BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hakekat Pembelajaran IPA 2.1.1 Pengertian IPA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Keaktifan dalam Pembelajaran IPA dengan Model Problem Based Learing (PBL) Siswa Kelas 5 SDN Wonorejo 04 Kec

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Hakekat Pembelajaran IPA

2.1.1 Pengertian IPA

  Ilmu Pengetahuan Alam atau Sains (science) diambil dari kata latin

  Scientia yang arti harfiahnya adalah pengetahuan, tetapi kemudian

  berkembang menjadi khusus Ilmu Pengetahuan Alam atau Sains. Sund dan Trowbribge (dalam Usman, 2011) merumuskan bahwa Sains merupakan kumpulan pengetahuan dan proses.

  Sedangkan Kuslan Stone (dalam Usman, 2011) menyebutkan bahwa Sains adalah kumpulan pengetahuan dan cara-cara untuk mendapatkan dan mempergunakan pengetahuan itu. Sains merupakan produk dan proses yang tidak dapat dipisahkan.

  Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena alam dan segala sesuatu yang ada di alam. IPA merupakan pengetahuan yang ilmiah, yaitu pengetahuan yang diperoleh secara ilmiah. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Powler (dalam Winaputra, 1992: 122).

  Cara penyelidikan IPA meliputi observasi (observation), eksperimen (experimentation), dan matematika (mathematics). Proses pembelajaran IPA menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah, Usman (2006: 150). Secara sistematis, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga

  IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta- fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan.

  Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan IPA dapat dimasukkan dalam klasifikasi ilmu pendidikan karena dimensi pendidikan IPA sangat luas dan sekurang-kurangnya meliputi unsur- unsur (nilai-nilai) sosial budaya, etika, moral dan agama. Oleh sebab itu, belajar IPA bukan hanya sekedar memahami konsep ilmiah dan aplikasi dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengembangkan berbagai nilai yang terkandung dalam dimensi Pendidikan IPA.

  Pendidikan IPA adalah lebih dari sekedar kumpulan yang dinamakan fakta. IPA merupakan kumpulan pengetahuan dan juga proses. Pembelajaran

  IPA di sekolah di harapkan memberi berbagai pengalaman pada anak yang mengijinkan mereka melakukan berbagai penelusuran ilmiah yang relevan (Suprijono, 2003: 11).

  Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, IPA merupakan ilmu yang mempelajari tentang segala sesuatu yang terdapat di alam, baik itu zat yang terkandung atau gejala yang terdapat di alam. IPA merupakan pengetahuan mempunyai kebenaran melalui metode ilmiah baik secara induktif ataupun deduktif, dengan ciri: objektif, metodik, sistimatis, universal, dan tentatif.

2.1.2 Pembelajaran IPA SD

  Kata pembelajaran mulai marak digunakan pada tahun 2005 setelah terjadi pergantian kurikulum 1994 menjadi kurikulum berbasis kompetensi, ditinjau dari sudut kebahasaan, pembelajaran berasala dari kata ajar. Dalam kamus besar bahasa indonesia, kata ajar merupakan kata benda yang berarti petunjuk yang diberikan kepada orang agar diketahui. Sedangkan menurut Wiyani(2013) “hakikat pembelajaran adalah proses menjadikan orang agar mau belajar dan mampu (kompeten) belajar melalui berbagai pengalamanya agar tingkah lakunya dapat berubah menjadi lebih baik lagi ”.

  Selanjutnya Wiyani(2013) mengartikan pembelajaran adalah sebagai proses, cara, perbuatan menjadikan orang untuk belajar. Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah proses belajar dari pengalaman untuk menjadikan orang berkompeten dan adanya perubahan tingkah laku yang lebih baik.

  Menurut Kurikulum Pendidikan Dasar dalam Garis-Garis Besar Program Pendidikan (GBPP) kelas V Sekolah Dasar menyatakan: Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau Sains merupakan hasil kegiatan manusia yang berupa pengetahuan, gagasan dan konsep-konsep yang terorganisasi tentang alam sekitar, yang diperoleh dari pengalaman melalui serangkaian proses kegiatan ilmiah antar lain penyelidikan, penyusunan dan pengujian gagasan- gagasan.

