Bab II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Instalasi Pe

Bab II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT)

2.1.1 IPLT dan Konsepsi Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan adalah upaya memenuhi kebutuhan saat ini dengan tidak mengabaikan kemampuan generasi masa datang untuk memenuhi kebutuhannya (Marten 2001). Perangkat kebijakan untuk mencapai tujuan pembangunan tersebut adalah AGENDA 21 yaitu suatu Cetak Biru (Blue Print) untuk acuan melakukan kegiatan atau tindakan (action) pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada abad 21. Agenda ini memuat berbagai hal yang mencakup aspek fisik, biologi, sosial ekonomi dan budaya termasuk di dalamnya penerapan pembangunan itu sendiri. Konsepsi dasar pembangunan berkelanjutan di dalam Agenda 21 tersebut adalah “membangun yang tidak merusak lingkungan yaitu pembangunan yang arif dan bijaksana sehingga kualitas lingkungan selalu terjaga sepanjang masa”.

Agenda 21 dunia digunakan sebagai acuan untuk menyusun Agenda masing- masing negara termasuk Indonesia. Kebijakan pengelolaan limbah tertera pada bagian ke-2 Agenda 21 dunia (Konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam untuk pembangunan), dan bagian ke-2 Agenda 21 Indonesia (Pengelolaan limbah). Strategi untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut adalah (i) minimisasi limbah, (ii) maksimisasi daur ulang dan pengomposan, (iii) meningkatkan pelayanan, (iv) meningkatkan pengolahan dan pembuangan limbah yang akrab lingkungan (KMNLH 1997). Untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan berkelanjutan, maka pada konferensi tingkat tinggi bangsa-bangsa di Johanesburg 2002 disepakati untuk menetapkan tujuan pembangunan yang harus dicapai pada akhir tahun 2015. Tujuan pembangunan tersebut dikenal dengan Millenium Development Goal 2015 (MDG-2015). Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah bahwa setengah penduduk yang belum memperoleh akses terhadap hasil pembangunan, harus sudah terlayani pada akhir tahun 2015. Di bidang sanitasi, setengah dari penduduk yang belum mendapat akses ke fasilitas Agenda 21 dunia digunakan sebagai acuan untuk menyusun Agenda masing- masing negara termasuk Indonesia. Kebijakan pengelolaan limbah tertera pada bagian ke-2 Agenda 21 dunia (Konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam untuk pembangunan), dan bagian ke-2 Agenda 21 Indonesia (Pengelolaan limbah). Strategi untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut adalah (i) minimisasi limbah, (ii) maksimisasi daur ulang dan pengomposan, (iii) meningkatkan pelayanan, (iv) meningkatkan pengolahan dan pembuangan limbah yang akrab lingkungan (KMNLH 1997). Untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan berkelanjutan, maka pada konferensi tingkat tinggi bangsa-bangsa di Johanesburg 2002 disepakati untuk menetapkan tujuan pembangunan yang harus dicapai pada akhir tahun 2015. Tujuan pembangunan tersebut dikenal dengan Millenium Development Goal 2015 (MDG-2015). Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah bahwa setengah penduduk yang belum memperoleh akses terhadap hasil pembangunan, harus sudah terlayani pada akhir tahun 2015. Di bidang sanitasi, setengah dari penduduk yang belum mendapat akses ke fasilitas

Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) merupakan salah satu upaya terencana untuk meningkatkan pengolahan dan pembuangan limbah yang akrab lingkungan. IPLT adalah unsur/komponen sistem pengelolaan air limbah rumah tangga yang dibangun di daerah perkotaan dan berfungsi mengolah lumpur tinja (faecal sludge) sehingga hasil olahannya tidak mencemari lingkungan, bahkan dapat digunakan kembali untuk keperluan pertanian. Bahan baku IPLT adalah lumpur tinja yang terakumulasi di cubluk dan tangki septik yang secara reguler dikuras atau dikosongkan kemudian diangkut ke IPLT dengan menggunakan truk tinja. Volume lumpur tinja yang terakumulasi di dalam cubluk atau tangki septik adalah sekitar 40-70 liter/kapita/tahun (Eawag-Sandec 2003). Hasil olahan IPLT berupa lumpur kering dan fraksi air yang pada derajat kualitas tertentu sudah dapat diterima oleh lingkungan sekitarnya dan dapat dimanfaatkan kembali untuk keperluan pertanian.

Pengolahan lumpur tinja di IPLT merupakan pengolahan lanjutan karena lumpur tinja yang telah dio lah di tangki septik, belum layak dibuang ke media lingkungan. Oleh karena itu, pengolahan lumpur tinja di IPLT ditujukan untuk memastikan bahwa lumpur tinja yang dibuang lebih higienis sehingga tidak mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan masyarakat. Di dalam pengelolaan lingkungan hidup, pengelolaan lumpur tinja merupakan sebagian dari upaya untuk memelihara lingkungan hidup.

Sistem IPLT merupakan salah satu pendekatan atau pilihan teknologi dalam sistem pengelolaan air limbah rumah tangga (domestik). Sebagaimana tertera pada Gambar 2, sistem pengelolaan air limbah terdiri dari berbagai unsur, dan penerapannya berbeda dari lokasi yang satu dengan lokasi lainnya. Pengelolaan kotoran manusia di daerah perdesaan umumnya menggunakan kakus jongkok yang diletakkan diatas lubang tanah yang disebut cubluk (pit latrine) atau yang dibawahnya diberi tempat pengumpul tinja. Kotoran tinja padat dapat diolah di tempat (di dalam cubluk) atau diangkut dengan gerobak ke suatu lokasi tertentu Sistem IPLT merupakan salah satu pendekatan atau pilihan teknologi dalam sistem pengelolaan air limbah rumah tangga (domestik). Sebagaimana tertera pada Gambar 2, sistem pengelolaan air limbah terdiri dari berbagai unsur, dan penerapannya berbeda dari lokasi yang satu dengan lokasi lainnya. Pengelolaan kotoran manusia di daerah perdesaan umumnya menggunakan kakus jongkok yang diletakkan diatas lubang tanah yang disebut cubluk (pit latrine) atau yang dibawahnya diberi tempat pengumpul tinja. Kotoran tinja padat dapat diolah di tempat (di dalam cubluk) atau diangkut dengan gerobak ke suatu lokasi tertentu

Ember/Bin

Jongkok Cubluk

Kakus Gelontor

Cubluk Truk

Basah IPLT

Kolam Air

Gelontor Tanah

Air Baku lontor

Pipa

IPAL

Outlet (TS)

Sewerasi IPAL

danau dll)

TEMPAT BUANGAN PENGUMPULAN

PENGANGKUTAN

PENGOLAHAN

PEMBUANGAN PEMANFAATAN (DISPOSAL) (DAUR ULANG)

Keterangan: Elemen atau unsur-unsur sistem Sanitasi (Air Limbah) kota berbasis IPLT

Aliran proses pengelolaan Air Limbah berbasis IPLT Eksisting

Potensi Pemanfaatan hasil olahan air limbah (Daur Ulang) di Indonesia

SUMBER: Diolah dari PACEY (1978), UNEP/GPA (2000), Straus dan Monttangero (2003), Eawag/Sandec (2003)

