PEMBELAJARAN PELAYANAN TRADISIONAL VS KR

PEMBELAJARAN-PELAYANAN TRADISIONAL VS KRITIS: KAJIAN LITERATUR UNTUK MEMBEDAKAN DUA MODEL *

Tania D. Mitchell

Universitas Stanford

ABSTRAK

Ada literatur yang berkembang yang menganjurkan pendekatan “kritis” terhadap pembelajaran berbasis pengabdian masyarakat dengan tujuan keadilan sosial secara eksplisit. Orientasi perubahan sosial, yang berupaya untuk membagi kembali kekuasaan dan pengembangan hubungan autentik yang paling sering dikutip dalam literatur sebagai titik tolak dari Pembelajaran-Pelayanan tradisional. Tinjauan literatur ini menyingkapkan unsur- unsur pembeda ini.

Segmen yang berkembang dari literatur Pembelajaran-Pelayanan (service-learning) dalam pendidikan tinggi mengasumsikan bahwa pengabdian masyarakat yang terkait dengan pembelajaran kelas secara inheren terkait dengan masalah keadilan sosial (Delve, Mintz, & Stewart, 1990; Jacoby, 1996; Rosenberger, 2000; Wade, 2000; 2001; Warren, 1998). Selain itu, ada beberapa literatur yang mengemukakan bahwa pendekatan Pembelajaran-Pelayanan (service learning) tradisional itu saja tidak cukup (Brown, 2001; Butin, 2005; Cipolle, 2004; Marullo, 1999; Robinson 2000a, 2000b; Walker, 2000). Literatur ini menganjurkan pendekatan “kritis” untuk pembelajaran berbasis pengabdian masyarakat dengan tujuan eksplisit menuju keadilan sosial.

Mengacu pada literatur Pembelajaran-Pelayanan (service learning) , saya menyingkapkan unsur-unsur yang membedakan pedagogi Pembelajaran-Pelayanan (service learning) kritis. Dalam meninjau literatur, saya tertantang oleh debat tak tertulis yang tampaknya membagi Pembelajaran-Pelayanan (service learning) menjadi dua kubu ―pendekatan nasional yang menekankan pengabdian tanpa memperhatikan sistem ketidaksetaraan dan pendekatan kritis yang tiada ampun dalam usahanya membongkar struktur ketidakadilan. Tiga elemen yang paling sering dikutip dalam literatur sebagai titik

Traditional vs. Critical Service-Learning: Engaging the Literature to Differentiate Two Models, alih bahasa Ismail Suardi Wekke.

tolak pada kedua pendekatan ini bekerja untuk membagi kembali kekuasaan di antara semua peserta dalam hubungan Pembelajaran-Pelayanan (service learning), mengembangkan hubungan autentik di kelas dan di masyarakat, dan bekerja dari perspektif perubahan sosial. Saya ingin memahami dan menjelaskan perbedaan dalam pendekatan ini dan seperti apa dalam praktiknya. Bagaimana kurikulum, pengalaman, dan hasil dari mata kuliah Pembelajaran-Pelayanan kritis bisa berbeda dari mata kuliah Pembelajaran-Pelayanan tradisional?

Pendekatan kritis membayangkan kembali peran anggota masyarakat, mahasiswa, dan staf dosen dalam pengalaman Pembelajaran-Pelayanan (service learning). Tujuannya, pada akhirnya, adalah untuk mendekonstruksi sistem kekuasaan sehingga kebutuhan akan pengabdian dan ketidaksetaraan untuk menciptakan dan mempertahankannya akan diketahui. Artikel ini menggunakan perspektif dari berbagai literatur untuk mengungkap dan menjelaskan makna pandangan Pembelajaran-Pelayanan kritis. Dalam membahas tiga elemen pembeda masing-masing dari pendekatan Pembelajaran-Pelayanan kritis, saya memeriksa komponen kelas dan masyarakat.

Pembelajaran-Pelayanan Tradisional vs. Kritis

Pembelajaran berbasis pengabdian masyarakat “berfungsi sebagai sarana untuk menghubungkan mahasiswa dan institusi dengan masyarakat mereka dan manfaat sosial yang lebih besar, sementara di sisi lain juga menanamkan nilai-nilai masyarakat dan tanggung jawab sosial pada maha siswa” (Neururer & Rhoads, 1998, hal. 321). Karena Pembelajaran- Pelayanan (service learning) sebagai pedagogi dan praktik sangat bervariasi antara pendidik dan institusi, maka sulit sekali membuat definisi yang memunculkan konsensus di antara para praktisi (Bickford & Reynolds, 2002; Butin, 2005; Kendall, 1990; Liu, 1995; Varlotta, 1997a). Namun, saya menggunakan istilah Pembelajaran-Pelayanan dan pembelajaran berbasis pengabdian masyarakat untuk menentukan tindakan pengabdian masyarakat yang Pembelajaran berbasis pengabdian masyarakat “berfungsi sebagai sarana untuk menghubungkan mahasiswa dan institusi dengan masyarakat mereka dan manfaat sosial yang lebih besar, sementara di sisi lain juga menanamkan nilai-nilai masyarakat dan tanggung jawab sosial pada maha siswa” (Neururer & Rhoads, 1998, hal. 321). Karena Pembelajaran- Pelayanan (service learning) sebagai pedagogi dan praktik sangat bervariasi antara pendidik dan institusi, maka sulit sekali membuat definisi yang memunculkan konsensus di antara para praktisi (Bickford & Reynolds, 2002; Butin, 2005; Kendall, 1990; Liu, 1995; Varlotta, 1997a). Namun, saya menggunakan istilah Pembelajaran-Pelayanan dan pembelajaran berbasis pengabdian masyarakat untuk menentukan tindakan pengabdian masyarakat yang

Penelitian menggagas program Pembelajaran-Pelayanan (service learning) tradisional karena sifat transformatifnya ―yang menjadikan mahasiswa yang lebih toleran, altruistik, dan sadar budaya; yang memiliki kepemimpinan dan keterampilan komunikasi yang lebih kuat; dan mereka yang (walaupun sedikit) mendapatkan rata-rata Indeks Prestasi yang lebih tinggi dan memiliki kemampuan berpikir kritis yang lebih kuat daripada rekan-rekan mereka yang bukan Pembelajaran-Pelayanan (Astin & Sax, 1998; Densmore, 2000; Eyler & Giles, 1999; Kezar, 2002; Markus, Howard, & King, 1993). Karena sebagian besar bukti ini, Pembelajaran-Pelayanan telah muncul di kampus perguruan tinggi dan universitas sebagai praktik yang efektif untuk meningkatkan pembelajaran dan pengembangan mahasiswa. Tetapi beberapa penulis menegaskan bahwa, “menunjukkan bahwa semua bentuk pengabdian masyarakat sama-sama mengembangkan etika kepedulian, membangun identitas dewasa, dan meningkatkan pemahaman kita tentang komunitas itu semua menyesatkan ” (Neururer & Rhoads, 1998, hal. 329).

