BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani 2.1.1 Arecaceae (Palem-Paleman) - Pemanfaatan Tumbuhan Palem–Paleman (Arecaceae) Pada Masyarakat Aceh Di Kecamatan Gandapura Kabupaten Bireuen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Botani

2.1.1 Arecaceae (Palem-Paleman)

  Palem merupakan salah satu kelompok tumbuhan yang telah lama di kenal sifat khas dan unik serta keragaman yang cukup tinggi, baik dari corak maupun bentuk (Heatubun, 1999 dalam Gusbager et al., 2003). Indonesia memiliki lebih kurang 400 jenis palem (Purwanto, 1999 dalam Gusbager et al., 2003). Penampakan yang cantik, indah, gagah dan anggun menyebabkan palem sebagai tanaman favorit penghias ruangan lebih dari 100 tahun lalu (Erna, 1994 dalam Gusbager et al., 2003). Palem tidak hanya digunakan sebagai penghias ruangan tetapi juga disekitar halaman, baik halaman rumah atau perkantoran. Manfaat palem, selain tanaman hias juga sebagai sumber makanan, bahan bangunan, bahan kerajinan atau anyaman, dan beragam kebutuhan lain (Essig, 1977 dalam Gusbager et al., 2003)

  Palem adalah pohon atau tanaman memanjat, dengan batang yang kerap kali tidak bercabang dan mempunyai bekas daun yang membentuk cincin, kadang kadang dari batang yang terletak di atas tanah atau akar rimpang dapat keluar beberapa batang (membentuk rumpun). Daun menyirip atau membentuk kipas seperti pada palem kipas (Wisam, 2007).

  Palem merupakan salah satu hasil hutan non kayu yang banyak di jumpai pada daerah sub tropik hingga daerah tropik. Umumnya palem tumbuh dan menyebar pada hutan daratan rendah dan merupakan salah satu komponen penting dalam menyusun vegetasi hutan. Nega et al.,(2003) Menyatakan secara umum suku Arecaceae mempunyai ciri-ciri:

  Batangnya tumbuh tegak ke atas dan jarang bercabang

   Batangnya beruas-ruas dan tidak memiliki kambium sejati

   Akarnya tumbuh dari pangkal batang dan berbentuk akar serabut

   Berdaun majemuk

   4

  Tangkai daun memiliki pelepah daun yang membungkus batang.

   Bunga tersusun dalam karangan bunga (mayang)

   Buahnya ditutupi lapisan luar yang relatif tebal (biasa disebut sabut)

   Biji buah relatif cair pada saat masih muda dan semakin mengeras ketika

   tua. Banyak anggota famili ini yang dibudidayakan orang sebagai bahan tumbuhan yang popular dari famili ini yaitu : korma (Phoenix dactylifera), kelapa (Cocos nucifera) dan kelapa sawit (Elaeis guinensis).

  Sub Famili Palem

  Beberapa sub-famili Palem yang terdapat di Indonesia adalah :

A. Phoenicoideae a) Arenga piñnata (Aren).

  Palem ini berukuran sedang hingga besar, tumbuh tunggal dan tegak, dengan tinggi pohon dapat mencapai 4-7 m pada saat dewasa, batang bentuk bulat/silindris, memiliki diameter berkisar antara 30-35 cm dengan bentuk ruas nyata serta panjang ruas 20-25 cm, warna batang muda hijau, tua coklat, daun berwarna hijau, keadaan permukaan halus, Palem ini tumbuh pada kondisi tanah yang kering dan sedikit berbatu, selain itu berdasarkan kesenangan terhadap cehaya jenis ini suka pada tempat kurang naungan, karena jenis ini merupakan salah satu jenis yang toleran terhadap cahaya. pemanfaatan jenis palem ini biasa di ambil niranya oleh masyarakat, sedangkan tulang daunnya dijadikan sapu (Nega et al., 2003).

  Aren merupakan genus famili palem, iklim dan curah hujan yang dibutuhkan aren bertempat tumbuh di pegunungan tepi, aren membutuhkan suhu yang tinggi, paling sedikit suhu udara 25

  C, pada waktu malam kemampuan hidup aren berubah manjadi lamban. Faktor lingkungan yang lebih menentukan ialah curah hujan, aren lebih senang ditanam di daerah yang curah hujannya merata sepanjang tahun, atau yang hujannya jatuh selama 7-10 bulan dalam setahun (Wisam, 2007)

2. Coryphoideae a . Corypha elata Roxb (Gebang).

  Bagi penduduk di pesisir Indonesia, gebang cukup berperan dalam kehidupan sehari hari. Daunnya besar, bundar dan kaku sehingga sering di gunakan untuk atap dan kerajinan tangan seperti tikar, keranjang dan kipas. Nira yang disedap dari pembungaannya dapat dibuat gula atau alkohol. Umbut setiap pohon, dan sagu gebang berkhasiat sebagai obat untuk penyakit usus. Daging buah yang muda dipakai untuk campuran dalam minuman. Bila buah menua, dagingnya beracun. Menurut laporan yang lain ramuan akar gebang dapat digunakan untuk obat sakit murus-murus, disamping itu, palem ini mempunyai nilai sebagai tanaman hias kerena bentuk tajuknya yang bagus (LIPI, 1978).

b. Johannesteijmannia altifrons (Daun payung).

