Pola Pendampingan Dalam Memberikan Bantuan Hukum Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Anak Dalam Proses Pemeriksaan Dalam Tingkat Penyidikan (Studi di Polsek Padang Tualang Kabupaten Langkat)

(1)

POLA PENDAMPINGAN DALAM MEMBERIKAN BANTUAN

HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN

ANAK DALAM PROSES PEMERIKSAAN DALAM TINGKAT

PENYIDIKAN

(Studi Di Polsek Padang Tualang Kabupaten Langkat)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

AYU ANANDA TARIGAN NIM : 090200023

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

POLA PENDAMPINGAN DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM TERHADAP TINDAK PINDANA YANG DILAKUKAN ANAK

DALAM PROSES PEMERIKSAAN DALAM TINGKAT PENYIDIKAN

(Studi di Polsek Padang Tualang Kabupaten Langkat)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Disusun Oleh : AYU ANANDA TARIGAN

NIM : 090200023

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan, S.H.,M.H. NIP : 195703261986011001

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Madiasa Ablisar, S.H.,M.S. Nurmalawati, S.H.,M.Hum.

NIP : 196104081986011002 NIP : 196209071988112001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAKSI

Ayu Ananda Tarigan*

Dr. Madiasa Ablisar, SH, M.S**

Nurmalawaty, SH, M.Hum***

Bantuan hukum merupakan masalah yang terkait dengan hak-hak asasi manusia, terutama dari segi memperoleh pemerataan keadilan. Bantuan hukum dipergunakan sebagai syarat untuk berjalannya fungsi maupun integritas peradilan yang baik bagi mereka yang termasuk golongan miskin menurut hukum yang berlaku, dengan berdasarkan jiwa kemanusian. Permasalahan yang timbul adalah bagaimana pengaturan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana hukum positif Indonesia dan bagaimana pola pemberian bantuan hukum terhadap anak dalam proses penyidikan di Polsek Padang Tualang.

Metode pendekatan yang dilakukan penelitian ini adalah metode penelitian normatif dan metode penelitian sosiologis. Metode penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan berdasarkan studi kepustakaan serta analisa terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan. Metode penelitian sosiologis yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara penerapan dalam praktek dilapangan.

Pengaturan Hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia, termasuk penghormatan terhadap hak tersangka, menegenai pengaturan pemberian bantuan hukum ini diatur didalam beberapa peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yaitu Pasal 56 Ayat 1 dan Ayat 2 KUHAP. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yaitu Pasal 51 Ayat 1 tentang Pengadilan anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 yaitu Pasal 3 poin C tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pola pemberian bantuan hukum terhadap Anak diKepolisian Sektor Padang Tulang Kabupaten Langkat ini, bahwa setiap seorang tersangka anak sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasehat Hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang, diberikan oleh Pihak Kepolisian Sektor Padang Tualang kepada seorang tersangka anak untuk memperoleh hak bantuan hukum seperti yang diatur didalam Perundang-Undangan, hal ini sesuai dengan Pasal 51 Ayat 1 Undang-Undang tentang Pengadilan Anak.

      

*

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara  

** Pembimbing I Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara  

***


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, kesabaran dan ketabahan sehingga skripsi ini dapat selesai dikerjakan.

Dalam hal penulisan skripsi ini penulis mengambil judul “Pola Pendampingan Dalam Memberikan Bantuan Hukum Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Anak Dalam Proses Pemeriksaan Dalam Tingkat

Penyidikan (Study Di Polsek Pdang Tualang Kabupaten Langkat)”. Adapun

maksud dan tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi kewajiban dan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum dalam Ilmu Hukum Departemen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini penulis mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada Ayahanda Robah Tarigan dan Ibunda Asrah Siregar serta kakak-abang dan beserta keluarga lainnya yang telah memberikan kasih sayang, dukungan dan do’a-nya.

Dengan segala kerendahan hati penulis juga mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan setinggi-tingginya atas bantuan, bimbingan, nasehat, kritik, serta saran sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, kepada :


(5)

1. Bapak Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; Bapak Syafruddin Hasibuan,

SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan II fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara; dan Bapak M. Husni, SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. H. Muhammad Hamdan, SH. M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu ,Liza Erwina, SH. M.Hum. Selaku Seketaris Departemen Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. MadiasaAblisar, SH. M.S dan Ibu Nurmalawaty SH.M.Hum

selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah banyak memberikan sumbangan baik bimbingan, waktu, keterangan, dan nasehat sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisannya.

6. Ibu Megarita, SH. C.N Selaku dosen Pembimbing akademik yang telah

banyak memberikan nasehat serta bimbingannya dalam hal akademik selama penulis menjalani pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah

mendidik, mengasuh, dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Unversitas Sumatera Utara.


(6)

8. Seluruh Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas pelayanannya dan bantuannya selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Bapak AKP H. M. Kosim S, selaku Kepala Kepolisian Sektor Padang Tualang Kabupaten Langkat beserta personil di Polsek Padang Tualang yang telah membantu saya dalam penulisan skripsi.

10. Seluruh rekan dan sahabat ku, terutama Yulistia, Kania, Rabithah, Rami

Papha Pm, Oky Wiratama,Andini Pratiwi, Natalia Gracia, dan Cristina

Waruhu yang telah banyak memberikan doa, saran, semangat serta waktu

dan tenaganya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

10.Seluruh pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu persatu penulis ucapkan banyak terimakasih.

Semoga amal dan kebaikan saudara-saudara semua mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT.

Akhirnya, penulis menyadari penulisan skripsi yang sederhana ini terdapat banyak kekurangan dan tidak sempurna. Dengan segala kerendahan hati penulis dengan hati menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun guna perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan, Amin.

Medan, Januari 2012

Penulis


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

ABSTRAKSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 12

D. Keaslian Penulisan ... 13

E. Tinjauan Kepustakaan ... 14

1. Pengertian Bantuan Hukum ... 14

2. Pengertian Anak ... 17

a. Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ... 18

b. Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ... 20

c. Menurut KUHPerdata ... 21


(8)

3. Pengertian Penyidikan ... 22 F. Metode Penelitian ... 24 G. Sistematika Penulisan ... 27

BAB II : PENGATURAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

A. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ... 29

B. Menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997

Tentang Pengadilan Anak ... 38

C. Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak ... 47

D. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak... 52

BAB III : POLA PEMBERIAN BANTUAN HUKUM

TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR DALAM PROSES PENYIDIKAN DI POLSEK PADANG TUALANG KABUPATEN LANGKAT

A. Proses Penyidikan di Polsek Padang Tualang

Kabupaten Langkat ... 58 B. Pola Pemberian Bantuan Hukum terhadap anak di

bawah umur dalam proses penyidikan ... 66

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 73 B. Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

ABSTRAKSI

Ayu Ananda Tarigan*

Dr. Madiasa Ablisar, SH, M.S**

Nurmalawaty, SH, M.Hum***

Bantuan hukum merupakan masalah yang terkait dengan hak-hak asasi manusia, terutama dari segi memperoleh pemerataan keadilan. Bantuan hukum dipergunakan sebagai syarat untuk berjalannya fungsi maupun integritas peradilan yang baik bagi mereka yang termasuk golongan miskin menurut hukum yang berlaku, dengan berdasarkan jiwa kemanusian. Permasalahan yang timbul adalah bagaimana pengaturan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana hukum positif Indonesia dan bagaimana pola pemberian bantuan hukum terhadap anak dalam proses penyidikan di Polsek Padang Tualang.

Metode pendekatan yang dilakukan penelitian ini adalah metode penelitian normatif dan metode penelitian sosiologis. Metode penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan berdasarkan studi kepustakaan serta analisa terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan. Metode penelitian sosiologis yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara penerapan dalam praktek dilapangan.

Pengaturan Hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia, termasuk penghormatan terhadap hak tersangka, menegenai pengaturan pemberian bantuan hukum ini diatur didalam beberapa peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yaitu Pasal 56 Ayat 1 dan Ayat 2 KUHAP. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yaitu Pasal 51 Ayat 1 tentang Pengadilan anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 yaitu Pasal 3 poin C tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pola pemberian bantuan hukum terhadap Anak diKepolisian Sektor Padang Tulang Kabupaten Langkat ini, bahwa setiap seorang tersangka anak sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasehat Hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang, diberikan oleh Pihak Kepolisian Sektor Padang Tualang kepada seorang tersangka anak untuk memperoleh hak bantuan hukum seperti yang diatur didalam Perundang-Undangan, hal ini sesuai dengan Pasal 51 Ayat 1 Undang-Undang tentang Pengadilan Anak.

      

*

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara  

** Pembimbing I Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara  

***


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa yang akan datang, yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara seimbang.