Ada beberapa contoh dalam literatur di mana pembelajaran berbasis pengabdian masyarajat dikecam, diberi label sebagai amal atau “sukarelawan paksa,” dikritik karena memperkuat hierarki yang sudah ditetapkan, dan dianggap paternalistik (Boyle-Baise, 1998; Cooks, Scharrer & Paredes, 2004; Cruz, 1990; Forbes, Garber, Kensinger, & Slagter, 1999;

Ginwright & Cammarota, 2002; Levinson, 1990; McBride, Brav, Menon, & Sherraden, 2006; Pompa, 2002; Sleeter, 2000). Pompa (2002) menjelaskan keberatannya:

Kecuali difasilitasi dengan perhatian dan kesadaran penuh, “pengabdian” tanpa disadari pun bisa menjadi sebuah latihan dalam patronisasi. Dalam sebuah masyarakat yang penuh dengan struktur hierarkis dan filosofi patriarkat, potensi bahaya Pembelajaran-Pelayanan adalah menjadi upaya keras untuk menjauhkan diri (hal. 68)

Robinson (2000a) setuju, dengan berani menyatakan bahwa Pembelajaran-Pelayanan (service learning) sebaga i praktik depolitisasi menjadi “sistem kesejahteraan yang dimuliakan” (hal 607). Tanpa pengamalan kepedulian dan kesadaran, memperhitungkan akar penyebab masalah sosial, dan melibatkan mahasiswa dalam berbagai tindakan dan inisiatif dalam menangani akar penyebabnya, Pembelajaran-Pelayanan (service learning) mungkin tidak berdampak melebihi niat baik mahasiswa. Bahkan, pengalaman Pembelajaran-Pelayanan (service learning) yang tidak memperhatikan berbagai isu dan masalah tersebut mungkin melibatkan mahasiswa dalam komunitas sedemikian rupa sehingga melestarikan ketidaksetaraan dan memperkuat dikotomi “kita-mereka”. Lebih lanjut, interpretasi Pembelajaran-Pelayanan (ironisnya) berfungsi untuk memobilisasi dan meningkatkan mahasiswa yang mempunyai hak istimewa agar berpartisipasi dan menganut sistem hak istimewa (Brown, 2001), melestarikan struktur sosial yang tidak adil (Roschelle, Turpin, & Elias, 2000), dan dapat bertindak untuk “menormalkan dan membudayakan kecenderungan radikal ” dari komunitas pendukung, mahasiswa, dan diri kita sendiri (Robinson, 2000b, hal.146). Ginwright dan Cammarota (2002) mengkritik pembelajaran pelayanan, menganjurkan pendekatan keadilan sosial sebagai gantinya:

Tidak seperti “pembelajaran berbasis pengabdian”, di mana anak muda belajar melalui partisipasi dalam berbagai proyek pengabdian masyarakat, kesadaran

sosial memberikan penekanan pada pemecahan masalah masyarakat melalui berpikir kritis yang menimbulkan pertanyaan tentang akar kesenjangan sosial. Misalnya, pendekatan belajar mengabdi bisa mendorong remaja untuk berpartisipasi dalam aktivitas pelayanan yang menyajikan makanan bagi tunawisma, sementara kesadaran sosial mendorong anak muda untuk memeriksa dan memengaruhi keputusan politik dan ekonomi yang memungkinkan para tunawisma mendapat tempat pertama. Tercermin dalam contoh ini adalah pemahaman kritis tentang bagaimana sistem dan institusi menyokong para tunawisma. Melalui analisis komunitas mereka, kaum muda mengembangkan perasaan mendalam tentang bagaimana institusi bisa lebih baik melayani komunitas mereka sendiri dan memulai strategi untuk membuat lembaga ini responsif terhadap kebutuhan mereka (halaman 90)

Meskipun saya setuju dengan Neururer dan Rhoads (1998), adalah hal yang menyesatkan bila mengemukakan bahwa semua pengalaman Pembelajaran-Pelayanan (service learning) mendorong jenis analisis kritis yang disinggung oleh Ginwright dan Cammarota, saya percaya bahwa sama-sama menyesatkan bila menyatakan bahwa tidak ada kelas atau program Pembelajaran-Pelayanan yang mendorong analisis mendalam atau pendekatan terhadap pemecahan masalah masyarakat yang disebut Ginwright dan Cammarota kesadaran sosial. Di bidang pembelajaran pelayanan, pendekatan yang diberi label sebagai “belajar mengabdi” dan “kesadaran sosial” oleh Ginwright dan Cammarota mungkin terjadi diberi label sebagai Pembelajaran-Pelayanan tradisional dan kritis.

Konsep Pembelajaran-Pelayanan kritis pertama kali muncul dalam eksplorasi Robert Rhoads (1997) terhadap “pengabdian masyarakat kritis.” Rice dan Pollack (2000) dan Rosenberger (2000) menggunakan istilah “pengabdian masyarakat kritis” tersebut untuk menggambarkan pengalaman belajar berbasis pengabdian secara akademis dengan orientasi

keadilan sosial. Tujuan eksplisit terhadap keadilan sosial menantang persepsi tradisional tentang pengabdian “sebagai pemenuhan kebutuhan individu tetapi biasanya bukan sebagai tindakan politis yang dimaksudkan untuk meng ubah ketimpangan struktural” (Rosenberger, hal 29). Sebuah penelitian baru-baru ini oleh Wang dan Rodgers (2006) menunjukkan bahwa pendekatan keadilan sosial terhadap Pembelajaran-Pelayanan menghasilkan pemikiran yang lebih kompleks dan keterampilan penalaran daripada mata kuliah Pembelajaran-Pelayanan tradisional. Pendekatan kritis mencakup sifat politis dari pengabdian dan mengupayakan keadilan sosial lebih dari sekadar pandangan tradisional tentang kewarganegaraan. Orientasi pedagogis progresif ini mengharuskan pendidik untuk berfokus pada tanggung jawab sosial dan berbagai masalah komunitas yang kritis. Maka kemudian, Pembelajaran-Pelayanan menjadi “instrumen pemecahan masalah dari reformasi sosial dan politik” (Fenwick, 2001, halaman 6).

