MITOS IDENTIFIKASI GENDER DALAM IKLAN

MITOS IDENTIFIKASI GENDER DALAM IKLAN
Analisis Mitologi Roland Barthes terhadap TVC Traveloka.com
Versi “Cari Tiket Pesawat” dan “Cari Hotel” 1

Inamul Haqqi Hasan

Abstract
Traveloka.com, an online travel ticket booking service based in Jakarta, has
launched its television commercials (TVC) in two versions, “Cari Tiket Pesawat”
(a man looking for a flight ticket) and “Cari Hotel” (a woman looking for a hotel
voucher). The separation of the versions into a man’s story and woman’s story
with their own “identities” is an interesting topic to be analyzed with gender
perspective. Roland Barthes’ two-order-of-signification method (or mythologies)
can be used to show how the myths of gender identification (identity determining)
constructed the TVCs by analyzing their connotations. The myths of gender
identification constructed the Traveloka.com’s TVCs by the concept of role
distribution, the stereotype of strong-man and weak-woman, subordination, and
objectification of woman.
Keywords: television commercial, gender, myth

PENDAHULUAN

Dalam konsep segmentasi dan positioning konvensional yang selama ini
banyak dipakai oleh para praktisi periklanan, memanfaatkan identifikasi
(penetapan identitas) berbasis jenis kelamin menjadi salah satu ramuan yang
dipercaya ampuh. Pembedaan sifat, watak, sikap, peran, hingga kebiasaankebiasaan kecil antara laki-laki dan perempuan dikemas sedemikian rupa dengan
harapan pesan iklan dapat tersampaikan secara efektif. Maka tidak mengherankan
jika representasi figur laki-laki dan, khususnya, perempuan dalam berbagai iklan
tampak identik.

1

Tulisan ini dimuat dalam Jurnal Kreativisual: Jurnal Disain Komunikasi Visual DKV
MSD Yogyakarta, vol. 2 no. 1 Februari 2015.

Tanpa kajian kritis mengenai identifikasi tersebut, ia akan dianggap
sebagai sesuatu yang alamiah dan tidak perlu dipertanyakan karena memang
sudah seharusnya (taken for granted). Padahal jika ditinjau secara biologis,
perbedaan jenis kelamin (sex) laki-laki dan perempuan hanyalah terletak pada
organ reproduksi, kemudian ciri sekunder seperti payudara pada perempuan dan
jakun pada laki-laki, serta hormon dan komposisi kimiawi dalam tubuh. Artinya,
konsep atau imaji kita tentang perbedaan karakter maupun peran laki-laki dan

perempuan sesungguhnya bukanlah alamiah. Itulah yang disebut dengan gender,
suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang
dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 2007: 8).
Identifikasi gender pada akhirnya merupakan stereotip (pelabelan) yang
terus hidup dalam budaya, sistem, atau ideologi patriarki. Sylvia Walby (2014:
28) mendefinisikan patriarki sebagai sebuah sistem struktur sosial dan praktikpraktik di mana laki-laki mendominasi, menindas, dan mengeksploitasi
perempuan. Walby menekankan istilah “struktur sosial” untuk menolak
determinisme biologis sebagaimana masih sering terjadi kerancuan antara sex dan
gender.
Kerancuan antara yang alamiah dan yang kultural tentang identifikasi
gender di atas dapat kita sebut sebagai “mitos”, yaitu unsur penting yang dapat
mengubah sesuatu yang kultural atau historis menjadi alamiah dan mudah
dimengerti (Hoed, 2011: 68). Mitos di Indonesia seringkali diidentikkan dengan
hal-hal gaib dan keramat yang hanya hidup dalam budaya tradisional. Namun,
dalam pengertiannya yang mutakhir, mitos juga hidup dalam peradaban modern
maupun posmodern. Mitos bagi Barthes (2006: 295) adalah sebuah mode
pertandaan (a mode of signification) yang akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian
selanjutnya.
Untuk membedah bagaimana mitos identifikasi gender beroperasi dalam
iklan, penulis mengambil studi kasus iklan televisi (TV Commercial/TVC)

