ISLAM VERSUS SOSIALISME DALAM MEMANDANG

ISLAM VERSUS SOSIALISME
DALAM MEMANDANG KEHIDUPAN SOSIAL
DAN KEGIATAN EKONOMI
Farhan
Alumnus Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Mataram
Email: farhan@yahoo.com
Abstrak
Bagi sebagian ideolog, konsep sosialisme lebih dekat kepada Islam
dibandingkan dengan konsep kapitalisme. Sosialisme yang secara teoretiskonseptual sangat menjaga kepentingan-kepentingan sosial di atas
kepentingan personal dan individu, sepintas sejalan dengan pandangan
Islam dalam melihat kehidupan sosial. Sosialisme menolak kebebasan
individu tanpa batas dan menyerahkan pengaturan-pengaturan sosial
kepada hukum pasar, sebagaimana dalam doktrin utama kapitalisme
memang, tidak diterima dalam Islam. Namun ini bukan berarti Islam
adalah sosialime atau sosialisme adalah Islam. Tulisan ini akan menganalisis
secara lebih mendalam doktrin sosialisme dalam memandang kehidupan
sosial dan membandingkannya dengan konsep Islam. Klaim dari tulisan
ini adalah bahwa kehidupan sosial seperti yang diidealkan oleh Islam
berbeda dengan kehidupan sebagaimana yang diidealkan oleh sosialisme.
Perbedaan keduanya terutama terletak pada pendasaran ontologis yang
berbeda; sosialisme melihat kehidupan sosial hanya untuk kepentingan

duniawi dan menafikan spritualisme di dalamnya, sebaliknya Islam
melihat kehidupan sosial sebagai perluasan dari spritualisme yang menjadi
struktur dasarnya.
Kata kunci: sosialisme, Islam, kehidupan sosial, spritualitas.

PendahUlUan
istilah sosial, secara leksikal berarti
“berkenaan
dengan
khalayak,
masyarakat dan umum”. Definisi lain
tentang sosial yaitu “segala sesuatu
mengenai masyarakat, peduli terhadap
kepentingan umum”. Berbicara sosial
berarti berbicara tentang kehidupan
bersama dalam sebuah komunitas atau
masyarakat dalam arti yang seluasluasnya, yang notabenenya tinggal di

suatu tempat dan memiliki budaya
atau visi yang sama dalam membangun kehidupan. Solidaritas senantiasa bersandingan dengan kata

sosial. Ini, mengandung arti bahwa
solidaritas menyangkut kebutuhan masyarakat atau khalayak sebagai makhluk
sosial yang tidak bisa lepas dari orang
lain, baik yang berkaitan dengan ke-

iqtishaduNa

Volume 5 Nomor 1 Juni 2014

| 49

wajiban maupun hak dalam menjalani
kehidupan bersama.
Adapun sosialisme, secara terminologi berarti “pandangan secara politik
dan ekonomi yang berusaha agar harta
benda, industri, dan perusahaan menjadi
milik negara”. Partanto, mendefinisikan
sosialisme sebagai “teori politik dan
ekonomi yang menganjurkan hak
milik umum serta manajemen alatalat pokok untuk produksi, distribusi

dan pertukaran barang”.1 Sedangkan,
Listiyani memberikan definisi sosialisme
sebagai suatu paham yang menghendaki
segala sesuatu harus diatur bersama dan
hasilnya dinikmati bersama-sama.
Terminologi sosialisme pertama
kali muncul pada tahun 1827 dalam
majalah perkoperasian oleh Robert
Owen, dan dianut oleh hampir 1,3
milyar manusia di dunia pada abad ke20 seperti tersebut dalam buku “Seratus
Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam
Sejarah” karya Michael H. Hart.
Sosialisme sebagai suatu gerakan politik
yang efektif dan terorganisir baru
muncul di Eropa pada akhir abad ke 18
dan awal abad ke-19 sebagai ekses-ekses
dari Revolusi Industri. Penemuan baru
di bidang teknologi telah membuka
cakrawala baru di bidang industri dan
perdagangan. Di satu sisi, membuat

golongan pengusaha atau pemilik modal
(borjuis) semakin hidup makmur, sementara golongan buruh atau pekerja
(proletar) dengan upah yang rendah
hidup melarat dan menderita. Keadaan
ini, menjadi awal timbulnya kritik
1Pius A. Partanto, Kamus Ilmiah Populer,
(Surabaya: Arkola, 1998), h. 452.

50 |

iqtishaduNa

Jurnal Ekonomi Islam

yang tajam dari kalangan sosialis terhadap sistem ekonomi kapitalis yang
berdasarkan paham liberal yang saat itu
mendapatkan legitimasi dari gereja.
Sosialisme memiliki dua tahapan
embriologi, yang pertama disebut dengan Sosialisme Utopis dan yang kedua
dinamakan dengan Sosialisme Ilmiah.

Tokoh Sosialisme Utopis seperti Saint
Simon (1760-1825), Robert Owen
(1771-1858), Charles Fourier (17721837), dan Pierre Joseph Proudon
(1809-1865), secara umum berpandangan bahwa untuk menghilangkan
kesengsaraan rakyat akibat revolusi
industri, menciptakan masyarakat baru
yang lebih baik dan lebih adil, memperbaiki nasib kaum buruh agar dapat
hidup dengan layak, maka kekuatan
ekonomi seperti alat-alat dan faktor
produksi harus diserahkan kepada ahliahli industri dan kaum tekhnokrat,
mengurangi jam kerja, serta mendirikan
dan menyelenggarakan pendidikan
tanpa memungut biaya.
Obsesi untuk menghilangkan kesengsaraan rakyat akibat Revolusi
Prancis (1789) dan Revolusi Industri di
Inggris juga mendorong tokoh Sosialisme Ilmiah seperti Karl Heinrich Marx
yang lebih dikenal dengan Karl Marx
(1818-1883) dan George Wilhelm
Friedrich Hegel (1770-1831) untuk
mencari solusi terhadap masalah

tersebut. Marx dan Hegel mendasarkan
ideologinya pada ilmu pengetahuan,
yaitu teori historis materialistis. Berdasarkan teori ini, materilah yang
mempengaruhi segalanya, materilah
yang menjadi ukurannya. Untuk men-