Program Pembelajaran-Pelayanan kritis mendorong mahasiswa untuk memandang diri mereka sebagai agen perubahan sosial dan menggunakan pengalaman pengabdian untuk menghadapi dan menanggapi ketidakadilan dalam masyarakat. Rahima Wade (2000) menyatakan perspektif ini “pengabdian untuk standar ideal” yang bertentangan dengan “pengabdian kepada individu” (halaman 97). Boyle Baise (2007) memberinya label “pengabdian untuk kesadaran kritis.” Marullo (1999) menganggap Pembelajaran-Pelayanan sebagai pedagogi revolusioner karena potensinya terhadap perubahan sosial. Pembelajaran pelayanan, dia menyatakan:

Jika diterapkan dengan benar, maka harus bersikap kritis terhadap status quo dan akhirnya harus menantang struktur yang tidak adil dan operasi institusional yang menindas. Ini adalah komponen analitis dari Pembelajaran-Pelayanan yang memberikan potensi revolusioner, karena justru komponen inilah yang akan mengungkapkan sifat ketidaksetaraan, ketidakadilan, dan penindasan sosial Jika diterapkan dengan benar, maka harus bersikap kritis terhadap status quo dan akhirnya harus menantang struktur yang tidak adil dan operasi institusional yang menindas. Ini adalah komponen analitis dari Pembelajaran-Pelayanan yang memberikan potensi revolusioner, karena justru komponen inilah yang akan mengungkapkan sifat ketidaksetaraan, ketidakadilan, dan penindasan sosial

Untuk mengaktualisasikan potensinya, Boyle-Baise (2007), Wade (2000), dan Marullo (1999) memahami bahwa hal Pembelajaran-Pelayanan kritis harus menekankan keterampilan, pengetahuan, dan pengalaman yang dibutuhkan mahasiswa untuk tidak hanya berpartisipasi dalam masyarakat, tetapi untuk mentransformasikan mereka sebagai warga negara yang terlibat dan aktif. Pembelajaran-Pelayanan kritis harus berfokus pada terciptanya kemitraan masyarakat-universitas yang sejati di mana berbagai isu dan masalah masyarakat adalah sama pentingnya (dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi) sebagaimana halnya pembelajaran dan pengembangan mahasiswa (Brown, 2001). Pembelajaran-Pelayanan kritis harus mencakup “agenda progresif dan liberal” yang mendasari praktiknya (Butin, 2006, hal.

58) dan berfungsi sebagai landasan untuk pedagogi Pembelajaran-Pelayanan (Brown, 2001). Upaya merealisasikan potensi pedagogi dan menghindari paternalisme ini menuntut orientasi perubahan sosial, yang bekerja untuk membagi kembali kekuasaan, dan mengembangkan hubungan autentik sebagai pusat pengalaman kelas dan masyarakat (lihat Gambar 1).

Orientasi Perubahan Sosial

Pengembangan mahasiswa dan perubahan masyarakat sering dipandang saling eksklusif. Interpretasi Pembelajaran-Pelayanan tradisional cenderung menekankan mahasiswa dengan berfokus pada pengalaman “pra-professional” (memandang pengabdian seperti magang atau praktikum), dan pengembangan pribadi atau sosial mahasiswa (kebanyakan sikap terhadap kepemimpinan, altruisme, dan kadangkala pikiran atau perasaan tentang orang-orang yang mengabdi dalam masyarakat). “Jarang sekali mahasiswa dalam program Pembelajaran- Pelayanan mempertimbangkan apakah beberapa ketidakadilan telah menciptakan kebutuhan akan pengabdian pada posisi pertama” (Wade, 2001, hal 1). Beberapa program yang mungkin lebih menekankan pada perubahan sosial dapat digolongkan atau disingkirkan sebagai aktivisme, atau dianggap tidak pantas atau terlalu politis untuk pembelajaran kelas. Wade mengemukakan kepraktisan Pembelajaran-Pelayanan tradisional (pengabdian kepada individu) versus Pembelajaran-Pelayanan kritis (pengabdian untuk standar ideal) dapat menjelaskan keunggulan program Pembelajaran-Pelayanan yang menekankan hasil mahasiswa daripada perubahan masyarakat:

Secara umum, pengabdian untuk standar ideal lebih menarik bagi saya karena potensi kekuatan terhadap efek perubahan pada lebih banyak orang. Namun, dalam praktiknya, pengabdian kepada individu lebih mudah diakses dan lebih mudah untuk difasilitasi dengan kelompok mahasiswa tertentu dalam waktu singkat (misalnya, satu semester). (hal. 98)

Dalam program Pembelajaran-Pelayanan yang tidak mengambil pendekatan kritis, penekanan pengalaman mengabdi adalah untuk menemukan beberapa kesempatan bagi mahasiswa untuk melakukan upaya baik yang akan menguntungkan lembaga pengabdian, dan memberi mahasiswa kesempatan untuk merenungkan pekerjaan yang mereka lakukan dan mungkin atas asumsi dan stereotip mereka sendiri tentang individu dengan siapa mereka melayani.

Jenis pendekatan Pembelajaran-Pelayanan ini membutuhkan “penekanan berbagai isu identitas dan perbedaan sebagai cara untuk menolong mahasiswa untuk mengubah pandangan pribadi dan dunia luar mereka dan mempersiapkan mahasiswa dengan berbagai ide dan keterampilan baru yang bisa membantu mereka mengerti dan bekerja melintasi berbagai

perbedaan” (Chesler & Vasques Scalera, 2000, hal. 19). Chesler (1995), Eby (1998), Ginwright dan Cammarota (2002), dan Robinson (2000a; 2000b) semuanya mengingatkan bahwa jenis program pengabdian ini, meskipun bermanfaat bagi mahasiswa dalam peran pengabdian dan menyediakan layanan yang sangat dibutuhkan dalam masyarakat, namun tidak mengarah pada transformasi apa pun dalam masyarakat dan tentu saja tidak memasuki potensi revolusioner yang Marullo (1999) bayangkan. Mark Chesler (1995) menjelaskan:

Pembelajaran-Pelayanan tidak harus mengarah pada pengabdian yang lebih baik, dan tentu saja tidak harus mengarah pada perubahan sosial. Ketika mahasiswa menyesuaikan dengan peran lembaga tertentu untuk pekerjaan pengabdian mereka, biasanya mereka tidak menantang sifat dan operasi atau kualitas lembaga ini dan aktivitasnya. Seperti kita memberikan pengabdian yang terutama bereaksi terhadap masalah-masalah pendidikan yang tidak memadai, kurangnya tenaga kerja dan minimnya dana perawatan kesehatan, layanan pengumpulan sampah yang tidak memadai, lembaga pemasyarakatan yang gagal ―pengabdian kami tidak berfokus pada tantangan atau mengarahkan perhatian untuk mengubah penyebab masalah-masalah ini. (hal. 139)

Gambar 1. Pembelajaran-Pelayanan Tradisional vs. Kritis

Pembelajaran-Pelayanan Tradisional

Komponen masyarakat

Refleksi

Belajar untuk

Mengabdi

mengabdi

untuk belajar

Refleksi

Komponen kelas

Pembelajaran-Pelayanan Kritis

Komponen masyarakat Refleksi

Orientasi Berupaya Membagi Mengembangkan Perubahan

Komponen kelas

Meskipun perubahan individu dan pengembangan mahasiswa adalah hasil yang diinginkan dari Pembelajaran-Pelayanan tradisional dan kritis, pedagogi Pembelajaran-Pelayanan kritis menyeimbangkan hasil mahasiswa dengan penekanan pada perubahan sosial. Ini memerlukan pemikiran ulang jenis kegiatan pengabdian yang melibatkan mahasiswa, serta mengorganisasi proyek dan tugas yang menantang mahasiswa untuk menyelidiki dan memahami akar Meskipun perubahan individu dan pengembangan mahasiswa adalah hasil yang diinginkan dari Pembelajaran-Pelayanan tradisional dan kritis, pedagogi Pembelajaran-Pelayanan kritis menyeimbangkan hasil mahasiswa dengan penekanan pada perubahan sosial. Ini memerlukan pemikiran ulang jenis kegiatan pengabdian yang melibatkan mahasiswa, serta mengorganisasi proyek dan tugas yang menantang mahasiswa untuk menyelidiki dan memahami akar

