PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN RADIKALISME D

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN RADIKALISME DI INDONESIA
Ke Arah Pendidikan Agarna Islam Berbasis Living Values Education
sebagai Strategi Deradikalisasi

Oleh: Syamsul Arifin1
Abstrak: Pendidikan agama Islam dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia
merupakan salah satu materi yang wajib diajarkan dalam institusi pendidikan
formal mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai ke jenjang pendidikan tinggi.
Dengan mempertimbangkan posisinya yang demikian, pendidikan agama Islam
memiliki potensi strategis untuk merespons beberapa persoalan utamanya dalam
kehidupan agama. Salah satu persoalan yang hendak dikaji dalam tulisan ini adalah
radikalisme yang terus membayangi kehidti.pan umat beragama di Indonesia.
Meskipun telah dirancang berbagai upaya untuk membendung radikalisme
terutama dengan menggunakan pendekatan keamanan, radikalisme ternyata masih
eksis di Indonesia. Tulisan ini menawarkan pendidikan agama Islam sebagai salah
satu institusi pendidikan yang perlu diberdayakan untuk membendung arus
radikalisme. Untuk mewujudkan pemikiran tersebut, tulisan ini selanjutnya
menawarkan living values education (LVE) sebagai suatu kerangka teoritik untuk
mengembangkan pendidikan agama Islam.
Kata Kunci: pendidikan agama Islam, living values education, deradikalisasi
Abstract: Islamic religious education in the national education system in Indonesia

is one of the materials that must be taught in formal educational institutions ranging
from primary education to higher education. Taking into account such a position,
Islamic religious education has the strategic potential to respond to some of the
main issues in the religious life. One of the issues to be studied in this paper is a
radicalism that continues to overshadow the religious life in Indonesia. Although he
has designed numerous attempts to stem radicalism mainly by using a security
approach, radicalism it still exists in Indonesia. This paper offers Islamic religious
education as one of the educational institutions need to be empowered to stem the
flow of radicalism. To realize these ideas, this paper further offers living values
education (LVE) as a theoretical framework to develop Islamic religious education.
Keywords: Islamic education, living values education, de-radicalization

Pendahuluan

Kehidupan keagamaan di Indonesia selama hampir dua dekade
terakhir ini ditandai dengan beragam perubahan. Perubahan paling
menyolok terjadi pada masyarakat Islam. Sebagai agama yang dipeluk lebih
Syamsul Arifin, guru besar sosiologi agama Fakultas Agama Islam Universitas
Muhammadiyah Malang; wakil direktur Program Pascasarjana dan ketua Pusat
Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) pada lembaga yang sama. Penulis ingin

menyampaikan terima kasih kepada Umiarso, Program Officer Pusat Studi Agama
dan Multikulturalisme (PUSAM) Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Malang yang membantu penyelesaian tulisan ini.
1

1

80% dari total populasi penduduk Indonesia, perubahan yang terjadi pada
Islam paling mudah terbaca dan menggugah sejumlah akademisi melakukan
kajian lebih mendalam. Salah satu perubahan yang menarik perhatian
sejumlah peneliti adalah meningkatnya militansi pada beberapa kelompok
dalam Islam untuk mewujudkan suatu realitas Islam di Indonesia yang
diyakini lebih otentik. Selama satu abad lebih, sebenarnya terdapat banyak
gerakan Islam yang telah memberikan kontribusi secara signifikan baik
terhadap perkembangan Islam itu sendiri, maupun dalam konteks
kebangsaan dan kenegaraan. Muhammadiyah (berdiri 1912) dan Nahdlatul
Ulama atau NU (berdiri 1926) merupakan dua gerakan Islam di Indonesia
yang paling banyak disebut bukan karena kemampuanya bertahan dalam
rentang rentang waktu yang lama (lebih satu abad), tetapi karena
keberhasilannya dalam mewujudkan beragam institusi sosial yang

berdampak secara positif tidak saja bagi masyarakat Islam, tetapi juga
terhadap warga lainnya. Tetapi sejak berakhirnya Orde Baru, muncul
kelompok keagamaan baru dalam masyarakat Islam. Kelompok keagamaan
baru ini dinilai oleh sejumlah akademisi memiliki sikap lebih militan dalam
memperjuangkan suatu agenda yang tidak pernah dinyatakan secara
eksplisit dan ideologis baik oleh Muhammadiyah maupun NU. Berbeda
dengan Muhammadiyah dan NU, kelompok keagamaan baru yang muncul
setelah berakhirnya Orde Baru secara terbuka mewacanakan bahkan
merancang suatu gerakan demi terwujudnya suatu tatanan negara yang
dibingkai oleh agama (negara Islam) yang bisa menjamin tegaknya syariat
Islam secara menyeluruh. 2 Di antara beberapa ekspresi militan masyarakat
Islam dalam ruang publik (the public sphere), ekspresi di bidang politik yang
nantinya berkulminasi pada pembentukan negara agama, atau setidaknya
negara mengakomodasi terhadap peraturan berbasis syariah, merupakan
bidang kajian yang paling menarik perhatian sejumlah akademisi baik dari
dalam negeri maupun luar negeri. Sebagai contoh, Greg Fealy dan Sally
White, akademisi dari Australian National University (ANU), Canberra,
Australia, memublikasikan buku berjudul Expressing Islam: Religious Life and
Politics in Indonesia,3 yang diolah dari sejumlah makalah yang


Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), salah satu gerakan Islam yang disebut M.C.
Ricklefs sebagai partai politik yang bergerak di luar sistem pemilihan umum (the
electoral system), bahkan menyebut khilafah sebagai bentul ideal negara Islam,
termasuk di Indonesia. Lihat M.C. Ricklefs, "Religious Elites and The State in
Indonesia and Elsewhere: Why Take-Overs Are So Difficult and Usually Don't Work",
dalam Hui Yew-Foong (ed.), Encountering Islam: The Politics of Religious Identities in
Southeast Asia (Singapore: ISEAS, 2013), hal. 34-35. Lihat juga Ainur Rofiq al Amin,
Membongkar Proyek Khilafah Ala Hizbut Tahrir di Indonesia (Yogyakarta: LKIS,
2012).
3 Greg Fealy and Sally White (ed.), Expressing Islam: Religious Life and Politics in
Indonesia (Singapore: ISEAS, 2008), hal.7. Lihat juga Winfried Week, Noorhaidi
Hasan, dan Irfan Abubakar (ed), Islam in the Public Sphere (Jakarta: CSRC, 2011);
2

2

dipresentasikan dalam konferensi Indonesia update yang ke-25 pada 7-8
September 2007 di ANU. Publikasi ini di antaranya membahas fenomena apa
yang dikatakan oleh Greg fealy dan Sally White:


"... the growth in the number of Islamist parties and organisations, the
implementation of sharia-based by laws at the provincial and district
level, and the introduction of more restrictive regulations on womens's
movements and dress are cited as proof of iliberal trends within the
Muslim community."
Menguatnya militansi ekspresi masyarakat Islam di ruang publik
utamanya di ranah politik bukannya tanpa sebab. Kajian yang dilakukan tim
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, menyebut dua faktor penting. Faktor pertama adalah modernisasi
yang memasuki fase krisis yang ditandai dengan materialisasi kehidupan,
terpinggirnya spiritualitas, dan menonjolnya nilai-nilai rasionalitas dalam
kehidupan bangsa Indonesia. Sementara di pihak lain, sebagai faktor kedua,
kekuasaan otoriter Orde Baru berada pada titik nadir. Runtuhnya rezim
Orde Baru pada gilirannya membuka jalan bagi proses desentralisasi dan
demokratisasi, 4 yang juga berimplikasi terhadap terbukanya ruang yang
lebih bebas bagi munculnya berbagai kelompok keagamaan yang dimotori
oleh masyarakat Islam.s Gabungan dari dua faktor inilah-krisis modernitas
dan krisis politik Orde Baru-- yang mendorong kelompok agama terbesar di
Indonesia, yaitu masyarakat Islam menunjukkan militansinya menawarkan
Islam sebagai alternatif agar Indonesia keluar dari krisis.6 Ada banyak

kelompok keagamaan yang muncul menyusul runtuhnya rezim Orde Baru.
Beberapa kelompok keagamaan tersebut ada yang memiliki jejaring dengan
kelompok dengan nama sejenis di luar negeri sehingga dinamakan gerakan
Islam transnasional seperti Hizbut Tahrir Indonesia. Sedangkan beberapa
kelompok lainnya lebih memanfaatkan jejaring di dalam negeri. Mereka
disebut sebagai kelompok keagamaan home grown seperti Front Pembela
Islam (FPI), Laskar Jihad (LJ) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).
Kehadiran kelompok keagamaan ini tak pelak memantik perhatian publik
Noorhaidi Hasan, The Making of Public Islam Piety, Democracy and Youth in
Indonesian Politics (Yogyakarta: SUKA Press, 2013).
4 Andy Fuller, "Reading Ahmadiyah and Discourse on Freedom of Religion in
Indonesia", dalam Bernhard Platzdasch and Johan Saravanamuttu (ed.), Religious
Diversity in Muslim-majority States in Souteast Asia (Singapore: ISEAS, 2014), hal. 75
s Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di
Indonesia (Jakarta: Teraju, 2002), hal. 3.
6 Jajang Jahroni dan Jamhari (ed.), Gerakan Sa/aft Radikal di Indonesia (Jakarta:
Rajawali Pers, 2004),hal. 13. Lihat juga, Ahmad Syafii Maarif, "Masa Depan Islam di
Indonesia," dalam Abdurrahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan
Islam Transnasional di Indonesia (Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The Wahid
Institute, dan Maarif Institute, 2009), hal. 8


3

karena serangkaian aksi yang dilakukannya berbeda dari
kelompok
keagamaan arus utama seperti Muhammadiyah dan NU.7 Mereka misalnya
melakukan aksi turun ke jalanan menuntut penerapan syariat Islam--HTI
dikenal dengan jargon: "Selamatkan Indonesia dengan syariah." Mereka juga
melakukan aksi sweeping terhadap tempat-tempat yang dinilai sebagai
sarang maksiat seperti kafe-kafe, diskotik, tempat perjudian, lokalisasi
pelacuran. Di wilayah yang dilanda konflik horisontal terutama di Maluku
dan Paso, mereka melakukan apa yang diyakini sebagai jihad, yakni membela
umat Islam dan memerangimusuh-musuh Islam.
Kendati terpencar dalam berbagai nama dan kelompok, tetapi
kelompok keagamaan baru ini sebenarnya berada dalam bingkai ideologis
yang sama. M. Syafii Anwar menawarkan konsep Gerakan Salafi Militan
(GSM) sebagai abstraksi terhadap perkembangan tersebut.a Konstruks yang
digagas M. Syafii Anwar terse but memberikan penekanan pada watak militan
yang melekat pada kelompok keagamaan mulai dari domain pemahaman
keagamaan, hingga gerakannya yang berimplikasi secara mendasar dalam

berbagai aspek kehidupan sosial. Sementara itu, Martin van Bruinessen
menggunakan konsep konservatisme. Konsep ini digunakan Martin van
Bruinessen untuk menjelaskan terjadinya perubahan wajah Islam yang
selama ini dikenal toleran dan cenderung mau berkompromi, lalu bergeser
lebih mengeras seperti ditunjukkan dengan terjadinya serangkaian konflik
dan kekerasan di beberapa wilayah di Indonesia. Martin van Bruinessen
mengungkap fenomena berikutnya yang dijadikan sebagai bahan pembuktian
menguatnya konservatisme, yaitu meredupnya wacana liberalisme menyusul
terbitnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan
sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Fatwa ini menurut analisis Martin
van Bruinessen ternyata menyuburkan sikap intoleran terhadap kelompok
minoritas agama di kalangan Islam seperti dialami oleh penganut Ahmadiyah
dan Syiah. Berdasarkan pembacaan terhadap fenomena tersebut, Martin van
Bruinessen menegaskan bahwa wajah Islam di Indonesia berubah ke arah
konservatif (concervative turn). 9 Kategorisasi dari M. Syafi'i Anwar dan
Martin van Bruinessen sejalan dengan konsep fundamentalisme yang juga
sering digunakan untuk menggambarkan terhadap keberadaan kelompok
7 Perbedaan cara pandang dan aksi antara Muhammadiyah dan NU terkait dengan
isu penerapan syariah Islam dibahas oleh Gordon P. Means. Alih-alih menyokong
agenda formalisasi syariah dari kelompok keagamaan baru Islam, Muhammadiyah

dan NU, justru memilih skema penerapan yang lebih substantif. Formalisasi syariah
menurut Abdul Mukti, tokoh muda Muhammadiyah, justru mengeringkan dimensi
etik dan kemanusiaan Islam. Lihat Gordon P. Means, Political/slam in Souteast Asia
(London: Lynne Rienner Publisher, 2009), hal. 311.
8 M. Syafii Anwar, Memetakan Teologi Politik dan Anatomi Gerakan Sa/aft Militan di
Indonesia, dalam M. Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan,
Pemikiran dan Prospek Demokrasi, (Jakarta: LP3ES, 2007), xiii.
9 Martin van Bruinessen (ed.), Concervative Turn: Islam Indonesia dalam Ancaman
Fundamentalisme (Bandung: Mizan, 2014), hal. 24-49.

