Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Model Pembelajaran Think Pair Share (TPS) terhadap Hasil Belajar IPA Pada Siswa Kelas III SDN 1 Wulung Kecamatan Randublatung Kabupaten Blora Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kajian Teori

2.1.1. Model Pembelajaran TPS 2.1.1.1. Pengertian Model Pembelajaran Think Pair Share (TPS).

  Model pembelajaran Thing-Pair-Share (TPS) adalah salah satu model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk menunjukan partisipasi kepada orang lain. Dengan metode klasikal yang memungkinkan hanya satu siswa maju dan membagikan hasilnya untuk seluruh kelas, tipe Think-Pair-Share (TPS) ini memberikan kesempatan sedikit delapan kali lebih banyak kepada siswa untuk dikenali dan menunjukan partisipasi mereka kepada orang lain.

  Frang Lyman dan Koleganya di universitas Maryland sesuai yang dikutip Arends (1997),menyatakan bahwa think pair share merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas. Dengan asumsi bahwa semua resitasi atau diskusi membutuhkan pengaturan untuk mengendalikan kelas secara keseluruhan, dan prosedur yang digunakan dalam think pair share dapat memberi siswa lebih banyak waktu berpikir, untuk merespon dan saling membantu. Guru memperkirakan hanya melengkapi penyajian singkat atau siswa membaca tugas, atau situasi yang menjadi tanda tanya . Sekarang guru menginginkan siswa mempertimbangkan lebih banyak apa yang telah dijelaskan dan dialami .Guru memilih menggunakan think-pair-share untuk membandingkan tanya jawab kelompok keseluruhan.

  Dikemukakan oleh Lie (2002:56) bahwa, “Think Pair Share” adalah pembelajaran yang memberi siswa kesempatan untuk bekerja sendiri dan bekerjasama dengan orang lain. Think pair share memiliki prosedur secara eksplisit dapat memberi siswa waktu lebih banyak untuk berpikir, menjawab, saling membantu satu sama lain.

  Menurut Slavin (2008: 257) metode pembelajaran Think-Pair-Share merupakan metode yang sederhana tetapi sangat bermanfaat yang dikembangkan oleh Lyman dari Universitas Maryland. Metode ini menempatkan pendidikan sebagai fasilitator bukan sebagai pemberi informasi. Pembelajaran Think-Pair- Share termasuk dalam strategi pembelajaran kooperatif.

  Dari uraiaan di atas pendapat yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa Think Pair Share adalah satu strategi mengajar yang di awali dengan suatu kegiatan berupa guru memberikan suatu pertanyaan untuk dipikirkan oleh siswa kemudian meminta siswa untuk mendiskusikan jawaban dengan pasangan, setelah itu meminta salah satu atau beberapa untuk berbagi jawaban yang mereka sepakati kepada siswa sekelas.

2.1.1.1. Karakteristik Model Pembelajaran Think Pair Share (TPS)

  Untuk mengetahui tentang model Think Pair Share (TPS) kita juga perlu mengetahui karakteristiknya Menurut Atik (2007:5) menyatakan karakteristik model Think Pair Share (TPS) ada 3 langkah utama yang dilaksanakan dalam proses pembelajaran, yaitu langkah Think (berpikir secara individu),pair (berpasangan) dan share (berbagi jawaban dengan pasangan lain atau dengan seluruh kelas). Secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut:

  1) Think ( berpikir) Pada tahap think, guru mengajukan suatu pernyataan atau masalah yang dikaitkan dengan pembelajaran, siswa ditugasi untuk berpikir secara mandiri mengenai pertanyaan atau masalah yang diajukan. Dalam menentukan batasan waktu pada tahap ini guru harus mempertimbangkan pengetahuan dasar siswa untuk menjawab pertanyaan yang diberikan. Kelebihan dari tahap ini adalah adanya teknik “time” atau waktu berfikir yang memberikan kesempatan pada siswa untuk berpikir mengenai jawaban mereka sendiri sebelum pertanyaan tersebut dijawab oleh siswa lain. Selain itu, guru dapat mengurangi masalah adanya siswa yang berbicara, karena tiap siswa memiliki tugas untuk dikerjakan sendiri.

