Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Efektivitas Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral Melalui Model Value Clarification Technique (VCT) terhadap Hasil Belajar PKn dengan Mempertimbangkan Moral Judgement Siswa Kelas 5 SD N Karangdu

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Pendidikan Kewarganegaraan

2.1.1.1 Hakekat Pendidikan Kewarganegaraan

  Perkembangan mata pelajaran PKn yang dikenal sekarang ini telah mengalami beberapa kali perubahan, dimulai pada tahun 1957 yang diberi nama Kewarganegaraan, tahun 1959 dengan nama Civics, tahun 1962 dengan nama Kewargaan Negara, tahun 1968 dengan nama Pendidikan Kewargaan Negara (PKN), tahun 1975 dengan nama Pendidikan Moral Pancasila (PMP), dan dengan disahkannya Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka penamaannya berubah menjadi PKn. Secara imperatif Pasal 37 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang merupakan landasan yuridis formal menjelaskan bahwa PKn merupakan salah satu muatan wajib dalam kurikulum pendidikan dasar dan pendidikan menengah serta perguruan tinggi.

  PKn merupakan salah satu mata pelajaran yang sangat penting untuk diajarkan pada jenjang sekolah dasar. Ruminiati (2007:1.15) berpendapat bahwa pelajaran PKn merupakan salah satu pelajaran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat dan cenderung pada pendidikan afektif. Tetapi di dalam pelaksanaan pembelajaran, tidak sedikit yang salah menafsirkan bahwa PKN dengan PKn merupakan hal yang sama. Padahal keduanya memiliki definisi dan fungsi yang berbeda dalam pembelajaran.

  Pengertian PKn juga dijelaskan di dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang standar isi. Di dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang standar isi tertulis bahwa PKn adalah mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.

  Lebih lanjut Mawardi (2010:11) menjelaskan bahwa terdapat beberapa komponen penting dalam PKn yaitu: a. PKn merupakan salah satu sub sistem pendidikan nasional.

  b. Kajian PKn meliputi pemerintahan, konstitusi, lembaga-lembaga demokrasi, rule of law, HAM, hak dan kewajiban warga negara.

  c. PKn merupakan alat pendidikan demokrasi.

  d. PKn sebagai wahana pendidikan politik warga negara.

2.1.1.2 Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan

  Melalui mata pelajaran PKn, diharapkan kegiatan pembelajaran dapat mencapai tujuan yang diharapkan sebagaimana tercantum pada Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang standar isi yang meliputi:

  a. Berpikir secara kritis dan rasional dalam menghadapi isu kewarganegaraan.

  b. Berpartisipasi secara aktif, bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta anti korupsi.

  c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa lain.

  d. Berinteraksi dengan bangsa lain dalam percaturan dunia baik secara langsung maupun tidak langsung dengan memanfaatkan ilmu dan teknologi. Menurut Mulyasa (dalam Ruminiati, 2007:26) tujuan PKn adalah untuk menjadikan siswa: a. Mampu berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi persoalan hidup maupun isu kewarganegaraan di negaranya.

  b. Mau berpartisipasi dalam segala bidang kegiatan, secara aktif dan bertanggung jawab, sehingga bisa bertindak secara cerdas dalam semua kegiatan.

  c. Bisa berkembang secara positif dan demokratis, sehingga mampu hidup bersama dengan bangsa lain di dunia dan mampu berinteraksi, serta mampu memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dengan baik. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan PKn adalah untuk menjadikan warga negara yang baik, yaitu warga negara yang tahu, mau, dan sadar akan hak dan kewajibannya. Dengan demikian, setiap siswa nantinya diharapkan menjadi pribadi yang terampil dan cerdas, dan bersikap baik, serta mampu mengikuti kemajuan teknologi modern.

2.1.1.3 Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan

  Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 tahun 2006 (2006:21) tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah bahwa ruang lingkup mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan meliputi aspek-aspek yaitu: Persatuan dan Kesatuan bangsa, Norma, hukum dan peraturan, Hak asasi manusia, Kebutuhan warga Negara, Konstitusi Negara, Kekuasaan dan politik, Pancasila, dan Globalisasi

  Adapun penjelasan tiap aspek tersebut dijelaskan oleh Mulyasa (dalam Ruminiati, 2007:34) sebagai berikut :

  a. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi hidup rukun dalam perbedaan, cinta lingkungan, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, sumpah pemuda, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, partisipasi dalam pembelaan negara, sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, keterbukaan dan jaminan keadilan.

  b. Norma, Hukum, dan Peraturan, meliputi tertib dalam kehidupan keluarga, tata tertib di sekolah, norma yang berlaku di masyarakat, peraturan-peraturan daerah, norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sistem hukum dan peradilan nasional, dan hukum dan peradilan internasional.

  c. Hak Asasi Manusia (HAM), meliputi hak dan kewajiban anak, hak dan kewajiban anggota masyarakat, instrumen nasional dan internasional HAM, kemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM.

  d. Kebutuhan Warga negara, meliputi hidup gotong royong, harga diri sebagai warga masyarakat, kebebasan berorganisasi, kemerdekaan mengeluarkan pendapat, menghargai keputusan bersama, prestasi diri, persamaan kedudukan warga negara.

  e. Konstitusi Negara, meliputi proklamasi kemerdekaañ dan konstitusi yang pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, hubungan dasar negara dengan konstitusi.

  f. Kekuasaan dan Politik, meliputi pemerintahan desa dan kecamatan, pemerintahan daerah dan otonomi-pemerintah pusat, demokrasi dan sistem politik, budaya politik, budaya demokrasi menuju masyarakat madani, sistem pemerintahan, pers dalam masyarakat demokrasi.

  g. Kedudukan Pancasila, meliputi kedudukan pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, proses perumusan pancasila sebagai dasar negara, pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, pancasila sebagai ideologi terbuka.

  h. Globalisasi, meliputi globalisasi di lingkungannya, politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, dampak globalisasi, hubungan internasional dan organisasi internasional, dan mengevaluasi globalisasi.