  Sedangkan ketrampilan proses IPA untuk anak – anak menurut Paolo dan Marten (dalam Yuniati Sri 1993 : 5) adalah : 1)Mengamati.2)Mencoba mengamati apa yang diamati. 3)Menggunakan pengetahuan baru untuk melihat apakah ramalan

  • – ramalan tersebut benar. Selanjutnya Paolo dan Martien (dalam Yuniati Sri 1993 : 5) juga menegaskan bahwa dalam IPA mencakup juga

  “coba – coba dan melakukan kesalahan, gagal dan mencoba lagi ”. Oleh karena itu Pendididkan IPA menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah.

2.2 Keaktifan Belajar

2.2.1 Keaktifan

  Menurut Mc. Keachie ( dalam Hamiyah dan Jauhar, 2014 : 26 ) menyatakan “keaktifan siswa adalah wujud dalam belajar”. Sedangkan menurut Suprihatiningrum (2014 : 100) Keaktifan merupakan prinsip dalam pembelajaran. Siswa belajar secara aktif berarti belajar dengan melibatkan keaktifan mental (intelektual-emosional) walaupun dalam banyak hal diperlukan keaktifan fisik.

  Hal itu memperjelas teori behavioristik tentang adanya respon, tanpa ada respon (aktivitas) belajar tidak akan dapat terjadi meskipun diberikan stimulus. Demikian juga dalam teori kognitif bahwa belajar menunjukan adanya jiwa yang sangat aktif, jiwa akan mengolah informasi yang diterima. Tanpa ada keaktifan dalam belajar, tidak akan dapat membuat kesimpulan.

  Keaktifan memiliki beragam bentuk. Menurut (Suprihatiningrum, 2014 : 100) Bentuk keaktifan dalam belajar dapat dikategorikan menjadi 2, yaitu : keaktifan yang dapat diamati (konkret) dan sulit diamati (abstrak). Keaktifan yang dapat diamati, misalnya mendengarkan, menulis, membaca, menyanyi, menggambar, dan berlatih. Sementara kegiatan yang sulit diamati berupa kegiatan psikis seperti menggunakan khasanah pengetahuan untuk memecahkan permasalahan, membandingkan konsep, menyimpulkan hasil pengamatan, berpikir tinggi.

  Hal ini sesuai dengan pernyataan Paul D.Dierich dalam Hamalik, 2004 : 172-173 membagi kegiatan belajar aktif dalam 8 kelompok, ialah : 1)

  Kegiatan–kegiatan visual, yaitu membaca, melihat gambar, mengamati eksperimen, demontrasi, pameran, dan mengamati oarang lain bekerja atau bermain. 2)

  Kegiatan-kegiatan lisan (oral), yaitu mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, wawancara, diskusi, dan intrerupsi. 3)

  Kegiatan-kegiatan mendengarkan, yaitu mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan suatu permainan. 4)

  Kegiatan-kegiatan menulis, yaitu menulis cerita, menulis laporan, memeriksa karangan, membuat rangkuman, mengerjakan tes, dan mengisi agket. 5)

  Kegiatan-kegiatan menggambar, yaitu membuat grafik, chart, diagram peta, dan pola. 6)

  Kegiatan-kegiatan metrik, yaitu melakukan percobaan, memilih alat-alat, melaksanakan pameran, membuat model, menyelenggarakan permaianan, menari, dan berkebun. 7)

  Kegiatan-kegiatan mental, yaitu merenung, mengingat, memecahkan masalah, menganalisis, dan membuat keputusan.

8) Kegiatan-kegiatan emosional, yaitu minat, berani, dan tenang.

  Bobot/kadar keaktifan belajar setiap siswa berbeda

  • – beda dengan kategori keaktifan rendah, sedang, dan tinggi (Sudjna, 2005 ). Jika dibuat rentangan skala dari 0
  • – 10, maka keaktifan belajar ada pada skala 1 – 10, tidak ada skala 0, berapapun kecilnya keaktifan tersebut. Sedangkan menurut Sugiyono, 2010:134 Jawaban setiap item instrument yang menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif. Angket pernyataan ini menggunakan empat alternatif jawaban dengan bobot skor selalu= 4, sering= 3, kadang-kadang= 2, tidak pernah= 1.
Menurut Sudjana (2005:61) penilaian proses belajar mengajar adalah melihat sejauh mana keaktifan siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar. Keaktifan siswa dapat dilihat dalam hal :

  1) Turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya. 2) Terlibat dalam pemecahan masalah. 3)

  Bertanya kepada siswa lain atau guru apabila tidak memahami persoalan yang dihadapi. 4)

  Berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah. 5) Melaksanakan diskusi kelompok sesuai dengan petunjuk guru. 6) Menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperoleh. 7)

  Melatih diri dalam memecahkan soal atau masalah yang sejenis. 8)