  2) Pair (berpasangan) Langkah kedua ini guru menugasi siswa untuk berpasangan dan diskusikan mengenai apa yang telah mereka pikirkan. Interaksi selama proses ini dapat menghasilkan jawaban bersama. Setiap pasangan siswa saling berdiskusi lebih baik karena siswa mendapat tambahan informasi dan pemecahan masalah yang lain. 3) Share (berbagi)

  Pada langkah akhir ini guru menugasi pasangan-pasangan tersebut untuk berbagi hasil pemikiran mereka dengan pasangan yang lain atau dengan seluruh kelas. Pada langkah ini akan menjadi lebih efektif apabila guru berkeliling dari psangan satu kepasangan yang lainnya. Langkah share (berbagi) merupakan penyempurnaan dari langkah-langkah sebelumny, dalam arti bahwa langkah ini menolong semua kelompok untuk menjadi lebih memahami mengenai pemecahan masalah yang diberikan berdasarkan penjelasan kelompok lain.

2.1.1.3. Langkah-langkah Pembelajaran TPS

  Dalam Nurhadi (2005 :120), Lyman dan kawan-kawan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: Langkah I : thinking (berpikir)

  Guru mengajukan pertanyaan atau isu yang berkaitan dengan pelajaran; dan siswa diberi waktu satu menit untuk berpikir sendiri mengenai jawaban atau isu tersebut. Langkah II : pairing (berpasangan)

  Selanjutnya guru meminta siswa berpasangan dan mendiskusikan yang telah dipikirkan. Interaksi selama periode ini dapat menghasilkan jawaban bersama jika pertanyaan telah diajukan atau penyampaian ide bersama jika isu khusus telah diidentifikasi. Biasanya guru mengijinkan tidak lebih dari 4 atau 5 menit untuk berpasangan. Langkah III : sharing (berbagi)

  Pada langkah akhir ini guru meminta pasangan-pasangan tersebut untuk berbagi atau bekerja sama dengan secara kelas secara keseluruhan mengenai yang telah mereka bicarakan, langkah ini akan efektif jika guru berkeliling kelas dari pasangan yang satu ke pasangan yang lain, sehingga seperempat atau separuh dari pasangan-pasangan tersebut memperoleh kesempatan untuk melapor.

  Dari informasi ini, dapat dikatakan bahwa model pembelajaran think pair share dapat mengatifkan siswa dalam pembelajaran untuk mengolah informasi dengan pasangannya untuk menyelesaikan suatu masalah.

2.1.1.2. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran TPS

  Hartina ( 2008: 12) menyatakan Kelebihan model pembelajaran TPS adalah:

  1. Memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengajukan pertanyaan- pertanyaan mengenai materi yang diajarkan karena secara tidak langsung memperoleh contoh pertanyaan yang diajukan oleh guru, serta memperoleh kesempatan untuk memikirkan materi yang diajarkan.

  2. Siswa akan terlatih menerapkan konsep karena bertukar pendapat dan pemikiran dengan temannya untuk mendapatkan kesepakatan dalam memecahkan masalah.

  3. Siswa lebih aktif dalam pembelajaran karena menyelesaikan tugasnya dalam kelompok, dimana tiap kelompok hanya terdiri dari 2 orang.

  4. Siswa memperoleh kesempatan untuk mempersentasikan hasil diskusinya dengan seluruh siswa sehingga ide yang ada menyebar.

