Jenis Kelamin sebagai Variabel Moderasi

Volume 1 Nomor 1 Tahun 2016

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPERCAYAAN PASIEN : EKSPLORASI FAKTOR ATTITUDE, SUBJECTIVE NORM, PERCEIVED BEHAVIORAL

I Gede Mahatma Yuda Bakti

JENIS KELAMIN SEBAGAI VARIABEL MODERASI DALAM HUBUNGAN KUALITAS PELAYANAN PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT (PUSKESMAS) DAN KEPERCAYAAN PASIEN: SEBUAH MODEL KONSEPTUAL

Tri Rakhmawati

PERSEPSI PEGAWAI TERHADAP PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN MUTU ISO 9001 DI SEBUAH INSTITUSI PENELITIAN: DAMPAKNYA TERHADAP EFEKTIVITAS DAN PENINGKATAN KINERJA

Tri Widianti

PENENTUAN TINGKAT KEPENTINGAN RASIO PRODUKTIVITAS KELOMPOK PENELITIAN MANAJEMEN MUTU PUSAT PENELITIAN X DENGAN METODE ANALYTIC HIERARCHY PROCESS (AHP)

Sih Damayanti, Tri Rakhmawati

FAKTOR PENGGERAK ASPEK KEPEMIMPINAN DALAM HASIL PENERAPAN ISO 9001 : KERANGKA KONSEPTUAL

Muh Azwar Massijaya

QMR Vol. 01 No. 01 Tahun 2016 Hal. 30-58

Jenis Kelamin sebagai Variabel Moderasi dalam Hubungan Kualitas Pelayanan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan Kepercayaan Pasien: Sebuah Model Konseptual

Tri Rakhmawati

Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian, LIPI e-mail: rakhma_tri@yahoo.com; tri.rakhmawati@lipi.go.id

ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan membahas hubungan antara kualitas pelayanan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan kepercayaan masyarakat serta pengaruh jenis kelamin dalam hubungan antara dua variabel tersebut. Makalah ini mengusulkan sebuah model konseptual yang menggambarkan pengaruh empat dimensi kualitas pelayanan di Puskesmas, yaitu kualitas pemberian pelayanan kesehatan, kualitas personel pelayanan kesehatan, kecukupan sumber daya pelayanan kesehatan, dan kualitas proses administrasi terhadap kepercayaan pasien. Selanjutnya, penelitian ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh jenis kelamin dalam hubungan empat dimensi kualitas pelayanan Puskesmas dengan kepercayaan masyarakat. Model konseptual dalam penelitian ini dibangun atas dasar tinjauan terhadap teori dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya. Sebuah model konseptual dan delapan proposisi diajukan untuk menjelaskan hubungan kualitas pelayanan, kepercayaan masyarakat, dan jenis kelamin. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menguji model dan proposisi secara empiris.

Kata kunci: kualitas pelayanan, kepercayaan, jenis kelamin, Puskesmas

ABSTRACT

This paper aims to discuss the relationship between service quality of Public Healthcare Center (Puskesmas) and patient trust as well as the effect of gender on the relationship between those variables. This paper proposes a conceptual model which describes the effect of four dimensions of service quality of Public Healthcare Center, i.e. the quality of healthcare delivery, the quality of healthcare personnel, the adequacy of healthcare resources, and the quality of administration process on patient trust. Furthermore, this research also aims to identify the effect of gender on the relationship between each dimension of service quality and patient trust. A conceptual model in this research was developed based on a review of theories and results of previous researches. A conceptual model and eight propositions are proposed to explain the relationship between service quality, patient trust, and gender. Further researches are needed to examine the model and propositions empirically.

Keywords: service quality, trust, gender, Public Healthcare Center

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Kepercayaan (trust) pelanggan merupakan faktor kunci bagi organisasi jasa untuk dapat bertahan dan bahkan memenangkan persaingan (Berry, 1995). Secara empiris, penelitian dalam konteks jasa telah membuktikan bahwa kepercayaan pelanggan memiliki pengaruh positif terhadap komitmen afektif (seperti Gounaris, 2005; Aurier dan N’Goala; 2010) dan pengembangan hubungan (Aurier dan N’Goala, 2010). Dengan kata lain, kepercayaan pelanggan terbukti berdampak positif terhadap loyalitas pelanggan jasa (seperti Wen dkk, 2005; Eisingerich dan Bell, 2007). Pelanggan yang loyal akan kembali menggunakan jasa tersebut meskipun terdapat pilihan lain. Mereka juga akan menjadi kurang sensitif terhadap harga serta melakukan komunikasi positif dari mulut ke mulut (positive word of mouth communication) (Dwyer dkk, 1987; Oliver, 1999). Pada akhirnya, semua itu akan menghasilkan peningkatan pangsa pasar dan profitabilitas (Anderson dkk, 1994). Mengingat hal itu, membangun kepercayaan pelanggan merupakan suatu hal yang penting untuk dilakukan oleh organisasi pelayanan termasuk Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Indonesia.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Puskesmas di Indonesia mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung terwujudnya kecamatan sehat. Kemudian, untuk melaksanakan tugas

menyelenggarakan fungsi yaitu penyelenggaraan UKM (Upaya Kesehatan Masyarakat) dan UKP (Upaya Kesehatan Perseorangan) tingkat pertama di wilayah kerjanya. Sebagai penyelenggara upaya kesehatan di tingkat pertama, Puskesmas merupakan fasilitas pelayanan kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat.

tersebut,

Puskesmas

Seiring dengan adanya reformasi pelayanan publik di Indonesia, Puskesmas dituntut untuk meningkatkan kinerjanya sebagai penyedia layanan kesehatan tingkat pertama. Harapannya, pelayanan dasar yang disediakan Puskesmas dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Pihak manajemen Puskesmas, dengan anggaran yang dimilikinya, harus mengetahui dengan tepat apa yang dapat membangun kepercayaan masyarakat pada Puskesmas.