Secara hukum negara Indonesia telah memberikan perlindungan kepada anak melalaui berbagai peraturan perundang-undangan di antaranya UU Nomor.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Nomor.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Akan tetapi dalam pelaksanaannya sistem peradilan pidana anak di Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan. Persoalan yang ada diantaranya dilakukannya penahanan terhadap anak, proses peradilan yang panjang mulai dari penyidikan, penuntutan, pengadilan, yang pada akhirnya menempatkan terpidana anak berada dalam lembaga pemasyarakatan yang meninggalkan trauma dan implikasi negatif terhadap anak.1

Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang baik orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah maupun negarara. Pasal 20 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menentukan: “Negara, pemerintah,

      

1

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembngan Konsep Diversi dan Restorative Justice,cet.Pertama,PT Refika Aditama,Medan,2009,hal.1 


(11)

masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.”2

Aspek hukum perlindungan anak perlu diperhatikan karena perlindungan hukum terhadap anak dan peradilan pidana anak merupakan salah satu cara melindungi anak dalam pertumbuhannya di masa depan. Perlindungan hukum, dalam hal ini, mengandung pengertian perlindungan anak berdasarkan ketentuan yang berlaku ( yang mengatur tentang Peradilan Pidana Anak ), baik sebagai tersangka, terdakwa, terpidana/narapidana.

Secara khusus ketentuan yang mengatur masalah hukum pidana anak, ditetapkan dalam undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dibentuknya undang-undang tentang Pengadilan Anak, antara lain karena disadari bahwa walaupun kenakalan anak merupakan perbuatan anti sosial yang dapat meresahkan masyarakat, namun hal tersebut diakui sebagai suatu gejala umum yang harus diterima sebagai fakta sosial.

perlakuan terhadap anak nakal seyogianya berbeda dengan perlakuan terhadap orang dewasa. Anak yang melakukan kenakalan berdasarkan perkembangan fisik, mental maupun sosial mempunyai kedudukan yang lemah dibandingkan dengan orang dewasa, sehingga ditangani secara khusus. Anak nakal perlu dilindungi dari tindakan-tindakan yang dapat menghambat perkembangannya, sehingga dalam penanganannya perlu dibuat hukum pidana secara khusus, baik menyangkut hukum pidana materil, hukum idana formal, maupun hukum pelaksanaan pidanya.

      

  2

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Anak Di Indonesia, Cet. Pertama, PT Refika Aditama, Bandung, 2008, hal. 43


(12)

Mengenai perjalannya pengaturan masalah hukum pidana anak mengalami perkembangan. Pada tahun 1997 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dengan segala kelemahan dan kekurangannya. Khususnya menyangkut pengaturan masalah pemidanaan, secara subtansial Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tampak tidak terdapat perubahan yang sangat mendasar.3

Mengenai Peradilan Pidana Anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 ditentukan Bahwa Hukum Acara yang berlaku diterapkan pula dalam Hukum Acara Pengadilan Anak, kecuali ditentukan lain. Dengan demikian, adanya undang-undang tentang Pengadilan Anak merupakan salah Satu pengembangan atau pembaharuan dalam sistem pemidanaan.

Proses Peradilan Pidana Anak mulai dari Penyidikan, Penuntutan, Pengadilan, dan dalam menjalankan putusan Pengadilan, di Lembaga Pemasyarakatan Anak Wajib dilakukan oleh pejabat-pejabat yang terdidik khusus atau setidaknya mengetahui tentang masalah Anak Nakal. Perlakuan selama proses Peradilan Pidana Anak harus memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan anak dan tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat anak tanpa mengabaikan terlaksananya keadilan, dan bukan membuat nilai kemanusian anak menjadi rendah.4

Sesuai Pasal 51 Ayat 1 Undang-Undang Pengadilan Anak, setiap Anak sejak sitangkap atau ditahan, berhak mendapat bantuan hukum dari dari seorang

      

  3

Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Cet pertama, Penerbit PT Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hal. 82-83 

  4


(13)

atau lebih Penasehat Hukum. Bantuan hukum itu diberikan selama dalam waktu dan setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang telah ditentukan. Menurut ketentuan Pasal 51 undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 ditentukan bahwa setiap anak nakal sejak ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasehat Hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan kemudian pejabat tersebut wajib memberitahukan kepada tersangka atau orang tua, wali, atau orang tua asuh mengenai hak memperoleh bantuan hukum dan berhubungan dengan penasehat hukum dengan diawasi tanpa didengar oleh pejabat yang berwenang.

Ketentuan ini senada dengan Pasal 56 KUHAP yang hanya mewajibkan seorang tersangka/terdakwa didampingi penasehat hukum, apabila diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun atau lebih. Sebaliknya Undang-Undang Pengadilan Anak tidak mengatur adanya kewajiban terhadap tersangka/terdakwa anak didampingi Penasehat Hukum pada tingkat penyidikan ataupun penuntutan. Padahal ketika Rancangan Undang-Undang Peradilan Anak, tadinya dimaksudkan agar pada setiap tingkat pemeriksaan anak “wajib” didampingi Penasehat Hukum, tetapi kemudian ketentuan wajib itu diubah menjadi “berhak” ketika Undang-Undang Pengadilan Anak diterbitkan.5

Pengadilan anak menurut UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merupakan pengkhususan dari sebuah badan peradilan, yaitu peradilan umum untuk menyelenggarakan pengadilan anak. Akibatnya dalam pengadilan tidak mencerminkan peradilan yang lengkap bagi anak, melainkan hanya mengadili

      

  5 Nasriana, 

Perlindungan Hukum Pidana bagi anak di Indonesia, Cetakan kedua, Penerbit 


(14)

perkara pidana anak. Tujuan dari sistem peradilan pidana yakni resosialiasi serta rehabilitasi anak (reintegrasi) dan kesejahteraan sosial anak tidak melalui keadilan restoratif dan diversi tidak menjadi substansi undang-undang tersebut. Anak dipersonifikasikan sebagai orang dewasa dalam tubuh kecil sehingga kecenderungannya jenis sanksi yang dijatuhkan pada perkara anak masih didominasi sanksi pidana dari pada sanksi tindakan. Konsekuensi logisnya, jumlah anak yang harus menjalani hukum di lembaga pemasyarakatan semakin meningkat.

Berkenaan dengan istilah sistem peradilan pidana atau criminal justice

system tidak terpisah dari istilah sistem yang digambarkan oleh Davies et.al

sebagai “the word system conveys an impression of a complec to end” artinya bahwa kata system menunjukkan adanya suatu kesan dari objek yang komplek lainnya dan berjalan dari awal sampai akhir, oleh karena itu dalam mewujudkan tujuan sistem tersebut ada empat instansi yang terkait yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Keempat komponen tersebut harus bekerja sama secara terpadu (Integrated Criminal Justice Administration).6

Polisi selaku penyidik melakukan penyidikan termasuk penyelidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Jaksa selaku penuntut umum melakukan penuntutan berdasarkan hasil penyidikan yang disampaikan oleh penyidik. Hakim atas dasar dakwaan penuntut umum melakukan pemeriksaan dalam sidang pengadilan.

      

  66

http://“Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pada Tahap Penyidikan “, Diakses Kamis, 29 Agustus 2012

   


(15)

Proses menangani perkara anak nakal maka tingkat penyidikan dilakukan oleh penyidik anak. Menurut ketentuan Pasal 41 ayat (1) undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 penyidik anak ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

Suatu pelaksanaan kewajiban penyidikan anak tersebut, maka penanganan proses penyidikan perkara anak nakal penyidik wajib merahasiakannya, kemudian memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan serta wajib meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya (pasal 42 ayat (1), (2),(3) UU 3/1997 Undang-Undang tentang Pengadilan Anak).

Pelaksanaan kewajiban tersebut penyidik anak dapat melakukan penangkapan dan penahan. Penangkapan dilakukan penyidik guna kepentingan pemeriksaan paling lama 1 (satu) hari dan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (pasal 43 ayat (2) UU 3/1997 tentang Pengadilan Anak, pasal 17 UU 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Menghadapi dan menangani proses peradilan anak yang terlibat tindak pidana, maka hal yang pertama yang tidak boleh dilupakan adalah melihat kedudukannya sebagai anak dengan semua sifat dan ciri-cirinya yang khusus, dengan demikian orientasi adalah bertolak dari konsep perlindungan terhadap anak dalam proses penangannya sehingga hal ini akan berpijak pada konsep kejahteraan anak dan kepentingan anak tersebut. Penanganan anak dalam proses


(16)

hukumnya memerlukan pendekatan, pelayanan, perlakuan, perawatan serta perlindungan yang khusus bagi anak dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

Menurut Retnowulan Sutianto perlindungan anak merupakan suatu bidang Pembangunan Nasional, melindungi anak adalah melindungi manusia, dan membangun manusia seutuh mungkin. Hakekat Pembangunan Nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur. Mengabaikan masalah perlindungan anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan nasional. Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang dapat mengganggu penegakan hukum, ketertiban, keamanan, dan pembangunan nasional. Maka, ini berarti bahwa perlindungan anak harus diusahakan apabila kita ingin mengusahakan pembangunan nasional yang memuaskan.7

Pada dasarnya, hukum acara pengadilan anak untuk tahap penyidikan terhadap anak nakal dilakukan oleh penyidik yang ditetepkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisan RI dan diangkat dengan syarat telah berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa dan mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak serta penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan serta meminta pertimbangan atau sarana dari pembimbing kamasyarakatan serta meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan serta meminta pertimbangan atau saran dari

      

  7

http://“Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pada Tahap Penyidikan “, Diakses Kamis, 29 Agustus 2012


(17)

pembimbing kemasyarakatan dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya serta proses penyidikan terhadap anak nakal wajib di rahasian (pasal 41 ayat (1), (2) , pasal 42 ayat (1), (2) UU 3/1997 tentang Pengadilan Anak ) dan dalam rangka penyidikan penyidik berhak melakukan penangkapan dan penahanan ( pasal 41, 42, 43-45 UU 3/1997 tentang Pengadilan Anak).