Traveloka.com yang terdiri dari versi “Cari Tiket Pesawat” dan “Cari Hotel.”
Traveloka.com adalah salah satu e-commerce (perdagangan elektronik) Indonesia
yang bergerak di bidang agensi tiket pesawat. Penyedia layanan booking tiket

pesawat dan hotel secara online tersebut didirikan oleh Ferry Unardi, seorang
mantan software engineer Microsoft, yang di-launching pada Oktober 2012
(http://swa.co.id/entrepreneur/ferry-unardi-mengibarkan-traveloka-dari-titik-nol).
Awalnya perusahaan tersebut hanya mengandalkan media sosial untuk promosi,
akan tetapi di akhir 2014 mereka memperluas strategi medianya dengan
meluncurkan iklan televisi dalam dua versi sebagaimana disebut di atas.
Pemilihan TVC Traveloka.com sebagai objek kajian ini didasari tiga
alasan. Pertama, kebaruan. TVC ini dirilis pada bulan Oktober 2014, sehingga
diharapkan dapat mewakili kecenderungan narasi dan sinematik TVC saat ini.
Kedua, adanya dua versi iklan yang merupakan bentuk segregasi (pemisahan)
antara “cerita laki-laki” dan “cerita perempuan,” sehingga tepat untuk dikaji
dengan perspektif gender. Ketiga, berdasarkan produk yang ditawarkan, TVC ini
menyasar segmentasi kelas menengah perkotaan, sehingga diharapkan dapat
memberikan gambaran bagaimana mitos gender bekerja pada kalangan yang
dianggap rasional tersebut.
Sebagai pisau analisis, akan digunakan metode pertandaan dua lapis (two

order of signification), atau mitologi, yang diperkenalkan oleh Roland Barthes.
Pada akhirnya, kajian ini hendak menjawab suatu rumusan masalah yaitu
bagaimana mitos identifikasi gender membentuk penokohan laki-laki dan
perempuan dalam TVC Traveloka.com?

MITOLOGI ROLAND BARTHES
Roland Barthes (1915-1980) adalah salah satu tokoh semiotika yang juga
dikenal sebagai kritikus kebudayaan kontemporer. Ia adalah seorang Saussurean
(penerus tradisi semiologi Ferdinand de Saussure), sehingga untuk pembahasan
teori mitologi Barthes perlu dilandasi dengan teori semiologi Saussure.
Ferdinand de Saussure (1857-1913) merupakan seorang ahli linguistik
yang berasal dari Genewa, Swiss. Ia mengembangkan konsep linguistik sinkronik,
yaitu memandang bahasa sebagai suatu sistem yang eksis pada satu titik tertentu.
Konsep linguistik sinkronik Saussure adalah dikotomi yang terdiri dari langue dan
parole, sintagmatik dan paradigmatik, serta penanda dan petanda (Budiman, 2011:

24). Dikotomi penanda dan petanda inilah yang menjadi konsep dasar Saussure
dalam kajian tanda. Saussure memandang bahasa sebagai suatu sistem tanda, yaitu
suatu keterjalinan tanda-tanda menurut suatu aturan tertentu yang memungkinkan
bahasa menjalankan fungsi hakikinya sebagai sarana representasi dan komunikasi

(Widada, 2009: 17).
Tanda

(sign) terhimpun dari penanda (Inggris: signifier, Prancis:

signifiant) dan petanda (Inggris: signified, Prancis: signifie). Penanda merupakan
citra akustik (acoustic image), yaitu aspek material tanda yang bersifat sensoris
atau dapat diindrai. Sedangkan petanda adalah aspek mental dari tanda-tanda,
yang juga sering disebut dengan konsep, yaitu konsep-konsep ideasional yang
berada dalam benak (Budiman, 2011: 30).
Roland Barthes mengembangkan semiologi Saussure di atas menjadi
konsep E-R-C, yang dipinjamnya dari teori Louis Hjelmslev (seorang Saussurean
sebelum Barthes), dan sistem pertandaan berlapis. E adalah expression yang
sepadan dengan penanda, C adalah content yang sepadan dengan petanda, dan R
adalah relation yaitu relasi antara E dan C. Dalam konsepsi Saussure, sistem
pertandaan terjadi jika ada elemen E dan C serta ada R antara E dan C tersebut,
disingkat ERC (Budiman, 2011: 39). Oleh Barthes, pertandaan tersebut disebut
dengan denotasi. Selanjutnya, sistem denotasi itu hanya akan menjadi elemen E
dalam sistem pertandaan lain yang lebih luas, yaitu sistem konotasi. Pada
akhirnya muncul dua pertandaan yang bersebelahan tapi tidak bersatu, atau

dengan kata lain, berlapis (Barthes, 2012: 91).