Meningkatkan kualitas pelayanan (service quality) telah umum diyakini oleh para praktisi maupun akademisi dapat berkontribusi meningkatkan kepercayaan pelanggan suatu jasa (seperti Alrubaiee dan Alkaa'ida, 2011; Lertwannawit dan Gulid, 2011; Ouyang, 2010; Eisingerich Meningkatkan kualitas pelayanan (service quality) telah umum diyakini oleh para praktisi maupun akademisi dapat berkontribusi meningkatkan kepercayaan pelanggan suatu jasa (seperti Alrubaiee dan Alkaa'ida, 2011; Lertwannawit dan Gulid, 2011; Ouyang, 2010; Eisingerich

Perbedaan pengaruh dimensi-dimensi kualitas pelayanan terhadap suatu variabel yang yang mengambarkan konsekuensi psikologis (psychological consequensce) telah dibahas dalam literatur. Sebagai contoh, Lovelock dkk (2004) membedakan pengaruh kinerja komponen pelayanan (yaitu hyigene factor dan enhancing factor) terhadap sebuah variabel konsekuensi psikologis, yaitu kepuasan. Kinerja hyigene factor yang baik tidak menjamin pelanggan puas, tetapi kinerjanya yang buruk menyebabkan ketidakpuasan (Lovelock dkk, 2004). Di sisi lain, kinerja enhancing factor yang buruk tidak akan menyebabkan ketidakpuasan, tetapi kinerja yang baik dari faktor tersebut akan dapat meningkatkan kepuasan pelanggan (Lovelock dkk, 2004). Kepercayaan pelanggan juga merupakan salah satu variabel yang merepresentasikan konsekuensi psikologis (Zand, 1972). Dengan demikian, perbedaan pengaruh dimensi-dimensi kualitas pelayanan terhadap kepercayaan pelanggan berpotensi terjadi.

Fenomena yang ada pada pelayanan kesehatan di Indonesia juga mengindikasikan bahwa dimensi-dimensi kualitas pelayanan memang memiliki dampak yang berbeda terhadap kepercayaan pelanggan. Sebagai contoh, masyarakat tetap mendatangi organisasi pelayanan kesehatan yang terbukti memiliki kinerja menyembuhkan yang baik meskipun ia memiliki kinerja administrasi yang kurang baik, seperti waktu mengantri yang lama untuk memperoleh pengobatan dan prosedur administrasi yang tidak jelas. Kondisi di atas mendorong perlunya pembahasan lebih mendalam tentang pengaruh dimensi-dimensi kualitas pelayanan kesehatan di Puskemas terhadap kepercayaan masyarakat. Secara teoritis, hal ini memperkaya literatur khususnya yang membahas hubungan antara kualitas pelayanan dengan kepercayaan pelanggan yang saat ini jumlahnya masih terbatas (Alrubaiee dan Alkaa'ida, 2011; Lertwannawit dan Gulid, 2011; Chang dkk, 2013). Kemudian, secara praktis, Puskesmas dapat memanfaatkan hasil pembahasan untuk menyusun prioritas rencana perbaikan pelayanan yang diberikan.

Lebih lanjut, literatur menunjukkan bahwa perbedaan sosio- demografis dapat mempengaruhi hubungan antara pelanggan dan Lebih lanjut, literatur menunjukkan bahwa perbedaan sosio- demografis dapat mempengaruhi hubungan antara pelanggan dan

Selain usia (Homburg dan Giering, 2001; Homburg dkk, 2003, Mittal dan Kamakura, 2001), pendapatan (Walsh dkk, 2008), pendidikan (Mittal dan Kamakura, 2001), dan jumlah anak (Mittal dan Kamakura, 2001), sosio- demografis responden yang banyak ditemukan sebagai variabel yang memoderasi perilaku konsumen adalah jenis kelamin (Mittal dan Kamakura, 2001). Jenis kelamin merupakan moderator utama dalam perilaku konsumen (Bendall-Lyon dan Powers, 2002; Dommeyer dan Gross, 2003) dan hal tersebut telah terbukti dalam sejumlah studi (Nguyen Thi dkk, 2002; Priporas dkk, 2008; Mittal dan Kamakura, 2001; dan Sanchez-Franco dkk, 2009). Oleh karena itu, sangat mungkin jenis kelamin juga mempengaruhi hubungan antara dimensi-dimensi kualitas pelayanan di Puskesmas dan kepercayaan masyarakat. Sayangnya, sepanjang pengetahuan penulis, belum ada literatur yang secara komprehensif membahas topik tersebut.

1.2. Tujuan Penelitian Penilitian ini bertujuan untuk membahas lebih mendalam hubungan antara dimensi-dimensi kualitas pelayanan di Puskesmas dengan kepercayaan masyarakat serta menginvestigasi pengaruh jenis kelamin dalam hubungan dimensi kualitas pelayanan dan kepercayaan masyarakat.

Setelah pendahuluan, struktur makalah ini adalah sebagai berikut. Bagian kedua adalah penjelasan dari empat dimensi kualitas pelayanan di Puskesmas, kepercayaan pasien, teori gender, dan pengaruh jenis kelamin dalam perilaku konsumen. Bagian ketiga menggambarkan hubungan dimensi-dimensi kualitas pelayanan, kepercayaan pasien, dan jenis kelamin. Sebuah model konseptual dan proposisi yang menggambarkan hubungan tersebut juga akan ditampilkan. Bagian keempat menyajikan agenda penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan faktor anteseden kepercayaan pasien terhadap Puskesmas. Pada bagian terakhir disampaikan kesimpulan dan keterbatasan penelitian.

1.3. Metodologi Model konseptual dalam penelitian ini dibangun atas dasar tinjauan terhadap teori dan hasil penelitian-penelitian empiris sebelumnya. Setiap proposisi yang diajukan dilandasi dengan teori dan penelitian empiris yang 1.3. Metodologi Model konseptual dalam penelitian ini dibangun atas dasar tinjauan terhadap teori dan hasil penelitian-penelitian empiris sebelumnya. Setiap proposisi yang diajukan dilandasi dengan teori dan penelitian empiris yang

2. Dimensi Kualitas Pelayanan di Puskesmas, Kepercayaan Pasien, dan Peran Jenis Kelamin dalam Perilaku Konsumen

2.1. Dimensi Kualitas Pelayanan di Puskesmas Secara umum, kualitas pelayanan menggambarkan kinerja sebuah unit layanan dalam memenuhi harapan pelanggan (Lai dan Chen, 2011). Fogli (2006) mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai penilaian global atau sikap pelanggan yang berkaitan dengan layanan tertentu; keseluruhan kesan pelanggan tentang inferioritas atau keunggulan relatif organisasi dan layanannya. Dalam konteks Puskesmas, kualitas pelayanan berarti penilaian atau sikap pengguna layanan Puskesmas terhadap kinerja layanan yang diberikan.