capai suatu hidup yang layak bagi kaum
buruh (golongan proletar), maka perlu
perjuangan sehingga muncullah konsep
perjuangan kelas.
Semangat juang yang diserukan
oleh Marx dan Hegel dalam menghapus
kelas-kelas sosial yang timbul karena
perbedaan kepentingan antara golongan
pemilik modal dan kaum buruh
termaktub dalam semboyan “Kaum
Buruh Sedunia Bersatulah!”. Dalam
telaah sejarahnya, implementasi dari
semboyan ini menurut Marx, bahwa
pertentangan antar kelas hanya dapat

diselesaikan dengan jalan kekerasan
atau gerakan radikal untuk merebut
kembali kekuasaan yang didominasi
oleh kapitalis.
Berdasarkan definisi dan deskripsi
historis kelahiran ideologi ini, dapat
disimpulkan bahwa sosialisme secara
politis ingin menyerahkan kendali
ekonomi sepenuhnya pada otoritas
politik atau pemerintah (State Capitalism)
atau pihak yang dimandatkan untuk
tugas tersebut, tidak semata-mata untuk
menghapus hak privat yang digaungkan
oleh materialisme kapitalis, tetapi untuk
menghilangkan kesenjangan yang tajam
di antara masyarakat sebagai akibat dari
pengakuan hak privat yang sangat obsesif
terhadap individu dalam menjalankan
aktivitas ekonomi pada khususnya.
Secara ekonomi, gerakan sosialisme

mengharapkan pemerataan ekonomi
masyarakat tanpa ada kelas-kelas sosial
seperti kelas pemilik modal (kapitalis),
tuan tanah (feodalis), dan agamawan
dalam kubu kapitalis, serta kelas buruh

dan pekerja pada kubu sosialis, yang
terbentuk oleh perbedaan tingkat
ekonomi seperti yang terjadi pada era
feodalisme yang merupakan “ibu”
yang telah melahirkan materialisme
kapitalis.
PersPektif sosialisme tentang
kehidUPan sosial
Secara historis, ideologi ekonomi
dan politik ini muncul sebagai kritik
terhadap paham Kapitalis yang sangat
eksploitatif terhadap manusia. Para
pemilik modal menjadi penguasa atau
“kaisar pasar” sementara kaum buruh

dan pekerja tidak mendapatkan upah
yang layak dari pekerjaannya sejauh tidak
menguntungkan pihak pemilik modal.
Kondisi ini, menjadi awal terjadinya
gap yang tajam antara golongan pemilik
modal (kapitalis), tuan tanah (feodalis),
dan agamawan yang telah melegitimasi
kerangka pikir kapitalisme dengan para
pekerja atau buruh yang melakukan
produksi setiap saat untuk memenuhi
kebutuhan dan kepentingan kapitalisme
tanpa memperdulikan nasib mereka
dalam bentuk pertimbangan upah yang
layak.
Meskipun Kapitalisme dan Sosialisme memiliki aliran darah yang sama
yaitu materialisme, keduanya memiliki
pandangan yang berbeda tentang konsep kesejahteraan. Kapitalisme berpandangan bahwa kesejahteraan masyarakat hanya akan dapat diperoleh
dengan memberikan kebebasan tanpa
batas kepada setiap individu untuk melakukan kegiatan ekonominya. Sementara, sosialisme menyandarkan kesejah-


iqtishaduNa

Volume 5 Nomor 1 Juni 2014

| 51

teraan masyarakat pada agresifnya
intervensi pemerintah atau Negara
sebagai wakil atau abdi rakyat untuk
mengatur regulasi ekonomi, utamanya
dalam mengendalikan faktor dan alatalat produksi yang menjadi kepentingan
publik.
Tokoh Sosialisme ilmiah terkemuka
Karl Marx, pada dasarnya mengharapkan
terwujudnya masyarakat yang ideal
seperti yang digambarkan dalam ”kitab perjanjian baru”. Namun, saat itu
agama hanya dijadikan sebagai alat
untuk mempertahankan posisi kaum
kapitalis dalam menindas kaum buruh.
Kondisi ini, membuat Marx mengambil

kesimpulan bahwa agama adalah candu
(religion is the opium), sebagai bentuk
ekspresi kekecewaannya terhadap realitas agama pada saat itu.
Penganut ideologi sosialis berpandangan bahwa kehidupan sosial yang
ideal itu adalah hidup bersama dalam
tingkat atau status sosial eknomi
yang sama. Masyarakat yang adil dan
sejahtera itu adalah masyarakat yang
hidup dalam kesetaraan, tidak ada gap
yang dapat memperuncing kecemburuan sosial, tidak ada status sosial
yang dapat memancing lahirnya konflik kepentingan dan kelas, serta
dapat terpenuhinya kebutuhan hidup
masyarakat secara merata dalam skalaskala ekonomi.
Komitmen sosialisme dalam mewujudkan kesejahteraan yang hakiki bagi
masyarakat ternyata kandas di tengah
jalan. Konsep pemerataan distribusi ekonomi yang mereka usung, di samping

52 |

iqtishaduNa

Jurnal Ekonomi Islam

bertentangan dengan pengakuan alQuran tentang strata sosial ekonomi
yang bersifat alamiah bagi manusia, juga
dapat menghambat kreativitas individu
untuk mengembangkan potensi dirinya
dalam meraih kehidupan yang lebih
baik dan layak.
solUsi sosialisme terhadaP
masalah ekonomi masyarakat
Menanggapi dialektika sosial di atas,
penganut ideologi sosialis memberikan
solusi sebagai jalan keluar dari berbagai
macam konflik dan pertentangan
sebagai bentuk reaksi mereka terhadap
perjuangan kelas dengan mengajukan
sintesis, yaitu “produksi seharusnya
diambil dari tangan individu dan dipindahkan pada masyarakat untuk
dimiliki secara bersama-sama, masyarakat harus secara kolektif mendistribusikan kekayaan setiap individu
menurut kebutuhan masing-masing”.
Dengan kata lain, untuk mewujudkan
masyarakat yang lebih adil dalam
konteks sosialisme, memiliki tingkat
ekonomi dan penghidupan yang relatif
sama, maka “seluruh kegiatan ekonomi
harus diusahakan secara bersama atas
nama masyarakat tanpa ada klaim usaha
swata atau pihak lain selain pemerintah
(state enterprise)”.
Penyerahan kewenangan ekonomi
kepada negara atau pihak yang ditunjuk
oleh negara atas tugas tersebut di samping
karena alasan yang telah dikemukakan
di atas, juga didasari atas adanya asumsi
bahwa keterpurukan ekonomi, sosial
dan politik pasca perang dunia kedua
tidak akan dapat diatasi hanya dengan