  Palem ini mempunyai daun yang besar, lebar dan relatif kuat. Di pedalaman Semenanjung Malaya dan Sarawak orang sering mempergunakannya sebagai atap, karena penggunaanya maka jenis ini disebut daun payung. Daunnya yang berbentuk tajuk yang cukup indah. Di Indonesia penyebaran tanaman ini sangat terbatas sekali. Antara tahun 1880-1940 tumbuhan ini dijumpai di daerah Aceh dan pantai timur Sumatera. Di semenanjung Malaya dan Sarawak, Kalimantan Utara tumbuhan ini paling sering dijumpai. Biasanya palem ini tumbuh di hutan- hutan yang lebat dan merupakan tumbuhan pada skala hutan bagian bawah. Jarang dijumpai di tempat yang terbuka. Menyukai daerah dengan ketinggian 25-1200 m dpl ( LIPI, 1978).

  Palem ini tumbuhnya tunggal. Tingginya mencapai 6 m. Daunnya lebar berbentuk belah ketupat. Lebar daun tampak bervariasi menurut keadaan geografi daerahnya. Perbungaannya berbentuk tandan yang bagian pangkalnya ditutupi oleh beberapa seludang bunga. Bunganya berwarna putih. Buahnya berwarna coklat yang permukaannya kasar, ditutupi oleh benjolan–benjolan kulit semacam gabus yang berbentuk kerucut.

  c . Licuala grandis (Palas payung).

  Tumbuhan yang berasal dari Papua Nugini ini daunnya bundar, berukuran besar, dan tepinya bergelombang Di Indonesia sudah digunakan sebagai tanaman hias. Disenangi karena bentuk daunnya dan tubuhnya yang langsing, secara alam jenis ini menyukai daerah daratan rendah. Tumbuhan tidak berumpun. Batangnya dapat mencapai tinggi 2 m. Seperti batang palem pada umumnya, palas berbatang daunnya berduri. Pembungaan dan pembuahannya tumbuh di antara ketiak daun.

  Buah yang masak berwarna merah. Buah buah tersebut mempunyai kulit yang tipis dan berwarna merah. Perbanyakan terjadi melalui bijinya, karenanya tumbuhnya tidak merumpun. Pertumbuhannya relatif lambat, oleh karena itu palas payung ini baik sekali untuk tanaman hias.

3. Borassoideae a. Borrassus flabellifer (Lontar,).

  Palem ini merupakan pohon yang tumbuhnya tunggal dan berbatang lurus yang dapat mencapai tinggi sampai 30 m. Batangnya seperti batang pohon kelapa atau bahkan lebih besar lagi. Permukaan batangnya lebih halus dan berwarna agak kehitam hitaman. Daunnya berbentuk seperti kipas yang bundar. Tepinya banyak mempunyai lekukan yang lancip. Daun daun tuannya tidak segera luruh tetapi tetap melekat di ujung batang, sehingga tajuk pohonnya menjadi bundar. Perbungaannya berbentuk tandan. Perbungaan jantan dan betinanya masing masing terletak pada pohon yang berlainan. Buahnya besar, bulat, di dalamnya banyak bersabut, berair dan berbiji tiga.

  Asal tumbuhan ini masih belum diketahui dengan pasti, mungkin merupakan tumbuhan asli Indonesia. Diduga rontal yang ada di Afrika tropik, India, Birma, Siam, Malaysia sampai ke Nusa Tenggara Timur masih merupakan jenis yang sama. Tumbuhan ini menyukai tempat yang terbuka, kering dan berudara pantai. Tumbuh baik pada ketinggian 0-500 m dpl.

a. Borassodendron borneensis Dransfield (Bindang, Budang)

  Tumbuhan ini dijumpai di kawasan Kutai dan Kalimantan Timur. Di Sarawak, Malaysia umbut bindang diperjual balikan sebagai bahan sayur mayur, permukaan umbutnya agak kasar, wangi, manis, dan enak rasanya. Bindang dijumpai tumbuh secara alami di Kutei, dan Sarawak. Tumbuh di hutan-hutan karangas dan daratan rendah diantara jenis-jenis lain yang merajai tepi hutan mencapai tinggi 20 m. Helaian daunnya bundar bercelah-celah dalam. Pembungaan jantan dan betinanya masing-masing terletak pada pohon yang berlainan, menggantung dan berupa tandan yang bercabang banyak. Buahnya mirip buah lontar, bersabut, mempunyai tempurung dan daging buah.