Berbagai upaya perubahan sosial “[menunjukkan] ketidaksetaraan dan tantangan sosial mendasar yang sangat besar dengan menciptakan struktur dan kondisi yang meningkatkan persamaan, otonomi, kerjasama, dan keberlanjutan” (Langseth & Troppe, 1997, hal 37). Para praktisi pembelajaran berbasis pengabdian yang ingin bergerak ke arah Pembelajaran-Pelayanan secara kritis harus menemukan cara untuk mengorganisasi proyek dan pekerjaan masyarakat yang memungkinkan para peserta Pembelajaran-Pelayanan untuk menganalisis pekerjaan mereka secara kritis dalam masyarakat. Para pendidik yang menggunakan pedagogi pembelajaran berbasis pengabdian secara kritis harus mendukung mahasiswa dalam memahami konsekuensi pengabdian di samping berbagai kemungkinan ―bagaimana cara pengabdian bisa membuat perbedaan serta bagaimana cara itu bisa mengabadikan sistem ketidaksetaraan. O'Grady (2000) mengingatkan kita, “Menanggapi kebutuhan individu manusia itu penting, namun jika kebijakan sosial yang menciptakan kebutuhan ini juga tidak dipahami dan diatasi, maka siklus ketergantungan tetap ada” (hal 13).

Rhoads (1998) memberikan beberapa “pertanyaan penting” yang membimbing pendekatan Pembelajaran-Pelayanan secara kritis: “Mengapa kita memiliki kesenjangan ekonomi yang signifikan antara kelompok ras yang berbeda? Mengapa perempuan terus menghadapi ketidakadilan ekonomi dan sosial? Mengapa negara terkaya di bumi mempunyai ma salah serius dengan tunawisma?” (halaman 45). Jika program Pembelajaran-Pelayanan tidak mengajukan semua pertanyaan ini atau mendorong mahasiswa untuk menyelidiki hubungan antara struktur dan kebijakan institusional dan orang-orang yang “dilayani,” mahasiswa yang Pembelajaran-Pelayanan tidak boleh bergerak melampaui pelayanan

“pembalut luka” dan menuju tindakan yang diarahkan pada pemberantasan siklus ketergantungan dan penindasan (Levinson, 1990; O'Grady, 2000; Walker, 2000).

Pedagogi Pembelajaran-Pelayanan secara kritis mendorong kesadaran kritis, yang membantu mahasiswa menggabungkan tindakan dan refleksi di kelas dan masyarakat untuk memeriksa, baik preseden historis dari masalah sosial yang ditangani di penempatan tugas pengabdian mereka dan dampak tindakan/non-tindakan pribadi mereka dalam mengurus dan mengubah masalah tersebut. Analisis ini membantu mahasiswa menghubungkan kehidupan mereka sendiri dengan kehidupan orang-orang yang bekerja sama dengan mereka dalam pengalaman pengabdian mereka. Selanjutnya, pendekatan Pembelajaran-Pelayanan kritis membantu mahasiswa mengetahui sifat institusional dan sistemik dari penindasan. Dinamika aksi/refleksi dari pedagogi Pembelajaran-Pelayanan kritis mendorong kontemplasi terhadap kontribusi pribadi maupun institusi terhadap masalah sosial dan tindakan yang dapat menjurus pada perubahan sosial (Marullo, 1999; Rice & Pollack, 2000). Praksis ini menyoroti sifat politis pedagogi yang bertujuan untuk menangani dan berkontribusi untuk membongkar ketimpangan struktural.

Pengabdian masyarakat yang dipandang sebagai bagian dari dinamika aksi/refleksi yang berkontribusi pada perubahan sosial itu cukup berbahaya karena menumbuhkan keinginan untuk mengubah struktur sosial dan ekonomi masyarakat kita. Ini bersifat politis karena mempersoalkan bagaimana kekuatan didistribusikan serta hubungan antara kekuatan dan ekonomi. (Rhoads, 1997, hal. 201)

Chesler dan Vasques Scalera (2000) be rpendapat, “program yang berfokus pada perubahan sosial melibatkan mahasiswa lebih langsung dalam mobilisasi untuk menantang struktur rasis dan seksis di lembaga masyarakat dan dalam alokasi sumber daya sosial yang langka, dan mendorong pembangunan program dan kebijakan yang berorientasi pada masyarakat ”

(halaman 19). Melalui pendekatan Pembelajaran-Pelayanan yang kritis, mahasiswa dapat memandang ke depan dan mempertimbangkan jenis pekerjaan, di luar usaha pengabdian yang sudah ada, yang mungkin memperbaiki atau mengubah berbagai masalah sosial dan mengarah pada perubahan yang berkelanjutan (Wade, 2001).

Komponen Masyarakat “Kami mengabaikan berbagai aktivitas yang mengatasi akar permasalahan struktural,” Robinson (2000b, hal.145) memperingatkan. Pekerjaan pengabdian yang memerlukan partisipasi sebagian besar peserta didik pembelajaran pelayanan ―misalnya, les privat, dapur umum, program pengayaan setelah sekolah―diciptakan untuk kepentingan para mahasiswa, yang mempertimbangkan “keterampilan, jadwal, minat, dan agenda belajar mahasiswa dalam pembelajaran berbasis pengabdian daripada memenuhi kebutuhan masyarakat sesungguhnya” (Eby, 1998, hal. 4). Dengan cara ini, kebutuhan akan pembelajaran berbasis pengabdian sering diutamakan mahasiswa daripada isu dan permasalahan masyarakat, dan tugas pengabdian yang dilaksanakan kurang transformatif.