2.1.1.4 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar PKn Kelas 5 Semester II

  Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) dimuat dalam Permendiknas nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah. Standar Kompetensi (SK) adalah “ukuran kemampuan minimal yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap yang harus dicapai, diketahui, dan mahir dilakukan oleh siswa pada setiap tingkatan dari suatu materi yang diajarkan”, sedangkan kompetensi dasar (KD) adalah “penjabaran standar kompetensi siswa yang cakupan materinya lebih sempit”. Berikut adalah Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) PKn kelas 5 semester II:

  Tabel 1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar PKn SD/MI Kelas 5 Semester II

  Stándar Kompetensi Kompetensi Dasar 3.1 Mendeskripsikan pengertian organisasi.

3.2 Menyebutkan contoh organisasi di lingkungan

3 Memahami kebebasan sekolah dan masyarakat.

  berorganisasi.

  3.3 Menampilkan peran serta dalam memilih organisasi di sekolah.

  4.1 Mengenal bentuk-bentuk keputusan bersama.

4 Menghargai keputusan 4.2 Mematuhi keputusan bersama.

  bersama.

Sumber: Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan

Pendidikan Dasar dan Menengah

2.1.2 Standar Proses Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

  Standar proses digunakan sebagai acuan dalam merancang dan melaksanakan kegiatan pembelajaran serta melakukan penilaian. Berikut adalah standar proses KTSP berdasarkan Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007:

2.1.2.1 Prinsip-Prinsip Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

  Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merancang kegiatan pembelajaran berdasarkan standar proses adalah sebagai berikut:

  1. Memperhatikan perbedaan individu peserta didik. RPP disusun dengan memperhatikan perbedaan jenis kelamin, kemampuan awal, tingkat intelektual, minat, motivasi belajar, bakat, potensi, kemampuansosial, emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, latar belakang budaya, norma, nilai, dan/atau lingkungan peserta didik.

  2. Mendorong partisipasi aktif peserta didik. Proses pembelajaran dirancang dengan berpusat pada peserta didik untukmendorong motivasi, minat, kreativitas, inisiatif, inspirasi, kemandirian, dansemangat belajar.

  3. Mengembangkan budaya membaca dan menulis. Proses pembelajaran dirancang untuk mengembangkan kegemaran membaca,pemahaman

beragam bacaan, dan berekspresi dalam berbagai bentuk tulisan

  4. Memberikan umpan balik dan tindak lanjut. RPP memuat rancangan program pemberian umpan balik positif, penguatan,pengayaan, dan remedi.

  5. Keterkaitan dan keterpaduan. RPP disusun dengan memperhatikan keterkaitan dan keterpaduan antara SK,KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaiankompetensi, penilaian, dan sumber belajar dalam satu keutuhan pengalaman belajar. RPP disusun dengan mengakomodasikan pembelajaran tematik,keterpaduan lintas mata pelajaran, lintas aspek belajar, dan keragaman budaya.

  6. Menerapkan teknologi informasi dan komunikasi. RPP disusun dengan mempertimbangkan penerapan teknologi informasi dan komunikasi secara terintegrasi, sistematis, dan efektif sesuai dengan situasi dan kondisi.

2.1.2.2 Pelaksanaan Pembelajaran

  Implementasi dari rancangan pembelajaran harus tetap mengacu pada

standar proses. Pelaksanaan pembelajaran berdasarkan standar proses dilakukan

melalui 3 (tiga) tahap yakni kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan

penutup. Kegiatan inti dibagi kembali menjadi 3 (tiga) yaitu eksplorasi, elaborasi

dan konfirmasi. Berikut uraian masing-masing tahapan yang harus dilaksanakan

guru berdasarkan standar proses:

1. Kegiatan Pendahuluan

  a. Menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran.

  b. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari.

  

c. Menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akandicapai.

  d. Menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus.

2. Kegiatan Inti

a. Eksplorasi

  

1) Melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang

topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber. 2) Menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran,dan sumber belajar lain. 3) Memfasilitasi terjadinya interaksi antar peserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya. 4) Melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran. 5) Memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan.

  b. Elaborasi 1) Membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna. 2) Memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain- lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis.

3) Memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan

masalah, dan bertindak tanpa rasa takut.

4) Memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan

kolaboratif. 5) Memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar. 6) Memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok. 7) Memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok. 8) Memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival,serta produk yang dihasilkan.

9) Memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan

kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik.

1) Memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik.

  2) Memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber. 3) Memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan. 4) Memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar.

  3. Kegiatan Penutup

  a. Bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat rangkuman/ simpulan pelajaran.

  b. Melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram.

  c. Memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran.

  d. Merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik.

  e. Menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.