Gambar 1. Bagan Sistem Pertandaan Berlapis
Dalam bukunya yang berjudul Mythologies, Barthes menyebutkan bahwa
dalam pertandaan lapis kedua (konotasi) tersebut berlaku “mitos”. John Fiske
menjelaskan bahwa mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau

memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan
produk kelas sosial yang telah memiliki suatu dominasi (Wibowo, 2013: 22).
Semantara bagi Van Zoest, mitos adalah suatu wahana di mana suatu ideologi
berwujud. Sejalan dengan Barthes, ia menyebutkan untuk menemukan ideologi
dalam suatu teks adalah dengan meneliti konotasi-konotasi di dalamnya (ibid, 22).

PEMBAHASAN
Analisis TVC Traveloka.com berdurasi 30 detik ini akan dilakukan dengan
mendeskripsikan denotasi dan konotasi masing-masing versi, kemudian akan
dikomparasikan untuk mengkaji mitos atau ideologi gender dalam konotasi
tersebut.

TVC versi “Cari Tiket Pesawat”


Gambar 2. Screen capture TVC versi “Cari Tiket Pesawat”
Denotasi: Seorang laki-laki, berbadan gemuk, sedang berada di ruangan
kantor hendak membeli tiket pesawat secara online. Ia membuka situs agenticket.com di komputer kerjanya dan memesan tiket pesawat Jakarta-Bali seharga
Rp 199.900. Tiba-tiba, ia mendengar suara seorang laki-laki entah dari mana
berbunyi “cek, cek, satu, cek” dilanjutkan dengan keluarnya empat tangan dari
layar monitor diiringi suara beberapa orang mengatakan “duit bagasi” berulangulang. Tangan-tangan tersebut mengambil uang dari saku si laki-laki dan ia pun
berusaha mencegah/melawan dengan tangannya.
Melalui animasi teks diceritakan biaya yang tadinya hanya Rp 199.900
menjadi Rp 400.000 karena tambahan biaya bagasi, fuel surcharge, pajak, dan

biaya transaksi. Dilengkapi dengan narasi yang mengatakan “Yang gini nggak
kejadian kalau pesen tiket pesawat di Traveloka.com, karena harga tiket yang
Anda bayarkan tanpa ada tambahan harga ini itu.” Laki-laki tersebut kemudian
digambarkan melakukan transaksi di Traveloka.com (secara virtual) dan akhirnya
ia bisa berwisata di pantai ditemani dua orang perempuan.
Konotasi. Dalam sebuah TVC, walaupun hanya berdurasi 30 detik,
banyak sekali konotasi yang dapat kita tangkap. Agar tidak terlalu melebar,
penulis mengacu pada struktur tiga babak yaitu fokus mengkaji konotasi-konotasi
dalam konstruksi pengenalan tokoh, permasalahan, dan penyelesaian.

Pertama, pengenalan tokoh. Si laki-laki adalah seseorang yang dapat kita
tangkap sebagai karyawan kantor [expression/E: baju dan setting ruang], berusia
30-an tahun [E: wajah dan badan], dengan tumpukan pekerjaan [E: banyaknya
kertas dan folder di belakangnya] yang membuatnya harus kerja lembur [E:
setting cahaya remang=malam hari]. Dari sini kita dapatkan premis mengapa ia
memesan tiket pesawat, yaitu untuk berlibur atau refreshing dari penatnya
pekerjaan kantor.
Kedua, permasalahan. Si laki-laki merasa senang [E: tersenyum] saat
mendapatkan tiket pesawat Jakarta-Bali seharga Rp 199.900, akan tetapi ternyata
harga tersebut belum termasuk biaya-biaya lain yang membuat harga yang harus
dibayarkan mencapai dua kali lipat. Jasa agen tiket online kompetitor
Traveloka.com [E: situs agen-ticket.com] yang seolah memberikan harga murah
ternyata justru merugikan karena nantinya akan menguras uang konsumennya
dengan berbagai hidden fee [E: tangan-tangan dari monitor yang mengambil
uang].
Ketiga, penyelesaian. Si laki-laki akhirnya melakukan pembelian tiket
pesawat melalui Traveloka.com dan ia pun merasa bahagia [E: ekspresi wajah dan
gesture] karena dapat berwisata [E: penggunaan baju pantai] dengan biaya yang
terprediksi, tanpa tambahan biaya “ini itu.” Klimaks kebahagiaannya adalah saat
ia berada di pantai ditemani dua perempuan seolah ia seorang raja bersama

dayang-dayangnya [E: laki-laki dalam posisi tiduran, salah satu perempuan duduk
di sampingnya menyuapinya].