  Menggunakan kesempatan atau menerapkan apa yang telah diperoleh dalam penyelesaian tugas atau persoalan yang dihadapinya. Ada tiga pola komunikasi antara guru dan anak didik dalam proses belajar mengajar untuk menciptakan konsep siswa belajar aktif , yakni 1) komunikasi sebagai aksi, guru aktif dan anak didik pasif; 2) komunikasi sebagai interaksi, antara guru dan anak didik terjadi dialog; dan 3) komunikasi sebagai transaksi, anak didik dituntut lebih aktif dari pada guru, seperti halnya guru dapat berfungsi sebagai sumber belajar bagi anak didik (Drs. Moh. Uzer Usman dalam Djamarah, 2005:13).

  Depdikbud, 1989 untuk mewujutkan keaktifan siswa sekolah dasar dalam pembelajaran dapat menerapkan prinsip belajar siswa aktif. Prinsip belajar siswa aktif adalah 1) prinsip motivasi; 2) prinsip latar (pengetahuan awal siswa); 3) prinsip menemukan; 4) prinsip belajar sambil melakukan

  

(learning by doing) ; 5) prinsip belajar sambil bermain; 6) prinsip hubungan

sosial (kerja kelompok).

  Menurut Febrika (2010:16), indikator keaktifan sebagai ciri adanya aktivitas yang dilakukan siswa agar tujuan pembelajaran dapat tercapai adalah sebagai berikut:

1) Turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya.

  a.

  Memperhatikan penjelasan guru/ teman.

  b.

  Mempersiapkan alat-alat belajarnya. Membaca buku.

  a.

  Bertanya pada kelompok lain.

  Memberikan saran atau kritikan terhadap penjelasan guru/ teman atau saat berdiskusi.

  b.

  Mengajukan pendapatnya terhadap sajian guru/ teman didepan kelas. 3)

  Bertanya kepada siswa lain atau guru bila tidak mengerti dengan persoalan yang dihadapi.

  a.

  Bertanya kepada guru.

  b.

  Bertanya pada teman dalam kelompok. 4)

  Berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah.

  a.

  b.

5) Melaksanakan diskusi kelompok sesuai petunjuk guru.

  a.

  Mengerjakan soal-soal tugas kelompok secara individu terlebih dahulu, sebelum kemudian mencocokkan dengan anggota kelompoknya.

  b.

  Mendiskusikan tugas kelompoknya. 6)

  Melatih diri dalam mengerjakan soal dengan mengerjakan latihan individu 7)

  Memanfaatkan kesempatan menerapkan apa yang telah diperolehnya dalam menyelesaikan tugas-tugas atau persoalan yang dihadapinya. Jadi, keaktifan peserta didik dalam proses pembelajaran dapat dikembangkan dengan menerapkan prinsip

  • – prinsip pembelajaran belajar siswa aktif. Keaktifan belajar ditandai oleh adanya keterlibatan secara optimal, baik intelektual, emosi dan fisik sesuai dengan indikator keaktifan.

  Seorang guru diharapkan mampu menemukan keterlibatan aktif secara optimal dengan mencapai kompetensi dasar yang dikembangkan dari materi pokok pembelajaran dalam proses belajar mengajar. Selanjutnya dari kompetensi dasar yang diperoleh, akan dapat dijabarkan beberapa indikator yang berkaitan dengan materi pembelajaran. Sehingga dapat dijelaskan bahwa keaktifan tersebut merupakan penekanan pembelajaran kompetensi, dimana proses yang dilakukan menekankan tercapainya suatu tujuan atau indikator yang telah ditetapkan. Hal ini ditunjukan pada gambar 1 (Sholihah, ika.2010.

  

Penerapan model pembelajaran problem based learning (pbl) untuk

meningkatkan partisipasi dan keaktifan Berdiskusi siswa dalam

pembelajaran biologi Kelas vii smp negeri 2 surakarta Tahun pelajaran

2008/2009. Skripsi : USM

  Peran Aktif Siswa Kompetensi Materi Pokok Indikator Gambar 2 Pola Keaktifan siswa dalam belajar.

2.2.2 Pengertian Belajar

  Menurut para ahli pendidikan, belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan sejumlah perubahan dalam pengetahuan - pemahaman, ketrampilan dan nilai

  • – sikap (Winkel 2007 : 59 dalam Jamil Suprihatiningrum, 2014). Budiningsih (dalam Jamil Suprihatiningrum, 2014), menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses pembentukan pengetahuan, yang mana siswa aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep, dan memberi makna tentang hal
  • – hal yang sedang dipelajari. Menurut Slameto (1995 : 1-3), “belajar adalah sebagai suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh perubahan tingkah laku keseluruhan sebagai hasil pegalaman individu dalam interaksi dalam lingkunganya ”.