4. Lepidocaryoideae a. Calamus caesius (Rotan sega, Rotan sega putih).

  Tumbuhan ini tergolong jenis rotan yang berkualitas baik, dan merupakan tumbuhan asli kawasan Semenanjung Malaysia, Sumatera dan Kalimantan. Umumnya tumbuh di hutan-hutan maranti di daratan rendah sampai pada ketinggian 200 m dpl. Tumbuhnya berumpun dan memanjat yang dapat mencapai tinggi sampai 30 meter. Daunnya berbentuk sirip. Anak anak daunnya berbentuk lanset memanjang. Tangkai daunnya berduri. Duri-durinya tidak rapat. Pembungaan berbentuk malai. Pembungaan dapat mencapai 3 meter. Buahnya berbentuk lonjong, panjang 1,5 cm, bersisik. Batangnya dapat dipakai untuk bahan pembuat meja, kursi, tongkat, alat peraga anyam anyaman dan lainnya. Untuk keperluan tersebut dapat dipakai batang yang utuh ataupun belahan-belahan batang yang telah diraut.

  b.

  Daemonorops melanochaetes (Penjalin manis).

  Seperti halnya rotan yang lain, rotan dari jenis ini baik juga untuk bahan baku pembuatan meja, kursi dan kerajinan lainnya. Dapat tumbuh di daratan rendah sampai daratan tinggi pada ketinggian 1500 m dpl. Tumbuhnya di hutan hutan tropik yang lembab di Sumatera dan Jawa. Rotan ini dikenal ada 5 varietas yang bentuknya hampir sama. Tumbuhnya tunggal atau berumpun, tingginya sampai 15 meter. Garis tengah batangnya sampai 2,5 cm. Daunnya berbentuk sirip, panjangnya sampai 4 meter. Jumlah anak anak daunnya mencapai 40 pasang. Bagian ujung tulang daunnya memanjang sampai 2,5 cm. Daunnya berbentuk sirip. Panjangnya sampai 4 meter. Kegunaan selain untuk bahan baku kerajinan tangan, ternyata umbut rotan ini dimakan di Keratonan yokyakarta.

c. Salacca edulis (Salak)

  Tumbuhan ini banyak dibudidayakan di Indonesia. Jenis salak tumbuh baik di daratan rendah sampai pada ketinggian 700 m dpl. Dengan udara yang agak panas. Tingginya mencapai 4,5-7 m. Tumbuhnya berumpun. Batang umumnya hampir tidak kelihatan karena pohon tertutup oleh daun yang tersusun rapat menghalangi batang. Kadang kadang-batangnya melata dan dapat bertunas. Pelepah dan tangkai daunnya berduri panjang. Perbungaan terdiri dari jantan dan betina yang masing-masing terletak pada pohon yang berlainan. Buahnya tersusun dalam tandan, terletak di antara pelepah daun. Buah bulat sampai seperti gasing.

5. Cocoideae a . Cocos nucifera (Kelapa).

  Pohonnya tegak, kadang kadang melengkung, berbatang bulat. Tinggi antara 5-30 meter. Daunnya bersirip genap. Bunganya berwarna kekuning-kuningan atau kehijau-hijauan yang tersusun dalam bentuk malai. Berbunga terus-menerus sepanjang tahun. Di dalam tandan, bunga yang betina terletak di pangkal sedangkan yang jantannya di ujung tandan. Buahnya bulat, berserabut, berbatok dan berdaging, buah berukuran besar. Kelapa banyak ditemukan tumbuh di daerah pantai, pada tanah yang mengandung garam. Tumbuh baik di bawah ketinggian 300 m dpl dengan curah hujan rata rata antara 1270 -2550 mm / tahun.

b. Elaeis guineensis (Kelapa sawit)

  Tumbuhan ini berasal dari Afrika Tropika. Di Indonesia yang pertama kali menanam adalah di Kebun Raya Bogor, kemudian bijinya disebarkan ke Sumatera Timur hingga sekarang penyebarannya sudah sangat luas. Tanaman ini menyukai iklim tropik dengan suhu 20–210 C dan tumbuh baik pada suhu 24-270 C dengan kelembaban yang tinggi, yang bercurah hujan ± 200 cm. Tanah yang cocok

6. Arecoideae

  a. Areca catechu (Pinang sirih)

  Tumbuhan ini umum dijumpai di kawasan Asia Tenggara. Diduga berasal dari filipina. Sekarang tumbuhan ini sudah tersebar luas dari pantai timur Afrika tropik sampai ke pulauan Fiji. Jenis ini dapat tumbuh pada ketinggian 750 m dpl. Pinang sirih berbatang lurus dan agak licin. Tinggi rata rata 10 meter. Berdaun sirip agak melengkung. Pelepah daunnya berupa seludang. Anak anak daunnya lebar. Bunga bunganya tersusun dalam suatu bulir. Bunga bunga betina terletak di bagian pangkal, sedangkan jantannya di bagian ujung, Selain untuk menyirih endosperma buah tanaman ini di pakai untuk bahan pernis. Umbut batangnya dapat dipergunakan untuk campuran ramuan obat obatan.