4

keagamaan yang lebih menekankan pemahaman terhadap teks-teks normatif
keagamaan (al-Qur'an dan as-Sunnah) yang literal dan skriptual. Sebagai
kelanjutan dari pemahaman di ranah normatif-teologis ini, fundamentalisme
juga memiliki pemahaman yang kaku dalam merespons isu-isu yang
berkembang di ranah sosial. Pada bidang politik, misalnya, fundamentalisme
menekankan pada perwujudan institusi politik Islam secara formal. Pada
fundamentalisme terdapat penolakan secara tegas terhadap sekularisme
yang memisalahkan antara domain agama dengan politik. Fundamentalisme

dengan demikian memiliki paham integralisme terhadap Islam dalam
pengertian bahwa Islam sebagai wahyu Allah yang dibawa oleh para nabi
sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad merupakan agama atau ajaran
yang lengkap dan sempurna, yang mengatur seluruh kehidupan manusia. 10 .
Namun penyebutan fundamentalisme terhadap paham dan gerakan
keagamaan--dalam konteks Indonesia-- yang muncul setelah berakhirnya
rezim Orde Baru, ada yang berpandangan terlalu longgar karena ada banyak
di kalangan Islam baik secara individual dan kelompok yang bisa
dikelompokkan sebagai "fundamentalis" karena keyakinananya terhadap
kebenaran apa yang menjadi aspek fundamental dalam Islam, misalnya al
Qur'an sebagai salah satu aspek fundamental dalam Islam. Sebagai alternatif
dari fundamentalisme, Olivier Roy memilih radikalisme dalam pengertian
sebagai suatu gerakan yang berusaha keras untuk memikirkan Islam sebagai
ideologi politik yang dengannya seluruh tatanan sosial dalam kehidupan
masyarakat dikembalikan ke dalam paradigma kemutlakan dan totalitas
kekuasaan Allah. 11 Dengan mendasarkan pada analisis tersebut, maka bisa
ditegaskan bahwa radikalisme keagamaan telah mewarnai perkembangan
kehidupan keagamaan di tanah air pasca-Orde Baru. Perkembangan ini
penting diperhatikan karena radikalisme memiliki potensi bertransformasi
menjadi gerakan keagamaan yang dapat menimbulkan dampak destruktif

dalam kehidpan masyarakat. Ada pandangan yang menempatkan radikalisme
dalam posisi netral dalam pengertian bukan sebagai gerakan yang perlu
ditakuti selama bersarang dalam pemikiran (ideologis) penganutnya.12
Tetapi karena setiap gerakan keagamaan memiliki potensi bertransformasi
terutama jika terdapat faktor-faktor yang mendukungnya, maka
perkembangan radikalisme tidak boleh dipandang sebagai fenomena
keagamaan yang sederhana dan netral.
Transformasi yang paling mengkhawatirkan dari radikalisme adalah
bila berkembang menjadi gerakan terorisme dalam pengertian adanya
kesengajaan dalam penggunaan kekerasan (the deliberate use of violence)
yang dibungkus dengan bahasa agama tetapi terutama dengan
mengorbankan kalangan "masyarakat sipil" yang tidak berdosa (against
Haidar Nashir, Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia
(Jakarta: PSAP, 2007), hal. 23-24.
11 Oliver Roy, Genealogi Islam Radikal (Yogyakarta: Genta Press, 2005), hal. 25-26.
12 Endang Turmudi dan Riza Sihbudi (ed.), Islam dan Radikalisme di Indonesia
(Jakarta: LIPI Press, 2005), hal. 5.
1o

5

innocent people) sebagai target antara untuk meraih target utama di bidang
politik.13 Transformasi ke arah paham dan gerakan keagamaan seperti itu
telah terjadi di Indonesia sejak awal penggantian milenium. Transformasi ini
menurut kajian tim SETARA Institute merupakan tranformasi fase ketiga
dalam sejarah perkembangan gerakan Islam di Indonesia. SETARA Institute
menyebut fase ketiga ini merupakan fase paling menegangkan karena
mengambil terorisme sebagai modus perjuangan. 14 Aksi dan dampak yang
ditimbulkan oleh gerakan terorisme sulit dihapus dari memori kolektif
masyarakat Indonesia. Hal ini wajar karena selama satu dekade semenjak
penggantian mileniumn, aksi terorisme datang silih berganti yang
menewaskan dari kalangan sipil dengan jumlah yang tidak bisa dibilang
sedikit ditambah pula dengan kerugian material seperti hancurnya properti
berupa bangunan. Dalam praktiknya, aksi kekerasan yang dilakukan oleh
para teroris, pihak korban sebenarnya bukan sasaran utama. Karban yang
sering dipilih secara acak (target of opportunity), atau yang dipilih
(representative or symbolic target). Ada kalangan yang menyatakan, korban
dari kalangan sipil, sebenarnya hanya dijadikan semacam target antara untuk
mencapai target yang sesungguhnya. Seperti pada kasus penghancuran WTC
pada 11 September 2001, merupakan target yang dipilih (representative or
symbolic target), target utamanya adalah Amerika Serikat sebagai suatu
entitas politik. Begitu pula peledakan born di Bali. Bali sebagai ikon
pariwisata di Indonesia dipilih (target of opportunity) sebagai sasaran teror
dengan pertimbangan banyaknya turis asing utamanya dari Australia, suatu
negara yang menurut pelaku peledakan born dinilai sebagai bagian dari
jejaring negara yang melakukan praktik imperialisme terhadap wilayahwilayah Islam. Walaupun demikian, dampak yang muncul tidak hanya
kerusakan secara material, tetapi juga kerusakan dan tekanan imaterial
(psikologis). Seperti halnya pasca peledakan WTC dan Pentagon telah

13 Sebagaimana dikemukakan oleh Karen Armstrong, target utama dari gerakan
terorisme adalah politik baik dalam pengertian mendapatkan atau memeliharanya
(acquiring it or keeping it). Lihat Karen Armstrong, Fields of Blood: Religion and the
HistoryofViolence (London: The Bodley Head, 2014), hal. 313.
14 Fase pertama gerakan Islam ditandai dengan menguatnya semangat nasionalisme.
Tokoh-tokoh Islam membentuk perkumpulan yang lebih terorganisir sebagai suatu
instrumen gerakan untuk membangkitkan nasionalisme sehingga bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang terbebas dari penjajahan . Salah satu eksemplar gerakan Islam
pacta fase pertama adalah Sarekat Islam. Pacta fase kedua, gerakan Islam ditandai
dengan menguatnya gerakan Islam kultural setelah rezim Orde Baru kurang begitu
akomodatif terhadap aspirasi umat Islam. Pada fase ini muncul banyak tokoh
pemikir Islam progresif seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Munawir
Sjadzali, Djohan Effendi, M. Dawam Rahardjo, Moelim Abdurrahman, Kuntowijoyo
yang lebih mengafirmasi islam kultural. Lihatlsmail Hasani dan Bonar Tigor
Naipospos (ed.), Dari Radikalisme Menuju Terorisme: Studi Relasi dan Transformasi
Organisasi Islam Radikal di ]awa Tengah & D.!. Yogyakarta Qakarta: Pustaka
Masyarakat Setara, 2012), hal. 9-12.
6

