PI KEBIJAKAN MONETER DAN PERBANKAN 2

SEKTOR MONETER DAN PERBANKAN PENDANAAN PEMBANGUNAN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Perekonomian Indonesia
yang diampuh oleh Drs. Sumarjono M.Si

Disusun Oleh:
Ronaldy Kaesmetan

(142120010)

Wisnu Rai Saputra

(142120017)

Singgih Setiaji

(142120015)

Akuntansi-Ekonomi
Universitas Pembangunan Nasional “veteran” Yogyakarta
2013


KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami selaku penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik.Pada kesempatan yang baik ini pula kami para penulis ingin menyampaikan rasa
hormat dan terimakasih kepada rekan-rekan setim yang telah memberi dukungan dan
bantuannya sehingga karya tulis ini dapat terlaksana dengan baik.
Makalah yang kami susun dengan judul “SEKTOR MONETER DAN PERBANKAN
PENDANAAN PEMBANGUNAN” kami harapkan dapat bermanfaat terutama dalam pengenalan
terhadap. Kami berharap semoga makalah ini kiranya juga dapat bermanfaat dalam
menunjang perkembangan ilmu pengetahuan.
Kami selaku penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna
dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan kami. Oleh karena itu dengan segala
kerendahan hati kami mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan dan penyempurnaan
karya tulis ilmiah ini di masa yang akan datang.

Yogyakarta, 19 November 2013

Penulis


2

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................................1
KATA PENGANTAR............................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................3
I.

PENDAHULUAN...........................................................................................................4

II.

UPAYA MEMBANGUN SEKTOR KEUANGAN.........................................................5

III.

KINERJA PEREKONOMIAN INDONESIA.................................................................9

IV.


KEBIJAKAN MENGATASI KRISIS EKONOMI.......................................................13

3

I. PENDAHULUAN

Pembangunan nasional yang terus diupayakan sejak Pelita I menuntut berbagai
prasyarat untuk keberhasilannya. Salah satunya adalah keterlibatan semua unsur
pembangunan secara terkoordinasi. Dalam hubungan ini, keterlibatan sektor moneter
dan perbankan merupakan salah satu unsur penting dalam proses tersebut. Bahkan
sebagian dari masyarakat sering mengharap terlampau banyak dari sektor moneter
dan perbankan dalam memecahkan berbagai masalah ekonomi, termasuk krisis
ekonomi yang sedang melanda Indonesia saat ini. Kebijakan moneter dan perbankan
sering dipandang mempunyai kekuatan yang lebih dari apa yang secara efektif dapat
dicapai dengan kebijakan tersebut. Hal ini pada dasarnya dikarenakan sektor moneter
dan perbankan mempunyai fungsi yang memberi pelayanan pada bekerjanya sektor
riil; baik kegiatan investasi, produksi, distribusi maupun konsumsi. Harapan yang
terlalu banyak tersebut perlu diluruskan. Sektor moneter-perbankan, karena itu juga
kebijakan moneter-perbankan, hanyalah salah satu bagian dari keseluruhan kebijakan

pembangunan nasional yang secara bersama-sama dalam suatu sinergi diarahkan
untuk mencapai berbagai sasaran pembangunan. Oleh karena itu, pembahasan
maupun perumusan kebijakan moneter-perbankan harus senantiasa ditempatkan pada
konteksnya sebagai bagian dari kebijakan ekonomi nasional. Kebijakan moneter
merupakan kebijakan yang ditujukan untuk mempengaruhi jumlah uang beredar agar
sesuai dengan kebutuhan likuiditas perekonomian. Sasaran akhir yang dituju adalah
terciptanya kestabilan ekonomi makro. Kondisi ekonomi makro yang stabil
merupakan unsur penting bagi berkembangnya dunia usaha, termasuk sektor
perbankan. Pengalaman lebih dari 25 tahun pelaksanaan pembangunan menunjukkan
bahwa faktor tersebut telah berkontribusi secara berarti dalam proses pembangunan.
Stabilnya kondisi ekonomi makro antara lain telah mendorong berkembang pesatnya
sektor perbankan sehingga mampu memobilisasi dana masyarakat. Perkembangan ini
telah mendorong tingkat tabungan mencapai sekitar 19%, suatu tingkat yang cukup
tinggi.
4