Sedangkan dalam proses penuntutan oleh pihak kejaksaan dimana Penuntutan Umum anak tersebut mempunyai hak dan kewajiban sesuai ketentuan pasal 46, 53, 54, UU 3/1997 tentang pengadilan anak, pasal 137-146 UU 8/1981 kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan kemudian pada hukum acara di depan sidang pengadilan berlandaskan kepada ketentuan pasal 47, pasal 55-59 UU 3/1997 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.

Keempat institusi pilar sistem peradilan pidana anak telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri sebagai landasan yuridis bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan kewenangannya. Perlindungan dalam proses penyidikan kepada anak terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah sebagai bentuk perhatian dan perlakuan khusus untuk melindungi kepentingan anak. Perhatian dan perlakuan khusus tersebut berupa perlindungan hukum agar anak tidak menjadi korban dari penerapan hukum yang salah yang dapat menyebabkan penderitaan mental, fisik dan sosialnya. Perlindungan terhadap anak sudah diatur dalam ketentuan hukum mengenai anak.


(18)

Proses tahapan penyidikan anak nakal, tidak hanya sekedar mencari bukti serta penyebab kejadian, tetapi juga diharapkan dapat mengetahui latar belakang kehidupan anak tersebut sebagai pertimbangan dalam menentukan tuntutan terhadap tersangka. Perkara pidana yang dilakukan oleh anak-anak pada umumnya ketentuan yang dilanggar adalah peraturan pidana yang terdapat dalam KUHP, maka penyidikannya dilakukan oleh penyidik umum dalam hal ini penyidik Polri.

Sejalan akan dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, telah dipertegas bahwa penyidikan terhadap perkara anak nakal dilakukan oleh penyidik Polri dengan dasar hukum tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan yang pada intinya menyebutkan bahwa ”penyidikan terhadap perkara anak dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kapolri”. Meskipun penyidiknya penyidik Polri, akan tetapi tidak semua penyidik Polri dapat melakukan penyidikan terhadap perkara anak nakal. Undang – Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dikenal adanya penyidik anak, yang berwenang melakukan penyidikan. Penyidik anak diangkat oleh Kapolri dengan Surat Keputusan Khusus untuk kepentingan tersebut. Undang – Undang Sistem Peradilan Pidana Anak melalui Pasal 26 Ayat (3) menetapkan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh seorang Penyidik adalah :

1. Telah berpengalaman sebagai penyidik;

2. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak. 3. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak


(19)

Perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan dilakukan dimulai semenjak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan sampai pada pelaksanaan putusan pengadilan tersebut. Selama proses peradilan tersebut , maka hak-hak anak wajib dilindungi oleh hukum yang berlaku dan oleh sebab itu harus dilakukan secara konsekuen oleh pihak-pihak terkait dengan penyelesaian masalah anak nakal tersebut.

Penyidikan itu sendiri, berarti serangkaian tindakan penyidik, dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya, sedangkan ”bukti”, dalam ketentuan tersebut di atas adalah meliputi alat bukti yang sah dan benda sitaan/barang bukti. Di Indonesia, masalah kewenangan dan ketentuan mengenai ”Penyidikan” diatur di dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menjadi dasar hukum pidana formil di Indonesia. Ketentuan mengenai aparat yang berwenang untuk melakukan penyidikan, selain diatur di dalam KUHAP, juga diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan lain di luar KUHAP.

Menangani perkara Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara.


(20)

Ketentuan ini, mencerminkan perlindungan hukum pada anak, apabila penyidik tidak melakukan pemeriksaan dalam suasana kekeluargaan, tidak ada sanksi hukum yang dapat dikenakan kepadanya. Dalam melakukan penyidikan anak nakal, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya. Laporan penelitian kemasyarakatan, dipergunakan oleh penyidik anak sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan tindakan penyidikan, mengingat bahwa anak nakal perlu mendapat perlakuan sebaik mungkin dan penelitian terhadap anak dilakukan secara seksama oleh peneliti kemasyarakatan (Bapas), agar penyidikan dapat berjalan dengan lancar.

Proses penyidikan anak nakal, wajib dirahasiakan, tindakan penyidik berupa penangkapan, penahanan, dan tindakan lain yang dilakukan mulai dari tahap penyelidikan hingga tahap penyidikan, wajib dilakukan secara rahasia. Berdasarkan penyidikan yang dilakukan terhadap anak maka harus diperhatikan hak – hak serta kewajiban anak walaupun telah ditetapkan sebagai tersangka sekalipun. Salah satu hak yang harus didapatkan terhadap anak nakal ialah hak untuk di dampingi oleh penasehat hukum baik dari penyidikan bahkan sampai kepersidangan.

Keadaan persidangan berbeda dengan terdakwa yang sudah dewasa, untuk perkara anak selama persidangan digelar. Pengadilan anak menghendaki terdakwa didampingi oleh penasehat hukum, orang tua, wali atau orang tua asuh, dan pembimbing kemasyarakatan. Mereka memiliki peranan masing-masing untuk


(21)

penasehat hukum/advokat mempunyai kedudukan yang berbeda dengan orang tua, wali atau pembimbing kemasyarakatan. Penasehat hukum atau advokat mempunyai fungsi membela kepentingan hukum terdakwa/anak nakal dipersidangan juga berperan aktif dalam rangka mengungkapkan kebenaran materiil terhadap perkara yang dihadapi oleh terdakwa/anak nakal.

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah “ Pola Pendampingan Dalam Memberikan Bantuan Hukum Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Anak Dalam Proses Pemeriksaan Dalam Tingkat Penyidikan (Studi di Polsek Padang Tualang Kabupaten Langkat)”.

B. PERMASALAHAN

Bertitik Tolak dari uraian latar belakang tersebut diatas ada beberapa masalah yang akan menjadi pembahasan dalam penulisan skripsi ini, yaitu :

1. Bagaimana pengaturan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana menurut Hukum positif Indonesia?

2. Bagaimana pola pemberian bantuan hukum terhadap anak dalam proses Penyidikan di Polsek Padang Tualang Kabupaten Langkat?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan

Berdasarkan permasalahan yang dipilih di atas tujuan yang ingin dicapai adalah :

a) Mengetahui Pengaturan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana menurut Hukum Positif di Indonesia


(22)

b) Mengetahui pola pemberian bantuan hukum oleh penasehat hukum dalam proses penyidikan di Polsek padang tualang kabupaten langkat.

2. Manfaat Penulisan

Penelitian yang dilakukan ini di harapkan hasilnya dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis.

a) manfaat teoritis dimaksudkan hasil dari penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum pidana, khususnya dalam hukum pidana mengenai pendampingan dalam memberikan bantuan hukum terhadap tindak pidana yang dilakukan anak dalam proses pemeriksaan dalam tingkat penyidikan.

b) manfaat praktis dimaksudkan hasilkan dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada dalam hukum pidana yang menyangkut tentang pendampingan dalam memberikan bantuan terhadap tindak pidana yang dilakukan anak dalam proses pemeriksaan dalam tingkat penyidikan.

D. Keaslian Penulisan

Topik permasalan di atas sengaja dipilih dan di tulis, oleh karena sepengetahuan penulis, pokok pembahasan ini adalah sebagai salah satu subsistem dari sistem peradilan pidana yang sering yang sering di persoalkan mengengenai pendampingan dalam memberikan bantuan hukum terhadap tindak pidana yang dilakukan anak dalam proses pemeriksaan dalam tingkat penyidikan,karena pendampingan dalam memberikan bantuan hukum mempunyai kedudukan yang penting dalam sistem peradilan pidana.


(23)

Walaupun ada, pengamatan penulis berbeda dalam subtansi pembahasan, pendekatan dan penulisannya dalam skripsi ini, permasalahan terhadap Pola Pendampingan Dalam Memberikan Bantuan Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Anak Dalam Proses Pemeriksaan Dalam Tingkat Penyidikan khususnya Studi Di Polsek Padang Tualang Kabupaten langkat ini, bahwa dalam permasalahan ini adalah murni hasil pemikiran yang dikaitkan dengan teori-teori hukum melalui referensi buku-buku dan bantuan dari berbagai pihak dalam rangka melengkapi tugas akhir dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulisan skripsi dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan dan disamping itu juga diadakan penelitian.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Bantuan Hukum

Pengertian Bantuan Hukum menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum terdapat didalam Bab 1 Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi : “Bantuan Hukum adalah jasa Hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.”

Ketentuan dalam Pasal 8 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, dimana seorang tertuduh wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Karena pentingnya maka diadakan undang-undang tersendiri tentang bantuan hukum.


(24)

Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Pasal 1 Butir 9 dijelaskan bahwa “bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu.

Bantuan hukum adalah hak dari orang miskin yang dapat diperoleh tanpa bayar (pro bono publico) sebagai penjabaran persamaan hak dihadapan hukum, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 34 UUD 1945 yang menegaskan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar merupakan tanggung jawab Negara. Prinsip persamaan dihadapan hukum (equality before the law) dan hak untuk dibela Advokat(acces to legal counsel) adalah hak asasi manusia yang perlu dijamin dalam rangka tercapainya pengentasan masyarakat Indonesia dari kemiskinan.8

Menurut pendapat K. Smith dan DJ. K. Santoso Poedjosoebroto menyatakan bantuan hukum legal aid adalah :9 “Bantuan hukum (baik yang berbentuk pemberian nasehat hukum, maupun yang berupa menjadi kuasa dari pada seseorang, yang berpekara) yang diberikan kepada orang yang tidak mampu ekonominya, sehingga ia tidak dapat membayar biaya (honorarium) kepada seorang pembela atau pengacara’.

