LAPORAN 2 PRAKTIKUM ANATOMI DAN FISIOLOG

LAPORAN PRAKTIKUM ANATOMI DAN FISIOLOGI MANUSIA
PEMERIKSAAN SYARAF DAN INDRA

Disusun oleh :
Nama :

Asissten :

1. Muhammad Habiburahman

(I1C016062)

2. Faris Hendrawan

(I1C016078)

3. Irfan Hielmi

(I1C016082)

4. Bayu Aji Pradana


(I1C016090)

5. Muhammad Vegisa Nusantara

(I1C016098)

Aditya Pratama

(G1A013076)

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS ILMU - ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2016

1

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Judul Praktikum
a. Pemeriksaan syaraf dan indra
B. Waktu dan Tanggal Praktikum
a. Waktu

: 13.00 s.d. 15.00 WIB

b. Hari/Tanggal Praktikum

: Rabu, 09 November 2016

C. Tujuan Praktikum
a. Saraf
1. Mengetahui mekanisme terjadinya refleks
2. Mengetahui definisi pemeriksaan reflex
3. Melakukan prosedur pemeriksaan reflex fisiologis dan patologis dengan baik
dan benar
4. Menjelaskan parameter normal hasil pemeriksaan reflex
5. Melakukan interpretasi hasil pemeriksaan refleks

b. Indra
1. Memahami proses pendengaran
2. Memahami tes pendengaran dengan garpu tala dan interpretasinya
3. Memahami proses penglihatan
4. Memahami pemeriksaan visus
5. Memahami pemeriksaan lapang pandang serta interpretasinya

D. Dasar Teori
Hampir semua fungsi pengendalian tubuh manusia dilakukan oleh sistem
saraf. Secara umum sistem saraf mengendalikan aktivitas tubuh yang cepat seperti
kontraksi otot. Daya kepekaan dan daya hantaran merupakan sifat utama dari
makhluk hidup dan bereaksi terhadap perubahan sekitarnya. Rangsangan ini
dinamakan stimulus. Reaksi yang dihasilkan dinamakan respons. Makhluk hidup

1

yang bersel satu (uniseluler) maupun bersel banyak (multiseluler) ditentukan
kemampuan fungsinya oleh protoplasma sel (Syaifuddin, H.,2011)
Susunan saraf terdiri dari susunan saraf sentral dan saraf perifer. Susunan
saraf sentral terdiri dari otak (otak besar, otak kecil, dan batang otak) dan medula

spinalis. Susunan saraf perifer terdiri dari saraf somatik dan saraf otonom (saraf
simpatis dan parasimpatis) (Syaifuddin, H.,2011).
Prinsip kegiatan sistem saraf ditampilkan dalam bentuk kegiatan refleks.
Melalui kegiatan refleks dimungkinkan terjadinya kerja yang baik dan tepat antara
berbagai organ dari individu dan hubungan individu dengan sekelilingnya.
Refleks merupakan reaksi organisme terhadap perubahan lingkungan baik di
dalam maupun di luar organisme (Syaifuddin, H.,2011).
Tubuh manusia mempunyai berbagai jenis refleks mulai dari yang
sederhana sampai dengan yang rumit. Refleks ini dapat melibatkan 1 buah sinaps
atau lebih serta melibatkan neuron pada satu bagian sarat pusat atau melibatkan
lebih dari satu bagian saraf pusat (monosinaps atau polisinaps) (Syaifuddin,
H.,2011).
Gerak pada umumnya terjadi secara sadar, namun, ada pula gerak yang
terjadi tanpa disadari yaitu gerak refleks. Untuk terjadi gerak refleks, maka
dibutuhkan struktur sebagai berikut : organ sensorik (yang menerima impuls),
serabut saraf sensorik (yang menghantarkan impuls), sumsum tulang belakang
(serabut-serabut saraf penghubung menghantarkan impuls), sel saraf motorik
(menerima dan mengalihkan impuls), dan organ motorik (yang melaksanakan
gerakan). Gerak refleks merupakan bagian dari mekanika pertahanan tubuh yang
terjadi jauh lebih cepat dari gerak sadar, misalnya menutup mata pada saat terkena

debu, menarik kembali tangan dari benda panas menyakitkan yang tersentuh tanpa
sengaja. Gerak refleks dapat dihambat oleh kemauan sadar ; misalnya, bukan saja
tidak menarik tangan dari benda panas, bahkan dengan sengaja menyentuh
permukaan panas. (Pearce, 2009)
Mekanisme gerak refleks merupakan suatu gerakan yang terjadi secara
tiba-tiba diluar kesadaran kita. Refleks fleksor, penarikan kembali tangan secara
refleks dari rangsangan yang berbahaya merupakan suatu reaksi perlindungan.

2

Refleks ekstensor (polisinaps) rangsangan dari reseptor perifer yang mulai dari
refleksi pada anggota badan dan juga berkaitan dengan ekstensi anggota badan.
Gerakan refleks merupakan bagian dari mekanisme pertahanan tubuh dan terjadi
jauh lebih cepat dari gerak sadar misalnya menutup mata pada saat terkena debu
(Guyton, 2007).
Untuk terjadinya gerakan refleks maka dibutuhkan struktur sebagai
berikut, organ sensorik yang menerima impuls misalnya kulit. Serabut saraf
sensorik yang menghantarkan impuls tersebut menuju sel-sel ganglion radiks
posterior dan selanjutnya serabut sel-sel akan melanjutkan impuls dan
menghantarkan impuls-impils menuju substansi pada kornu posterior medula

spinalis. Sel saraf motorik menerka impuls dan menghantarkan impuls-impuls
melalui serabut motorik (Guyton, 2007).
Kegiatan sistem saraf pusat ditampilkan dalam bentuk kegiatan refleks.
Dengan kegiatan refleks dimungkinkan terjadi hubungan kerja yang baik dan tepat
antara berbagai organ yang terdapat dalam tubuh manusia dan hubungan dengan
sekelilingnya. Refleks adalah respon yang tidak berubah terhadap perangsangan
yang terjadi diluar kehendak. Rangsangan ini merupakan reaksi organisme
terhadap perubahan lingkungan baik didalam maupun diluar organisme yang
melibatkan sistem saraf pusat dalam maupun memberikan jembatan (respons)
terdapat rangsangan (Guyton, 2007).
Refleks dapat berupa peningkatan maupun penurunan kegiatan, misalnya
kontraksi atau relaksasi otot, kontraksi atau dilatasi pembuluh darah. Dengan
adanya kegiatan refleks, tubuh mampu mengadakan reaksi yang cepat terhadap
berbagai perubahan diluar maupun didalam tubuh disertai adaptasi terhadap
perubahan tersebut. Dengan demikian seberapa besar peran sistem saraf pusat
dapat mengukur kehidupan organisme.
Proses yang terjadi pada refleks melalui jalan tertentu disebut lengkung
refleks. Komponen-komponen yang dilalui refleks (Sherwood,2011):
1.