II. UPAYA MEMBANGUN SEKTOR KEUANGAN
Pembangunan nasional memerlukan sumber pendanaan yang tidak kecil guna
mencapai sasaran-sasarannya: pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita,
kesempatan kerja, distribusi pendapatan dll. Sasaran ini terus diupayakan untuk

ditingkatkan kualitasnya dari waktu ke waktu. Gambaran kearah ini tercermin pada
sasaran PJP II yang lebih tinggi dibanding sasaran PJP I. Dengan kualitas sasaran yang
terus ditingkatkan, pembangunan nasional jelas memerlukan sumber pembiayaan yang
semakin kuat pula. Untuk itu, upaya memperbaiki dan memperkuat sektor keuangan
menjadi sangat penting. Pada tahap awal, pembangunan sektor keuangan difokuskan
pada pembenahan sektor perbankan. Hal ini mengingat sektor perbankan mempunyai
peran yang vital, antara lain sebagai pengatur aliran darah untuk tubuh perekonomian
nasional. Lancarnya aliran uang ini sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan
ekonomi. Dengan demikian, kondisi sektor perbankan yang sehat dan kuat penting
menjadi sasaran akhir dari kebijakan di sektor perbankan. Dengan industri perbankan
yang sehat dan kuat maka diharapkan perbankan dapat menjalankan fungsinya sebagai
sumber pembiayaan pembangunan nasional. Dalam kondisi dimana pasar modal dalam
negeri yang belum sepenuhnya berkembang, melemah dan menguatnya sektor
perbankan akan sangat mempengaruhi aktivitas ekonomi. Dalam kondisi demikian,
kegiatan perekonomian dapat ditingkatkan apabila pemberian kredit oleh perbankan
dapat berjalan lancar. Sebaliknya, melambatnya pemberian kredit perbankan dapat
pula mengakibatkan kegiatan ekonomi mengalami kelesuan.
Peran sektor perbankan dalam pembangunan juga dapat dilihat pada fungsinya
sebagai alat transmisi kebijakan moneter. Adanya peran yang demikian maka sektor
perbankan dituntut untuk dapat beroperasi secara sehat. Untuk itu, pengembangan

sektor perbankan kearah tersebut memang menjadi sangat penting. Kebijakan moneter
tidak akan efektif tanpa didukung oleh kondisi sektor perbankan yang sehat. Studi
5

yang dilakukan oleh IMF pada beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa 130 dari 180
negara anggota IMF yang telah mengalami masalah perbankan dalam berbagai
bentuknya, telah mempengaruhi efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter.
Pengalaman ini sangat dirasakan Indonesia, khususnya dalam masa krisis ekonomi
sekarang ini. Dengan industri perbankan yang pada umumnya sedang mengalami
kesulitan, sektor perbankan sebagai transmisi kebijakan moneter tidak dapat berfungsi
seperti yang diharapkan. Sebagai akibatnya, kebijakan moneter sering kurang efektif
dalam mencapai sasarannya.
Peran lain dari sektor perbankan yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa
perbankan merupakan alat yang sangat vital dalam menyelenggarakan transaksi
pembayaran, baik nasional maupun internasional. Mengingat pentingnya fungsi ini,
maka upaya menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan perlu terus
diupayakan. Menurunnya kepercayaan atau terjadinya gangguan pada sistem
pembayaran akan mempunyai akibat yang sangat luas terhadap aktivitas di sektor riil.
Gambaran seperti ini terjadi pada sistem pembayaran nasional saat ini. Berkurangnya
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan telah menyebabkan letter of credit (L/C)