Melibatkan mahasiswa dalam tugas pengabdian yang berorientasi pada perubahan sosial akan lebih sulit. Para praktisi mungkin perlu bekerja di luar organisasi nirlaba tradisional dan berbasis masyarakat untuk bermitra dengan beberapa kelompok yang aktif bekerja untuk mengubah sistem dan struktur (berbeda dengan “hanya” memberikan pelayanan). Pengabdian yang berorientasi pada perubahan sosial lebih merupakan konsep pelayanan bersifat politis daripada tradisional dan karena itu bisa cenderung terpengaruh pada kritik dari orang-orang yang takut dengan upaya praktik untuk mengindoktrinasi dan bukan mengajar (Butin, 2006; Robinson, 2000a; 2000b). Jenis pengalaman pengabdian yang membantu mahasiswa untuk mempertimbangkan perubahan dan transformasi sosial mungkin tidak membuahkan hasil langsung dan, karena itu, tidak memberikan jenis gratifikasi yang melibatkan mahasiswa dalam pengalaman kelas Pembelajaran-Pelayanan yang lebih Melibatkan mahasiswa dalam tugas pengabdian yang berorientasi pada perubahan sosial akan lebih sulit. Para praktisi mungkin perlu bekerja di luar organisasi nirlaba tradisional dan berbasis masyarakat untuk bermitra dengan beberapa kelompok yang aktif bekerja untuk mengubah sistem dan struktur (berbeda dengan “hanya” memberikan pelayanan). Pengabdian yang berorientasi pada perubahan sosial lebih merupakan konsep pelayanan bersifat politis daripada tradisional dan karena itu bisa cenderung terpengaruh pada kritik dari orang-orang yang takut dengan upaya praktik untuk mengindoktrinasi dan bukan mengajar (Butin, 2006; Robinson, 2000a; 2000b). Jenis pengalaman pengabdian yang membantu mahasiswa untuk mempertimbangkan perubahan dan transformasi sosial mungkin tidak membuahkan hasil langsung dan, karena itu, tidak memberikan jenis gratifikasi yang melibatkan mahasiswa dalam pengalaman kelas Pembelajaran-Pelayanan yang lebih

Forbes dkk. (1999) cukup jelas tentang tujuan yang mereka kehendaki melalui pendekatan Pembelajaran-Pelayanan kritis:

Kami ingin... memberdayakan mahasiswa agar mereka memandang diri mereka sendiri sebagai alat yang mampu bertindak bersama orang lain untuk membangun koalisi, menumbuhkan kesadaran masyarakat, dan menciptakan perubahan sosial. Tujuan kami adalah menghindari jebakan safari budaya, namun mendiskusikan dan menunjukkan perangkat yang akan diperlukan mahasiswa untuk meraih tujuan yang mereka tetapkan dalam parameter yang terlibat dari beragam kehidupan dan persoalan mereka sendiri. Paling tidak, tujuan ini harus mengurangi sikap kasihan yang sering kali timbul dari volunterisme tradisional. (hal 167)

Menugaskan mahasiswa untuk bekerja dalam lembaga atau program khusus saja tidak cukup; dosen, mahasiswa, dan semua staf harus dilibatkan dalam proses dialektika dan responsif yang mendorong analisis dan tindakan untuk mengatasi berbagai isu dan masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Alih-alih memandang lembaga masyarakat sebagai “buku teks yang sangat inovatif ” (Brown, 2001, hlm. 16) atau anggota masyarakat sebagai “penerima manfaat pasif ” (Ward & Wolf-Wendel, 2000, hal. 767) dalam hubungan pembelajaran pelayanan, pedagogi pembelajaran berbasis pengabdian secara kritis melibatkan mitra masyarakat aktif untuk menciptakan dan mendefinisikan layanan pembelajaran pengalaman. Marullo dan Edwards (2000) menyampaikan prinsip-prinsip yang harus membimbing Menugaskan mahasiswa untuk bekerja dalam lembaga atau program khusus saja tidak cukup; dosen, mahasiswa, dan semua staf harus dilibatkan dalam proses dialektika dan responsif yang mendorong analisis dan tindakan untuk mengatasi berbagai isu dan masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Alih-alih memandang lembaga masyarakat sebagai “buku teks yang sangat inovatif ” (Brown, 2001, hlm. 16) atau anggota masyarakat sebagai “penerima manfaat pasif ” (Ward & Wolf-Wendel, 2000, hal. 767) dalam hubungan pembelajaran pelayanan, pedagogi pembelajaran berbasis pengabdian secara kritis melibatkan mitra masyarakat aktif untuk menciptakan dan mendefinisikan layanan pembelajaran pengalaman. Marullo dan Edwards (2000) menyampaikan prinsip-prinsip yang harus membimbing

Komponen Kelas Pedagogi Pembelajaran-Pelayanan yang kritis meminta mahasiswa menggunakan apa yang terjadi di kelas ―bacaan, diskusi, tugas menulis dan kegiatan lainnya―untuk merenungkan pengabdian mereka dalam konteks masalah sosial yang lebih besar. “Visi tersebut sesuai dengan bentuk pembebasan pedagogi di Indonesia dengan tujuan pendidikan adalah untuk menantang mahasiswa agar memiliki pengetahuan akan kekuatan sosial, politik, dan ekonomi yang telah membentuk kehidupan mereka dan kehidupan orang lain ”(Rhoads, 1998, hal. 41).

Mahasiswa harus dianjurkan untuk merenungkan penyebab dan permasalahan struktural yang mengharuskan pengabdian mereka (Eby, 1998; Roschelle dkk., 2000). Marullo dan Edwards (2000) mengingatkan, “Jika penjelasan kausal mahasiswa tentang masalah sosial seperti kemiskinan, buta huruf, atau tunawisma menunjukkan kekurangan atau kelemahan dalam karakteristik individu, sangat mungkin jika mereka telah melewatkan seluruh dimensi keadilan sosial dari masalah tersebut” (hal 903). Dialog, refleksi, dan tugas menulis bisa mendorong analisis yang membantu mahasiswa untuk memahami masalah dunia nyata dan penyebab sistemik di baliknya. Selain itu, menggabungkan pengetahuan masyarakat melalui, misalnya, termasuk presentasi atau mengajar bersama oleh anggota masyarakat yang terlibat dalam kemitraan pembelajaran pelayanan, dapat memberikan informasi “orang dalam” tentang kebutuhan dan persoalan masyarakat dan menghubungkan pada akar penyebabnya sehingga mungkin lebih sulit bagi dosen dan mahasiswa yang menikmati status yang lebih istimewa.

Diskusi tentang apakah bahasa “kebutuhan” masyarakat menyiratkan kekurangan masyarakat dan menciptakan struktur ketidaksetaraan tidak yang dapat dihindari dalam pedagogi Pembelajaran-Pelayanan secara kritis. Mengetahui berbagai kebutuhan, masalah, dan/atau isu masyarakat belum tentu menunjukkan defisit atau kekurangan, melainkan persoalan, masalah, dan sumber daya yang bisa diatasi melalui hubungan pembelajaran pelayanan. Masalah bahasa ini merupakan sebuah tantangan ang dibahas dalam literatur ini namun tidak terselesaikan. Misalnya, meskipun Brown (2001) menantang bahwa merumuskan masalah masyarakat sebagai kebutuhan “menunjukkan bahwa ini adalah kesalahan atau kekurangan masyarakat itu sendiri yang telah menciptakan kebutuhan untuk ditangani ” (hal. 15), dia terus mengimbau penetapan kebutuhan masyarakat di seluruh monograf ini. Kita perlu merekonstruksi “kebutuhan” sebagai istilah yang memicu masalah struktural dan sistemik tanpa menyalahkan individu masyarakat. Pedagogi Pembelajaran- Pelayanan yang kritis mempertimbangkan perubahan sosial dengan menghindari mitos kekurangan sekaligus mengakui bagaimana sistem ketidaksetaraan berfungsi dalam masyarakat kita. Kita harus membantu mahasiswa memahami bahwa pengajaran dan sumber belajar yang tidak memadai, kurangnya perumahan yang terjangkau, memperbaiki undang- undang yang secara tidak adil melakukan kriminalisasi pada para tunawisma, tidak adanya tempat penitipan anak yang dapat diakses dan tersedia, dan distribusi sumber daya pemerintah yang tidak adil (misalnya, kepolisian, pengumpulan sampah, ruang hijau publik, di antara banyak lainnya) adalah kebutuhan masyarakat yang mendesak dan tidak ada salahnya atau tidak perlu malu mengakuinya sedemikian adanya.

