IMPLEMENTASI POLITIK HUKUM DALAM PEMBANG

IMPLEMENTASI POLITIK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL DAN DAERAH
Posted by cszoel on April 17, 2012
Posted in: Uncategorized. Tinggalkan komentar

A. Pendahuluan
Eksistensi hukum di negeri ini mendapat sorotan tajam dalam berbagaikasus dan
peristiwa belakangan ini.Pandangan-pandangan yang
bermunculanbernada sumbang.Hal ini dapat dipahami, karena reputasinya tidak
selaludapat dilihat sebagai pen-iamin kepastian hukum, penegak hak-hak rakyat
ataupenjamin keadilan. Hal ini dapat dianggap wajar, terlebih lagi bila
mengingatkesan-kesan yang ada dalam mas;,arakat yaifu hukum selalu mengenai
pihakyang lemah, tetapi tak mampu menembus pihak yang kuat. Tambahan
pulabahwa negara ini adalah nesara berdasarkan hukum, bukan Negaraberdasarkan
kekuasaan.
Gambaran di atas menyiratkan adanya “tangan-tangan tak tampak” yang berada di
balik sosok hukum dan mengendalikan serta
memanfaatkanmenurut kepentingannya.Di sinilah tampak bahwa politik mewarnai
hukum.Karenanya sesungguhnya hukum merupakan produk politik.
Kendatipundemikian, demokrasi menempati porsi yang memadai dalam bentuk
mendorong rakyat agar berpartisipasi dalam proses pembuatan hukum. Tentusaja
hal ini dimaksudkan agar produk hukum yang dihasilkan tidak sajaberasal dari atas,

tetapi juga mempertimbangkan berbagai aspirasi rakyat banyak sehingga hukum
yang dihasilkannya pun diharapkan mampu.
Melindungi pihak yang lemah dan tidak tumpul ketika harus berhadapandengan
pihak yang kuat.Kenyataannya, tenyata hukum tidak steril dari subsistem
kemasyaratanlainnya.Politik kerap kali melakukan intervensi atas pembuatan
danpelaksanaan hukum sehingga muncul pertanyaan susbsistem mana
antarahukum dan politik yang lebih dominan?untuk menjawab pertanyaan di
ataskita sudah memasuki wilayah politik hukum. Politik hukum secara sederhana.
dapat dirumuskan sebagai kebiiaksanaan hukum yang akan atau telahdilaksanakan
secara Nasional oleh Pemerintah. Disini hukum tidak hanyadipandang sebagai
pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusanyang bersifat das
sollen, melainkan harus dipandang sebagaisubsistem dalam kenyataan (das sein)|.
Tulisan ini adalah dalam upaya turut serta mengisi satu bagian darisasaran
pembangunan nasional Indonesia yaitu mengembangkan hubungankerja yang
serasi antara Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan NegaraKesatuan Republik
Indonesia yang selanjutnya diarahkan pada pelaksanaanOtonomi Daerah.Sasaran
pembangunan nasional tersebut tidak mudah, karena ada satuanggapan bahwa

sifat tarik menarik bahkan “spanning”hubungan antara pusatdan daerah adalah
sesuatu ,vang alamiah.Untuk menembus hal yang tidakmudah tersebut perlu

adanya suatu dasar yang harus menjadi pangkal tolak untuk mengembangkan
suatu bentuk hubungan yang serasi antara pusat dan daerah. Dari sudut pandang
ilmu hukum, maka perangkat-perangkat
Hukumlah khususnya kaidah hukum dan teori hukum merupakan pangkaltolak yang
tepat.Undang-undang Dasar 1945 yang telah diterima dan ditetapkan
sebagai”ketentuan tertinggi tingkatnya”.dalam sistem hukum nasional
merupakanpangkal tolak yang tepat untuk mencari dan menemukan dasardasarpengembangan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah.
Dalam membicarakan otonomi Daerah, kita harus terlebih dahulu mengtahui
bagaimana atau dimana letak otonomi daerah dalam system pemerintahan Negara
Indonesia sejak tahun 1945 hingga sekarang- Kemudianapa landasan hukum
otonomi Daerah serta bagaimana kedudukan dan alatkelengkapannya dalam
menjalankan tugasnya, dan apa peranannya dalamsistem dan struktur
pemerintahan di lndonesia secara keseluruhan.
Pengertian dan makna otonomi daerah telah mengalami pergeseranmendasar sejak
berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentangPemerintahan Daerah
digantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.Kemudian Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang PemerintahanDaerah diganti dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, karenaUndang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dianggap
memiliki banyakkelemahan.Sesuai ini Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam
halMenimbang: a. disebutkan bahwa dalam rangka penyelenggaraanpemerintahan

daerah sesuai dengan amanat undang-undang Dasar NegaraRepublik Indonesia
Tahun 1945. pemerintahan daerah, yang mengatur danmengurus rumah sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugaspembantuan, diarahkan
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraanmasyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan, dan peran sertamasyarakat serta peningkatan daya
saing daerah dengan memperhatikanprinsip demokrasi, pemerataan keadilan,
keistimewaan dan kekhususan suatu
daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (2) (5) dijelaskan bahwa:
“Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan
olehpemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembantuandengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
NegaraKesatuan Republik lndonesia sebagaimana dimaksud dalam undangundangDasar 1945. “Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau walikota,
dan

perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah” Adapun”
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalahlembaga
perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahdaerah”
Disebutkan juga bahwa “otonomi daerah adalah hak wewenang dankewajiban
daerah otonom tmurk mengatui dan mengurus sendiri urusanpemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturanperundang-undangan.”
Pemerintahan daerah adalah bagian dari struktur pemerintahanIndonesia atau
disebut juga subsistem dari sistem pemerintahan NegaraIndonesia. Untuk
menjelaskan saling keterkaitan dan tempat otonomi daerahdalam sistem
pemerintahan daerah serta letak dan keterkaitan pemerintahandaerah dengan
sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia maka perludiurai secara singkat
ketentuan yang terdapat dalan UUD 1945 yangmelandasi dan mengatur sistem
ketetanegaraan republik Indonesia.Berangkat dari ketentuan perundang-undangan
di atas maka otonomidaerah merupakan hak yang harus diterima oleh daerah
dalam mengurusrumah tangganya sendiri secara demokratis, sekaligus menjadi
wewenang dantanggung jawab serta kewajiban daerah dalam akselerasi
tercapainya tujuanpembangunan Nasional.Sebab pemerintah daerah merupakan
bagian daristruktur pemerintahan lndonesia atau disebut juga sebagai subsistem
darisistem pemerintahan Negara lndonesia.
B.

PolitikHukum

Hubungan kausalitasd antara hukum dan politik atau pertanyaan tentangapakah
hukum yang memepengaruhi politik ataukah politik yangmempengaruhi

hukum.Pertama, Hukum Determinen atas politik dalam arti bahwa kegiatankegiatanpolitik diatur harus tunduk pada aturan-aturanhukum.Kedua,
PolitikDeterminan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi
darikehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan
salingbersaingan. Ketiga, Politik dan Hukum sebegai susbsisteme
kemasyarakatanberada pada posisi yang sederajatan determinasinya seimbang
antara yang satudengan yang lain karena meskipun hukum merupakan keputusan
politik tetapibegitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada
aturanhukum. Perbedaan jawaban di atas disebabkan oleh perbedaan cara para
ahlimemandang kedua subsistem kemasyarakatan tersebut mereka yang
hanyamemandang hukum dari sudut das sollen (keharusan) atau para
idealisberpegang teguh pada pandangan bahwa hukum harus merupakan
pedomandalam segala tingkat hubungan antar anggota masyarakat termasuk
dalamsegala kegiatan politik.
Sedangkan mereka yang memandang hukum darisudut das sein (kenyataan) atau
para penganut faham empiris melihat secararealistis bahwa produk hukum sangat
dipengaruhi oleh politik bukan sajadalam pembuatannya tetapi juga dalam

kenyataan-kenyataan empirisnya.Kegiatan legislatif (pembuatan undang-undang)
dalam kenyataannyamemang lebih banyak membuat keputusan-keputusan politik
dibandingkandengan menjalankan hukum vang sesungguhnya lebih-lebih jika

pekerjaanhukum itu dikaitkan dengan masalah prosedur.Tampak jelas bahwa
lembagalegislatif (yang menetapkan produk hukum) sebenarnya lebih dekat
denganpolitik daripada dengan hukum itu sendiri. Dengan demikian jawaban
tentanghubungan kausalitas antara hukum dan politik dapat berbeda tergantung
dariperspeklif yang dipakai untuk memberikan jawaban tersebut Politik hukum
adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakansecara nasional oleh
pemeriniah lndonesia yang meliputi :
Pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan
pembaruanterhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan.
Kedua, pelaksanaan ketenruan hukum yang telah ada termasuk penegasanfungsi
lembagadan pembinaan para penegak hukum. Dari pengertian tersebutterlihat
politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat
menunjukan sifat dan kearah mana hukum akan dibangun danditegakkan.
Politik hukum baru lang berisi upaya pembaruan hukum menjadikeharusan ketika
tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia diproklamirkan sebagai Negara merdeka.
Proklamasi kemerdekaan menuntut pembaruan ataupenggantian atas hukumhukum peninggalan jaman penjajahan Jepang dan Belanda sebab jika dilihat dari
sudut tata hukum maka proklamasi.
Kemerdekaan merupakan tindakan perombakan secara total.
Proklamasikemerdekaan telah membawa Indonesia pada idealita dan realita hukum
yanglain dari sebelumnya.Indonesia menganut asas Negara hukum artinya seluruh

sisi politik dankelembagaan Negara harus tunduk kepada hukum. Kajian negara
hukum harusdimulai dari Negara hukum klasik yaitu Nomokrasi Plato (427-347
SM) danNegara Hukum Madinah yang dibanguna oleh Nabi Muhammad SAW
(570-632). Gagasan Negara Hukum Plato (427-347 SM) tentang nomokrasi.Konon
katanya Negara harus dipimpin oleh orang bijak (the phitosophers) danmembagi
warga Negara menjadi tiga lapisan masyarakat yaitu :the perpectguardians (kaum
filosof lang bijak dan bestari); the auxiliary guardians(golongan pembantu seperti
militer dan tehnokrat); the ordinory people (kaumpetani dan pedagang). Negara
hukum Madinah yang didirikan oleh Nabi Muhammad SAW(570-632) pada kurun
waktu tahun 622-632 yang merupakan tipe idealNegara hukum yang didasarkan
pada perjanjian masyarakat. Negara hukum Madinah adalah Negara hukum yang
didirikan oleh Nabi Muhammad SAW,bermula dari perjanjian Aqabah Pertama tahun
620 dan perjanjian AqabahKedua tahun 621, Konstitusi madinahberlaku tahun 622.
Kemudian daripada itu lahir cikal bakal Negara hukum modern danbentuk
konkritnnya lahir setelah filosof Jerman immanuel Kant (1724-1804)dengan konsep
rechstaat dan filosof inggris A.v. Dicey dengan rule of law,yang merupakan gagasan