mengandalkan peran individu dalam
pasar melalui mekanisme pasar bebas.
Negara-negara yang terkena imbas
perang dunia kedua saat itu, secara
sosial, ekonomi maupun politik sedang
mengalami keterpurukan, terbelakang
dan dicekam oleh lingkaran kemiskinan
yang membuat mereka tetap berada
di sekitar tingkat keseimbangan pendapatan perkapita yang rendah. Untuk
mengatasi masalah tersebut, diperlukan “upaya minimum kritis” untuk
menaikkan kembali pendapatan perkapita pada tingkat di mana pembangunan yang berkesinambungan dapat dipertahankan.
Keterlibatan atau intervensi pemerintah yang sangat dominan terhadap aset-aset produksi dan sumber
daya ekonomi lainnya menjadi awal
stagnannya kebebasan individu dalam
melakukan aktivitas ekonomi, awal
tidak diakuinya kepemilikan pribadi dan semua akativitas ekonomi
dilakukan secara bersama-sama untuk
kepentingan bersama. Dalam hal ini,
Negara bertanggung jawab dalam
mendistribusikan sumber dan hasil
produksi kepada seluruh masyarakat
serta seluruh risiko-risiko ekonomi
yang mungkin timbul di tengah-tengah
mereka.
Pemusatan aset-aset produksi dan
sumber daya ekonomi lainnya pada satu
tangan (pemerintah atau badan ekskutif
yang mewakilinya) seperti tersebut di
atas, secara praktis bertentangan dengan
pengakuan Islam akan hak privat
seseorang dalam mengembangkan

potensi diri mereka yang bersifat alamiah
(kebebasan dalam bekerja dan memiliki
harta), untuk mendapatkan kehidupan
yang lebih layak dan wajar. Tetapi, harus
dipahami bahwa hak privat yang diakui
Islam tidak seperti yang digaungkan
oleh kapitalisme yaitu kebebasan mutlak
tanpa ada batasan hukum dan moral.
Motivasi awal dari state enterprise
adalah untuk mewujudkan masyarakat
yang merata secara ekonomi tanpa ada
gap yang harus memisahkan kelaskelas individu dalam kehidupan sosial
seperti yang terjadi sebelumnya, yaitu
feodalis, kapitalis dan buruh. Dengan
dipusatkannya aset-aset produksi utama
pada satu tangan, menurut kalangan
sosialis secara langsung akan menghapus
kelas-kelas sosial tersebut dan akhirnya
masyarakat memiliki tingkat ekonomi
yang sama, tidak ada yang kaya atau
mungkin disebut miskin. Bila dicermati
secara seksama, meskipun pada awalnya
pemerintah atau badan ekskutif ini
dipilih oleh masyarakat dan bekerja
atas nama mereka, secara perlahan tapi
pasti bila seluruh sarana kehidupan
berada di bawah pengawasannya dan
individu tidak memperoleh bagiannya
kecuali melalui badan tetrsebut, maka
masyarakat akan menjadi tidak berdaya
di bawah cengkramannya. Tidak ada
seorang pun yang dapat mengabaikan
kehendaknya, tidak ada kekuatan
terorganisir yang dapat menentangnya
serta mampu menggesernya dari
kedudukan yang penuh kuasa. Jika
badan ekskutif ini tidak suka kepada
seseorang, itu berarti bahwa seluruh

iqtishaduNa

Volume 5 Nomor 1 Juni 2014

| 53

sarana kehidupannya akan direbut dari
tangannya.
Pandangan islam tentang
kehidUPan sosial
Analisis sosial tentang konsep
pemerataan ekonomi di atas, secara
normatif bertentangan dengan pengakuan Islam akan perbedaan tingkat
ekonomi individu dan masyarakat
sebagai konsekuensi logis dari perbedaan
tingkat usaha, ikhtiar dan upaya masingmasing dalam memanfaatkan potensi
diri dan sumber daya ekonomi yang
ada demi kemakmuran hidup mereka.
Disebutkan dalam Qs. al-Nahl (16): 71,
bahwa Allah melebihkan rizki sebagian
orang atas sebagian yang lain.

َ
ُ َ ‫َواهُ فَ َض َل بَ ْع‬
‫ض ِفى‬
ٍ ‫ضك ْم َعلى بَ ْع‬
‫ فَ َما الَ ِذيْ َن فُ ِضلُ ْوا بِ َرآدِي ِر ْز ِق ِه ْم‬،‫ْق‬
ِ ‫ال ِرز‬
،‫ُهم فَ ُه ْم ِفيْ ِه َس َوآ ٌء‬
ْ ‫َعلَى َما َمل َك‬
ْ ‫ت أَْيَان‬
.(ÔÎ :‫ْح ُد ْو َن )النحل‬
َ ‫أَفَبِنِ ْع َم ِة اهِ َي‬
“Dan Allah melebihkan sebahagian
kamu dari sebagian yang lain dalam hal
rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan
(rezkinya itu) tidak mau memberikan
rezki mereka kepada budak-budak
yang mereka miliki, agar mereka sama
(merasakan) rezki itu. Maka mengapa
mereka mengingkari nikmat Allah”.
(Qs. al-Nahl [16]: 71)
Perbedaan tingkat ekonomi dan status sosial, pendidikan, profesi dll., merupakan sesuatu yang alamiah dan terjadi
secara alamiah pula. Tidak seorang
pun dapat memaksakan kehendaknya
meskipun terhadap saudaranya sendiri.

