MACAM MACAM AKAD DALAM AKAD LEMBAGA KEUA

MACAM-MACAM AKADDALAM AKAD LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
Dalam konteks masalah muamalah berkaitan dengan berbagai aktivitas kehidupan sehari-hari.
Cakupan hukum muamalat sangat luas dan bervariasi, baik yang bersifat perorangan maupun
yang bersifat umum, seperti perkawinan, kontrak atau perikatan, hukum pidana, peradilan
dan sebagainya. Pembahasan muamalah terutama dalam masalah ekonomi tentunya akan
sering kali ditemui sebuah perjanjian atau akad.
Akad merupkan peristiwa hukum antara dua pihak yang berisi ijab dan kabul, secara sah
menurut syara dan menimbulkan akibat hukum. Jika kita kaitkan dengan sebuah desain
kontrak maka kita akan mencoba mengkaitkan dengan Lembaga Keuangan dikarenakan akad
merupakan dasar sebuah instrumen dalam lembaga tersebut, terutama di Lembaga Keungan
Syariah Akad menjadi hal yang terpenting hal ini terkait dengan boleh atau tidaknya sesuatu
dilakukan di dalam islam.
Pada kesempatan ini akan membahas akad-akad yang di gunakan di Lembaga Keungan
Syariah yang telah sering dipergunakan dalam kehiduapan sehari-hari terlebih
berkembanganya ekonomi islam. Akad yang ada dalam LKS ada yang merupakan dana
kebajikan (tabarru’) dan ada juga akad yang dijadikan dasar sebuah instrumen untuk
transakasi yang tujuannya memperoleh keuntungan (tijarah). Tentunya ini adalah hal yang
berbeda dan pastilah dalam akad itu ada beberapa penjabaran dan penjelasan bagaiman akad
itu seharusnya bisa dilakukan. Dalam makalah ini akan dibahas pengklasifikasian dari
berbagai akad yang digunakan dalam lembaga keuangan syariah.
A. PENGERTIAN AKAD DAN WA’AD

Akad dan Wa’ad dalam konteks fiqih muamalah merupakan hal yang berbeda meskipun
keduanya hampir sama yang merupakan bentuk perjanjian. Akad merupakan suatu
kesepakatan bersama antara kedua belah pihak atau lebih baik secara lisan, isyarat, maupun
tulisan yang memiliki implikasi hukum yang mengikat untuk melaksanakannya. Sedangkan
Wa’ad adalah janji antara satu pihak kepada pihak lainnya, pihak yang diberi janji tidak
memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam Wa’ad bentuk dan kondisinya
belum ditetapkan secara rinci dan spesifik. Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi
janjinya, maka sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral. Hal ini berbeda
dengan akad yang mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat yaitu pihak-pihak
terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih
dahulu. Dalam akad, bentuk dan kondisinya sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik. Bila
salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi
kewajibannya, maka ia/mereka menerima sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad.
B. MACAM-MACAM AKAD DALAM AKAD LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
Pembagian Akad dari segi ada atau tidaknya Kompensasi
I. AKAD TABARRU’
Akad tabarru’ merupakan segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi nirlaba yang

tidak mencari keuntungan (not for profit), Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolongmenolong dalam rangka berbuat kebaikan. Dalam akad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan
tersebut tidak berhak mensyaratkan dan mengharapkan imbalan apapun kepada pihak

lainnya, Pada hakekatnya, akad tabarru’ adalah akad melakukan kebaikan yang
mengharapkan balasan dari Allah SWT semata. Contoh akad-akad tabarru’ adalah qard, rahn,
hiwalah, wakalah, kafalah, wadi’ah, hibah,waqf, shadaqah,hadiah, dll.
Pada dasarnya dalam akad tabarru’ ada dua hal yaitu memberikan sesuatu atau meminjamkan
sesuatu baik objek pinjamannya berupa uang atau jasa.
1. Dalam bentuk meminjamkan uang
Ada tiga jenis akad dalam bentuk meminjamkan uang yakni :
a. Qard, merupakan pinjaman yang diberikan tanpa adanya syarat apapun dengan adanya
batas jangka waktu untuk mengembalikan pinjaman uang tersebut.
b. Rahn adalah menahan salah satu harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman
yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis, dengan demikian
pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau
sebagian piutangnya
c. Hiwalah, merupakan bentuk pemberian pinjaman uang yang bertujuan mengambil alih
piutang dari pihak lain atau dengan kata lain adalah pemindahan hak atau kewajiban yang
dilakukan seseorang (pihak pertama) yang sudah tidak sanggup lagi untuk membayarnya
kepada pihak kedua yang memiliki kemampuan untuk mengambil alih atau untuk menuntut
pembayaran utang dari/atau membayar utang kepada pihak ketiga
2. Dalam bentuk meminjamkan Jasa
Ada tiga jenis akad dalam meminjamkan jasa yakni :