TVC Versi “Cari Hotel”

Gambar 3. Screen capture TVC versi “Cari Hotel”
Denotasi: Seorang perempuan berada di ruang makan sedang menelepon
seseorang sambil menangis dan bercerita, “aku diduain lagi.” Ia kemudian
mengambil komputer tablet yang berada di dekatnya, membuka situs agenhotel.com, dan mengklik sebuah banner bertuliskan PAKET LIBURAN Rp
399.900. Setelah meletakkan komputer tabletnya, ia kembali menempelkan
telepon genggamnya ke telinga dan melanjutkan pembicaraan dengan bertanya,
“gimana dong?”
Tiba-tiba, keluar sebuah tangan dari layar komputer tablet menuju dompet
yang terletak di dekatnya dan membuka dompet tersebut. Kemudian bertambah
menjadi tiga tangan yang mengambil uang tunai dan kartu kredit dari dalam
dompet. Mengetahui hal itu, si perempuan berteriak setengah menangis dengan
bunyi “aaa… aaa…” sambil memukul-mukulkan kedua tangannya ke meja.
Sebuah animasi teks menceritakan biaya yang tadinya hanya Rp 399.900
menjadi Rp 700.000 karena tambahan biaya transaksi, pajak, dan service charge.
Dilanjutkan dengan narasi yang mengatakan “Yang gini nggak kejadian kalau


pesen voucher hotel di Traveloka.com, karena harga voucher yang Anda bayarkan
tanpa ada tambahan harga ini itu.” Perempuan tersebut kemudian digambarkan
melakukan transaksi di Traveloka.com (secara virtual) lalu menyobek sebuah foto
seorang perempuan bersama seorang laki-laki dan melemparkannya. Sebagai
penutup, ia berada di dekat kaca besar di sebuah ruangan, melihat ke luar tampak
seorang laki-laki berdiri di balkon, lalu si perempuan membalikkan badan sambil
menarik gorden menutupi dirinya. Bersamaan dengan itu terdengan suara si
perempuan berbunyi “aaa…”
Konotasi. Pertama, seorang perempuan berusia sekitar 25-an tahun [E:
wajah], kelas menengah [E: menu sarapan, komputer tablet, kartu kredit]. Pada
pagi hari [E: menu sarapan, lampu masih menyala, cahaya dari jendela],
menelepon sahabatnya untuk curhat masalah kekasihnya yang selingkuh dengan
perempuan lain untuk yang kesekian kalinya [E: “aku diduain lagi,” umumnya
cerita masalah percintaan adalah dengan sahabat]. Jadi, premis awalnya adalah ia
mem-booking hotel untuk berwisata sebagai usaha “move on” atau melupakan
(mantan) kekasih dan perbuatannya yang menyakiti hati si perempuan.
Kedua, perempuan merasa sedikit terhibur [E: berhenti menangis sejenak
dan sedikit tersenyum] saat mendapati tawaran paket liburan menginap di Villa
Ella seharga Rp 399.900 dan ia pun memesannya. Namun, ternyata harga tersebut

belum termasuk biaya-biaya lain yang membuat harga yang harus dibayarkan
mencapai Rp 700.000. Jasa agen hotel online kompetitor Traveloka.com [E: situs
agen-hotel.com] yang seolah memberikan harga murah ternyata justru merugikan
karena nantinya akan ada tagihan-tagihan tambahan [E: tangan-tangan dari layar
yang mengambil uang] yang jumlahnya tidak sedikit. Hal itu membuat si
perempuan bertambah sedih bercampur jengkel [E: suara “aaa…,” eskpresi wajah,
dan tangan memukul-mukul meja].
Ketiga, perempuan akhirnya melakukan booking Villa Ella Ubud melalui
Traveloka.com dan ia pun merasa bahagia [E: ekspresi wajah, gesture, baju warna
kuning cerah] karena harga yang dibayarkan sudah mencakup biaya-biaya lain.
Karena kebahagiaan itu, ia sembuh dari sakit hati dan dapat melupakan mantan
kekasihnya [E: menyobek dan membuang fotonya bersama sang mantan kekasih