untuk menjamin hak asasi dan pemisahankekuasaan.Konsep rechstaat berkembang
daram suilsana liberalisme dankapitalisme abad ke-18 yang dirumuskan oleh
rmmanuel Kant (1724-l804)untuk menjabarkan faham laissez faire laissez aller dan

nochwachtersstaat.
Untuk menjamin kedudukan hukum setiap individu, yang diinspirasi olehteori
pemisahan kekuasaanMontesquieu (1989-1755) yang lahir untukmenghindari
pemusatan kekuasaan yang dapat mendorong terjadinyasewenang-wenangan dan
berkaitan dengan paham demokrasi dariRousseau(1712-1778).Lebih lanjut unsurunsur negara hukum gagasan Immanuel Kant(1724-1804) yang dikembangkan
oleh Friedrich Stahl, sebagai berikut :
(1).Adanya jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia. (2). Adanya
pemisahankekuasaan Negara. (3). setiap tindakan negara harus didasarkan atas
undangundangyangtelah ditetapkan terlebih dahulu. (4). Adanya
peradilanadministrasi negara. Konsep negara hukum trechstaat) dikembangkan lagi
oleh S.W.Couwenberg. Menjadi sepuluh unsur sebagai berikut :
Pemisahan antara negara dan masyarakat sipil, pemisahan antarakepentingan
umurndan kepentingan khusus perorangan, danpemisahan antara hukum publik
dan hukum privat.
Pemisahan antara negara dan gereja.
Adanya jaminan atas hak-hak kebebasan sipil.
Persamaan terhadap undang-undang
Adanya konstitusi tertulis sebagai dasar kekuasaan negara dan dasarsistem hukum.
Pemisahan kekuasaan berdasarkan Trias Politika dan system cheksanda balances.
Asas Legalitas.

Ide tentang aparat pemerintahan dan kekuasaan kehakiman yangtidak memihak
dan netral.
Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap penguasa olehperadilan yang
bebas dan tidak memihak dan berbarengan dengan prinsip tersebut diletakan
prinsip tanggung gugat negara secara yuridis.
Prinsip pembagian kekuasaan, baik yang bersifat territorial maupun vertical.
Menurut M. Scheltema, negara berdasarkan atas hukum mempunyai empat asas
utama yaitu (1). Asas kepastian hukum. (2). Asas persamaan. (3). Asas demokrasi.
(4). Asas pemerintah dibentuk untuk melakukan pelayanan terhadap masyarakat.
Beda dengan recltstaot, the rule of law yang mulai dikembangkan di Inggris dan
berkembang pula di Amerika Serikat Perkembangannya di

Amerika Serikat dalam government of judiciary, yang oleh W. Friedman mempunyai
dua arti, yaitu formal dan materil.arti formal adalah kekuasaan hukum yang
terorganisasi (organized public power) dan setiap negara modem memiliki rezim
hukum sendiri-sendiri. Arti material adalah adalah pemerintahan oleh hukum yang
berkeadilan (the rule of just /aw), sedangkan oleh pelopor utamanya A.V. Dicey, the
rule of law mempunyai tiga unsur, yaitu : supremacy of law, equality before the law,
and the constitution bosed on individual rights.
C. Otonomi Daerah


Undang-undang Dasar 1945 memuat ketentuan tentang pemrintahan daerah(pasal
18) yang beirisi beberapa pokok pikiran :
Pertama : bentuk hubungan antara pusat dan daerah tidak boleh mengurangihakhak rakyat
daerah untuk turut serta secara bebas dalam penyelenggaranpemerintahan daerah.
Kedua : Bentuk hubungan pusat dan daerah tidak boleh mengurangi hak-hakrakyat
daerah untuk
berinisiatif atau berprakarsa
Ketiga : Betuk hubungan antara pust dan daerah dapat berbeda-beda antaradaerah
yang satu dan
yang lainnya.
Keempat : Bentuk hubungan antara pusat dan daerah adalah dalam
rangkamewujudkan keadilan
dan kesejahteraan sosial di daerah.
Para tokoh ahli pemerintahan seperti Ryaas Rasyid, Affan Gafar dankawan-kawan
adalah arsitek dibalik lahirnya undang-undang nomor 2 tahun1999.Ryaas
Rasyid (2002) mensemukakan sejumlah argumentasi mengapadalam sistem
pemerintahan Iadonesia sebaiknya menggunakan prinsip-prinsipdesentralisasi
antara lain sebagai berikut:
Efektifitas dan Efisiensi penyelengaraan pemerintahan. Organisasi negara

merupakan sebuah entitas yang sangat kompleks.Pemerintah negara mengelola
berbagai dimensi kehidupan dan juga berfungsi sebagai disributif. Sangat tidak
memungkinkan jika pemerintah melaksanakannya secara sentralistik.
Pendidikan Politik Banyak kalangan ilmu politik bahwa pemerintahan daerah
merupakan