54 |

iqtishaduNa

Jurnal Ekonomi Islam

Setiap orang berjalan sesuai dengan citacita, motivasi dan sugesti hidup yang ia
miliki. Dalam sebuah keluarga, seorang
bapak atau ibu tidak dapat memastikan
bahwa semua anak atau cucunya
akan mengikuti jejaknya secara utuh,
meskipun mereka memiliki hubungan
darah yang sama. Kecenderungan
individu untuk menentukan sendiri
jalan hidupnya inilah yang meniscayakan
adanya perbedaan tingkat ekonomi dan
status sosial dalam masyarakat.
Melanggar sesuatu yang alamiah,
disamping ia mendapat legitimasi
dari al-Quran, merupakan tindakan
merusak arsitektur kehidupan manusia yang aktif dan dinamis, serta merubah paradigmanya menjadi pasif,
pasrah, cukup dengan menengadah
tanpa ada usaha atau upaya untuk
berubah menjadi lebih baik. Padahal,
penciptaan manusia dengan sempurna,
dibentangkannya alam raya sebagai
sumber penghidupannya, merupakan
fasilitator Tuhan untuk menguji manusia, siapa yang paling baik amal perbuatannya.
Disebutkan dalam Qs. al-An’am
(6): 165 sebagai berikut:

َ َ ِ‫َو ُه َو الَ ِذي َج َعلَكم َخ َلئ‬
‫ض‬
ِ ‫ف ْال ْر‬
ْ
ُ َ ‫َو َرفَ َع بَ ْع‬
َ
‫ات‬
ٍ ‫ض َد َر َج‬
ٍ ‫ضك ْم فَ ْوق بَ ْع‬
:‫ (النعام‬...‫اكم‬
ْ َ‫لَيَبْلُ َو ُك ْم ِفى َمآ آت‬
.)165

“Dan Dialah (Allah) yang menjadikan
kamu penguasa-penguasa di bumi dan
Dia pula yang meninggikan sebahagian

kamu atas sebahagian (yang lain)
beberapa derajat, untuk mengujimu
tentang apa yang diberikan-Nya
kepadamu…” (Qs. al-An’âm [6]:
165)
Konsekuensi logis dari aksioma
bahwa “hidup adalah pengabdian”,
yaitu seluruh bentuk tingkah laku harus
merefresentasikan atau mencerminkan
motif ibadah kepada Allah swt..
Perkataan, perbuatan maupun tingkah
laku seseorang akan terhitung sebagai
suatu ibadah bila sesuai dengan normanorma ketuhanan yang terkodifikasi
dalam bentuk mushaf (al-Quran) dan
kitab-kitab Hadis.
Seluruh norma kehidupan, baik
yang menyangkut hubungan manusia
dengan Tuhan maupun hubungannya
dengan sesama makhluk, secara komprehensif telah termaktub di dalamnya.
Dunia adalah tempat bercocok tanam,
sedangkan akhirat adalah tempat
memetik buahnya. Hasil panen yang
baik akan dapat diperoleh bila proses
bercocok tanamnya dilakukan secara
baik pula. Kehidupan sosial yang dijalani
dengan baik sesuai dengan tuntunan
agama akan melahirkan kehidupan yang
rabbani dan madani, yaitu kehidupan
yang penuh dengan nilai-nilai ibadah
sehingga dapat memberikan kesejahteraan dunia dan akhirat.
Orang yang tekun dalam beribadah
(‘âbid), tetapi tidak tercermin dalam
khidupan sosialnya, cenderung akan
mendapat celaan di mata masyarakat
yang akhirnya dapat mengancam
kehidupan ekonominya. Telah disebut-

kan sebelumnya bahwa kondisi ekonomi dapat mempengaruhi intensitas
keimanan seseorang. Karena motif
ekonomi, orang berjual beli secara
tidak jujur, seorang bos memberikan
gaji yang tidak wajar kepada buruh dan
karyawannya, orang berspekulasi di
pasar modal, seorang akuntan berani
memanipulasi laporan keuangan, seorang yang kurang beruntung secara
ekonomi menjadi peminta-minta,
pengemis, pencuri bahkan perampok
sekalipun, seorang wanita yang kurang
beruntung dan tidak beragama berani
menjual kehormatannya, dan perilaku
negatif lainnya. Ini berarti bahwa
kehidupan sosial dalam pandangan
Islam, memiliki peran penting dalam
menentukan masa depan akhirat seseorang. Disebutkan dalam Qs. Ali‘Imran (3): 112 sebagai berikut:

ِ ‫ت َعلَي ِهم‬
َ ِ‫الذلَة أَيْنَ َما ثُ ِق ُف ْوا إ‬
‫ا‬
ُ
ُ ْ ْ َ‫ض ِرب‬
‫ )آل‬... ،‫َاس‬
ِ ‫ِبَبْ ٍل َم َن اهِ َو َحبْ ٍل َم َن الن‬
.(ÎÎÏ:‫عمران‬

“Mereka diliputi kehinaan di mana
saja mereka berada, kecuali jika mereka
berpegang kepada tali (agama) Allah dan
tali (perjanjian) dengan manusia…”.
(Qs. Ali Imran (3): 112).
Menyeimbangkan kehidupan dunia
dan akhirat adalah tugas hidup manusia
sebagai makhluk pilihan yang diberikan
kesempurnaan berupa akal dan bentuk
tubuh yang indah bila dibandingkan
dengan makhluk lainnya. Dunia seisinya serta seluruh tata kehidupan
di dalamnya, adalah amanah Allah