  5. Memungkinkan guru untuk lebih banyak memantau siswa dalam proses pembelajaran. Adapun kelemahan model pembelajaran TPS Hartina (2008: 12) adalah

  “Sangat sulit diterapkan di sekolah yang rata-rata kemampuan siswanya rendah dan waktu yang terbatas, sedangkan jumlah kelompok yang terbentuk banyak.” Menurut Lie (2005: 46), kekurangan dari kelompok berpasangan (kelompok yang terdiri dari 2 orang siswa) adalah:

  1. Banyak kelompok yang melapor dan perlu dimonitor

  2. Lebih sedikit ide yang muncul, dan 3. Tidak ada penengah jika terjadi perselisihan dalam kelompok.

2.1.2. Hasil belajar

2.1.2.1. Hakekat Hasil Belajar

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) hasil belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka yang diberikan oleh guru. hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku. Tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian yang luas mencakup

  2011: 45), hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006: 250-251), hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenisjenis ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesaikannya bahan pelajaran. Sudjana (2010: 22-32), dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan intruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah antara lain:

  1. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari 6 aspek yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi.

  2. Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai terdiri dari 5 aspek yakni penerimaan, jawaban/reaksi, penialaian, organisasi dan internalisasi.

  3. Ranah psikomotor berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Ada 6 aspek ranah psikomotorik, yakni gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, kerharmonisa atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks, gerakan ekspresif dan interpretatif.

  Tipe hasil belajar kognitif lebih dominan daripada afektif dan psikomotor karena lebih menonjol, namun hasil belajar psikomotor dan afektif juga harus menjadi bagian dari hasil penilaian dalam proses pembelajaran di sekolah. Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar digunakan oleh guru untuk dijadikan ukuran atau kriteria dalam mencapai suatu tujuan pendidikan. Hal ini dapat tercapai apabila siswa sudah memahami belajar dan diiringi oleh perubahan tingkah laku yang lebih baik lagi.

  Aunurrahman (2011: 37), hasil belajar ditandai dengan perubahan tingkah laku. Walupun tidak semua perubahan tingkah laku merupakan hasil belajar, akan tetapi aktivitas belajar pada umumnya disertai perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku pada kebanyakan hal merupakan sesuatu perubahan yang dapat diamati (observable). Akan tetapi juga tidak selalu perubahan tingkah laku yang dimaksudkan sebagai hasil belajar tersebut dapat diamati. Untuk mengetahui keberhasilan proses dan hasil belajar siswa digunakan alat penilaian untuk mengetahui sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan tercapai atau tidak. Hasil belajar yang berupa aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik menggunakan alat penilaian yang berbeda-beda. Untuk aspek kognitif digunakan alat penilaian yang berupa tes,

  Bagi seorang guru, menilai belajar siswa sebenarnya juga menilai hasil usahanya sendiri. Menilai hasil belajar siswa berfungsi untuk dapat membantu guru dalam menilai kesiapan anak pada suatu mata pelajaran, mengetahui status anak dalam kelas, membantu guru dalam usaha memperbaiki metode belajar mengajar.

  Menurut Dimyati dan Mudjiono ( dalam Winarti 2012). Hasil belajar dapat dipandang dari dua sisi, yaitu dari sisi siswa dan guru. Dari sisi siswa dikatakan hasil belajar adalah tingkat perkembangan mental siswa lebih baik dibandingkan sebelum belajar. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar adalah saat terselesaikannya bahan pelajaran atau materi pembelajaran yang harus disampaikan. Hasil belajar merupakan hasil yang dicapai siswa atau bukti keberhasilan siswa melalui proses pembelajaran diukur dengan alat evaluasi tertentu dan dinyatakan dalam bentuk nilai. Hasil belajar memiliki peranan penting dalam proses pembelajaran yaitu guna menginformasikan kepada guru mengenai tindak lanjut, guru menyusun atau merancang apa yang akan dilakukan ketika siswa mendapat nilai memenuhi standar KKM maupun siswa yang mendapat nilai di bawah KKM. Pemerolehan hasil belajar yang baik akan mmberikan kebanggaan pada diri sendiri, orang tua, dan orang lain.

  Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil makna dari hasil belajar kegiatan belajar baik berupa pengetahuan, sikap maupun keterampilan yang intinya adalah sebuah perubahan.