kancah pelatihan dan pengembangan demokrasi sebuah negara. Denganadanya
desentralisasi malia hal itu akan memberikan kesempatan bagiwarga masyarakat
untuk berpartisipasi politik baik dalam memilih maupundipilih.
Pemerintah Daerah sebagi persiapan untuk karir politik lanjutan.
Stabilitas Politik Kalangan ilmuan politik sependapat bahwa salah satu manfaat dari
desentralisasi atau otonomi daerah adalah dalam penciptaan stabilitas politik.
Kesetaraan Politik Dengan dibangunnya pemerintahan daerah, maka kesetaraan
politik di antara berbagai komponen akan terwujud.
Akuntabilitas Publik
Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan :
Baik berdasarkan pengkajian perbandingan maupun pengkajian atasperundangundangan lndonesia yang ada dan yang pernah ada ditemukansatu kecenderungan
umum hubungan antara pusat dan daerah yaitu di satupihak makin menguatnva
kedudukan dan peranan pusat dan di pihak lainmakin surutnya kemandirian
(kebebasan daerah).
Pemberian otonomi oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerahsebagai suatu
masyarakat hukum hingga saat ini belum diletakan padasuatu landasan konsepsi
yang jelas, yang mencakup dan berorientasi padaupaya mengembangkan
pemerintahan daerah yang baik (good localgovernntent).
Masih banyakan produk hukum yang diwarnai oleh kepentingan-kepentinganpolitik
pemegang kekuasaan, sehingga hukum belum dapatmenampilkan jati dirinya
sebagai penjamin kepastian stabillitas, keadilandan kesejahteraan.
Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidangpemerintahan,
kecualikewenangan dalam bidang politik luar negeri,pertaharnn keamanan,
peradilan, moneter dan fiscal, ogam sertakewenangan lain (pasal 7 ayat
(1).Kewenangan bidang lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
meliputikebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian
pembangunannasional secara makro. dana perimbangan keuangan, sistem
administrasiNegara dan lembaga perekonomian Negara pemberian dan
pemberdayaansumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologiyang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.
Kewenangan Pemerintah yang diserahkan kepada Daerah dalam
rangkadesentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan
pengalihanpembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia
sesuaidengan kewenangan yang diserahkan tersebut.

Demokrasi politik akan menciptakan kebebasan bagi warga masyarakat. Salahsatu
faktor yang tidak bias di nafikan dalam hal demokrasi dan system desentralisasi
adalah adanya akuntabilitas publik. Argumentasi-argumentasi yang dikemukakan di
atas merupakanprinsip-prinsip dasar pijakan yang secara teoritis menjadi dasar
kebijakandesentralisasi di Indonesia cita-cita yang berkembang agar demokratisasi
dankebebasan untuk beraspirasi di jamin secara hukum. Kehadiran udangundangNomor tahun 1999 yang disempurnakan dengan Undang-undangNomor
32tahun2004 tentang pemerintahan daerah adalah langkah maju bagi
pemerintahIndonesia untuk menuju masa depan demokrasi politik dan ekonomi
yangmeningkat.
Kecenderungan terjdinya proses tarik menarik antara kepentingannegara dan
masyarakar seperti dikemukakan Islami harus dijawab melaluihadirnya aparatur
pemerintah yang disamping professional juga memiliki hatinurani yang sensitive
terhadap aspirasi masyarakat yang terus berkembang.Sebagai wujud sikap
kesediaan mendengar dan kemampuan untukmenyediakan apa yang diinginkan
oleh rakyat. Tanpa adanya perubahan sikapmental dan kemampuan aparatur
pemerintah, mungkin desentralisasi danotonomi daerah hanya merupakan retorika
politik belaka.
Di kutip dari
(seminar hukum dan Kebijakan Publik)
oleh
DR. H. Deddy Ismatullah, SH.,M.Hum
Share this:

SEJARAH HUKUM INDONESIA
Berbicara sejarah hukum di Indonesia sama saja kita berbicara tentang sejarah
Indonesia itu sendiri, karena hukum di Indonesia merupakan bagian dari perjalanan
sejarah bangsa. Kalau boleh kita petakan, perjalanan hukum di Indonesia dapat kita
bagi menjadi 3 masa yaitu:
Masa sebelum penjajahan (pra kolonial)
Pada masa ini hukum lebih di dominasi oleh aturan adat atau kebiasaan yang sudah
berkembang di masyarakat.
Masa kolonial
Belanda sebagai negara yang pernah menjajah Indonesia selama 250 tahun lebih
tentunya pengaruhnya sangat besar terhadap perkembangan sejarah hukum di
Indonesia. Bahkan produk hukum di Indonesia banyak sekali mereduksi dari produk
hukum yang dibikin Belanda. Sistem hukum Eropa (khususnya Belanda) yang
berakar pada tradisi-tradisi hukum Indo-Jerman dan Romawi-Kristiani, dan yang
dimutakhirkan lewat berbagai revolusi, mulai dari “Papal Revolution” hingga
Revolusi kaum borjuis-liberal di Perancis pada akhir abad 19. Sejalan dengan alur
sejarah hukum Hindia Belanda yang banyak dipengaruhi oleh perkembangan yang
terjadi dimasa VOC, Daendels, dan Raffles, berbagai perbaikan penting
diperkenalkan sesudah tahun 1848. Sejenis konstitusi, kitab-kitab hukum baru,
reorganisasi peradilan sebagai akibat gelombang liberalisme yang berasal dari
Belanda. Dimasa itu bahkan sempat diintroduksikan oleh pemerintah jajahan bahwa
penduduk Hindia Belanda dikelompokan ke dalam tiga golongan penduduk. Ketiga
golongan yaitu: (1) Golongan Eropa (Europeanen) dan mereka yang dipersamakan
dengannya; (2) Golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen); dan (3) Golongan

Bumi Putera (Inlanders). Untuk tiap golongan penduduk tersebut berlaku hukumnya
sendiri-sendiri. Asas utamanya adalah hukum adat bagi orang Indonesia (Bumi
Putera) dan orang-orang yang digolongkan sama dengan pribumi, sedangkan
hukum Belanda bagi orang-orang Eropa. Namun demikian karena sebab-sebab yang
jelas dan masuk akal asas tersebut benar-benar tidak berlaku. Seperti yang
dikemukakan Daniel S. Lev, bahwa “perlakuan terhadap hukum adat setempat
adalah salah satu tema yang paling membingungkan dan bermakna ganda dalam
sejarah kolonial Indonesia.” Bahkan menurut Soetandyo, penggolongan rakyat yang
tetap dipertahankan sampai berakhirnya kekuasaan kolonial itu mengisyaratkan
tetap akan dikukuhkannya dualisme dan pluralisme hukum kolonial di Indonesia.
3.