a. Wakalah, merupakan akad pemberian kuasa (muwakkil) kepada penerima kuasa (wakil)
untuk melaksanakan suatu tugas (taukil) atas nama pemberi kuasa. Dapat dilakukan dengan
cara kita melakukan sesuatu baik itu bentuknya jasa , keahlian, ketrampilan atau lainya yang
kita lakukan atas nama orang lain.
b. Wadi’ah, dapat dilakukan dengan cara kita memberikan sebuah jasa untuk sebuah
penitipan atau pemeliharaan yang kita lakukan sebagai ganti orang lain yang mempunyai
tanggungan. Wadi’ah adalah akad penitipan barang atau jasa antara pihak yang mempunyai
barang atau uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan menjaga keselamatan,
keamanan, serta keutuhan barang atau uang tersebut.
Pembagian wadi’ah sebagai berikut :
a. Wadi’ah Yad Al-Amanah
Akad Wadiah dimana barang yang dititipkan tidak dapat dimanfaatkan oleh penerima titipan
dan penerima titipan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan
selama si penerima titipan tidak lalai.
b. Wadi’ah Yad Ad-Dhamanah
Akad Wadiah dimana barang atau uang yang dititipkan dapat dipergunakan oleh penerima
titipan dengan atau tanpa ijin pemilik barang. dari hasil penggunaan barang atau uang ini si
pemilik dapat diberikan kelebihan keuntungan dalam bentuk bonus dimana pemberiannya
tidak mengikat dan tidak diperjanjikan.


c. Kafalah, merupakan akad pemberian jaminan yang diberikan satu pihak kepada pihak lain
dimana pemberi jaminan bertanggung jawab atas pembayaran kembali suatu hutang yang
menjadi hak penerima jaminan.
3. Memberikan Sesuatu
Yang termasuk ke dalam bentuk akad memberikan sesuatu adalah akad-akad : hibah, wakaf,
shadaqah, hadiah, dll. Dalam semua akad-akad tersebut, si pelaku memberikan sesuatu
kepada orang lain. Bila penggunaannya untuk kepentingan umum dan agama, maka akadnya
dinamakan wakaf. Objek wakaf ini tidak boleh diperjual belikan begitu sebagai aset wakaf.
Sedangkan hibah dan hadiah adalah pemberian sesuatu secara sukarela kepada orang lain.
Ketika akad tabarru’ telah disepakati maka tidak boleh dirubah menjadi akad tijarah yang
tujuannya mendapatkan keuntungan, kecuali atas persetujuan antar kedua belah pihak yang
berakad. Akan tetapi lain halnya dengan akad tijarah yang sudah disepakati, akad ini boleh
diubah kedalam akad tabarru bila pihak yang tertahan haknya merelakan haknya, sehingga
menggugurkan kewajiban yang belum melaksanakan kewajibannya.
Adapun fungsi dari akad tabarru’ ini selain orientasi akad ini bertujuan mencari keuntungan
akhirat,bukan untuk keperluan komersil. Akan tetapi dalam perkembangannya akad ini sering
berkaitan dengan kegiatan transaksi komersil, karena akad tabarru’ ini bisa berfungsi sebagai
perantara yang menjembatani dan memperlancar akad tijarah.
II. AKAD TIJARAH
Akad Tijarah adalah akad yang berorientasi pada keuntungan komersial ( for propfit

oriented). Dalam akad ini masing-masing pihak yang melakukan akad berhak untuk mencari
keuntungan. Contoh akad tijarah adalah akad-akad investasi, jual-beli, sewa-menyewa dan
lain – lain. Pembagian akad tijarah dapat dilihat dalam skema akad dibawah ini.