Selain itu juga bantuan hukum merupakan bantuan yang diberikan para ahli kepada mereka yang memerlukan perwujudan atau realisasi dari hak-haknya serta memperoleh perlindungan hukum.

               8

Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Cetakan Pertama, Penerbit PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2000, hal. 1 

9

Soerjono Soekamto, Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosio Yuridis, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta 1985, hal. 21 


(25)

Jenis-jenis bantuan hukum secara umum dapat dibedakan atas beberapa bagian antara lain :10

1. Bantuan hukum preventif (prevetive rechsthulp) yang merupakan penerangan dan penyuluhan hukum kepada warga masyarakat luas.

2. Bantuan Hukum diagnotie (diagnotie rechshulp) yaitu pemberian nasihat hukum yang lazim disebut pemberian hukum konsultasi hukum.

3. Bantuan hukum pengendalian konflik (conflik regulerense rechtshulp) yang merupakan bantuan hukum yang bertujuan untuk masalah-masalah hukum konkrit secara aktif. Bantuan hukum semacam ini yang disebut bantuan hukum bagi masyarakat yang kurang mampu secara sosial ekonomi.

4. Bantuan hukum pembentukan hukum (rechtsvormende rehtshulp) yang intinya adalah untuk memancing yurisprudiensi yang lebih tepat, jelas dan benar.

Bantuan hukum pembaharuan hukum (rechtsverniewende rechtshulp) yang mencakup usaha-usaha untuk mengadakan pembaharuan hukum melalui hakim atau pembentukan undang-undang (dalam arti materi).11

      

  10

Ibid.hal. 27

11 ibid 


(26)

2. Pengertian Anak

Pengelompokan pengertian anak, memiliki aspek yang sangat luas. Berbagai makna terhadap anak, dapat diterjemahkan untuk mendekati anak secara benar menurut sistem kepentingan agama, hukum, sosial, dari masing-masing bidang. Pengertian anak dari berbagai cabang ilmu akan berbeda-beda secara substansial, fungsi, makna, dan tujuan. Sebagai contoh, dalam agama Islam pengertian anak sanagt berbeda dengan pengertian anak yang dikemukakan bidang disiplin ilmu hukum hukum, sosial, ekonomi, politik dan hankam.

Ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian “anak” dimata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaring atau

person under age), orang yang di bawah umur atau keadaan di bawah umur

(minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di

bawah pengawasan wali (minderjarige onvervoodij). Maka dengan bertitik tolak kepada aspek tersebut diatas ternyata hukum positif Indonesia tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dengan berlaku universal untuk menentukan kretia batasan umur bagi seorang anak.12

Pada tingkat Internasional tidak terdapat keseragaman dalam perumusan batasan tentang anak, tingkatan umur seseorang dikategorikan sebagai anak antara satu negara dengan negara lain cukup beraneka ragam yaitu : Dua puluh tujuh negara bagian di Amerika Serikat menentukan batasan umur antara 8-17 tahun, ada pula negara bagian lain yang menentukan batas umur antara 8-16. Di Inggris

      

  12

Romli Atmasasnnita, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, Armico,Bandung,1983, hal.18

     


(27)

ditentukan batas umur antara 12-16 tahun. Australia, dikebanyakan negara bagian menentukan batas umur antara 8-16 tahun. Negeri Belanda menentukan batas umur antara 12-18 tahun. Negara Asia antara lain : Srilanka menentukan batas umur antara 8-16 tahun, Iran 6-18 tahun, Jepang dan Korea menentukan batas umur antara 14-18 tahun, Kamboja menentukan antara 15-18 tahun sedangkan Negara Asean antara lain Filipina menentukan batasan umur antara 7-16 tahun.13

Apabila dijabarkan lebih intens, detail dan terperinci maka ada beberapa batasan umur dari hukum positif Indonesia tentang batasan umur bagi seorang anak, yaitu :

1. Menurut Undang-Undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Menurut Undang-Undang No 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang dimaksud dengan anak yang belum dewasa terdapat didalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Pengadilan Anak. Yang menyebutkan anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan ) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Yang dimaksudkan Anak Nakal sebagai berikut:

a. anak yang melakukan tindak pidana;

b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat bersangkutan.

Anak dalam pengertian pidana pidana, lebih diutamakan pemahaman terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi, karena secara kodrat memiliki

      

13


(28)

substansi yang lemah (kurang) dan dalam sistem hukum dipandang sebagai subjek hukum yang dicangkokkan dari bentuk pertanggungjawaban, sebagaimana layaknya seorang subjek hukum yang normal. Anak dalam status hukum pidana akan menjadi mekanisme sentral untuk membangun pengertian Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak (HPA), secara sistematis dengan keterikatan pada aspek-aspek hukum baik yang menyangkut hak-hak keperdataan, hak-hak ketatanegaraan atau hak-hak secara adat pada umumnya.

Pada hakekatnya, kedudukan status pengertian anak dalam hukum pidana meliputi dimensi-dimensi pengertian berikut ini:14

a. ketidak mampuan untuk pertanggungjawaban tindak pidana.

b. pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubstitusikan hak-hak anak yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tata negara dengan maksud untuk mensejahterakan anak;

c. rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapat proses perbaikan mental spritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan anak itu sendiri;

d. hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan; e. hak anak-anak dalam proses hukum acara pidana;

Berbagai kriteria untuk batasan usia anak pada dasarnya adalah pengelompokan usia maksimum sebagai perwujudan kemampuan seorang anak dalam status hukum sehingga anak tersebut akan beralih status menjadi usia dewasa atau menjadiseorang subyek hukum yang dapat bertanggungjawab secara

      

  14

Maulana Hassan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Cetakan Pertama, Penerbit PT Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 21-22


(29)

mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindaka hukum yang dilakukan oleh anak itu.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa indikator untuk mengatakan bahwa seseorang telah dikatakan telah dewasa adalah bahwa ia dapat melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa bantuan orang lain baik orang tua maupun wali. Berdasarkan penjelasan-penjelasan beberapa peraturan perundang-undangan diatas, maka dapat dilihat bahwa pengertian anak adalah bervariatif dimana hal tersebut dilihat dari pembatasan batas umur yang diberikan kepada seorang anak apakah anak tersebut dibawah umur atau belum dewasa dan hal tersebut dapat dilihat dari pengertian masing-masing peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, namun meskipun demikian pada prinsipnya anak dibawah umur adalah seseorang yang tumbuh dalam perkembangannya yang mana anak tersebut memerlukan bimbingan untuk kedepannya.

2. Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Anak menentukan batasan umur anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anak adalah konsekuensi penerapannya dikaitkan dengan berbagai faktor seperti kondisi ekonomi, sosial politik, dan budaya masyarakat. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan terdapat perbedaan ketentuan yang mengatur tentang anak, hal ini dilatar belakangi berbagai fakrtor yang merupakan prinsip dasar yang terkandung dalam dasar pertimbangan dikeluarkannya peraturan


(30)

perundang-undangan yang bersangkutan yang berkaitan dengan kondisi dan perlindungan anak.15

3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUH Perdata )

Pengelompokan anak menurut pengertian hukum perdata, dibangun dari beberapa aspek keperdataan yang ada pada anak sebagai seorang subjek hukum yang tidak mampu. Aspek-aspek tersebut sebagai berikut:

(a) status belum dewasa (batas usia) sebagai subjek hukum; (b) hak-hak anak di dalam hukum perdata.

Pada Pasal 330 KUH Perdata memeberikan penjelasan bahwa orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.

4. Pengertian Anak Menurut Hukum Pidana

Pengertian kedudukan anak dalam lapangan hukum pidana diletakkan dalam pengertian anak yang bermakna penafsiran hukum secara negatif. Dalam arti seorang anak yang berstatus sebagai subjek hukum yang seharusnya bertanggung jawab terhadap tindak pidana (strafbaar feit) yang dilakukan oleh anak itu sendiri, ternyata karena kedudukan sebagai seorang anak yang berada dalam usia belum dewasa diletakkan sebagai seseorang yang mempunyai hak-hak khusus dan perlu untuk mendapat perlindungan khusus menurut ketentuan hukum yang berlaku. Kedudukan anak dalam pengertian pidana dijelaskan dalam peraturan perundang-undangan dengan menggunakan beberapa pengertian sebagai berikut.

      

  15


(31)

Menurut UU No. 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Undang-undang ini mengkalasifikasikan anak kedalam pengertian berikut ini.16

a. Anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 tahun.

b. Anak negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan di tempatkan di LAPAS Anak Paling lama sampai berumur 18 Tahun.

c. Anak sipil adalah anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh ketetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling

lama sampai berumur 18 tahun.

3. Pengertian Penyidikan

Istilah penyidik ini bisa kita lihat didalam kitab undang-undang hukum acara pidana yang ditegaskan di dalam Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi : “Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan’’.

Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa yang menjadi penyidik dalam hal ini adalah :

a. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia

b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang dan ini dapat berupa :

      

  16


(32)

1. Pejabat bea cukai 2. Pejabat imigrasi 3. Pejabat kehutanan

Menurut Pasal 6 ayat (2) KUHAP, bahwa syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP, akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983.

Menurut Pasal 2 No. 27 Tahun 1983 : 1. Penyidik adalah :

a. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi. b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya

berpangkat pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b) atau yang disamakan dengan itu.

2. Dalam hal disuatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka komandan sektor kepolisian yang berpangkat bintara di bawah pembantu letnan dua polisi, karena jabatannya penyidik. 17

Penyidik pembantu merupakan penyidik yang terdiri dari pejabat kepolisian negara republik Indonesia, baik yang menjabat pangkat polisi maupun yang termasuk pegawai negeri sipil dalam lingkungan kepolisian negara yang

      

  17

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit CV Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996, hal. 79 


(33)

diangkat oleh kepala kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pangkat tertentu yang diatur dengan peraturan pemerintah.

Penyidik dan penyidik pembantu ini di atur dalam pasal 6-pasal 13 Bagian kesatu dan kedua BAB IV KUHAP

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam pembuatan skripsi ini adalah dengan menetapkan :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian antara penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis . Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau setudi dokumen. Penelitian hukum normatif disebut penelitian hukum doktriner, karena penelitian dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, atau bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut dengan penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan literatur-literatur buku yang ada diperpustakaan.

Penelitian hukum sosiologis mempunyai istilah lain yaitu: penelitian hukum empiris dan dapat pula disebut dengan penelitian lapangan. Penelitian lapangan dilakukan di Kepolisian Polsek Padang Tualang Kabupaten Langkat.


(34)

Penelitian Lapangan ini berupa data primer (data dasar) yaitu data yang didapat langsung dari pihak responden yaitu pihak penyidik dengan melalui lapangan. Perolehan data perimer dari penelitian lapangan dapat dilakukan melalui wawancara.

2. Bahan Hukum

Data yang digunakan adalah data sekunder dan didukung data primer. Data sekunder diperoleh dari :

a. Bahan Hukum Primer adalah bahan yang telah ada dan yang berhubungan dengan skripsi terdiri dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak serta peraturan perundang-undangan.

b. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan yang diperoleh untuk mendukung dan berkaitan dengan Bahan Hukum Primer yang berupa literatur-literatur yang terkait dengan bantuan hukum sehingga menunjang penelitian yang dilakukan.

c. Bahan Hukum Tersier bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermaknaterhadap bahan hukum primer dan sekunder sperti kamus dan ensiklopedia yang relevan dengan skripsi ini.


(35)

3. Pengumpulan Data

a. Library Research

Materi dalam penelitian ini diambil dari data Primer dan data Sekunder. Jenis data yang meliputi data sekunder yaitu Library research (penelitian kepustakaan), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan, buku-buku, berbagai literatur, dan juga berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan “Pola Pendampingan Dalam Memberikan Bantuan Hukum Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Anak Dalam Proses Pemeriksaan Dalam Tingkat Penyidikan ”.

b. Field Research

Data primer diperoleh dengn cara Field Research (penelitian lapangan), yaitu dengan meneliti langsung ke lapangan mengenai Pola Pendampingan Dalam Memberikan Bantuan Hukum Terhadap Tindak Pidana Yang dilakukan Anak Dalam Proses Pemeriksaan Dalam Tingkat Penyidikan dalam hal ini studi di Polsek Padang Tualang Kabupaten Langkat.

Penelitian atau studi lapangan dilakukan melalui wawancara (indepht

interview) dengan menggunakan pedoman wawancara (inteview guid)kepada

informan, yaitu Penyidik diKepolisian Polsek Padang Tualang Kabupaten Langkat.

4. Analisis Data

Setelah data mengenai pendampingan dalam memberikan bantuan hukum terhadap Tindak Pidana yang dilakukan anak Dalam proses pemeriksaan dalam tingkatpenyidikan (Studi di Polsek Padang Tualang Kabupaten Langkat) ini


(36)

terkumpul kemudian dianalisa menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu suatu analisis yang diperoleh baik dari observasi, wawancara, maupun studi kepustakaan kemudian diuraiakan yang logis dan sistematis.

G. Sistematika Penulisan

Untuk menyusun skripsi ini, penulis membagi dalam IV (empat) Bab yang terbagi pula atas beberapa sub-sub, maksudnya adalah untuk mempermudah penulis di dalam menguraikan pengertian Masalah sampai kepada kesimpulan dan saran-saran berhubungan dengan materi pembahasan.

Secara garis besar gambaran skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Merupakan Bab yang memberikan ilustrasi dan informasi yang bersifat umum dan menyeluruh serta sistematis terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan danmanfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, sistematika penulisan, kemudian penjelasan tinjauan kepustakaan seputar pengertian Bantuan Hukum, Pengertian Anak, Pengertian Penyidikan.

BAB II : PENGATURAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDINESIA

Pada bab ini berisikan pembahasan mengenai masalah bagaimana Pengaturan Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Menurut Hukum Positif di Indonesia, Dalam Sistem Peradilan Pidana Menurut Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, yang terdiri dari beberapa sub-sub yaitu menurut undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab-Kitab Hukum Acara


(37)

Pidana, perlindungan hukum terhadap anak menurut undang-undang nomor 23 tahun 2002. Menurut Undang-Undang No 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

BAB III : POLA PEMBERIAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM PROSES PENYIDIKAN DI POLSEK PADANG TUALANG.

Dalam bab ini membahas mengenai pola Pelaksanaan Pemberian perlindungan Hukum terhadap anak Dalam Proses Penyidikan di Polsek Padang Tualang Kabupaten Langkat, penyidik yang berwenang untuk melakukan penyidikan, proses penyidikan terhadap anak di polsek padang tualang, dan pola pemberian bantuan hukum terhadap anak dalam proses penyidikan di polsek kabupaten langkat.

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini merupakan bagian penutup dari rangkaian penulisan skripsi ini, berisikan Kesimpulan dan Saran sebagai jawaban hasil pemecahan masalah yang diidentifikasikan.


(38)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESI A. Menurut Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Menurut hukum positif indonesia, masalah anak dibawah umur yang mengenai apabila mereka melakukan perbuatan melawan hukum tersebut, tidak begitu tegas diatur; apa yang seharusnya diperlakukan bagi mereka, dan bagaimana sistem penahanan dan sistem penyidikan yang diberikan kepada mereka juga belum ada diatur dalam hukum.18

Di Indonesia, penyelenggaraan proses hukum dan peradilan bagi pelanggaran hukum oleh anak sudah bukan lagi hal baru. Tetapi karena sampai saat ini belum ada perangkat peraturan yang mengatur mengenai penyelenggaraan peradilan anak secara menyeluruh, mulai dari penangkapan, penahanan, penyidikan, dan pemeriksaan di persidangan, sampai dengan sanksi yang diberikan serta eksekusinya, maka sampai saat ini pelaksanaannya masih banyak merujuk pada beberapa aturan khusus mengenai kasus pelanggaran hukum oleh anak dalam KUHP dan KUHAP, serta pada Undang-Undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak). Selain itu, pelaksanaan proses peradilan bagi anak juga harus mengacu pada Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi ke dalam Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 (Konvensi Hak Anak), dimana sedikit banyak telah diakomodir dalam UU Pengadilan Anak.

      

  18

Farid Wajdi, Perlindungan Anak di Indonesia Dilema dan Solusinya, Penerbit P.T. Sofmedia, Medan, 2012, hal.6


(39)

Perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan dilakukan semenjak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan sampai pada pelaksanaan putusan pengadilan tersebut. Selama proses peradilan tersebut , maka hak-hak anak wajib dilindungi oleh hukum yang berlaku dan oleh sebab itu harus dilakukan secara konsekuen oleh pihak-pihak terkait dengan penyelesaian masalah anak nakal tersebut.

Perlindungan dalam proses penyidikan kepada anak terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah sebagai bentuk perhatian dan perlakuan khusus untuk melindungi kepentingan anak. Perhatian dan perlakuan khusus tersebut berupa perlindungan hukum agar anak tidak menjadi korban dari penerapan hukum yang salah yang dapat menyebabkan penderitaan mental, fisik dan sosialnya.

Kekuasaan Penyidikan adalah tahap yang paling menentukan dalam operasionalisasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu tersebut dalam rangka tercapainya tujuan dari Penegakan Hukum Pidana, karena pada tahap penyidikanlah dapat diketahui adanya tersangka suatu peristiwa kejahatan atau tindak pidana serta menentukan tersangka pelaku kejahatan atau tindak pidana tersebut sebelum pelaku kejahatan tersebut pada akhirnya dituntut dandiadili di pengadilan serta diberi sanksi pidana yang sesuai dengan perbuatannya. Tanpa melalui proses atau tahapan penyidikan maka secara otomatis, tahapan-tahapan selanjutnya dalam proses peradilan pidana yaitu tahapan penuntutan, pemeriksaan di muka pengadilan dan tahap pelaksanaan putusan pidana tidak dapat dilaksanakan.