yang dikeluarkan oleh sejumlah bank domestik ditolak oleh bank-bank internasional.
Akibatnya, transaksi perdagangan baik ekspor maupun impor menjadi terhambat yang
mengakibatkan kesulitan ekonomi nasional.
Dari gambaran diatas terlihat bahwa sektor perbankan mempunyai peran sentral
dalam suatu perekonomian. Langkah-langkah untuk memperkuat sektor perbankan
dengan demikian penting ditempuh. Dalam hubungan ini, kebijakan perbankan perlu
diarahkan agar bank-bank dapat tumbuh dengan kebebasan dan beroperasi atas dasar
mekanisme pasar di dalam batas rambu-rambu untuk menjaga keamanan perbankan
tersebut. Kebijakan Juni 1983 selanjutnya telah menjadi tonggak dimulainya kebijakan
perbankan kearah tersebut. Kebijakan ini antara lain memberi kebebasan kepada bank6

bank untuk menetapkan kebijakan suku bunga dan perkreditan. Dengan langkah ini
maka diharapkan bank akan dapat beroperasi berdasarkan mekanisme pasar. Langkah
liberalisasi selanjutnya diperkuat dengan Kebijakan Oktober 1988 (Pakto 1988) yang
antara lain memberikan kemudahan bagi pembukaan bank baru. Selanjutnya, berbagai
langkah penyesuaian terus ditempuh. Hal ini termasuk langkah reformasi sistem
perkreditan (Januari 1990), penerapan prinsip kehati-hatian (Februari 1991) serta
perbaikan landasan hukum perbankan, yaitu dengan dikeluarkannya Undang-undang
Perbankan (Maret 1992) dan PP. No. 68 tahun 1996 tentang "Ketentuan dan Tata Cara
Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank", berbagai ketentuan yang

dikeluarkan dalam tahun 1995. Berbagai langkah tersebut telah membawa perbaikanperbaikan pada sektor keuangan Indonesia. Hal ini antara lain terlihat pada jumlah
lembaga keuangan yang semakin meningkat dan jenisnya yang semakin beragam.
Jaringan dan usaha bank semakin luas sejalan dengan perkembangan jumlah bank dan
kantor bank yang meningkat pesat. Sebagaimana diketahui, jumlah bank meningkat
pesat sejak tahun 1988, yaitu dari 124 bank menjadi 239 bank pada pertengahan 1997.
Perkembangan ini diikuti pula oleh jumlah kantor bank umum yang mengalami
kenaikan pesat sehingga menjadi lebih dari 6 ribu. Perkembangan demikian juga
tampak pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Alam liberalisasi juga telah mendorong
berkembang pesatnya lembaga-lembaga keuangan bukan bank seperti pasar modal,
leasing, asuransi, dana pensiun, dan multi finance.
Berbagai langkah tersebut telah mampu meningkatkan peran sektor perbankan dalam
pembiayaan pembangunan. Hal ini antara lain tercermin pada meningkatnya dana
masyarakat yang dihimpun sektor perbankan. Dana masyarakat dalam bentuk giro,
deposito, dan tabungan telah meningkat dari lebih dari 8 kali lipat dalam sembilan
tahun terakhir sehingga menjadi Rp316 triliun pada Juni 1997. Perkembangan tersebut
juga diikuti oleh penyaluran kredit ke berbagai sektor ekonomi sehingga aktivitas
7

ekonomi berkembang cepat.
Gambaran ini antara lain tercermin pada rasio dana (giro, deposito, dan tabungan)

terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang meningkat tajam setelah ditempuhnya
kebijakan liberalisasi, khususnya Pakto 1988. Rasio tersebut yang pada awal tahun
1980an sekitar 13%, meningkat menjadi 32% pada tahun 1989 dan 57% pada tahun
1997.
Perkembangan sektor keuangan domestik yang pesat juga telah mendorong
terjadinya integrasi pasar domestik ke dalam pasar keuangan regional atau bahkan
global. Proses kearah ini juga diperkuat dengan terjadinya globalisasi yang melanda
hampir semua sektor ekonomi. Kondisi yang demikian membawa implikasi tersendiri.
Setiap perubahan atau perkembangan -- baik ekonomi maupun non-ekonomi -- yang
terjadi di satu negara akan dengan cepat mempengaruhi ekonomi negara lain melalui
terjadi aliran modal. Dalam pasar seperti ini, investor mempunyai alternatif investasi
yang lebih beragam, tidak hanya dalam lingkup domestik namun juga regional atau
bahkan global.

8

III. KINERJA PEREKONOMIAN INDONESIA
Perjalanan dalam PJP I
Berbagai langkah kebijakan, khususnya di sektor moneter dan perbankan telah
memberi warna pada jalannya perekonomian Indonesia. Kestabilan ekonomi makro

telah mendorong terciptanya iklim yang kondusif bagi investasi, bagi investor domestik
maupun investor asing. Aliran modal masuk yang pesat, khususnya sejak awal tahun
1990an antara lain merupakan gambaran kondisi tersebut. Mobilisasi dana oleh sektor
keuangan domestik, terutama sektor perbankan ditambah dengan pesatnya aliran modal
dari luar negeri telah menjadi salah satu faktor pendorong utama berkembang pesatnya
aktivitas ekonomi. Laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi -- mencapai rata-rata
6,8% per tahun dalam PJP I -- antara lain merupakan cerminan akan hal tersebut.
Pembangunan nasional juga telah mengubah struktur ekonomi Indonesia. Peran sektor
swasta dalam perekonomian nasional semakin meningkat. Hal ini diikuti juga dengan
peran sektor industri pengolahan dalam pembentukan PDB yang meningkat menjadi
sekitar 20%, dibanding hanya sekitar 9% pada Pelita I. Struktur ekspor juga mengalami
pergeseran dimana peran ekspor nonmigas mengalami peningkatan sehingga menjadi
sekitar 76% pada tahun 1996, dibanding hanya 24% pada tahun 1980an. Perkembangan
ini diperkuat dengan jenis ekspor nonmigas yang juga semakin beragam, dengan titik
berat pada produk-produk hasil industri pengolahan. Berbagai perkembangan diatas
juga telah berdampak pada perbaikan kualitas hidup masyarakat. Beberapa indikator
menggambarkan kondisi tersebut. Pendapatan per kapita naik dari US$70 pada 1969
menjadi US$842 pada 1993 dan sebesar US$ 1.150 pada 1996. Kenaikan ini antara lain
9


juga berkaitan erat dengan keberhasilan menurunkan laju pertumbuhan penduduk dari
2,6% menjadi 1,58%. Sejalan dengan perkembangan ini jumlah penduduk yang
dibawah garis kemiskinan terus berkurang sehingga menjadi 11,3% pada tahun 1996
dibandingkan 13,7% pada tahun 1993.
I.

Perkembangan Ekonomi Terkini
Krisis ekonomi yang berkepanjangan
Penerapan kebijakan ekonomi makro yang hati-hati dan konsisten telah memberikan