Pembagian berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperoleh akad tijarah dibagi
menjadi dua yaitu Natural Uncertainty Contract (NUC) dan Natural Certainty Contrats
(NCC).
A. Natural Certainty Contracts
Natural Certainty Contracts adalah kontrak/akad dalam bisnis yang memberikan kepastian
pembayaran, baik dari segi jumlah maupun waktunya. Cash flow-nya bisa diprediksi dengan
relatif pasti, karena sudah disepakati oleh kedua belah pihak yangbertransaksi di awal akad.
Kontrak-kontrak ini secara menawarkan return yang tetap dan pasti. Objek pertukarannya
(baik barang maupun jasa) pun harus ditetapkan di awal akad dengan pasti, baik jumlahnya
(quantity), mutunya (quality), harganya (price), dan waktu penyerahannya (time of delivery).
Yang termasuk dalam kategori ini adalah kontrak-kontrak jual-beli, upah-mengupah, sewamenyewa.

Macam – Macam Natural Certainty Contracts (NCC) sebagai berikut :
1. Akad Jual Beli
a. Bai’ naqdan adalah jual beli biasa yang dilakukan secara tunai. Dalam jual beli ini bahwa
baik uang maupun barang diserahkan di muka pada saat yang bersamaan, yakni di awal

transaksi (tunai).
b. Bai’ muajjal adalah jual beli dengan cara cicilan. Pada jenis ini barang diserahkan di awal
periode, sedangkan uang dapat diserahkan pada periode selanjutnya. Pembayaran ini dapat
dilakukan secara cicilan selama periode hutang, atau dapat juga dilakukan secara sekaligus di
akhir periode.
c. Murabahah adalah jual beli dimana besarnya keuntungan secara terbuka dapat diketahui
oleh penjual dan pembeli.
d. Salam adalah akad jual beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih
dahulu dengan syarat-syarat tertentu.
e. Istisna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan
kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (Pembeli, Mustashni’) dan
penjual (Pembuat, shani’).
2. Akad Sewa-Menyewa
a. Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu
melalui pembayaran sewa/upah tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu
sendiri.
b. Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT) adalah Ijarah yang membuka kemungkinan
perpindahan kepemilikan atas objek ijarahnya pada akhir periode.
c. Ju’alah adalah akad ijarah yang pembayarannya didasarkan kepada kinerja objek yang
disewa /diupah.

B. Natural Uncertainty Contracts (NUC)
Natural Uncertainty Contracts adalah kontrak/akad dalam bisnis yang tidak memberikan
kepastian pendapatan, baik dari segi jumlah maupun waktunya. Dalam NUC, pihak-pihak
yang bertransaksi saling mencampurkan asetnya (baik real assets maupun financial assets)
menjadi satu kesatuan, dan kemudian menanggung resiko bersama-sama untuk mendapatkan
keuntungan. Di sini, keuntungan dan kerugian ditanggung bersama. Yang termasuk dalam
kontrak ini adalah kontrak-kontrak investasi. Kontrak investasi ini tidak menawarkan
keuntungan yang tetap dan pasti.
Macam – Macam Natural Uncertainty Contracts (NUC) adalah sebagai berikut:
1. Musyarakah
Menurut Syafi’i Antonio Akad Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau
lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
(atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung

bersama sesuai kesepakatan.
Macam – macam musyarakah :
a. Mufawadhah
Akad kerjasama dimana masing-masing pihak memberikan porsi dana yang sama.
Keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan dan kerugian ditanggung bersama.
b. Inan

Akad kerjasama dimana pihak yang bekerjasama memberikan porsi dana yang tidak sama
jumlahnya. Keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan dan kerugian ditanggung sebesar
porsi modal.
c. Wujuh
Akad kerjasama dimana satu pihak memberikan porsi dana dan pihak lainnya memberikan
porsi berupa reputasi. Keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan dan kerugian
ditanggung sesuai dengan porsi modal, pihak yang memberikan dana akan mengalami
kerugian kehilangan dana dan pihak yang memberikan reputasi akan mengalami kerugian
secara reputasi.
d. Abdan
Akad kerjasama dimana pihak-pihak yang bekerjama bersama-sama menggabungkan
keahlian yang dimilikinya. Keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan dan kerugian
ditanggung bersama. dengan akad ini maka pihak yang bekerjasama akan mengalami
kerugian waktu jika mengalami kerugian.
e. Mudharabah
Mudharabah merupakan akad kerjasama dimana satu pihak menginvestasikan dana sebesar
100 persen dan pihak lainnya memberikan porsi keahlian. Keuntungan dibagi sesuai
kesepakatan dan kerugian sesuai dengan porsi investasi.
Macam – Macam Mudharabah :
a) Mudharabah Mutlaqah