Reseptor rangsangan sensorik yang peka terhadap suatu rangsangan
misalnya kulit

3

2.

Neuron aferen (sensoris) yang dapat menghantarkan impuls menuju
kesusunan saraf pusat (medula spinalis-batang otak)

3.

Pusat saraf (pusat sinaps) tempat integrasi masuknya sensorik dan dianalisis
kembali ke neuron eferen

4.

Neuron eferen (motorik) menghantarkan impuls ke perifer

5.


Alat efektor merupakan tempat terjadinya reaksi yang diwakili oleh suatu
serat otot atau kelenjar
Refleks yang muncul pada orang normal disebut sebagai refleks

fisiologis. Kerusakan pada sistem syaraf dapat menimbulkan refleks yang
seharusnya tidak terjadi atau refleks patologis. Keadaan inilah yang dapat
dimanfaatkan praktisi agar dapat mengetahui ada atau tidaknya kelainan sistem
syaraf dari refleks.
Pemeriksaan reflek fisiologis merupakan satu kesatuan dengan
pemeriksaan neurologi lainnya, dan terutama dilakukan pada kasus-kasus mudah
lelah, sulit berjalan, kelemahan atau kelumpuhan, kesemutan, nyeri otot anggota
gerak, gangguan trofi otot anggota gerak, nyeri punggung atau pinggang
gangguan fungsi otonom.
Interpretasi pemeriksaan refleks fisiologis tidak hanya menentukan
ada/tidaknya tapi juga tingkatannya. Adapun kriteria penilaian hasil pemeriksaan
refleks fisiologis adalah sebagai berikut:

Tendon Reflex Grading Scale


Description

Grade
0
+/1+
++/2+
+++/3+
++++/4+

Absent
Hypoactive
Normal
Hyperactive without clonus
Hyperactive with clonus

4

Indra Pendengaran
Pendengaran merupakan indra mekanoreseptor karena memberikan respons
terhadap getaran mekanik gelombang suara yang terdapat di udara. Telinga menerima

gelombang suara, diskriminasi frekuensinya dan penghantaran informasi dibawa ke
susunan saraf pusat. Telinga dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1. Telinga luar
a. Aurikula. Seluruh permukaan diliputi kulit tipis dengan lapisan subkutis
pada permukaan anterolateral, ditemukan rambut kelenjar sebasea dan
kelenjar keringat.
b. Meatus akustikus eksterna: Tabung berkelok-kelok yang terbentang antara
aurikula dan membran timpani, berfungsi menghantarkan gelombang suara
dari aurikula ke membran timpani, panjangnya kira-kira 2,5 cm.
2. Telinga tengah (kavum timpani). Telinga tengah adalah ruang berisi udara dalam
pars peterosa ossis temporalis yang dilapisi oleh membran mukosa di dalamnya,
terdapat tulang-tulang pendengar yang memisahkan kavum timpani dari
meningen dan lobus temporalis dalam fossa kranii media.
a. Membran timpani, adalah membran fibrosa. Membran timpani sangat peka
terhadap nyeri dan permukaan luarnya disarafi oleh N. Audirouius.
b. Ossikula auditus: Terdiri dari maleus, inkus, dan stapes.
c. Tuba auditiva: Bagian ini meluas dari dinding anterior kavum timpani ke
bawah, depan, dan medial sampai ke nasofaring, 1/3 posterior terdiri dari
tulang dan 2/3 anterior tulang rawan.
d. Antrum mastoideum: Bagian ini terletak di di belakan kavum timpani dalam

pars petrosa ossis temporalis, bentuknya bundar garis tengah 1 cm.
e. Selulae mastoidea, adalah suatu rongga yang bersambungan dalam prosesus
mastoid.
3. Telinga dalam (labirinitus). Suatu sistem saluran dan rongga di dalam pars
petrosum tulang temporalis.
a. Labiritus osseus: Terdiri dari vestibulum, semisirkularis, dan kokhlea.
Ketiganya merupakan rongga-rongga yang terletak dalam substansi tulang

5

padat terstruktur dilapisi endosteum dan berisi cairan bening (perilimf) yang
terletak dalam labirinitus mambranaseus.
b. Labirinitus membranosus: Terdapat dalam labiritus osseus. Struktur ini berisi
endolimf dan dikelilingi oleh perilimf, terdiri dari utrikulus dan sakulus yang
terdapat dalam vestibulum, terdiri dari duktus semisirkularis (Syaifuddin,
H.,2011)
Fungsi sistem auditori adalah mempersepsi bunyi atau persepsi tentang objek
dan kejadian-kejadian melalui bunyi yang timbul. Bunyi adalah vibrasi molekulmolekul udara yang menstimulasi sistem auditori. Manusia hanya mendengar vibrasi
molekuler antara sekitar 20 sampai 20.000 hertz (Pinel, 2009).
Tiap gelombang suara memiliki amplitudo dan frekuensi yang berbeda.
Amplitudo adalah intensitas suara. Kompresi udara dengan intensitas tinggi
menghasilkan gelombang suara dengan amplitudo yang besar. Kenyaringan adalah
persepsi intensitas yang berkaitan dengan amplitudo, tetapi keduanya adalah hal yang
berbeda. Ketika amplitudo meningkat dua kali lipat, maka kenyaringannya meningkat.
Kenyaringan ditentukan oleh banyak faktor. Frekuensi suara adalah jumlah kompresi
per detik, diukur dengan Hertz (Hz, siklus perdetik). Tinggi nada (pitch) adalah persepsi
yang berkaitan erat dengan frekuensi. Oleh karena itu semakin tinggi suara semakin
tinggi pula tinggi nada nya (Kalat, 2010).
Berdasarkan teori frekuensi, membran basilar bergetar secara sinkron dengan
suara yang menyebabkan saraf auditori menghasilkan potensial aksi pada frekuensi
yang sama. Berdasarkan teori tempat, setiap frekuensi akan mengaktivasi membran
basilar pada sel-sel rambut yang ada dalam satu lokasi. Membran basilar bekerja
layaknya dawai-dawai piano. Teori yang ada saat ini, merupakan gabungan dari teori
frekuensi dan teori tempat. Sesuai dengan teori frekuensi, membran basilar memang
bergetar secara sinkron dengan suara berfrekuensi rendah dan untuk tiap satu
gelombang, akson saraf auditori akan menghasilkan satu potensial aksi. Suara pelan
hanya mengaktivasi beberapa neuron, sedangkan suara yang kencang dapat
mengaktivasi lebih banyak neuron. Oleh karena itu, pada frekuensi rendah, impuls