dengan ekspresi bahagia]. Bahkan, di villa tempat ia menginap, ia melihat dan
saling tatap dengan seorang laki-laki yang juga sendiri. Hal itu membuatnya
senang sekaligus malu-malu dan canggung [E: membalikkan badan, agak
menutup gorden, tersenyum lebar, suara “aaa…”].

Mitos Identifikasi Gender dalam TVC Traveloka.com
Jika kita kaji TVC di atas menggunakan perspektif periklanan, dapat kita
ketahui bahwa segementasinya adalah mereka yang terbiasa memesan tiket
pesawat

atau reservasi

kamar

hotel

secara

online.

Sedangkan

tujuan

komunikasinya adalah menyampaikan bahwa kelebihan Traveloka.com terletak
pada harga yang ditawarkan di awal adalah harga final, tidak ada tambahan biaya
lain-lain di waktu selanjutnya. Tujuan komunikasi tersebut dipertajam dengan
positioning yang mengajak audiens membandingkan dengan kompetitornya,
bahwa para kompetitor mungkin menawarkan harga lebih murah, akan tetapi
nantinya konsumen akan diminta membayar tambahan biaya lain-lain yang
jumlahnya tidak sedikit. Pada akhirnya konsep tersebut dieksekusi dengan strategi
kreatif narasi dan sinematik sebagaimana yang sering kita saksikan di layar
televisi. Namun, penelitian ini bukan hendak membaca inti iklan, justru elemenelemen detail iklan, baik unsur naratif maupun sinematik, yang dikonstruksikan
oleh kretaor yang menjadi fokus kajian.
Pertama-tama, penulis akan memasukkan poin-poin dalam pembacaan
denotatif dan konotatif dari kedua versi iklan di atas dalam sebuah tabel sebagai
berikut:

Identitas tokoh
Masalah tokoh
Usaha penyelesaian
Masalah penyelesaian

Versi “Cari Tiket Pesawat”

Versi “Cari Hotel”

(Laki-laki)

(Perempuan)

Usia 30-an tahun

Usia 25-an tahun

Karyawan kantor

Profesi tidak diketahui

Penat karena pekerjaan

Kekasihnya selingkuh

Berwisata

Berwisata

Denotatif: tangan-tangan

Denotatif: tangan-tangan

Respon (denotatif)
Solusi

mengambil uang

mengambil uang

Konotatif: banyak biaya

Konotatif: banyak biaya

tambahan

tambahan

Melawan dengan tangan

Menangis

Memesan via Traveloka.com

Bahagia, lepas dari pekerjaan

Hasil

kantor

Tambahan hasil
Respon

Ditemani dua orang
perempuan
Menikmati

Memesan via
Traveloka.com
Bahagia, dapat
melupakan mantan
kekasihnya
Bertemu seorang laki-laki
Malu-malu

Dari tabel perbandingan di atas, dapat kita tangkap bahwa penokohan si
laki-laki dan si perempuan dikonstruksikan sedemikian rupa sehingga membentuk
oposisi berbasis gender. Pertama, mengenai pekerjaan tokoh. Si laki-laki secara
jelas digambarkan sebagai perkerja sedangkan si perempuan di rumah, meskipun
juga tidak dapat disimpulkan bahwa ia tidak bekerja. Di sini terdapat mitos
pembagian peran bahwa laki-laki berada di ranah publik sedangkan perempuan di
ranah domestik. Mitos ini adalah bentuk ideologi patriarki tradisional yang
sebenarnya telah banyak ditinggalkan di era sekarang, tentu masih banyak juga
yang mempertahankan.
Kedua, tentang masalah yang dihadapi. Masalah si laki-laki datang dari
dunia kerjanya sedangkan si perempuan dari laki-laki (kekasihnya). Konstruksi
mitos yang bekerja adalah soal independensi laki-laki dan dependensi perempuan
dalam relasi gender. Dalam masyarakat yang patriarkis, perempuan dianggap
sebagai subordinat laki-laki, meminjam istilah Simone de Beauvoir, perempuan
adalah the second sex.
Ketiga, bentuk perlawanan. Si laki-laki berusaha melawan tangan-tangan
yang berusaha mengambil uang dengan tangannya sedangkan si perempuan hanya
menangis tanpa melakukan perlawanan. Ini adalah mitos dan stereotip gender