(40)

Penyidikan itu sendiri, berarti serangkaian tindakan penyidik, dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya, sedangkan ”bukti”, dalam ketentuan tersebut di atas adalah meliputi alat bukti yang sah dan benda sitaan/barang bukti. Di Indonesia, masalah kewenangan dan ketentuan mengenai ”Penyidikan” diatur di dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menjadi dasar hukum pidana formil di Indonesia. Ketentuan mengenai aparat yang berwenang untuk melakukan penyidikan, selain diatur di dalam KUHAP, juga diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan lain di luar KUHAP.19

Tindakan yang dapat dilakukan penyidik adalah penangkapan, penahanan, mengadakan pemeriksaan ditempat kejadian, melakukan penggeledahan, pemeriksaan tersangka dan interogasi, membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP), penyitaan, penyimpanan perkara, melimpahan perkara. Penyidikan yang diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak harus dipandang sebagaimana layaknya status dan fungsi seorang penyidik menurut KUHAP. Penyidikan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan oleh penyidik anak yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau pejabat yang ditunjuknya.

      

  19

Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Cet.5, Sinar Grafika Jakarta, 2006, hal.118.


(41)

Penyidikan merupakan kompensasi penyidik, termasuk menghentikannya (Pasal 109 ayat 2 KUHAP). Alasan pemberian wewenang penghentian penyidikan ada dua yaitu ;

1. Untuk menegakan prinsip penegakan hokum yang cepat, tepat, dan biaya ringan, sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat. Jika penidik berkesimpulan bahwa hasil penyelidikan dan penyidikan tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut tersangka ke pengadilan, penyidik secara rmenyatakan penghentianpemeriksaan penyidikan, agar dengan demikian segera tercipta kepastian hokum, baik bagi penyidik sendiri, terutama kepada tersangka dan masyarakat;

2. Supaya penyidik terhindar dari kemungkinan tuntutan ganti kerugian, jika perkaranya diteruskan ternyata tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut atau menghukum, dengan sendirinya member hak kepada tersangka/terdakwa untuk menuntut ganti kerugian berdasarkan Pasal 95 KUHAP.

Dalam praktik, alasan penghentian penyidikan adalah :

1. Delik yang terjadi merupakan delik aduan yang dapat dilakukan pencabutan; perbuatan yang terjadi bukan merupakan perbuatan pidana; 2. Anak masih sekolah dan masih dapat dibina orang tuanya, sehingga anak

tersebut dikembalikan kembali kepada orang tuanya dan kasusnya tidak akan dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan. Penghentian penyidikan juga dilakukan apabila ada perdamaian antara pihak anak nakal dengan korban.Hal ini merupakan penyimpangan, karena


(42)

perdamaian tidak dikenal dalam perkara pidana.Seyogyanya penghentian penyidikan dilakukan atas pertimbangan kepentingan anak, terlepas dari ada perdamaian atau tidak.Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut masih kurang lengkap, maka penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, disertai petunjuk untuk dilengkapi. Setelah penyidik menerima berkas perkara tersebut, penyidik wajib melakukan penyidikan tambahan dan dalam tempo 14 hari setelah pengembalian berkas perkara dari penuntut umum, penyidik sudah menyiapkan pemeriksaan penyidikan tambahan ( disempurnakan) dan diserahkan lagi kepada penuntut umum ( Pasal 110 ayat 1 KUHAP )

Penyidikan dianggap selesai dan lengkap, apabila telah ada pemberitahuan dari penuntut umum yang menyatakan bahwa berkas perkara telah lengkap atau apabila tanggapan waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas, penuntut umum tidak menyampaikan pernyataan apa-apa dan tidak pula mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik. Terhitung sejak tenggang waktu tersebut, dengan sendirinya menurut hukum penyerahan berkas perkara sudah sah dan sempurna, beralih kepada penuntut umum tanpa memerlukan proses lagi. Terjadi penyerahan tanggung jawab hukum atas seluruh perkara yang bersangkutan dari penyidik kepada penuntut umum.Peralihan tanggung jawab yuridis atas berkas perkara, tanggung jawab hukum atas tersangka dan tanggung jawab hukum atas segala barang bukti atau benda yang disita.Secara garis besarnya tugas-tugas penyidikan terdiri dari tugas menjalankan operasi lapangan dan tugas administrasi hukum. Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang


(43)

Hukum acara Pidana terdapat tugas-tugas penyidik yang berhubungan dengan tugas yang meliputi :`

a) Penangkapan

Tindakan penangkapan diatur dalam Pasal 16 sampai 19 KUHAP. Menurut Pasal 16 untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan. Sesuai dengan Pasal 18 KUHAP perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup dengan menunjukkan surat perintah penangkapan kecuali tertangkap tangan. Perlindungan hak-hak anak tersangka pelaku tindak pidana di atur juga dalam Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Khusus tindakan penangkapan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, Polisi memperhatikan hak-hak anak dengan melakukan tindakan perlindungan terhadap anak, seperti:20

1. Perlakukan anak dengan asas praduga tak bersalah.

2. Perlakuan anak dengan arif, santun dan bijaksana, dan tidak seperti terhadap pelaku tindak pidana dewasa.

3. Saat melakukan penangkapan segera memberitahukan orang tua dan walinya.

4. Anak tertangkap tangan segera memberitahukan orang tua atau walinya.

      

  20


(44)

5. Wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab, Polisi atau masyarakat berdasarkan pada asas kewajiban.

6. Penangkapan terhadap anak yang diduga sebagai tersangka bukan karena tertangkap tangan, merupakan kontak atau tahap pertama pertemuan antara anak dengan Polisi.

Pelaksana tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian Negara RI, dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada tersangka surat– surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka. Menyatakan alasan penangkapan, dan uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan,serta mengemukakan tempat tersangka diperiksa (Pasal 18 KUHAP).

Pengertian penangkapan menurut KUHAP Pasal 1 butir (20) :

“Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Ketentuan hukum acara pidana yang menjadi sorotan essential dari proses penyidikan adalah penangkapan terhadap pelaku tindak pidana kejahatan dan pelanggaran, dimana tugas penangkapan berbatasan dengan ketentuan hukum yang menegakkan hak-hak asasi anak yang mendapatkan tuntutan keadilan hukum terhadap aparat penegak hukum dan pemerintah (lembaga polisi). Ketentuan terhadap dasar perlindungan anak harus dapat menonjolkan bentuk-bentuk


(45)

tindakan dan upaya rasional dan berdimensi rasa keadilan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

Penangkapan anak nakal sama seperti penangkapan terhadap orang dewasa yang dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu pada Pasal 19 dan penangkapan tersebut dilakukan guna kepentingan pemeriksaan untuk paling lama 1 ( satu ) hari.Wewenang penangkapan dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum harus pula memperhatikan asas hukum pidana yaitu :Presumsion Of Innocence ( Asas Praduga Tak Bersalah). Dalam melakukan penangkapan diperhatikan hak-hak anak sebagai tersangka, seperti hak mendapat bantuan hukum pada setiap tigkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 54 KUHAP). KUHAP tidak mengatur secara tegas bukti cukup atau tidak.Hal ini tidak mencerminkan perlindungan hukum terhadap anak, karena itu perlu diatur secara tegas dalam KUHAP yang berlaku secara khusus untuk anak.

Kedudukan anak dalam proses pemeriksaan penyidikan terdapat nuansa yang menimbulkan hak-hak anak secara khusus yang dapat mengesampingkan upaya paksa dan tindakan paksa dari proses penyidikan. Kontak awal antara anak dan polisi harus dihindarkan dalam suasana kekerasan fisik dan psikis sehingga dalam proses penyidikan terdapat hak-hak anak yang meliputi :

1. Terhadap keluarga anak sebagai tersangka wajib diberitahukan terlebih dahulu baik melalui surat maupun lisan sebelum proses penangkapan dilakukan


(46)

2. Penangkapan terhadap anak tidak dibolehkan dengan menggunakan alat atau senjata upaya paksa atau wewenang paksa

3. Tersangka anak haru segera mendapat bantuan hukum secara wajib dan cuma-cuma (dalam penangkapan penyidik penuntut umum harus mengikutsertakan seorang pengacara yang kelak akan menjadi penasehat hukum anak tersebut)

4. Tersangka anak atau orang belum dewasa harus segera mendapatkan proses pemeriksaan

5. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian sebagai akibat dari kesalahan.21

b) Penahanan

Setelah tindakan penangkapan, dapat dilakukan tindakan penahanan. Menurut Pasal 1 butir 21 KUHAP : “Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Berdasarkan wewenang tersebut maka setiap instansi penegak hukum memiliki wewenang untuk melakukan penahanan.

Penahanan oleh penyidik anak atau penuntut umum anak atau hakim anak dengan penetapan, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP, menentukan bahwa tersangka atau terdakwa dapat ditahan. Karena ada istilah “dapat” ditahan, berarti penahanan anak tidak selalu harus dilakukan, sehingga dalam hal ini penyidik diharap betul-betul mempertimbangkan apabila melakukan penahanan anak.Menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP, alasan penahanan adalah

      

  21

Thelma Selly M kadja,Perlindungan Terhadap Anak Dalam Proses Peradilan, Jurnal HukumYurisprudensia, Jakarta, No.2 Mei 2000, hal.184-185


(47)

karena ada kehawatiran melarikan diri, agar tidak merusak atau menghilangkan barang bukti, agar tidak mengulangi tindak pidana.Menurut hukum acara pidana, menghilangkan kemerdekaan seseorang tidak merupakan keharusan, tetapi untuk mencari kebenaran bahwa seseorang melanggar hukum, kemerdekaan seseorang itu dibatasi dengan melakukan penangkapan dan penahanan.