menimbulkan dampak yang luar biasa baik secara politik, psikologis,1s dan
goncangan perekonomian dunia serta meningkatnya ketegangan hubungan
antara Amerika (Barat) dengan dunia Islam.16 Artinya, dampak dari gerakan
radikalisasi tersebut hanya memunculkan kerugian, ketakutan, ancaman, dan
kerusakan yang secara aksiologis jauh dari pesan substantif Islam yaitu
pemberi rahmat (kesejahteraan, ketenangan, kebahagiaan, atau pelestarian)
seluruh umat manusia.
Kendati pihak keamanan telah menangkap beberapa pelaku aksi
terorisme, namun sebagaimana dikatakan Ansyaad Mbai1 7 dan Fajar
Purwawidada,lB terorisme seperti sulit diberantas, bahkan bermunculan
pelaku-pelaku baru yang diantaranya memanfaatkan jejaring berlingkup
internasional.
Investigasi terkini berhasil mengendus ratusan warga
Indonesia yang bergabung dengan Islamic State (IS) an Nusro di Irak dan
Suriah. Perkembangan ini menjadi petunjuk penting bahwa sejak born Bali
pada 2001, ancaman terorisme, tegas Noor Huda Ismai1,19 belum sirna.
Membendung Arus Radikalisme
Membendung arus radikalisme dan terorisme memang bukan
pekerjaan mudah, lebih-lebih pada masa yang ditandai dengan kemajuan di
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengakibatkan dunia
sebagaimana dikatakan oleh Thomas L. Friedman mengalami pendataran
atau the world is flat. 2D Dalam dunia yang berubah menjadi "datar", atau
dalam konsep klasik dari Marshall McLuhan disebut dengan desa global
(global village), arus keluar-masuk suatu paham bisa terjadi dengan cepat.
Maka dalam konteks perkembangan sebaimana digambarkan oleh Thomas L.
Friedman itu, transnasionalisasi paham dan gerakan keagamaan termasuk
yang bercorak radikal sulit dibendung. Adanya ratusan warga Indonesia yang
bergabung dengan IS merupakan pembuktian bahwa Indonesia tidak bisa
steril dari perkembangan yang terjadi di dunia luar.
Kajian yang dilakukan oleh Peter Mandiville tentang perkembangan
Islam transnasional di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara antara lain
1s Peristiwa 11 September 2001 memunculkan efek psikologis seperti ketakutan
(fear), kepanikan (panic), kemarahan (angry) dan traumatis yang tidak hanya
dirasakan oleh warga negara Amerika saja melainkan juga penduduk dunia secara
global. Lebih detailnya lihat Yasraf Amir Piliang, Hiperterorisme dan Hiperteknologi,
dalam Farid Muttaqin & Sukardi (Edit.), Teroris Serang Islam: Babak Baru Benturan
Barat-Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), 63.
16M. Abzar D., Teologi Teroris: Konstruksi ... Op. Cit., 1.
17 Ansyaad Mbai, Dinamika Baru ]ejaring Teror di Indonesia (AS Production
Indonesia, 2014).
1s Fajar Purwawidada, ]aringan Baru Teroris Solo (Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2014).
19 Noor Huda Ismail, "Islam Nusantara di tengah Radikalisme", Tempo, 26 Juli 2015,
hal. 38-39.
zo Lihat Thomas L. Friedman, The World Is Flat (Jakarta: Dian Rakyat, 2006).

7

menyebut pengaruh media baru (new media) yang berbasis teknologi
informasi merupakan salah satu faktor utama yang mempercepat masuknya
suatu paham dan gerakan keagamaan terhadap suatu wilayah, di samping
tiga faktor utama lainnya, yaitu pertukaran kesarjanaan dan studi di luar
negeri (scholarly exchange and study abroad), migrasi tenaga kerja (labor
migration), dan kewajiban melaksanakan ibadah haji (ritual obligation).z1
Dari keempat faktor utama tersebut,
pengaruh media baru patut
diperhatikan atas pertimbangan akselerasi kecanggihan perangkat lunak dan
keras serta pengaruhnya yang cepat meluas. Jauh sebelum media baru
"menggila" pada era sekarang ini, pada 1999 John Naisbitt menerbitkan buku
bertajuk, High Tech-High Touch: Technology and Our Search for Meaning,zz
yang mengingatkan bakal munculnya fenomena zona mabuk teknologi
(technologically intoxicated zone). Fenonema ini di antaranya bercirikan
kecintaan kepada teknologi, kendati ada yang menggunakan sebagai suatu
permainan. Ambillah contoh Facebook, media baru buah kreativitas Mark
Zuckerbeg. Menurut informasi dari media daring, pengguna Facebook terus
bertambah tiap tahunnya dimana Indonesia merupakan pengguna Facebook
terbesar keempat di dunia.Z3 Pengaruh teknologi informasi yang telah
menciptakan berbagai media baru, menurut Ariel Heryanto, tidak bisa
dianggap sepele sebab terbukti mengintervensi dan mampu membentuk
ulang kehidupan sosial umat manusia di seluruh dunia, tak terkecuali
kehidupan sosial masyarakat di Indonesia. 24
Terkait dengan kehidupan keagamaan, akses publik terhadap
beragam bahan bacaan bernuansa radikal yang tersedia di berbagai Iaman,
tidak menutup kemungkinan mengakibatkan seseorang mengalami penaran
radikal (radical reasoning) seperti dikemukakan Muhammad Najib Azca
dalam After jihad: A Biographical Approach to Passionate Politics in Indonesia,
yaitu proses pelibatan kognisi dan emosi terhadap informasi dan peristiwa
yang tersaji dalam Iaman yang pada gilirannya melibatkan seseorang-terutama yang sedang mengalami krisis identitas dan persoalan kehidupan-dalam aktivitas nyata gerakan radikalisme, bahkan terorisme.zs Karena itu
21Peter Mandaville, "Transnational Islam in Asia: Background, Typology and
Conceptual Overview", dalam Peter Mandaville et a!, Transnational Islam in South
and Southeast Asia: Movements, Networks, and Conflict Dynamics (Washington: The
National Bureau of Asian Research, 2009), hal. 13.
zz Pada 2001, buku ini telah diterjemahkan dan dipublikasikan oleh Mizan dengan
judul, High Tech-High Touch: Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Pesat
Teknologi.
23http:/ jtechno.okezone.comjread/2014/09 /22/55/1042737 jindonesiapengguna-facebook-keempat-terbesar-di-dunia.
24 Ariel Haryanto, Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2015), hal. 13.
ZSMuhammad Najib Azca, "After Jihad: A Biographical Approach to Passionate
Politics in Indonesia" (Ph.D Thesis, Amsterdam Institute for Social Science
Research[AISSR], 2011), hal. 90.