2.1.2.2. Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

  Setiap seseorang belajar pasti terkadang dapat fokus dan mendapatkan hasil maksimal namun terkadang kurang maksimal karena adanya sebuah faktor. Belajar itu sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar Menurut Munadi (Rusman, 2012:124) antara lain meliputi faktor internal dan faktor eksternal:

  1. Faktor Internal Faktor Fisiologis. Secara umum kondisi fisiologis, seperti kesehatan yang prima, tidak dalam keadaan lelah dan capek, tidak dalam keadaan cacat jasmani dan sebagainya. Hal tersebut dapat mempengaruhi peserta didik dalam menerima materi pelajaran.

  Faktor Psikologis. Setiap indivudu dalam hal ini peserta didik pada dasarnya memiliki kondisi psikologis yang berbeda-beda, tentunya hal ini turut mempengaruhi hasil belajarnya. Beberapa faktor psikologis meliputi intelegensi (IQ), perhatian, minat, bakat, motif, motivasi, kognitif dan daya nalar peserta didik.

  2. Faktor Eksternal Faktor Lingkungan. Faktor lingkungan dapat mempengurhi hasil belajar. Faktor lingkungan ini meliputi lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan alam misalnya suhu, kelembaban dan lain-lain. Belajar pada tengah hari di ruangan yang kurang akan sirkulasi udara akan sangat berpengaruh dan akan sangat berbeda pada pembelajaran pada pagi hari yang kondisinya masih segar dan dengan ruangan yang cukup untuk bernafas lega.

  Faktor Instrumental. Faktor-faktor instrumental adalah faktor yang keberadaan dan penggunaannya dirancang sesuai dengan hasil belajar yang diharapkan. Faktor-faktor ini diharapkan dapat berfungsi sebagai sarana untuk tercapainya tujuan-tujuan belajar yang direncanakan. Faktor-faktor instrumental ini berupa kurikulum, sarana dan guru.

2.1.3. Pembelajaran Konvensional

  2.1.3.1. Pengertian Pembelajaran Konvensional Pembelajaran konvensional merupakan suatu pembelajaran yang sering digunakan para guru dan pembelajaran ini memiliki kekhasan tertentu, misalnya lebih mengutamakan hafalan daripada pengertian, mengutamakan hasil daripada proses dan pembelajaran berpusat pada guru. Paradigma yang menjadi acuan dari pembelajaran konvensional ini adalah paradigma mengajar.

  Djamarah (1996) metode pembelajaran konvensional adalah metode pembelajaran tradisional atau disebut juga dengan metode ceramah, karena sejak dulu metode ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran. Dalam pembelajaran sejarah metode konvensional ditandai dengan ceramah yang diiringi.

  Freire (1999) memberikan istilah terhadap pengajaran konvensional sebagai suatu penyelenggaraan pendidikan ber “gaya bank” penyelenggaraan pendidikan hanya dipandang sebagai suatu aktivitas pemberian informasi yang harus “ditelan” oleh siswa, yang wajib diingat dan dihafal.

  Berdasarkan penjelasan di atas, maka pendekatan konvensional dapat dimaklumi sebagai pendekatan pembelajaran yang lebih banyak berpusat pada guru, komunikasi lebih banyak satu arah dari guru ke siswa, metode pembelajaran lebih pada penguasaan konsep-konsep bukan kompetensi.