  b. Pinanga densiflora (Pinang Tutul)

  Palem ini disebut pinang tutul karena anak-anak daunnya sering mempunyai bercak-bercak hijau tua seperti tutul. Pinang tutul tumbuh secara alami di Sumatera. Umum dijumpai di Aceh dan Bengkulu. Tumbuhan ini menyukai tempat yang agak basah. Biasanya menyenangi daerah dekat aliran sungai, pada ketinggian antara 300–800 m dpl. Tumbuhnya berumpun. Tingginya sampai 4 m. Batangnya berukuran kecil, secara menyeluruh tidak jelas tampak. Berdaun sirip yang pelepah daunnya berbentuk seludang. Tulang daun yang mudanya berwarna merah. Besar anak-anak daunnya agak bervariasi. Pada anak daun yang muda terdapat bercak-bercak hijau tua. Bercak-bercak tersebut menghilang pada daun yang tua. Perbungaan berbentuk malai, menggantung. Tangkai tandannya berwarna kuning. Buahnya berwarna merah jambu. Pada umur yang relatif muda, palem ini telah dapat menghasilkan buah.

7. Nypoideae a. Nypa fruticans (Nipah).

  Tumbuhan ini sudah tak asing lagi bagi penduduk pesisir. Daunnya umum topi, payung dan lain-lain. Di samping buahnya dapat dimakan juga dapat menghasilkan nira yang kadang-kadang diolah menjadi gula. Nipa tersebar di sepanjang daerah tropik, mulai dari Sri Lanka sampai kepulauan Solomon dan Australia (LIPI, 1978).

  Tumbuhan ini tumbuh pada kondisi daerah berair, berdasarkan kesenangan terhadap cahaya, jenis ini suka pada tempat yang terbuka atau bebas naungan. Palem ini berperawakan sedang, plenantic, tinggi 5-6m, berumpun memiliki batang semu, daun berwarna hijau, jumlah daun dalam mahkota 6-8, panjang daun 400 cm, lebar daun 150-200 cm, ujung daun bifit, bentuk daun pinate, panjang anak daun 30-100 cm, lebar anak daun 3-8 cm,bentuk anak daun elongate, bentuk ujung anak daun acuminate, jumlah anak daun 40 pasang, tata letak anak daun berhadapan, panjang petiole 35-45 cm, pelepah berwarna coklat kehitaman, panjang pembungaan 120-125 cm, jumlah percabangan bunga 4-5, tata letak keluar bunga interfoliar, warna tangkai bunga coklat tua, ujung meruncing bentuk seperti corong, warna coklat. Bunga berbulir, berumah satu, warna orange. Buah bentuk lonjong, warna coklat, diameter 5-10 cm, panjang 10-15 cm, epicarp tebal berserabut, endocarp tipis keras, endosperm homogenous, berembrio basal (Nega et al., 2003).

2.1.2 Tempat Tumbuh Arecaceae (Palmae)

  Menurut Witono et al.,(2000) palem dapat tumbuh dengan baik pada tipe tanah yang berpasir, tanah gambut, tanah kapur dan tanah berbatu. Palem juga dapat tumbuh pada berbagai kemiringan dari tanah datar, tanah berbukit dan tanah berlereng terjal. Palem membutuhkan suhu rata-rata tahunan 170–250 C, curah hujan 2000 mm–2500 mm pertahun dengan rata-rata hujan turun 120- 140 hari dalam setahun dan kelembapan relative 80%. Untuk pertumbuhan palem juga memerlukan cahaya, dan cahaya yang sampai ke dasar hutan berbeda-beda sehingga menjadi ciri tersendiri untuk menentukan pertumbuhan suatu spesies palem. Palem bisa juga dilestarikan diluar kawasan hutan (ex situ) dengan cara mempelajari aspek ekologisnya sehingga dapat dibudidayakan diluar habitat

2.2. Pemanfaatan Arecaceae Secara Umum Sebagian besar masyarakat di Indonesia mengenal manfaat Arecaceae.

  Macam dan cara pemanfaatan famili ini sangat beragam tergantung dari kelompok masyarakat atau etnik tertentu, dimana masing-masing kelompok masyarakat atau etnik tersebut memiliki sistem pengelolaan dan pemanfaatan tanaman Arecaceae. Secara umum tanaman yang termasuk dalam Arecaceae mempunyai kegunaan sebagai berikut:

  Manfaat tumbuhan Arecaceae (Palmae)

  Beberapa jenis palem termasuk jenis yang serbaguna, dari segi kegunaan jenis-jenis palem dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1) Sumber karbohidrat, baik dalam bentuk pati maupun gula. 2) Sumber minyak, sudah sejak lama masyarakat Indonesia memanfaatkan kelapauntuk minyak goreng. 3) Sumber bahanan anyaman, rotan merupakan bahan anyaman berkualitas tinggi, beberapa jenis palem juga menghasilkan daun yang dapat dianyam. 4) Sumber bahan bangunan, ada jenis-jenis palem yang mempunyai batang yang kuat untuk mengganti kayu di balik batang-batang kelapa menjadi tiang-tiang atau bahan ukiran perkakas rumah tangga. 5) Sumber bahan penyegar, masih ada masyarakat di Indonesia yang masih menginang (menyirih).