6

frekuensinya akan menandakan tinggi nada dan jumlah penembakan neuron akan
menandakan kenyaringannya (Kalat, 2010).
Teori mengenal sumber bunyi menyatakan bahwa bunyi yang datang dari suatu
sumber yang ada didalam bidang meridian yang melalui tubuh manusia dan terdapat
dimuka, diatas, ataupun dibelakangnya akan mencapai telinga dalam waktu bersamaan.
Apabila sumber bunyi berada disebelah kiri, maka telinga kiri yang dahulu
mendengarnya. Oleh karena itu timbul kesan bahwa sumber bunyi itu datang secara
terus menerus pada waktu yang sama pada kedua tellinga kita, kita akan kesulitan
menentukan sumber bunyi (Ismilana, 2011).
Mekanisme terjadinya suara dijelaskan oleh Pratiwi et al., (2006) adalah karena
adanya gelombang dalam liang telinga yang memukul gendang telinga (membran
timpani) sehingga bergetar. Getaran membran timpani ditransmisikan melintasi telinga
tengah melalui tiga tulang kecil, yang terdiri dari dari tulang mertil (maleus), landasan
(inkus), dan sanggurdi (stapes). Telinga tengah digubungkan ke nasofaring oleh tabung
Eustachius. Getaran dari osikula yang paling dalam (dari tulang sanggurdi)
ditansmisikan ke telinga dalam melalui membran jendela oval ke koklea. Koklea
merupakan suatu tabung yang kurang lebih panjang nya 3 cm dan bergulung seperti
rumah siput. Koklea berisi cairan limfa. Getaran dari jendela oval ditransmisikan ke
dalam cairan limfa dalam ruang koklea. Selanjutnya getaran diteruskan dengan gerak
berlawanan arak ke jendela bundar. Di bagian dalam ruangan koklea terdapat organ
korti. Organ korti berisi sel-sel rambut yang sangat peka. Inilah resptor getaran yang
sebenarnya. Sel-sel rambut tersebut terletak diantara membran basiler dan membran
tektorial. Getaran dalam cairan koklea menimbulkan getaran dalam membran basiler.
Hal ini menggerakkan sel-sel rambut terhadap membran tektorial, yang berarti
menstimulusnya. Impuls listrik yang timbul dalam sel in kemudian diteruskan oleh saraf
auditori ke otak. Dengan demikian kita dapat mendengar suara.
Pendengaran merupakan alat mekanoreseptif karena telinga memberikan respon
terhadap getaran mekanik dari gelombang suara yang terdapat di udara. Proses
mendengar di timbulkan oleh getaran atmosfer yang dikenal sebagai 5
gelombang suara yang kecepatan dan volumenya berbeda-beda. Gelombang suara
bergerak melalui telinga luar (auris eksterna) yang menyebabkan membran timpani

7

bergetar. Getaran-getaran tersebut diteruskan menuju inkus dan stapes melalui maleus
yang terikat pada membran itu. Karena getaran yang timbul pada setiap tulang itu
sendiri, maka tulang akan memperbesar getaran yang kemudian disalurkan ke fenestra
vestibuler menuju perilimfe (Ismilana, 2011).
Pada percobaan ini menggunakan garpu tala sebagai alat untuk membuktikan
bahwa transmisi melalui udara lebih baik daripada melalui tulang. Semakin berat garpu
tala akan semakin jelas terdengar bunyinya. Penghantaran lewat udara lebih baik
daripada lewat tulang. Penghantaran lewat udara dinamakan aerotymponal sedangkan
penghantaran lewat tulang dinamakan craniotymponal (Ricky, 2010)
Indra Penglihatan
Mata merupakan organ indra rumit, mata disusun dari bercak sensitif cahaya
primitif. Dalam selubung perlindungannya mata mempunyai lapisan reseptor, sistem
lensa pemfokusan cahaya atas reseptor, dan merupakan suatu sistem saraf. Secara
struktural bola mata seperti sebuah kamera, tetapi mekanisme persarafan yang ada tidak
dapat dibandungkan dengan apapun. Susunan saraf pusat dihubungkan melalui suatu
berkas serat saraf yang disebut saraf optik (nervosa optika) (Syaifuddin,H., 2011)
Isi bola mata adalah media refraksi yang tediri dari akuos humor, korpus vitreous, dan
lensa.
1. Akuos humor adalah cairan bening yang mengisi kamera anterior dan kamera
posterior bulbi, merupakan sekret dari porseus siliaris. Dari sini cairan mengalir
ke dalam kamera posterior, kemudian ke dalam kamera anterior melalui pupila
dan diangkut melalui celah-celah angulus irido kornealis ke dalam kanalis
schlem.
2. Korpus vitreus, mengisi bola mata di belakang lensa merupakan gelombang
transparan yang dibungkus oleh membran vitreus. Pada daerah perbatasan
dengan lensa membran vitreus menebal terdiri dari lapisan posterior menutup
korpus vitreum.
3. Lensa. Badan bikonveks yang transparan terletak di belakang iris, di dekat
korpus vitreum, dan dikelilingi oleh proseus siliaris, terdiri dari :

8

a. Kapsul elastis yang membungkus struktur lensa, berada dalam ketegangan
yang menyebabkan lensa tetap berbentuk bulat.
b. Epitel kuboid, terbatas pada permukaan anterior lensa
c. Serat-serat lensa, dibentuk dari epitel kuboid equator lensa, tarikan seratserat ligamentum suspensorium cenderung menggepengkan lensa yang
elastis sehingga mata dapat difokuskan melihat objek-objek yang jauh.
Agar mata berakomodasi melihat yang dekat M. Siliaris berkontraksi dan
menarik korpus siliare ke depan dan ke dalam (Syaifuddin,H.. 2011).
Visus (ketajaman penglihatan) adalah nilai kebalikan sudut (dalam menit)
terkecil di mana sebuah benda masih kelihatan dan dapat dibedakan (Gabriel,
1995 dalam Gita, 2009). Menurut Edi S. Affandi (2005) dalam Gita (2009), tajam
penglihatan adalah kemampuan untuk membedakan antara dua titik yang berbeda pada
jarak tertentu.
Visus (ketajaman penglihatan) adalah ukuran, berapa jauh, dan detail suatu
benda dapat tertangkap oleh mata sehingga visus dapat disebut sebagai fisiologi mata
yang paling penting. Ketajaman penglihatan didasarkan pada prinsip tentang adanya
daya pisah minimum yaitu jarak yang paling kecil antara 2 garis yang masih mungkin
dipisahkan dan dapat ditangkap sebagai 2 garis (Murtiati dkk, 2010).
Dikenal beberapa titik di dalam bidang refraksi, seperti Pungtum Proksimum
merupakan titik terdekat dimana seseorang masih dapat melihat dengan jelas. Pungtum
Remotum adalah titik terjauh dimana seseorang masih dapat melihat dengan jelas, titik
ini merupakan titik dalam ruang yang berhubungan dengan retina atau foveola bila mata
istirahat. Pada emetropia, pungtum remotum terletak di depan mata (Ilyas,
2004 dalam Gita, 2009).
Secara klinik kelainan refraksi adalah akibat kerusakan ada akomodasi visual,
entah itu sebagai akibat perubahan biji mata, maupun kelainan pada lensa. Kelainan
refraksi yang sering dihadapi sehari-hari adalah miopia, hipermetropia, presbiopia, dan
astigmatisma.
a)