iqtishaduNa

Volume 5 Nomor 1 Juni 2014

| 55

yang harus dijaga, dipelihara serta
dimanfaatkan sesuai dengan tuntunanNya. Kehidupan bersama adalah bentuk
rahmat Allah pada makhluknya, mereka
diberikan kesempurnaan di satu sisi
tetapi diselipkan kekurangan di sisi lain.
Kekurangan dan kesempurnaan inilah
yang membuat manusia harus hidup
bersama untuk saling menutupi dan
melengkapi agar kehidupan mereka
terasa lebih baik dan berguna buat orang
lain.
ekonomi dalam PersPektif islam
Ekonomi secara umum
Ekonomi, secara etimologi berasal dari bahasan Yunani yaitu kata
oikos (kemakmuran) dan nomos
(pengetahuan). Ada juga yang mengatakan bahwa kata ekonomi berasal dari
kata oikonomos yang berarti “rumah
tangga”. Sumber lain menyebutkan,
bahwa ekonomi berarti “segala bentuk
upaya manusia untuk memenuhi
kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidup”. Jadi, secara literal,
makna dasar kata ekonomi ialah
“ilmu pengetahuan tentang cara yang
ditempuh oleh manusia dalam upaya
meraih kemakmuran dalam hidupnya”.
Secara terminologi, Oxford Dictionary
of Current English dalam Muhammad
dan Ridwan Mas’ud, memberikan
definisi ekonomi sebagai “Science
of the production, distribution and
consumption of goods, condition of a
country as material property”. Alfred
Marshall dalam Deliarnov, memberikan
definisi ekonomi sebagai “ilmu yang

56 |

iqtishaduNa

Jurnal Ekonomi Islam

mempelajari manusia dalam kehidupan
sehari-hari, bertindak dalam proses
produksi, konsumsi, alokasi barang dan
jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia”. Setiawan (Freeware @2010),
memberikan definisi ekonomi sebagai
“ilmu mengenai asas-asas produksi,
distribusi, dan pemakaian barangbarang serta kekayaan seperti keuangan,
perindustrian, dan perdagangan. Sedangkan, menurut Leurensius, ekonomi
merupakan “ilmu yang mempelajari
usaha-usaha manusia untuk memenuhi
kebutuhan dalam rangka mencapai
kemakmuran.
Dari sederetan definisi tersebut,
dapat disimpulkan bahwa ekonomi
merupakan ilmu tentang usaha manusia
dalam melakukan kegiatan produksi,
distribusi, dan konsumsi sebagai bentuk
upayanya dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya, baik dalam posisinya sebagai
individu, keluarga, masyarakat bahkan
warga Negara.
Bila individu, kelompok, masyarakat
dan warga suatu Negara secara kompak
dan konsisten melakukan kegiatan
tersebut sesuai dengan norma dan
kepentingan bersama yang diakomodir
oleh suatu ideologi dan sistem politik
akan dapat menghasilkan suatu sistem
ekonomi yang kuat dan handal. Ali bin
Abi Thalib mengatakan “kebaikan yang
tidak terorganisir akan dapat dikalahkan
dengan kebatilan yang terorganisir”.
Ekonomi Islam
Yang membedakan ekonomi konvensional dan Islam adalah terletak pada

falsafahnya. Dasar falsafah ekonomi
Islam adalah pandangan tentang dunia,
alam semesta dan manusia, serta tujuan
hidup mereka. Islam memandang bahwa
dunia dan alam semesta adalah milik
Allah swt yang diamanahkan kepada
manusia sebagai khalifatullah di muka
bumi untuk mengelola dan menjaganya
demi kepentingan hidup mereka.
Pengakuan terhadap kepemilikan
Allah swt akan alam semesta merupakan
i’tirâf terhadap keesaan dan ketauhidanNya. Konsekuensi logis dari i’tirâf
ini adalah bahwa manusia secara
praktis bersedia menerima otoritas
sebagai khalifah di muka bumi untuk
mengelola dan memanfaatkan sumbersumber pemenuh kebutuhan secara
adil sesuai dengan tuntutan Islam demi
kemakmuran bersama, serta menjaganya
dari kerusakan dan eksploitasi yang
diakibatkan oleh kerakusan manusia.
Ekonomi Islam adalah ekonomi
normatif pada asasnya dan positif pada
implementasinya. Seluruh praktek
ekonomi Islam dapat dipastikan ada
dasar normatifnya dalam agama,
meskipun secara praktis tidak ada
pedoman manajerialnya. Manusia
adalah makhluk yang mendapatkan
kepercayaan sebagai top management
untuk menjaga dan mengelola alam
sekitarnya sesuai kebutuhan dan batas
yang dihalalkan oleh agama demi
kemakmuran hidup mereka. Dalam
sebuah hadis, Nabi saw. bersabda “…
kalian lebih tahu tentang urusan atau
perkara duniamu…”. Artinya bahwa
dalam menjalankan aktivitas ekonomi,
manusia diberikan kebebasan untuk

menentukan cara dan manajemennya
sendiri selama tidak bertentangan dengan norma-norma keislaman.
Islam sebagai Sebuah Sistem
Ekonomi dan Kontrol Sosial
Secara etimologi, sistem berarti cara,
metode yang teratur untuk melakukan
sesuatu. Sedangkan, secara terminologi
sistem berarti sebuah totalitas terpadu
yang terdiri atas unsur-unsur yang
saling berhubungan, saling terkait,
saling mempengaruhi, dan saling tergantung menuju tujuan bersama
tertentu. Definisi lain tentang sistem
yaitu “perangkat unsur yg secara teratur
saling berkaitan sehingga membentuk
suatu totalitas”.
Islam merupakan sebuah terminologi yang menghimpun berbagai
unsur kehidupan manusia, seperti
jasmani dan rohani; individu, keluarga,
dan masyarakat; sosial, ekonomi
dan politik; dunia dan akhirat. Bila
dicermati, keseluruhan unsur ini saling
berkaitan satu dengan yang lainnya
dan include dalam kehidupan manusia.
Dengan jasmani yang kuat, manusia
dapat bekerja, dengan hati dan perasaan
manusia cenderung untuk berbagi
dengan orang lain sehingga muncul
hasrat untuk berkeluarga, bekerja sama
dan bermasyarakat. Hasrat untuk hidup
bersama ini memicu lahirnya interaksi
sosial, ekonomi bahkan penunjukan
seorang pemimpin atau kepala negara
yang diharapkan dapat mengatur
kehidupan sosial mereka. Bila hubungan
sistemis ini dibangun di atas pondasi
agama, maka dipastikan kehidupan

iqtishaduNa

Volume 5 Nomor 1 Juni 2014

| 57

manusia akan bahagia di dunia dan
akhirat. Disebutkan dalam Qs. al-Nahl
(16) ayat 97 sebagai berikut:

ًِ ‫ص‬
‫الا ِم ْن َذ َك ٍر أَ ْو أُنْثَى َو ُه َو‬
َ ‫َم ْن َع ِم َل‬
‫ُم ْؤ ِم ٌن فَلَنُ ْحيِيَنَ ُه َحيَا ًة َطيِبًَة َولَنَ ْج ِزيَنَ ُه ْم‬
‫ُوا يَ ْع َملُ ْو َن‬
ْ ‫أَ ْج َر ُه ْم بِأَ ْح َس ِن َما َكان‬

.(ÖÔ :‫)النحل‬

“Barangsiapa yang mengerjakan amal
saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang
lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan”.
Bila dikaitkan dengan ekonomi, T.
Gilarso dalam Muhammad dan Ridwan
mendefinisikan sistem ekonomi sebagai
“keseluruhan tata cara untuk mengatur
prilaku masyarakat, konsumen dan
produsen, dalam menjalankan kegiatan
ekonomi produksi, distribusi dan konsumsi sehingga menjadi satu kesatuan
yang teratur dan dinamis, serta kekacauan dapat dihindarkan”. Sistem
ekonomi juga berarti “cara suatu negara
mengatur dan mengorganisir seluruh
aktifitas ekonominya dalam mencapai
tingkat kesejahteraan tertinggi bagi Negara dan rakyatnya”.
Bila Islam adalah sistem ekonomi,
sedangkan sistem ekonomi merupakan
cara negara dalam mengatur aktifitas
ekonomi, maka Islam adalah manajemen ekonomi negara. Dalam kon-

58 |

iqtishaduNa

Jurnal Ekonomi Islam

teks ini, negara Islam atau yang menggantungkan undang-undangnya pada
syari’at Islam, akan berperan sebagai
kontrol bukan sebagai pengendali
ekonomi sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya. Setiap individu bebas
menjalankan aktifitas ekonominya sejauh tidak bertentangan dengan norma-norma keislaman dan kebijakan
pemerintah.
Dengan kata lain, Islam sebagai sistem dan kontrol berarti Islam merupakan
cara, evaluasi dan supervisor kerja.
Dalam manajemen, kontrol barada
pada posisi akhir dari seluruh rangkaian
manajemen, mulai dari planning,
organizing, actuating, dan controlling. Dalam konteks ini, Islam harus menjadi
visi, misi dan kontrol terhadap seluruh
aktivitas ekonomi individu, masyarakat
atau negara agar sejalan dengan tujuan
agama.
Kerangka logis normatif yang menjadikan Islam sebagai sistem ekonomi
adalah bahwa terminologi bisnis seperti
jual beli, hutang piutang, gadai, harga,
uang, perniagaan, akunting, riba, dll.,
telah termaktub dalam al-Quran. Di
samping itu, Islam sebagai agama bukan
hadir sebagai pedoman manusia dalam
menghadap kepada Tuhannya semata,
tetapi juga sebagai acuan manusia sebagai
makhluk yang tunduk pada prinsipprinsip ekonomi (homo economicus)
dalam menjalani kehidupannya.
Kegiatan ekonomi
giatan sosial dimana
masyarakat terlibat di
antara mereka, ada

merupakan kesetiap elemen
dalamnya. Diyang berperan

sebagai penyedia faktor-faktor produksi
seperti petani, nelayan, penambang dll.;
ada yang berperan sebagai produsen
seperti home industry, manufactur, dll.; ada
yang berperan sebagai distributor, agen,
dan pengecer; dan yang terakhir adalah
sebagai pengguna (konsumen). Sirkulasi
ekonomi, berjalan diantara mata rantai
tersebut secara fix dan stabil sehingga
kebutuhan dan kegiatan masing-masing
entitas ekonomi berjalan secara wajar.
Bila salah satu diantara rantai atau
entitas ekonomi tersebut pincang, akan
mempengaruhi mata rantai atau entitas
yang lainnya.

mereka mau mengubah apa yang ada pada diri
mereka…”. Quraish Shihab, sebagaimana
dikutip Said Aqil, mengatakan bahwa
penggunaan kata “kaum” pada redaksi
ayat ini menunjukkan bahwa suatu
perubahan baru akan bisa terwujud
bila dilakukan secara bersama-sama
(kolektif) dan terorganisir di bawah
suatu otoritas politik atau pemerintahan
yang berdaulat, agar dapat melahirkan
harmoni dan integrasi yang kuat dalam
masyarakat.

Konsep ekonomi Islam akan dapat
terealisasi secara optimal untuk mewujudkan masyarakat yang rabbani
dan madani bila dijalankan oleh
seluruh entitas masyarakat dalam suatu
negeri secara serempak, sistemis dan
terorganisir di bawah otoritas politik atau
pemerintahan yang berdaulat sebagai
kontrol terhadap kegiatan masyarakat.
Ibnu Abîy Râbi’, al-Mawardi dan Ibnu
Khaldun sebagaimana dikutip Said
Agil dalam bukunya “Islam Humanis”
mengatakan bahwa “untuk mewujudkan
masyarakat yang teratur, diperlukan
terciptanya rasa aman, damai, keadilan
yang menyeluruh yang didasarkan
pada undang-undang untuk mengatur
kerjasama antar kelompok sosial yang
menjamin kepentingan bersama serta
didukkung oleh pemimpin yang
berwibawa untuk melaksanakannya”.

“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara
kamu…” (Qs. al-Nisâ’ [4]: 29).