  6) Sumber tanaman hias, banyak jenis palem yang sudah dimanfaatkan untuk tanaman hias di jalan maupun di pekarangan rumah. 7) Sebagai bahan campuran ramuan obat. 8) Sebagai bahan sesaji dalam upacara adat, baik upacara perkawinan maupun upacara ritual (LIPI, 1978).

  Aceh adalah propinsi yang terletak di bagian paling ujung Barat pulau Sumatera dari wilayah Republik Indonesia. Propinsi yang dijuluki dengan berbagai sebutan nama ini dalam perjalanan sejarahnya pernah mengalami puncak kemajuan peradabannya terutama pada ahkhir abat ke 16 hingga awal abat ke 17 sebagai kerajaan islam terbesar kelima di dunia, setelah kerajaan Islam Usmaniah di Turki, kerajaan islam Maroko di Afrika Utara, kerajaan Agra di Anak Benua India, dan kerajaan Aceh Darussalam di Asia Tenggara (Syarif et al., 2012).

  Sebagai daerah yang pernah mengalami kejayaan peradabannya, tentu saja Aceh tidak hanya pernah menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan pada masa itu, melainkan Aceh juga memiliki aturan pemerintahan yang baik dengan sistim nilai nilai adat masyarakat yang teratur. Akan tetapi, seiring perjalanan jaman, perjalanan sejarah Aceh kemudian juga mengalami pasang surut akibat berbagai perubahan yang tak dapat dihindari, dan akibat perubahan itu pula, Aceh pun kemudian menyandang beberapa nama dalam penyesuaian diri dengan perubahan sejarah itu.

  Kalau di masa kesultanan, Aceh dikenal dengan nama kerajaan Aceh Darussalam, setelah merdeka orang kadang-kadang menyebut nama Aceh dengan daerah “Serambi Mekkah”, “Aceh Daerah Modal”, atau “Aceh Bumi Tanah Rencong”, “Daerah Istimewa Aceh”, Nanggroe Aceh Darussalam”, dan Aceh sebagai “ Daerah Otonomi Khusus”, hingga sebutan Propinsi Aceh sekarang ini.

  Syarif.,et al(2012). Akan tetapi mulai abat ke-19 ada beberapa pengarang diantaranya Snouck Hurgronje yang kembali pada tulisan yang lebih tepat ″Atjeh″ dalam penelitiannya diberinya judul De Atjebers, Cara menulis inilah yang dipakai dalam teks teks resmi dan tulisan kontemporer Republik Indonesia dan juga oleh pengarang pengarang karya karya terbaru mengenai Aceh, Snouck Hurgronjo juga pernah menjelaskan bahwa biarpun ada berbagai tefsiran yang digemari orang tetapi tak satupun yang tepat , Oleh karena itu Asia Tenggara banyak toponim mempunyai etimologi yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, maka tak bakal sia sialah kalau kita sependapat seperti Marsden bahwa nama tempat ini pun berasal dari nama tumbuhan, kendati kepastian mengenai hal itupun tidak ada

  Propinsi Aceh sebagaimana teleh digambarkan di atas tidak hanya kaya dengan nama besar julukannya, tetapi juga dikenal sebagai daerah yang Serat dengan liku-liku sejarahnya yang panjang dalam berbagai warna dan bentuk kesejarahan dari masa ke masa. Semua liku liku sejarah itu penuh dengan berbagai peristiwa berdarah (peperangan), mulai dengan perang Aceh melawan Belanda tahun 1873 sampai dengan mendaratnya Jepang tahun 1942.

  Setelah kekerasan dan kekejaman jepang menjajah Aceh yang dimulai pendaratannya Maret 1942, akhirnya jepang menyerah kalah kepada sekutu dan akhirnya Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya tahun 1945. Namun Aceh setelah merdeka terus bergolak, peristiwa berdarah tak sunyi pula dengan munculnya peristiwa perang cumbok, akibat perseturuan antara ulama dan kaum Uleebalang di Aceh. Kemudian tahun 1953-1962 muncul pula peristiwa DI/TII dibawah pimpinan Tgk. Muhammad Daud Beureueuh. Usai DI/TII meletus pula peristiwa G-30-S/PKI tahun 1965, yang juga tidak sedikit memakan korban jiwa dan harta benda masyarakat Aceh, selang 10 tahun setelah peristiwa PKI muncul lagi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dibawah pimpinan Tgk. Muhammad Hasan Tiro pada tanggal 4 Desember 1976 dan gejolak GAM berikutnya berkorban lagi pada tahun 1989-2005.