Kualitas pelayanan memiliki banyak dimensi dan sampai saat ini penelitian untuk mengidentifikasi dimensi kualitas pelayanan di berbagai bidang masih terus berjalan. Dimensi kualitas pelayanan dari Parasuraman dkk (1988) adalah yang paling banyak digunakan dalam literatur. Menurut mereka, kualitas pelayanan memilliki lima dimensi yaitu tangibles, reliability, responsiveness, assurance, and empathy. Tangible merupakan dimensi kualitas pelayanan yang terkait dengan aspek fisik layanan seperti fasilitas, peralatan, penampilan personel, dll. Sedangkan reliability merupakan kemampuan untuk memberikan layanan sesuai yang dijanjikan. Dimensi selanjutnya, responsiveness, menggambarkan kemauan untuk membantu pelanggan dan menyediakan layanan secara cepat. Dimensi yang keempat, assurance, merupakan pengetahuan, kesopanan, dan kemampuan karyawan untuk membangun kepercayaan dan keyakinan pelanggan. Dimensi yang terakhir, empathy menunjukkan kepedulian dan perhatian pribadi yang diberikan oleh penyedia layanan terhadap pelanggannya.

Model kualitas pelayanan Parasuraman dkk (1988) mendapatkan kritik dari sejumlah peneliti. Model tersebut dinilai terlalu umum sehingga perlu penyesuaian ketika digunakan di lingkungan yang lebih spesifik (Carman, 1990 dalam Lee dkk, 2000). Senada dengan Carman (1990 dalam Lee dkk, 2000), Babakus dan Boller (1992) mengatakan bahwa dimensi kualitas pelayanan bergantung kepada tipe layanan. Oleh karena itu, dalam Model kualitas pelayanan Parasuraman dkk (1988) mendapatkan kritik dari sejumlah peneliti. Model tersebut dinilai terlalu umum sehingga perlu penyesuaian ketika digunakan di lingkungan yang lebih spesifik (Carman, 1990 dalam Lee dkk, 2000). Senada dengan Carman (1990 dalam Lee dkk, 2000), Babakus dan Boller (1992) mengatakan bahwa dimensi kualitas pelayanan bergantung kepada tipe layanan. Oleh karena itu, dalam

Untuk konteks pelayanan kesehatan, Andaleeb (2001) mengajukan model kualitas pelayanan rumah sakit yang terdiri dari responsiveness, assurance, communication, discipline, dan baksheesh. Lebih lanjut, Rakhmawati dkk (2013) mengajukan model kualitas pelayanan untuk Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Indonesia yang terdiri dari empat dimensi yaitu kualitas pemberian layanan kesehatan (the quality of healthcare delivery), kualitas personel pelayanan kesehatan (the quality of healthcare personnel), kecukupan sumber daya untuk pelayanan kesehatan (the adequacy of healthcare resources), dan kualitas proses administrasi (the quality of administration process). Definisi dari masing-masing dimensi kualitas pelayanan Puskesmas dapat dilihat di tabel 1.

Tabel 1. Model Kualitas Pelayanan di Puskesmas Dimensi Kualitas

1 Kualitas pemberian Tingkat efektifitas pelayanan kesehatan dalam layanan kesehatan memuaskan harapan pengguna terkait dengan

penyakit mereka. Contoh: efektifitas layanan kesehatan, khasiat obat, kesesuaian obat dengan penyakit, dll

2 Kualitas personel Profesionalisme personel (dokter, perawat, dan staf pelayanan

administrasi) dan kesediaan mereka untuk benar- kesehatan

benar peduli pada pengguna. Contoh: keramahan dan kesopanan karyawan, rasa hormat karyawan terhadap pasien, rasa peduli karyawan terhadap pasien, dll

3 Kecukupan sumber Kecukupan sumber daya (sumber daya manusia, daya untuk

peralatan, kamar, dan obat-obatan) yang dimiliki pelayanan

oleh Puskesmas. Contoh: kecukupan peralatan kesehatan

medis, kecukupan kamar yang tersedia, kecukupan personel (dokter, perawat, dan staf administrasi), dll

4 Kualitas proses Kinerja proses administrasi dari aspek kemudahan administrasi

dan kecepatan. Contoh: kemudahan prosedur pendaftaran,

proses registrasi, kemudahan prosedur pembayaran, kecepatan proses pembayaran, dll

kecepatan

Sumber: Rakhmawati dkk (2013)

2.2. Kepercayaan Pasien Kepercayaan pelanggan merupakan variabel yang banyak dibahas dalam literatur pemasaran (Morgan dan Hunt 1994; Brashear dkk, 2003; Moorman, dkk, 1993). Banyak pakar telah mendefinisikan kepercayaan. Sebagai contoh, Mayer dkk (1995) mendefinisikan kepercayaan sebagai “the 2.2. Kepercayaan Pasien Kepercayaan pelanggan merupakan variabel yang banyak dibahas dalam literatur pemasaran (Morgan dan Hunt 1994; Brashear dkk, 2003; Moorman, dkk, 1993). Banyak pakar telah mendefinisikan kepercayaan. Sebagai contoh, Mayer dkk (1995) mendefinisikan kepercayaan sebagai “the

2.3. Teori Gender Perbedaan antara laki-laki dan wanita terlihat dari fisik/biologis dan psikologisnya. Istilah seks digunakan untuk membedakan antara pria dan wanita dilihat dari fisik/biologis. Sedangkan istilah gender lebih menggambarkan unsur psikologis pria dan wanita. Lebih lanjut, identitas gender digunakan untuk menunjukkan ciri-ciri kepribadian maskulin dan feminin. Seperti dikutip dalam Kolyesnikova dkk. (2009), ciri-ciri kepribadian maskulin diasosiasikan dengan ketegasan, kemerdekaan, rasionalitas, aktif, kompetitif, dan instrumental sedangkan ciri-ciri kepribadian feminin diasosiasikan dengan aspek relasional dan saling bergantung seperti perhatian, sensitivitas, tanggung jawab, kepedulian, emosionalitas, dan pengasuhan (Cross dan Markus, 1993; Palan, 2001).

Dulu, maskulin dan feminin dianggap berlawanan dalam satu kontinum dan diyakini berhubungan dengan seks. Seks dan gender dianggap tidak dapat dipisahkan dimana pria identik dengan ciri-ciri maskulin dan wanita dengan ciri-ciri feminin. Namun kemudian, terjadi pergeseran pemikiran. Maskulin dan feminin yang semula dianggap memiliki dimensi bipolar, kemudian dianggap memiliki dimensi orthogonal. Artinya, maskulinitas dan feminitas ada dalam setiap individu dalam derajat yang berbeda (Gill dkk., 1987). Seorang pria belum tentu ditandai dengan tidak adanya karakteristik feminin dan sebaliknya, wanita belum tentu ditandai dengan tidak adanya karakteristik maskulin (Fischer dan Arnold, 1994). Adapun individu yang memiliki ciri-ciri maskulin dan feminin dalam proporsi relatif seimbang dikatakan androgini (Bem, 1974). Pemikiran baru ini juga didukung dengan adanya fenomena bahwa beberapa pria lebih feminin daripada maskulin dan beberapa wanita lebih maskulin daripada feminin.