Penahanan Anak harus memperhatikan kepentingan yang menyangkut pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental, maupun sosial anak serta mempertimbangkan kepentingan masyarakat misalnya dengan ditahannya anak akan membuat masyarakat aman dan tentram.22

B. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan

Anak

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi Anak yang berhadapan dengan hukum agar Anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada Anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Namun, dalam pelaksanaannya Anak diposisikan sebagai objek dan perlakuan terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan anak. Selain itu, Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan hukum.

      

  22

http://aminhamid09.wordpress.com/2012/11/15/perlindungan-hukum-terhadap-anak-pada-tahap-penyidikan, Diakses Selasa, 8 Oktober 2013


(48)

Dengan demikian perlu adanya perubahan paradigma dalam penanganan Anak yang berhadapan dengan hukum, antara lain didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah, dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan anak serta memberikan perlindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan hukum.23

Selain itu, anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan,bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian dari serta pengawasan dari orang tua, wali atau orang tua asuh akan mudah tersesat dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungan yang kurang sehat dan merugikan perkembangan peribadinya.

Menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah laku Anak Nakal, perlu dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas. Walaupun anak telah dapat menentukan sendiri langkah perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan dan kehendaknya, tetapi keadaan sekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya. Oleh karena itu, dalam menghadapi masalah Anak Nakal, orang tua dan masyarakat sekelilingnya seharusnya lebih bertanggung jawab terhadap terhadap pembinaan, pendidikan dan pengembangan perilaku anak tersebut.

Disamping pertimbangan tersebut diatas demi pertumbuhan dan perkembangan mental anak, perlu ditentukan perbedaan perlakuan didalam hukum acara dan ancaman pidananya . Dalam hubungan ini, pengaturan dan pengecualian dan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

      

  23

.Penjelasan, Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, hal. 50-51


(49)

Hukum Acara Pidana, yang lama pelaksanaan penahanannya ditentukan sesuai dengan kepentingan anak dan pembedaan ancaman pidana bagi anak ditentukan olek Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang penjatuhan pidananya ditentukan ½ ( satu perdua) dari maksimum ancaman pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak diberlakukan terhadap anak.

Khusus mengenai sanksi terhadap anak dalam Undang-Undang ini ditentukan berdasarkan perbedaan umur anak, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 ( delapan) tahun sampai 12 ( dua belas) tahun hanya dikenakan tindakan, seperti dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial atau diserahkan kepada negara, sedangkan terhadap anak yang mencapai umur diatas 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana. Pembedaan perlakuan tersebut didasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial anak.

Penyelesaian perkara Anak Nakal, hakim wajib mempertimbangkan laporan hasil kemasyarakatan yang dihimpun oleh pembimbing kemasyarakatan mengenai data pribadi maupun keluarga dari anak yang bersangkutan. Dengan adanya hasil laporan tersebut, diharapkan Hakim dapat memperoleh gambaran yang tepat untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya bagi anak yang bersangkutan.24

Sebelum kita membahas tentang proses pemidanaan terhadap anak lebih lanjut, kita akan ketahui terlebih dahulu kategori anak yang melakukan tindak

      

  24


(50)

pidana yang telah diatur dalam Undang-Undang No.3 tahun 1997 pasal 1 angka 2 yang berbunyi :

1. Anak yang melakukan tindak pidana.

2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Dalam hal pemidanaan anak ada batasan usia minimal dan maksimal anak tersebut dapat dijatuhi sanksi pidana. Batas usia anak adalah pengelompokan usia maksimal sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subjek hukum yang dapat bertanggungjawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh anak itu.

Dan mengenai batasan umur anak yang melakukan tindak pidana diatur dalam pasal 4, yaitu :

1. Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang pengadilan anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

2. Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana di maksud dalam ayat (1) dan di ajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum pernah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun tetapi di ajukan ke sidang anak.

Menurut Undang-Undang Pengadilan Anak, anak di bawah umur yang melakukan kejahatan yang memang layak untuk diproses adalah anak yang telah


(51)

berusia 8 tahun dan diproses secara khusus yang berbeda dengan penegakan hukum terhadap orang dewasa. Tetapi pada prakteknya penegakan hukum kepada anak nakal terkadang mengabaikan batas usia anak. Contohnya pada kasus Raju yang di sidang di Pengadilan Negeri Stabat Langkat, saat itu dia baru berusia 7 tahun 8 bulan.

Namun dalam perkembangannya Mahkamah Konstitusi melalui Keputusannya Nomor 1/PUU-VIII/2010 (LNRI Tahun 2012 No. 153) menyatakan frase 8 tahun dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 bertentangan dengan UUD 1945 serta menilai untuk melindungi hak konstitusional anak, perlu menetapkan batas umur bagi anak yaitu batas minimal usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum adalah 12 (dua belas) tahun karena secara relatif sudah memiliki kecerdasan, emosional, mental dan intelektual yang stabil.25

Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan. pidana berupa pidana pokok dan pidana tambahan, Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997 yang mengatur tentang pidana pokok dan pidana tambahan bagi anak nakal, yaitu:

1. Pidana Pokok merupakan pidana utama yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal. Beberapa pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal, yaitu:

a. Pidana penjara; b. Pidana kurungan; c. Pidana denda, atau;

      

  25

Maulana Hassan Wadong. Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm.24.


(52)

d. Pidana pengawasan,

2. Pidana Tambahan adalah pidana yang dapat dijatuhkan sebagai tambahan dari pidana pokok yang diterimanya. Selain pidana pokok maka terhadap anak nakal dapat pula dijatuhkan pidana tambahan, berupa :

a. Perampasan barang-barang tertentu, dan/atau; b. Pembayaran ganti rugi.

Tindakan pada dasarnya merupakan suatu perbuatan yang bertujuan untuk membina dan memberikan pengajaran kepada anak nakal. Beberapa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal berdasarkan Pasal 24 UU Pengadilan Anak adalah :

1. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;

2.Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja, atau;

3.Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.

Mekanisme penjatuhan pidana berupa pidana pokok dan pidana tambahan ataupun tindakan, dapat dilihat sebagai berikut :

1.Pasal 26 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak diatur sebagai berikut:

a. Pidana penjara yang dijatuhkan paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa;


(53)

b. Apabila melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun;

c. Apabila anak tersebut belum mencapai 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau penjara seumur hidup, maka hanya dapat dijatuhkan tindakan berupa menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja;

d. Apabila anak tersebut belum mencapai 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana penjara seumur hidup maka dijatuhkan salah satu tindakan.

2.Pasal 27 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dijelaskan bahwa pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana, paling lama haruslah ½ dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.

3. Pasal 28 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak juga mengatur mengenai penjatuhan pidana denda bagi anak di mana pidana yang dijatuhkan paling banyak ½ dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa dan apabila pidana denda tidak mampu dibayar oleh anak tersebut maka diganti dengan wajib latihan kerja.

Mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana pengawasan bagi anak diatur melalui peraturan pemerintah. Pidana pengawasan bagi anak berdasarkan ketentuan :


(54)

1.Tenggang waktu pidana pengwasan pada anak ialah paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun;

2. Pengawasan terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari hari di rumah anak tersebut dilakukan oleh jaksa; sedangkan pemberian bimbingan dilakukan

oleh pembimbing kemasyarakatan.

Undang-undang Pengadilan Anak (Undang-undang No. 3 Tahun 1997) dalam pasal-pasalnya menganut beberapa asas, yang membedakannya dengan sidang pidana untuk orang dewasa. Adapun asas-asas itu sebagai berikut:26

a. Pembatasan umur (Pasal 1 butir 1 jo. Pasal 4 ayat 1)

Adapun orang yang dapat disidangkan dalam acara Pengadilan Anak ditentukan secara liminatif, yaitu minimum berumur 8 tahun dan maksimum berumur 18 tahun.

b. Ruanglingkup masalah dibatasi (Pasal 1 ayat 2)

Masalah yang dapat diperiksa dalam sidang Pengadilan Anak hanyalah terbatas menyangkut perkara Anak Nakal.

c.Ditangani pejabat khusus (Pasal 1 ayat 5, 6 dan 7)

Undang-undang No. 3 Tahun 1997 menentukan perkara Anak Nakal harus ditangani oleh pejabat-pejabat khusus, seperti:

1)Di tingkat penyidikan oleh penyidik anak 2) Di tingkat penuntut umum anak

3) Di pengadilan oleh hakim anak, hakim banding anak dan hakim kasasi anak

      

  26

http://raisyaprillya.blogspot.com/2013/05/pemidanaan-anak.html, Diakses Selasa, 8 Oktober 2013


(55)

d. Peran pembimbing kemasyarakatan (Pasal 1 ayat 11) Undang-undang Pengadilan Anak mengakui peranan dari: 1) Pembimbing kemasyarakatan

2) Pekerja sosial, dan 3) Pekerja sosial sukarela

e.Suasana pemeriksaan kekeluargaan (Pasal 42 ayat 1)

Pemeriksaan perkara di pengadilan dilakukan dalam suasana kekeluargaan.Oleh karena itu hakim, penuntut umum dan penasihat hukum tidak memakai toga. f.Keharusan splitsing (Pasal 7)

Anak tidak boleh diadili bersama dengan orang dewasa baik yang berstatus sipil atau militer. Kalau terjadi anak melakukan tindak pidana bersama dengan orang dewasa, maka si anak diadili dalam sidang pengdilan anak, sementara orang dewasa diadili dalam sidang biasa, atau apabila ia berstatus militer di peradilan militer.

g.Acara pemeriksaan tertutup (Pasal 8 ayat 1)

Acara pemeriksaan di sidang pengadilan anak dilakukan secara tertutup.Ini demi kepentingan si anak sendiri.Akan tetapi putusan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

h. Diperiksa hakim tunggal (Pasal 11, 14 dan 18)

Hakim yang memeriksa perkara anak, baik ditingkat Pengadilan Negeri, banding atau kasasi dilakukan dengan hakim tunggal.