  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan individu secar sadar untuk memperoleh perubahan tingkah laku tertentu, baik yang dapat diamati secara langsung maupun yang tidak dapat diamati secara langsung sebagai pengalaman (latihan) dalam interaksinya dalam lingkungan.

2.3 Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)

2.3.1 Pengertian Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)

  Arends (dalam Suprihatiningrum, 2014 : 215) menyatakan bahwa Problem Based Learning (PBL) merupakan PBL merupakan salah satu model pembelajaran yang digunakan untuk meningkatkan level berpikir tinggi yang diorientasikan pada masalah, termasuk belajar bagaimana belajar. Proses berpikir dalam pembelajaran PBL ini diperlukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Masalah yang dihadapkan pada siswa berupa konsep materi pembelajaran, sehingga dengan adanya permasalah tersebut maka dapat merangsang proses berpikir siswa yang lebih tinggi dalam memecahkan permasalahan.

  Ngalimun (2012 : 89), menyatakan bahwa Problem Based Learning (PBL) merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa. Sedangkan menurut Suprihatiningrum (2014 : 215), Problem Based Learning (PBL) adalah suatu model pembelajaran, yang mana siswa sejak awal dihadapkan pada suatu masalah, diikuti oleh proses pencarian informasi yang bersifat student centered.

  Dari beberapa definisi pengertian problem based learning (Putra Sitiatava Rizema (2013 :67), menyimpulkan bahwa model pembelajaran PBL menekankan keaktifan siswa. Pendapat ini sesuai dengan Ngalimun(2012 : 90), bahwa PBL merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikaan kondisi belajar aktif melibatkan siswa belajar.

  Model pembelajran PBL mengintergrasikan dua hal, yakni kurikulum dan proses (Eveline Siregar dalam Putra Sitiatava Rizems, 2013 : 70). “Kurikulum terdiri atas masalah-masalah yang telah dirancang dan dipilih secara teliti, yaitu menuntut kemahiran siswa dalam critical knowledge (berpikir kritis), problem solving

  proficiency (belajar memecahkan masalah), self-directed learning strategis (strategi belajar mandiri), dan team participation

  (kemampuan bekerjasama dengan kelompok) ”.

  Selanjutnya Ngalimun (2012 : 90) Peran guru ketika guru mengajar di kelas, guru harus berupaya menciptakan kondisi lingkungan belajar yang dapat membelajarkan siswa, dapat mendorong siswa belajar, atau memberi

  • – kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif mengkontrusikan konsep konsep yang dipelajari. Kondisi belajar siswa menemukan pengetahuan secara aktif sehingga terjadi peningkatan pemahaman (bukan ingatan).

  Sedangkan menurut Ibrahim 2003 (dalam Suprihatiningrum, 2014) peran guru di dalam kelas PBL antara lain : 1.

  Mengajukan masalah atau mengorientasikan siswa kepada masalah autentik, yaitu masalah kehidupan nyata sehari

  • – hari.

  2. Memfasilitasi/membimbing penyelidikan.

  3. Memfasilitasi dialog siswa.

  4. Mendukung belajar siswa. Secara garis besar, PBL merupakan pembelajaran yang menuntut siswa untuk belajar memecahkan masalah yang disajikan oleh guru. Guru berperan sebagai fasilitator, mengaktifkan siswa dengan mengajukan pertanyaan yang mengarah untuk memecahkan masalah dalam kegiatan pembelajaran.

2.3.2 Tujuan Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)

  Menurut Arends 2001 (dalam Ngalimun, 2012), ilustrasi tujuan PBL dapat dilihat pada Gambar 2.2 yang menyatakan bahwa tujuan pertama dari PBL adalah untuk keterampilan berpikir dan pemecahan masalah. Pada keterampilan berpikir terdapat berbagai macam ide yang digunakan untuk menggambarkan cara orang berpikir, menjelaskan proses berpikir dan berpikir tingkat tinggi. Tujuan kedua adalah pemodelan orang dewasa. Maksud dari tujuan ini adalah PBL dapat membantu kinerja dalam situasi kehidupan nyata dan belajar tentang pentingnya peran orang dewasa. Tujuan yang ketiga adalah membuat siswa menjadi pembelajar yang otonom dan mandiri. Siswa dituntut untuk lebih aktif dalam menyelesaikan tugas-tugas dalam proses pembelajaran. Guru hanya berperan dalam membimbing, mengarahkan dan mendorong siswa untuk mencari jawaban terhadap masalah nyata oleh siswa sendiri sehingga siswa dapat belajar menyelesaikan masalah dan tugas secara mandiri dalam kehidupan sehari-hari.