Gambar 2. Unsur-Unsur Sistem Pengelolaan Air Limbah Rumah Tangga dan Berbagai Cara Kombinasinya

Pengelolaan air limbah di daerah perkotaan, umumnya menggunakan sistem setempat (on-site system) atau sistem terpusat (centralized system atau off site system) . Hasil olahan limbah yang menggunakan sistem setempat maupun sistem terpusat, apabila pengolahannya memadai, secara teoritis dapat dimanfaatkan kembali misalnya untuk irigasi, pupuk organik dan air baku air minum. Sistem IPLT (faecal sludge treatment), merupakan bagian dari sistem sanitasi setempat

dibangun di pinggiran kota (peri urban) atau di kota sedang dan kota kecil, khususnya negara- negara berkembang yang pendapatannya termasuk kategori menengah ke bawah. Pengelolaan air limbah dengan pendekatan konvensional dan terpusat (centralized) yang mengalirkan air limbah melalui sistem pipa (sewerasi) ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) umumnya digunakan untuk kota besar dan/atau kota kota yang penduduknya padat. Pengelolaan air limbah terpusat untuk kategori kota sedang dan kota kecil serta pinggiran kota banyak mengalami kegagalan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mengumpulkan, membuang limbah rumah tangga dan lumpur tinja dari tangki septik. Hal tersebut disebabkan karena biaya investasi maupun biaya operasi serta pemeliharaan sistem terpusat relatif mahal sehingga keberlanjutan operasionalnya sulit dijamin bila diaplikasikan di daerah pinggiran kota atau kota sedang dan kota kecil. Oleh karena itu, penerapan sistem terdesentralisasi merupakan perubahan paradigma dalam sistem pengelolaan air limbah rumah tangga (Bakir 2001, Ingallinella et al. 2002, Parkinson dan Tayler 2003).Walaupun demikian, pengembangan sistem IPLT harus disertai dengan peningkatan kapasitas (capacity building ) kepada lembaga pengelolanya maupun kepada masyarakat pemilik tangki septik dan peningkatan teknologi sistem sanitasi setempat sedemikian sehingga lebih dapat dijamin keberlanjutannya.

IPLT mengolah lumpur tinja dari tangki septik dan fasilitas sanitasi setempat yang sejenis. Oleh karena itu, keberadaan dan kelangsungan operasionalnya sangat tergantung kepada keberadaan dan kemajuan teknologi tangki septik. Sejalan dengan pengembangan IPLT, dilakukan pula berbagai upaya perbaikan teknologi tangki septik untuk meningkatkan efisiensi dan daya reduksinya terhadap bahan pencemaran yang masuk. Pengembangan tangki septik bersekat banyak (multi baffled), dilakukan oleh Ingallinella et al. (2003), Wanasen (2003). Sekat tersebut ditujukan untuk memperbesar kemampuan reduksi beban cemaran yang masuk ke dalam tangki septik. Selain itu, perbaikan teknologi dilakukan pula terhadap unit pengolah tambahan di luar tangki septik (Koné dan Straus 2004) misalnya bidang resapan bervegetasi (vegetated leach field) dan lahan basah terkonstruksi (constructed wetland). Perbaikan teknologi tersebut selain untuk IPLT mengolah lumpur tinja dari tangki septik dan fasilitas sanitasi setempat yang sejenis. Oleh karena itu, keberadaan dan kelangsungan operasionalnya sangat tergantung kepada keberadaan dan kemajuan teknologi tangki septik. Sejalan dengan pengembangan IPLT, dilakukan pula berbagai upaya perbaikan teknologi tangki septik untuk meningkatkan efisiensi dan daya reduksinya terhadap bahan pencemaran yang masuk. Pengembangan tangki septik bersekat banyak (multi baffled), dilakukan oleh Ingallinella et al. (2003), Wanasen (2003). Sekat tersebut ditujukan untuk memperbesar kemampuan reduksi beban cemaran yang masuk ke dalam tangki septik. Selain itu, perbaikan teknologi dilakukan pula terhadap unit pengolah tambahan di luar tangki septik (Koné dan Straus 2004) misalnya bidang resapan bervegetasi (vegetated leach field) dan lahan basah terkonstruksi (constructed wetland). Perbaikan teknologi tersebut selain untuk

2.1.2 Komponen sistem yang mempengaruhi IPLT

Kelangsungan operasional IPLT dipengaruhi oleh komponen/unsur masing- masing sub sistem pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pembuangan serta pemanfaatan kembali lumpur tinja.

Unsur-unsur yang mempengaruhi sub komponen sistem pengumpulan lumpur tinja meliputi (i) keberadaan dan jumlah serta sebaran fasilitas sanitasi setempat (cubluk, tangki septik), (ii) kemampuan fasilitas sistem sanitasi setempat (on-site system) mengolah beban cemaran (Tabel 1), (iii) waktu dan frekuensi penyedotan atau pengurasan, (iv) kemauan dan kemampuan masyarakat membayar tarif penyedotan dan pengangkutan serta pengolahan lumpur tinja.

Tabel 1. Efisiensi Unsur-Unsur Sistem Setempat (On-site System)

Besarnya Reduksi Beban Cemaran No

Jenis Unit Pengolah

Fosfor Koli tinja (*)

1 Tangki Septik (TS) tanpa bidang

6-7 mg/l 10 1 -10 2 peresapan 2 Tangki Septik (TS)

40-70 mg/l

40-60 mg/l

dengan bidang 6 0-10 mg 0-10 mg/l 0-40 mg/l 0-2 mg/l 10 -10 7 peresapan Catatan: (*) dalam jumlah/100 ml Sumber: UNEP/GPA (2000)

Sebagaimana tertera pada Tabel 1 tersebut, kemampuan tangki septik mengolah beban cemaran organik yang diukur dari parameter Kebutuhan Oksigen Biologis (KOB) dapat mencapai 60%. Kemampuan tangki septik mengolah padatan tersuspensi, amonia, fosfor dan koli tinja masing- masing adalah 40-70 mg/l, 40-60 mg/l, 6-7 mg/l dan 10-100/100 ml. Bila tangki septik dilengkapi dengan bidang peresapan, maka KOB berkurang 10 mg/l, reduksi padatan tersuspensi mencapai 80 mg/l, reduksi amonia mencapai 100%, reduksi fosfor

6 mencapai 9 mg/l dan reduksi koli tinja mencapai 10 7 -10 /100 ml. Fungsi utama tangki septik, pada dasarnya sama dengan unit pengolah

pendahuluan (primary treatment plant) pada Instalasi Pengolahan Air Limbah

(IPAL) terpusat yaitu mengendapkan partikel tersuspensi dan menurunkan sebagian beban cemaran organik yang masuk. Perbedaannya terletak pada proses pengelolaan lumpur yang dihasilkan. Pada sistem tangki septik, lumpur tinja harus dikeluarkan dan diangkut ke IPLT, sedangkan pada IPAL, pengolahan lumpur menjadi bagian sistem integral dari IPAL terpusat. Tangki septik yang diintegrasikan dengan IPAL komunal, dapat meningkatkan mutu hasil pengolahan air limbah dan mengurangi beban air tanah.