Terlepas dari hubungan antara seks dan identitas gender, kedua konstruk tersebut diyakini berpengaruh terhadap variabel konsumen seperti sikap dan perilaku konsumen. Menurut Palan (2001), terdapat dua teori yang memiliki dampak dalam penelitian pemasaran. Kedua teori tersebut adalah Teori Skema Gender dan Teori Identitas Gender Multifaktorial. Teori Skema Gender diperkenalkan oleh Bem (1981). Teori ini mengatakan bahwa seseorang akan memperoleh dan menunjukkan ciri-ciri, sikap, dan perilaku yang konsisten dengan identitas gender mereka. Oleh karena itu, identitas gender dapat digunakan untuk memprediksi konstruk gender yang lebih luas seperti peran, sikap, dan perilaku. Sebagai contoh, seseorang yang feminin akan memilih produk yang sesuai dengan kepribadiannya, seseorang yang maskulin akan tegas dalam bersikap, dan lain sebagainya. Berbeda dengan teori identitas gender, teori identitas gender multifaktorial meyakini bahwa fenomena terkait dengan gender tergantung pada beberapa faktor, tidak hanya satu faktor seperti yang dinyatakan oleh Bem (Feather, 1984; Spence, 1984, 1991; Taylor dan Hall 1982 dalam Palan, 2001). Oleh karena itu, peran, sikap, preferensi, dan perilaku seseorang bisa saja tidak konsisten dengan identitas gender.

Perbedaan pemikiran tentang hubungan seks-identitas gender dan identitas gender-perilaku menyebabkan perlunya bukti empiris dalam membangun model konseptual dan proposisi. Oleh karena itu, pada sub bagian selanjutnya akan dibahas penelitian-penelitian yang telah membuktikan adanya hubungan antara kontruk-konstruk tersebut.

2.4. Pengaruh Jenis Kelamin dalam Perilaku Konsumen Dalam praktek-praktek pemasaran, jenis kelamin banyak dipakai sebagai

kriteria segmentasi konsumen (Putrevu, 2001) dengan alasan informasi tentang jenis kelamin dapat diidentifikasi dan diakses dengan mudah. Selain itu, segmentasi konsumen berdasarkan jenis kelamin juga dapat diukur, responsif terhadap bauran pemasaran, luas, dan dianggap menguntungkan (Darley dan Smith, 1995). Pertimbangan lainnya adalah jenis kelamin merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam pengambilan keputusan (Bakshi, 2012). Peran jenis kelamin sebagai variabel moderator perilaku konsumen telah banyak dibahas dalam literatur pemasaran, sosial, dan psikologi (Nyseen dkk, 2005; Sanchez-Franco dkk, 2009; Carli, 2001; Bakshi, 2012; Venkatesh dkk, 2000).

Pria dan wanita memiliki cukup banyak perbedaan sifat dan karakteristik yang membuat mereka beda dalam berperilaku. Perbedaan fisik dan psikologis mereka melahirkan perbedaan kebutuhan, harapan, Pria dan wanita memiliki cukup banyak perbedaan sifat dan karakteristik yang membuat mereka beda dalam berperilaku. Perbedaan fisik dan psikologis mereka melahirkan perbedaan kebutuhan, harapan,

Dalam literatur Venkatesh dkk (2000) dikatakan bahwa perilaku konsumen pria lebih besar didorong oleh sikap (attitude) konsumen pria terhadap suatu produk/layanan yang terbentuk setelah mengevaluasi konsekuensi yang mungkin terjadi. Tekanan sosial tidak berpengaruh besar pada keputusan mereka. Sedangkan perilaku konsumen wanita lebih besar didorong oleh norma subjektif/normatif (subjective/normative norm) dan kontrol perilaku yang dirasakan (perceived behavioral control). Konsumen wanita akan melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku tergantung pada tekanan sosial yang diterimanya dan keyakinan mereka akan kemampuannya dalam mengkontrol faktor pribadi atau eksternal yang mungkin memfasilitasi atau menghambat kinerja perilaku. Konsumen wanita cenderung berperilaku sesuai dengan yang kebanyakan orang lakukan atau sarankan serta yang tidak memiliki banyak kendala. Untuk lebih jelas, pengaruh jenis kelamin dalam perilaku konsumen ditunjukkan oleh Gambar

Gambar 1. Pengaruh Jenis Kelamin dalam Perilaku Konsumen

Dalam studinya, Nysveen dkk (2005) mengemukakan bahwa niat penggunaan dari konsumen wanita lebih kuat disebabkan oleh motivasi instrinsik yaitu “kesenangan dan kepuasan yang melekat yang berasal dari aktivitas tertentu (Vallerand, 1997, dalam Venkatesh 1999, hal. 240)”. Sebaliknya, konsumen pria lebih dipengaruhi oleh karakteristik instrumental seperti motivasi ekstrinsik yaitu “dorongan untuk melakukan perilaku untuk Dalam studinya, Nysveen dkk (2005) mengemukakan bahwa niat penggunaan dari konsumen wanita lebih kuat disebabkan oleh motivasi instrinsik yaitu “kesenangan dan kepuasan yang melekat yang berasal dari aktivitas tertentu (Vallerand, 1997, dalam Venkatesh 1999, hal. 240)”. Sebaliknya, konsumen pria lebih dipengaruhi oleh karakteristik instrumental seperti motivasi ekstrinsik yaitu “dorongan untuk melakukan perilaku untuk

3. Hubungan antara Dimensi Kualitas Pelayanan di Puskesmas, Kepercayaan Pasien, dan Jenis Kelamin

Sejumlah literatur pemasaran telah mencoba mengeksplor hubungan antara kualitas pelayanan dengan kepercayaan pelanggan (Chenet dkk, 2010; Sahadev dan Purani, 2008; Roostika, 2011). Penelitian-penelitian tersebut menemukan bahwa kualitas pelayanan memiliki hubungan positif terhadap kepercayaan yang artinya semakin tinggi kualitas pelayanan, maka semakin tinggi kepercayaan dan begitupun sebaliknya. Kualitas pelayanan mempengaruhi kepercayaan secara langsung (Chenet dkk, 2010; Sahadev dan Purani, 2008; Roostika, 2011; Shpëtim, 2012) dan tidak langsung (Sahadev dan Purani, 2008; Shpëtim, 2012). Kualitas pelayanan secara tidak langsung mempengaruhi kepercayaan pelanggan melalui kepuasan (Sahadev dan Purani, 2008; Alrubaiee dan Alkaa'ida, 2011; Kassim dan Abdullah, 2010; Shpëtim, 2012). Jika kualitas pelayanan yang dirasakan tinggi, maka akan menimbulkan kepuasan pelanggan dan kepuasan dapat meningkatkan kepercayaan pelanggan terhadap suatu layanan.