Bacaan kuliah juga bisa mencerminkan orientasi perubahan sosial. “Bacaan yang dibutuhkan membantu mahasiswa mempertiimbangkan berbagai perspektif teoretis... dan mengevaluasi apakah perspektif ini cukup mencerminkan realitas individu yang kehilangan hak dengan s iapa mereka bekerja” (Roschelle dkk., 2000, hal. 841). Bacaan sering kali bisa Bacaan kuliah juga bisa mencerminkan orientasi perubahan sosial. “Bacaan yang dibutuhkan membantu mahasiswa mempertiimbangkan berbagai perspektif teoretis... dan mengevaluasi apakah perspektif ini cukup mencerminkan realitas individu yang kehilangan hak dengan s iapa mereka bekerja” (Roschelle dkk., 2000, hal. 841). Bacaan sering kali bisa

Pengabdian itu sendiri, adalah konsep yang dipenuhi dengan isu identitas dan hak istimewa yang harus diperdalam agar mahasiswa menjadi efektif dalam tugas pelayanan mereka. Program Pembelajaran-Pelayanan kritis memang dirancang dalam orientasi perubahan sosial dan tujuannya menuju masyarakat yang lebih adil dan peduli; bagian dari kesengajaan itu ditunjukkan dalam konsep yang melaluinya mahasiswa dapat terlibat dalam diskusi kelas, bacaan, dan tugas menulis.

Beberapa pengalaman capstone (pencapaian puncak, titik, elemen, atau peristiwa) bisa menarik fokus pada perubahan sosial melalui pengalaman pembelajaran pelayanan. Pengalaman ini bisa berupa proyek penelitian terbaik yang membantu mahasiswa menganalisis, mengusulkan, dan menerapkan strategi untuk menangani urusan masyarakat. Pengalaman capstone paling efektif apabila pengabdian mahasiswa melibatkan kolaborasi dengan anggota masyarakat dan menanggapi masalah masyarakat yang teridentifikasi. Dari beberapa kesalahan dan kesuksesan, mahasiswa mulai memahami proses perubahan masyarakat (Mitchell, 2007).

Bickford dan Reynolds (2002) berpendapat bahwa merumuskan proyek dan kegiatan Pembelajaran-Pelayanan di kelas “memengaruhi baik apa yang mahasiswa lakukan dan bagaimana mereka memahaminya (yaitu, apakah berkontribusi terhadap „perubahan‟ atau hanya „membantu‟ seseorang). Kerangka kerja di mana kita menganggap pekerjaan kita bukan „tidak relevan‟” (hal. 241). Orientasi perubahan sosial memungkinkan program Pembelajaran-Pelayanan yang kritis melihat jauh melebihi tantangan langsung terhadap isu- Bickford dan Reynolds (2002) berpendapat bahwa merumuskan proyek dan kegiatan Pembelajaran-Pelayanan di kelas “memengaruhi baik apa yang mahasiswa lakukan dan bagaimana mereka memahaminya (yaitu, apakah berkontribusi terhadap „perubahan‟ atau hanya „membantu‟ seseorang). Kerangka kerja di mana kita menganggap pekerjaan kita bukan „tidak relevan‟” (hal. 241). Orientasi perubahan sosial memungkinkan program Pembelajaran-Pelayanan yang kritis melihat jauh melebihi tantangan langsung terhadap isu-

Upaya Membagi Kembali Kekuasaan

Program Pembelajaran-Pelayanan tradisional jarang mengakui perbedaan kekuasaan yang melekat pada pengalaman pembelajaran pelayanan. Lori Pompa (2002) membahas berbagai isu kekuasaan mendasar dalam pendekatan Pembelajaran-Pelayanan tradisional:

Jika saya “berbuat untuk” Anda, “melayani” Anda, “memberi kepada” Anda ―yang menciptakan sebuah hubungan yang di dalamnya saya mempunyai sumber daya, kemampuan, kekuasaan, dan Anda adalah tujuan penerimaan. Hubungan ini bisa saja―meskipun dengan maksud baik―ironisnya melemahkan penerimanya, yang memberi kekuasaan lebih besar kepada si pemberinya. Tanpa maksud apa pun, proses ini menjawab paradigma “sudah-belum” yang mendasari banyak masalah sosial. (halaman 68)

Aspek pengalaman Pembelajaran-Pelayanan yang membuat para praktisi tidak dapat menghindar atau meremehkan adalah bahwa mahasiswa yang terlibat dalam Pembelajaran- Pelayanan itu pasti akan memiliki hak istimewa sosial yang lebih besar daripada yang mereka temui dalam penempatan tugas pengabdian mereka. Entah itu ras, kelas, usia, kemampuan, atau tingkat pendidikan, dan dalam beberapa kasus adalah hak istimewa akan waktu (yang mungkin juga terwujud sebagai hak istimewa kelas), mahasiswa dalam beberapa cara (atau dengan semua cara ini) memiliki kekuasaan lebih besar daripada para konstituen di lembaga

pelayanan tempat mereka bekerja. “Pelayanan, karena menyangkut pengalaman ketimpangan sosial dan perlintasan batas yang mendukung dan mengembangkannya, memudahkan perenungan dunia alternatif; pada utopia, bukan realitas praktis, namun sebagai visi yang mendorong perubahan sosial ” (Taylor, 2002, hal. 53). Sementara beberapa praktisi menunjuk pada “menghadapi perbedaan” sebagai aspek dari pengalaman Pembelajaran-Pelayanan yang mengarah pada perkembangan dan perubahan yang diinginkan (Kahne & Westheimer, 1996; Rhoads, 1997), kita harus berhati-hati dalam meminta mahasiswa agar terlibat dalam beberapa pengalaman ini tanpa menantang struktur yang tidak adil yang menciptakan perbedaan. Cynthia Rosenberger (2000) berpendapat, “perkembangan pembelajaran berbasis pengabdian kritis, yang bertujuan untuk berkontribusi terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan merata, yang menuntut agar kita sangat sadar akan berbagai isu kekuasaan dan hak istimewa dalam hubungan pembelajaran berbasis pengabdian” (halaman 34).