Masa pasca kolonial

Pasca Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia memiliki dua tradisi hukum yang masingmasing terbuka untuk dipilih, yaitu sistem hukum kolonial dengan segala seluk
beluknya serta sistem hukum rakyat dengan segala keanekaragamannya. Pada
dasarnya dan pada awalnya pemuka-pemuka nasional mencoba membangun
hukum Indonesia dengan mencoba sedapat-dapatnya melepaskan diri dari ide-ide
hukum kolonial yang tidak mudah. Inilah periode awal dengan keyakinan bahwa
substansi hukum rakyat yang selama ini terjajah akan dapat diangkat dan
dikembangkan secara penuh menjadi substansi hukum nasional. Akan tetapi dalam
kenyataannya berakhir dengan pengakuan bahwa proses realisasinya ternyata tidak
sesederhana model-model strategiknya dalam doktrin.7 Menurut Lev, para advokat
Indonesia ketika itu dan juga sejumlah besar cendekiawan lainnya menginginkan
negara yang terutama bersistem hukum corak Eropa yang berlaku di masa kolonial.
Hal itu agaknya terjadi karena berbagai kesulitan yang diduga oleh Soetandyo telah
timbul bukan hanya karena keragaman hukum rakyat yang umumnya tak terumus
secara eksplisit itu, akan tetapi juga karena sistem pengelolaannya sebagai suatu
tata hukum yang modern (melihat tata organisasi, prosedur-prosedur, dan asas-asas
doktrinal pengadaan dan penegakannya, serta pula rofesionalisasi
penyelenggaraannya) telah terlanjur tercipta sepenuhnya sebagai warisan kolonial
yang tak akan mudah dirombak atau digantikan begitu saja dalam waktu singkat.

Kekuatan moral hukum progresif sebagai das Sollen
Membangun kekuatan hukum yang bermoral dan berkeadilan untuk mematahkan
kekuatan pro status quo sungguh merupakan upaya yang tidak ringan. Upaya
tersebut tentu saja harus dimulai dari bawah dan tidak dari atas. Dari bawah
maknanya, proses pendidikan hukum yang selama ini berlangsung di Indonesia
hendaknya berbenah dan mengubah haluan. Fakultas-fakultas hukum tidak sekedar
mendidik mahasiswa hukum yang akan menjadi calon-calon tukang menerapkan
hukum positif yang kerjanya seperti robot yang tidak bernurani, melainkan harus
mendidik manusia-manusia yang memahami hukum sambil menata dan

mengasah qalbunya atau nuraninya agar dalam menekuni profesi mereka
menegakkan hukum yang bersangkutan mampu berpihak pada kata hatinya yang
paling dalam. Proses tersebut harus tercermin dalam usaha pembaharuan
pendidikan hukum di tanah air kita, yang mengarah pada perubahan sikap
seseorang terhadap masalah yang dihadapi bangsa ini. Hal itu harus dilakukan
sebagai imbangan dari pendidikan tinggi hukum yang berpretensi “akademis
universiter” atau “teoritis ilmiah”39 namun kurang menyentuh nurani para peserta
didik, sehingga berakibat bekunya nurani mereka. Oleh karena itu, para peserta
didik di fakultas-fakultas hukum di Indonesia ke depan jangan lagi hanya diarahkan
untuk memiliki skills sebagai tukang menerapkan hukum positif tetapi kurang
cerdas spiritual dan emosionalnya dalam memaknai persoalan bangsanya sendiri.
Untuk itu maka, kurikulum fakultas hukum orientasinya tidak saja terbatas pada
pengajaran profesional skills, tetapi harus meliputi juga etika dan moral
profesional (professional ethics and moral), tanggung jawab
profesional (professional responsibility), serta manajemen qalbu (spiritual
management), sehingga para mahasiswa yang akan menjadi lulusan fakultas
hukum diharapkan tidak hanya cerdas secara intelektual, melainkan juga cerdas
secara emosional, dan juga cerdas spiritualnya. Ketiga faktor yang amat penting
dalam pembentukan watak atau karakter setiap manusia itu jika secara kumulatif
disatukan dalam penggemblengan kader-kader calon penegak hukum, maka insya
Allahkekuatan moral hukum progresif tidak sekedar menjadi harapan (das
sollen) melainkan akan terwujud dalam kenyataan (das sein) di masa datang.
Penutup
Sebagai penutup, berikut ini disajikan beberapa simpulan serta rekomendasi.
1. Kondisi apa pun yang terjadi pada saat ini, baik dalam proses pembelajaran
maupun dalam penegakan hukum di Indonesia, tentu saja tidak dapat dilepaskan
dari rangkaian peristiwa serta kondisi objektif masa lalu sebagai latar belakang.
2. Keinginan kuat untuk memodernisasikan hukum di Indonesia yang merdeka dan
berdaulat, merupakan salah satu alasan memilih untuk melanjutkan keadaan serta
sistem hukum masa kolonial. Pertimbangan itu diambil karena untuk memilih
hukum rakyat Indonesia sendiri juga dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah,
sebab hukum rakyat disamping tidak tertulis juga sangat pluralistik adanya. Oleh
sebab itu, setelah melalui serangkaian pengkajian dan pertimbangan, keputusan
memilih untuk menggunakan hukum tertulis dengan sistem kodifikasi sebagai
pelanjutan keadaan (status quo) masa kolonial, semata-mata didasarkan pada
pertimbangan segi kepraktisan dan kepastian.
3. Setelah melampaui proses pengujian melalui perjalanan waktu, penggunaan
hukum tertulis yang dipositipkan penguasa itu ternyata tidak selalu sesuai dengan
harapan masyarakat yang mencari keadilan. Keadilan yang diberikan oleh para
penegak hukum dirasakan hanya sebatas keadilan hukum (legal justice) dan sama