kontribusi yang berarti terhadap terbentuknya iklim yang kondusif sehingga telah
memungkinkan berkembangnya aktivitas ekonomi nasional. Kegairahan dunia usaha
yang didukung oleh kondisi makroekonomi yang stabil telah mengundang masuknya
modal asing masuk dalam jumlah besar, khususnya dari sektor swasta. Berbagai
perkembangan ini, ditambah dengan proses privatisasi yang semakin kuat, telah
menjadi faktor pendorong penting bagi tingginya kegiatan ekonomi Indonesia. Dalam
beberapa tahun terakhir, sebelum pecahnya krisis ekonomi, ekonomi tumbuh lebih dari
7% per tahun dengan permintaan domestik (investasi dan konsumsi) sebagai
penggerak utama pertumbuhan tersebut. Tekanan-tekanan inflasi juga tampak
menurun, walaupun ekonomi tumbuh tinggi. Laju inflasi terus menurun dari 9,8%
pada tahun 1993 menjadi 6,5% pada 1996. Dalam paruh pertama 1997 lalu, laju inflasi
juga masih relatif rendah, hanya sebesar 2,5%.
Memasuki paruh kedua tahun 1997, dinamisme ekonomi yang tinggi itu tampak
meredup dengan cepat. Krisis nilai tukar di Thailand menyebar cepat ke negara-negara
Asia lain, termasuk Indonesia. Terintegrasinya pasar keuangan domestik kedalam pasar
keuangan global telah ikut mempengaruhi perkembangan kearah tersebut. Depresiasi
rupiah yang besar telah menyebabkan berbagai kesulitan. Para pengusaha mengalami
kesulitan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban luar negeri yang segera harus
10

dipenuhinya dan dalam mengimpor sebagian bahan baku yang diperlukannya. Bankbank mengalami kesulitan dari rentetan kesulitan nasabahnya serta untuk membayar
hutang-hutangnya. Ditambah lagi dengan adanya sebagian masyarakat dalam negeri
yang mencoba mencari keuntungan di tengah-tengah perkembangan yang semakin
memprihatinkan. Bahkan krisis tersebut selanjutnya telah menyebabkan berkurangnya
kepercayaan investor asing terhadap prospek ekonomi Indonesia. Sementara itu,
prospek ekonomi di kawasan lain, khususnya Amerika, sangat menjanjikan. Akibatnya,
modal asing, yang selama ini turut membiayai pembangunan ekonomi Indonesia,
keluar secara bersamaan dan dalam jumlah besar-besaran. Berbagai perkembangan ini
menyebabkan nilai rupiah merosot tajam.
Faktor domestik sebagai pemicu krisis
Kemerosotan nilai rupiah yang tajam telah menyebabkan timbulnya krisis yang lebih
luas baik ekonomi maupun sosial sehingga telah melemahkan seluruh sendi-sendi
ekonomi nasional. Cepat meluasnya dampak negatif dari gejolak nilai tukar rupiah
juga dipicu oleh kondisi fundamental ekonomi mikro yang masih lemah. Kelemahan
ini antara lain tercermin pada beberapa kondisi sbb:
 Di sektor perbankan, beberapa kelemahan masih mewarnai sektor ini yang
menyebabkan tingginya kerentanan sektor tersebut terhadap gejolak ekonomi yang
sekarang masih berlangsung. Kelemahan-kelemahan yang melekat pada sektor
perbankan antara lain adalah:
 Pengelolaan bank yang kurang hati-hati. Banyak bankir yang dalam menjalankan
usahanya belum mendasarkan diri pada asas profesionalisme, masih mementingkan
kelompok usahanya. Beberapa ketentuan kehati-hatian seperti BMPK banyak
dilanggar oleh dunia perbankan sehingga mendorong peningkatan kredit macet.
Lemahnya pengawasan oleh Bank Indonesia merupakan faktor yang menyebabkan
11

