FESTIVAL KEBUDAYAAN CANBERRA SEBAGAI ALAT DIPLOMASI PEMERINTAH INDONESIA DI AUSTRALIA (2014-2015)

Transformasi Nomor 33 Tahun 2017
Volume I Halaman 1 - 59
FESTIVAL KEBUDAYAAN CANBERRA SEBAGAI ALAT DIPLOMASI
PEMERINTAH INDONESIA DI AUSTRALIA (2014-2015)
Oleh
Setyasih Harini dan Halifa Haqqi
Staf Pengajar Fisip Universitas Slamet Riyadi Surakarta
Abstract
Culture is regarded as forming international bridges and interactions. With culture, state can
reach influential members of foreign societies who cannot be reached through traditional
embassy function. Bilateral cooperation between Indonesia and Australia is like a roller coaster
or love-hate relationship. This study purpose to explain Canberra Festival as tool of cultural
diplomacy of Indonesia in Australia. It is qualitative research with literature as source of data.
The object is art performance of Indonesia dancer through Canberra Festival in Australia.
Indonesia has more opportunities make cultura performance through Canberra Festival after
hacking incident. Result of the research show culture diplomacy through Canberra Festival can
improve relationship between Indonesia-Australia after hacking accident. The conclusion is
Canberra Festival can increase tourist from Australia.
Key words: foreign relationship, national interest, cultural diplomacy
Dalam kondisi demikian maka budaya
memiliki peran menjadi sarana untuk

menarik kembali jalinan hubungan luar
negeri yang belum dapat berjalan dengan
baik. Melalui kebudyaan dalam bentuknya
yang soft diyakini sebagai medium untuk
menjembatani
perbedaan-perbedaan
kepentingan. Di sinilah arti pentingnya
kebudayaan. Dalam hubungan luar negeri,
Indonesia menjadikan budaya sebagai alat
atau media untuk melakukan diplomasi.
Pemanfaatan budaya tersebut tidak terlepas
dari potensi yang dimiliki Indonesia yang
belum banyak diketahui oleh masyarakat
dari negara lain. Budaya sebagai identitas
nasional oleh pemerintah agar bisa lestari
diperlukan upaya pengenalan kepada
masyarakat dari negara lain.

Pendahuluan
Hubungan luar negeri yang dilakukan

oleh dua negara yang saling berdekatan
tidak melulu dapat berjalan dengan mulus.
Perbedaan pandangan atau persepsi yang
mewarnai atau bahkan menjadi fokus utama
dalam
hubungan
tersebut
adalah
kepentingan
nasional.
Pencapaian
kepentingan nasaional tersebut akan
dilakukan oleh tiap-tiap negara kapan pun
dan terhadap siapa pun. Upaya untuk
mencapai kepentingan nasional tersebut
dilakukan dengan berbagai bidang kegiatan
dalam hubungan luar negeri seperti politik,
ekonomi dan kebudayaan.
Indonesia dan Australia sebagai dua
negara yang letak geografisnya cukup

berdekatan memiliki hubungan luar negeri
yang dinamis. Seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya
bahwa
demi
mencapai
kepentingan nasional maka hubungan luar
negeri antara Indonesia dengan Australia
tidak selalu berjalan harmonis. Selain karena
kepentingan
nasional,
faktor
yang
memengaruhi
hubungan
luar
negeri
antarnegara bertetangga adalah perbedaan
latar belakang baik geografi, sejarah, sistem
kependudukan dan politik. Perbedaanperbedaan tersebut menjadikan pemerintah

perlu menyusun kebijakan dan langkah yang
dapat diterima oleh negara yang akan
menjadi partner dalam hubungan luar
negerinya.