yang paling umum: laki-laki kuat perempuan lemah, laki-laki aktif perempuan
pasif. Keempat, si laki-laki menikmati ditemani dua perempuan dan si perempuan
malu-malu sekadar bertatapan dengan seorang laki-laki. Kita dapat melihat
bagaimana perempuan terobjektifikasi sebagai hiburan untuk laki-laki dan
sekaligus tersubordinasi menjadi “penunggu” dalam relasi percintaan lawan jenis.

PENUTUP
Dari pembahasan di atas, dapat kita cermati bahwa oposisi antara laki-laki
dan perempuan dalam TVC ini adalah sebuah oposisi biner atau oposisi yang
hierarkis, di mana salah satu pihak (laki-laki) lebih superior dibanding pihak lain
(perempuan). Superioritas laki-laki sebagai mitos identifikasi gender bekerja
dalam konstruksi narasi dan sinematik TVC Traveloka.com versi “Cari Tiket
Pesawat” dan versi “Cari Hotel” melalui konsep pembagian peran, stereotip
kekuatan laki-laki dan kelemahan perempuan, serta subordinasi dan objektifikasi
perempuan.
Dalam konsepsi Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Prancis, konstruksi di
atas sejatinya adalah sebuah dominasi yang halus (eufemisme) yang disebutnya
sebagai “kekerasan simbolik.” Kekerasan simbolik adalah suatu bentuk kekerasan
yang halus dan tak tampak (the gentle, invisible form of violence) yang dibaliknya
menyembunyikan praktik dominasi (Fashri, 2014: 143). Karena eufemisasi atau
penghalusan itu, korban kekerasan simbolik seringkali tidak menyadari dan
menerimanya begitu saja. Bourdieu juga menegaskan bahwa bahasa, termasuk
bahasa verbal dan visual dalam iklan, tidak hanya berfungsi sebagai alat
komunikasi tetapi juga instrumen kekuasaan (ibid, 145).
Pada akhirnya, menjadi pilihan bagi insan kreatif di dunia periklanan
apakah ingin mewujudkan peradaban yang lebih adil gender, ataukah ingin tetap
melanggengkan mitos-mitos gender dan terus melakukan kekerasan simbolik.

DAFTAR PUSTAKA

Barthes, Roland. 2006. Membedah Mitos-mitos Budaya Massa: Semiotika atau
Sosiologi

Tanda,

Simbol,

dan

Representasi

(diterjemahkan

dari

Mythologies dan The Eiffel Tower and Other Mythologies oleh Ikramullah
Mahyuddin). Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.
Barthes, Roland. 2012. Elemen-elemen Semiologi (diterjemahkan dari Elements of
Semiology oleh Kahfie Nazaruddin). Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.
Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas.
Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.
Fakih, Mansour. 2007. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Insist Press.
Fashri, Fauzi. 2014. Pierre Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyakarta:
Penerbit Jalasutra.
Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas
Bambu.
Majalah SWA Online. Ferry Unardi, Mengibarkan Traveloka dari Titik Nol.
http://swa.co.id/entrepreneur/ferry-unardi-mengibarkan-traveloka-darititik-nol diakses pada 30 Maret 2015.
Walby, Sylvia. 2014. Teorisasi Patriarki (diterjemahkan dari Theorizing
Patriarchy oleh Mustika K. Prasela). Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.
Wibowo, Indiwan Setyo Wahyu. 2013. Semiotika Komunikasi: Aplikasi Praktis
bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta: Penerbit Mitra Wacana
Media.
Widada, Rh. 2009. Saussure untuk Sastra: Sebuah Metode Kritik Sastra
Struktural. Yogyakarta: Jalasutra.

Video TVC dapat dilihat di saluran Traveloka di Youtube dengan alamat:
1. Versi “Cari Hotel” https://www.youtube.com/watch?v=jNXwDKohzfM
2. Versi “Cari Tiket Pesawat”
https://www.youtube.com/watch?v=ggQ12ySHMEc