2.1.2.3 Penilaian Hasil Pembelajaran

  Penilaian dilakukan oleh guru terhadap hasil pembelajaran untuk

mengukur tingkat pencapaian kompetensi peserta didik, serta digunakan sebagai

bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar, dan memperbaiki proses

pembelajaran. Penilaian dilakukan secara konsisten, sistematik, dan terprogram

dengan menggunakan tes dan nontes dalam bentuk tertulis atau lisan, pengamatan

kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau

produk,portofolio, dan penilaian diri.

2.1.3 Moral

2.1.3.1 Pengertian Moral

  Moral menurut K.Prent, et al (dalam Soenarjati 1989:25) berasal dari tabiat, akhlak. Sedangkan menurut Amin Suyitni (dalam Soenarjati 1989:25) dalam perkembangannya moral diartikan sebagai kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik dan susila.

  Moral dalam arti yang luas telah mencakup bagaimana hubungan dengan Tuhan, hubungan sesama manusia dan hubungan dengan alam semesta. Menurut Syahrin (2005:45) orang yang memiliki moral yang baik adalah yang mampu menyeimbangkan ketiga hubungan di atas (hubungan dengan Tuhan, hubungan sesama manusia dan hubungan dengan alam semesta) pada setiap tempat dan setiap waktu. Moral juga harus dipandang sebagai suatu yang memiliki nilai otonom dan universal sehingga ia dapat berlaku pada lintas waktu, lintas aktivitas dan lintas tempat.

  Menurut Sastraprateja (dalam Adisusilo, 2012:53) moralitas atau juga disebut sebagai moral diartikan sebagai “perilaku manusia dan norma-norma yang dipegang masyarakat yang mendasarinya".

  Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa moral berkenaan dengan kesusilaan. Seorang individu dapat dikatakan baik secara moral apabila bertingkah laku sesuai dengan kaidah-kaidah moral dan aturan-aturan tentang bagaimana seharusnya seseorang hidup di dalam masyarakat. Sebaliknya jika perilaku individu itu tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada, maka ia akan dikatakan jelek secara moral.

2.1.3.2 Moralitas dalam Perspektif Teori Perkembangan Moral

  Moralitas menurut perspektif teori perkembangan moral secara garis besar dapat digolongkan atas pandangan Piaget dan Kohlberg sebagai berikut : Pertama, pandangan Piaget. Piaget (dalam Sarbaini, 2012:9) menjelaskan

  “...bahwa pemahaman terhadap resiprositas moral (moral timbal balik) adalah penting dalam rangka memperlakukan orang lain sebagaimana seseorang yang memerlukan perlakuan”.

  Resiprositas dapat dipahami dalam dua sudut pandang yang berbeda, yakni pandangan konkrit dan pandangan abstrak dan idealistik. Pandangan konkrit dapat berupa hubungan sejajar di antara orang-orang. Seseorang yang memahami dan ketidakbaikan. Sedangkan pandangan abstrak dan idealistik moralitas didasarkan pada memperlakukan orang lain sebagaimana mestinya (Sarbaini, 2012:10).

  Dari pengertian menurut Piaget di atas dapat disimpulkan bahwa dalam memahami moral timbal balik seharusnya peserta didik dapat menggunakan cara atau pandangan abstrak dan idealistik sehingga nantinya diharapkan tidak ada unsur balas dendam atau benci pada orang yang berbuat ammoral, namun perlakuan terhadap orang lain akan tetap baik dan berdasarkan atas kaidah moralitas sebagaimana mestinya.

  Sarbaini (2012:11) mengungkapkan bahwa pemahaman anak terhadap resiprositas menjadi lebih abstrak dan idealistis pada masa-masa sekolah dasar. Faktor yang paling berperan adalah perkembangan kognitif, namun demikian pengalaman-pengalaman juga bisa menentukan pembentukan kemampuan perkembangan kognitif terhadap resiprositas ideal.

  Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa faktor kognitif yang sangat berperan dalam perkembangan moral timbal balik berkembang dengan pesat saat anak memasuki usia sekolah dasar. Sehingga pada saat perkembangan yang baik ini siswa memerlukan bimbingan yang lebih intens, sehingga tahap perkembangan ini akan menjadi sarana belajar moral yang efektif.

  Kedua, pandangan Kohlberg. Menurut Kohlberg (dalam Sarbaini, 2012:11) “perkembangan moralitas tergantung pada kognitif dan keterampilan- keterampilan pemilihan pandangan pada cara spesifik”. Kohlberg menghipotesiskan bahwa tahap-tahap pemilihan pandangan dari kognitif adalah penting tapi bukan kondisi yang mencukupi untuk tiap tahapan moralitas.

  Mengacu pada pandangan Kohlberg tentang asumsi-asumsi kognitif penting namun tidak mencukupi, maka kematangan moral tidak hanya sejajar tapi juga tertinggal dari pemerolehan tahap kognitif dan pemilihan pandangan yang terkait namun tidak mendahuluinya.

  Selain faktor kognitif non sosial berupa pemilihan pandangan di atas, menurut Sarbaini (2012:12) “faktor kognitif berupa pengalaman juga sangat kognitif adalah sangat penting dikembangkan untuk perubahan moral, yakni pengalaman yang menghadapkan seseorang pada informasi yang menyebabkan konflik sedikit di atas tingkat moral yang dimiliki oleh seseorang. Konflik tersebut akan memperbaharui penalaran mereka pada arah pemikiran moral yang lebih maju. Kemampuan menghadapi konflik ini yang menjadi salah satu dasar dalam mengembangkan kemampuan pertimbangan moral (moral judgement).

  Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut Kohlberg moralitas pada dasarnya mengalami perkembangan dan berpusat pada ranah kognitif, bersifat interaksional serta dilandasi oleh prinsip resiprositas dan keadilan. Moral dibatasi oleh konstruksi lain yang disebut pertimbangan terutama karakter formal dari pertimbangan.

  (judgement)

2.1.3.3 Perkembangan Moral (Moral Development)

  Dalam perkembangan moral terdapat beberapa teori, diantaranya adalah perkembangan moral menurut teori psikoanalisis dan perkembangan moral menurut teori Piaget.

  Pertama, perkembangan moral menurut teori psikoanalisis. Freud (dalam Adisusilo, 2012:7) berpendapat bahwa “perkembangan moralitas seseorang dimulai sejak anak berkembang ke arah kedewasaannya, dimana energi psikis mereka atau disebut ‘libido’ akan bergerak ke arah pemuasan kebutuhan yang dikaitkan dengan bagian tubuh tertentu”. Bersamaan dengan perkembangan biologisnya anak mulai menyadari kalau mereka harus menyesuaikan tingkah lakunya agar bisa diterima menjadi anggota suatu kelompok. Bertitik tolak dari kebutuhan anak, Freud (dalam Adisusilo, 2012:7-8) mengemukakan tahapan perkembangan moral sebagai berikut :

  1. The Oral Stage. Tahap ini berkembang di sekitar usia 1 tahun. Dalam tahap ini anak lebih berorientasi kepada pemuasan kebutuhan semata-mata.

  2. The Anal Stage. Tahap ini berkembang di sekitar usia 2 sampai 3 tahun yang umumnya berpusat pada pengenalan cara-cara bagaimana mengatur kebersihan, atau toilet training.

3. The Phallic Stage. Tahap ini berkembang di sekitar usia 4 sampai 6 tahun,

  serta mulai timbul sikap cemburu terhadap orang tua yang mempunyai organ seks yang sama (Oedipus Complex).

  4. Latency Period. Di sekitar usia 6 sampai 14 tahun anak-anak mulai memasuki periode yang disebut Latency Period atau periode diam, tidak bereaksi, atau tidak bergerak.

  5. The Genital Stage. Mulai usia 14 tahun anak-anak akan memasuki satu tahap yang disebut The Genital Stage, suatu tahap dimana rasa cinta terhadap orang lain mulai berkembang.

  Kedua, perkembangan moral menurut teori Piaget. Menurut Piaget (dalam Adisusilo, 2012:8) “perkembangan moral terjadi dalam dua tahapan, yaitu tahap pertama adalah tahap realisme moral atau moralitas oleh pembatasan dan tahap kedua tahap moralitas otonomi (moralitas kerjasama atau hubungan timbal balik)”.

  Tahap pertama, perilaku anak ditentukan oleh ketaatan otomatis terhadap peraturan tanpa penalaran atau penilaian. Mereka menganggap orang tua dan semua orang dewasa yang berwenang sebagai maha kuasa dan mengikuti peraturan yang diberikan pada mereka tanpa mempertanyakan kebenarannya. Dalam tahap ini anak menilai tindakannya benar atau salah berdasarkan konsekuensinya dan bukan berdasarkan motivasi di belakangnya. Mereka sama sekali mengabaikan tujuan tindakannya tersebut.

  Tahap kedua, anak menilai perilaku atas dasar tujuan yang mendasarinya. Tahap ini biasanya dimulai antara usia 7 atau 8 tahun dan berlanjut hingga usia 12 tahun atau lebih. Gagasan yang kaku dan tidak luwes tentang benar salah perilaku mulai dimodifikasi. Anak mulai mempertimbangkan keadaan tertentu yang berkaitan dengan suatu pelanggaran moral.

2.1.3.4 Pertimbangan Moral (Moral Judgement)

  Sarbaini (2012:19) mendefinisikan pertimbangan moral sebagai sebuah manifesti dalam membuat keputusan yang berkenaan dengan dilema/konflik moral. Pertimbangan moral dapat dijadikan prediktor terhadap dilakukannya tindakan tertentu pada situasi yang melibatkan moral. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Kohlberg (dalam Adisusilo, 2012:2) bahwa “pertimbangan moral merupakan faktor yang amat menentukan perilaku moral”.

  Menurut Kohlberg (dalam Soerdarsih, 2000:121) pertimbangan atau juga disebut penalaran moral adalah “suatu pemikiran tentang masalah moral”. Pemikiran itu merupakan prinsip yang dipakai dalam menilai dan melakukan suatu tindakan dalam situasi moral. Penalaran moral dipandang sebagai suatu struktur bukan isi. Jika penalaran moral dilihat sebagai isi, maka sesuatu dikatakan baik atau buruk akan sangat tergantung pada lingkungan sosial budaya tertentu, sehingga sifatnya akan sangat relatif. Tetapi jika penalaran moral dilihat sebagai struktur, maka apa yang baik dan buruk terkait dengan prinsip filosofis moralitas, sehingga penalaran moral bersifat universal. Penalaran moral inilah yang menjadi indikator dari tingkatan atau tahap kematangan moral.

  Memperhatikan penalaran mengapa suatu tindakan salah, akan lebih memberi penjelasan dari pada memperhatikan perilaku seseorang atau bahkan mendengar pernyataannya bahwa sesuatu itu salah (Duska dan Whelan, 1975).

  Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pertimbangan moral atau yang sering juga disebut sebagai penalaran moral adalah kemampuan (konsep dasar) seseorang untuk dapat memutuskan masalah sosial- moral dalam situasi kompleks dengan melakukan penilaian terlebih dahulu terhadap nilai dan sosial mengenai tindakan apa yang akan dilakukannya.

  Tahap-tahap perkembangan penalaran moral dibagi menjadi 3 tingkat yang terdiri dari prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional. Tiga tingkat tersebut kemudian dibagi atas enam tahap (Kohlberg dalam Sarbaini, 2012:21-25).

  1 Tingkat Prakonvensional Kondisi pada tahap ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, atau benar dan salah.

  Akan tetapi hal ini ditafsirkan dari segi menghindari hukuman atau untuk mendapatkan hadiah. Tingkat ini biasanya terdapat pada usia 4 sampai 10 tahun. Terdapat dua tahap pada tingkat ini yaitu:

  Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan. Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Dinilai sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas. Tahap 2: Orientasi relativis-instrumental. Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar. Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan hal ”Jika engkau menggaruk punggungku, nanti aku juga akan menggaruk punggungmu”, dan bukan karena loyalitas, rasa terima kasih atau keadilan.

  2 Tingkat Konvensional Individu pada tingkat konvensional menemukan pemikiran-pemikiran moral pada masyarakat. Pada tingkat ini seseorang menyadari dirinya sebagai seorang individu di tengah-tengah keluarga, masyarakat dan bangsanya. Keluarga, masyarakat, bangsa dinilai memiliki kebenarannya sendiri, karena jika menyimpang dari kelompok ini akan terisolasi. Oleh karena itu, kecenderungan individu pada tahap ini adalah menyesuaikan diri dengan aturan-aturan masyarakat dan mengidentifikasikan dirinya terhadap kelompok sosialnya. Kalau pada tingkat prakonvensional perasaan dominan adalah takut, pada tingkat ini perasaan dominan adalah malu. Tingkat ini berkisar usia 10 sampai 13 tahun. Tingkat ini mempunyai dua tahap yakni: Tahap 3: Orientasi kesepakatan antara pribadi/orientasi “anak manis”. Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh anak. Terdapat banyak konformitas terhadap

  ”alamiah”. Perilaku sering dinilai menurut niatnya, ungkapan ”dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi baik. Konsep seperti kesetiaan, kepercayaan dan rasa terima kasih mulai dikenal. Individu mulai mengisi peran sosial yang diharapkan masyarakatnya. Sesuatu dikatakan benar jika memenuhi harapan masyarakat dan dikatakan buruk jika melanggar aturan sosial. Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban. Pada tahap ini, individu dapat melihat sistem sosial secara keseluruhan. Aturan dalam masyarakat merupakan dasar baik atau buruk, melaksanakan kewajiban dan memperlihatkan penghargaan terhadap otoritas adalah hal yang penting. Alasan mematuhi peraturan bukan merupakan ketakutan terhadap hukuman atau kebutuhan individu, melainkan kepercayaan bahwa hukum dan aturan harus dipatuhi untuk mempertahankan tatanan dan fungsi sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri.

  3 Tingkat Pasca-konvensional Tingkat ini disebut juga moralitas yang berprinsip (principled morality). Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Baik atau buruk didefinisikan pada keadilan yang lebih besar, bukan pada aturan masyarakat yang tertulis atau kewenangan tokoh otoritas. Tahap ini sudah dimulai dari remaja awal sampai seterusnya. Ada dua tahap pada tingkat ini yaitu: Tahap 5: Orientasi kontrak sosial legalistis. Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian. Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. pendapat pribadi bersesuaian dengannya, terdapat suatu penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal nilai dan pendapat pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial (dan bukan membekukan hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya tahap 4). Tahap 6: Orientasi prinsip etika universal. Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensifitas logis, universalitas dan konsistensi logis. Keenam tingkat penalaran moral yang dikemukakan oleh Kohlberg tersebut dibedakan satu dengan yang lainnya bukan berdasarkan keputusan yang dibuat, tetapi berdasarkan alasan yang dipakai untuk mengambil keputusan.

2.1.4 Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral

2.1.4.1 Teori Perkembangan Kognitif untuk Pembelajaran Moral

  Berkenaan dengan korelasi pengetahuan moral dan perilaku moral, Sarbaini (2012:33) menjelaskan sebagai berikut:

  Moralitas individu dapat dipengaruhi oleh pengetahuan moral, kuantitas dan kualitas pengetahuan nilai moral, serta "tidak selalu menjamin" kualitas perilaku moral seseorang sehingga tidak selalu berkorelasi (moral

  knowledge moral behavior)

  , akan tetapi dapat membantu perkembangan moral. Mengacu pada pengertian di atas dapat dimaknai bahwa pengetahuan

  (aspek kognitif) dapat mempengaruhi sikap seseorang, oeh karena itu hal tersebut sangat penting karena merupakan awal dari perubahan perilaku.

  Berdasarkan teori perkembangan moral kognitif, maka perkembangan tahapan kognitif moral menurut Kohlberg (dalam Adisusilo, 2012:24) terdiri dari tiga tingkatan, masing-masing tahapan terdiri dari dua tahapan yang dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:

  1. Tingkatan Pre-konvensional b. Tahapan 2, berorientasi pada relativis instrumental (praktis-pragmatis)

  2. Tingkatan Konvensional

  a. Tahapan 3, berorientasi konformitas terhadap citra stereotipe mayoritas (orientasi masuk kelompok goodboy dan nicegirls).

  b. Tahapan 4, berorientasi pada ketertiban hukum, sosial dan agama (orientasi hukum dan ketertiban).