  2.1.3.2. Langkah-langkah Pembelajaran Konvesional FTK (2011: 26) memberikan langkah-langkah pembelajaran dengan metode konvensional adalah sebagai berikut:

  1. Guru memberikan apersepsi terhadap siswa dan memberikan motivasi kepada siswa tentang materi yang diajarkan

  2. Guru memberikan motasi

  3. Guru menerangkan bahan ajar secara verbal 4. Guru memberikan contoh-contoh.

  Sebagai iliustrasi dari apa yang sedang diterangkan dan juga untuk benda, orang, tempat, atau contoh tidak langsung, seperti model, miniatur, foto, gambar di papan tulis dan sebagianya. Contoh-contoh tersebut sedapat mungkin diambil dari lingkungan kehidupan sehari-hari siswa-siswi. Apalagi jika contoh-contoh tersebut diminta dari siswa-siswi tertentu yang sudah dapat menangkap inti persoalan. Guru memberikan kesempatan untuk siswa bertanya dan menjawab pertanyaannya

  5. Guru memberikan tugas kepada siswa yang sesuai dengan materi dan contoh soal yang telah diberikan.

  6. Guru mengkonfirmasi tugas yang telah dikerjakan oleh siswa 7. Guru menuntun siswa untuk menyimpulkan inti pelajaran.

  Setelah memaparkan beberapa contoh, diberikan kesempatan pada siswa- siswi untuk membuat kesimpulan dan generalisasi mengenai masalah- masalah pokoknya dalam bentuk rumusan, kaidah atau prinsip-prinsip umum.

  8. Guru memberikan tanggapan-tanggapan terhadap kesimpulan siswa yang dapat berupa penyempurnaan, koreksi dan penekanan.

  9. Guru memberikan kesimpulan final dalam rumusan yang sejelas-jelasnya.

  10. Mengecek pengertian atau pemahaman siswa Pada akhir pengajaran, guru mengecek pemahaman siswa atas pokok persoalan yang baru dibicarakan dengan berbagai cara, misalnya:

  1. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai pokok persoalan;

  2. Menyeluruh siswa membuat ikhtisar/ringkasan;

  3. Menyeluruh siswa menyempurnakan/membatalkan pertanyaan-pertanyaan (statement) yang dikemukakan guru mengenai bahan yang telah diajarkan;

  4. Menyeluruh siswa mencari contoh-contoh sendiri;

  5. Menugaskan siswa mendemonstrasikan/mempergunakan sebagian bahan pengajaran.

2.1.3.3. Kelebihan dan kelemahan Pembelajaran Konvensional

  Purwoto (2003) mengatakan bahwa kelebihan dan kekurangan metode konvensional adalah sebagai berikut: a. Kelebihan metode konvensional antara lain: (1) Dapat menampung kelas besar, tiap murid mendapat kesempatan yang sama untuk mendengarkan dan karenanya biaya yang diperlukan menjadi relative lebih murah. (2) Bahan pengajaran atau keterangan dapat diberikan secara lebih urut oleh guru. Konsep-konsep yang disajikan secara hirarki akan memberikan fasilitas belajar pada siswa. (3) Guru dapat memberikan tekanan terhadap hal-hal yang penting, sehingga waktu dan energi dapat digunakan sebaik mungkin. (4) Isi silabus dapat diselesaikan dengan lebih mudah, karena guru tidak harus menyesuaikan dengan kecepatan belajar siswa. (5) Kekurangan atau tidak adanya buku pelajaran dan alat bantu pelajaran tidak menghambat dilaksanakannya pelajaran dengan metode ini.

  b. Adapun Kelemahan metode konvensional antara lain: (1) Pelajaran berjalan membosankan siswa dan siswa menjadi pasif, karena tidak berkesempatan untuk menemukan sendiri konsep yang diajarkan. Siswa hanya aktif membuat catatan. (2) Kepadatan konsep-konsep yang diberikan dapat berakibat siswa tidak mampu menguasai bahan yang diajarkan. (3) Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini lebih cepat terlupakan. (4) Ceramah menyebabkan belajar siswa menjadi “belajar menghafal” (rote learning) yang tidak mengakibatkan timbulnya pengertian. Meskipun metode konvensional berpusat pada guru dan kurang memperhatikan kreatifitas dan keaktifan siswa, namun pada kenyataannya ada banyak kelebihan yang dimiliki metode ini. Sehingga metode konvensional dapat sesekali digunakan dalam kegiatan belajar sehari –hari.