  Inquiry and Problem Solving Skill Problem Based Adult Role

  Learning Behaviors Skills for Independent Learning

  Gambar 3 Learner Outcomes for Problem Based Learning (hasil belajar problem based learning)

  Model pembelajaran PBL menuntut siswa untuk bertanggung jawab atas masalah yang dihadapi, serta diarahkan untuk tidak bergantung sepenuhnya pada guru sehingga akan terbentuk siswa yang mandiri dan kreatif. Pada pembelajaran PBL, siswa dihadapkan pada masalah dan mencoba untuk diselesaikan dengan bekal pengetahuan yang dimiliki siswa serta dapat bekerjasama dalam kelompok untuk memecahkan masalah tersebut.

2.3.3 Ciri-ciri Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)

  Menurut Rizema (2013 ), PBL memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Belajar dimulai dengan satu masalah.

  2. Memastikan bahwa masalah tersebut berhubungan dengan dunia nyata siswa.

  3. Mengorganisasikan pelajaran seputar masalah, bukan disiplin ilmu.

  4. Memberi tanggung jawab siswa dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar.

  5. Menggunakan kelompok kecil.

  6. Menuntut siswa untuk mendemontrasikan yang telah dipelajari dalam bentuk produk atau kinerja.

  Berdasarkan uraian diatas, tampak jelas bahwa pembelajaran dengan model PBL dimulai oleh adanya masalah yang dapat dimunculkan guru atau telah diketahuinya sekaligus yang perlu diketahui untuk memecahkan masalah. Siswa juga dapat memilih masalah yang dianggap menarik untuk dipecahkan, sehingga siswa terdorong untuk berperan aktif dalam belajar.

  Adapun ciri-ciri model pembelajaran problem based learning menurut Ibrahim dan Nur (dalam Rizema, 2000) adalah sebagi berikut : 1.

  Pengajuan pertanyaan atau masalah; PBL mengorganisasikan pengajaran dengan masalah yang nyata dan sesuai dengan pengalaman keseharian siswa.

  2. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin ilmu; masalah dan solusi pemecahan masalah yang diusulkan tidak hanya ditinjau dari satu disiplin ilmu, tetapi dapat ditinjau dari berbagai disiplin ilmu.

  3. Penyelidikan autentik; PBL mengharuskan siswa melakukan peyelidikan terhadap masalah nyata melalui analisis masalah, observasi, maupun eksperimen.

  4. Menghasilkan produk/karya dan memamerkanya; PBL menuntut siswa menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya (poster, puisi, laporan,gambar dll) guna menjelaskan penyelesaian masalah yang ditemukan.

  5. Kerja sama; PBL dicirikan oleh siswa yang bekerja sama secara berpasangan maupun dalam kelompok kecil guna memberi motivasi sekaligus mengembangkan ketrampilan berpikir melalui tukar pendapat serta berbagi penemuan.

2.3.4 Tahap-tahap Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)

  Menurut Arends 2004 (dalam Ngalimun, 2012 : 95) pembelajaran berbasis masalah terdiri dari lima tahapan utama yang dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Tahapan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

  Tabel 2 Tahap-tahap Pelaksanaan Pembelajaran PBL

Tahapan Tingkah Laku Guru

  Tahap 1 Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, Orientasi siswa kepada masalah menjelaskan yang dibutuhkan, menjelaskan materi secara singkat, memotivasi siswa agar terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih. Tahap 2 Guru membantu siswa mendefinisikan Mengorganisasi siswa untuk dan mengorganisasikan tugas belajar belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. Tahap 3 Guru mendorong siswa untuk Membimbing penyelidikan mengumpulkan informasi yang sesuai, individual dan kelompok melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

  Tahap 4 Guru membantu siswa merencanakan dan Mengembangkan dan menyajikan menyiapkan karya yang sesuai seperti hasil karya laporan, video dan model, serta membantu mereka berbagi tugas dengan teman.

  Tahap 5 Guru membantu siswa melakukan Menganalisis dan mengevaluasi refleksi atau evaluasi terhadap proses pemecahan masalah penyelidikan dan proses-proses yang mereka gunakan.