Melalui diplomasi damai yang
dikemas dengan pertunjukan seni diharapkan dapat menjadi sarana untuk memenuhi
kepentingan
nasional
khususnya
kepariwisataan serta kondusifnya hubungan
luar negeri. Melalui kebudayaan pulalah
ketegangan hubungan luar negeri bisa
diredam agar tidak mengarah pada keretakan
atau bahkan konflik. Hal ini tidak dapat
dipungkiri mengingat kebudayaan itu
bersifat netral dan universal sehingga bisa
diterima oleh masyarakat manapun dan dari
latar belakang apapun. Diplomasi itu sendiri
juga bisa dikatakan sebagai suatu seni untuk

mengedepankan kepentingan nasionalnya
dalam menjalin hubungan dengan negara40

Transformasi Nomor 33 Tahun 2017
Volume I Halaman 1 - 59
maupun pertahanan keamanan. Kepentingan
nasional (national interest) menurut Daniel
S. Papp adalah bahwa dalam kepentingan
nasional terdapat beberapa aspek, seperti
ekonomi, ideologi, kekuatan dan keamanan
militer, moralitas dan legalitas. Para
penganut realis menyamakan kepentingan
nasional sebagai upaya negara untuk
mengejar power atau kekuasaan. Dalam
ranah hubungan internasional power adalah
segala sesuatu yang dapat mengembangkan
dan memelihara kontrol satu negara
terhadap negara lain baik secara individual
maupun kolektif. Perwita (2006: 123) lebih
lanjut menjelaskan bahwa hubungan

kekuasaan atau pengendalian ini dapat melalui cara halus atau kasar. Antara lain
adalah dengan teknik paksaan, atau
kerjasama
(cooperation).
Kekuasaan
nasional dan kepentingan nasional dianggap
sebagai sarana dan sekaligus tujuan dari
tindakan suatu negara untuk bertahan hidup
dalam politik internasional.

negara lain. Dari sini dapat ditarik benang
merah bahwa diplomasi yang menggunakan
kebudayaan dapat menjadi alat untuk
mempererat hubungan luar negeri diantara
dua negara. Hal ini ditandai dengan
penyelenggaraan kembali festival budaya di
Canberra. Melalui penyelenggaraan festival
ini diharapkan bisa membangun hubungan
luar negeri Indonesia-Australia yang lebih
kondusif.

Penelitian
ini
pada
dasarnya
menjelaskan bahwa tidak ada satu negara
pun yang mampu memenuhi kebutuhannya
sehingga diperlukan hubungan luar negeri
dengan
negara-negara
tetangganya.
Kebijakan yang diambil suatu negara
dengan melakukan hubungan luar negeri
sangat dipengaruhi oleh kepentingan
nasionalnya yang bukan semata-mata pada
pencapaian poliatik dan keamanan (hard
politic). Pentingnya hubungan luar negeri
juga berpengaruh pada bidang lainnya
seperti pariwisata (soft politic) yang
kesemuanya bermuara pada upaya menjaga
eksistensi negara. Upaya untuk mencapai

kepentingan nasional tersebut tidak terbatas
pada bidang politik dan kaamanan namun
juga kepariwisataan. Indonesia sebagai
negara yang kaya akan keberagaman latar
belakang sangat perlu memperkenalkan
budaya sebagai identitas nasional. Langkah
ini sekaligus sebagai upaya untuk
melestarikan budaya Nusantara. Salah
satunya adalah dengan memperkenalkan
budaya
Indonesia
pada
masyarakat
Indonesia yang tinggal di Australia maupun
masyarakat Australia sendiri. Pagelaran seni
yang diprakarsai oleh pemerintah Indonesia
tersebut dikemas dalam bentuk Festival
Budaya di Kota Canberra.

Kiyono (2016: 3) berusaha mengupas

pemikiran Hans J. Morgenthau mengenai
konsep kepentingan nasional dari sisi Realis.
Bahwasanya, konsep ini dianggap rasional
sehingga membutuhkan suatu keharusan
untuk dipenuhi. Faktor ini bisa diamati dari
kebutuhan untuk menjaga dan melindungi
secara fisik politik, wilayah, dan bahkan
identitas nasional terhadap negara lain.
Faktor lain dari kepentingan nasional
merujuk pada kepentingan yang dapat
berubah-ubah tergantung pada situasi. Di
sini, yang dimaksud dengan situasi bisa
mengacu pada kondisi internal dalam suatu
negara maupun lingkungan eksternal baik
secara regional maupun internasional.
Pemikiran Kiyono yang mengacu pada
konsep kepentingan nasional dari Realis
terlihat sekali upaya secara fisik berdasarkan
pada rasionalisme untuk mempertahankan
eksistensi negara sehingga penggunaan

power dianggap sebagai hal logis.