Miopi

Pada miopi panjang bola mata anteroposterior dapat terlalu besar atau kekuatan
pembiasan media refraksi terlalu kuat. Pasien dengan miopia akan menyatakan melihat

9

jelas bila dekat, sedangkan melihat jauh kabur atau disebut pasien adalah rabun jauh.
Seseorang miopia mempunyai kebiasaan mengeryitkan matanya untuk mencegah
aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole (lubang kecil) (Ilyas,
2004 dalam Gita, 2009). Miopia tampak bersifat genetika, tetapi pengalaman
penglihatan

abnormal

seperti

kerja

dekat

berlebihan

dapat

mempercepat

perkembangannya. Cacat ini dapat dikoreksi dengan kacamata lensa bikonkaf (lensa
cekung), yang membuat sinar cahaya sejajar berdivergensi sedikit sebelum ia mengenai
mata (Ganong, 2002).
b) Hipermetropia
Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan
mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di
belakang retina. Pasien dengan hipermetropia apapun penyebabnya akan mengeluh
matanya lelah dan sakit karena terus menerus harus berakomodasi untuk melihat atau
memfokuskan bayangan yang terletak di belakang makula agar terletak di daerah
makula lutea. Keadaan ini disebut astenopia akomodatif. Akibat terus menerus
berakomodasi, maka bola mata bersama-sama melakukan konvergensi dan mata akan
sering terlihat mempunyai kedudukan estropia atau juling ke dalam (Ilyas,
2004 dalam Gita, 2009). Cacat ini dapat dikoreksi dengan menggunakan kacamata lensa
cembung, yang membantu kekuatan refraksi mata dalam memperpendek jarak fokus
(Ganong, 2002)
c)

Presbiopia

Presbiopia adalah gangguan akomodasi pada usia lanjut yang dapat terjadi akibat
kelemahan otot akomodasi dan lensa mata tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya
akibat sklerosis lensa. Akibat gangguan akomodasi ini maka pada pasien berusia lebih
dari 40 tahun, akan memberikan keluhan setelah membaca yaitu berupa mata lelah,
berair, dan sering terasa pedas (Ilyas, 2004dalam Gita, 2009). Keadaan ini dapat
dikoreksi dengan memakai kacamata lensa cembung (Ganong, 2002).
d) Astigmatisma
Kelainan refraksi karena kelengkungan kornea yang tidak teratur disebut astigmatisma.
Pada penderita astigmatisma, sistem optik yang astigmatismatik menimbulkan
perbesaran atas satu objek dalam berbagai arah yang berbeda. Satu titik cahaya yang

10

coba difokuskan, akan terlihat sebagai satu garis kabur yang panjang. Mata yang
astigmatisma memiliki kornea yang bulat telur, bukannya seperti kornea biasa yang
bulat sferik. Kornea yang bulat telur memiliki lengkung (meridian) yang tidak sama
akan memfokus satu titik cahaya atau satu objek pada dua tempat, jauh dan dekat. Lensa
yang digunakan untuk mengatasi astigmatisma adalah lensa silinder. Tetapi pada
umumnya, di samping lensa silinder ini, orang yang astigmatisma membutuhkan juga
lensa sferik plus atau minus yang dipasang sesuai dengan porosnya (Youngson,
1995 dalamGita, 2009).
Ketajaman penglihatan seseorang dapat berkurang. Hal ini disebabkan antara lain oleh
faktor-faktor sebagai berikut:
1)

Kuat Penerangan atau Pencahayaan

Mata manusia sensitif terhadap kekuatan pencahayaan, mulai dari beberapa lux di dalam
ruangan gelap hingga 100.000 lux di tengah terik matahari. Kekuatan pencahayaan ini
aneka ragam yaitu berkisar 2000-100.000 di tempat terbuka sepanjang siang dan 50-500
lux pada malam hari dengan pencahayaan buatan. Penambahan kekuatan cahaya berarti
menambah daya, tetapi kelelahan relatif bertambah pula. Kelelahan ini diantaranya akan
mempertinggi kecelakaan.
Namun meskipun pencahayaan cukup, harus dilihat pula aspek kualitas pencahayaan,
antara lain faktor letak sumber cahaya. Sinar yang salah arah dan pencahayaan yang
sangat kuat menyebabkan kilauan pada obyek. Kilauan ini dapat menimbulkan
kerusakan mata. Begitu juga penyebaran cahaya di dalam ruangan harus merata supaya
mata tidak perlu lagi menyesuaikan terhadap berbagai kontras silau, sebab
keanekaragaman kontras silau menyebabkan kelelahan mata. Sedangkan kelelahan mata
dapat menyebabkan:
a. Iritasi, mata berair dan kelopak mata berwarna merah (konjungtivitis)
b.

Penglihatan rangkap

c. Sakit kepala
d.

Ketajaman penglihatan merosot, begitu pula kepekaan terhadap perbedaan (contrast

sensitivity) dan kecepatan pandangan
e. Kekuatan menyesuaikan (accomodation) dan konvergensi menurun

11

(Direktorat Bina Peran Serta Masyarakat, 1990 dalam Gita, 2009).
2)

Waktu Papar

Pemaparan terus menerus misalnya pada pekerja sektor perindustrian yang jam kerjanya
melebihi 40 jam/minggu dapat menimbulkan berbagai penyakit akibat kerja. Yang
dimaksud dengan jam kerja adalah jam waktu bekerja termasuk waktu istirahat
(Direktorat Bina Peran Serta Masyarakat, 1990 dalam Gita, 2009). Meskipun terjadi
keanekaragaman jam kerja, umumnya pekerja informal bekerja lebih dari 7 jam/hari.
Hal ini menimbulkan adannya beban tambahan pada pekerja yang pada akhirnya
menyebabkan kelelahan.mental dan kelelahan mata.
3)

Umur

Ketajaman penglihatan berkurang menurut bertambahnya usia. Pada tenaga kerja
berusia lebih dari 40 tahun, visus jarang ditemukan 6/6, melainkan berkurang. Maka
dari itu, kontras dan ukuran benda perlu lebih besar untuk melihat dengan ketajaman
yang sama (Suma’mur, 1996 dalam Gita 2000). Makin banyak umur, lensa bertambah
besar dan lebih pipih, berwarna kekuningan dan menjadi lebih keras. Hal ini
mengakibatkan lensa kehilangan kekenyalannya, dan karena itu, kapasitasnya untuk
melengkung juga berkurang. Akibatnya, titik-titik dekat menjauhi mata, sedang titik
jauh pada umumnya tetap saja.
4)

Kelainan Refraksi

Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri atas
kornea, cairan mata, lensa, benda kaca, dan panjangnya bola mata. Pada orang normal
susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya bola mata demikian
seimbang sehingga bayangan benda selalu melalui media penglihatan dibiaskan tepat di
daerah makula lutea. Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan
menempatkan bayangan benda tepat di retinanya pada keadaan mata tidak melakukan
akomodasi atau istirahat melihat jauh (Ilyas, 2004 dalam Gita, 2009).
Jenis pemeriksaan Visus
a. Visus Optotype Snelen/straub
Visus Normal 5/5, Penderita bisa membaca huruf pada optotipe pada jarak 5 m yang se
harusnya dapat dibaca oleh orang normal pada jarak 5 m.