kurang hati-hatinya pengelolaan bank tersebut.
 Lemahnya penegakan ketentuan (law enforcement). Faktor inilah yang antara lain
telah menyebabkan timbulnya masalah seperti tersebut dalam butir diatas. Berbagai
ketentuan kehati-hatian yang pernah dikeluarkan pada tahun 1995 menjadi tidak
efektif dalam mendorong berkembangnya operasi bank secara sehat.
Sebagian dari kerentanan tersebut memang terkait dengan kondisi ekonomi makro
yang kurang stabil, terutama gejolak nilai tukar dan tingginya suku bunga.
 Tingginya ketergantungan sektor swasta kepada hutang luar negeri berjangka
pendek. Sebagaimana diketahui, hutang luar negeri, khususnya dari sektor swasta
meningkat pesat sehingga porsi hutang luar negeri sektor ini dalam total hutang
Indonesia mencapai sekitar 60%. Hal ini terlebih lagi dengan besarnya pangsa hutang
yang berjangka pendek yang sebagian bersifat spekulatif.
 Masalah inefisiensi ekonomi seperti tercermin pada pada tingginya
angka incremental capital output ratio (ICOR) juga telah ikut memperparah keadaan
ekonomi. Angka ini cenderung naik dalam beberapa tahun terakhir sehingga mencapai
sekitar 4,2%. Hal ini berkaitan dengan semakin tingginya distorsi dalam pengalokasian
sumber daya baik yang dilakukan oleh sektor pemerintah maupun sektor swasta
sehingga mendorong meningkatnya konglomerasi usaha yang monopolistik dan
perilaku pencari rente (rent seeking). Meskipun kegiatan investasi dan produksi naik
dengan cepat dalam beberapa tahun terakhir (sampai dengan sebelum pecahnya krisis),
pemanfaatan sumber daya terutama modal menjadi kurang optimal dan cenderung
terkonsentrasi pada sektor-sektor yang kurang produktif. Dengan kondisi fundamental
ekonomi mikro seperti ini, gejolak nilai tukar telah menimbulkan berbagai kesulitan
ekonomi yang sangat parah. Kondisi stagflasi mewarnai ekonomi Indonesia. Berbagai
12

aktivitas ekonomi merosot tajam. Pada paruh pertama tahun ini, kegiatan ekonomi
mengalami kontraksi sebesar 12% per tahun, sementara laju inflasi mencapai 69,1%
dalam periode Januari-Agustus 1998. Pemutusan hubungan kerja juga sangat
mewarnai ekonomi Indonesia sebagai dampak semakin banyaknya perusahaan
mengurangi aktivitas, atau bahkan menghentikan produksinya.

IV. KEBIJAKAN MENGATASI KRISIS EKONOMI
Langkah-langkah di sektor moneter
Dalam rangka mengatasi gejolak nilai tukar rupiah, pada awalnya otoritas moneter
hanya bertumpu pada kebijakan moneter dengan pertimbangan bahwa gejolak nilai
tukar akan berlangsung sementara. Goncangan (shock) dalam bentuk gejolak nilai
tukar dicoba untuk diatasi atau diserap melalui penyesuaian dua faktor, yaitu nilai
tukar dan suku bunga sehingga goncangan yang berat diharapkan tidak berdampak
terlalu besar. Untuk memungkinkan penyerapan goncangan tersebut melalui
penyesuaian nilai tukar, maka Bank Indonesia melebarkan rentang kendali nilai tukar
dari 8% menjadi 12% yang disertai dengan intervensi di
pasar forward maupun spot untuk kemudian dilepas sama sekali sehingga sistem nilai
tukar berubah menjadi sistem yang mengambang secara "bebas" sejak bulan Agustus
1997.
Di pihak lain, penyerapan goncangan melalui penyesuaian suku bunga dilakukan
dengan langkah pengetatan moneter. Kebijakan moneter yang ketat penting dilakukan
untuk meredam tekanan-tekanan inflasi. Hal ini antara lain dilakukan melalui beberapa
13

piranti moneter Operasi Pasar Terbuka (OPT) yang diarahkan untuk mengurangi
jumlah uang beredar (kontraksi moneter). Untuk itu, penjualan Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) dan penghentian sementara pembelian SBPU telah dilakukan. Untuk
mendukung efektivitas OPT, langkah pengalihan oleh Pemerintah atas dana beberapa
BUMN di perbankan menjadi SBI juga ditempuh. Langkah OPT tersebut juga
didukung dengan intervensi bersama (concerted intervention) Pemerintah dengan
Bank of Japan dan Monetary Authority of Singapore mela

14