  Aceh rupanya tidak cukup dengan bala dan bencana krisis dentuman senjata (perang) ALLAH SWT memberikan cobaan lagi dengan bencana yang maha dahsyat, yaitu gempa bumi berkekuatan 8,7 Skala Richter, yang disusul gelombang tsunami berkecepatan 600 km/jam, pada 26 Desember 2004. Pada tahun 2005, setelah masa emergensi pascatsunami Aceh dibangun kembali melalui program Rehabilitasi dan Rekontruksi dibawah koordinasi dan manajemen Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh dan Nias Sumatera Utara.

  Kondisi Aceh pascatsunami menghadapi fenomena baru, dimana perkembangan kehidupan budaya dan adat istiadat masyarakatnya mulai terasa pergeserannya akibat keterbukaan komunikasi multi media, ilmu pengetahuan dan teknologi dan pergaulan antar bangsa dan etnis, sehingga identitas harkat dan luhur dari tatanan kehidupan masyarakat Aceh kian terabaikan.Hal ini erat kaitannya dengan kedatangan berbagai suku bangsa di dunia yang tinggal dan bergaul dalam masyarakat Aceh, dengan program membantu Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh (Syarif et al., 2012).

  2. 4 Adat Budaya Masyarakat Aceh

  Sejarah mencatat, bahwa masyarakat Aceh pernah berperan sebagai bangsa di dunia, dibawah kepemimpinan sultan-sultan yang turun-temurun sejak sultan Ali Mughayat Syah tahun (1514-1528) sampai berakhir dengan tertangkapnya Sultan Muhammad Syah sebagai Sultan Aceh yang terakhir (1874- 1903). Di masa pemerintahan sultan–sultan itu, Aceh telah membangun diri berasaskan pada suatu tatanan adat budaya (Adat ngon hukom agama lagei zat

  

ngon sifeut ), sehingga dapat mengantarkan kebesarannya berperan di dunia

  internasional. Kala itu Aceh juga menjalin hubungan diplomatik dengan berbagai negara-negara yang berpengaruh di dunia, seperti dengan Turki Usmaniyah, Inggris, Perancis dan lain lain. Bahkan Aceh mampu membela dan membantu kerajaan-kerajaan di Semenanjung Melayu dalam melawan dan mengusir pasukan portugis yang hendak menjajah negerinya.

  Lebih dahsyat lagi adalah kemampuan Aceh dalam melawan pasukan Belanda yang hendak menjajah Aceh, sehingga terjadi peperangan panjang selama puluhan tahun (1873-1904). Bahkan kejatuhan kesultanan, Aceh terus menerus memberikan perlawanan dan tak pernah menyerahkan kedaulatannya kepada penjajah Belanda. Kekuatan dan semangat orang Aceh dalam membangun persatuan dan kesatuan melawan penjajah adalah karena berkat daya tahan budayanya yang luar biasa, yaitu “Adat Aceh”Secara teori ; adat dapat dipahami sebagai suatu realitas proses interaksi, antar individu dan kelompok manusia yang melahirkan format-format nilai budaya berwujut norma, moral, hukum, seni dan tatanan aturan–aturan yang satu dengan lainnya berkorelasi menjadi suatu sistem. Sistem inilah yang mengikat masyarakat Aceh dalam kelompok budaya masing- masing sesuai dengan kawasan lingkungannya. kesatuan bangsa. Di Indonesia ada adat Aceh, Batak, Melayu, Minangkabau, Jawa, Bali, Bugis, dan lain-lain. Dalam kontek Aceh juga ada adat dan budaya etnis masing-masing. Yaitu Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Barat, Tamiang, Gayo, Alas, Kluet, Anek Jamee, Singkil, Simeulu dan lain-lain. Pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, adat pada umumnya lahir dari dukungan faktor faktor genealogis dan teritorial kawasan masing-masing. Dalam praktek kehidupan sehari-hari, adat dipandang sebagai kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang dan berkelanjutan dalam kehidupan masyarakat. Demikian juga fungsi adat Aceh yang pada dasarnya dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: 1.

  Adat sebagai adat istiadat adalah kebiasan-kebiasaan prilaku yang hidup dan berkembang dalam membangun prilaku masyarakat yang tertip dan teratur, hirarki, seremonial, ritual untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan dalam masyarakat.

  2. Adat sebagai norma adalah kaedah hukum, untuk memelihara dan membangun keseimbangan (equilibrium) kehidupan masyarakat dengan ketentuan, barangsiapa melanggarnya akan mendapatkan sanksi dari masyarakat.

  Dalam upaya meningkatkan pembinaan dan pelestarian adat, pemerintah propinsi Aceh telah membentuk lembaga khusus yang disebut dengan Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA). Pembentukan LAKA merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses sejarah sosial masyarakat Aceh itu sendiri. Khususnya dalam kaitan dengan konflik politik yang terjadi di Aceh pasca terbentuknya negara Indonesia pada tahun 1945, pada tanggal 9 Juli 1986.Kemudian, pada tahun 2003 nama LAKA mengalami perubahan menjadi Majelis Adat Aceh (MAA). MAAini lahir berdasarkan keputusan Kongres Adat Aceh yang diselenggarakan oleh LAKA pada tanggal 24-28 September 2002 di Banda Aceh, dan ditetapkanlah Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, dimana salah satunya adalah Keistimewaan bidang penyelenggaraan Adat dan Adat Istiadat masyarakat Aceh.