8

bisa dimaklumi jika beberapa waktu yang lalu pemerintah melakukan
penutupan terhadap 22 situs internet yang berkonten dan dianggap sebagai
penggerak paham radikalisme di Indonesia.26
Langkah pemerintah memang kemudian mengundang kontroversi.
Terlepas munculnya kontroversi pasca-penutupan situs-situs tersebut, ada
salah satu alasan yang perlu dipahami yakni sebagai pencegahan meluasnya
paham radikal terhadap kalangan apa yang disebut oleh Agus Surya Bakti
dengan kelompok rentan yang mudah terinfiltrasi oleh ideologi teroris. Dari
segi usia, kelompok yang terindikasi rentan ideologi teroris adalah kaum
remaja atau kaum muda yang memiliki banyak waktu luang melakukan
browsing atau surfing (menjelajah), sementara di satu sisi mereka belum
matang dari berbagai aspek terutama secara psikologis, intelektual, ekonomi,
dan sosial. Kajian yang dilakukan Muhammad Najib Azca yang
mengkhususkan kepada kaum muda dalam radikalisasi memperkuat
pandangan ini. Menurut Muhammad Najib Azca, kaum muda merupakan
kelompok yang rentan terderadikalisasi dan bisa terlibat demikian jauh
dalam gerakan radikal bahkan teroris karena mereka berada pada fase
transisi dalam pertumbuhan usia yang memungkinkan mereka mengalami
krisis identitas. Kondisi seperti ini memudahkan mereka melakukan
pembukaan kognitif (cognitif opening), suatu proses mikro biologis yang
mendekatkan mereka pada penerimaan terhadap gagasan baru di bidang
keagamaan yang lebih radikal.27
Keterlibatan kaum muda dalam gerakan radikal semakin terbuka jika
ditopang oleh konteks sosial politik yang disebut Muhammad Najib Azca
dengan schismogenesis, yaitu perubahan drastik yang terjadi dalam situasi
transisi politik menuju demokrasi. 28 Gabungan dari beberapa variabel
kerentanan ini bisa berdampak negatif terhadap pembentukan cara pandang
mereka terhadap agama yang diperoleh dari berbagai sumber internet
berkonten radikal yang memang berkarakter dangkal, hitam-putih, dan
menyebar kebencian terhadap pihak lain yang tidak segaris. Z9Namun kaum
muda yang akrab dengan media baru tidak bisa dipandang sebagai satusatunya kelompok rentan radikal-teroris. Selain individu, potensi munculnya
radikalisme juga bisa berasal dari wilayah-wiyalah di tanah air rentan konflik
akibat pengelompokan yang dibentuk oleh berbagai identitas seperti etnis,
agama, ekonomi, dan politik. Terkait dengan variabel ini, peristiwa
kerusuhan di Tolikara, Papua, pada 17 Juli 2015, merupakan sinyal kuat
bahwa sikap dan tindakan radikal dengan menggunakan modus kekerasan

I linternetsehat.idl20 15 I 04 linilah -daftar-22-situs-islam -yang-diblokirmenkominfol
27 Muhammad Najib Azca, "Yang Muda, Yang Radikal: Refleksi Sosiologis Terhadap
Radikalisme kaum Muda di Indonesia Pasca-Orde Baru," Maariflnstitute, Volume 8,
Nomor 1, Juli 2013, hal. 19-20.
zs Ibid.
29 Agus SB., Darurat Terorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan dan
Deradikalisasi (Jakarta: Daulat Press, 2014), hal. 170-172.
26 http:

9

bisa muncul manakala pengelompokan dalam masyarakat tidak dapat
dikelola dengan baik. Peristiwa atau yang dikenal dengan Rusuh Tolikara
juga menjadi petunjuk penting bahwa radikalisme tidak hanya bisa dilakukan
oleh kelompok agama tertentu, hanya Islam misalnya,
tetapi juga oleh
kelompok agama lain.
Sadar terhadap "watak keabadian" gerakan radikalisme dan terorisme
di Indonesia, berbagai upaya untuk membendungnya telah dilakukan oleh
banyak kalangan. lnstitusi keamanan dan militer merupakan pihak yang
punya otoritas menggunakan pendekatan keamanan (security approach).
Ternyata pendekatan keamanan dan militeristik bukanlah cara yang efektif
untuk memberantas terorisme karena sebagaimana dikatakan Agus Surya
Bakti: "Peluru hanya mampu menembus badan tetapi tidak mampu menembus
hati dan pikiran kelompok radikal-teroris. ''30 Untuk mengimbangi pendekatan
keamanan serta memperkuat pencegahan terhadap persemaian,
perkembangan dan dan diseminasi model Islam keras ini, muncul gagasan
deradikalisasi yang lebih lunak dan tidak hanya menyasar mereka yang
pernah terlibat dengan tindakan radikal-teroris, melainkan kepada khalayak
sebagai strategi deteksi dan cegah tangkal secara dini (early earning system)
terhadap radikalisme dan terorisme. Dengan demikian, deradikalisasi
memiliki cakupan makna yang luas. Salah satu definisi mengatakan bahwa
deradikalisasi merupakan upaya menetralisir paham radikal terhadap
mereka yang terlibat aksi terorisme dan para simpasitasisannya, hingga para
teroris ataupun para simpatisannya sehingga meninggalkan aksi kekerasan.3 1
Definisi ini membatasi sasaran deradikalisasi hanya kepada mereka yang
terlibat dalam gerakan radikal-teroris. Definisi yang lebih luas dan relevan
dengan tulisan ini dikemukakan oleh SETARA Institute yang memahami
deradikalisasi sebagai langkah deteksi secara dini, menangkal sejak awal, dan
menyasar berbagai lapisan potensial dengan beragam bentuk dan varian
yang relevan bagi masing-masing kelompok yang menjadi sasaran.32 Dalam
konteks desain deradikalisasi yang bercakupan luas ini, munculnya gagasan
Islam Nusantara menarik diperhatikan. Mengutip kembali Noor Huda Ismail,
Islam Nusantara diharapkan menjadi kunci keberhasilan deradikalisasi,33
Dari berbagai perbincangan di berbagai forum, Islam Nusantara rupanya
dimaksudkan sebagai antitesis terhadap paham radikal terhadap Islam yang
menjadi justifikasi terhadap berbagai aksi kekerasan termasuk yang
menggunakan strategi terorisme. "Secara garis besar Islam Nusantara tidak
akan mengajarkan seseorang menjadi radikal. Tidak akan mengajarkan
permusuhan dan kebencian. Tapi, mengajarkan Islam yang ramah dan bisa

Agus SB., Darurat Terorisme ... , hal. 173.
31 Asia Report No. 142, 19 November 2007, hal. 1.
32 Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos, Dari Radikalisme ..., hal. 191.
33 Noor Huda Ismail, "Islam Nusantara ... ", hal. 38-39.