Mudharabah Mutlaqah merupakan akan mudharabah dimana dana yang diinvestasikan bebas
untuk digunakan dalam usaha oleh pihak lainnya.
b) Mudharabah Muqayadah
Berbeda dengan Mudharabah Muqayadah, dana yang diinvestasikan digunakan dalam usaha
yang sudah ditentukan oleh pemberi dana.
2. Muzara’ah
Akad Syirkah dibidang pertanian yang digunakan untuk pertanian tanaman setahun
3. Musaqah
Akad Syirkah di bidang pertanian dimana digunakan untuk pertanian tanaman tahunan.
4. Mukharabah
Akad Muzara’ah dimana bibitnya berasal dari pemilik tanah

KESIMPULAN
Dalam bahasan fiqh muamalah dibedakan antara akad dan wa’ad meskipun keduanya
merupakan bentuk sebuah perjanjian. Akad merupakan suatu kesepakatan bersama antara
kedua belah pihak atau lebih baik secara lisan, isyarat, maupun tulisan yang memiliki
implikasi hukum yang mengikat untuk melaksanakannya. Sedangkan Wa’ad adalah janji
antara satu pihak kepada pihak lainnya,pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apaapa terhadap pihak lainnya.
Ditinjau dari dari segi ada atau tidaknya Kompensasi akad dapat dibedakan atas akad
tabaurru’ dan tijarah. Akad tabarru’ merupakan segala macam perjanjian yang menyangkut

transaksi nirlaba yang tidak mencari keuntungan (not for profit). Sedangkan akad tijarah
Tijarah adalah akad yang berorientasi pada keuntungan komersial ( for propfit oriented).
Berdasar tingkat kepastian dari hasil yang diperoleh akad tijarah dibagi menjadi dua yaitu
Natural Uncertainty contracts adalah kontrak/akad dalam bisnis yang tidak memberikan
kepastian pendapatan, baik dari segi jumlah maupun waktunya. Sedangkan Natural Certainty
Contracts adalah kontrak/akad dalam bisnis yang memberikan kepastian pembayaran, baik
dari segi jumlah maupun waktunya.
DAFTAR PUSTAKA
Ascara. 2007. Akad & Produk Bank Syariah. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Karim, Adiwarman. 2004. Bank Islam, Analisis fiqh dan Keuangan.Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada
Suhendi, Hendi. 2010. Fiqh Muamalah . Jakarta : PT RajaGrafindo Persada

Pengertian Akad Definisi Rukun Syarat Jenis Akad Shahih, Tabarru, Tijarah
Menurut Para Ahli
03:14:00
TEORI ISLAM

Pengertian Akad adalah termasuk salah satu perbuatan hukum (tasharruf) dalam hukum
Islam. Dalam terminology fiqih akad diartikan sebagai pertalian antara ijab (pernyataan

melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat
yang berpengaruh terhadap objek perikatan. Sesuai kehendak syariat maksudnya bahwa
seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak
sesuai dengan kehendak syariat. Gemala Dewi dkk. Hukum Perikatan Islam Indonesia
(Jakarta: Kencana, 2006) hal.45

Definisi Akad Menurut Para Ahli
Fikih muamalat Islam membedakan antara wa’ad dengan akad. Wa’ad adalah janji
(promise) antara satu pihak kepada pihak lainnya, sementara akad adalah kontrak antara dua
belah pihak. Wa’ad hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yang memberi janji
berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya.
Pengertian akad secara yuridis dapat dipersamakan dengan perjanjian.
Dalam Undang-Undang Perbankan Syariah dinyatatakan akad adalah kesepakatan tertulis
antara Bank syariah dan Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang memuat adanya hak dan
kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah. Pasal 1 angka 13
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankasn Syariah
Sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya.
Dalam wa’ad, terms and condition-nya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik (belum
well defined). Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi yang
diterimanya lebih merupakan sanksi moral.
Dalam akad, pihak yang tidak melaksanakan akad akan dikenai sanksi yang sesuai dengan
yang ditetapkan dalam akad. Adiwarman A. Karim op. cit., hal 65