12

b. Visus Hitung Jari
Penderita hanya bisa menghitung jari pada jarak 1 meter yang seharusnya orang normal
pada jarak 60 m
c. Visus Gerakan Lambaian tangan
Penderita HANYA bisa melihat lambaian / gerakan tangan pada jarak 1 m yang se
harusnya bisa dilihat orang normal pada jarak 300 m.
d. Visus Gelap & terang
Penderita HANYA bisa membedakan gelap dan terang. Perlu diperiksa apakah masih
dapat mem bedakan arah datangnya sinar dan membedakan warna merah hijau
E. Metode Pemeriksaan
1. Dalam praktikum ini untuk mengetahui refleks fisiologis yang terjadi dengan
mengetuk tendon menggunakan palu refleks.
2. Dalam praktikum ini untuk mengetahui kelainan pendengaran melakukan metode
pemeriksaan fungsi pendengaran menurut cara :
1) Rinne
2) Weber
3) Schwabah
3.

Dalam praktikum ini untuk mengetahui seberapa jauh lapang pandang

menggunakan metode optotype snellen.
F. Alat dan Bahan
1. Refleks
Palu refleks
2. Indra
Garpu Tala
Optotype Van Snellen
G. Cara Kerja
Reflek Fisiologis
1. Penentuan lokasi pengetukan yaitu tendon periosteum dan kulit

13

2. Anggota gerak yang akan dites harus dalam keadaan santai.
3. Dibandingkan dengan sisi lainnya dalam posisi yang simetris
Refleks Fisiologis Ekstremitas Atas
1. Refleks Bisep
a. Pasien duduk di lantai
b. Lengan rileks, posisi antara fleksi dan ekstensi dan sedikit pronasi,
lengan diletakkan diatas lengan pemeriksa.
2. Refleks Trisep
a. Pasien duduk dengan rileks
b. Lengan pasien diletakkan di atas lengan pemeriksa
c. Pukullah tendon trisep melalui fosa olekrani
Refleks Fisiologis Ekstremitas Bawah
1. Refleks Patela
a. Pasien duduk santai dengan tungkai menjuntai
b. Raba daerah kanan-kiri tendo untuk menentukan daerah yang tepat
c. Tangan pemeriksa memegang paha pasien
d. Ketuk tendo patela dengan palu refleks menggunakan tangan yang lain
e. Respon: pemeriksa akan merasakan kontraksi otot kuadrisep, ekstensi
tungkai bawah

Indra Pendengaran
1) RINNE
perbandingan air conduction ( AC ) dengan bone conduction (BC).
a. Penala digetarkan pada punggung tangan atau siku, dengan tujuan supaya tidak terlalu
keras ( meja, besi ) Frekuensi yang dipakai biasanya 512, 1024 dan 2048 Hz.

14

b. Tekankan ujung tangkai penala pada prosessis mastoideus salah satu telinga OP
tangan pemeriksa tidak boleh menyentuh jari – jari penala
Jenis hantaran apakah orang mendengar dengungan pada tindakan tadi ?
JAWAB : hantaran tulang
c. Tanyakan kepada OP apakah ia mendengar bunyi penal amendengung di telinga yang
diperiksa. Bila mendengar, OP disuruh mengacungkan jari telunjuk. Begitu tidak
mendengar lagi, jari telunjuk diturunkan.
 Jenis hantaran apakah orang mendengar dengungan pada tindakan tadi ?
JAWAB : hantaran udara
d. Apada saat itu pemeriksa mengangkat penala dari prosesus mastoideus OP dan
kemudian ujung jari penala ditempatkan sedekat – dekatnya ke depan liang telingan OP.
Tanyakan Apakah OP mendengar dengungan itu.
e. Catat hasil pemeriksaan Rinne sebagai berikut
 AC lebih lama atau sama dengan BC
( Rinne = + : Bila OP masih mendengar dengungan melalui hantaran udara ) 
normal atau sensorineural hearing loss ( SNHL )
 AC lebih kecil daripada BC
( Rinne = - : Bila OP tidak lagi mendengar dengungan melalui hantaran udara )
 conductive hearing loss ( CHL )
2) SCHWABACH
perbandingan BC antara penderita dan pemeriksa
a. Getarkan penala berfrekuensi 512 seperti cara diatas
b. Tekankan ujung tangkai penala opada prosesus mastoideus salah sati telinga OP
c. Suruh OP mengacungkan jarinya pada saat dengungan bunyi menghilang
d. Pada saat itu dengan segera pemeriksaan memindahkan penala dari prosesus
mastoiudeus OP ke prosesus mastoideus sendiri. Bila dengungan penala masih dapat
didengar oleh pemeriksa maka hasil pemeriksaan ialah SCHWABACH MEMENDEK
( BC penderita kecil / pendek BC pemeriksa  SNHL )

15

Catatan : pada pemeriksaan menurut schwabach, telinga pemeriksa dianggap
normal.
e. Apabila dengungan penala yang telah dinyatakan berhenti oleh OP, juga tidak
terdengar oleh pemeriksa, maka hasil pemeriksaan mungkin SCHAWACH NORMAL
ATAU SCHWABACH MEMANJANG. Untuk memastikan, dilakukan pemeriksaan
sebagai berikut :
 Penala digetarkan, ujung tangkai penala mula – mula ditekankan ke prosesus
mastoideus pemeriksa sampai tidak terdengar lagi dengungan
 Kemudian, ujung tangkai penala seger aditekankan ke prosesus mastoideus OP
 Bila dengungan masih dapat didengar oleh OP, hasil pemeriksaan ialan
SCHWABACH MEMANJANG ( BC penderita panjang BC pemeriksa  CHL
)
 Bila dengungan setelah dinyatakan berhenti oleh pemeriksa, huga tidak dapat
didengar oleh OP maka hasil pemeriksaan ialah SCHWABACH NORMAL
( BC penderita = BC pemeriksa )
 Apa tujuan peneriksaan pendengarann dengan penala di klinik?
JAWAB : untuk membedakan jenis tuli pada pasien yaitu :
a. Tuli syaraf (tuli perseptif ) / sensorineural hearing loss (SNHL)
b. Tuli hantaran ( tuli konduktif ) / conductive hearing loss (CHL)
3) WEBER
perbandingan kekerasan BC antara telinga kanan dan kiri.
a. Getarkan penala yang berfrekuensi 512 seperti pada butir sebelumnya
b. Tekanlah ujung penala pada dahi OP di garis median
c. Tanyakan kepada OP, apakah ia mendengar dengungan bunyi penala sama kuat di
kedua telinganya atau terjadi lateralisasi ?
 Apakah yang dimaksud dengan lateralisasi ?
JAWAB : peristiwa terdengarnya dengungan penala lebih kuar pada salah satu telinga.
Bila dengungan lebih kuat terdengar di telinga kiri, disebut terjadi lateralisasi ke kiri.
Aural dextra / telinga kanan ( AD ), aural sinistra ( AS )
 AD = AS
16