Kepentingan Nasional Sebagai Landasan
Negara Melakukan Hubungan Luar
Negeri
Untuk memahami lebih lanjut tentang
Festival Budaya Indonesia di Kota Canberra
maka pendekatan yang digunakan adalah
dengan kepentingan nasional dan diplomasi
kebudayaan. Konsep kepentingan nasional
pada dasarnya menjelaskan bahwa untuk
mencapai kelangsungan hidup suatu negara
harus memenuhi kebutuhannya dengan
memenuhi kepentingan nasionalnya. Dengan
tercapainya kepentingan nasional maka
kehidupan negara akan berlangsung lebih
stabil, baik dari segi politik, ekonomi, sosial,

Istilah kepentingan nasional merujuk
pada suatu konsep yang disampaikan oleh

negarawan
maupun
maupun
para
cendekiawan dalam pembentukan negara.
Dalam kondisi demikian, istilah ini
dimaksudkan
untuk
menggambarkan
aspirasi dan tujuan yang hendak dicapai
ketika suatu negara melakukan hubungan
luar negeri. Dirunut dari akar katanya,
konsep “kepentingan” digunakan sebagai

41

Transformasi Nomor 33 Tahun 2017
Volume I Halaman 1 - 59
tingan sekunder yang muncul belakangan ini
termasuk faktor-faktor normatif identifikasi
negara. Untuk pencapaian kepentingan ini,
negara yang bersangkutan tidak perlu
melakukan peperangan dengan negara lain
tapi cukup dengan mengedepakan langkah
komunikasi melalui perundingan.

alat dari para diplomat Inggris dan Italia
pada abad ke-16 dan ke-17 untuk
menjelaskan proses menuju negara modern.
Marleku (2013: 416) memaparkan bahwa
proses pembuatan negara modern yang
pernah
disampaikan
oleh
Nicholo
Machiavelli melalui bukunya yang sangat
terkenal “The Prince” telah memprediksikan
munculnya kepentingan sebagai konsep
yang
terintegrasi
dalam
hubungan
internasional.

Selanjutnya Jean Marc Coicau dan
Nicholas J. Wheeler (2008:3-4) masih
mengidentifikasi
kembali
kepentingan
nasional negara yang ketiga yakni kepentingan non-vital. Kepentingan ini tidak
secara langsung berhubungan dengan
eksistensi negara itu namun tetap
diperjuangkan melalui kebijakan luar
negerinya. Hal ini dapat terlihat pada
program pertukaran budaya, kerjasama internasional/regional/bilateral
dapam
menanggulangi suatu bencana, penelitian
keilmuan, kerjasama pariwisata, olahraga
dan sebagainya. Dari sini menunjukkan
bahwa pengenalan identitas nasional yang
dilakukan oleh suatu negara terhadap negara
lain dalam balutan pengenalan budaya
sangat diperlukan sebagai perwujudan upaya
untuk mencapai kepentingan non-vital.