Rukun Akad
Rukun merupakan hal yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan sah secara hukum Islam.
Rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau
lembaga, yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidaknya
sesuatu itu.Gemala Dewi dkk. Hukum Perikatan., op. cit., hal 49-50 Terdapat perbedaan
ulama fiqih dalam menentukan rukun akad, salah satu pendapat ulama fiqih menyatakan
rukun akad terdiri atas: Hasballah Thaib , Hukum Aqad dalam Fiqih Islam dan Praktek di
Bank Sistem Syariah (Medan, Program Pasca Serjanana USU, 2005) hal. 4

1. Pernyataan untuk mengikatkan diri (sighat al-aqad)
2. Pihak-pihak yang ber-akad (al-muta’aqidain)
3. Objek akad (al-ma’qudalaihi)

Para ulama hanafiyah berpendapat pihak yang berakad dan objek akad bukanlah termasuk
rukun akad tetapi termasuk syarat akad, karena yang dimaksud dengan rukun adalah suatu
yang menjadi esensi didalam akad itu sendiri., sedangkan para pihak dan objek akad
dianggap tidak termasuk dalam esensi akad. Para ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun
akad hanya satu yaitu sighatul aqad yang terwujud dalam ijab dan qabul Hasballah Thaib ,
op. cit.,hal. 4. Ijab dan qabul dapat berbentuk perkataan, tulisan, perbuatan, dan isyarat.
Mengenai ijab dan qabul, para ulama fiqih sepakat mengenai syarat dalam pelaksanaan ijab
qabul yaitu:
1. Tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis
akad yang dikehendaki, karena ada berbagai macam jenis akad menurut tujuan dan
hukumnya.
2. Terdapat kesesuaian antara ijab dan qabul
3. Pernyataan ijab dan qabul itu mengacu pada suatu kehendak masing- masing pihak
secara pasti, tidak ragu-ragu.

Dalam beberapa akad, setelah terjadi ijab dan qabul, harus disempurnakan dengan
dilakukannya serah terima objek akad. Akad yang mengharuskan serah terima ini disebut
al-‘uqud al a’iniyah.

Syarat-syarat Umum Akad
Secara umum, para ulama fiqih menetapkan syarat-syarat dalam pembuatan akad selain dari
syarat-syarat khusus yang tergantung pada jenis dan kegiatan yang diperjanjikan dalam akad.
Syarat umum suatu akad adalah: Hasballah Thaib , op. cit.,hal 8-14
1. Para pihak yang melakukan akad telah cakap menurut hukum (mukallaf).
Mukallaf berarti telah dapat dibebani hukum, yang berarti segala perbuatannnya dapat
dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT. Cakap artinya telah dewasa dan tidak
hilang akal, maka dari itu akad yang dilakukan orang gila dan anak-anak dianggap
tidak sah. Tetapi jika akad tersebut dilakukan oleh orang tua mereka, atau walinya dan
sifat akad yang dilakukan tersebut memiliki manfaat bagi orang yang diwakilkan,
maka akad tersebut hukumnya sah.

2. Memenuhi syarat-syarat objek akad, yaitu: Gemala Dewi dkk. op.cit., Hal 60.
o Objek akad telah ada ketika akad dilangsungkan
o Objek akad sesuai syariat
o Objek akad harus jelas dan dikenali
o Objek akad dapat diserahterimakan.
3. Akad tidak dilarang oleh nash Al-Qur’an dan hadis
4. Akad yang dilakukan memenuhi syarat-syarat khusus yang terkait dengan akad itu.
Artinya selain harus memenuhi akad-akad umum seperti yang diuraikan ini, juga
harus memenuhi syarat-syarat yang dikhususkan untuk jenis akad tertentu.
5. Akad harus bermanfaat, oleh sebab itu ika sesorang melakukan suatu akad dan
imbalan yang diambil salah seorang yang berakad adalah kewajiban baginya, maka
akad tersebut batal.
6. Pernyataan ijab harus tetap utuh dan sahih sampai terjadinya qabul. Apabila
ijab tidak utuh dan sahih lagi ketika qabul diucapkan maka akad tidak sah. Hal ini
banyak terjadi dalam akad yang dilangsungkan melaui tulisan. Misalnya, dua orang
yang pedagang dari daerah yang berbeda melakukan transaksi dagang melalui surat
untuk membuat akad. Sebelum surat yang berisi ijan dari pihak pertama sampai
kepada pihak kedua, pihak pertama telah meninggal dunia maka ketika surat sampai
ke pihak kedua dan dia mengucapkan qabul-nya maka akad tersebut dinyatakan tidak
sah.
7. Ijab dan qabul dinyatakan dalam satu majelis, yaitu suatu keadaan yang
menggambarkan suatu proses transaksi. Menurut Mustafa Ahmad Az- Zarqa’ majelis
yang dimaksud bisa merupakan tempat dilangsungkannya akad atau bisa juga sebagai
keadaan selama proses berlangsungnya akad, sekalipun tidak pada satu tempat.
8. Tujuan akad harus jelas, dan diakui syara’. Tujuan akad berkaitan erat dengan
berbagai bentuk akad yang dilakukannya. Misalnya akad jual beli bertujuan untuk
memindahkan hak milik penjual kepada pembeli dengan imbalan sejumlah harga
kepada penjual oleh pembeli.