  Tabel 2 memperlihatkan bahwa pembelajaran PBL menuntut siswa untuk aktif belajar mandiri bersama kelompok dalam pemecahan masalah yang disajikan oleh guru. Kegiatan guru tidak lagi mendominasi pelajaran, tetapi dalam hal ini guru lebih berperan sebagai motivator, organisator, fasilitator dan evaluator. Sehingga guru, siswa dan masalah berada dalam satu lingkungan pembelajaran dan memiliki peranan masing-masing dalam PBL. Guru dalam pembelajaran memiliki hubungan dengan siswa sebagai mitra kerja, sedangkan siswa berperan aktif serta terlibat langsung dalam pembelajaran untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan materi pelajaran.

  Sudjana (1996: 93), menjelaskan bahwa model pembelajaran berbasis masalah akan meningkatkan aktivitas belajar baik secara individual maupun secara kelompok. Hampir setiap langkah menuntun keaktifan belajar siswa, sedangkan peranan guru lebih banyak sebagai pemberi stimulasi, pembimbing kegiatan siswa dan menentukan arah apa yang dilakukan oleh siswa. Keberhasilan dari model pembelajaran ini sangat bergantung pada sumber belajar bagi siswa, memerlukan waktu yang cukup, serta kemampuan guru dalam mengangkat dan merumuskan masalah. Oleh sebab itu, sebelum model ini digunakan harus dipersiapkan secara matang oleh guru, baik persiapan masalah, sumber-sumber belajar bagi siswa, waktu yang diperlukan, maupun pengelompokan siswa.

2.3.5 Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)

  Menurut Rizema (2013 : 82) model PBL memiliki kelebihan dan kelemahan, yaitu :

1. Kelebiahan Model PBL

  a) Siswa lebih memahami konsep yang diajarkan lantaran siswa yang menemukan konsep tersebut.

  b) Melibatkan siswa secara aktif dalam memecahkan masalah dan menuntut ketrampilan berpikir siswa yang lebih tinggi. c) Pengetahuan tertanam berdasarkan skemata yang dimiliki siswa, sehingga pembelajaran lebih bermakna.

  d) Siswa dapat meraskan manfaat pembelajaran karena masalah- masalah yang diselesaikan lansung berkaiatan dengan kehidupan nyata.

  e) Menjadikan siswa lebih mandiri dan dewasa, mampu memberi aspirasi dan menerima pendapat orang lain, serta menanamkan sikap sosial yang positif dengan siswa laianya.

  f) Pengondisian siswa dalam belajar kelompok yang saling berinteraksi terhadap pembelajaran dengan temannya, sehingga pencapaian ketuntasan belajar siswa dapat diharapkan.

  g) PBL diyakini pula dapat menumbuhkan kembangkan kemampuan kreativitas siswa, baik secar individual maupun kelompok, karena hampir setiap langkah menuntut adanya keaktifan siswa.

2. Kekurangan Model PBL

  Selain berbagai kelebihan, model PBL memiliki beberapa kekurangan, yakni : a)

  Bagi siswa yang malas, tujuan dari metode PBL tidak dapat tercapai.

  b) Membutuhkan banyak waktu dan dana.

  c) Tidak semua mata pelajaran bisa diterapkan denag model PBL. Sedangkan Menurut Sudjana (1996: 93),

  “pembelajaran berbasis masalah mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan ”. Kelebihannya antara lain adalah siswa memperoleh pengalaman praktis, kegiatan belajar lebih menarik sehingga tidak membosankan, bahan pengajaran lebih dihayati dan dipahami oleh siswa, siswa dapat belajar dari berbagai sumber, interaksi sosial antar peserta lebih berkembang, siswa belajar melakukan analisis dan sintesis secara simulasi dan membiasakan siswa berpikir logis dan sistematis dalam pemecahan masalah. Sedangkan kekurangannya antara lain adalah menuntut sumber-sumber dan sarana belajar yang cukup, kegiatan belajar siswa bisa membawa resiko yang merugikan jika tidak dikendalikan oleh guru dan siswa cenderung untuk menerima jawaban atau dugaan sementara apabila masalah tidak berbobot.

  Secara garis besar pembelajaran berbasis masalah dapat menumbuhkan keaktifan dan kemandirian siswa dalam proses pembelajaran terutama dalam pemecahan suatu masalah yang terkait dengan kegiatan pembelajaran yang sedang berlangsung. Karena dalam PBL siswa dihadapkan pada masalah dunia nyata dan dituntut untuk dapat mencari pemecahan masalah tersebut. Hal ini akan menimbulkan rasa penasaran siswa terhadap masalah yang sedang dihadapi sehingga muncul keaktifan siswa untuk mencoba mencari pemecahannya.