3o

10

berjalan seiring dengan budaya peradaban di Indonesia yang juga santun':
jelas Said Aqil Siraj.34
Terminologi Islam Nusantara sejatinya bukanlah sesuatu yang baru
dalam kajian akademik terutama dalam perspektif arkeologi dan sejarah.35
Melalui kajian terhadap Islam Nusantara dengan kedua perspektif tersebut,
diperoleh bukti-bukti kuat adanya proses perkawinan antara Islam sebagai
agama di satu pihak dengan berbagai tradisi lokal yang membentang dari
Merauke sampai ke Sabang di pihak lain. Hal ini menunjukkan bahwa Islam
Nusantara merupakan agama yang membumi, sementara gerakan
radikalisme justru ingin mencerabut Islam dari akar sejarahnya di bumi
Nusantara; atau seperti dinyatakan Greg Fealy dan Anthony Bubalo,
radikalisme menawarkan dan menciptakan identitas Islam yang generik atau
yang de-culturated.36

Posisi Strategis Pendidikan Agarna Islam
Dengan pertimbangan masih adanya potensi ancaman dari
radikalisme, gagasan Islam Nusantara layak diapresiasi. Namun yang menjadi
persoalan, Islam Nusantara bisa berhenti di level wacana saja jika tidak
ditindaklanjuti dengan upaya memperkuat berbagai institusi sosial yang
telah lama dimiliki oleh masyarakat Islam. Salah satu jenis institusi sosial
yang perlu diperkuat dan diberdayakan dalam konteks membendung
gerakan radikalisme adalah institusi pendidikan. Perlu dinyatakan kembali
bahwa pendidikan merupakan institusi yang memiliki posisi strategis dalam
membentuk dan mengembangkan sikap yang didasarkan pada pandangan
dan nilai-nilai tertentu. Dalam radikalisme terdapat pandangan dan nilai-nilai
tertentu yang dirujuk dari sumber-sumber agama (Islam). Sebagai suatu
institusi yang dimaksudkan untuk membentengi penetrasi radikalisme,
institusi pendidikan hendaknya memiliki pandangan dan nilai-nilai tertentu
yang dapat menolak logika paham radikalisme. Institusi pendidikan yang
dipandang memiliki pertautan yang begitu dekat dengan agenda
membendung radikalisasi (deradikalisasi) tentu pendidikan Agama Islam.
Apa yang dimaksud dengan pendidikan Agama Islam? Pertanyaan ini
sengaja dikemukakan karena adanya pandangan yang mencampuradukkan
antara pendidikan agama Islam dengan pendidikan Islam. Sebagai contoh,
pembelajaran atau mata pelajaran agama Islam di sekolah kadang disebut
sebagai "pendidikan Islam" padahal yang lebih tepat adalah "pendidikan
agama Islam". Sedangkan lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti
34"Bangga Islam Nusantara Mendunia"
(http:/ jwww.jpnn.comjread/2015/07 /13/314878/Bangga-Islam-Nusantara)
35 Lihat, misalnya, Azyumardi Azra,]aringan Global dan Lokallslam Nusantara
(Bandung: Jakarta, 2002), dan Uka Tjandrasasmita,Arkeologi Islam Nusantara
(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009).
36 Greg Fealy dan Anthony Bubalo,]ejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur
Tengah di Indonesia (Bandung,: Mizan, 2007), hal. 104.
11

pesantren dan madrasah terkadang disebut sebagai "pendidikan agama
Islam", padahal istilah yang lebih tepat adalah "pendidikan Islam".3 7
Kebingungan penyebutan pada level semantik ini tidak terlepas dari adanya
beragam wacana dan praktik pendidikan yang yang bertolak dan
dikembangkan dari Islam. Setidaknya ada tiga varian pendidikan di kalangan
Islam yang sering dicampuradukkan, yaitu:38
1. Pendidikan menurut Islam atau pendidikan lslami, yakni pendidikan
yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai
fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya, yaitu al-Qur'an
dan as-Sunnah. Dalam pengertian yang pertama ini, pendidikan Islam
dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang mendasarkan diri
atau dikembangkan dari sumber-sumber dasar tersebut.
2. Pendidikan ke-Islam-an atau pendidikan agama Islam, yakni upaya
mendidikan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya agar
menjadi pandangan dan sikap hidup seseorang. Dalam pengertian yang
kedua ini pendidikan Islam dapat berwujud: a). Segenap kegiatan yang
dilakukan seseorang atau suatu lembaga tertentu untuk membantu
seorang atau sekelompok peserta didik dalam menanamkan danjatau
menumbuhkembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya; b). Segenap
fenomena atau peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang
dampaknya ialah tertanamnya danjatau tumbuh kembangnya ajaran
Islam dan nilai-nilainya pada salah satu atau beberapa pihak.
3. Pendidikan dalam Islam, atau proses dan praktek penyelenggaraan
pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat
Islam. Dalam arti proses bertumbuhkembangnya Islam dan umatnya,
baik Islam sebagai agama, ajaran maupun sistem budaya dan peradaban,
sejak zaman nabi Muhammad sampai sekarang. Jadi dalam pengertian
ketiga ini istilah pendidikan Islam dapat dipahami sebagai pembudayaan
dan pewarisan ajaran agama, budaya dan peradaban umat Islam dari
generasi ke generasi sepanjang sejarahnya.
Melengkapi perbincangan akademik di atas, pada bagian ini perlu
dikemukakan Peraturam Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun
2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Pada peraturan
ini, setidaknya terdapat dua komenklatur yang yang bisa digunakan untuk
memperjelas pendidikan agam Islam dan lembaga pendidikan Islam.
Nomenklatur pertama 39 adalah pendidikan agama yang diartikan sebagai
37 Abdul Munir Mulkhan, NaJar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem Filosofis
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), 55.
3B Muhaimin, dkk., Paradigma Pendidikan Islam ... , 29-30; lihat juga dalam Sukarji &
Umiarso, Manajemen dalam Pendidikan Islam: Konstruksi Teoritis-Filosofis dalam
Menemukan Kebermaknaan Pengelolaan Pendidikan Islam, (Jakarta: Mitra Wacana
Media, 2014), 6.
39 Peraturam Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan pada Bab I (Ketentuan Umum) ayat
(1).