Para ulama fiqih menetapkan bahwa akad yang telah memenuhi rukun dan syarat-syarat suatu
akad mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak yang melakukan akad. Setiap
manusia bebas mengikatkan diri kedalam suatu akad dan wajib dipenuhi segala akibat hukum
yang ditimbulkan akad itu. Seperti firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 1: “… wahai
orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu”
Ulama Hanafiyah berpendapat, setiap orang bebas untuk mengemukakan dan menentukan
syarat, selama syarat tersebut tidak bertentangan dengan hakikat akad. Menurut pendapat
ulama Hanabilah dan Malikiyah, para pihak dapat mengemukakan suatu syarat dalaam akad
selama syarat tersebut bermanfaat bagi kedua belah pihak.

Jenis-jenis akad
Akad digolongkan kedalam berbagai jenis akad jika dilihat dari berbagai segi, baik dari segi
terpenuhinya rukun dan syarat akad, segi penamaan, dan dari segi tujuan akad.
1) Jenis akad menurut terpenuhinya unsur dan syarat
Jika dilihat dari terpenuhinya rujun dan syarat dari akad, maka akad terbagi atas dua,
yaitu: Hasballah Thaib , op. cit.,hal. 16-18
1. Akad Sahih
Akad sahih adalah akad yang telah memenuhi rukun dan syarat-syarat akad. Hukum
dari akad sahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu
dan mengikat bagi pihak-pihak yang berakad. Oleh ulama Hanafiyah, akad sahih
digolongkan kedalam dua macam yaitu Akad Nafiz, yang memenuhi rukun dan
syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya dan Akad Mawquf, yaitu
akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak secara hukum, tetapi ia tidak
memiliki kekuasaan untuk melaksanakan akad tersebut.
2. Akad yang tidak sah
Akad yang tidak sah apabila terdapat kekurangan pada rukun atau syarat- syarat akad,
sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak
yang berakad. Ulama Hanafiyah membagi akad yang tidak sah kedalam dua macam:
o Akad batil, yaitu akad yang tidak memenuhi sebagian rukun, maupun syarat
akad ataupun ada larangan langsung dari hukum Islam atas akad tersebut.
o Akad fasad, yaitu akad yang pada dasarnya sesuai syariat, tetapi sifat yang
diakadkan itu tidak jelas. Contohnya, menjual televise yang tidak ditunjukkan
jenis, bentuk ataupun merek-nya, sehingga dapat menimbulkan perselisihan.
Akad ini dapat menjadi sah apabila hal yang diperjelas mengenai hal-hal yang
diperselisihkan.

2) Jenis akad menurut penamaan
Dilihat dari segi penamaannya, para ulama fiqih membagi akad kedalam dua macam,
yaitu : Ibid., hal.79
1. al-uqud al-musammah, yaitu akad yang terdapat penamannya dalam Al- Qur’an dan
hadis serta telah dijelaskan hukumnya, seperti jual beli, sewa- menyewa, perikatan,
hibah, wakalah, hiwalah, wasiat, dan perkawinan
2. al-uqud ghair al-musammah, yaitu akad yang penamaannya berdasar oleh masyarakat,
yang muncul sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan disepanjang zaman,
dibidang muamalah, seperti murabahah, al-istishna, dan lain-lain.