(56)

Masa penahanan terhadap anak lebih singkat disbanding masa penahanan menurut KUHP.

j.Hukuman lebih ringan (Pasal 22 sampai dengan 32)

Hukuman yang dijatuhkan terhadap anak nakal, lebih ringan dari pada ketentuan yang diatur dalam KUHP, hukuman maksimal untuk anak nakal adalah 10 tahun.Jadi yang diatur secara istimewa dalam Undang-Undang Peradilan Anak itu, hanyalah masalah acara sidangnya yang berbeda dengan acara sidang bagi orang dewasa.Dengan demikian kompetensi absolute Pengadilan Anak ada pada Badan Peradilan Umum (Pasal 2 Undang-undang No. 3 Tahun 1997).

C. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Hukum sangat diperlukan dalam masyarakat untuk mengatur kehidupan sehari-hari. Hukum adalah kaidah/ norma yang muncul dikarenakan gejala sosial yang terjadi di masyarakat. Tanpa gejala sosial hukum tidak mungkin terbentuk dan sebaliknya. Hukum yang terbentuk tidak hanya hal-hal umum saja tetapi juga diperlukan dalam mengatur hal-hal tertentu dan khusus.

Adapun fungsi hukum itu sendiri adalah sebagai alat ketertiban dan keteraturan. Selain itu sebagai sarana untuk mewujudkan sosial lahir dan batin serta sebagai alat penggerak pembangunan. Dalam menjelaskan fungsi hukum tentu ada pula tujuan hukum itu sendiri, yaitu keadilan, kepastian dan mencapai teori kegunaan. Keadilan yang dimaksudkan adalah bisa menjembatani jika terjadi benturan kepentingan antara individu/ golongan satu dengan individu/ golongan yang lain. Kemudian kepastian yang dimaksudkan adalah sebagai alat penjamin individu/golongan ketika melakukan suatu tindakan. Sedangkan yang dimaksud


(57)

dengan mencapai teori kegunaan adalah hukum digunakan untuk memperoleh manfaat sebanyak-banyaknya. Parameter manfaat di sini yaitu bermanfaat untuk khalayak umum. Ketiga tujuan hukum tersebut bisa tercapai dan berjalan efektif dalam kehidupan bermasyarakat apabila terjadi keseimbangan antara keadilan, kepastian dan bermanfaat bagi orang lain. Di Indonesia terdapat beberapa hukum yang mengatur kehidupan masyarakat tetapi dalam pengaplikasiannya sering terjadi ketidakefektifan hukum juga masih banyak terjadi pelanggaran dan manipulasi hukum. Salah satu hukum yang masih belum bisa efektif adalah hukum tentang perlindungan anak.

Di Indonesia hal tersebut sudah diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Mengapa harus dibentuk hukum khusus dalam mengatur perlindungan anak? Padahal sebelumnya telah dibahas tentang hak anak dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam UU tersebut dijelaskan pula kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak. Tetapi pada kenyataannya sering ada kerancuan parameter anak itu bagaimana. Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pada Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 dijelaskan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Jadi yang membedakan antara anak dan dewasa hanya umur saja. Sebenarnya mendefinsikan anak/ belum dewasa itu menjadi begitu rancu ketika melihat batas umur anak/ batas dewasanya seseorang dalam peraturan perundang-undangan satu dan lainnya berbeda-beda. Selain itu dalam UU sebenarnya masih


(1)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Sebagai akhir dari penulisan skripsi ini dapat ditarik beberapa kesimpulan dan saran berkenaan dengan permasalahan yang penulis angkat dalam skripsi ini.

1. Bahwa pengaturan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana menurut hukum positif Indonesia merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia, termasuk penghormatan terhadap hak tersangka, selama ini kurang mendapatkan perhatian dari sistem hukum pidanadiIndonesia. Bantuan hukum merupakan salah satu satu bentuk penghormatan terhadap hak tersangka dalam proses Peradilan Pidana baik itu

pada tingkat Penyidikan, Penuntutan maupaun pada tingkat Pengadilan.

2. Pola pemberian bantuan hukum di Kepolisian Sektor Padang Tualang Kabupaten Langkat ini bahwa seseorang anak tersangka yang melakukan tindak pidana atau yang tersangkut dengan hukum, dalam proses penyidikannya, diberikan oleh pihak Kepolisian Sektor Padang Tualang kepada seorang tersangka anak yang tersangkut dengan hukum dalam proses penyidikannya memperoleh hak bantuan hukum seperti yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Setiap anak Nakal sejak saat Ditangkap atau ditahan berhak mendapat Bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasehat Hukum.


(2)

B. Saran

Untuk lebih mengapresiasikan hak tersangka dalam mendapat bantuan hukum dikemudian hari guna menjunjung tegaknya hukum dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia penulis menyarankan, antara lain:

1. Perlunya sosialisasi tentang hak-hak seorang Anak tersangka pelaku Tindak Pidana pada masyarakat oleh pejabat-pejabat terkait seperti Hakim, Jaksa, Polisi, dan pemberi bantuan hukum sendiri. Pelaksanaan pemberian bantuan hukum bagi Anak tersangka pelaku Tindak Pidana khususnya dalam perkara pidana hendaknya dilakukan secara menyeluruh, merata tanpa membeda-bedakan tersangka dan kepentingan yang diperoleh serta diselaraskan dengan penegakan prinsip segala warga negara bersamaan kedudukanya didalam hukum dan pemerintahan.

2. Untuk perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia, dan mengingat sistem pemeriksaan pendahuluan Inquisitoir yang kita anut, tidaklah berlebihan agar pada peraktek penyidikan dan dihubungkan dengan keberadaan Pengacara serta perhubunganya tersangka selama proses pemeriksaan supaya lebih diperhatikan untuk menghindarkan ekses-ekses negatif selama proses pemeriksaan perkara pidana pada hasil yang diperoleh dari pemeriksaan tersebut. Untuk lebih mengefektifkan pemberian bantuan hukum tersebut perlu dibuat peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang kedudukan, hak dan kewajiban dan sebagainya bagi para profesional dalam memberikan jasa pelayananan,


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU

Arif Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan

Pidana Terpadu, BadanPenerbit Universitas Diponegoro, Bandung, 2006.

Atmasasnnita Romli, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksisten sionalisme dan Abolisionisme, (Bandung: Bina Cipta1996).

Gultom Maidin , Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Anak Di Indonesia, Cet. Pertama, PT Refika Aditama, Bandung, 2008.

Hamzah Andi, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Cet.5, Sinar Grafika Jakarta, 2006.

Kartono Kartini, Pathologi Sosial (2), Kenakalan Remaja, Rajawali Pers, Jakarta, 1992.

Kadja Thelma Selly M ,Perlindungan Terhadap Anak Dalam Proses Peradilan,

Jurnal HukumYurisprudensia, Jakarta, No.2 Mei 2000.

Lubis M Sofyan M. , Prinsip “Miranda Rule’’ Hak Tersangka

SebelumPemeriksaan, Cetakan Pertama, Penerbit Pustaka

Yustisia,Yogyakarta 2010.

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan

Restroratif Justice, Cetakan pertama, Penerbit PT Refika Aditama,

Bandung, 2009.

Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restoraqtif Justice Dalam Hukum

Pidana, Cetakan Pertama, Penerbit Perpustakaan Nasional: Katalog

Dalam Terbitan (KDT). Medan, 2010.

Nasriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi anak di Indonesia, Cetakan kedua, Penerbit PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2012.

Soekamto Soerjono, Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosio Yuridis, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.


(4)

Winata Hendra Frans, Bantuan Hukum Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas

Kasihan, Cetakan Pertama, Penerbit PT Elex Media Komputindo, Jakarta,

2000.

Wajdi Farid, Perlindungan Anak di Indonesia Dilema dan Solusinya, Penerbit P.T. Sofmedia, Medan, 2012.

WadongHassanMaulana Wadong. Pengantar Advokasi dan Hukum

Perlindungan Anak, Grasindo, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000.

II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pidana (KUHAP) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

III. SITUS INTERNET

anak-pada-tahap-penyidikan, Diakses Selasa, 8 Oktober 2013

http://www.menegpp.go.idKekerasan Terhadap Anak. Diakses tanggal 20 Oktober 2013

http://“Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pada Tahap Penyidikan “,Diakses Kamis, 29 Agustus 2012

http://“Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pada Tahap Penyidikan “,Diakses Kamis, 29 Agustus 2012

http://raisyaprillya.blogspot.com/2013/05/pemidanaan-anak.html, Diakses Selasa, 8 Oktober 2013


(5)

(6)