12

pendidikan
yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap,
kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran
agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata
pelajaranjkuliah pada semua jalar, jenjang, dan jenis pendidikan. Sedangkan
nomenklatur kedua adalah pendidika keagamaan. Dalam peraturan ini,
pendidikan keagamaan dipahami sebagai suatu institusi yang
menyelenggarakan pendidikan untuki menyiapkan peserta didik
menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang
ajaran agama danjatau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran
agamanya4o. Dengan mengacu pada peraturan pemerintah, maka yang
dimaksud dengan pendidikan agama Islam adalah definisi pada nomenklatur
pertama. Pendidikan agama Islam dengan demikian "sebatas" materi ajaran
pada jalur pendidikan formal yang diberikan di jenjang pendidikan dasar
sampai pendidikan tinggi. Sedangkan lembaga pendidikan Islam bisa
dipahami sebagai pendidikan keagamaan seperti madrasah dan pesantren
yang didesain untuk mennyiapkan peserta didik yang memiliki keahlian di
bidang ilmu-ilmu agama.
Meskipun sebatas sebagai materi ajar yang tidak didesain sebagai
suatu pendidikan yang ingin menyiapkan orang-orang yang ahli di bidang
agama Islam, pendidikan agama Islam tetap memiliki posisi dan karena itu,
seharusnya juga mampu berperan strategis dalam membendung radikalisme.
Perwujudan ke arah peran tersebut seharusnya mudah dilakukan mengingat
pendidikan agama Islam dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia
memiliki kedudukan yang kuat. Sebagai kelanjutan dari sikap ideologis
bahwa Indonesia merupakan negara yang didasarkan pada Ketuhanan Yang
Maha Esa, kebijakan pemerintah di bidang pendidikan memberikan ruang
yang memadai terhadap keberadaan pendidikan agama, termasuk
pendidikan agama Islam. Hal ini berbeda dengan negara-negara yang
menganut prinsip sekularisme yang membuat batas demarkasi secara jelas
antara agama sebagai wilayah pribadi (private sphere) dan politik di wilayah
publik (public sphere), 4 l sementara di Indonesia agama justru diberi posisi
strategis di ruang publik melalui kebijakan pendidigan agama sebagai mata
pelajaran wajib sejak di jenjang pendidikan dasar sampai ke jenjang
pendidikan tinggi. Kebijakan ini telah berlangsung lama. Setelah lima tahun
menyatakan diri sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, Indonesia
melakukan penataan terhadap sistem pendidikan di sekolah melalui
penerbitan Undang-Undang Nomor 4Tahun 1950 mengenai Pendidikan di
sekolah. 42 Undang-undang ini di antaranya mengatur apa yang disebut dalam

40 Peraturam Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan pada Bab I (Ketentuan Umum) ayat
(2).

H.A.R. Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional Qakarta: Kompas, 2005), hal. 230.
H.A.R. Tilaar, Pembangunan Pendidikan Nasiona/1945-1995 Qakarta: Grasindo,
1995), hal. XXX.

41

42

13

Bah XII dengan "pengadjaran agama disekolah-sekolah Negeri". Pada Pasal
20 terdapat ketentuan sebagai berikut: 4 3
1. Dalam sekolah-sekolah Negeri diadakan pelajaran agama; orang
tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran
terse but.
2. Cara menyelenggarakan pengadjaran agama di sekolah-sekolah
negeri diatur dalam peraturan jang ditetapkan oleh Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, bersama-sama dengan
Menteri Agama.
Setelah lewat setengah abad lebih, mandat terhadap pendidikan agama kian
diperkuat. Pada 2003, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang
di dalamnya terdapat ketentuan di antaranya mengenai pendidikan agama.
Dalam undang-undang ini, pendidikan agama merupakan salah satu materi
ajar yang wajib diberikan sejak di jenjang pendidikan dasar sampai ke
jenjang pendidikan tinggi. 44 Pewajiban pendidikan agama Islam tidak
berhenti pada penyediaan payung hukum dalam bentuk undang-undang.
Sebagaimana dikutip pada paragraf sebelumnya, pemerintah telah memiliki
payung hukum yang lebih terperinci dalam mengatur pelaksanaan
pendidikan agama Islam. Pada Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 55 Tahun 2007
terdapat ketentuan sebagai berikut: "Setiap satuan pendidikan pada semua
jalu'"' jenjang, dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan
agama." Kemudian pada Pasal 7 ayat (1) terdapat ketentuan: "Satuan
pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan agama tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (2)
sampai dengan ayat (7), dan Pasal 5 ayat (1) dikenakan sanksi administratif
berupa peringatan sampai dengan penutupan setelah diadakan
pembinaanjpembibingan oleh Pemerintah danjatau pemerintah daerah."
Beberapa pasal dalam peraturan pemerintah ini kian memperkuat posisi
pendidikan agama Islam sebagai materi ajar yang wajib diberikan pada
semua jenjang pendidikan di jalur pendidikan formal.
Atas pertimbangan posisinya yang demikian, pendidikan agama Islam
bisa dimasukkan sebagai bagian dari skema deradikalisasi yang
menggunakan pendekatan agama. Dengan memasukkan dalam skema ini,
maka pendidikan agama Islam perlu juga dipahami sebagai suatu aktivitas
memberikan pemahaman secara lebih moderat terhadap berbagai konsep
kunci dalam Islam yang dalam perspektif radikalisme justru menimbulkan
sikap dan tindakan kekerasan. Nasaruddin Umar4 S memberikan contoh surat
Taubah ayat 5 sebagai salah satu ayat yang mengandung "qital" tetapi sering
Dikutip dari H.A.R. Tilaar, Pembangunan Pendidikan ..., hal. 661.
Perhatikan Bab X, Pasal 3 7.
45 Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman al Qur'an &Hadist (Jakarta: Qanita,
2014), hal. 4

43

44

14

disalahpahami baik oleh kalangan Islam sendiri maupun oleh kalangan luar
(non-muslim). Terjemahan ayat ini sebagai berikut:
"Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orangorang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan
tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah mereka di tempat
pengintaian. Jika mereka bertobat dan mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk
berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang."
Tanpa pemahaman secara historis ihwal turunnya (azbabun nuzul)
ayat tersebut, bisa menimbulkan pandangan bahwa Islam membenarkan
penggunaan cara anarkis dan destruktif terhadap pihak lain, lian, yang
berbeda agama. Lebih mendalam lagi, Nasaruddin Umar mengidentifikasi
delapan konsep Islam yang perlu ditafsirkan ulang secara moderat, yaitu:
jihad, qital, murtad, ahli kitab, kafir dzimmi, kafir harbi, darussalam, dan
darulharbi. Dengan deradikalisasi, tegas Nasaruddin Umar, tidak
dimaksudkan menegasikan konsep-konsep kunci tersebut; tidak
dimaksudkan pula sebagai upaya pendangkalan aqidah, melainkan sebagai
upaya mengembalikan dan meluruskan kembali terhadap Islam sebagai
agama yang berwatak rahmatan lil 'alamin, toleran, menghormati hak asasi
manusia, dan emansipatoris. 46 Sebaliknya, paham Islam radikal lebih
menekankan pada cara pembacaan secara tekstual dalam pengertian:
" ... ignores or rejects the socio-historical context of the Qur'an in
interpretation." 47 Dengan pemahaman secara tekstual, makna suatu teks
dalam hal ini al-Qur'an cenderung dipahami secara tetap, tidak ada
"perubahan" dan dapat diaplikasikan secara universal dalam konteks ruang
dan waktu dimanapun dan kapanpun. Tragisnya, ia tidak memandang
dinamika kesejarahan sosiologis yang melingkupi teks tersebut muncul dan
kecenderungannya pun ia dipahami lepas dari polarisasi kontekstual. Pada
kerangka ini Syarif Hidayatullah memberikan paparan menarik:48
"... pola pemahaman dan keberagamaan kaum "radikalis agama" yang
selalu merujuk pada al-Qur'an, disebabkan oleh pembacaan mereka
yang terlalu sempit dan normatif. Mereka hanya menjadikan al-Qur'an
sebagai bacaan yang taken for granted, yang diterima langsung dan
apa adanya, tidak perlu disertai pembacaan yang kritis dan historis.
Hal ini akan sangat berbahaya karena mereka menjaga jarak dengan
realitas sosial yang ada. Seolah-olah ada anggapan: "yang penting
46 Ibid., hal. 342-384.
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an: Toward a Contemporary Approach,
(London: Roudledge, 2006), hal. 50.
48 Syarif Hidayatullah, Islam "Isme-Isme": A/iran dan Paham Islam di Indonesia,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 93.
47

