐negara
berkembang
lebih
dari
sekedar
urbanisasi,
tingkat
populasi,
peran
media
massa,
dan
sebagainya.
Banyak
tulisan
yang
membahas
bagaimana
masyarakat
local
mengimitasi
perilaku
wisatawan
pada
kehidupan
mereka.
Perubahan
ritual
dan
seremonial
juga
mengalami
perubahan
karena
pariwisata.
Di
Bali
sendiri
banyak
tulisan
mengenai
touristic
culture
dimana
masyarakat
Bali
‘merenovasi’
budayanya
dengan
kebutuhan
wisatawan.
Komodifikasi
budaya
merupakan
“trend”
pada
destinasi
yang
mengalami
pembangunan
kapitalis
sebagai
akibat
dari
pariwisata
massal.
Selalu
terjadi
perdebatan
mengenai
dampak
positif
dan
negative
pariwisata
internasional.
Tentu
saja
dampak
yang
ditimbulkan
pariwisata
berbeda
antara
satu
destinasi
dengan
yang
lainnya
tergantung
dari
cara
pandang
peneliti
terhadap
suatu
fenomena
social.
Seperti
misalnya
tumbuhnya
pertanian
local
di
Spanyol
sebagai
stimulus
dari
perkembangan
pariwisata
namun
disatu
sisi
sebagian
penduduk
mengalami
malnutrisi
karena
tidak
mampu
membeli
bahan
pangan
yang
harganya
meroket
karena
pariwisata.
Pariwisata
disatu
sisi
juga
dapat
menimbulkan
perpecahan
dan
konflik
social.
Seperti
misalnya
di
Tanah
Toraja
dimana
pariwisata
mempererat
tali
kekerabatan.
Namun
saat
upacara
religi
terlalu
dikomersialisasi,
terjadi
konflik
antara
kaum
tradisional
dan
kaum
modern.
Konflik
ini
menimbulkan
peleburan
budaya
dimana
muncul
prakter-‐praktek
seperti
pengulangan
ritual
untuk
atraksi
wisatawan,
memperpendek
waktu
pelaksanaan
upcara
atau
bahkan
menjadwal
ulang
kegiatan
sehingga
dapat
menarik
lebih
banyak
lagi
wisatawan.
Melihat
dampak
pariwisata
internasional
dari
dua
sisi
yang
sangat
kontradiktif
maka
seharusnya
pemerintah
di
negara-‐negara
destinasi
mulai
mendengarkan
aspirasi
masyarakat
local.
Dengan
mengetahui
persepsi
dan
pemahaman
masyarakat
local
terhadap
pariwisata
serta
dampak-‐dampak
yang
mungkin
ditimbulkan
maka
pemerintah
akan
dapat
menentukan
pariwisata
jenis
apa
yang
layak
dikembangkan
di
daerah
tersebut.
Putu
Diah
Sastri
Pitanatri
6
CASE
STUDY:
DAMPAK
SOSIAL
BUDAYA
PARIWISATA
INTERNASIONAL
DI
KAMBOJA
Pada
garis
depan
industri
pariwisata
yang
berkembang
Kamboja,
Angkor
Wat
merupakan
sumber
devisa
utama
untuk
salah
satu
negara
termiskin
di
dunia
tersebut.
Namun,
tingginya
animo
wisatawan
untuk
mengunjungi
situs
bersejarah
tersebut
menimbulkan
berbagai
macam
permasalahan.
Pada
tahun
1993,
ketika
Angkor
pertama
kali
ditambahkan
ke
UNESCO
World
Heritage
List,
militan
Khmer
Rouge
masih
aktif
bergerilya
di
Kamboja.
Oleh
sebab
itu
hanya
sekitar
7.600
jiwa
yang
berwisata
ke
Angkor
Wat
pada
tahun
itu.
Saat
Kamboja
menjadi
daerah
yang
‘aman’
pada
tahun
2007,
sekitar
dua
juta
wisatawan
mengunjungi
Kamboja,
dengan
setengah
berhenti
di
Angkor
Wat.
Dengan
lalu
lintas
turis
terus
meningkat
sekitar
20
per
tahun
persen
pada
tahun,
sekitar
tiga
juta
orang
mengunjungi
negara
itu
pada
tahun
2010.