Di bidang kesehatan, Alrubaiee dan Alkaa'ida (2011), Lertwannawit dan Gulid (2011), dan Chang dkk (2013) menguji hubungan antara kedua variabel tersebut. Ketiganya menggunakan model kualitas pelayanan dari Parasuraman dkk (1988). Penelitian mereka menemukan bahwa persepsi pasien terhadap kualitas pelayanan memiliki pengaruh positif dan kuat terhadap kepercayaan mereka terhadap penyedia layanan kesehatan. Alrubaiee dan Alkaa'ida (2011) mengidentifikasi pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepercayaan pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiga dimensi kualitas pelayanan (responsiveness, empathy, assurance) adalah prediktor kuat kepercayaan pasien. Lebih lanjut, Lertwannawit dan Gulid (2011) membuktikan bahwa kualitas pelayanan (tangibility, responsiveness, empathy, assurance, reliability) secara positif berhubungan dengan kepercayaan merk dari wisatawan medis terhadap pelayanan medis. Sejalan dengan studi sebelumnya, Chang dkk (2013) menemukan bahwa persepsi pasien terhadap kualitas pelayanan (response, reliability, assurance) secara positif mempengaruhi kepercayaan mereka.

Pada tahun 2013, Rakhmawati dkk mengusulkan sebuah model kualitas pelayanan dari Puskesmas. Mereka mengklaim bahwa kualitas pelayanan Puskesmas memiliki empat dimensi, yaitu kualitas pemberian layanan kesehatan, kualitas personel pelayanan kesehatan, kecukupan sumber daya untuk pelayanan kesehatan, dan kualitas proses administrasi

(lihat Tabel 1). Pada penelitian ini, akan digali lebih dalam hubungan antara empat dimensi kualitas Puskesmas tersebut dengan kepercayaan pasien.

Berdasarkan definisi, dimensi kualitas pelayanan Puskesmas yang pertama, “kualitas pemberian layanan kesehatan” menggambarkan efektifitas pelayanan kesehatan dalam menyembuhkan penyakit pasien atau membuat pasien menjadi lebih sehat. Dimensi ini sangat mungkin mempengaruhi kepercayaan pasien mengingat kebutuhan setiap orang akan kesehatan. Setiap orang menginginkan selalu dalam keadaan sehat. Jika seseorang mengalami sakit, maka dia akan berobat agar sembuh. Dalam teori perilaku konsumen, kepuasan akan terbentuk jika produk/jasa yang dikonsumsi mampu memenuhi atau bahkan melebihi harapan pelanggan. Rasa puas yang dirasakan konsumen akan membentuk kepercayaan pada diri konsumen terhadap produk/jasa tersebut. Pada dasarnya, seseorang berkunjung ke Puskesmas untuk mendapatkan layanan terkait kesehatan. Oleh karena itu, apabila dengan pemberian layanan kesehatan di Puskesmas, kebutuhan pasien akan kesehatan terpenuhi, maka pasien akan merasa puas dan percaya kepada Puskesmas.

Hal tersebut telah dibuktikan dalam sejumlah literatur. Berdasarkan definisi, maksud dari dimensi “kualitas pemberian layanan kesehatan” adalah sama dengan dimensi reliability dari Parasuraman dkk (1988) jika dikaitkan dengan konteks pelayanan kesehatan. Pengertian dari dimensi reliability berarti penyedia layanan mampu memberikan layanan sesuai dengan yang mereka janjikan secara akurat. Dengan kata lain, penyedia layanan dapat diandalkan. Untuk konteks pelayanan kesehatan, sebuah unit pelayanan kesehatan dikatakan reliabel (handal) jika mampu memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien yang tujuan akhirnya adalah membuat kondisi pasien menjadi lebih baik. Dalam penelitian Lertwannawit dan Gulid (2011) serta Chang dkk (2013), dimensi reliability terbukti mempengaruhi kepercayaan pasien. Oleh karena itu, untuk konteks Puskesmas, dimensi kualitas pemberian layanan kesehatan (the quality of healthcare delivery) diduga juga mempengaruhi kepercayaan pasien. Semakin baik kualitas pemberian layanan kesehatan Puskesmas, maka semakin tinggi kepercayaan pasien.

Proposisi 1 : Dimensi kualitas pemberian layanan kesehatan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepercayaan pasien kepada Puskesmas

Selanjutnya, dimensi kualitas pelayanan Puskesmas yang kedua, dimensi kualitas personel pelayanan kesehatan, menggambarkan Selanjutnya, dimensi kualitas pelayanan Puskesmas yang kedua, dimensi kualitas personel pelayanan kesehatan, menggambarkan

Pengaruh kualitas personel penyedia layanan terhadap kepercayaan pasien telah dibuktikan dalam peneltian Alrubaiee dan Alkaa'ida (2011), dan Lertwannawit dan Gulid (2011). Untuk menilai kualitas personel penyedia layanan, kedua penelitian tersebut menggunakan dimensi responsiveness, assurance, dan empathy dari Parasuraman dkk (1988). Mereka membuktikan secara empiris, bahwa responsiveness, assurance, dan empathy dari penyedia layanan mempengaruhi kepercayaan pasien secara positif. Berdasarkan penjelasan teoritis dan bukti empiris tersebut, maka untuk konteks Puskesmas, dimensi “kualitas personel pelayanan kesehatan” diduga juga mempengaruhi kepercayaan pasien terhadap Puskesmas secara positif dan signifikan.

Proposisi 2 : Dimensi kualitas personel pelayanan kesehatan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepercayaan pasien kepada Puskesmas

Dimensi kualitas pelayanan Puskesmas yang ketiga yaitu kecukupan sumber daya pelayanan kesehatan, yang meliputi sumber daya manusia, peralatan, kamar, obat-obatan, dll. Dalam konteks pelayanan kesehatan, efektifitas pelayanan kesehatan tidak hanya ditentukan oleh kualitas sumber daya, tetapi oleh kuantitas sumber daya. Sebagai contoh, Puskesmas tidak dapat memberikan pelayanan secara optimal jika peralatan yang dibutuhkan tidak tersedia, pasokan obat terhambat, atau dokter yang bertugas tidak ada. Oleh karena itu, penting diperhatikan adanya kecukupan sumber daya untuk mendukung operasional Puskesmas.