Normal AD/AS
 AD lebih keras dari AS
LATERALISASI KANAN – CHL AD / SNHL AS
 AD lebih kecil dari AS
LATERALISASI KIRI – CHL AS / SNHL AD
Indra Penglihatan
1. Probandus berdiri/duduk pada jarak 6 meter dari Optotype van snellen
2. Tinggi mata horizontal dengan Optotype van snellen
3. Mata diperiksa satu persatu,dengan memasang bingkai kacamata khusus pada orang
percobaan dan tutup mata kirinya dengan penutup hitam khusus yang tersedia dalam
kotak lensa.
4. Periksa visus mata kanan orang percobaan dengan menyuruhnya membaca huruf
yang saudara tunjuk. Dimulai dari baris huruf yang terbesar (seluruh huruf) sampai baris
huruf yang terkecil (seluruh huruf) yang masih dapat dibaca OP dengan lancar tanpa
kesalahan.
5. Catat visus mata kanan orang percobaan
6. Ulangi peneriksaan ini pada mata kiri
7. Catat hasil pemeriksaan

17

BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Refleks Fisiologis Ekstremitas Atas
1. Biseps
Probandus

: Faris Hendrawan

Umur

: 18 tahun

Respons

: fleksi lengan dan tampak kontraksi otot biseps.

2. Triseps
Probandus

: Bayu Aji Pradana

Umur

: 18 tahun

Respons

: ekstensi lengan dan tampak kontraksi otot triseps

Refleks Fisiologis Ekstremitas Bawah
1. Patela
Probandus

: Zaki

Umur

: 19 tahun

Respons

: ekstensi tungkul bawah

Indra Pendengaran
Probandus :
Nama

: Muhamad Vegisa Nusantara

Umur

: 18 tahun

RINNE
+

SCHWABACH
=

WEBER


18

INTERPRETASI
normal

Indra Penglihatan
Probandus

: Muhammad Mudrik Habiburrahman

Umur

: 18 tahun
6
: 36

Visus

B. Pembahasan
Proses Terjadinya Gerak Refleks
Aktivitas di lengkung refleks dimulai di reseptor sensorik, berupa potensial
reseptor yang besarnya sebanding dengan kuat rangsang. Potensial reseptor
membangkitkan potensial aksi yang bersifat gagal atau tuntas disaraf aferen.
Jumlah potensial aksi sebanding dengan besarnya potensial generator. Di sistem
saraf pusat terjadi respons bertahap berupa potensial pascasinaps eksitatorik dan
potensial pasca sianaps inhibitorik yang kemudian bangkit di saraf tertaut-taut
sinaps. Respon yang kemudian bangkit di saraf eferen adalah respon yang bersifat
gagal atau tuntas. Bila potensial aksi ini mencapai efektor, akan terbangkit lagi
respons bertahap. Di efektor yang berupa otot polos, responnya akan bergabung
untuk kemudian mencetuskan potensial aksi di otot polos. Tetapi bila efektornya
berupa otot rangka, respons bertahap tersebut selalu cukup besar untuk
mencetuskan potensial aksi yang mampu menimbulkan kontraksi otot.
Perlu ditekankan bahwa hubungan antara neuron aferen dan eferen biasanya
terdapat di susunan saraf pusat, dan aktivitas di lengkung reflex merupakan
aktivitas yang termodifikasi oleh berbagai rangsangan yang terkumpul
(konvergen) di neuron eferen.
Macam-Macam Gerak Refleks
Gerak refleks terdiri dari 2 macam, yaitu refleks fisiologis dan refleks patologis.
1. Refleks Fisiologis
a. Refleks Somatik.
Berdasarkan jumlah neuron yang terlibat dibagi menjadi:

19

1. Refleks Monosinaptik (refleks renggang)
Lengkung reflex yang paling sederhana, mempunyai sinaps tunggal diantara neuron
aferen dan eferen. Hanya ada satu sinaps yang terjadi antaraneuron sensorik dan neuron
motorik.
Bila otot rangka dengan persyarafan yang utuh direnggangkan, otot ini akan
berkontraksi. Respons seperti ini disebut refleks renggang.

Rangsangan yang

menimbulkan efek regang adalah regangan pada otot, dan responnya adalah kontraksi
otot yang diregangkan tersebut. Alat indranya adalah kumparan otot. Impuls yang
tercetus di kumparan otot dihantarkan ke SSP (Sistem Saraf Pusat) melalui serabut saraf
sensorik penghantar cepat. Impuls kemudian secara langsung akan diteruskan ke neuron
motorik yang mempersarafi otot yang teregang. Neurotransmitter di sinaps adalah
glutamate. Refleks regang merupakan refleks monosinaptik di dalam tubuh yang paling
banyak diketahui dan dipelajari.
2. Refleks Patella (knee jerk)
Ketukan pada tendon patella akan membangkitkan reflex patella, karena ketukan
pada tendon akan meregangkan otot kuadriceps femoris.
Ketika patella diberi ketukan secara refleks kaki akan bergerak ke depan seakan
menendang. Perubahan postur/gerak pada kaki tersebut karena adanya mekanisme
pengatur postur atau gerak pada kaki tersebut.
Perubahan postur atau gerak pada kaki tersebut karena adanya mekanisme pengatur
postur yang terdiri dari rangkaian nukleus dan berbagai struktur seperti medulla spinalis,
batang otak dan korteks serebrum. Sistem ini tidak saja berperan dalam postur statik
tetapi juga bersama sistem kortikospinalis dan kortikobulbaris, berperan dalam
pencetusan dan pengendalian gerakan. Penyesuaian postur dan gerakan volunter tidak
mungkin di pisahkan secara tegas, tetapi dapat di ketahui serangkaian refleks postur
yang tidak saja mempertahankan posisi tubuh tetapi tegak dan seimbang tapi juga
penyesuaian untuk mempertahankan latar belakang postur yang stabil untuk aktivitas
volunter. Penyesuaian ini mencakup 2 refleks yaitu :
Refleks tatik : mencakup konstraksi menetap otot
Refleks fasik : melibatkan gerakan – gerakan sesaat