  Menurut Sudjana (1996: 95), model pembelajaran berbasis masalah ditunjang oleh metode-metode demonstrasi, eksperimen, tugas, diskusi, observasi, disamping metode ceramah dan tanya jawab. Variasi pada setiap langkah bisa dilakukan oleh guru sesuai dengan kebutuhan dan kondisi kelas. Misalnya variasi dalam memberikan apersepsi kepada siswa, variasi cara belajar yang harus dilakukan oleh siswa dan variasi dalam menyediakan sumber belajar.

2.4 Hasil Penelitian Yang Relevan

  Penelitian ini didukung oleh laporan penelitian : Agus Siswantara dkk (2013), yang berjudul

  “ Penerapan model problem

  

based learning (PBL) untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar IPA siswa

  kelas IV SD Negeri 8 kesiman ”. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan aktivitas belajar IPA melalui penerapan Model Problem Based Learning. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK). PTK atau classroom action

  

research merupakan penelitian yang bersifat aplikasi (terapan), terbatas, segera,

  dan hasilnya untuk memperbaiki dan menyempurnakan program pembelajaran yang sedang berjalan. Hasil penelitian pada aktivitas dan hasil belajar IPA menunjukkan bahwa terjadi peningkatan persentase skor rata-rata aktivitas belajar

  IPA sebesar 13,9% dari 57,4% pada siklus I menjadi 71,3% pada siklus II. Terjadi peningkatan skor rata-rata hasil belajar IPA sebesar 30% dari 66,33 pada siklus I menjadi 81,67 pada siklus II. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan Model Problem Based Learning dalam mata

  pelajaran IPA khususnya di kelas IV SD Negeri 8 Kesiman dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar IPA. Widodo dan Lusi Widayanti (2013), yang berjudul “Peningkatan aktivitas belajar dan hasil belajar siswa dengan metode Problem based learning pada siswa kelas VII A MTS Negeri Donomulyo, Nanggulan, Kulonprogo tahun pelajaran 2012/2013

  ”. Penelitian ini dilakukan karena kurangnya partisipasi aktif dan keterlibatan siswa selama proses pembelajaran. Guru perlu menerapkan metode pembelajaran yang dapat mendorong keterlibatan siswa dalam pembelajaran. Metode problem based learning adalah salah satu metode yang dapat memenuhi harapan tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah metode

  

problem based learning (PBL) dapat meningkatkan aktivitas belajar dan hasil

  belajar siswa. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) dengan subjek penelitian adalah siswa kelas VII A semester 1 MTs Donomulyo, Nanggulan, Kulonprogo Tahun 2012/2013. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tes dan observasi. Data yang terkumpul dianalisis dengan analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada peningkatan aktivitas siswa dan hasil belajar setelah menerima pembelajaran dengan metode PBL. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan metode pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kegiatan pembelajaran dan hasil belajar siswa.

  Robiatul Adawiyah (2011), yang berjudul “penerapan model pembelajaran

  problen based learning (PBL) untuk meningkatkan aktivitas belajar siswa”.

  Dimana penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan aktifitas belajar siswa melalui penerapan model pembelajaran problen based learning (PBL). Berdasarkan analisis dan pengamatan hasil dari penelitian diperoleh informasi bahwa penerapan model pembelajaran problen based learning (PBL) dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa, yang dapat dilihat dari siklus rata- rata presentase aktivitas belajar sebesar 55,2% dan rata-rata hasil belajar siswa sebesar 46,9. Sedangkan siklus II presentase aktivitas belajar sebesar 82% dan rata-rata hasil belajar siswa sebesar 71,04. Pada siklus I masih ada siswa yang mendapat nilai dibawah KKM yaitu 65, namun pada siklus II nilai terendahnya adalah 67 dan sudah tidak ada lagi siswa yang mendapat nilai dibawah KKM. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin besar rata-rata aktivitas belajar siswa, semakin besar pula rata-rata nilai tes hasil belajr siswa, dan sebaliknya.

2.5 Kerangka Pikir

  Permasalahan siswa kelas 5 di SDN Wonorejo 04 Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang dalam pembelajaran IPA adalah keaktifan intelektual siswa yang kurang optimal. Hal ini tampak dari siswa yang masih pasif dalam pembelajaran.