3) Jenis akad menurut tujuannya
Akad dalam fiqih muamalah dibagi ke dalam dua bagian menurut tujuannya,
yaitu: Adiwarman A. Karim , op. cit.,hal. 66-70
1. Akad Tabarru’ : Akad tabarru’ adalah segala macam perjanjian yang menyangkut
transaksi yang tidak mengejar keuntungan (non profit transaction). Akad
tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan,
sehingga pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan
apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah, bukan
dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta

kepada rekan transaksi-nya untuk sekedar menutupi biaya yang dikeluarkannya untuk
dapat melakukan akad, tanpa mengambil laba dari tabarru’ tersebut. Contoh dari akad
tabarru’ adalah qard, wadi’ah, wakalah, rahn, hibah, dan sebagainya.
2. Akad Tijarah: Akad tijarah adalah segala macam perjanjian yang menyangkut
transaksi yang mengejar keuntungan (profit orientation). Akad ini dilakukan dengan
tujuan mencari keuntungan, karena itu bersifat komersiil. Hal ini didasarkan atas
kaidah bisnis bahwa bisnis adalah suatu aktivitas untuk memperoleh keuntungan.
Contoh dari akad tijarah adalah akad-akad bagi hasil berupa mudharabah,
musyarakah, dan sebagainya, akad-akad jual beli berupa murabahah, salam, dan
sebagainya, dan akad- akad sewa menyewa berupa ijarah, ijarah muntahia bi at
tamlik, dan sebagainya.

Kaidah fiqih yang berkaitan dengan konsep akad antara tabarru’ dan tijarah ada dua, yaitu: 1).
Akad tabarru’ tidak boleh dirubah menjadi akad tijarah, dan 2). Akad tijarah boleh dirubah
menjadi akad tabarru’. Akad tabarru’ tidak boleh dirubah menjadi akad tijarah memberi arti
bahwa dalam setiap transaksi yang asalnya bermaksud untuk tidak mendapatkan keuntungan,
kemudian setelah terjadinya akad ternyata pihak yang terkait di dalamnya mengharapkan
keuntungan dari transaksi tersebut, maka transaksi itu dilarang. Hal ini didasarkan atas
kaidah prinsip: “kullu qardhin jarra manfa’ah fahuwa riba” (setiap qard yang mengambil
manfaat adalah riba). Menggabungkan tabarru’ dengan manfa’ah adalah kedzaliman karena
melakukan suatu akad berlainan dengan definisi akadnya, sehingga transaksi tersebut akan
menimbulkan adanya riba nasi’ah. Hal ini juga melanggar prinsip “la tadzlimuna wa la
tudzlamun” (jangan mendzolimi dan jangan sampai didzolimi). Ibid., hal 70
Akad tijarah boleh dirubah menjadi akad tabarru’ memberi arti bahwa dalam setiap transaksi
yang asalnya bertujuan mendapatkan keuntungan, kemudian setelah terjadinya akad pihak
yang terkait di dalamnya meringankan/memudahkan pihak yang lain dengan menjadikan
akad tersebut menjadi akad tabarru’ (tanpa ada tambahan keuntungan), maka transaksi itu
dibolehkan, bahkan dalam situasi tertentu hal itu dianjurkan.

Berakhirnya Akad
Pada dasarnya, suatu akad berakhir bila telah tercapai tujuan dari akad tersebut. Namun,
selain itu ada sebab lain yang dapat membuat suatu akad berakhir, meskipun tujuannya
belum tercapai. Para ulama fiqih menetapkan sebab-sebab itu sebagai berikut : Hasballah
Thaib , op. cit.,hal. 19
1. Berakhirnya masa berlaku akad, apabila akad tersebut memiliki tenggang waktu
2. Dibatalkan oleh para pihak yang ber-akad, apabila akad itu sifatnya mengikat dan
dapat dibatalkan.

3. Akad yang telah sah dan mengikat, dianggap berakhir jika: akad itu dinyatakan fasad,
berlakunya syarat khiyar (dapat memilih meneruskan akad atau tidak), atau akad itu
tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak.
4. Salah satu pihak dalam akad meninggal dunia. Dalam hal ini, menurut para ulama
fiqih tidak semua akad berakhir dengan adanya kematian salah satu pihak, diantaranya
adalah akad sewa menyewa, ar-rahn, al-kafalah, asy-syirkah, al-wakalah, dan almuzara’ah.