20

Keduanya terintegrasi di dalam sistem saraf pusat, dari medulla spinalis sampai korteks
serebrum.
Faktor utama dalam kontrol postur adalah adanya variasi ambang refleks regang
spinal, yang di sebabkan oleh perubahan tingkat keterangsangan neuron motorik dan
secara tidak langsung merubah kecepatan lepas muatan oleh neuron eferen -ɣ ke
kumparan otot. Sehingga makin keras ketukan yang di berikan maka refleks regang
yang terjadi semakin kuat dan terjadi gerak sesaat yang lebih tegas (pada refleks patella
kaki akan bergerak menendang lebih keras atau sesuai dengan besar rangsang yang di
berikan).
Susunan neuromuskular terdiri dari Upper motor neuron (UMN) dan lower
motor neuron (LMN). Upper motor neurons (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf
motorik yang menyalurkan impuls dan area motorik di korteks motorik sampai inti-inti
motorik di saraf kranial di batang otak atau kornu anterior.
Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik kelompok UMN dibagi dalam
susunan piramidal dan susunan ekstrapiramidal. Susunan piramidal terdiri dari traktus
kortikospinal dan traktus kortikobulbar. Traktus kortikobulbar fungsinya untuk gerakangerakan otot kepala dan leher, sedangkan traktus kortikospinal fungsinya untuk
gerakan-gerakan otot tubuh dan anggota gerak. Sedangkan lower motor neuron(LMN),
yang merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang berasal dari batang otak, pesan
tersebut dari otak dilanjutkan ke berbagai otot dalam tubuh seseorang.
Indra Pendengaran
TES RINNE
Interpretasi :
– Normal : Rinne positif
– Tuli konduksi : Rinne negatif
– Tuli sensori neural : Rinne positif
Kadang-kadang terjadi false Rinne (pseudo positif atau pseudo negatif) terjadi bila
stimulus bunyi di tangkap oleh telinga yang tidak di tes, hal ini dapat terjadi bila telinga
yang tidak tes pendengarannya jauh lebih baik daripada yang di tes.

21

Kesalahan pada pemeriksaan ini dapat terjadi bila :
– garpu tala diletakkan dengan baik pada mastoid atau miring, terkena rambut, jaringan
lemak tebal sehingga penderita tidak mendengar atau getaran terhenti karena kaki garpu
tala tersentuh aurikulum.
– Penderita terlambat memberi isyarat waktu garpu tala sudah tak terdengar lagi,
sehingga waktu di pindahkan di depan MAE getaran garpu tala sudah berhenti.
TES WEBER
Weber dilakukan dengan cara menggetarkan penala dan tangkainya diletakkan di
garis tengah kepala (di verteks, dahi, pangkal hidung, di tengah-tengah gigi seri atau di
dagu). Bunyi penala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut weber
lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat dibedakan ke arah telinga mana bunyi
terdengar lebih keras disebut weber tidak ada lateralisasi. Hasil tes Weber tidak ada
lateralisasi menandakan kedua telinga normal. Tes Weber menilai kedua telinga
sekaligus maka kemungkinannya dapat lebih dari satu. Pada hasil lateralisasi kanan
terdapat lima kemungkinan, yaitu:
(1) gangguan pendengaran konduksi kanan, telinga kiri normal;
(2) gangguan pendengaran konduksi kanan dan kiri, tetapi telinga kanan lebih berat;
(3) gangguan pendengaran sensorineural kiri, telinga kanan normal;
(4) gangguan pendengaran sensorineural kanan dan kiri, tetapi telinga kiri lebih
berat; dan
(5) gangguan pendengaran konduksi kanan dan sensorineural kiri.
Pada hasil lateralisasi kiri terdapat lima kemungkinan, yaitu:
(1) gangguan pendengaran konduksi kiri, telinga kanan normal;
(2) gangguan pendengaran konduksi kanan dan kiri, tetapi telinga kiri lebih berat;
(3) gangguan pendengaran sensorineural kanan, telinga kiri normal;
(4) gangguan pendengaran sensorineural kanan dan kiri, tetapi telinga kanan lebih
berat; dan
(5) gangguan pendengaran konduksi kiri dan sensorineurak kanan.

22

TES SCHWABACH
Interpretasi :
– Normal : Schwabach normal
– Tuli konduksi : Schwabach memanjang
– Tuli sensorineural : Schwabach memendek
Kesalahan terjadi bila :
– Garpu tala tidak di letakkan dengan benar, kakinya tersentuh sehingga bunyi
menghilang
– Isyarat hilangnya bunyi tidak segera diberikan oleh penderita

Indra Penglihatan
Pemeriksaan visus dilakukan dengan cara probandus berdiri sejauh 6 meter dari
optotype. Kemudian, probandus diminta membaca kombinasi huruf dari ukuran terbesar
sampai terkecil. Maka dapat ditentukan rumus visus snelen sebagai berikut :
3
Hasil x 10 = ....
Lalu dapat ditentukan jarak pandang probandus yaitu
6
hasil
Maka dari hasil pengamatan probandus dapat ditentukan :
3
120 x 10 = 36
6
Diperoleh 36 dapat diartikan probandus hanya bisa melihat pada jarak 6 meter,
sedangkan orang normal pada jarak 36 meter.
Tidak semua orang mempunyai visus yang sama. Visus dipergunakan untuk
menentukan penggunaan kacamata. Visus penderita bukan saja memberi pengertian
tentang optiknya (kaca mata) tetapi mempunyai arti yang lebih luas yaitu memberi
keterangan

tentang

baik

buruknya

fungsi

mata

secara

keseluruhan.

Pemeriksaan visus merupakan pemeriksaan fungsi mata. Gangguan penglihatan

23

memerlukan pemeriksaan untuk mengetahui sebab kelainan mata yang mengakibatkan
turunnya visus. Visus perlu dicatat pada setiap mata yang memberikan keluhan mata.
Pemeriksaan visus dapat dilakukan dengan menggunakan Optotype Snellen, kartu
Cincin Landolt, kartu uji E, dan kartu uji Sheridan/Gardiner. Optotype Snellen terdiri
atas sederetan huruf dengan ukuran yang berbeda dan bertingkat serta disusun dalam
baris mendatar. Huruf yang teratas adalah yang besar, makin ke bawah makin kecil.
Penderita membaca Optotype Snellen dari jarak 6 m, karena pada jarak ini mata akan
melihat benda dalam keadaan beristirahat atau tanpa akomodasi. Pembacaan mula-mula
dilakukan oleh mata kanan dengan terlebih dahulu menutup mata kiri. Lalu dilakukan
secara bergantian. Tajam penglihatan dinyatakan dalam pecahan.
C. Aplikasi Klinis