sekali tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat(substantial justice). Akibatnya,
penegakan hukum di negeri ini tampak jelas carut marutnya. Oleh karena yang
terjadi adalah “penegakan hukum semu” (pseudo law enforcement). Suatu keadaan
dimana seolah-olah telah dilakukan penegakan hukum, padahal sesungguhnya
aparat penegak hukum sama sekali tidak melakukan apa pun yang sesuai dengan
harapan masyarakat.
4. Seruan untuk menggalang kekuatan dalam wadah gerakan moral yang disebut
“kekuatan hukum progresif “ sebagai sebuah kekuatan hukum anti-status
quo sesungguhnya merupakan respons terhadap keadaan pseudo law
enforcement tadi. Tanpa menafikan kehadiran hukum positif, kekuatan hukum
progresif harus diberi makna yang lebih makro. Artinya, sebagai suatu gerakan
moral dari sejumlah kekuatan yang dapat terdiri atas para ahli hukum (baik sebagai
pendidik, aparatur penegak hukum, maupun birokrat), mereka harus bersatu untuk
secara pro-aktif mengupayakan agar proses pendidikan, pengembangan, maupun
penegakan hukum di Indonesia berpihak dan mengutamakan keadilan bagi
sebanyak-banyaknya rakyat Indonesia
5. Semua itu hanya mungkin dapat dilakukan secara berkesinambungan apabila
tunas-tunas bangsa yang sedang dipersiapkan untuk menjadi ahli hukum di masamasa mendatang juga diubah proses pembelajarannya. Adalah conditio sine qua
nonterhadap mereka calon-calon sarjana hukum Indonesia masa depan itu
pembelajarannya dilengkapi dengan pendidikan budi pekerti, etika serta moral
keagamaan yang kuat, sehingga kecerdasan intelektual mereka akan tumbuh
secara simultan bersama kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.

Sejarah Hukum di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum
Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun
pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena
aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan
sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian
besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at
Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan.
Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam
perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturanaturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah
Nusantara.

BAB II
PEMBAHASAN

A.

Periode Kolonialisme

Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC,
Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.
a.

Periode VOC

Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk:
1) Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri
Belanda;
2) Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan
3) Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang
Eropa.
Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan
bagi pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap
komunitas secara mandiri. Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah
meminggirkan hak-hak dasar rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang
mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu.
b.

Periode liberal Belanda

Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut
RR 1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan
utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri
jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum
pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan
dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan
terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses
peradilan yang bebas.
Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini,
walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang
dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan
kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek
eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi
oleh modal swasta.
c.

Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang

Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan
awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah:
Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum
Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi
Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi
Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian
hukum.
Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda
mewariskan:
Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga
peradilan
Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur
Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.
Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh
peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer
Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang
Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa perubahan perundang-undangan yang terjadi:

Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan
yang setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina
Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana
yang berlaku.
Di bidang peradilan, pembaharuan yang dilakukan adalah:
Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan
Unifikasi kejaksaan
Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan
Pembentukan lembaga pendidikan hukum
Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum
dengan orang-orang pribumi.
B.
a.

Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal
Periode Revolusi Fisik

Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di
dalam bidang peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi:
Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan dengan melakukan penyederhanaan
Mengurangi dan membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan swapraja,
kecuali badan-badan pengadilan agama yang bahkan dikuatkan dengan pendirian
Mahkamah Islam Tinggi.
b.

Periode Demokrasi Liberal

UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia. Namun pada masa ini
pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah
dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi dan
mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan
ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang berjalan hanyalah
unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme
pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan
melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951
tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.

C.

Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru

a.

Periode Demokrasi Terpimpin

Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat
berpengaruh dalam dinamika hukum dan peradilan adalah:
Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badanbadan pengadilan di bawah lembaga eksekutif
Mengganti lambang hukum ?dewi keadilan? menjadi ?pohon beringin? yang berarti
pengayoman
Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara
langsung atas proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965
Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali
sebagai rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang
lebih situasional dan kontekstual.
b.

Periode Orde Baru

Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru
diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang
perundang-undangan, rezim Orde Baru? membekukan? pelaksanaan UU Pokok
Agraria, dan pada saat yang sama membentuk beberapa undang-undang yang
memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah UU
Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde
baru juga melakukan:
Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif
Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk
dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak ada perkembangan
yang baik dalam hukum Nasional.
D.

Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)

Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi
empat kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan
negara, beberapa pembaruan formal yang mengemuka adalah:
Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan
Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia
Pembaruan sistem ekonomi.