  Bagi masyarakat Aceh, pembangunan budaya dan adat yang disertai dengan syariat, dari sudut antropologis merupakan suatu kemestian, karena nilai- an dalam membangun kesejahteraan hidupnya.

  ‟Hukom (Agama) ngon adat lagei

zat ngon sifeut, hanjeut meu-reut-reut ki nyang hawa”. Maksudnya, hukum

  dengan adat laksana zat dengan sifat, tidak boleh dicerai berai sesuka hatinya.

  Lembaga lembaga adat itu antara lain berguna sebagai: 1. Institusi /organisasi masyarakat menjadi suatu sarana /potensi yang sangat akurat untuk menggerakkan dalam pembangunan sebagai perekat mewujutkan kesatuan /kerjasama, kedamaian, kerukunan, ketentraman, dan kenyamanan bagi pencapaian kesejahtaraan hidup (dunia dan akhirat).

  2. Wahana /lembaga yang dapat dimanfaatkan /kegunaan, paling tidak ada 6 dimensi, yaitu:

  • Dimensi ritualitas/agamis
  • Dimensi ekonomis/kebutuhan hidup
  • Dimensi pelestarian lingkungan hidup
  • Dimensi hukum, norma atau kaidah
  • Demensi/ harkat/martabat, • Dimensi kompetitif/keunggulan (Syarif et al., 2012).

  2. 5 Struktur Kepemimpinan Masyarakat

  Masyarakat di Propinsi Nanggro Aceh Darussalam terdiri dari delapan sub etnis (suku bangsa). Kondisi sosial budaya masyarakat dapat dilihat dari sistem kekerabatan kelompok keluarga masyarakat, dalam hal ini yang paling dominan adalah masyarakat suku bangsa Aceh, Gayo, dan Aneuk Jamee. Masyarakat umumnya menganut sistim keluarga batih. Rumah tangga terdiri atas keluarga kecil yaitu ayah, ibu dan anak yang belum kawin. Ayah dan ibu dalam keluarga batih mempunyai peranan penting untuk mengasuh keluarga sampai dewasa. Penanaman ini sudah menjadi tanggung jawab ayah dan ibu meliputi segala kebutuhan keluarga akan sandang dan pangan, kesehatan dan pendidikan.

  Masyarakat Aceh menarik garis keturunan berdasarkan prinsip bilateral yang memperhitungkan hubungan kekerabatan, baik melalui garis ayah maupun garis ibu. Kerabat-kerabat dari ayah disebut wali atau Biek. Apabila ayah keturunan dari pihak ibu disebut sarong atau koy.

  Dalam suatu masyarakat terdapar golongan paling atas yang disebut dengan lapisan elit dan lapisan paling bawah disebut dengan lapisan biasa atau orang kebanyakan. Masyarakat Aceh mengenal adanya lapisan sosial pada masa lalu. Tradisi sistem kepemimpinan pada masa lalu terwujut dalam satu struktur mulai dari gampong (desa), mukim (kumpulan desa desa), daerah Uleebalang (distrik), daerah sagoe (kumpulan beberapa mukim), sampai kepada sultan. Dalam kepemimpinan tingkat gampong dikenal tiga unsur utama yang menjalankan pemerintahan, yakni :

  » pertama keuchik yaitu kepala gampong . Jabatan ini bersifat turun temurun dan diresmikan oleh uleebalang. Keuchik berkewajiban untuk menjaga ketertiban, keamanan dan adat istiadat dalam desanya, berusaha untuk memakmurkan kampong , memberi keadilan dalam perselisihan perselisihan. » Unsur kedua Teungku meunasah atau imum meunasah, merupakan pimpinan dalam keagamaan, mulai dari mengajar mengaji Alquran kepada anak-anak dan menanamkan dasar-dasar ketauhidan, memimpin berbagai upacara keagamaan pada hari-hari besar Islam, hingga membacakan doa dalam kenduri kenduri. » Unsur ketiga adalah tuha peut yaitu dewan orang tua yang banyak pengalaman dan paham tentang soal adat dan agama. Tuha peut atau

  ureung Tuha berperan memberi nasehat kepada Keuchik dan Imeum Meunasah .

  Berdasarkan pendekatan historis, lapisan masyarakat Aceh yang paling menonjol dapat dikelompokkan pada dua golongan, yaitu golongan umara dan

  golongan ulama . Umara 1.

  dapat diartikan sebagai pemerintah atau pejabat pelaksana pemerintah dalam satu unit wilayah kekuasaan. Contohnya seperti jabatan :

  Sultan yang merupakan pimpinan atau pejabat tertinggi dalam unit

  2. Panglima Sagoe 3.

  (Panglima Sagi) yang memimpin unit pemerintahan Sagi.