Unsur-unsur yang mempengaruhi sub komponen sistem pengangkutan (transportasi) lumpur tinja meliputi (i) volume truk pengangkut lumpur tinja, (ii) jarak dan waktu tempuh serta frekuensi atau ritasi pengangkutan lumpur tinja, (iii) kepadatan lalu lintas, (iv) organisasi pengelola jasa pengangkutan lumpur tinja, (v) tarif pengangkutan dan pengolahan lumpur tinja di IPLT.

Unsur-unsur yang mempengaruhi sub komponen sistem pengolahan lumpur tinja meliputi (i) tepat atau tidaknya disain IPLT dengan kualitas lumpur tinja yang akan diolah, (ii) kemampuan IPLT mengolah lumpur tinja (Tabel 2), (iii) kemampuan operator mengoperasikan dan memelihara IPLT, (iv) alokasi biaya pengoperasian dan pemeliharaan IPLT, dan (v) kemampuan operator memanfaatkan kembali produk IPLT misalnya pupuk, biogas, pakan ikan. Walaupun demikian, efektifitas pemanfaatan kembali produk IPLT juga dipengaruhi oleh kemasan produk yang dihasilkan, kemampuan operator dalam memasarkan produk yang dihasilkan, kegiatan pertanian dan peternakan penduduk di sekitar lokasi IPLT dan kemauan masyarakat menggunakan pupuk organik.

Tabel 2. Efisiensi Unsur-Unsur Sistem IPLT

Besarnya Reduksi Beban Cemaran Jenis Unit

No Pengolah

Fosfor Koli tinja (*)

1 IPLT sistem

3 30-80 mg/l 5 20-30 mg/l 5-7 mg/l 10 -10 Kolam-kolam

20-30

mg/l

2 IPLT sistem

10 1 -10 Lahan Basah 3 alami

5-10 mg/l

5-20 mg/l

5-15 mg/l

0-10 mg/l

Catatan: (*) dalam jumlah/100 ml Sumber: UNEP/GPA (2000)

Sebagaimana tertera pada Tabel 2 tersebut, kemampuan IPLT sistem kolam- kolam dalam mereduksi beban cemaran organik yang diukur dari parameter Kebutuhan Oksigen Biologis (KOB) dapat mencapai 20-30 mg/l, padatan tersuspensi mencapai 30-80 mg/l, amonia mencapai 20-30 mg/l, fosfor mencapai

3 5-7 mg/l dan koli tinja mencapai 10 5 -10 /100 ml. Bahkan PLT dengan sistem lahan basah kemampuannya lebih tinggi lagi sehingga sisa beban cemaran

menjadi lebih kecil bila dibandingkan dengan IPLT yang menggunakan sistem kolam-kolam.

2.2 Ekosanita-IPLT

2.2.1 Pengertian Ekosanita-IPLT

Istilah Ekosanita-IPLT diambil dari kata-kata Ekologi, Sanitasi dan IPLT. Ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal balik mahluk hidup dengan lingkungan hidupnya. Ekologi berasal dari bahasa yunani yaitu “Oikos” yang berarti rumah dan “Logos” yang berarti ilmu. Karena itu, Ekologi berarti ilmu tentang mahluk hidup dalam rumahnya atau dapat diartikan pula sebagai ilmu tentang rumah tangga mahluk hidup (Sumarwoto 1989).

Sanitasi adalah kegiatan yang merupakan kebutuhan mendesak dari keluarga dan masyarakat untuk mengelola kotoran manusia secara pribadi sehingga lingkungan menjadi bersih dan sehat. Di dalam pengertian yang lebih luas lagi, sanitasi meliputi pengumpulan, pengolahan dan pembuangan limbah cair dan sampah padat (Mehta dan Andreas 2004). Penyelenggaraan sanitasi ditujukan untuk melindungi dan melestarikan sumber-sumber air terhadap kerusakan atau gangguan yang disebabkan oleh faktor alam termasuk kekeringan dan yang disebabkan oleh tindakan manusia misalnya pencemaran air (UU-7 2004).

Ekologi-Sanitasi (Ecological Sanitation) yang disingkat EkoSan adalah pendekatan ekosistem siklus tertutup (closed loop ecosystem) untuk mengelola kotoran manusia. Sebelum memasuki media tanah, kotoran manusia yang berupa urine dan faeses, diproses terlebih dahulu menjadi pupuk yang aman untuk menyuburkan tanaman pangan dan menghasilkan makanan yang akhirnya dikonsumsi oleh manusia. EkoSan menganut 3 (tiga) prinsip dasar yaitu (i) mencegah penularan penyakit dan memperbaiki kesehatan, (ii) konservasi sumber Ekologi-Sanitasi (Ecological Sanitation) yang disingkat EkoSan adalah pendekatan ekosistem siklus tertutup (closed loop ecosystem) untuk mengelola kotoran manusia. Sebelum memasuki media tanah, kotoran manusia yang berupa urine dan faeses, diproses terlebih dahulu menjadi pupuk yang aman untuk menyuburkan tanaman pangan dan menghasilkan makanan yang akhirnya dikonsumsi oleh manusia. EkoSan menganut 3 (tiga) prinsip dasar yaitu (i) mencegah penularan penyakit dan memperbaiki kesehatan, (ii) konservasi sumber

Di abad 19 kedua asumsi tersebut sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Faktor penentu keberhasilan EkoSan adalah adanya indikator, perubahan pendekatan dan tata pikir serta norma-norma keberlanjutan. Proses- proses di dalam konsep EkoSan mencakup (i) containment atau penghilangan mikroorganisme patogen dengan cara memperburuk habitatnya, (ii) sanitization atau tindakan menyehatkan, dan (iii) daur ulang (recycling) kotoran manusia (Esrey 2001). Menurut SANDEC 1998, EkoSan merupakan pendekatan sanitasi yang bersifat strategis dan komprehensif karena mengintegrasikan semua aspek sanitasi (kotoran manusia, sampah, air limbah non kakus atau greywater dan drainase) serta menghubungkan sanitasi dengan pertanian. Sistem Ekologi Sanitasi harus memenuhi 6 (enam) kriteria yaitu (i) sederhana, (ii) terjangkau, (iii) dapat diterima, (iv) mengembalikan zat hara, (v) melindungi lingkungan, dan (vi) mencegah wabah penyakit.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka ”EkoSanita-IPLT atau Sistem pengelolaan air limbah rumah tangga berbasis IPLT yang berkelanjutan” merupakan kombinasi antara unsur-unsur kakus untuk semua tipe dengan tangki septik, bidang peresapan dan IPLT (kompos dan kolam-kolam) yang mampu meningkatkan kesehatan masyarakat sekaligus memperbaiki kualitas sumber air baku air minum.

2.2.2 Ekosanita-IPLT dan Pengelolaan Lingkungan DAS

Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sering pula disebut sebagai Daerah Pengaliran Sungai (DPS) adalah suatu kawasan yang merupakan kesatuan wilayah tata air dan terbentuk secara alamiah, dibatasi oleh pemisah topografis yang dapat berfungsi menampung, menyimpan atau meresapkan curah hujan yang jatuh di atasnya, dan/atau mengalirkan air di permukaan ke sungai yang mengalir ke danau atau lautan maupun di dalam tanah ke sungai dan anak-anak sungainya dari hulu hingga ke hilir atau muara sungai sebelum akhirnya masuk ke laut (Puskim 2004).