Disebutkan dalam Qs. al-Ra’d
(13) ayat 11, Allah swt. berfirman
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah
keadaan suatu kaum (masyarakat) sehingga

Dasar Normatif Berekonomi
secara Islami

Di atas, telah dibahas meskipun
dengan bahasa dan uraian yang sangat
sederhana, pesan-pesan etis berekonomi
secara Islami yang juga secara filosofis
dapat dijadikan aspek ontologis ekonomi
Islam. Berikut ini, adalah kerangka dasar
normatif yang mengharuskan kaum
muslimin untuk menjalankan kegiatan
ekonominya secara Islami, yaitu:
Unity (Tauhid)
Dasar tauhid, oleh kalangan ekonom muslim disebut juga dengan
“dasar akidah, ketuhanan, ‘ubûdiyah,
dan agama”. Benar bahwa bila seseorang telah meyakini bahwa Allah swt.
adalah Tuhan yang wajib disembah
yang ditunjukkan dengan dua kalimat
syahadat (syahâdatayn), secara langsung ia

iqtishaduNa

Volume 5 Nomor 1 Juni 2014

| 59

telah mentauhidkan Allah dan menjadi
beragama. “Dan Aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku” (Qs. alDzâriyât [51]: 56).
Keberagamaan ini, menjadi dasar
yang sangat fundamental dan sakral
bagi manusia untuk menjalani kehidupannya sesuai dengan tuntunan
agama, termasuk di dalamnya kegiatan
ekonomi.
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki
yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah
dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah
sesat, sesat yang nyata” (Qs. al-Ahzâb
[33]: 36).
“Bagi tiap-tiap umat telah Kami
tetapkan syari'at tertentu yang mereka
lakukan, maka janganlah sekali-kali
mereka membantah kamu dalam urusan
(syari'at) ini dan serulah kepada (agama)
Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benarbenar berada pada jalan yang lurus”
(Qs. al-Hâj [22]: 67).
Bila tata ekonomi Islam bersumber
dari Tuhan, maka secara konseptual ia
adalah ekonomi ke-Tuhanan, dalam
arti bahwa prinsip-prinsip dasarnya
bersumber dari al-Quran dan al-Hadis.
Bila demikian, menjalankan aktifitas
ekonomi secara islami merupakan
sebuah keharusan sebagai wujud
pengabdian kepada Allah swt.

60 |

iqtishaduNa

Jurnal Ekonomi Islam

Dasar Khilafah
Manusia adalah makhluk yang
Allah ciptakan paling sempurna,
mulia dan beragama (homo religious).
Karena kesempurnaan, kemuliaan dan
keberagamaan yang disandangnya inilah
ia mendapatkan tugas sebagai duta,
pemegang amanat dari Allah untuk
menjaga, menglola dan memanfaatkan
sumber daya alam untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya secara wajar.
“… Dia telah menciptakan kamu dari
bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya…” (Qs. Hûd [11]:
61)
“Berimanlah kamu kepada Allah dan
Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian
dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya, …” (Qs.
al-Hadîd [57]: 7).
Tugas untuk menjaga, mengelola
dan memanfaatkan sumber daya alam
yang diembankan kepada manusia, tidak
tertentu untuk kepentingan pribadinya
tetapi juga untuk kepenetingan orang
lain, masyarakat sekitar, bangsa, agama
bahkan alam raya ini sekalipun. Bila
hal tersebut diabaikan, dapat dipastikan
dunia ini akan hancur disebabkan
kerakusan manusia, terjadi eksploitasi
alam secara besar-besaran, harta benda
cenderung dihambur-hamburkan daripada dizakatkan atau diinfakkan, dll.

‫ت‬
ِ َ ْ‫َظ َه َر الْ َف َسا ُد ِفى ال‬
ْ َ‫ب َو الْبَ ْح ِر ِبَا َك َسب‬
.)41 :‫ (الروم‬... ،‫َاس‬
ِ ‫أَيْ ِدي الن‬
“Telah nampak kerusakan di darat dan
di laut disebabkan karena perbuatan

tangan manusi…” (QS. al.Rûm [30]:
41).
PenUtUP
Kegiatan ekonomi merupakan aktifitas seluruh komunitas hidup di
seluruh penjuru alam. Setiap aktifitas
yang orientasinya adalah pemenuhan
kebutuhan hidup merupakan kegiatan
ekonomi. Manusia, secara alamiah
seperti telah dijelaskan di atas memiliki
keinginan dan kebutuhan yang tidak
terbatas dalam hidupnya, sehingga ia
cenderung berlebih-lebihan dalam memandang material (tirani materialisme),
rakus, sombong dikala mendapatkan
nikmat dan berkeluh kesah dikala
mendapatkan musibah.
Islam adalah agama yang mendasari
prinsip hukumnya pada keadilan. Keadilan yang diamanatkan Islam dalam
setiap dimensi kehidupan, hendak
menghapus seluruh kecenderungan
buruk pada diri manusia akibat
motif ekonominya. Hal ini, karena
manusia secara depacto memiliki hak
dan kedudukan yang sama dalam
menjalankan aktifitas sosialnya, dalam
menjalankan kewajiban maupun dalam
menuntut haknya, tanpa membedakan
status sosial tertentu mereka dalam
masyarakat.
Konsep keseimbangan yang diajarkan Islam hendak menghapus sisisisi yang tidak sepadan dalam tata
kehidupan manusia. Kecenderungan
yang terlalu tinggi kepada dunia sehingga
lupa kepada akhirat atau sebaliknya,
berkonsumsi melebihi batas kebutuhan
tubuh dan batas yang dihalalkan
dalam agama, terlalu mengutamakan

kepentingan pribadi sehingga lupa
kepada kepentingan orang lain, terlalu
kikir atau bakhil sehingga enggan
untuk memberi atau sebaliknya, terlalu
spekulatif sehingga lupa dengan realitas,
terlalu obsesif shingga lupa dengan
raja’, terlalu cinta hidup sehingga takut
kepada mati, dll.
Hidup yang seimbang diantara
dua sisi yang tersebut di atas, akan
menjadikan manusia hidup realistis,
kerja secara etis tanpa harus melupakan
do’a, hidup humanis, berkonsumsi
secara wajar, jauh dari spekulasi yang
tidak masyrû’, menggantungkan cita-cita
pada Allah swt, serta siap siaga untuk
menghadapi kematian yang merupakan
cerita akhir sebuah perjalanan hidup.
Daftar Pusataka
M.

Nasution. Metode
Naturalistik-Kualitatif.
Tarsito, 1992.