Secara empiris, keberadaan fisik sumber daya telah terbukti mempengaruhi kepercayaan pasien secara positif dan signifikan (Lertwannawit dan Gulid, 2011). Lertwannawit dan Gulid (2011) menggunakan dimensi tangible dari dari Parasuraman dkk (1988) untuk Secara empiris, keberadaan fisik sumber daya telah terbukti mempengaruhi kepercayaan pasien secara positif dan signifikan (Lertwannawit dan Gulid, 2011). Lertwannawit dan Gulid (2011) menggunakan dimensi tangible dari dari Parasuraman dkk (1988) untuk

Proposisi 3 : Dimensi kecukupan sumber daya pelayanan kesehatan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepercayaan pasien kepada Puskesmas

Dimensi keempat dari kualitas pelayanan Puskesmas, kualitas proses administrasi, meliputi aspek kemudahan dan kecepatan dalam memberikan pelayanan. Dalam Theory of Planned Behavior (TPB), dimensi ini masuk dalam variabel Perceived Behavioral Control yang menggambarkan keyakinan seseorang dalam mengkontrol faktor pribadi atau eksternal yang mungkin memfasilitasi atau menghambat perilaku. Perceived Behavioral Control juga diartikan sebagai persepsi akan kemudahan dan kesulitan untuk membeli sebuah produk. Seseorang akan memiliki niat membeli sebuah produk setelah mempertimbangkan faktor kemudahan dan kesulitan untuk membeli produk tersebut. Semakin mudah atau semakin kecil kesulitan yang mungkin mereka hadapi untuk membeli sebuah produk, maka semakin besar peluang seseorang membeli produk tersebut.

Beberapa peneliti menggunakan dimensi reliability dari Parasuraman dkk (1988) untuk menilai dimensi kualitas proses administrasi (seperti Al’arubaiee dan Alkaa’ida, 2011; Duggirala dkk, 2008). Al’arubaiee dan Alkaa’ida (2011) memasukkan indikator speed and ease of admissions (procedures) ke dalam dimensi reliability untuk menilai kualitas layanan rumah sakit. Selain itu, Duggirala dkk (2008) memasukkan dimensi “administrative procedures” ke dalam dimensi “reliability” (lihat Tabel 2). Secara empiris, dimensi reliability telah membuktikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepercayaan pasien (Lertwannawit dan Gulid, 2011; Chang dkk, 2013). Oleh karena itu, dimensi kualitas proses administrasi diduga juga mempengaruhi kepercayaan pasien terhadap Puskesmas secara positif dan signifikan.

Proposisi 4 : Dimensi kualitas proses administrasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepercayaan pasien kepada Puskesmas

Dalam sejumlah penelitian, jenis kelamin ditemukan sebagai variabel yang memoderasi perilaku konsumen. Oleh karena itu, sangat mungkin jenis Dalam sejumlah penelitian, jenis kelamin ditemukan sebagai variabel yang memoderasi perilaku konsumen. Oleh karena itu, sangat mungkin jenis

Selain itu, pengaruh moderasi jenis kelamin terhadap hubungan dimensi kualitas pelayanan terhadap kepercayaan pasien juga didukung beberapa pernyataan dari peneliti. Menurut O’Neil (1982), dibandingkan wanita, pria lebih berorientasi kepada prestasi. Mereka juga lebih berorientasi kepada outcome (task-oriented) (Minton dan Schneider, 1980 dalam Nyseen dkk, 2005), berbeda dengan wanita yang lebih menekankan kepada proses (Venkatesh dkk, 2000). Seperti telah disampaikan sebelumnya, karakteristik instrumental seperti motivasi ekstrinsik (mencapai tujuan/imbalan tertentu) lebih besar berpengaruh terhadap pria dibandingkan wanita (Spence dan Helmreich, 1980). Oleh karena itu, dalam proses pengambilan keputusan untuk memakai atau tidak memakai produk/jasa tertentu, pertanyaan “apakah produk/jasa tersebut dapat memenuhi kebutuhannya atau mencapai tujuan pemakaian produk/jasa?” menjadi pertimbangan besar mereka. Apabila setelah mengevaluasi konsekuensi yang mungkin timbul dari pemakaian produk/jasa tersebut mereka menemukan indikasi bahwa produk/jasa tersebut sesuai dengan kebutuhan atau tujuan pemakaian produk/jasa, maka keyakinan dan niat mereka untuk menggunakan produk tersebut semakin besar.

Dikaitkan dengan layanan kesehatan di Puskesmas, pertanyaan- pertanyaan senada yang mungkin timbul di benak pria adalah “Apakah dengan berobat ke Puskesmas penyakit saya akan sembuh?, ”Apakah Puskesmas bisa memulihkan kondisi saya?”. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menanyakan efektifitas pelayanan kesehatan Puskesmas memuaskan harapan pengguna terkait dengan penyakit mereka. Mereka akan mengevaluasi konsekuensi yang mungkin timbul setelah berobat ke Puskesmas terkait penyakitnya. Oleh karena itu, dimensi kualitas pemberian layanan kesehatan di Puskesmas yang menggambarkan efektifitas pelayanan Puskesmas dalam menyembuhkan/membuat kondisi pasien lebih baik diduga lebih besar berpengaruh kepada kepercayaan pasien Puskesmas pria dibandingkan wanita.

Proposisi 5: Dimensi kualitas pemberian layanan kesehatan di Puskesmas memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap kepercayaan pasien pria dibandingkan pasien wanita

Berbeda dengan pria yang lebih beorientasi outcome (Minton dan Schneider, 1980 dalam Nyseen dkk, 2005), wanita lebih berorientasi proses (Venkatesh dkk, 2000). Di industri jasa, proses pemberian dan konsumsi jasa terjadi secara simultan (Fitzsimmons dan Fitzsimmons, 2011). Selain itu, proses pemberian jasa lebih banyak melibatkan orang di bandingkan di industri manufaktur. Oleh karena itu, kualitas personel sangat berpeluang mempengaruhi kepercayaan pelanggan. Semakin tinggi kualitas personel, maka semakin tinggi kepercayaan pelanggan. Mengingat perbedaan orientasi antara pria dan wanita, untuk konteks Puskesmas, maka dimensi kualitas personel pelayanan kesehatan di Puskesmas diduga lebih besar mempengaruhi kepercayaan pasien wanita dibandingkan pria.