Sebagaimana halnya dengan kawasan permukiman perkotaan, berfungsinya Sebagaimana halnya dengan kawasan permukiman perkotaan, berfungsinya

Berbeda dengan infrastruktur yang berfungsi menahan dan mengalirkan air tersebut, infrastruktur sistem EkoSanita-IPLT berperan memelihara kualitas airnya. Dengan terpeliharanya kualitas air di bagian hulu, maka pemanfaatan sumber daya air di bagian hulu maupun hilir DAS menjadi lebih optimal. Pengguna air memerlukan biaya yang lebih ringan untuk mengolah air baku sebelum digunakan untuk berbagai keperluan misalnya air minum, air irigasi dan air industri.

Pengelolaan lingkungan DAS akan berhubungan dengan upaya-upaya untuk memelihara sumber daya alam (air, lahan, udara) dan sumber daya buatan (infrastruktur atau prasarana dan sarana serta utilitas) yang terdapat di lingkungan perkotaan maupun lingkungan DAS. Penyediaan, pengoperasian dan pemeliharaan infrastruktur lingkungan buatan atau binaan di kawasan perkotaan maupun DAS, dapat dikategorikan sebagai upaya untuk memelihara daya dukung dan daya tampung lingkungan di kawasan itu.

Sampai saat ini, belum ada standar baku mengenai ukuran keberhasilan pelestarian fungsi lingkungan untuk kedua kawasan tersebut. Selain itu, ukuran mengenai tingkat pelayanan prasarana dan sarana lingkungan yang sudah dapat dilakukan adalah untuk prasarana dan sarana perkotaan yaitu berdasarkan pedoman Standar Pelayanan Minimum atau SPM (Kimpraswil 2001) sedangkan untuk DAS belum ada pedomannya.

Berdasarkan pedoman SPM perkotaan tersebut, maka sumber daya lingkungan binaan (manmade environment) yang digunakan untuk memelihara dan/atau meningkatkan kualitas lingkungan permukiman perkotaan maupun perdesaan dapat diperkirakan besarannya. Hasil perkiraan tersebut digunakan untuk merumuskan upaya-upaya pengendalian dampak pembangunan, sedemikian rupa sehingga fungsi sumber daya lingkungan perkotaan dan perdesaan yang ada dapat terpelihara untuk kemanfaatan generasi sekarang maupun generasi mendatang (konsep pembangunan berkelanjutan).

2.3 Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan

2.3.1 Pelestarian dan Degradasi Lingkungan

Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah “rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup” (UU-23/1997). Daya dukung lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan mahluk hidup lain, sedangkan daya tampung lingkungan adalah kema mpuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. Daya tampung lingkungan dapat disebut pula sebagai daya lenting yaitu kemampuan suatu sistem untuk pulih setelah terkena gangguan (Sumarwoto 1989). Semakin cepat sistem pulih atau semakin pendek masa pulih setelah menerima gangguan atau semakin besar gangguan yang dapat ditanggulangi, maka semakin tinggi daya tampung atau daya lenting sistem tersebut. Semakin tinggi daya tampungnya, maka semakin besar pula daya dukungnya.

Konsep daya dukung lingkungan dikembangkan berdasarkan fakta bahwa lingkungan manusia yaitu bumi ini, pada dasarnya mempunyai keterbatasan misalnya lahan di bumi yang dapat ditanami adalah sekitar 3.2 milyar ha. Sekira 50% dari luas tersebut telah menghasilkan makanan, sedangkan sisanya masih memerlukan modal besar sebelum mampu menghasilkan makanan. Pasokan air tawar, logam dan minyak juga sudah menurun meskipun dengan harga tinggi. Kemampuan lingkungan untuk menyerap beban cemaran yang berasal dari kegiatan pertanian dan industri juga terbatas (Randers dan Meadow 1973).

Daya dukung lingkungan tersebut dinyatakan dalam jumlah maksimum individu manusia, binatang atau populasi spesies yang dapat didukung dalam suatu lingkungan atau daerah tertentu tanpa adanya degradasi sumber daya alam yang dapat menurunkan populasi maksimumnya di masa datang (Sitorus 2004).

Degradasi sumber daya tanah merupakan salah satu bentuk degradasi sumber daya alam karena tanah dapat menyediakan unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan maupun berproduksinya tanaman. Selain itu, sumber daya tanah juga menjadi media tempat berpijaknya akar tanaman serta tumbuh dan tempat penyimpanan air tanah yang sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup tanaman. Degradasi sumber daya tanah tersebut dapat terjadi secara alami akibat Degradasi sumber daya tanah merupakan salah satu bentuk degradasi sumber daya alam karena tanah dapat menyediakan unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan maupun berproduksinya tanaman. Selain itu, sumber daya tanah juga menjadi media tempat berpijaknya akar tanaman serta tumbuh dan tempat penyimpanan air tanah yang sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup tanaman. Degradasi sumber daya tanah tersebut dapat terjadi secara alami akibat

2.3.2 Permukiman dan Infrastruktur Lingkungan Perkotaan

Permukiman adalah bagian lingkungan hidup di luar kawasan lindung yang berupa perkotaan maupun perdesaan dan berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Perkotaan atau kawasan kota adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama “bukan pertanian” dan berfungsi sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi (UU-24 1992). Berdasarkan jumlah penduduknya, kota dibagi ke dalam 4 (empat) kategori yaitu kota metropolitan (> 1 juta jiwa), kota besar (0.5 - 1.0 juta jiwa), kota sedang (0.1 - 0.5 juta jiwa), kota kecil (20 000 - 100 000 jiwa).

Untuk menjamin bahwa fungsi- fungsi permukiman perkotaan tersebut dapat berlangsung sebagaimana mestinya, diperlukan infrastruktur atau prasarana dan sarana serta utilitas lingkungan. Prasarana lingkungan (misalnya jaringan jalan, air limbah, drainase, persampahan ) adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan sedangkan sarana lingkungan (sarana-sarana niaga, pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan umum, ruang terbuka hijau, ruang pertemuan, perpustakaan umum ) adalah fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Utilitas umum (air minum, listrik, telepon, pemadam kebakaran) adalah sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan (UU-04 1992).

2.3.3 Kebijakan Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan

Kebijakan adalah keputusan yang dirancang untuk menangani berbagai masalah (Nagel 1984). Kebijakan pelestarian fungsi lingkungan perkotaan yang telah ada berhubungan dengan pemilihan dan penetapan teknologi pengolahan air limbah.

Alternatif pilihan teknologi pengolahan air limbah rumah tangga yang ditawarkan terdiri dari 2 (dua) sistem setempat (onsite-system) dan sistem terpusat (off-site system) . Sistem setempat yang ditawarkan terdiri dari 4 (empat) elemen yaitu (i) cubluk kembar atau twin leaching pit, (ii) tangki septik dengan bidang resapan, (iii) tangki septik pribadi dengan upflow filter, (iv) tangki septik kolektif denga n upflow filter. Adapun sistem terpusat yang ditawarkan adalah sistem sewerasi yang dilengkapi dengan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).

Variabel keputusan yang digunakan untuk menyaring terdiri dari 8 (delapan) kriteria yaitu (i) kepadatan penduduk, (ii) jenis sumber air, (iii) konsumsi air minum, (iv) jarak ke sumber air, (v) kedalaman muka air tanah, (vi) permeabilitas tanah, (vii) pendapatan perkapita, dan (viii) tingkat pendidikan masyarakat.

Pendekatan tersebut telah digunakan sebagai acuan dalam proses penyusunan Master Plan Air Limbah kota Cimahi (DLH Cimahi 2004). Outputnya adalah kebutuhan teknologi pengolahan air limbah di setiap bagian wilayah administratif kota sampai setingkat kelurahan.

Gambar 3 menjelaskan proses pemilihan dan penetapan teknologi pengolahan air limbah rumah tangga. Namun, dalam penerapan model kebijakan tersebut masih ditemukan kesulitan-kesulitan, misalnya dalam menetapkan kawasan prioritas pembangunan yang disesuaikan dengan ketersediaan dana pembangunan.

Model kebijakan lainnya yang telah digunakan adalah model disain IPLT secara modular. Model tersebut merupakan standardisasi kapasitas disain IPLT yang ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk kota atau daerah pelayanan yang ditetapkan. Penerapan kebijakan tersebut dapat membantu mempercepat proses pembangunan karena waktu yang diperlukan untuk menyiapkan dokumen kontrak menjadi lebih pendek. Namun, dalam praktek banyak ditemukan hasil disain yang terlalu kecil sehingga tidak mampu menampung kebutuhan yang sebenarnya.

Akibatnya, beban IPLT menjadi terlalu berat sehingga hasil olahannya tidak memenuhi syarat yang ditentukan. Dampak lanjutannya adalah peningkatan pencemaran air dan gangguan bau. Sebaliknya, apabila disain IPLT menjadi terlalu besar, maka investasi IPLT menjadi tidak efisien sehingga pengeluaran Akibatnya, beban IPLT menjadi terlalu berat sehingga hasil olahannya tidak memenuhi syarat yang ditentukan. Dampak lanjutannya adalah peningkatan pencemaran air dan gangguan bau. Sebaliknya, apabila disain IPLT menjadi terlalu besar, maka investasi IPLT menjadi tidak efisien sehingga pengeluaran

Kepadatan Penduduk A tdk

B tdk

(jiwa/ha) A < 300, B < 500

Jenis Sumber Air Minum ya

(PAM/Sumur) tdk

ya

ya

Konsumsi Air Minum

(< 50 l/or/hari)

ya Jarak Pembuangan

ya

ya

kotoran ke sumber air

tdk Minum (>10m)

Kedalaman Air Tanah

ya

tdk

(> 3 m dari permukaan

Permeabilitas Tanah ya

tdk (Tinggi)

Pendapatan Keluarga

tdk

(Rp/KK/Bulan)

ya

tdk

tdk Tingkat Pendidikan

Keluarga (> SD)

ya

ya

Sistem Kembar

Cubluk Tangki

Septik Sewerasi

TEKNOLOGI

pribadi

pribadi dg

pribadi dg

dg Upflow

Upflow Filter

resapan

filter

Tangki Bio Filter,

UASB. Sumber: Dikemas ulang dari Puskim, 2004 dan DLH Cimahi, 2004

Gambar 3. Bagan Alir Pemilihan Teknologi Pengolahan Air Limbah Manusia

Karena investasi IPLT dibiayai dari pinjaman bank, meskipun dengan pinjaman lunak atau dengan bunga pinjaman yang ringan, pengelola seringkali mengalami kesulitan mengembalikan pinjaman modalnya. Sampai saat ini, belum ada standar baku untuk pemilihan lokasi IPLT yang paling baik apabila ditinjau dari aspek teknis, lingkungan dan ekonomi serta keuangan. Namun, telah ada Karena investasi IPLT dibiayai dari pinjaman bank, meskipun dengan pinjaman lunak atau dengan bunga pinjaman yang ringan, pengelola seringkali mengalami kesulitan mengembalikan pinjaman modalnya. Sampai saat ini, belum ada standar baku untuk pemilihan lokasi IPLT yang paling baik apabila ditinjau dari aspek teknis, lingkungan dan ekonomi serta keuangan. Namun, telah ada

Meskipun kriteria-kriteria tersebut telah mewakili aspek teknis operasional, lingkungan dan sosial-ekonomi, hasil pemilihan lokasi sering tidak sesuai dengan keinginan pemerintah daerah setempat. Oleh karena itu, dalam proses pemilihan lokasi IPLT mulai digunakan pendekatan partisipatif dan hasilnya dianalisis dengan menggunakan metode “Analytical Hierarchy Process (AHP)” yang dikembangkan oleh Saaty (1980). Variabel-variabel keputusan yang digunakan dan ditawarkan kepada stakeholder dipilih dari kriteria-kriteria yang tertera dalam SNI ditambah variabel lain yang diusulkan oleh stakeholder pada saat proses perumusan berlangsung.

Pendekatan inipun seringkali belum memuaskan, karena sangat dipengaruhi oleh pemahaman dan persepsi perwakilan stakeholder pada masalah yang dihadapi dan harus diselesaikan. Oleh karena itu, ketika yang mewakili berubah, maka keputusan yang telah dicapai pada proses sebelumnya seringkali berubah sehingga waktu yang diperlukan dalam pengambilan keputusan secara partisipatif menjadi bertambah.

2.4 Model Dan Pendekatan Sistem

2.4.1 Model dan Pemodelan

Model, adalah abstraksi atau penyederhanaan dari sistem atau dari keadaan yang sebenarnya atau suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses (Muhammadi et al. 2001). Model, pada dasarnya merupakan gambaran suatu realitas dari seorang pemodel dan menjadi jembatan antara dunia nyata (real world) dengan dunia berpikir (thinking) untuk memecahkan masalah (Fauzi dan Anna 2005). Atas dasar hal tersebut, maka pemodelan (modeling) merupakan proses berpikir melalui urutan urutan yang logis.

Model dapat dikelompokkan menjadi model non fisik (kuantitatif, kualitatif) dan model fisik atau ikonik. Model kuantitatif adalah model yang Model dapat dikelompokkan menjadi model non fisik (kuantitatif, kualitatif) dan model fisik atau ikonik. Model kuantitatif adalah model yang

Dalam membangun model fisik, bentuk yang ditirukan sama dengan bentuk yang akan dibangun, namun dibedakan ukuran atau skalanya. Model fisik skala laboratorium, meskipun ukurannya kecil proses operasinya harus sama dengan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu, model Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) skala laboratorium yang ukurannya bisa dirancang 1/10 atau 1/100 skala sebenarnya, dioperasikan dengan mengalirkan air limbah yang kuantitasnya disesuaikan dengan ukuran atau skala laboratorium tersebut. Model fisik skala laboratorium tersebut dibangun untuk mempelajari efisiensi dan efektifitas unit yang dimodelkan sebelum dibangun skala prototipnya. Hasil model fisik tersebut adalah kriteria disain dan syarat syarat operasi dan pemeliharaan apabila diinginkan tingkat efisiensi dan efektifitas tertentu.

Model kuantitatif yang menggunakan rumus matematis dikembangkan dengan menggunakan pendekatan statistik dan dibantu pengolahannya dengan alat komputer. Lohani (1979, 1981) mengembangkan model untuk menilai efektifitas pengelolaan sampah di beberapa negara asia dengan menggunakan analisis taxonomi dan analisis faktor. Model tersebut merupakan angka komposit dari sejumlah variabel yang terkait dengan pengelolaan sampah. Model yang dihasilkan memberi gambaran tentang keadaan dan peringkat pengelolaan sampah negara-negara yang termasuk ke dalam penilaian. Model matematis dengan menggunakan analisis Skalogram (Rustandi et al. 2004) dilakukan untuk menilai perkembangan wilayah. Model ini juga merupakan angka komposit dari sejumlah variabel yang terkait dengan perkembangan wilayah. Model yang dihasilkan memberi gambaran tentang keadaan dan peringkat perkembangan wilayah dan Model kuantitatif yang menggunakan rumus matematis dikembangkan dengan menggunakan pendekatan statistik dan dibantu pengolahannya dengan alat komputer. Lohani (1979, 1981) mengembangkan model untuk menilai efektifitas pengelolaan sampah di beberapa negara asia dengan menggunakan analisis taxonomi dan analisis faktor. Model tersebut merupakan angka komposit dari sejumlah variabel yang terkait dengan pengelolaan sampah. Model yang dihasilkan memberi gambaran tentang keadaan dan peringkat pengelolaan sampah negara-negara yang termasuk ke dalam penilaian. Model matematis dengan menggunakan analisis Skalogram (Rustandi et al. 2004) dilakukan untuk menilai perkembangan wilayah. Model ini juga merupakan angka komposit dari sejumlah variabel yang terkait dengan perkembangan wilayah. Model yang dihasilkan memberi gambaran tentang keadaan dan peringkat perkembangan wilayah dan

Model yang menggunakan pendekatan sistem dinamis, telah dikembangkan untuk menjawab berbagai pertanyaan strategis dari ratusan perusahaan dan lembaga pemerintah selama lebih dari 40 tahun (Sterman 2000, Mayo dan Wichman 2003). Masalah-masalah yang dikaji dan diselesaikan bervariasi seperti masalah rantai pengadaan (Ge et al. 2005, Venkateswaran dan Song 2005, Vieira dan César Jr. 2005), sumberdaya air (Simonovic 2002, 2003), pendidikan (Park, Chan dan Verma 2003), mitigasi lingkungan (Saeed dan Fukuda 2003), pengelolaan tempat pembuangan sampah akhir secara tebar urug atau Sanitary Landfill (Tipton dan Wigal 2004). Namun, sebagian besar penerapannya berhubungan dengan kebijakan dan manajemen. Sementara itu, kharakteristik pendekatan sistem dinamis adalah adanya hubungan sebab akibat, adanya umpan balik (feed back loop), ada respons waktu tunda, ada respons non linier, ada gambaran aturan pengambilan keputusan. Dengan karakteristik tersebut, pemodelan sistem dinamis telah dilakukan untuk 3 (tiga) tujuan (Angerhofer dan Angelides 2000) yaitu (i) membangun teori, (ii) penyelesaian masalah (Kummerow 1999, Hines and House 2001, Black and Repeening 2001, Powell at al. 2002), dan (iii) perbaikan pendekatan pemodelan itu sendiri (Maani and Maharaj 2004, Schwaninger 2004). Upaya membangun teori dan perbaikan model meskipun dilakukan melalui kombinasi konsep system thinking, soft operation research dan sistem dinamik. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh penemu sistem dinamik (Forrester 1994) , struktur umpan balik level (tampungan) dan rate (aliran) di dalam sistem dinamik tetap merupakan landasan untuk menggambarkan keadaan nyata dari sistem sosial dan sistem fisik.

Model- model non fisik untuk membantu proses pengambilan keputusan, khususnya yang menggunakan pendekatan sistem dinamik, dapat dinyatakan baik apabila kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang ditirukan relatif kecil. Model yang memenuhi syarat dan mampu dijadikan sarana analisis kebijakan haruslah merupakan wahana untuk menemukan jalan dan cara intervensi yang efektif dalam suatu sistem (Tasrif 2001). Oleh karena itu, model yang dibentuk untuk tujuan tersebut harus memenuhi syarat berikut:

a. Mempunyai unsur waktu karena pengaruh intervensi kebijakan merupakan kejadian berikutnya

b. Mampu mensimulasikan berbagai intervensi dan dapat memunculkan perilaku sistem karena adanya intervensi tersebut

c. Perilaku sistem tersebut dapat merupakan perilaku yang pernah dialami dan teramati (historis) ataupun perilaku yang belum pernah teramati

d. Memungkinkan mensimulasikan suatu intervensi yang pengaruhnya dapat berbeda secara dramatik dalam jangka pendek maupun jangka panjang

e. Mampu menjelaskan me gapa suatu perilaku tertentu dapat terjadi Penggunaan model akan sangat bermanfaat bila menghadapi suatu sistem

yang kompleks (Muhammadi et al. 2001). Di dalam menghasilkan bangunan pemikiran (model) yang bersifat sistemik, terdapat lima langkah yang dapat ditempuh yaitu (i) identifikasi proses menghasilkan kejadian nyata, (ii) identifikasi kejadian yang diinginkan, (iii) identifikasi kesenjangan antara kenyataan dengan keinginan, (iv) identifikasi dinamika menutup kesenjangan, (v) analisis kebijakan.

Identifikasi proses dilakukan untuk mengungkapkan pemikiran tentang proses nyata (actual transformation) yang menimbulkan kejadian nyata (actual state ). Proses nyata tersebut merujuk kepada objektivitas dan bukan proses yang didasarkan atau subyektivitas. Selanjutnya, identifikasi kejadian yang diinginkan dilakukan untuk memikirkan kejadian yang seharusnya, yang diinginkan, yang dituju, yang ditargetkan ataupun yang direncanakan (desired state). Proses tersebut merujuk kepada waktu mendatang, pandangan ke depan atau visi. Agar visi tidak dianggap mimpi, maka perumusannya harus memenuhi kriteria layak (feasible) dan dapat diterima (acceptable). Layak artinya dapat diantisipasi akan Identifikasi proses dilakukan untuk mengungkapkan pemikiran tentang proses nyata (actual transformation) yang menimbulkan kejadian nyata (actual state ). Proses nyata tersebut merujuk kepada objektivitas dan bukan proses yang didasarkan atau subyektivitas. Selanjutnya, identifikasi kejadian yang diinginkan dilakukan untuk memikirkan kejadian yang seharusnya, yang diinginkan, yang dituju, yang ditargetkan ataupun yang direncanakan (desired state). Proses tersebut merujuk kepada waktu mendatang, pandangan ke depan atau visi. Agar visi tidak dianggap mimpi, maka perumusannya harus memenuhi kriteria layak (feasible) dan dapat diterima (acceptable). Layak artinya dapat diantisipasi akan

Identifikasi kesenjangan antara kenyataan dengan yang diinginkan diperlukan untuk mengukur tingkat kesenjangan yang terjadi. Ukuran tingkat kesenjangan dinyatakan dalam ukuran kuantitatif atau kualitatif. Selanjutnya, identifikasi mekanisme menutup kesenjangan dilakukan untuk mengenali dinamika variabel- variabel dan mekanisme proses untuk menutup kesenjangan yang terjadi. Dinamika tersebut merupakan aliran informasi tentang keputusan- keputusan yang telah bekerja dalam sistem. Keputusan-keputusan tersebut pada dasarnya adalah pemikiran yang dihasilkan melalui proses pembelajaran (learning), yang dapat bersifat reaktif ataupun kreatif. Pemikiran reaktif ditunjukkan dengan tindakan yang bentuk atau polanya sama dengan tindakan masa lampau dan kurang antisipatif terhadap kemungkinan kejadian masa mendatang. Sebaliknya, pemikiran kreatif ditunjukkan dengan tindakan yang bentuk atau polanya berbeda dengan tindakan masa lampau dan dapat bersifat penyesuaian tindakan masa lampau (adjustment) ataupun berorientasi ke masa datang (visionary), bersifat baru atau terobosan. Sebagai sebuah proses dinamis, mekanisme tersebut bekerja dalam dimensi waktu karena perencanaan suatu tindakan sampai ke pelaksanaannya memerlukan waktu. Sementara itu sistem yang ada tetap bekerja menghasilkan kinerja dan mempengaruhi tingkat kesenjangan antara kejadian aktual dengan seharusnya.

Analisis kebijakan adalah proses penyusunan alternatif tindakan atau keputusan (policy) yang akan diambil untuk mempengaruhi proses nyata (actual transformation ) sebuah sistem dalam menciptakan kejadian nyata (actual state). Keputusan tersebut dimaksudkan untuk mencapai kejadian yang diinginkan (desired state). Alternatif tersebut dapat satu atau kombinasi bentuk-bentuk intervensi, baik yang bersifat struktural atau fungsional. Intervensi struktural bersifat mempengaruhi mekanisme interaksi pada sistem, sedangkan intervensi fungsional bersifat mempengaruhi fungsi unsur dalam sistem. Pengembangan dan Analisis kebijakan adalah proses penyusunan alternatif tindakan atau keputusan (policy) yang akan diambil untuk mempengaruhi proses nyata (actual transformation ) sebuah sistem dalam menciptakan kejadian nyata (actual state). Keputusan tersebut dimaksudkan untuk mencapai kejadian yang diinginkan (desired state). Alternatif tersebut dapat satu atau kombinasi bentuk-bentuk intervensi, baik yang bersifat struktural atau fungsional. Intervensi struktural bersifat mempengaruhi mekanisme interaksi pada sistem, sedangkan intervensi fungsional bersifat mempengaruhi fungsi unsur dalam sistem. Pengembangan dan

2.4.2 Sistem dan Pendekatan Sistem

Sistem adalah gugus/kumpulan dari elemen/komponen yang saling terkait dan terorganisasi untuk mencapai tujuan/gugus tujuan. Menurut Muhammadi et al. (2001), sistem adalah keseluruhan interaksi antar unsur atau benda yang konkrit maupun abstrak dari sebuah objek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja untuk mencapai tujuan.

Dalam kaitannya dengan sanitasi, maka sistem sanitasi merupakan keseluruhan interaksi antara unsur-unsur yang terdapat dalam proses pengumpulan, pengolahan dan pembuangan limbah cair dan sampah. Kombinasi unsur-unsur infrastruktur di dalam keseluruhan komponen proses pembuangan kotoran, pengangkutan, pengolahan, pembuangan atau pemanfaatan kembali (daur ulang) hasil olahan akan membentuk berbagai variasi sistem.

Kata kumpulan atau keseluruhan dalam sistem mencerminkan kekuatan (power) yang dihasilkan oleh elemen/komponen/unsur yang saling terkait dan berinteraksi secara terorganisasi. Keterkaitan dan interaksi mencerminkan adanya ikatan atau hubungan antar unsur yang memberi bentuk atau struktur kepada objek sehingga dapat membedakan dengan objek lain dan mempengaruhi perilaku dari objek itu sendiri.

Elemen/komponen/unsur adalah benda, baik konkrit atau abstrak yang menyusun objek suatu sistem. Unjuk kerja atau kinerja sistem ditentukan oleh fungsi elemen-elemennya. Gangguan terhadap salah satu fungsi elemen atau unsur sistem akan mempengaruhi unsur lain sehingga mempengaruhi kinerja sistem secara keseluruhan. Unsur yang menyusun sistem ini disebut juga bagian sistem atau subsistem.

Objek adalah sistem yang menjadi perhatian dalam suatu batas tertentu sehingga dapat dibedakan antara sistem dengan lingkungan sistem. Artinya semua Objek adalah sistem yang menjadi perhatian dalam suatu batas tertentu sehingga dapat dibedakan antara sistem dengan lingkungan sistem. Artinya semua

Dalam hubungannya dengan batas sistem tersebut, maka sistem dapat digolongkan pada 2 (dua) jenis yaitu sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem terbuka adalah sebuah sistem dimana output yang dihasilkan merupakan tanggapan dari input, tetapi tidak ada pengaruhnya terhadap output. Sistem terbuka dapat diartikan pula sebagai sistem yang tidak menyediakan sarana koreksi sehingga memerlukan faktor eksternal untuk melakukan koreksi yang diperlukan. Sistem tertutup adalah sistem dimana output yang dihasilkan akan merupakan tanggapan dari input dan perilaku sistem dipengaruhi oleh output tersebut. Sistem tertutup juga dapat diartikan sebagai sistem yang dalam mencapai tujuannya, menyediakan sarana koreksi di dalam sistem itu sendiri.

Pengertian tujuan dalam sistem adalah kinerja sistem yang teramati atau diinginkan. Kinerja yang teramati merupakan hasil yang telah dicapai oleh kerja sistem, yaitu hasil keseluruhan interaksi antar uns ur dalam batas lingkungan tertentu. Kinerja yang diinginkan merupakan hasil yang akan diwujudkan oleh sistem melalui keseluruhan interaksi antar unsur dalam batas lingkungan tertentu. Perumusan tujuan sistem ini akan membantu memudahkan menarik garis batas dari sistem yang menjadi perhatian. Hal itu berarti bahwa benda, baik konkrit maupun abstrak, yang telah menyumbang secara langsung terhadap pencapaian tujuan sistem dikategorikan sebagai elemen/komponen/unsur. Sebaliknya, benda yang mempengaruhi dan/atau memberi sumbangan tidak langsung dapat dikategorikan sebagai lingkungan.