Penelitian
Bandung:

M. Umer Chapra. Reformasi Ekonomi
Sebuah Solusi Prspektif Islam. terj.
Ikhwan Abidin Basri. Jakarta:
Bumi Aksara, 2008.
M. Yatimin Abdullah. Studi Islam
Kontemporer. Jakarta: Amzah,
2006.
Mestika
Zed.
Metode
Penelitian
Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2008.
Miftahul Huda. Aspek Ekonomi dalam
Syari’at Islam. Mataram: LKBH
IAIN Mataram, 2007.

iqtishaduNa

Volume 5 Nomor 1 Juni 2014

| 61

Mochtar Naim. Kompendium Himpunan
Ayat-ayat Al-Quran Ekonomi.
Jakarta: Hasanah, 2001.

Muhammad.
Metodologi
Penelitian
Ekonomi Islam. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2008.

Mohammad Daud Ali. Sistem Ekonomi
Islam, Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI
Press, 1998.

Muslihun Muslim. Fiqh Ekonomi
dan Positivisasinya di Indonesia.
Mataram: LKIM IAIN Mataram,
2006.

Mudrajad Kuncoro. Metode Riset Untuk
Bisnis dan Ekonomi: Bagaimana
Meneliti dan Menulis Tesis. Jakarta:
Erlangga, 2003.

Pius A Partanto. Kamus Ilmiah Populer.
Surabaya: Arkola, 1994.

Muhaimin, dkk. Dimensi-dimensi Studi
Islam. Surabaya: Karya Abditama,
1994.

Rabîy’ ibn Hâdy ‘Umayr al-Mudkhaly.
Mudzakkarat
al-Hadits
alNabawy. Madinah: Al-Jâmi’ah alIslâmiyyah, 1418 H.

Mukhlis (Ed.). Metodologi Studi Islam.
Mataram: IAIN Mataram Press,
2006.

Rosadi Ruslan. Metode Penelitian Public
Relations dan Komunikasi. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2003.

Muhammad dan Ridwan Mas’ud. Zakat
dan Kemiskinan. Yogyakarta: UII
Press, 2005.

Said Aqil Husin al-Munawwar, dkk.
Muslim Humanis. Jakarta: PT
Moyo Segoro Agung, 2011.

Muhammad Rawwas. Ensiklopedi Fiqih
Cet. 1. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1999.

Soeratno dan Lincolin Arsyad. Metode
Penelitian Untuk Ekonomi dan Bisnis.
Yogyakarta: BPFE dan LMP2M
AMP YKPN, 1998.

Muhammad Soebari. Amal Islami.
Jakarta: Khaerul Bayan, 2003.
Muhammad Syafi’i Antonio. Bank
Syari’ah Dari Teori Ke Praktik.
Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Muhammad Tholchah Hasan. Dinamika
Kehidupan Religius. Jakarta: Lista
Fariska Putra, tt.
Muhammad Yusuf Musa. Islam: Suatu
Kajian Komprehensif (Judul Asli:
Al-Islâm wa Hâjat al-Insâniyyah
Ilayh), Penerj. A. Malik Madany
dan Hamim Ilyas. Jakarta:
Rajawali, 1988.

62 |

iqtishaduNa

Jurnal Ekonomi Islam

Muhammad Baihaqi (Ed.). Tesis
Tentang
Studi
Komparatif
Pemikiran
Fuqaha
Tentang
Penambahan Jumlah Pembayaran
Hutang Akibat Inflasi. Yogyakarta:
UII, 2005.
Suprayogo, Imam, dkk., Metodologi
Penelitian Sosial Agama (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2003).
Syaiful Sagala. Konsep dan Makna
Pembelajaran. Bandung: Alfabeta,
2010.

Yusuf Al-Qordhowi. Norma dan Etika
Ekonomi Islam. Jakarta: Gema
Insani Press, 1997.
Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam.
Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Bahan Online
AA. Islahi. Konsep Ekonomi Ibnu
Taimiyah. Surabaya: Bina Ilmu,
1997., dalam Sjamsul Arifin
(Ed.), “Peran Negara Terhadap
Pembangunan dan Kebijakan
Dalam Ekonomi Islam”, dalam
http://www.ekisonline.com
/
component/content/article/35ekonomi-makro/288-perannegara-terhadap -pembangunandan-kebijakan-dalam-ekonomiislam.html.
Asyraf Wajdi Dusuki, “Ibn Khaldun’s
Concept Of Social Solidarity
And Its Implication To GroupBased Lending Scheme”, dalam
http://www. iefpedia.com/english/
wp-content/uploads/2010/03/
Ibn-Khaldun%E2%80
%99sConcept-Of-Social-SolidarityAnd-Its-mplication-To-GroupBased-Lending-Scheme-Dr.Asyraf-Wajdi-Dusuki.pdf.

Asyraf Wajdi Dusuki, “Ibn Khaldun's
Concept Of Social Solidarity
And Its Implication To GroupBased Lending Scheme”, dalam
http://www.
iefpedia.
com/
english/?p=4895.
Atidy Mahrusi, dkk., “Pembangunan
Ekonomi Dalam Islam” dalam
http://www.google.co.id/#hl=id
&source=hp&q=teori+pembang
unan+dan +pertumbuhan+eko
nomi+dalam+islam&oq=teori+
pembangunan+dan+pertumbuh
an+ekonomi+dalam+islam&aq
=f&aqi=&aql=&gs_sm=e&gs_u
pl=2317l25091l0l75l71l9l42l48l0l
887l9462l2-5.2.5.6.2l20&fp=1&b
iw=1440&bih=710.
Admin, “definisi monopoli”, dalam
http://www.artikata.com/arti341253-monopo li.html.
Admin,
“Keynesianisme”,
dalam
http://id.wikipedia.org/wiki/
Keynesianisme.
Admin,
“Laissez-Faire”,
dalam
http://id.wikipedia.org/wiki/
Kapitalisme_laissez-faire.
Admin, “Latar Belakang dan Penganjur
Sosialisme”, dalam http://www.
scribd.
com/doc/17547959/
Latar-Belakang-Dan-PenganjurSosialisme.

iqtishaduNa

Volume 5 Nomor 1 Juni 2014

| 63