Ada dua hal penting yang ingin
disampaikan oleh Machiavelli melaui
karyanya yakni; pertama, bagi seorang
negarawan sangat penting untuk mengetahui
kapan menggunakan kekuatan agar bisa
mencapai tujuan secara efektif. Sementara
Clausewitz seperti dikutip oleh Marleku
menambahkan bahwa semua perilaku negara
dipengaruhi
oleh
keinginan
untuk
mempertahankan diri dan meraih kejayaan.
Untuk melindungi kepentingannya, suatu
negara akan mengambil kebijakan rasional
walaupun harus dilalui dengan perang.
Penggunaan perang tersebut walaupun
terkadang sebagai keputusan bodoh namun
penting untuk melindungi kepentingan
nasionalnya (2013: 417). Pada dasarnya
kepentingan nasional suatu negara memiliki
kharakteristik yang pada hakikatnya terdiri
dari: (1) Kelangsungan hidup bangsa dan
negara (self preservation), (2) Kemerdekaan
dan tidak dijajah oleh negara lain
(independence), (3) Keamanan militer
(military security), (4) Keutuhan wilayah
(territorial integrity) dan (5) Kesejahteraan
ekonomi (economic well being).

Pentingnya Diplomasi Kebudayaan untuk
Mewujudkan Kepentingan Non-Vital
Ryniejska dan Kieldanowicz (2013:2)
menjelaskan bahwa penggunaan istilah
diplomasi
kebudayaan
yang
ingin
ditonjolkan oleh negara yang melakukannya
adalah unsur kebudayaan. Negara mengakui
bahwa potensinya yang luar biasa dalam
bidang kebudayaan menjadi sarana untuk
menciptakan image positif dan membantu
pencapaian tujuan politik. Pentingnya
penggunaan budaya tersebut jika dikaitkan
dengan keenam aspek yang dimiliki
sebagaimana kutipan Ryniejska dan
Kieldanowicz terhadap penjelasan yang
diberikan oleh A Kroeber dan C. Kluckhohn
yakni sejarah, genetik, normatif, psikologis,
dan struktural. Dari keenam aspek tersebut,
sejarah menjadi unsur utama sebab dari
situlah sebagai titik awal pembentukan
peradaban manusia. Sementara kutipan dari
A. Klosowska yang dipakai oleh Ryniejska
dan Kieldanowicz menekankan bahwa
budaya sebagai fenomena, obyek dan proses
atau tipe perilaku tertentu dari aktivitas
manusia.

Jean Marc Coicau dan Nicholas J.
Wheeler (2008:2) menambahkan bahwa
kepentingan
nasional
merupakan
kepentingan diri dari suatu negara yang
secara tradisional mengacu pada keamanan
sebagai kepentingan inti atau vital (utama).
Keamanan memiliki nilai yang tinggi
sehingga negara yang bersangkutan akan
melakukan apa saja untuk dapat mencapai
dan mempertahankannya. Termasuk jika
dalam keadaan terpaksa, negara tersebut
akan melakukan peperangan dengan negara
lain.
Seiring
perkembangan
waktu,
kepentingan nasional berkembang bukan
hanya pada keamanan negara tapi juga
kepentingan nasional yang muncul sebagai
konsekuensi dari letak geografi negara
seperti ekonomi, energi, militer. Kepen-

42

Transformasi Nomor 33 Tahun 2017
Volume I Halaman 1 - 59
sebagai perwujudan identitas nasional
melalui kegiatan promosi kebudayaan. Oleh
karena itu, dalam pelaksanaannya diplomasi
kebudayaan menjadi sebuah kegiatan
melalui promosi budaya yang dilakukan
oleh
instansi
pemerintah
dengan
menggandeng masyarakat yang dilakukan di
negara lain.

Ien Ang, Yudhisthir Raj Isar dan Philip
Mar (2015: 365) menjelaskan bahwa
terminologi diplomasi kebudayaan saat ini
semakin banyak dilakukan oleh negara
bangsa sebagai sarana utuk mendukung
poitik luar negeri. Dalam pelaksanaannya,
penggagas utama terhadap pelaksanaan
diplomasi
kebudayaan
berasal
dari
pemerintah sedangkan pelakunya bisa
menggandeng aktivis masyarakat (nonstate). Diplomasi kebudayaan terlaksana
melalui koneksi kebudayaan trans-nasional
untuk meraih kepentingn nasional. Gagasan
Raymond William seperti yang dikutip
dalam jurnal ini menyebutkan bahwa
munculnya diplomasi kebudayaan sebagai
alat untuk mempromosikan identitas
nasional suatu negara bangsa.