  Hasil observasi peneliti saat pembelajaran IPA siswa kelas 5 SDN Wonorejo

  04 Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang menunjukan kondisi awal siswa kurang aktif intelektual dalam pembelajaran IPA. Dari permasalahan tersebut, peneliti perlu mencoba menggunakan model problem based learning untuk meningkatkan keaktifan intelektual siswa dalam pembelajaran IPA.

  Memecahkan masalah, mengungkapkan pendapat, bertanya, serta menyimpulkan pemecahan masalah dalam proses belajar mengajar. Cara memperbaiki kualitas pembelajaran dalam kelas adalah dengan menggunakan model pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa dalam kegiatan pembelajaran. Pembelajaran yang berorientasi pada pemecahan masalah di dalam kelas adalah dengan penarapan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Model pembelajaran PBL ini dapat menumbuhkan keaktifan intelektual siswa karena dalam metode tersebut siswa dibagi menjadi kelompok kecil yang heterogen untuk memecahkan masalah-masalah yang ditemui dalam materi yang sedang dipelajari. Sehingga proses pembelajaran yang dilakukan akan lebih bepusat pada siswa, sehingga siswa ikut aktif dalam proses pembelajaran dan dapat mengembangkan cara-cara belajar mandiri maupun kelompok. Alur kerangka pemikiran dalam melaksanakan kegiatan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini :

  Kondisi awal Tindakan

  Mau menerima kritik dan saran dari orang lain.

  Dengan menerapkan model PBL dalam pembelajaran siswa menjadi lebih aktif

   Mau menerima kritik dan saran dari orang lain. Kondisi akhir

   Berani bertanya, mengungkapkan pendapat, mengomentari, mengkritik dan memberi saran.

   Melakukan percobaan

   Ingin memecahkan masalah

   Memunculkan rasa keingin tahuan siswa

  learning merangsang siswa :

  menerapkan model problem based

  Siklus I

  Berani bertanya, mengungkapkan pendapat, mengomentari, mengkritik dan memberi saran. 

  Proses belajar mengajar menerapkan model

  Melakukan percobaan 

  Ingin memecahkan masalah 

  Memunculkan rasa keingin tahuan siswa 

  siswa : 

  based learning merangsang

  menerapkan model problem

  Siklus I

  Siswa pasif

  problem based learning Guru belum melibatkan keaktifan intelektual siswa secara menyeluruh

  Gambar 4 Kerangka Pikir Penelitian

2.6 Hipotesis Tindakan

  Berdasarkan kerangka pikir yang telah diuraikan, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: Penggunaan model problem based learning dalam pelajaran IPA dapat meningkatkan keaktifan siswa kelas 5 SDN Wonorejo 04 Kecamatan

  Pringapus Kabupaten Semarang.

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Model Pembelajaran Think Pair Share (TPS) terhadap Hasil Belajar IPA Pada Siswa Kelas III SDN 1 Wulung Kecamatan Randublatung Kabupaten Blora Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Model Pembelajaran Think Pair Share (TPS) terhadap Hasil Belajar IPA Pada Siswa Kelas III SDN 1 Wulung Kecamatan Randublatung Kabupaten Blora Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Model Pembelajaran Think Pair Share (TPS) terhadap Hasil Belajar IPA Pada Siswa Kelas III SDN 1 Wulung Kecamatan Randublatung Kabupaten Blora Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Model Pembelajaran Think Pair Share (TPS) terhadap Hasil Belajar IPA Pada Siswa Kelas III SDN 1 Wulung Kecamatan Randublatung Kabupaten Blora Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Model Pembelajaran Think Pair Share (TPS) terhadap Hasil Belajar IPA Pada Siswa Kelas III SDN 1 Wulung Kecamatan Randublatung Kabupaten Blora Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 59

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Pembelajaran Scramble untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V SDN Kutowinangun 07 Salatiga Semester II Tahun Ajaran 2014/2015

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Pembelajaran Scramble untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V SDN Kutowinangun 07 Salatiga Semester II Tahun Ajaran 2014/2015

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Pembelajaran Scramble untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V SDN Kutowinangun 07 Salatiga Semester II Tahun Ajaran 2014/2015

0 0 29

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Pembelajaran Scramble untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V SDN Kutowinangun 07 Salatiga Semester II Tahun Ajaran 2014/2015

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Pembelajaran Scramble untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V SDN Kutowinangun 07 Salatiga Semester II Tahun Ajaran 2014/2015

0 0 104