2.2. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

  Tedapat beberapa penelitian pendahulu yang meneliti tentang Think Pair Share yaitu penelitian Andry Vernando (2012), Kristina Monika (2012), dan Novita Apriani (2012).

  Penelitian Andri Fernando (2012) yang berjudul Pengaruh Penerapan pembelajaran Tipe Think Pair Share (TPS) dengan Pemberian Reward Terhadap Motivasi Belajar IPA ( Studi di kalangan siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri Bugel 02 Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga Semester II Tahun Pelajaran 2011/2012) Hasil Penelitian menunjkan bahwa ada pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair share dengan pemberian reward terhadap motivasi belajar siswa. Hal ini ditunjukan dengan pemembadingkan hasil nilai t hitung yang di peroleh sebesar (-4.238) dan t tabel sebesar (2.179). untuk nilai signifikansinya di peroleh nilai sebesar 0,001. Oleh karena –t hitung <t tabel (- 4.238<2.179) dan nilai sig (0,001) <0.05, mqkq Ho di tolak, rtinya bahwa ada perbedaan antara hasil dari pengukuran awal dan pengukuran akhir. Hasil penelitian ini diukur dengan menggunakan Uji Paired sample T test. Analisis data diolah dengan menggunakan bantuan SPSS 17.0 for windows.

  Penelitian Kristina Monika (2012) yang berjudul Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS (Think Pair Share) Dalam Meningkatkan Hasil Belajar IPA Kelas V SDN 01 Nampu Kecamatan Karangrayung Kabupaten Grobogan Semester II Tahun Pelajaran 2011/2012. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata skor hasil belajar siswa pada kelompok eksperimen sebesar 79,88 lebih besar daripada rata-rata skor hasil belajar siswa pada kelompok kontrol sebesar 56,79. Sedangkan perbedaan ratarata (mean diference) sebesar 22,089 (78,88 – 56,79) dan perbedaan berkisar antara 16,562 sampai 27,617. Besarnya nilai t adalah 8,027 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,000, karena besarnya t hitung 8,027 > dari t tabel 2, 009 maka hipotesis yang diajukan diterima berarti ada perbedaan yang sangat signifikan antara nilai posttest kelas kontrol dengan nilai posttest kelas eksperimen yang artinya terdapat Efektivitas Penggunaan Model Belajar IPA Kelas V SDN 01 Nampu Kecamatan Karangrayung Kabupaten Grobogan Semester II Tahun Pelajaran 2011/2012”.

  Penelitian Novita Apriani (2012) dengan judul Pengaruh Model Pembelajaraan Kooperatif Tipe Think Pair Shareterhadap Hasil Belajar IPA Siswa Sekolah Dasar. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata skor hasil belajar siswa pada kelompok eksperimen sebesar 77,55 lebih besar daripada rata-rata skor hasil belajar siswa pada kelompok kontrol sebesar 70,85 dengan besarnya nilai t adalah -3,776 dengan tingkatsignifikansisebesar 0,000, karena besarnya t hitung -3,776> dari t tabel 1,993 maka hipotesis yang diajukan diterima berarti ada perbedaan yang sangat signifikan antara nilai posttest kelas kontrol dengan nilai posttest kelas eksperimen yang artinya terdapat perbedaan pengaruh yang sangat signifikan pada penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe think pair share terhadap hasil belajar IPA Siswa sekolah dasar SDN Salatiga.

2.3. Kerangka Pikir

  Kerangka berfikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah di identifikasi sebagai masalah yang penting. Dalam penelitian ini, peneliti akan membandingkan hasil belajar IPA antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pada kelas eksperimen akan dilakukan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran think pair share. Sedangkan pada kelas kontrol akan dilakukan pembelajaran seperti biasa guru mengajar. Untuk soal pretest akan diambil dari alat evaluasi yang telah diuji coba pada kelas uji coba. Hasil pretest di kelas eksperimen dan kelas kontrol dilakukan uji bedar rata-rata dan harus menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan. Kemudian setelah dilakukan pembelajaran think pair share di kelas eksperimen dan pembelajaran konvensional di kelas kontrol maka hasil belajar dari kedua kelompok tersebut di lakukan uji beda rata-rata hasil posttest untuk melihat apakah ada pengaruh yang signifikan dengan penggunaan model pembelajaran think pair share.

  Dalam model pembelajaran Think Pair Share (TPS) ini, siswa dapat menyelesaikan masalah dalam IPA dengan bekerja sama dengan pasangannya yang diawali dengan pemikiran secara individu. Sehingga siswa dapat menggali potensi yang dimilikinya dan dapat didiskusikan pada kelompok. Sehingga model pembelajaran IPA dengan pendekatan struktural “Think-Pair- Share” dapat menghasilkan hasil belajar IPA daripada penggunaan model pembelajaran konvensional.

  Pada tahap thinking, siswa diberi kesempatan untuk memikirkan pemecahan dari suatu soal secara mandiri. Kegiatan itu akan sangat membuat mereka bertanya-tanya sehingga akhirnya akan timbul interaksi yang kuat antara mereka dengan materi.

  Begitu juga pada tahap pairing dan sharing, siswa perlu melakukan diskusi dengan teman dalam satu kelompok dan teman sekelas mengenai pemecahan soal yang telah dipikirkan sebelumnya secara mandiri oleh masing-masing siswa. Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif dengan model TPS berperan dalam menentukan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA.

  Pe nelitian

2.4. Hipotesis

  Berdasarkan pada rumusan masalah dan tinjauan pustaka serta kerangka pemikiran tersebut maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut: Ho : Tidak terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan model pembelajaran Think-Pair-Share (TPS) terhadap hasil belajar

  IPA siswa kelas III SDN 1 Wulung Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015 . Ha : Terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan model pembelajaran Think-Pair-Share (TPS) terhadap hasil belajar

  IPA siswa kelas III SDN 1 Wulung Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015.

Dokumen yang terkait

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Matematika Melalui Metode Discovery Learning Kelas IV Semester II SD Ne

0 0 13

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1.Gambaran Umum Subyek Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Matematika Melalui Metode Discovery Learnin

0 0 31

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Matematika Melalui Metode Discovery Learning Kelas IV Semester II SD Negeri 02 Kopeng Tahun Ajaran 2014/2015

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Matematika Melalui Metode Discovery Learning Kelas IV Semester II SD Negeri 02 Kopeng Tahun Ajaran 2014/2015

0 0 101

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Pembelajaran Guided Discovery untuk Meningkatkan Hasil Belajar Mata Pelajaran IPA pada Siswa Kelas IV SDN Kutowinangun 12 Salatiga Semester II Tahun Ajaran 2014/2015

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Pembelajaran Guided Discovery untuk Meningkatkan Hasil Belajar Mata Pelajaran IPA pada Siswa Kelas IV SDN Kutowinangun 12 Salatiga Semester II Tahun Ajaran 2014/2015

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Pembelajaran Guided Discovery untuk Meningkatkan Hasil Belajar Mata Pelajaran IPA pada Siswa Kelas IV SDN Kutowinangun 12 Salatiga Semester II Tahun Ajaran 2014/2015

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Pembelajaran Guided Discovery untuk Meningkatkan Hasil Belajar Mata Pelajaran IPA pada Siswa Kelas IV SDN Kutowinangun 12 Salatiga Semester II Tahun Ajaran 2014/2015

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Pembelajaran Guided Discovery untuk Meningkatkan Hasil Belajar Mata Pelajaran IPA pada Siswa Kelas IV SDN Kutowinangun 12 Salatiga Semester II Tahun Ajaran 2014/2015

0 0 94

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Model Pembelajaran Think Pair Share (TPS) terhadap Hasil Belajar IPA Pada Siswa Kelas III SDN 1 Wulung Kecamatan Randublatung Kabupaten Blora Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 6