Kontroversi Prinsip Bertetangga yang
Baik
Hubungan luar negeri yang dilakukan
oleh dua negara yang saling berdekatan
secara geografis tidak selalui diwarnai
dengan keharmonisan. Indonesia dengan
Australia sebagai dua negara bertetangga
selama ini seringkali diwarnai dengan
pasang surutnya hubungan luar negeri.
Hubungan kedua negara tersebut dapat
digambarkan seperti roller coaster, sangat
dinamis. Latar belakang pasang surutnya
hubungan kedua negara tersebut dapat
dilihat dari sejarah dan peta kependudukan
Australia. Jika dilihat dari dalam
mainlandnya sendiri, mayoritas rakyat
Australia adalah keturunan orang kulit putih
dari Inggris dan negara-negara Eropa,
korban Revolusi Industri. Kelompok
masyarakat lainnya dalam porsi yang lebih
sedikit adalah para pendatang dari berbagai
negara
yang
pernah
mengalami
ketidaknyamanan dan ketidakamanan di
negaranya sendiri. Dengan komposisi
penduduk yang tidak seimbang antara
keturunan Inggris dengan bangsa lain dan
status politiknya sebagai persemakmuran
Britania Raya maka sistem politik, ekonomi
dan sosialnya mendapat pengaruh yang
sangat besar dari negara induknya.

Diplomasi kebudayaan sebagai sebuah
seni yang mengedepankan kemampuan
bernegosiasi
secara
politis
dalam
pelaksanaannya membutuhkan dukungan
kekuatan dan kewibawaan ekonomi, politik,
dan militer (Tulus Warsito, 2007). Ada dua
versi yang ingin ditonjolkan oleh Tulus
Warsito mengenai diplomasi kebudayaan.
Pertama,
pada
dasarnya
diplomasi
kebudayaan hanya menyangkut pemanfaatan
kebudayaan untuk mendukung pelaksanaan
politik luar negeri. Dalam pemaknaan untuk
versi pertama ini, diplomasi kebudayaan
hanya dimanfaatkan sebagai pendukung
politik luar negeri. Di sini, Tulus Warsito
menghendaki agar pelaksanaan diplomasi
kebudayaan tidak dimaksudkan sebagai
sarana untuk meningkatkan wisatawan untuk
kepentingan pariwisata domestik.
Selanjutnya, masih dalam pemahaman
yang sama, Tulus Warsito mengemukakan
versi kedua dari diplomasi kebudayaan.
Dalam versi kedua, diplomasi kebudayaan
dimaksudkan
untuk
memanfaatkan
kebudayaan baik dalam rangka praktik
politik luar negeri maupun untuk
kepentingan pariwisata. Dari pemahaman
ini, pariwisata merupakan bagian dari
diplomasi kebudayaan. Dari kedua versi
tersebut secara tidak langsung menunjukkan
bahwa
diplomasi
kebudayaan
bisa
dilaksanakan oleh negara manapun tanpa
memandang
seberapa
besar
tingkat
kekuatannya dalam pergaulan internasional.
Konsep diplomasi kebudayaan menurut
versi
yang
kedua
tersebut
ingin
menunjukkan bahwa pemanfaatannya bisa

Sementara jika melihat ke luar
mainland, Australia dikelilingi oleh negaranegara yang mayoritas penduduknya adalah
kulit berwarna, keturunan Asia. Bisa
dikatakan bahwa Australia merupakan
negara benua yang salah tempat (misplaced
continent).
Dengan
melihat
kondisi
geografis dan sejarah tersebut memengaruhi
pada perilaku masyarakat. Hal ini memperlihatkan gambaran sekelompok orang kulit
putih di antara orang kulit berwarna. Secara
umum orang kulit berwarna memiliki
budaya dan cara pandang yang sangat berbeda dengan orang kulit putih. Orang kulit
putih yang tinggal di Australia memiliki
budaya Barat dengan tradisi KristenJudaisme, dan orang Kaukasoid yang rasis.
43

Transformasi Nomor 33 Tahun 2017
Volume I Halaman 1 - 59
provinsi Timor Timur (Timtim) ketika masa
pemerintahan Presiden Habibie. Pada waktu
itu pun, PM John Howard secara halus
memberikan masukan kepada presiden
Indonesia untuk memberikan hak kebebasan
bagi warga Timtim yang akhirnya berujung
pada referendum kemerdekaan propinsi
termuda.