  Uleebalang 4.

  sebagai pimpinan unit pemerintah Nanggroe (negeri). Kepala Mukim 5. yang menjadi pimpinan unit pemerintahan Mukim.

  Keuchiek atau Geuchiek yang menjadi pimpinan pada unit pemerintahan Gampong (kampung). Struktur kepemimpinan Masyarakat Aceh tersebut

  dapat dilihat pada Gambar berikut ini:

Gambar 2.1 Struktur Kepemimpinan Masyarakat Aceh

  SULTAN Ulama Qadhi Uleebalang Sayed Umara Imum Mukim Uleebalang Panglima Sagoe Mukim Geuchiek Teungku-Teungku Teungku Meunasah Syarifah

  

Habib Keseluruhan pejabat tersebut di atas, dalam struktur pemerintahan di Aceh pada masa dahulu dikenal sebagai lapisan pemimpin adat, pemimpin keduniawian, atau kelompok elite sekuler.Sementara golongan ulama yang menjadi pimpinan yang mengurusi masalah-masalah keagamaan (hukom atau syariat Islam) dikenal sebagai pemimpin keagamaan atau masuk kelompok elite religius, Oleh karena para ulama ini mengurusi hal-hal yang menyangkut keagamaan, maka mereka

  

Malem ,dengan demikian tentunya sesuai dengan predikat/sebutan ulama itu

  sendiri yang berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan. Adapun golongan atau kelompok Ulama ini dapat disebutkan, yaitu :

  

1. Qadli (kadli), yaitu orang yang memimpin pengadilan agama atau yang

  dipandang mengerti mengenai hukum agama pada tingkat kerajaan dan juga pada tingkat Nanggroe yang disebut Kadli Uleebalang.

  2. Imum Mukim (Imam Mukim) , yaitu yang mengurusi masalah keagamaan

  pada tingkat pemerintahan mukim, yang bertindak sebagai imam sembahyang pada setiap hari Jumat di sebuah mesjid pada wilayah mukim yang bersangkutan.

  3. Teungku-teungku, yaitu pengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan

  seperti dayah dan rangkang, juga termasuk murid-muridnya. Bagi mereka yang sudah cukup tinggi tingkat keilmuannya, disebut dengan istilah Teungku Chiek.

  4. Teungku Meunasah , yang memimpin masalah-masalah yang berhubungan dengan keagamaan pada satu unit pemerintah Gampong (kampung).

  Selain pembagian atas kedua kelompok tersebut, yang paling menonjol dalam masyarakat Aceh tempo doeloe, terdapat lapisan-lapisan lain seperti kelompok Sayed yang bergelar habib untuk laki-laki dan Syarifah untuk perempuan. Kelompok ini dikatakan berasal dari keturunan suku Quresy.Jadi kelompok Sayed ini juga merupakan lapisan tersendiri dalam masyarakat Aceh Sudirman et al.,(2008).

  2.6 Mata Pencaharian

  Mata pencaharian masyarakat Aceh di Kecamatan Gandapura pada umumnya adalah petani dan hanya sebahagian kecil saja yang memiliki mata pencaharian sebagai Buruh Swasta, PNS, Industri Rumah Tangga, dan Pedagang, hal ini disebabkan karena kegiatan berladang dan mencari ikan merupakan kegiatan utama untuk memenuhi kebutuhan mereka dan sudah menjadi budaya Gandapura komoditas yang cocok adalah tumbuhan palem-paleman (Arecaceae) dan ikan, karena berada didaerah pinggir pantai yang bernilai ekonomis tinggi dan sebagai sumber pendapatan utama.

  2.7 Pemanfaatan Tumbuhan dalam Masyarakat Aceh

  Pemanfaatan tumbahan pada masyarakat Aceh sangatlah banyak seperti diantaranya dalam setiap upacara adat, baik upacara perkawinan, dan sunatan rasul dan lain-lain yang bersangkutan dalam urusan adat. Masyarakat Aceh menggunakan jenis tumbuhan dari Arecaceae seperti daun kelapa muda digunakan dalam pembuatan janur yang berfungsi untuk memberi tanda tempat pesta yang diletakkan dipinggir jalan, kemudian digunakan untuk pembuatan ketupat pada hari lebaran, juga kelapa yang sudah tumbuh sebagai bawaan pengantin pria yang diserahkan untuk pengantin wanita, juga pada acara empatpuluh empat hari bayi turun tanah buah kelapa dibelah diatas bayi dan dimandikan dengan air kelapa. Seperti juga pinang sirih untuk menyirih, pada mayarakat Aceh identik dengan tapak sirih atau cerana, pada jaman dahulu setiap rumah orang Aceh pasti memiliki tapak sirih karena mengunyah daun sirih menggunakan pinang suatu kebiasaan yang sudah mentradisi sejak dahulu, pinang sirih juga digunakan dalam upacara adat dan untuk menyambut tamu.