Cara program Pembelajaran-Pelayanan itu terstruktur secara tradisional, Cooks dkk. (2004) berpendapat, mengarah pada gambaran masyarakat yang dibangun secara sosial yang membutuhkan perbaikan, sementara mahasiswa dipersenjatai dan dipersiapkan untuk “memperbaiki” kesalahan. Cukup dengan memilih lembaga mana yang akan "dilayani" serta bagaimana dan kapan mahasiswa akan memasuki pengalaman pelayanan untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu atau memenuhi beberapa tujuan tertentu memungkinkan kekuasaan dapat dipertahankan dengan teguh dalam memahami dosen dan mahasiswa. Dari taraf ini, kita menentukan “siapa atau apa yang perlu „diperbaiki‟, sesuai standar apa, dan siapa yang harus bertanggung jawab untuk memperbaiki masalah tersebut” (Cooks dkk., hal. 45). Pendidik pembelajaran pelayanan, yang ingin menggabungkan pendekatan kritis, harus mengenali dan merumuskan berbagai masalah kekuasaan dalam pengalaman pengabdian. Warren (1998) berpendapat, “Memperhitungkan keragaman saja tidak cukup untuk benar- benar memeriksa masalah keadilan sosial. Keragaman sering menyiratkan berbeda tetapi Cara program Pembelajaran-Pelayanan itu terstruktur secara tradisional, Cooks dkk. (2004) berpendapat, mengarah pada gambaran masyarakat yang dibangun secara sosial yang membutuhkan perbaikan, sementara mahasiswa dipersenjatai dan dipersiapkan untuk “memperbaiki” kesalahan. Cukup dengan memilih lembaga mana yang akan "dilayani" serta bagaimana dan kapan mahasiswa akan memasuki pengalaman pelayanan untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu atau memenuhi beberapa tujuan tertentu memungkinkan kekuasaan dapat dipertahankan dengan teguh dalam memahami dosen dan mahasiswa. Dari taraf ini, kita menentukan “siapa atau apa yang perlu „diperbaiki‟, sesuai standar apa, dan siapa yang harus bertanggung jawab untuk memperbaiki masalah tersebut” (Cooks dkk., hal. 45). Pendidik pembelajaran pelayanan, yang ingin menggabungkan pendekatan kritis, harus mengenali dan merumuskan berbagai masalah kekuasaan dalam pengalaman pengabdian. Warren (1998) berpendapat, “Memperhitungkan keragaman saja tidak cukup untuk benar- benar memeriksa masalah keadilan sosial. Keragaman sering menyiratkan berbeda tetapi

Butin (2003) memperkenalkan “perspektif post-strukturalis” dari Pembelajaran- Pelayanan sebagai cara untuk menyelidiki kolusi kita dengan sistem ketidakadilan dan memandang Pembelajaran-Pelayanan sebagai “tempat konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi identitas” (hal. 1684). “Secara khusus,” tulisnya, “perspektif poststrukturalis menyatakan bahwa dalam memposisikan diri kita sebagai pendidik yang memberi kembali kepada masyarakat, tentu saja kita terlibat dalam hubungan kekuasaan asimetris dan statis ” (hal. 1684). Pedagogi Pembelajaran-Pelayanan kritis menyebutkan akses diferensial ke kekuasaan yang dialami oleh mahasiswa, dosen, dan anggota masyarakat, dan mendorong analisis, dialog, dan diskusi mengenai dinamika kekuasaan itu. Tanpa memperhitungkan akses ke kekuatan sosial dan peran kekuasaan (atau kurangnya kekuasaan) dalam menentukan siapa yang menerima pelayanan serta pelayanan apa saja yang tersedia, potensi penggunaan Pembelajaran-Pelayanan sebagai pedagogi yang membawa masyarakat lebih dekat ke keadilan akan hilang.

Menerangkan isu-isu kekuasaan dalam pengalaman Pembelajaran-Pelayanan tidak mudah. Hal ini membutuhkan konfrontasi asumsi dan stereotip, memiliki hak istimewa yang diterima tanpa usaha, dan menghadapi ketidaksetaraan dan penindasan sebagai sesuatu yang nyata dan selalu ada. Densmore (2000) mendukung pendekatan kurikuler yang mengeksplorasi secara mendalam baik hubungan historis dan terkini antara kelompok sosial yang mengarah pada dan menguatkan hierarki perbedaan dalam masyarakat. Rosenberger

(2000) tampaknya tidak yakin apakah para praktisi Pembelajaran-Pelayanan siap menghadapi tantangan ini saat dia bertanya:

Apakah pembelajaran berbasis pengabdian rela berpartisipasi dalam penyingkapan dan problematisasi realitas masyarakat kita saat ini dan merespons terhadap kesulitan, berbagai masalah kompleks ketidakadilan, penindasan, dan dominasi? Apakah pembelajaran berbasis pengabdian rela menjadikan orang-orang yang kurang mampu sebagai subjek dan bukan objek? (hal. 32)

Hayes dan Cuban (1997) memperkenalkan “pedagogi batasan” sebagai sarana untuk membantu individu untuk berpikir lebih mendalam tentang hubungan kekuasaan dan pengalaman mereka dengan hak istimewa dan penindasan. “Perlintasan batas berfungsi sebagai metafora tentang bagaimana orang bisa mendapatkan perspektif yang lebih kritis dalam bentuk dominasi yang melekat dalam sejarah, pengetahuan, dan praktik mereka sendiri, dan belajar menghargai bentuk alternatif pengetahuan ” (Hayes & Cuban, hal. 75).

Perbedaan kekuasaan yang sangat nyata dalam hubungan belajar berbasis pengabdian harus terbuka agar dianalisis secara kritis dan kemungkinan berubah (Varlotta, 1997b). Butin (2005) berpendapat, memahami pedagogi Pembelajaran-Pelayanan sebagai “upaya yang diperlukan untuk merumuskan kembali hubungan kekuasaan "(hal. x). Pedagogi Pembelajaran-Pelayanan kritis tidak hanya mengakui ketidakseimbangan kekuasaan dalam hubungan pelayanan, tetapi berupaya mengatasi ketidakseimbangan dan membagi ulang kekuasaan melalui sedemikian rupa sehingga pengalaman Pembelajaran-Pelayanan dapat direncanakan dan diimplementasikan. Oleh karena itu, perspektif setiap orang, terutama anggota masyarakat yang berpotensi mengalami distribusi ulang kekuasaan, “harus dipertanggungjawabkan dan akhirnya diintegrasikan ke pengalaman pengabdian” (Varlotta, 1997b, hal. 38).

Komponen Masyarakat Pembelajaran-Pelayanan sangat diimbau karena kecenderungannya mengutamakan kebutuhan mahasiswa melebihi kebutuhan anggota masyarakat (Brown, 2001; Eby, 1998). Pengalaman Pembelajaran-Pelayanan kritis mencari keuntungan bersama untuk semua pihak dalam pengalaman ini. Ward dan Wolf-Wendel (2000) mengajak kita untuk memandang Pembelajaran-Pelayanan sebagai “fokus pada kita” (hal. 769, penekanan ditambahkan), mengetahui bahwa berbagai masalah yang ditangani melalui Pembelajaran-Pelayanan memengaruhi kita semua sebagai sebuah komunitas.