Kesadaran akan munculnya jati diri
dan nasionalisme Australia sebagai negara
yang berdaulat baru muncul pada tahun
1940-an. Ketika pecah Perang Pasifik,
Inggris tidak lagi memberikan perlindungan
bagi Australia hingga Jepang dapat
memasuki wilayah Australia dengan bebas.
Momentum ini menjadi tonggak sejarah
dibukanya hubungan dengan negara-negara
sekitar terutama Indonesia. Pada dasarnya,
Australia berusaha untuk menerapkan
prinsip bertetangga yang baik (good
neighborhood)
hanya
saja
dalam
pelaksanaannya
seringkali
mengalami
pasang surut. Pasang surutnya hubungan
bertentangga antara Indonesia-Australia
telah dimulai semenjak kemerdekaan
Indonesia.

Sikap pemerintah Australia yang
menunjukkan
keinginannya
untuk
melakukan intervensi terhadap Indonesia
kembali terjadi dalam kasus penyadapan.
Penyadapan dilakukan oleh badan intelijen
Australia terhadap pembicaraan yang
dilakukan oleh mantan Presiden SBY
dengan ibu negara dan para pejabat tinggi.
Oprasi spionase tersebut dibocorkan oleh
Edward Snowden, mantan analis Badan
Keamanan Nasional AS yang telah
membelot.
Data
yang
dibocorkan
merupakan
hasil
penyadapan
yang
dilakukan selama 15 hari pada bulan
Agustus 2009. Seperti yang dilansir oleh
Sidney Morning Heral pada tanggal 31
Oktober 2013, Snowden memaparkan
bahwa pemerintah Australia di telah
memerintahkan badan intelejennya untuk
memasang alat penyadap di kantor kedutaan
besar Australia di Jakarta.

Dalam dua dekade ini terakhir ini
hubungan kedua negara masih menunjukkan
dinamikanya. Sekilas akan diuraikan naik
turunnya hubungan luar negeri IndonesiaAustralia sebagai bukti kontroversinya
prinsip bertetangga baik. Pertama, aksi
peledakan bom yang meledak di depan
Kedutaan Besar Australia pada 9 September
2004. Aksi ini mencoreng citra Indonesia di
mata internasional sehingga pemerintah
Australia mengeluarkan travel ban dan
travel advisory sebagai kebijakan yang
melarang warganegaranya untuk pergi
Indoneia karena ketidakamanan. Ketegangan
hubungan diplomatik yang ditimbulkan dari
adanya kasus tersebut merugikan sektor
pariwisata Indonesia.

Dengan adanya kasus penyadapan
tersebut akan berdampak lebih sensitif
terhadap hubungan luar negeri kedua
negara. Pertama, mantan Presiden SBY
waktu itu pernah menyampaikan pandangan
politik luar negerinya tentang “a thousand
friends zero enemy”. Namun dalam
pelaksanaannya justru pandangan ini
tercoreng oleh tetangga dekatnya sendiri.
Kedua, dengan adanya kasus itu,
pemerintah Australia memberikan tawaran
kepada Indonesia untuk memperluas
penggunaan Bahasa Indonesia pada tiga
uniiversitas besar yakni Australia National
University,
Monash
University
dan
Melbourne University. Tawaran lainnya
adalah dengan memperbanyak kegiatan
kebudayaan sebagai ajang untuk saling
mengenal identitas nasional masing-masing
negara (Prabaningtyas, 2013: 1-2). Tawaran
yang disampaikan oleh pemerintah Australia
tersebut dapat menjadi sarana untuk
meningkatkan
pelaksanaan
diplomasi
kebudayaan Indonesia melalui Festival
Canberra.