Pendekatan sistem (system approach) adalah cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan mengidentifikasi sejumlah kebutuhan sehingga menghasilkan operasi sistem yang dianggap efektif (Eriyatno 2003). Umumnya, pendekatan sistem ditandai 2 (dua) hal, yaitu (i) mencari faktor penting yang ada untuk mendapatkan solusi yang baik dalam menyelesaikan permasalahan, dan (ii) membuat suatu model kuantitatif untuk membantu pengambilan keputusan secara rasional. Di dalam penelitiannya tentang pengelolaan lumpur tinja yang Pendekatan sistem (system approach) adalah cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan mengidentifikasi sejumlah kebutuhan sehingga menghasilkan operasi sistem yang dianggap efektif (Eriyatno 2003). Umumnya, pendekatan sistem ditandai 2 (dua) hal, yaitu (i) mencari faktor penting yang ada untuk mendapatkan solusi yang baik dalam menyelesaikan permasalahan, dan (ii) membuat suatu model kuantitatif untuk membantu pengambilan keputusan secara rasional. Di dalam penelitiannya tentang pengelolaan lumpur tinja yang

CO 2 ) dan utrofikasi. Selanjutnya, pengembangan model kuantitatif yang digunakan untuk membantu pengembilan keputusan didasarkan pada proses proses yang berhubungan dengan pengelolaan lumpur tinja yaitu (i) pengolahan air limbah (wastewater treatment) yang terdiri dari pengolahan biologis dan kimiawi (ii) pengolahan lumpur tinja (sludge treatment) yang terdiri dari pengomposan dan pemeraman (digestion) dan (iii) pembuangan/pemanfaatan hasil olahan (disposal/use) yang dilakukan melalui sistem rebar urug higienis (sanitary landfill) dan pemanfaatannya untuk pertanian.

Pendekatan sistem dapat diartikan pula sebagai suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis (Marimin 2004). Selanjutnya, manajemen sistem dilakukan dengan mengarahkan perhatian kepada berbagai ciri dasar sistem yang perubahan dan gerakannya akan mempengaruhi keberhasilan suatu sistem. Dengan cara tersebut diketahui faktor- faktor yang mempengaruhi perilaku dan keberhasilan suatu organisasi atau suatu sistem. Langkah- langkah yang diperlukan dalam melakukan pendekatan sistem adalah (i) analisis kebutuhan, (ii) perumusan masalah, (iii) identifikasi sistem, (iv) pemodelan sistem, (v) kalibrasi dan verifikasi, dan (vi) implementasi (Eriyatno 2003, Marimin 2004).

Analisis kebutuhan dilakukan untuk memberi gambaran mengenai kebutuhan-kebutuhan yang ada, kemudian melakukan pengembangan terhadap kebutuhan-kebutuhan yang dijelaskan tersebut. Analisis ini juga ditujukan untuk memperoleh gambaran tentang persamaan maupun perbedaan kebutuhan para pihak yang berkepentingan (stakeholder) yang wajib atau bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah- masalah yang dihadapi (AusGUIDE 2000). Perumusan masalah dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai kebutuhan- kebutuhan yang saling bertentangan sehingga memerlukan penyelesaian. Analisis kebutuhan selalu menyangkut interaksi antara respons yang timbul dari seorang pengambil keputusan terhadap jalannya sistem. Analisis ini dapat dilakukan Analisis kebutuhan dilakukan untuk memberi gambaran mengenai kebutuhan-kebutuhan yang ada, kemudian melakukan pengembangan terhadap kebutuhan-kebutuhan yang dijelaskan tersebut. Analisis ini juga ditujukan untuk memperoleh gambaran tentang persamaan maupun perbedaan kebutuhan para pihak yang berkepentingan (stakeholder) yang wajib atau bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah- masalah yang dihadapi (AusGUIDE 2000). Perumusan masalah dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai kebutuhan- kebutuhan yang saling bertentangan sehingga memerlukan penyelesaian. Analisis kebutuhan selalu menyangkut interaksi antara respons yang timbul dari seorang pengambil keputusan terhadap jalannya sistem. Analisis ini dapat dilakukan

Identifikasi sistem merupakan rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Identifikasi sistem digambarkan dalam diagram lingkar sebab akibat (causal-loop) kemudian menginterpretasikannya ke dalam konsep kotak gelap (black box). Interpretasi tersebut berisi informasi yang dikategorikan menjadi 3 (tiga) golongan yaitu (i) peubah input terkendali maupun tak terkendali, (ii) peubah output yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan, dan (iii) parameter-parameter yang membatasi struktur sistem (Eriyatno 2003).

Pemodelan (modelling) sistem yang merupakan proses merepresentasikan suatu realitas seorang pemodel, pada dasarnya adalah teknik untuk membantu menyusun konsep model sistem, kemudian mengukur keandala nnya dengan cara memperkirakan konsekuensi sistem terhadap tindakan yang dilakukan. Upaya penyederhanaan tersebut membawa konsekuensi bahwa model yang dibangun tidak pernah sempurna (Sterman 2000). Namun, pemodelan memberi manfaat pada percepatan proses pengambilan keputusan. Apabila tidak dilakukan melalui pemodelan dan tindakan-tindakan yang diperlukan dicobakan secara langsung terhadap sistem sebenarnya, maka biaya analisisnya lebih mahal, waktu yang diperlukan lebih lama, tidak dapat dilakukan manipulasi melalui perubahan variabel- variabelnya, biaya kesalahan lebih besar dan alternatif solusinya terbatas.

Dokumen yang terkait

Anal isi s L e ve l Pe r tanyaan p ad a S oal Ce r ita d alam B u k u T e k s M at e m at ik a Pe n u n jang S MK Pr ogr a m Keahl ian T e k n ologi , Kese h at an , d an Pe r tani an Kelas X T e r b itan E r lan gga B e r d asarkan T ak s on om i S OL O

2 99 16

STUDI PENGGUNAAN ACE-INHIBITOR PADA PASIEN CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) (Penelitian dilakukan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan)

15 136 28

PENGEMBANGAN MEDIA KOPER-X (KOTAK PERKALIAN) UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN SISWA PADA MATERI PERKALIAN SISWA KELAS II DI SD NEGERI MOJOLANGU 2

8 90 18

DISKRESI DALAM PELAKSANAAN PROGRAM BANTUAN SISWA MISKIN SEKOLAH DASAR (BSM-SD) (Studi Kasus di Sekolah Dasar Negeri Sebanen II Kalisat Kabupaten Jember)

1 35 17

IMPLEMENTASI MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE STAD (STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISION) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA POKOK BAHASAN MENGENAL UNSUR BANGUN DATAR KELAS II SDN LANGKAP 01 BANGSALSARI

1 60 18

Peningkatan keterampilan menyimak melalui penerapan metode bercerita pada siswa kelas II SDN Pamulang Permai Tangerang Selatan Tahun Pelajaran 2013/2014

20 223 100

TINJAUAN TENTANG ALASAN PERUBAHAN KEBIASAAN NYIRIH MENJADI MEROKOK DI KALANGAN IBU-IBU DI DUSUN TRIMO HARJO II KELURAHAN BUMI HARJO KECAMATAN BUAY BAHUGA KABUPATEN WAY KANAN

3 73 70

TINJAUAN HISTORIS GERAKAN SERIKAT BURUH DI SEMARANG PADA MASA KOLONIAL BELANDA TAHUN 1917-1923

0 26 47

TINJAUAN DESKRIPTIF TENTANG SISTEM PEWARISAN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN NATAR KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

3 35 57

TEKNIK REAKSI KIMIA II

0 26 55