Penyakit lama orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh
mengakar pada masa pasca orde baru, bahkan kian luas jangkauannya. Selain itu,
kemampuan perangkat hukum pun dinilai belum memadai untuk dapat menjerat
para pelaku semacam itu. Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim
(kini ditambah advokat) dilihat masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan
permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung
meneruskan proses peradilan mantan Presiden Soeharto, peradilan pelanggaran
HAM, serta peradilan para konglomerat hitam. Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat
untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber daya hukumnya secara
mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan. Walaupun begitu, pembaruan
hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Ilmu hukum Indonesia adalah suatu sistem pengetahuan yang mempelajari tentang
hukum-hukum terdapat di Indonesia, sehingga kita dapat mengenal tentang hukum
di Indonesia. Dari Makalah ini kita dapat mengetahui sejarah hukum di Indonesia
sehingga kita dapat lebih mendalami dan memahami tentang hukum secara singkat
dan jelas, yang kedepannya akan mendorong kita agar berhati-hati dalam
bertindak. Di dalam makalah ini juga telah diterangkan berbagai hukum yang
berlaku di Indonesia yang dilihat dari sejarah hukum Indonesia, sehingga kita dapat
mempunyai pedoman dan pengetahuan yang lebih tentang hukum.

Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia
http://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CDIQFjAA&url=http%3A%2F
%2Fimages.flowst.multiply.multiplycontent.com%2Fattachment
%2F0%2FTCB13QooC0sAABZH40c1%2FSejarah%2520Hukum%2520di
%2520Indonesia.doc%3Fkey%3Dflowst%3Ajournal%3A20%26nmid

%3D344912228&ei=PTOhT8vKOYnnrAey9JT1CA&usg=AFQjCNFjvTraBrafnYPEB6HD0
kYUCrQRkQ

SEJARAH HUKUM INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum
Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun
pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena
aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan
sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian
besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari’at
Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan.
Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam
perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturanaturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah
Nusantara.
Proses meneruskan segala bentuk sisa-sisa tertib hukum masa lalu di Indonesia
hingga dewasa ini sangat sulit dihindari karena lebih dari satu abad tatkala

Indonesia ini masih disebut Nederlandsch-Indië (Hindia Belanda) “telah berlangsung
proses introduksi dan proses perkembangan suatu sistem hukum asing ke/di dalam
suatu tata kehidupan dan tata hukum masyarakat pribumi yang otohton. Sistem
hukum asing yang dimaksud tidak lain adalah sistem hukum Eropa (khususnya
Belanda) yang berakar pada tradisi-tradisi hukum Indo-Jerman dan RomawiKristiani, dan yang dimutakhirkan lewat berbagai revolusi, mulai dari ‘Papal
Revolution’ hingga Revolusi kaum borjuis-liberal di Perancis pada akhir abad 19.
Sejalan dengan alur sejarah hukum Hindia Belanda yang banyak dipengaruhi oleh
perkembangan yang terjadi di masa VOC, Daendels, dan Raffles, berbagai
perbaikan penting diperkenalkan sesudah tahun 1848.Sejenis konstitusi, kitab-kitab
hukum baru, reorganisasi peradilan – sebagai akibat gelombang liberalisme yang
berasal dari Belanda.Di masa itu bahkan sempat diintroduksikan oleh pemerintah
jajahan bahwa penduduk Hindia Belanda dikelompokan ke dalam tiga golongan
penduduk. [1]
Hukum dapat dibagi dalam berbagai bidang, antara lain hukum pidana/hukum
publik,hukum perdata/hukum pribadi]], hukum acara, hukum tata negara, hukum
administrasi negara/hukum tata usaha negara, hukum internasional, hukum
adat, hukum islam,hukum agraria, hukum bisnis, dan hukum lingkungan.[2]

BAB II
PEMBAHASAN
1.

Periode Kolonialisme

Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC,
Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.
Periode VOC
Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk :
1. Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri
Belanda;
2. Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan
3) Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang
Eropa.
Periode liberal Belanda

Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut
RR 1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan
utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri
jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum
pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan
dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan
terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses
peradilan yang bebas.
Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini,
walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya.Namun, pembaruan hukum yang
dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan
kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek
eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi
oleh modal swasta.
Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang
Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan
awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah:
1) Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum;
2) Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi;
3) Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi;
4) Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas;
5) Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian
hukum. Hingga runtuhnya kekuasaan colonial.
Ø pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan[3]:
1) Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga
peradilan;
2) Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur
Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.
Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh
peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer
Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang
Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa perubahan perundang-undangan yang terjadi:
1) Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan
yang setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina;

2) Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan
pidana yang berlaku. Di bidang peradilan,
Dan pembaharuan yang dilakukan adalah:
1) Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan;
2) Unifikasi kejaksaan;
3) Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan;
4) Pembentukan lembaga pendidikan hukum;
5) Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum
dengan orang-orang pribumi.
2. Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal[4]

a. Periode Revolusi Fisik
Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di
dalam bidang peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi: 1)
Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan dengan melakukan penyederhanaan;
2) Mengurangi dan membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan swapraja,
kecuali badan-badan pengadilan agama yang bahkan dikuatkan dengan pendirian
Mahkamah Islam Tinggi.
b. Periode Demokrasi Liberal
UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia.Namun pada masa ini
pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah
dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi dan
mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan
ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang berjalan hanyalah
unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme
pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan
melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951
tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.
3. Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru

a. Periode Demokrasi Terpimpin
Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat
berpengaruh dalam dinamika hukum dan peradilan adalah:

1) Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badanbadan pengadilan di bawah lembaga eksekutif;
2) Mengganti lambang hukum ?dewi keadilan? menjadi ?pohon beringin? yang
berarti pengayoman;
3) Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara
langsung atas proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965;
4) Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali
sebagai rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang
lebih situasional dan kontekstual.
b. Periode Orde Baru
Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru
diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang
perundang-undangan, rezim Orde Baru ?membekukan? pelaksanaan UU Pokok
Agraria, dan pada saat yang sama membentuk beberapa undang-undang yang
memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah UU
Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde
baru juga melakukan: 1) Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif;
2) Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk
dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak ada perkembangan
yang baik dalam hukum Nasional.
4. Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)[5]

Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi
empat kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan
negara, beberapa pembaruan formal yang mengemuka adalah:
1) Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan;
2) Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia; dan
3) Pembaruan sistem ekonomi.
Penyakit lama orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh
mengakar pada masa pasca orde baru, bahkan kian luas jangkauannya.Selain itu,
kemampuan perangkat hukum pun dinilai belum memadai untuk dapat menjerat
para pelaku semacam itu. Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim
(kini ditambah advokat) dilihat masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan
permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung
meneruskan proses peradilan mantan Presiden Soeharto, peradilan pelanggaran
HAM, serta peradilan para konglomerat hitam. Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat

untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber daya hukumnya secara
mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan.Walaupun begitu, pembaruan
hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.
Hokum di Indonesia itu sendiri di bagi menjadi beberapa hokum yaitu hukum
perdata, hukum publik, hukum pidana, hukum acara, hukum tata negara, hukum
internasional.
Dan berikut merupakan beberapa pengertian dari macam-macam hokum di atas
1. Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara
individu-individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata
disebut juga hukum privat atau hukum sipil. Dan salah satu contoh dari hokum
perdata adalah masalah keluarga
macam-macam dari hokum perdata adalah hokum benda , hokum keluarga , hokum
waris dan hokum lainnya.
2. Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara subjek hukum
dengan pemerintah.atau Hukum publik adalah hukum yang mengatur kepentingan
masyarakat
3. Hukum pidana adalah Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang
oleh undang-undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi barang siapa yang
melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam
undang-undang pidana
4. Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara agar hukum
(materiil) itu terwujud atau dapat diterapkan/dilaksanakan kepada subyek yang
memenuhi perbuatannya .
5. Hukum internasional adalah Hukum yang mengatur tentang hubungan hukum
antar negara satu dengan negara lain secara internasional, yang mengandung dua
pengertian dalam arti sempit dan luas.[6]

BAB III
PENUTUP

Sebagai penutup, berikut ini disajikan beberapa simpulan serta rekomendasi.
Kondisi apa pun yang terjadi pada saat ini, baik dalam proses pembelajaran maupun
dalam penegakan hukum di Indonesia, tentu saja tidak dapat dilepaskan dari
rangkaian peristiwa serta kondisi objektif masa lalu sebagai latar belakang.
Keinginan kuat untuk memodernisasikan hukum di Indonesia yang merdeka dan

berdaulat, merupakan salah satu alasan memilih untuk melanjutkan keadaan serta
sistem hukum masa kolonial.Pertimbangan itu diambil karena untuk memilih hukum
rakyat Indonesia sendiri juga dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah, sebab
hukum rakyat di samping tidak tertulis juga sangat pluralistik adanya.Oleh sebab
itu, setelah melalui serangkaian pengkajian dan pertimbangan, keputusan memilih
untuk menggunakan hukum tertulis dengan sistem kodifikasi sebagai pelanjutan
keadaan (status quo) masa kolonial, semata-mata didasarkan pada pertimbangan
segi kepraktisan dan kepastian. Setelah melampaui proses pengujian melalui
perjalanan waktu,penggunaan hukum tertulis yang dipositipkan penguasa itu
ternyata
tidak selalu sesuai dengan harapan masyarakat yang mencari keadilan.
Keadilan yang diberikan oleh para penegak hukum dirasakan hanya
sebatas keadilan hukum (legal justice) dan sama sekali tidak menyentuh
rasa keadilan masyarakat (substantial justice). Akibatnya,penegakan hukum di
negeri ini tampak jelas carut marutnya. Oleh karena yang terjadi adalah
“penegakan hukum semu” (pseudo law enforcement).
Suatu keadaan dimana seolah-olah telah dilakukan penegakan hukum,
padahal sesungguhnya aparat penegak hukum sama sekali tidak melakukan apa
pun yang sesuai dengan harapan masyarakat. Seruan untuk menggalang kekuatan
dalam wadah gerakan moral yang disebut “kekuatan hukum progresif “ sebagai
sebuah kekuatan hokum anti-status quo sesungguhnya merupakan respons
terhadap keadaan pseudo law enforcement tadi. Tanpa menafikan kehadiran hokum
positif, kekuatan hukum progresif harus diberi makna yang lebih makro. Artinya,
sebagai suatu gerakan moral dari sejumlah kekuatan yang dapat terdiri atas para
ahli hukum (baik sebagai pendidik, aparatur penegak hukum, maupun birokrat),
mereka harus bersatu untuk secara pro-aktif mengupayakan agar proses
pendidikan, pengembangan,
maupun penegakan hukum di Indonesia berpihak dan mengutamakan keadilan bagi
sebanyak-banyaknya rakyat Indonesia. Semua itu hanya mungkin dapat dilakukan
secara berkesinambungan apabila tunas-tunas bangsa yang sedang dipersiapkan
untuk menjadi ahli hukum di masa-masa mendatang juga diubah proses
pembelajarannya. Adalah conditio sine qua non terhadap mereka caloncalon sarjana
hukum Indonesia masa depan itu pembelajarannya dilengka