Terpuruknya hubungan luar negeri
Indonesia-Australia kembali terjadi ketika
Schapelle Corby, seorang warga Australia
yang kedapatan membawa ganja seberat 4,2
kg ketika mendarat di Bandara Ngurah Rai,
Denpasar (www.sumsel.tribunnews.com).
Terbongkarnya kasus tersebut kembali
mencoret hubungan baik kedua negara yang
coba dibangun kembali setelah terorisme.
Pemberian grasi yang diberikan oleh
mantan
Presiden
Susilo
Bambang
Yudhoyono (SBY) seakan menunjukkan
lemahnya citra pemerintah dan negara di
mata internasional khususnya dalam
hubungan kedua negara. Bagi masyarakat,
pemberian grasi yang diberikan oleh mantan
presiden kepada terpidana kasus narkoba
menyiratkan ketidakseimbangan hubungan
luar negeri yang terjalin antara Australia
dengan Indonesia. Peristiwa tersebut juga
mengingatkan kembali pada lepasnya
44

Transformasi Nomor 33 Tahun 2017
Volume I Halaman 1 - 59
ribu wisatawan Australia berkunjung ke
Indonesia. Angka ini 40ribu lebih tinggi dari
periode yang sama pada tahun 2014 dan
120ribu lebik banyak dari tahun 2013.
Diplomasi budaya yang sangat agresif yang
dilakukan oleh KBRI mampu menarik
banyak
masyarakat
Australia
untuk
mengenal lebih dekat tentang budaya
Indonesia.

Festival Canberra Sebagai Wujud
Pelaksanaan Diplomasi Budaya Indonesia
di Australia
Raymond William seperti yang dikutip
oleh Ien Ang, Yudhisthir Raj Isar dan Philip
Mar (2015: 365) dalam tulisannya yang
berjudul Cultural Diplomacy: Beyond The
National Interest? menyebutkan bahwa
munculnya diplomasi kebudayaan sebagai
alat untuk mempromosikan identitas
nasional suatu negara bangsa. Berdasarkan
pada gagasan tersebut maka Indonesia
sebagai negara yang kaya akan potensi
budayanya berusaha untuk melestarikannya
dengan memperkenalkanny pada masyarakat
negara lain khususnya Australia. Festival
Canberra merupakan acara tahunan yang
diselenggarakan oleh KBRI Indonesia sejak
tahun 2008. Tujuan dari Festival Indonesia
adalah pertama, untuk memperkenalkan
identitas nasional Indonesia dalam bentuk
budaya baik tarian dan kuliner kepada
masyarakat Canberra.
Kedua, festival
kebudaayan tersebut menjadi sarana promosi
kepariwisataan Indonesia dan penggerak
dalam membangun hubungan baik dengan
Australia di tingkat akar rumput. Ketiga,
kegiatan tahunan ini menjadi ajang untuk
memperkuat ikatan persatuan dan kesatuan
masyarakat Indonesia yang tinggal di
Canberra
dan
sekitarnya
sekaligus
meningkatkan kecintaan terhadap kekayaan
budaya Nusantara.

Penutup
Hubungan luar negeri dari dua
negara bertetangga tidak selalu berjalan
hamonis. Ada banyak variabel yang
memengaruhi naik turunnya hubungan
diplomatis tersebut. Seperti yang terjadi
antara Indonesia dengan Australia selama
ini. Sebagai dasar dari pasang surutnya
hubungan luar negeri antara IndonesiaAustralia adalah karena kepentingan
nasional yang berbeda. Masing-masing
kepentingan nasional terbentuk karena latar
belakang sejarah baik latar belakang
penduduk, sejarah politik, geografi hingga
persepsi politik. Dengan banyaknya
perbedaan yang mendasari terbentuknya
hubungan kedua negara maka budaya
menjadi sarana untuk menjembatani dan
mengkonstruksinya dengan lebih halus.
Pengenalan budaya yang dikemas dalam
bentuk festival budaya yang diselenggarakan
di Kota Canberra menjadi ajang pelaksanaan
diplomasi untuk meraih kepentingan nonvital yakni peningkatan jumlah wisatawan
ke Indonesia.