Di
kota
terdekat
Siem
Reap,
sekarang
ada
ratusan
hotel
dan
guest-‐house
yang
hampir
seluruhnya
merupakan
kepemilikan
asing.
Associated
Press
bahkan
melaporkan
bahwa
beberapa
bangunan
tua
yang
terkenal
telah
rata
dengan
tanah
untuk
membuat
ruang
untuk
akomodasi
baru.
Identitas
Siem
Reap
selama
berabad-‐abad
secara
bertahap
menghilang.
hnom
Bakheng
sebagai
salah
satu
peninggalan
penting
dari
peradaban
Khmer
kuno
juga
mengalami
krisis.
Setidaknya
sekitar
3.000
wisatawan
memanjat
tangga
batu
sempit
setiap
malam.
Pada
puncaknya
orang
bisa
melihat
matahari
terbenam
yang
indah
di
atas
Angkor
Wat.
Namun
untuk
menuju
puncak,
wisatawan
harus
melalui
ukiran
batu
pasir,
yang
mereka
gunakan
sebagai
pegangan
selama
pendakian.
Oleh
sebab
itu,
saat
ini
Phnom
Bakheng
menderita
kerusakan
yang
fatal.
Gambar
1
Gambaran
Pariwisata
Internasional
di
Angkor
Wat
(Sumber:
www.global-‐goose.com
)
Putu
Diah
Sastri
Pitanatri
7
Pertumbuhan
Siem
Reap
yang
tidak
terkontrol
juga
menyebabkan
masalah
lain.
Menurut
laporan
Bank
Dunia
2005
guesthouse
dilaporkan
membuang
air
bekas
langsung
ke
sungai,
menyebabkan
polusi
sungai.
E.
coli,
bakteri
yang
ditemukan
dalam
kotoran
manusia,
telah
mulai
merembes
ke
sumur
lokal.
Selain
itu,
salah
satu
kuil
Angkor
bahkan
dilaporkan
jatuh
ke
jurang,
menunjukkan
bahwa
akuifer
bawah
tanah
semakin
menghilang.
Dalam
perspektif
sosial
budaya,
seks
tourism
juga
merupakan
dampak
negatif
yang
ditimbulkan
pariwisata.
Sebagai
salah
satu
negara
yang
masih
lemah
dalam
kekuatan
perekonomiannya,
Kamboja
menjadi
salah
satu
negara
yang
dimana
posisi
perempuan
sangat
rentan
terjebak
dalam
jaringan
kejahatan
perdagangan
manusia.
Kamboja
adalah
negara
asal
(source),
persinggahan
(transit),
dan
tujuan
(destination)
bagi
wanita,
dan
anak-‐anak
yang
diperdagangkan
untuk
tujuan
eksploitasi
seks
komersial
dan
tenaga
kerja
paksa.
Kamboja
merupakan
negara
persinggahan
dan
tujuan
bagi
perdagangan
perempuan
dan
anak-‐anak
untuk
tujuan
eksploitasi
seksual
baik
di
pedesaan
maupun
daerah
perkotaan
seperti
Phnom
Penh,
Siem
Reap,
dan
Sihanoukville.
Tidak
terdapat
angka
pasti
mengenai
jumlah
prostitusi
di
Kamboja,
akan
tetapi
jangkauan
perkiraan
paling
tinggi
mencapai
100
ribu
dari
13
juta
penduduk
Kamboja
dengan
35%
korban
yang
berusia
dibawah
18
tahun.
Gambar
2
Eksploitasi
Anak-‐Anak
Dan
Wanita
untuk
Tujuan
Seksual
Di
Kamboja
(Sumber:
www.khmer440.com)
Menjadi
sangat
penting
didalam
pengembangan
pariwisata
internasional
untuk
melihat
multiplier
effect
dari
sisi
positif
dan
negatif.
Kamboja
merupakan
salah
satu
contoh
destinasi
pariwisata
internasional
yang
perkembangannya
dibiarkan
‘liar’
sehingga
lebih
banyak
menimbulkan
dampak
negatif
dibandingkan
kontribusinya
terhadap
peningkatan
kesejahteraan
masyarakatnya.
Putu
Diah
Sastri
Pitanatri
8