Aplikasi klinis refleks terjadi pada penyakit HIV. Keterlibatan sistim saraf
pada infeksi HIV dapat terjadi secara langsung karena virus tersebut dan tidak
langsung akibat infeksi oportunistik immunocompromised. Studi dinegara barat
melaporkan komplikasi pada sistim saraf terjadi pada 30-70% penderita HIV,
bahkan terdapat laporan neuropatologik yang mendapat kelainan pada 90
spesimen post mortem dari penderita HIV yang diperiksa. Pemeriksaan neurologis
dijumpai sensorium apatis, tanda peninggian tekanan intrakranial, dari saraf
kranial dijumpai pupil anisokor, refleks cahaya (+) menurun pada mata kiri, mata
kiri tidak bisa dibuka, dan digerakkan. Sudut mulut kesan tertarik ke kiri.
Hipertonus, kekuatan motorik sulit dinilai kesan parese ke empat ekstremitas
didapati peninggian refleks biceps, APR/KPR. Refleks patologis Babinski kiri
dan kanan (+) (Silaban, 2010).
Selain itu gangguan pada refleks dapat mengindikasikan suatu penyakit seperti
cereberal palsy terdapat peninggian tonus otot dan refleks yang di sertai klonus
dan refleks babinski yang positif. Tonus yang meninggi itu menetap dan tidak
hilang meskipun seseorang dalam kedaan tidur (Mardiani, 2006).

24

Indra Pendengaran
1.

Untuk tes pendengaran apakah normal, SNHL atau CHL

2.

Dalam bidang kedokteran digunakan untuk mengetahui ada kelainan

pendengaran
Indra Penglihatan
1.

Untuk tes memakai kaca mata apakah mata plus, minus atau silindris.

2.

Dalam bidang kedokteran digunakan untuk mengukur ketajaman mata pasien

25

BAB III
KESIMPULAN

1. Mekanisme gerak refleks disebut juga lengkung refleks. Terdiri dari organ
reseptor, neuron aferen, area sentral di SSP (medulla spinalis) neuron eferen, dan
organ reseptor.
2. Refleks terdiri dari dua jenis yaitu Refleks fisiologis dan refleks patologis.
Refleks fisiologis adalah refleks yang harus terjadi pada orang normal.
Sementara refleks patologis adalah refleks yang terjadi pada orang abnormal.
3. Pemeriksaan refleks fisiologis terdiri dari pemeriksaan refleks bisep, trisep,
brakhioradialis, periosteum radialis, periosteum ulnaris, dan patella. Sedangkan
refleks patologis terdiri dari refleks hoffman tromer, refleks grasping, refleks
snouting, refleks babinski, refleks oppenheim, refleks gordon, refleks schaefer,
refleks caddock. Dimana terjadi konsolidasi refleks

babinski pada refleks

oppenheim, gordon, schaefer, dan refleks caddock.
4. Pada probandus yang normal, refleks fisiologis berupa sebagai berikut:
a. Refleks Bisep berupa fleksi pada siku dan kontraksi bisep
b. Refleks Trisep berupa ekstensi siku dan kontraksi trisep disendi siku
c. Refleks Brakhioradialis berupa gerakan menyentak pada radius
d. Refleks Periosteum Radialis berupa fleksi lengan bawah dan supinasi
tangan.
e. Refleks Periosteum Ulnaris berupa pronasi tangan
f. Refleks patella berupa kontraksi otot kuadrisep dan ekstensi lutut
5. Pada probandus yang abnormal, refleks patologis akan muncul berupa sebagai
berikut:
a. Refleks babinski berupa normalnya kontraksi jari kaki bergerak fleksi,
abnormalnya ibu jari bergerak dorsofleksi sedangkan keempat jari
lainnya abduksi
b. Refleks hoffman tromer berupa ibu jari adduksi dan jari-jari tangan
adduksi
26

c. Grasping refleks berupa menggenggam jari tangan pada orang yang
abnormal
d. Refleks snouting berupa timbul respon refleks menyusu.
Indra Pendengaran
1. Tes garpu tala adalah suatu tes untuk mengevaluasi fungsi pendengaran
individu secara kualitatif.
2. Frekuensi yang dipakai untuk tes garis pendengaran digunakan garpu tala
dengan frekuensi 128 Hz, 256 Hz, 152 Hz, 1024 Hz, dan 2048 Hz.
3. Frekuensi yang sering digunakan untuk tes garpu tala terutama pada tes
Rinne, tes Weber, tes Schwabach adalah 512 Hz, karena mewakili frekuensi
percakapan normal.
4. Tes Weber dan tes Rinne adalah tes garpu tala yang penting untuk
mendiagnosis atau mengkonfirmasi ketulian, tapi hanya tes Rinne yang dapat
mendiagnosis jenis ketuliannya, sedangkan tes weber hanya mendeteksi
perbedaan antara kedua telinga. Namun bila jenis ketuliannya sudah
ditegakkan misalnya tuli konduktif, tes Weber lah yang lebih sensitif untuk
mendeteksi tingkat keparahannya dibandingkan tes rinne.
Indra Penglihatan
1. Cara pemeriksaan visus secara klinis dapat menggunakan huruf dari
Optotype Snellen yaitu sebuah ukuran kuantitatif suatu kemampuan untuk
mengidentifikasi simbol-simbol berwarna hitam dengan latar belakang putih
dengan jarak yang telah distandarisasi serta ukuran dari simbol yang
bervariasi.
2. Nilai visus (ketajaman penglihatan) dengan menggunakan dua bola mata
lebih baik dari pada nilai visus dengan menggunakan satu bola mata dengan
satu bola mata lainnya yang ditutup.

27

DAFTAR PUSTAKA

Ganong, William. 2002. Fisiologi Kedokteran. EGC : Jakarta
Guyton, A C. 2007. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. EGC: Jakarta
Mardiani, Elita. 2006. Faktor-faktor Risiko Prenatal dan Perinatal Kejadian Cerebral
Palsy (Studi Kasus di YPAC Semarang).
http://eprints.undip.ac.id/15503/1/Elita_Mardiani.pdf. diakses pada 11 November
2014
Murtiati, Tri dkk. 2010. Penuntun Praktikum Anatomi dan Fisiologi Manusia. Jurusan
Biologi FMIPA Universitas Negeri Jakarta.
Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi UntukParamedis. Gramedia Pustaka
Utama : Jakarta
Pinel, J. P.J .2009. Biopsikologi (7th ed). Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. EGC: Jakarta
Silaban, Dalton dkk. 2010. Ensefalitis Toksoplasmosis pada Penderita HIV-AIDS.
repository.usu.ac.id/handle/123456789/18382. diakses pada 11 November 2014
Syaifuddin,H.. 2011. Anatomi Fisiologi Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk
Keperawatan dan Kebidanan. EGC : Jakarta

28