15

menjalankan "perintah" al-Qur'an, mereka dapat dikatakan telah
melakukan "kebajikan" dan akan mendapat pahala di sisi Tuhannya".
Di sinilah problem perilaku kekerasan yang dilakukan atas nama
agama"
Abdullah Saeed pada konteks tersebut memberikan contoh
pemaknaan terhadap teks yang berkaitan hukum bagi pelaku konversi atau
murtad (apostasy). Bila dipahami secara tekstual, dalil berupa hadist yang
berbunyi, "man baddala dinahu faqtuluhu" (barang siapa yang pindah agama,
bunuhlah!), maka akan menimbulkan konsekuensi hukum dalam bentuk
pelaksanaan hukuman mati terhadap muslim yang murtad. Abdullah Saeed
dan Hassan Saeed memiliki pandangan sebaliknya. Kendati tetap
menganggap murtad sebagai perbuatan dosa (as a sin), tetapi penerapan
hukuman tidak bisa diterapkan karena bertentangan dengan prinsip dasar
Islam yang mengakui keragaman beragama (recognition of the diversity of
religions) dan pelarangan konversi secara paksa (prohibition of conversion by
force). "Islam is not a religion bent on persecuting all those who do not believe
in it, or who leave it for one reason or another. Islam recognizes diversity or
religion, even though it does not approve of religious forms that it perceives
have been derived from non-divine sources," jelas Abdullah Saeed. Dan Hassan
Saeed4 9 Kemudian lanjutnya: "Islam regard life as testing ground, one of the
most important aspects ofwhichfreedom to choose a beliefsyatem and a way
of life. "so.
Untuk menghindari pemahaman yang terlalu tekstualis, Abdullah
Saeed menekankan pentingnya pemahaman secara kontekstual dengan
mempertimbangkan konteks sosio-historis (the socio-historical context) pada
saat teks diwahyukan: " .. ./ refer to as contextualist emphasize the sociohistorical context of the ethico-legal content of the Qur'an and its subsequent
interpretations," jelasnya.s 1 Pemikiran Abdullah Saeed pada dasarnya
mengafirmasi pandangan pemikiran Fazlur Rahman (1919-1988) pemikir
Islam asal Pakistan yang sering dijadikan sebagai rujukan dalam
mengembangkan pemikiran Islam kontekstual.5 2 Pembacaan terhadap teks
Abdullah Saeed and Hassan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam
(England: Ashgate, 2004), hal. 86.
50 Ibid.
51 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an ... , hal. 3.
52 Setelah menetap di Chicago sebagai guru besar kajian Islam di University of
Chicago, Fazlur Rahman mengembangkan cara pemahaman kontekstual yang
sebenarnya telah merintis sewaktu masih di Pakistan, yakni metodologi yang
disebutnya dengan gerakan ganda (double movement) sebagai kombinasi antara
berpikir induktif dan deduktif. Dengan gerakan ganda, Fazlur Rahman menawarkan
pemahaman terhadap al-Qu'an dengan menempuh dua langkah, yaitu: Pertama,
memahami arti atau makna dari pernyataan Al-Qur'an, dengan memeriksa situasi
atau masalah historis di mana jawaban dan respon al-Qur'an muncul. Langkah
kedua dari gerakan pertama ini adalah menggeneralisasikan dari jawaban khusus
49

16

secara kontekstual sebagaimana dikembangkan oleh Fazlur Rahman dan
Abdullah Saeed akan ditolak oleh kalangan Islam radikal karena sama halnya
memberi peluang tehadap penggunaan nalar manusia yang cenderung kritis
dan malah akan dapat mendistorsi arti sesungguhnya suatu teks. Oleh karena
itu, bagi mereka teks al-Qur'an perlu dipahami secara literal -sebagaimana
adanya, karena nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang
tepat terhadap teks. Meski bagian-bagian tertentu dari teks kitab suci boleh
jadi kelihatan bertentangan satu sama lain, nalar tidak dibenarkan
melakukan semacam kompromi dan menginterpretasikan ayat-ayat
tersebut.S3 Karena pendidikan agama Islam yang dapat dipastikan
bersinggungan dengan beberapa konsep kunci, misalnya jihad yang menjadi
landasan gerakan radikalisme perlu diberi pemaknaan yang luas dengan
mengaitkan antara teks dan konteks secara dialektis. Sebagaimana yang yang
dianalisis oleh Ali Ashghar Engineer:
"... adanya pemaknaan yang keliru tentang makna jihad di kalangan
sebagian tokoh muslim. Bagi kelompok ini, jihad dimaknai sebagai
perang
atau
tindakan
kekerasan.
Fenomena
ini
jelas
menyalahgunakan pemaknaan jihad. Media massa ikut berperan
dalam menyebarkan paham yang keliru dengan cara tidak
memberitakan pemikiran-pemikiran yang menentang makna jihad
yang identik dengan kekerasan atau perang. Padahal, konsep jihad
dalam al-Qur'an dan Hadits tidak ada hubungannya dengan kekerasan.
Al-Qur'an memang membolehkan tindak kekerasan atau perang
dalam situasi tertentu yang tidak bisa dihindarkan atau dalam
mempertahankan diri. Dalam al-Hajj (22): 39; yang artinya: diizinkan
(berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya
mereka dizalimi. Dan sungguh Allah Maha Kuasa menolong mereka.
Memang sejumlah peristiwa kekerasan telah terjadi dalam sejarah
Islam. Tetapi hal itu terjadi karena ada kepentingan pribadi (vested
interest) dengan cara memanipulasi ayat-ayat al-Qur'an. Perlu
diketahui juga bahwa dalam sejarah Islam peperangan antar
kelompok Islam jauh lebih banyak terjadi dibandingkan peperangan
antara orang Islam dengan non Islam. Dalam kitab Futuh al-Buldan
diungkapkan beberapa fakta tentang peperangan antara muslim dan
non muslim. Beberapa sejarawan yang benci terhadap Islam
menganggap peperangan itu dalam rangka menyebarkan ajaran Islam.
Pemahaman seperti ini terlalu menyederhanakan penafsiran tentang
pernyataan yang memiliki tujuan moral sosial yang bersifat umum, yang dapat
disarikan dari ayat-ayat tertentu dalam terang latar belakang sejarah juga sering
diungkapkan oleh ayat itu sendiri. Lihat Fazlur Rahman, Islamic Methodology in
History, (Delhi: Adam Publisher and Distributors, 1994). Lihat Juga Abdullah Saeed,
The Qur'an: an Introduction (London: Roudledge, 2008), hal. 219-231.
53 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modern