Seperti yang disampaikan oleh Jean
Marc Coicau dan Nicholas J. Wheeler
(2008:3-4) bahwa kepentingan nasional
negara yang ketiga yakni kepentingan nonvital. Kepentingan ini tidak secara langsung
berhubungan dengan eksistensi negara itu
namun
tetap
diperjuangkan
melalui
kebijakan luar negerinya. Hal ini dapat
terlihat pada program pertukaran budaya.
Maka festival kebudayaan Canberra tersebut
juga dimaksudkan sebagai sarana untuk
memenuhi kepentingan non-vital Indonesia
khususnya dalam meningkatkan pariwisata
Indonesia. Sade Bimantara juru bicara
Festival
Canberra
dalam
twitter
@INAEmbaus dan facebook: Indonesian
Embassy Australia, serta dalam Youtube
channel:Indonesia
Embassy
Canberra
menyebutkan bahwa Festival Canberra
memiliki pengaruh positif terhadap jumlah
wisatawan Australia yang berkunjung ke
Indonesia. Hal ini terbukti pada bulan
Januari hingga Agustus 2015 sebanyak 740

Daftar Pustaka

Ang, Ien, et.al, 2015, Cultural Diplomacy:
Beyond The National Interest?,
International Journal of Cultural
Diplomacy, Vol. 21, No. 4, University
of Western Sidney, Australia.
Coicau, Jean Marc dan Nicholas J. Wheeler,
2008.
National
Interest
and
International Solidarity: Particular
and
International
Ethics
in
International Life, United Nations,
University Press.
Kiyono, Ken, 2016. A Study of The Concept
of National Interest of Hans .J.
Moregenthau: as The Standart of
American Foreign Policy, Nagasaki
University‟s Academic Output SITE
Lukpata, Victor I, 2013. National Interest
and National Development in

45

Transformasi Nomor 33 Tahun 2017
Volume I Halaman 1 - 59
Nigeria, International Journal of
Public
Administration
and
Management Research, Vol. 2 No. 1,
Department
of
History
and
Diplomatic
Studies,
Federal
University Wukari, Nigeria,.
Marleku, Alfred, 2013. National Interest
and Foreign Policy, The Case of
Kosovo, Mediteranean Journal of
Social Sciences, Vol. 4 No. 3.
Richi, Jane dan Jane Lewis, 2003.
Qualitative Research Practice, A
Guide for Social Science Students
and Researchers, New Delhi: SAGE
Publications.
Papp, Daniel S, 1988. Contemporary
International
Relations”:
A
Framework for Understanding,
Second Editions, New York:
MacMillan Publishing Company.
Perwita, Anak Agung Banyu dan Yanyan
Mochmamad Yani, 2006. Pengantar
Ilmu
Hubungan
Internasional,
Bandung:
Remaja
Rosdakarya
Offset.
Prabaningtyas, Rizka, 2013. IndonesiaAustralia: Menguji Persahabatan di
Tengah Konflik Penyadapan, Jurnal
Commentaries Vol 20, Issue 1
Institute of International Studies,
UGM.
Ryniejska Marta dan Kieldanowicz, 2013.
Cultural Diplomacy as a Form of
International
Communication,
Finalist Paper for Best New
Research on The Cultural Variable in
Public Relations Practice, University
of Wroclaw, Warsawa, Polandia.
Warsito, Tulus dan Wahyuni Kartikasari,
2007.
Diplomasi
Kebudayaan:
Konsep dan Relevansi bagi Negara
Berkembang, Studi Kasus Indonesia,
Yogyakarta: Ombak.

46