  3. Tingkatan Post-konvensional

  a. Tahapan 5, berorientasi pada kontrak sosial legalistis (berorientasi pada kemanfaatan sosial berdasarkan hak-hak individual dan berdasarkan standar yang telah dikaji secara kritis, dan disetujui oleh masyarakat).

  b. Tahapan 6, berorientasi pada asas etika (berorientasi pada keputusan hati nurani berdasarkan prinsip-prinsip etika pilihan sendiri secara rasional, dan komprehensif).

  Perkembangan moral kognitif demikian dialami oleh seseorang dan setiap perilaku moral yang dilakukan terhadap sesuatu hal, termasuk masalah moral dan sosial, tidak terlepas dari pertimbangan moral yang menjadi landasan orientasi penilaian moralnya. Karena tahapan perkembangan moral merupakan satu sistem pemikiran yang terorganisir, yang memperkuat dan sekaligus mengarahkan kepada keputusan-keputusan moral tertentu.

  Pertimbangan moral dan landasan orientasi moral seseorang, menurut Kohlberg (dalam Sarbaini, 2012:34) akan dapat ditingkatkan melalui model pembelajaran moral yang menekankan pada perkembangan kognitif.

  Perkembangan kognitif moral seseorang melalui tahapan-tahapan yang harus dilaluinya, dapat ditingkatkan dengan meminta siswa untuk mengambil keputusan moral yang menantang melalui isu nilai-nilai tertentu atau nilai-nilai yang berdimensi dilema moral yang dihadapkan kepada siswa.

  Maksud dari model pembelajaran moral yang menekankan pada perkembangan kognitif adalah tidak sekedar untuk membuka atau membentuk penalaran seseorang/siswa, atau hanya membiasakan siswa dengan keberadaan isu-isu nilai-nilai tertentu atau nilai-nilai yang berdimensi dilema moral, tetapi kognitif moral sudah dicapainya dan untuk mencapai tahapan yang lebih tinggi lagi.

2.1.4.2 Konsep Perkembangan Kognitif untuk Pembelajaran Moral

  Pembelajaran berbasis perkembangan moral kognitif adalah berdasarkan pada teori perkembangan moral kognitif yang dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg dan bertolak pada pendapat Dewey dan Piaget mengenai perkembangan berpikir moral.

  Kohlberg (dalam Djahiri dan Wahab, 1996:41) meyakini bahwa nilai- moral-norma hanya akan mempribadi (personalized), melalui struktur kognitif,

  

cognitive conflict dan penalaran, di mana akan terjadi transaksi intelektual

  taksonomi tinggi dalam mencari pemecahan suatu masalah yang termuat dalam stimulus pembelajaran. Kadar dilema dalam stimulus menentukan peringkat transaksi intelektual. Hal tersebut di atas juga sejalan seperti apa yang dijelaskan Sarbaini (2012:36):

  Moralitas individu dapat dipengaruhi oleh pengetahuan moral, tetapi tidak selalu berkorelasi (moral knowledge tidak sama dengan moral behaviour), dan dapat membantu perkembangan moral. Pengetahuan (aspek kognitif) yang mempengaruhi sikap seseorang penting, karena merupakan awal dari perubahan perilaku. Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat dimaknai bahwa kuantitas dan kualitas pengetahuan moral tidak selalu menjamin kualitas perilaku moral seseorang, namun paling tidak melalui pengetahuan moral tersebut dapat menjadi titik awal dalam perubahan perilaku seseorang.

  Pembelajaran moral dalam konsep perkembangan kognitif adalah tipe pembelajaran yang mengarahkan atau menstimulasikan perkembangan moral peserta didik selaras dengan keadilan dan bisa dianggap memenuhi keabsahan. Hal ini disebabkan pembelajaran moral menurut konsep ini tidak bersifat memaksa dan netral. Selain itu, kerangka metodologisnya begitu menghargai kemampuan peserta didik dalam melakukan refleksi dan pilihan.

  Beberapa konsep perkembangan kognitif yang dapat dijadikan acuan untuk pembelajaran moral menurut Sarbaini (2012:37-38) adalah sebagai berikut:

  Pertama, moralitas. Perkembangan moralitas seseorang terletak pada penekanannya yang konsisten terhadap peranan kognisi dalam moralitas. Peran kognisi merupakan pintu masuk bagi perkembangan moralitas seseorang.

  Kedua, orang yang bermoral. Menurut konsep perkembangan kognitif dalam pembelajaran nilai moral diharapkan akan menghasilkan pribadi yang terdidik secara moral.

  Ketiga, guru/ pendidikan. Guru dalam pembelajaran nilai moral hendaknya melaksanakan tugas utama, yakni memberikan kontribusi terhadap proses perkembangan moral peserta didik dengan berperan sebagai fasilitator. Hakekat dari tugas tersebut adalah mengembangkan kemampuan peserta didik dalam proses berpikir, mempertimbangkan dan memutuskan.

  Sarbaini (2012:37-38) juga turut mendeskripsikan secara lebih rinci tentang pribadi yang terdidik secara moral sebagai berikut: Pertama, pribadi yang mampu menunjukkan suatu kombinasi dari berbagai karakteristik, seperti refleksi, prinsip, memancarkan nilai-nilai moral keadilan, memiliki disposisi dalam bertindak, sadar akan keharusan berinteraksi dengan situasi sosial dan dalam menghadapi situasi moral Kedua, pribadi yang mampu menyerap proses pertimbangan moral maupun melaksanakan proses tersebut, sehingga memiliki kesadaran akan adanya prinsip-prinsip di dalam kehidupan.