Dalam mengembangkan pengalaman pembelajaran pelayanan, para pemangku kepentingan mempertimbangkan hubungan pelengkap antara aktivitas pelayanan, muatan kuliah, kebutuhan masyarakat, dan hasil belajar mahasiswa. Untuk menangani distribusi dari (dan upaya untuk pembagian ulang) kekuasaan, pengalaman Pembelajaran-Pelayanan kritis memberdayakan warga masyarakat “untuk melakukan sebanyak mungkin upaya selama sumber daya masih memungkinkan” (Marullo & Edwards, 2000, hal. 907). Pengalaman pengabdian dalam pedagogi Pembelajaran-Pelayanan kritis tidak perlu meniru paradigma pengabdian tradisional. Mahasiswa dan dosen bisa bekerja sama dengan anggota masyarakat, advokasi politik, dan protes langsung (terutama selama tindakan yang ditentukan oleh masyarakat itu yang terbaik untuk melayani kebutuhan masyarakat) dapat dianggap sebagai pelayanan, dan sumber daya kampus dapat dialokasikan untuk menangani kebutuhan masyarakat (misalnya, memberikan akses masyarakat ke perpustakaan kampus, melibatkan para analis dari penelitian institusional dalam menyelesaikan penilaian kebutuhan masyarakat, mengoperasikan dapur umum dari ruang makan universitas). Selain itu, kemitraan jangka panjang yang dimulai sebelum dan berakhir di luar semester dan memberi kesempatan untuk seterusnya dapat menghindari “turn-over” (kecenderungan atau niat untuk keluar) tipikal dalam Pembelajaran-Pelayanan tradisional (Brown, 2001). Tindakan ini Dalam mengembangkan pengalaman pembelajaran pelayanan, para pemangku kepentingan mempertimbangkan hubungan pelengkap antara aktivitas pelayanan, muatan kuliah, kebutuhan masyarakat, dan hasil belajar mahasiswa. Untuk menangani distribusi dari (dan upaya untuk pembagian ulang) kekuasaan, pengalaman Pembelajaran-Pelayanan kritis memberdayakan warga masyarakat “untuk melakukan sebanyak mungkin upaya selama sumber daya masih memungkinkan” (Marullo & Edwards, 2000, hal. 907). Pengalaman pengabdian dalam pedagogi Pembelajaran-Pelayanan kritis tidak perlu meniru paradigma pengabdian tradisional. Mahasiswa dan dosen bisa bekerja sama dengan anggota masyarakat, advokasi politik, dan protes langsung (terutama selama tindakan yang ditentukan oleh masyarakat itu yang terbaik untuk melayani kebutuhan masyarakat) dapat dianggap sebagai pelayanan, dan sumber daya kampus dapat dialokasikan untuk menangani kebutuhan masyarakat (misalnya, memberikan akses masyarakat ke perpustakaan kampus, melibatkan para analis dari penelitian institusional dalam menyelesaikan penilaian kebutuhan masyarakat, mengoperasikan dapur umum dari ruang makan universitas). Selain itu, kemitraan jangka panjang yang dimulai sebelum dan berakhir di luar semester dan memberi kesempatan untuk seterusnya dapat menghindari “turn-over” (kecenderungan atau niat untuk keluar) tipikal dalam Pembelajaran-Pelayanan tradisional (Brown, 2001). Tindakan ini

Komponen Kelas Di kelas, pengalaman Pembelajaran-Pelayanan kritis mempertimbangkan pengetahuan dari anggota masyarakat, kurikulum, dan mahasiswa itu sendiri. “Pembelajaran-Pelayanan menantang gagasan statis kita tentang belajar mengajar, menyingkirkan klaim kita pada label „mahasiswa‟ dan „dosen‟, serta menunjukkan dan mengeksplorasi keterkaitan antara kekuasaan, pengetahuan, dan identitas” (Butin, 2005, hlm. vii-viii). Melalui pengalaman kelas, mempertanyakan distribusi kekuasaan dapat difasilitasi melalui bacaan, penulisan reflektif, aktivitas terkait dengan pengalaman, dan kelas diskusi. Pengalaman ini menerima bahwa pengetahuan dan pemahaman dikembangkan dalam banyak cara yang berbeda.

Diskusi tentang beberapa praduga, hak istimewa yang diterima tanpa usaha, dan kekuasaan harus menonjol dalam kelas belajar pembelajaran berbasis pengabdian (Green, 2001; Nieto, 2000; Roschelle dkk., 2000; Rosenberger, 2000). Pedagogi Pembelajaran- Pelayanan kritis mendorong analisis dan dialog yang membantu mahasiswa mengidentifikasi dan menangani distribusi kekuasaan yang tidak setara yang menciptakan kebutuhan akan pengabdian. Pedagogi batasan yang didukung oleh Hayes dan Kuba (1997) ini dapat menciptakan keterbukaan dan penerimaan “pengetahuan alternatif” yang dibutuhkan untuk menciptakan pengalaman Pembelajaran-Pelayanan inklusif yang dalam hal ini para pemangku kepentingan dapat berbagi kekuasaan dan menghadapi hubungan kekuasaan tradisional.

Melintasi batas pengetahuan, dan masuk ke “daerah perbatasan” (borderland) dengan pola-pola pikiran, hubungan, dan identitas yang ada menuai pertanyaan dan disandingkan dengan cara alternatif pengetahuan dan keberadaan, memberikan kesempatan untuk rekonstruksi oposisi dan kreatif dari diri sendiri, pengetahuan, dan budaya... (hal. 75)

Dokumen yang terkait

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF

2 5 46

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL TERNAK ITIK PETELUR DENGAN SISTEM INTENSIF DAN TRADISIONAL DI KABUPATEN PRINGSEWU

10 119 159

STUDI PERBANDINGAN HASIL BELAJAR DAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DITINJAU DARI PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

6 77 70

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) DENGAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL)

11 75 34

ANALISIS HASIL BELAJAR FISIKA SISWA SMP DITINJAU DARI SKILL ARGUMENTASI ILMIAH SISWA PADA PEMBELAJARAN EKSPERIMEN DI LABORATORIUM NYATA DAN MAYA

4 85 57

MENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA REALIA DI KELAS III SD NEGERI I MATARAM KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN TANGGAMUS TAHUN PELAJARAN 2011/2012

21 126 83

PENGARUH KEMAMPUAN AWAL MATEMATIKADAN MOTIFBERPRESTASI TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

8 74 14

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

EVALUASI ATAS PENERAPAN APLIKASI e-REGISTRASION DALAM RANGKA PEMBUATAN NPWP DI KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA TANJUNG KARANG TAHUN 2012-2013

9 73 45

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62