Rida al ridha Kata ridha berasal dari ka

RESUME RIDA DAN AL-MAQAM LAINNYA

Mata kuliah : Akhlak tasawuf
Dosen : Dr. Ja'far, MA
Disusun Oleh :

Nama : Nurdiana Safitri
NIM : 0702171049
Prodi : Sistem Informasi-5/1

Rida (al-ridha)
Kata ridha berasal dari kata :




Radhiya,
Yardha,
Ridhwanan yang artinya senang, puas, memilih, persetujuan, ,menyenangkan dan
menerima.


Dalam kamus bahasa Indonesia rida adalah rela, suka, senang hati, perkenan, dan rahmat. Kata
rida dari berbagai bentuk di sebut dalam al-quran sebanyak 73 kali. Penyebutan istilah rida
secara berulang kali dan berbagai bentuk di dalam al-quran mengarahkan kepada kesimpulan
bahwa islam menilai penting maqam rida. Menurut al-ghazali, islam menilai penting rida yang
dapat dilihat dari berbagai dalil dalam al-quran, hadis dan atsar. Di antara dalil rida adalah Q.S
al-maidah/5:119;dan Q.S al-bayyinah/98:8. Para sufi telah memberikan penegasan mengenai arti
dari maqam terakhir yang mungkin di capai oleh kaum sufi sebagaimana dijelaskan oleh sufi-sufi

dari mazhab sunni. Diantara mereka, ibn khatib mengatakan bahwa rida adalah tenang nya hati
dalam ketetapan Allah Ta’ala dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah Ta’ala.
Menurut al-hujwiri, rida terbagi menjadi dua macam : rida Allah terhadap hambanya ,
dan rida hamba terhadap Allah swt. Rida allah terhadap hambanya adalah dengan cara
memberikan pahala , nikmat dan karamahnya, sedangkan rida hamba kepada allah adalah
melaksanakan segala perintah dan tunduk atas segala hukum_Nya. Harist al-muhasibi berkata,
rida adalah ketentraman hati atas ketetapan takdir. Dzu al-nun al-mishri berkata rida adalah
ketenangan hati diatas takdir. Ibn Atha berkata rida adalah penghargaan hati atas pilihan allah
untuk hambanya sebab pilihannya itu adalah pilihan terbaik. Abu ali al-Daqaq berkata, rida
adalah tidak menentang hukum dan keputusan allah swt. Dzun al-nun al-mishri berkata tandatanda tawakal ada 3, yakni:





Meninggalkan usaha sebelum keputusan,
Menghilangkan kepahitan sebelum keputusan, dan
Cinta apabila mendapatkan cobaan.

Abu umar al-Dimsyaqi berkata rida adalah meninggalkan keluh kesah ketika hukum telah
diberlakukan. Ruwaim berkata rida adalah menerima hukum dengan senang hati.
Harist al-muhasibi berkata rida adalah tenangnya hati atas berlakunya hukum. Al-nuri
berkata rida adalah senangnya hati karena menerima keputusan pahit. Menurut nashr al-din althusi, rida adalah tidak merasa kecewa, baik secara lahiriah maupun batiniah, dan baik hati,
perkataan maupun perbuatan, atas segala yang terjadi dalam diri hamba, dengan harapan Allah
akan senang sehingga allah akan membebaskannya dari murka dan hukumannya. Menurut Ibn
Qayyim al-jauziyah, rida memiliki dua derajat : rida kepada allah swt sebagai rabb dan
membenci ibadah kepada selainnya; dan rida terhadap qada dan qadar allah swt. Menurut Ibn
qudamah makna rida adalah seorang hamba menyadari bahwa pengaturan allah swt lebih baik
dari pengaturan manusia dan rida atas penderitaan karena dibalik penderitaan ada pahala apalagi
penderitaan itu berasal dari allah swt.

Al-maqam Lainnya
Sebagian sufi menilai bahwa setelah mencapai maqam rida seorang salik masih dapat

mencapai maqam seperti makrifat dan menegaskan bahwa al-ridha bukan maqam tertinggi. Alkalabazi mengatakan bahwa sebagian sufi membagi makrifat menjadi dua, yakni al-ma’rifat haq
yang berarti penegasan keesaan allah atas sifat-sifat yang di kemukakan nya dan ma’rifat
haqiqah yang bermakna makrifat yang tidak bisa dicapai dengan sarana apapun, sebab sifat_Nya
tidak dapat ditembus dan ketuhanan Nya tidak dapat di pahami. Al-Qusyairi menjelaskan bahwa
maksud para sufi dari istilah makrifat adalah sifat dari orang-orang yang mengenal Allah Swt
dengan nama dan sifatnya, dan membenarkan Allah swt dengan melaksanakan ajaran_Nya dalam
segala perbuatan. Makrifat adalah pengosongan diri untuk selalu mengingat Allah swt. Nahsr alDin al-thusi menjelaskan bahwa makrifah adalah derajat tertinggi pengetahuan tentang Allah swt
dan pengetahuan tentang nya memiliki beberapa tingkatan.
Tingkatan makrifat paling tinggi di miliki oleh kaum urafa, ahl al-yaqin, dan ahl alhudhur yang menyaksikan nya secara langsung. Bagi sebagian sufi makrifah lebih tinggi dari
rida. Sebagian sufi lain menghadirkan ajaran lain mengenai al-maqam tertinggi. Al-hallaj
mengenalkan paham al-hulul abu yazid al-bistami memiliki ajaran tentang al-ittihad dan ibn
arabi mengajarkan paham wahdah al-wujud yang dielaborasi lebih lanjut oleh Mulla shadra.
Ketiga teori ini memang mendapatkan penolakan dari banyak fukaha dan teolog sunni, tetapi
diterima oleh mayoritas fukana syiah.