2.1.4.3 Model Pembelajaran Berbasis Perkembangan Kognitif Moral

  Substansi pembelajaran yang menggunakan model perkembangan kognitif moral menurut Sarbaini (2012:42) harus terdiri dari 5 (lima) hal yang merupakan substansi (inti) dari model pembelajaran perkembangan kognitif moral, yaitu:

  Pertama adalah fokus. Fokus dari model pembelajaran ini adalah berupa atau dalam bentuk adanya situasi dilematis. Situasi dilematis ini harus antara lain: terfokus pada kehidupan peserta didik, isi/ materi pelajaran, atau pada kehidupan masyarakat, pemerintahan, dan negara yang aktual. Situasi dilema yang dikehendaki harus asli atau mencerminkan hal yang sesungguhnya dari kehidupan nyata.

  Kedua adalah tokoh utama. Dilema harus melibatkan seorang tokoh utama atau kelompok utama dari tokoh-tokoh cerita sekitar dilema itu terfokus. Peserta

  Ketiga adalah pilihan. Tokoh utama harus memiliki dua pilihan alternatif tindakan yang membutuhkan satu konflik tertentu. Pilihan tidak harus berupa jawaban yang benar menurut kelaziman di masyarakat.

  Keempat, isu-isu moral. Situasi dilema dan tokoh utama berkaitan dengan norma-norma sosial, politik, ekonomi, budaya, keluarga, masyarakat, dan lain- lain, misalnya hukuman, seks, politisi busuk, dan koruptor.

  Terakhir, kelima adalah pertanyaan tindakan. Pertanyaan tindakan adalah berupa tindakan apa yang harus dilakukan tokoh utama. Tindakan ini merupakan inti kegiatan diskusi yang berpusat pada penilaian moral dalam suatu dilema.

  Agar pelaksanaan strategi pembelajaran dengan menggunakan model perkembangan kognitif moral ini sesuai dengan asumsi dan tujuannya, maka pembelajaran tersebut harus dijabarkan ke dalam langkah-langkah prosedur pelaksanaan pembelajaran. Adapun langkah-langkah pembelajaran berbasis kognitif moral menurut Sarbaini (2012:43) adalah sebagai berikut :

  1. Menghadapkan peserta didik dengan satu dilema moral, dapat berupa antara lain lembar cerita, role playing, fragmen film, atau kliping koran.

  Peserta didik harus dapat memahami masalah yang dilematis yang dihadapi tokoh utama dalam cerita.

  2. Menetapkan posisi sementara. Guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menetapkan posisi sementara dirinya dalam dilema moral yang dihadapi, dengan cara menuliskan posisinya. Kemudian guru mengelompokkan visi yang sama.

  3. Mengkaji penalaran/pertimbangan moral. Peserta didik dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil untuk mengkaji pertimbangan moralnya

  (moral reasoning) dalam kelompoknya.

  4. Memikirkan cara mendalam setiap visi individual (Reflect on the

  Individual Position) . Guru membantu peserta didik sekali lagi untuk merenungi posisinya dalam dilema moral tersebut.

  5. Dilema moral disesuaikan dengan perkembangan peserta didik dalam pendidikan dasar tingkat SD, misalnya dilema tentang kerjasama, sikap adil, memahami orang lain, serta kerukunan dalam keragaman.

2.1.5 Model Pembelajaran Value Clarification Technique (VCT)

2.1.5.1 Pengertian Model Pembelajaran VCT

  Model pembelajaran VCT pertama kali dikembangkan oleh Louis Raths tahun 1950 dari Universitas New York. Model pembelajaran klarifikasi nilai ini peserta didik dalam mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri dan nilai-nilai orang lain. Karakteristik individu dalam menentukan nilai sangat fluktuatif, dalam arti bisa suatu saat mengalami kenaikan maupun penurunan. Fluktuatif dalam menentukan nilai ini dipengaruhi oleh perkembangan individu sendiri. Dengan menggunakan VCT diharapkan dapat memberikan penyegaran nilai-nilai yang fluktuatif tersebut agar nilai yang baik dapat diyakini oleh peserta didik (Claudia Macari, 1972:621) Model pembelajaran sendiri menurut Trianto (2010:53) adalah sebagai berikut:

  Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pembelajaran dan para guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran. Karakteristik VCT sebagai model pembelajaran dalam strategi pembelajaran nilai/moral bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan mengembangkan kemampuan peserta didik dalam dalam mengidentifikasi nilai- nilai mereka sendiri dan nilai-nilai orang lain. (Nurul Zuriah, 2007:75)

  Model pembelajaran klarifikasi nilai membantu peserta didik untuk mampu mengkomunikasikan secara jujur dan terbuka tentang nilai-nilai mereka sendiri kepada orang lain dan membantu peserta didik dalam menggunakan kemampuan berpikir rasional dan emosional dalam menilai perasaan, nilai dan tingkah laku mereka sendiri.

  Hall (dalam Adisusilo, 2012:145) mengartikan teknik klarifikasi nilai (VCT) sebagai:

  “By value clarification we mean a methodology or process by which we help a person to discover values through behavior, feelings, ideas, and through important choices he has made and is continually, in fact, acting uppon in and through his life.”

  Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah: “Dengan klarifikasi nilai berarti cara atau proses dimana kita membantu seseorang untuk menemukan nilai-nilai melalui perilaku, perasaan, ide, dan pilihan-pilihan penting yang telah ia lakukan dan secara terus-menerus, pada kenyataannya, tindakan terjadi di

  Menurut Sanjaya (2008:88) VCT merupakan “teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa”.

  Menurut Adisusilo (2012:141) “Value Clarification Technique (VCT) adalah pendidikan nilai dimana peserta didik dilatih untuk menemukan, memilih, menganalisis, memutuskan, mengambil sikap sendiri nilai-nilai hidup yang ingin diperjuangkannya”.

  Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa VCT merupakan pembelajaran nilai yang mampu mengarahkan peserta didik mempunyai keterampilan atau kemampuan menentukan nilai-nilai hidup yang tepat sesuai dengan tujuan hidupnya.

  Melalui klarifikasi nilai, peserta didik tidak diminta menghafal dan ‘disuapi’ dengan nilai-nilai yang sudah dipilihkan pihak lain, melainkan dibantu untuk menemukan, menganalisis, mempertanggungjawabkan, mengembangkan, memilih, mengambil sikap dan mengamalkan nilai-nilai hidupnya sendiri. Peserta didik tidak dipilihkan nilai mana yang baik dan benar untuk dirinya, melainkan diberi kesempatan untuk menentukan pilihan sendiri nilai-nilai mana yang mau dikejar, diperjuangkan dan diamalkan dalam hidupnya. Dengan demikian, peserta didik semakin mandiri, semakin mampu mengambil keputusan sendiri dan mengarahkan hidupnya sendiri, tanpa campur tangan yang tidak perlu dari pihak lain. Dalam hidup manusia selalu berhadapan dengan situasi yang mengundangnya untuk membuat pilihan. Tanpa keterampilan menentukan pilihan sendiri, orang akan banyak mengalami kesulitan dalam perjalanan hidupnya.

2.1.5.2 Tujuan Model Pembelajaran VCT

  Taniredja (2011:88) mengungkapkan tujuan VCT dalam pembelajaran PKn adalah:

  a. Mengetahui dan mengukur tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar pijak menentukan target nilai yang akan dicapai.

  b. Menanamkan kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimiliki baik tingkat maupun sifat yang positif maupun yang negatif untuk selanjutnya ditanamkan ke arah peningkatan dan pencapaian target nilai.

  c. Menanamkan nilai-nilai tertentu kepada siswa melalui cara yang rasional (logis) dan diterima siswa, sehingga pada akhirnya nilai tersebut akan menjadi milik siswa sebagai proses kesadaran moral bukan kewajiban moral.

  d. Melatih siswa dalam menerima serta menilai dirinya dan posisi nilai orang lain, menerima serta mengambil keputusan terhadap suatu persoalan yang berhubungan dengan pergaulannya dan kehidupan sehari-hari.

  Menurut Sanjaya (2008:82) VCT memiliki beberapa tujuan yaitu:

  a. Untuk mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai.

  b. Membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik tingkatannya maupun sifatnya (positif dan negatifnya) untuk kemudian dibina ke arah peningkatan dan pembetulannya.

  c. Untuk menanamkan nilai-nilai tertentu kepada siswa melalui cara yang rasional dan diterima siswa sehingga pada akhirnya nilai tersebut akan menjadi milik siswa.

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Efektifitas Pengembangan Pembelajaran Assure dalam Mengimplementasikan Pendekatan Saintifik terhadap Hasil Belajar Muatan IPA Siswa Di Kelas 3

0 0 24

BAB IV PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Prasyarat Pre-test Hasil Belajar 4.1.1 Uji Normalitas Pre-test - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Efektifitas Pengembangan Pembelajaran Assure dalam Mengimplementasikan Pendekatan Saint

0 0 17

Lampiran 1 Hasil Skor Analisis Gaya Belajar Siswa (Kelas Eksperimen)

0 1 62

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Pendekatan Scientific Melalui Metode Guided Discovery terhadap Hasil Belajar Matematika pada Siswa Kelas 4 SD Gugus Perahu Kecamatan Ngadirejo K

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Pendekatan Scientific Melalui Metode Guided Discovery terhadap Hasil Belajar Matematika pada Siswa Kelas 4 SD Gugus Perahu Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung Semester II Tahun Pe

0 0 16

3.1.2. Waktu dan Tempat Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Pendekatan Scientific Melalui Metode Guided Discovery terhadap Hasil Belajar Matematika pada Siswa Kelas 4 SD Gugus Perahu Kecamatan Ngadirejo Kabu

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Pendekatan Scientific Melalui Metode Guided Discovery terhadap Hasil Belajar Matematika pada Siswa Kelas 4 SD Gugus Perahu Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung Semester II Tahun Pe

0 0 21

PENGARUH PENDEKATAN SCIENTIFIC MELALUI METODE GUIDED DISCOVERY TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA SISWA KELAS 4 SD GUGUS PERAHU KECAMATAN NGADIREJO KABUPATEN TEMANGGUNG SEMESTER II TAHUN PELAJARAN 20142015

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Pendekatan Scientific Melalui Metode Guided Discovery terhadap Hasil Belajar Matematika pada Siswa Kelas 4 SD Gugus Perahu Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung Semester II Tahun Pe

0 1 83

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Efektivitas Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral Melalui Model Value Clarification Technique (VCT) terhadap Hasil Belajar PKn dengan Mempertimbangkan Moral Judgement Siswa K

0 0 6