Literatur lain mengatakan bahwa pria memiliki sifat maskulin sedangkan wanita memiliki sifat yang feminin (Carli, 2001) dan lebih risau tentang hubungan sosial (Hughes dan Tuch, 2003). Sebagaimana dikutip dalam Venkatesh dkk (2000), dibandingkan pria, wanita juga lebih peduli kepada perasaan orang lain (Rosenkrantz dkk,1968 dalam Venkatesh dkk., 2000) dan cenderung menyenangkan orang lain (seperti Miller, 1976). Dalam proses pengambilan keputusan, wanita banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan membutuhkan waktu yang lebih lama (Gill dkk, 1987), tidak seperti pria yang cenderung lebih tegas, objektif, logis (Wood, 1990 dalam Lizárraga dkk., 2007; Rosenkrantz dkk, 1968 dalam Venkatesh dkk., 2000), dan tidak terlalu mempedulikan saran dan permintaan orang lain (Becker, 1986 dalam Nysveen dkk, 2005). Perilaku wanita lebih cenderung mencerminkan kebutuhan orang lain dan kewajiban kepada sesama (Hughes dan Tuch, 2003) sedangkan pria lebih memberontak (Smith, 1984).

Deksripsi perbedaan karakteristik antara pria dan wanita di atas semakin memperkuat dugaan bahwa dimensi kualitas personel pelayanan kesehatan di Puskesmas yang menggambarkan profesionalisme dan kemauan dari pesonil Puskesmas dalam merawat pasien, lebih besar mempengaruhi kepercayaan pengguna wanita daripada pria. Oleh karena itu, proposisi keenam penelitian ini dinyatakan sebagai berikut.

Proposisi 6: Dimensi kualitas personel pelayanan kesehatan di Puskesmas memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap kepercayaan pasien wanita dibandingkan pasien pria.

Dalam penelitiannya, Venkatesh dkk (2000) menemukan bahwa variabel kontrol perilaku yang dirasakan (perceived behavioral control (PBC)) lebih besar mempengaruhi perilaku konsumen wanita dibandingkan pria. Kontrol perilaku yang dirasakan berhubungan dengan keyakinan

konsumen bahwa ia memiliki kontrol atas faktor pribadi atau eksternal yang akan memfasilitasi atau menghambat kinerja perilaku (Ajzen, 1991). PBC terkait juga dengan kecukupan atau kondisi teknologi, sumber daya, kemampuan diri, dan kesulitan yang dirasakan. Wanita akan mempraktekan atau tidak mempraktekan perilaku tertentu setelah mempertimbangkan sumber daya yang ia miliki serta kemudahan dan kesulitan yang akan mereka hadapi jika mereka melakukan perilaku tersebut. Mereka memiliki kecenderungan memilih perilaku yang mereka mempunyai sumber daya untuk perilaku tersebut dan tidak banyak menghadapkannya dengan kendala-kendala. Sebaliknya, pria biasanya lebih tertantang untuk mengatasi kendala tersebut. Jadi walaupun mereka tidak sepenuhnya yakin bahwa ia mampu melakukan perilaku tertentu (setelah melihat sumber daya, kemudahan, dan kesulitannya), selama perilaku tersebut ia yakini akan bermanfaat baginya, maka ia akan melakukan perilaku tersebut. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa PBC berpengaruh lebih besar pada konsumen wanita dibandingkan pria. Karakteristik tersebut juga mereka gunakan untuk menilai penyedia layanan. Konsumen wanita akan lebih percaya kepada penyedia layanan jika ia melihat bahwa penyedia layanan tersebut memiliki sumber daya yang memadai untuk melakukan aktivitasnya. Dalam konteks Puskesmas pun demikian, diduga bahwa kecukupan sumber daya pelayanan kesehatan akan lebih besar berpengaruh terhadap kepercayaan pasien wanita dibandingkan pasien pria. Selain itu, karena wanita lebih menyukai sesuatu yang mudah dan tidak banyak kendala, dalam konteks pelayanan kesehatan, diduga bahwa mereka juga tidak menyukai proses administrasi kesehatan yang berbelit- belit. Oleh karena itu, proposisi ketujuh dan kedelapan penelitian ini yaitu:

Proposisi 7: Dimensi kecukupan sumber daya pelayanan kesehatan di Puskesmas memiliki pengaruh lebih besar terhadap kepercayaan pasien wanita dibandingkan pasien pria.

Proposisi 8: Dimensi kualitas proses administrasi di Puskesmas memiliki pengaruh lebih besar terhadap kepercayaan pasien wanita dibandingkan pasien pria.

Gambar 2. Model Konseptual

4. Pembahasan

Tulisan ini mengembangkan sebuah model konseptual untuk menjelaskan perbedaan efek dimensi kualitas pelayanan terhadap kepercayaan pelanggan. Sebelum ini, beberapa model yang mengkaitkan kualitas pelayanan dengan kepercayaan pelanggan telah dikemukakan oleh Chenet dkk. (2010), Sahadev dan Purani (2008), Roostika (2011). Chenet dkk. (2010) membangun model untuk menguji peran diferensiasi jasa dalam hubungan bisnis ke bisnis (business-to-business relationship). Dimensi kualitas pelayanan yang digunakan adalah reliability, responsiveness, dan customer care. Sahadev dan Purani (2008) memodelkan konsekuensi peningkatan kualitas jasa dalam e-service. Dalam penelitiannya, komponen e-service terdiri dari efisiensi, pemenuhan kebutuhan, ketersediaan sistem, privasi. Lebih lanjut, Roostika (2011) mengajukan model untuk mengetahui efek dari kualitas jasa yang dirasakan oleh pengguna internet mobile terhadap kepercayaan pengguna. Dalam model tersebut, kualitas jasa yang dirasakan oleh pengguna internet mobile dinilai dari kualitas konten, kualitas device, kualitas privasi, kualitas interaksi, kualitas koneksi, kualitas kontekstual, dan kualitas layanan pelanggan. Ketiga model tersebut telah diuji secara empiris dan hasilnya membuktikan bahwa kualitas pelayanan berpengaruh terhadap kepercayaan pelanggan.

Model yang diajukan dalam tulisan ini memiliki beberapa keunggulan mendasar. Pertama, dimensi kualitas pelayanan dalam model ini adalah dimensi-dimensi yang memang dikembangkan untuk mengukur kualitas pelayanan Puskesmas. Kedua, model ini memasukan jenis kelamin sebagai Model yang diajukan dalam tulisan ini memiliki beberapa keunggulan mendasar. Pertama, dimensi kualitas pelayanan dalam model ini adalah dimensi-dimensi yang memang dikembangkan untuk mengukur kualitas pelayanan Puskesmas. Kedua, model ini memasukan jenis kelamin sebagai

5. Agenda Penelitian Selanjutnya

Di Indonesia, Puskesmas merupakan penyedia layanan kesehatan tingkat pertama bagi masyarakat. Puskesmas merupakan layer awal dan penyedia layanan kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat. Dengan demikian, Puskesmas diharapkan menjadi pilihan pertama masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan dasar. Namun, pada kenyataannya, tidaklah demikian. Saat ini, Puskesmas terlihat seolah-olah diperuntukkan hanya untuk masyarakat kelas bawah. Hal ini disebabkan karena tidak semua masyarakat menjadikan Puskesmas sebagai pilihan pertama mereka dalam memperoleh layanan kesehatan dasar. Oleh karena itu, untuk menjalankan fungsinya, Puskesmas perlu untuk menguatkan posisi dan peran layanan dasar yang disediakan.

Peningkatan kualitas pelayanan diyakini menjadi kunci pokok keberhasilan organisasi jasa. Telah banyak penelitian membuktikan bahwa kualitas pelayanan memiliki peran penting untuk meningkatkan loyalitas pelanggan. Semakin tinggi kualitas pelayanan, maka semakin tinggi loyalitas pelanggan. Pelangan yang menerima pelayanan yang melebihi harapannya akan merasakan kepuasan. Selanjutnya, kepuasan akan menimbulkan kepercayaan pelangan terhadap penyedia jasa dan pada akhirnya kepercayaan tersebut akan mendorong pemakaian kembali jasa tersebut. Penelitian sebelumnya juga telah membuktikan pengaruh positif kualitas pelayanan dengan kepercayaan pasien. Dengan pertimbangan tersebut, maka menjadi menarik untuk membuktikannya secara empiris pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepercayaan pasien terhadap Puskesmas. Manfaatnya, pihak manajemen Puskesmas dapat memfokuskan upaya perbaikan kualitas dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap layanan kesehatan yang mereka sediakan. Oleh karena itu, penelitian ini mengajukan agenda penelitian selanjutnya untuk menjawab pertanyaan:

Pertanyaan Penelitian 1. Apakah kualitas pelayanan Puskesmas mempengaruhi kepercayaan masyarakat? Pertanyaan Penelitian 2. Dimensi kualitas pelayanan Puskesmas apakah yang paling berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat?

Selanjutnya, dalam literatur pemasaran dikatakan bahwa jenis kelamin merupakan variabel moderator dalam perilaku konsumen. Perbedaan karakteristik fisik maupun psikologis antara pria dan wanita menempatkan kebutuhan yang berbeda. Oleh karena itu, mereka berbeda dalam hal perilaku, termasuk dalam hal melakukan pembelian dan konsumsi jasa. Penelitian Venkatesh dkk (2000) dan Morris dkk (2005) telah menunjukkan bahwa pria dan wanita berperilaku atas pertimbangan tertentu. Terkait dengan Theory of Planned Behavior (TPB), penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa pengaruh dari faktor-faktor seperti sikap (attitude) terhadap produk atau aktivitas pembelian, norma subjektif (subjective norm), dan kontrol perilaku yang dirasakan (perceived behavioral control) terhadap niat perilaku (behavioral intention) dimoderasi oleh jenis kelamin. Sikap (attitude) terhadap produk atau pembelian terbukti lebih besar berpengaruh terhadap niat perilaku (behavioral intention) konsumen pria. Sedangkan norma subjektif (subjective norm), dan kontrol perilaku yang dirasakan (perceived behavioral control) lebih besar mempengaruhi niat perilaku (behavioral intention) konsumen wanita. Dalam hal pemakaian suatu produk/jasa tertentu, pria lebih besar didorong oleh sikap mereka terhadap proses pemakaian produk/jasa tersebut. Pertanyaan seperti “Apakah produk/jasa tersebut mampu memenuhi kebutuhan saya?” selalu menjadi pertimbangan mereka. Hal ini dikarenakan pria lebih beorientasi pada outcome dibandingkan wanita. Berbeda dengan pria, wanita lebih besar dipengaruhi oleh norma subjektif dan kontrol perilaku yang dirasakan. Masukan dari lingkungan sekitar dan penilaian terhadap kemampuan akan mempengaruhi perilaku mereka. Dalam hal pemakaian suatu produk/jasa, wanita akan memakai produk/jasa yang banyak dipakai atau disarankan oleh orang-orang di sekitarnya. Selain itu, kemampuan untuk memakai produk/jasa tersebut juga mereka pertimbangkan. Jika mereka merasa tidak mampu karena terlalu banyak halangan yang akan mereka hadapi saat menggunakan produk/jasa tersebut, maka mereka akan memutuskan untuk tidak memakai produk/jasa tersebut. Namun, penelitian Cooke dkk (2014) menunjukkan hasil yang berbeda. Mereka menemukan bahwa jenis kelamin hanya terbukti memoderasi hubungan antara sikap (attitude) terhadap produk dan niat perilaku (behavioral intention). Jenis kelamin tidak terbukti memoderasi hubungan antara norma subjektif (subjective norm) dan niat perilaku (behavioral intention) serta kontrol perilaku yang dirasakan (percieved behavioral control) dan niat perilaku (behavioral intention). Selain itu, mereka juga menemukan bahwa sikap (attitude) terhadap produk lebih besar mempengaruhi niat perilaku (behavioral intention) dari konsumen wanita dibandingkan pria.

Perbedaan antara pria dan wanita juga ditemukan dalam hal kepuasan. Nguyen Thi dkk (2002) menemukan bahwa pria cenderung lebih puas dibandingkan wanita. Sedangkan wanita cenderung lebih banyak komplain dibandingkan pria. Senada dengan Nguyen Thi dkk (2002), Priporas dkk (2008) juga menemukan bahwa pasien pria muda cenderung menilai kepuasan lebih tinggi dibandingkan dengan pasien wanita yang lebih tua. Namun demikian, banyak juga penelitian yang menunjukkan hasil yang berbeda bahkan berlawanan. Sebagai contoh adalah Mummalaneni dan Gopalakrishna (1995). Mummalaneni dan Gopalakrishna (1995) melakukan survei untuk mengetahui kepuasan pasien. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa sosio-demografis pasien termasuk jenis kelamin tidak mempengaruhi kepuasan pasien. Lebih lanjut, Mittal and Kamakura (2001) dalam penelitiannya menemukan bahwa tingkat kepuasan konsumen wanita dari sebuah perusahaan otomotif lebih tinggi dibandingkan konsumen pria. Konsumen wanita dinilai lebih toleran atau memiliki threshold yang lebih rendah dibandingkan pria. Selain itu, dengan tingkat kepuasan yang sama, konsumen wanita memiliki kecenderungan melakukan pembelian kembali yang lebih tinggi dibandingkan pria. Ketidakkonsistenan hasil penelitian mendorong perlunya penelitian lebih lanjut untuk menjawab pertanyaan: