TUGAS PBL KEJANG DENGAN DEMAM PADA ANAK

TUGAS PBL
KEJANG DENGAN DEMAM PADA ANAK

Disusun oleh : KELOMPOK 17
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

NAMA
Ni Nyoman Amik Indrayani
Ade Dwirisha Putra
Lydia Setia Dinata

Karina Rahmawati
Ruly Permata Istiqfarin
Gabrilla Nida Dusturiya
Ridhah Hasmi Widoretno
Fauzia Fahmi
Firdaus Ega Pratama
Devi Naravita Fitrian
Bella Mega Sutjipto Putri

NPM
12700389
12700393
12700395
12700397
12700399
12700401
12700403
12700405
12700407
12700409

12700411

PEMBIMBING TUTOR : dr. Ayu Cahyani, M.KKK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2015
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..........................................................................................................i
1

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
BAB I SKENARIO................................................................................................1
BAB II KATA KUNCI..........................................................................................2
BAB III PROBLEM...............................................................................................3
BAB IV PEMBAHASAN......................................................................................4
BAB V HIPOTESIS AWAL (DIFFERENTIAL DIAGNOSIS)...........................11
BAB VI ANALISIS DARI DIFFERENTIAL DIAGNOSIS................................12
BAB VII HIPOTESIS AKHIR (DIAGNOSIS).....................................................25
BAB VIII MEKANISME DIAGNOSIS................................................................26

BAB IX STRATEGI MENYELESAIKAN MASALAH......................................27
BAB X PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI.........................................................30
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................iii

KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
keagunganNya kepada kami sebagai penulis sehingga kami dapat menyelesaikan sebuah
laporan SGD skenario 1.
Kami sebagai penulis menyadari bahwa apa yang kami torehkan dan tersusun dalam
laporan ini memiliki nilai yang sangat sederhana. Tentu pernyataan ini dilatarbelakangi oleh
kemampuan kami yang sangat terbatas baik dari segi wawasan, pendapat, atau pun
pengetahuan umum yang ada dalam diri kami. Tetapi sebagai penulis yang mempunyai
kemampuan dan tekad dalam berkarya, kami berharap karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca. Kami sebagai penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing
SGD kami yaitu dr. Ayu Cahyani, M.KKK
Akhir kata kami mohon maaf bila ada hal-hal yang kurang berkenan dan
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak agar bisa memberikan kritik sehat terhadap

2


karya tulis ilmiah ini sehingga karya ini dapat memiliki mutu dan bobot yang lebih baik
dikemudian hari. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Surabaya, 18 Juni 2015

Penulis

BAB I
SKENARIO IV
KEJANG DENGAN DEMAM PADA ANAK
Seorang anak usia 1 tahun dibawa ibunya pada anda di IRD dengan keluhan kejang . kejang
mulai semalam dan sudah berulang 3 kali. Bentuk kejang kelojotan tangan dan kaki kanankiri. Lama kejang sekitar 1 menit dan setelahnya berhenti sendiri. Keluhan lain adalah
demam sejak 3 hari sebelumnya dengan suhu yang tinggi yang disertai batuk dan
pilek.riwayat kejang sebelumnya tidak ada . riwayat kehamilan, kelahiran, trauma kepala
tidak ada. Pemeriksaaaan fisik ditemukan suhu 390C dengan UUB membonjol, bayi tampak
tidur dan tidak menangis walau dirangsang.

3

BAB II

KATA KUNCI
Kata kunci yang didapatkan dari skenario di atas adalah:
1. Meningitis bakteri
2. Kejang dengan demam
3. Kesadaran menurun

4

BAB III
PROBLEM
Masalah yang akan dibahas pada laporan ini adalah sebagai berikut:
1. Dapat mengidentifikasi masalah tersebut?
2. Buat hipotesis dari masing masing problem tersebut.
3. Apa ada keterkaitan masing masing problem?
4. Patogenesis apa yang mendasari timbulnya problem ?
5. Informasi apa yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis?
6. Dapatkah anda membuat rencana penunjang untuk menegakkan diagnosis tersebut?
7. Komplikasi apa yang timbul pada kasus diatas?
8. Keadaan darurat apa yang dapat timbul pada kasus diatas?
9. Bagaimana penatalaksanaan dasar kasus di atas?

10. Bagaimana edukasi pada pasien sehubungan kasus diatas?
5

BAB IV
PEMBAHASAN
-

BATASAN
ANATOMI

Otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
1. Cerebrum (Otak Besar)
2. Cerebellum (Otak Kecil)
6

3. Brainstem (Batang Otak)
4. Limbic System (Sistem Limbik)

1. Cerebrum (Otak Besar)
Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan nama Cerebral

Cortex, Forebrain atau Otak Depan. Cerebrum merupakan bagian otak yang membedakan
manusia dengan binatang.Cerebrum membuat manusia memiliki kemampuan berpikir,
analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan kemampuan visual. Kecerdasan
intelektual atau IQ juga ditentukan oleh kualitas bagian ini.
Cerebrum terbagi menjadi 4 (empat) bagian yang disebut Lobus.Bagian lobus yang menonjol
disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut sulcus. Keempat Lobus
tersebut masing-masing adalah: Lobus Frontal, Lobus Parietal, Lobus Occipital dan Lobus
Temporal.


Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada di paling depan dari Otak Besar.
Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan, kemampuan gerak,
kognisi, perencanaan, penyelesaian masalah, memberi penilaian, kreativitas, kontrol
perasaan, kontrol perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara umum.



Lobus Parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor perasaan seperti
tekanan, sentuhan dan rasa sakit.




Lobus Temporal berada di bagian bawah berhubungan dengan kemampuan
pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara.



Lobus Occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan rangsangan
visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek
yang ditangkap oleh retina mata.

7

Selain dibagi menjadi 4 lobus, cerebrum (otak besar) juga bisa dibagi menjadi dua belahan,
yaitu belahan otak kanan dan belahan otak kiri.Kedua belahan itu terhubung oleh kabelkabel saraf di bagian bawahnya.Secara umum, belahan otak kanan mengontrol sisi kiri tubuh,
dan belahan otak kiri mengontrol sisi kanan tubuh.Otak kanan terlibat dalam kreativitas dan
kemampuan artistik.Sedangkan otak kiri untuk logika dan berpikir rasional.
2. Cerebellum (Otak Kecil)
Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan ujung leher
bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur

sikap atau posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh. Otak
Kecil juga menyimpan dan melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari
seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu
dan sebagainya. Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan pada
sikap dan koordinasi gerak otot. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi, misalnya orang
tersebut tidak mampu memasukkan makanan ke dalam mulutnya atau tidak mampu
mengancingkan baju.

3. Brainstem (Batang Otak)
8

Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian dasar
dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang belakang. Bagian otak ini
mengatur fungsi dasar manusia termasuk pernapasan, denyut jantung, mengatur suhu tubuh,
mengatur proses pencernaan, dan merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight or
flight (lawan atau lari) saat datangnya bahaya.
Batang otak dijumpai juga pada hewan seperti kadal dan buaya.Oleh karena itu, batang otak
sering juga disebut dengan otak reptil.Otak reptil mengatur “perasaan teritorial” sebagai
insting primitif. Contohnya akan merasa tidak nyaman atau terancam ketika orang yang
tidak kenal terlalu dekat dengan .

Batang Otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:


Mesencephalon atau Otak Tengah (disebut juga Mid Brain) adalah bagian teratas dari
batang otak yang menghubungkan Otak Besar dan Otak Kecil. Otak tengah berfungsi
dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata,
mengatur gerakan tubuh dan pendengaran.



Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri badan
menuju bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla mengontrol funsi
otomatis otak, seperti detak jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan.



Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke pusat otak bersama
dengan formasi reticular. Pons yang menentukan apakah kita terjaga atau tertidur.

4. Limbic System (Sistem Limbik)

Sistem limbik terletak di bagian tengah otak, membungkus batang otak ibarat kerah baju.
Limbik berasal dari bahasa latin yang berarti kerah. Bagian otak ini sama dimiliki juga oleh
hewan mamalia sehingga sering disebut dengan otak mamalia. Komponen limbik antara lain
hipotalamus, thalamus, amigdala, hipocampus dan korteks limbik.
Sistem limbik berfungsi menghasilkan perasaan, mengatur produksi hormon, memelihara
homeostasis, rasa haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa senang, metabolisme dan juga
memori jangka panjang. Bagian terpenting dari Limbik Sistem adalah Hipotalamus yang
salah satu fungsinya adalah bagian memutuskan mana yang perlu mendapat perhatian dan
mana yang tidak. Misalnya lebih memperhatikan anak sendiri dibanding dengan anak orang
9

yang tidak kenal. Hal ini karena punya hubungan emosional yang kuat dengan anak . Begitu
juga, ketika membenci seseorang, malah sering memperhatikan atau mengingatkan. Hal ini
terjadi karena punya hubungan emosional dengan orang yang benci.
Sistem limbik menyimpan banyak informasi yang tak tersentuh oleh indera.Dialah yang
lazim disebut sebagai otak emosi atau tempat bersemayamnya rasa cinta dan kejujuran. Carl
Gustav Jung menyebutnya sebagai “Alam Bawah Sadar” atau ketidaksadaran kolektif, yang
diwujudkan dalam perilaku baik seperti menolong orang dan perilaku tulus lainnya. LeDoux
mengistilahkan sistem limbik ini sebagai tempat duduk bagi semua nafsu manusia, tempat
bermuaranya cinta, penghargaan dan kejujuran
-

HISTOLOGI
Jaringan saraf tersusun atas sel-sel saraf (neuron).Berdasarkan fungsi konduksinya,
neuron dapat dibedakan menjadi neuron sensoris, neuron motoris, dan interneuron.
1.
Neuron sensoris (aferen) berperan menjalarkan impuls (aksi potensial yang
dijalarkan) dari reseptor menuju ke saraf pusat. Kebanyakan neuron sensoris memiliki
soma di luar SSP.
2.
Neuron motoris (eferen) berperan menjalarkan impuls dari saraf pusat menuju
ke efektor. Neuron motoris memiliki soma di medulla spinalis.
3.
Interneuron berperan menghubungkan neuron satu dengan neuron lainnya.
Sistem saraf berdasarkan letak dan kedudukannya dapat dibedakan menjadi: CNS
(central nervous system) atau SSP (Sistem Saraf Pusat) dan PNS (peripheral nervous
system) atau SST (Sistem Saraf Tepi).Sistem saraf pusat merupakan bagian dari endri
saraf yang mengatur fungsi organ dan anggota tubuh serta tenpat budi pekerti manusia
terletak.
Sistem saraf pusat terdiri dari otak atau endrite
endrit spinalis.

10

dan sumsum tulang belakang atau

Otak
Secara makroskopis, otak terdiri dari substantia grisea dan sustansia alba. Sedangkan
secara makroskopis, substansia grissea terdiri atas badan sel neuron, serabut myelin dan tidak
beermielin, astrosit protoplasmic, oligodendrosit, dan microglia. Substansia alba terdiri dari
seraaabut saraf bermielin, astrosit fibrosa, oligodendrosit, dan microglia.
Permukaan cerebellum melipat-lipat ke dalam secara sejajar yang melibatkan kortex cerebelli
(sustansia grissea) dan medulla cerebelli (substansia alba).
Secara miroskopis, kortex cerebelli terdiri atas
1. stratum molecular, yaitu sel keranjang yang merupakn cabang azon yang
menyelubungi sel purkinje.
2. Stratum ganglionare, yaitu sel purkinje dengan percanagan dendrite di stratum
molecular.
3. Stratum granulare, tersusun atas sel-sel granulare. Dendritnya berada di lapisan, tetapi
axonnya berada pada stratus molecular.

11

Medulla spinalis
Medulla spinalis berbentuk silindris panjang dan mengisi canalis vertebralis.Pada setiap
segmennya keluas sepasan nervus spinalis.Secara mikroskopis, bagian sustansia grissea
tersusun atas sel-sel neuron yang membentuk nucleus, pada bagian tengah terdapat kanalis
sentralis. Potongan sustansia grissea menyerupai bentuk kupu-kupu, terdiri dari cornu
dorsalis dan cornu ventralis. Pada bagian sustansia alba terdapat sulcus medianus dorsalis.
Sebagian serabut saraf yang memanjang membentuk fasciculus yang menuju atau ke otak.

Selubung otak
1. Duramater : terdapat jaringan pengikat padat
2. Arachnoid : merupakan bagian yang kontak dengan duramater, membentuk trabecula,
tanpa pembuluh darah. Terdapat spatium subarachnoidea, yaitu ruangan diantara
trabecula yang terisi Liquot Crebrospinalis
3. Piamater : menutupi langsung permukaan susunan saraf pusat. Di beberapa tempat
tertentu menonjol kedalam rongga ventrikulus yang dindingnya tidak berkembang
yang selanjutnya membentuk pleksus choroideus.
Pleksus choroideus tersusun atas jaringan pengikat longgar dan banyak terdapat sel makrofag,
permukannay dilapisi oleh epitel kuboid selapis yang berasal dari sel ependim yang memiliki
banyak mikrovili.

Selubung medulla spinalis
1. Duramater : dipisahkan dengan permukaan kanalis vetebralis oleh spatium epidurale,
dilapisi epitel gepeng selapis.
2. Arachnoid : dipisahkan dengan duramater oeh celah sempit.
3. Piamater: lebih tebal daripada di daerah otak.
-

FISIOLOGI

12

-

PATOFISIOLOGI

-

PATOMEKANISME

-

JENIS-JENIS PENYAKIT YANG BERHUBUNGAN

-

GEJALA KLINIS

-

MB akut memiliki trias klinik, yaitu demam, nyeri kepala hebat, dan kaku kuduk;
tidak jarang disertai kejang umum dan gangguan kesadaran. Tanda Brudzinski dan
Kernig juga dapat ditemukan serta memiliki signifi kansi klinik yang sama dengan
kaku kuduk, namun sulit ditemukan secara konsisten. Diagnosis meningitis dapat
menjadi sulit jika manifestasi awal hanya nyeri kepala dan demam. Selain itu, kaku
kuduk tidak selalu ditemukan pada pasien sopor, koma, atau pada lansia.

-

Meningitis meningokokal harus dicurigai jika terjadi perburukan kondisi yang sangat
cepat (kondisi delirium atau sopor dalam hitungan jam), terdapat ruam petechiae atau
purpura, syok sirkulasi, atau ketika ada wabah lokal meningitis. Ruam petechiae
muncul

pada

sekitar

50%

infeksi

meningokokal,

manifestasi

tersebut

mengindikasikan pemberian antibiotik secepatnya.
-

Meningitis pneumokokal sering didahului oleh infeksi paru, telinga, sinus, atau katup
jantung. Etiologi pneumokokal juga patut dicurigai pada pasien alkoholik,
pascasplenektomi, lansia, anemia bulan sabit, dan fraktur basis kranium. Sedangkan
etiologi H. infl uenzae biasanya terjadi setelah infeksi telinga dan saluran napas atas
pada anakanak. Etiologi lain sangat tergantung pada kondisi medik tertentu.
Meningitis setelah prosedur bedah

saraf biasanya disebabkan oleh infeksi stafi

lokokus. Infeksi HIV, gangguan myeloproliferatif, defek tulang kranium (tumor,
osteomyelitis), penyakit kolagen, kanker metastasis, dan terapi imunosupresan adalah
kondisi

yang

memudahkan

terjadinya

meningitis

yang

disebabkan

Enterobacteriaceae, Listeria, A. calcoaceticus, dan Pseudomonas.1,2 Tanda-tanda
serebral fokal pada stadium awal meningitis paling sering disebabkan oleh
pneumokokus dan H. infl uenza. Meningitis dengan etiologi H. infl uenza paling
sering menyebabkan kejang. Lesi serebal fokal persisten atau kejang yang sulit
dikontrol biasanya terjadi pada minggu kedua infeksi meningen dan disebabkan oleh
vaskulitis infeksius, saat terjadi sumbatan vena serebral superfi sial yang berujung
13

pada infark jaringan otak. Abnormalitas saraf kranial sering terjadi pada meningitis
pneumokokal, karena invasi eksudat purulen yang merusak saraf yang melalui ruang
subaraknoid.

-

PEMERIKSAAN FISIK PENYAKIT

Identitas pasien
Nama: An. Toni
Umur: 1 tahun
Alamat: dukuh kupang sby
Jenis Kelamin: laki laki
Nama ibu: Ny.Sukiah
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Usia: 36 tahun
Nama bapak: Tn. Margo
Usia : 42 tahun
Pekerjaan : sales otomotif
Anamnesa
Keluhan utama: kejang
Riwayat Penyakit Sekarang:
1. Sejak 1 hari sebelum ke IRD kejang berulang 3x masing masing 1 menit
2. Kejangnya kelonjotan tangan dan kaki kanan dan kiri (kejang umum).
3. Panas 3 hari naik turun
4. batuk pilek ringan
5. masih mau makan dan minum sebelum ke IRD
6. 1 hari sebelum ke IRD anak tampak banyak tidur tapi masih bisa dibangunkan tapi tidur
lagi.
Riwayat Penyakit Dahulu:
1.tidak pernah kejang sebelumnya
2. tidak ada riwayat trauma kepala
3.otitits media purulen negatif
4.Batuk pilek sudah diobati
5.Tidak ada kejang sebelumnya
14

Riwayat kehamilan: normal, lahir cukup bulan, ditolong bidan langsung menangis, saudara
2 tanpa riwayat kejang
Riwayat Keluarga: tidak ada keluarga yang seperti itu

PEMERIKSAAN FISIK PENYAKIT
1.a/i/c/d = -/-/-/2.Vital sign:
o Tensi: 110/70 mm/Hg
o Suhu: 39oC
o RR: 30x/mnt
o Nadi: 106x/mnt
o BB : 9,5 kg
4. Pemeriksaaan kepala dan leher
o UUB cembung
o Pharing hiperemia
o T1/T2 : normal
o Lain lain dalam batas normal
5. Thorax
Paru :
o Suara nafas vesikuler +/+
o Rhonki -/o Wheezing -/Jantung
o S1/S2 tunggal
o Murmur : Abdomen : dalam batas normal
Extremitas : akral hangat
Edema: -/Status neurologi:
o reflek patologis meningkat di 4 ekstremitas
o babinski +/+
o chaddock +/+
6. pemeriksaan Lab
Hb : 11,6gr/dl
Leukosit: 16.900/cmm (leukositosis meningkat)
Diff. Count: shift to the left (ada infeksi karena banyak sel motorik)
Analisis CSS : jumlah sel > 15000 gengan dominan PMN (infeksi akut)
Glukosa menurun, protein meningkat.
None/pandi +/+
Radiologi :
o USG kepala : dalam batas normal
15

16

BAB V
HIPOTESIS AWAL (DIFFERENTIAL DIAGNOSIS)
1. meningitis bakteri

BAB VI
ANALISIS DARI DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
17

1. Meningitis bakteri
Meningitis bakterial (MB) adalah inflamasi meningen, terutama araknoid dan piamater, yang
terjadi karena invasi bakteri ke dalam ruang subaraknoid. Pada MB, terjadi rekrutmen
leukosit ke dalam cairan serebrospinal (CSS). Biasanya proses inflamasi tidak terbatas hanya
di meningen, tapi juga mengenai parenkim otak (meningoensefalitis), ventrikel (ventrikulitis),
bahkan bisa menyebar ke medula spinalis. Kerusakan neuron, terutama pada struktur
hipokampus, diduga sebagai penyebab potensial defi sit neuropsikologik persisten pada
pasien yang sembuh dari meningitis bakterial.
Kasus MB terdistribusi di seluruh belahan bumi. Di negara dengan empat musim, MB lebih
banyak terjadi di musim dingin dan awal musim semi. MB lebih banyak terjadi pada pria.
Insiden MB adalah 2-6/100.000 per tahun dengan puncak kejadian pada kelompok bayi,
remaja, dan lansia. Tingkat insiden tahunan (per 100.000) MB sesuai patogennya adalah
sebagai berikut: Streptococcus pneumonia, Neisseria meningitidis, Streptococcus, Listeria
monocytogenes, dan Haemophilus infl uenza,
FAKTOR RISIKO
Faktor-faktor yang berkaitan dengan peningkatan risiko MB di antaranya adalah status
immunocompromised (infeksi human immunodefi ciency virus, kanker, dalam terapi obat
imunosupresan, dan splenektomi), trauma tembus kranial, fraktur basis kranium, infeksi
telinga, infeksi sinus nasalis, infeksi paru, infeksi gigi, adanya benda asing di dalam sistem
saraf pusat (contoh: ventriculoperitoneal shunt), dan penyakit kronik (gagal jantung
kongestif, diabetes, penyalahgunaan alkohol, dan sirosis hepatik).
ETIOLOGI
Pada individu dewasa imunokompeten, S. pneumonia dan N. meningitidis adalah patogen
utama penyebab MB, karena kedua bakteri tersebut memiliki kemampuan kolonisasi
nasofaring dan menembus sawar darah otak (SDO). Basil gram negatif seperti Escherichia
coli, Klebsiella spp, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, dan Pseudomonas
spp biasanya merupakan penyebab MB nosokomial, yang lebih mudah terjadi pada pasien
kraniotomi, kateterisasi ventrikel internal ataupun eksternal, dan trauma kepala. Penyebab
MB berdasarkan usia dan faktor risiko
PATOFISIOLOGI
18

Infeksi bakteri mencapai sistem saraf pusat melalui invasi langsung, penyebaran hematogen,
atau embolisasi trombus yang terinfeksi. Infeksi juga dapat terjadi melalui perluasan langsung
dari struktur yangterinfeksi melalui vv. diploica, erosi fokus osteomyelitis, atau secara
iatrogenik (pascaventriculoperitoneal shunt atau prosedur bedah otak lainnya).
Transmisi bakteri patogen umumnya melalui droplet respirasi atau kontak langsung dengan
karier. Proses masuknya bakteri ke dalam sistem saraf pusat merupakan mekanisme yang
kompleks. Awalnya, bakteri melakukan kolonisasi nasofaring dengan berikatan pada sel
epitel menggunakan villi adhesive dan membran protein. Risiko kolonisasi epitel nasofaring
meningkat pada individu yang mengalami infeksi virus pada sistem pernapasan atau pada
perokok.
Komponen polisakarida pada kapsul bakteri membantu bakteri tersebut mengatasi
mekanisme pertahanan immunoglobulin A (IgA) pada mukosa inang. Bakteri kemudian
melewati sel epitel ke dalam ruang intravaskuler di mana bakteri relatif terlindungi dari
respons humoral komplemen karena kapsul polisakarida yang dimilikinya. Bakteri memasuki
ruang subaraknoid dan cairan serebrospinal (CSS) melalui pleksus koroid atau kapiler
serebral. Perpindahan bakteri terjadi melalui kerusakan endotel yang disebabkannya. Seluruh
area ruang subaraknoid yang meliputi otak, medula spinalis, dan nervus optikus dapat
dimasuki oleh bakteri dan akan menyebar dengan cepat. Hal ini menunjukkan meningitis
hampir pasti selalu melibatkan struktur serebrospinal. Infeksi juga mengenai ventrikel, baik
secara langsung melalui pleksus koroid maupun melalui refl uks lewat foramina Magendie
dan Luschka. Bakteri akan bermultiplikasi dengan mudah karena minimnya respons humoral
komplemen CSS. Komponen dinding bakteri atau toksin bakteri akan menginduksi proses
infl amasi di meningen dan parenkim otak. Akibatnya, permeabilitas SDO meningkat dan
menyebabkan kebocoran protein plasma ke dalam CSS yang akan memicu infl amasi dan
menghasilkan eksudat purulen di dalam ruang subaraknoid. Eksudat akan menumpuk dengan
cepat dan akan terakumulasi di bagian basal otak serta meluas ke selubung saraf-saraf kranial
dan spinal. Selain itu, eksudat akan menginfi ltrasi dinding arteri dan menyebabkan
penebalan tunika intima serta vasokonstriksi, yang dapat mengakibatkan iskemia serebral.
Tunika adventisia arteriola dan venula subaraknoid sejatinya terbentuk sebagai bagian dari
membran araknoid. Dinding vasa bagian luar sebenarnya sejak awal sudah mengalami proses
infl amasi bersamaan dengan proses meningitis (vaskulitis infeksius). menyebabkan
kebocoran protein plasma ke dalam CSS yang akan memicu infl amasi dan menghasilkan
eksudat purulen di dalam ruang subaraknoid. Eksudat akan menumpuk dengan cepat dan
19

akan terakumulasi di bagian basal otak serta meluas ke selubung saraf-saraf kranial dan
spinal. Selain itu, eksudat akan menginfi ltrasi dinding arteri dan menyebabkan penebalan
tunika intima serta vasokonstriksi, yang dapat mengakibatkan iskemia serebral. Tunika
adventisia arteriola dan venula subaraknoid sejatinya terbentuk sebagai bagian dari membran
araknoid. Dinding vasa bagian luar sebenarnya sejak awal sudah mengalami proses infl amasi
bersamaan dengan proses meningitis (vaskulitis infeksius). Selanjutnya, dapat terjadi syok
yang mereduksi tekanan darah sistemik, sehingga dapat mengeksaserbasi iskemia serebral.
Selain itu, MB dapat menyebabkan trombosis sekunder pada sinus venosus mayor dan
tromboflebitis pada vena-vena kortikal. Eksudat purulen yang terbentuk dapat menyumbat
resorpsi CSS oleh villi araknoid atau menyumbat aliran pada sistem ventrikel yang
menyebabkan hidrosefalus obstruktif atau komunikans yang disertai edema serebral
interstisial. Eksudat tersebut juga dapat mengelilingi saraf-saraf kranial dan menyebabkan
neuropati kranial fokal.
TANDA DAN GEJALA KLINIK
MB akut memiliki trias klinik, yaitu demam, nyeri kepala hebat, dan kaku kuduk; tidak
jarang disertai kejang umum dan gangguan kesadaran. Tanda Brudzinski dan Kernig juga
dapat ditemukan serta memiliki signifi kansi klinik yang sama dengan kaku kuduk, namun
sulit ditemukan secara konsisten. Diagnosis meningitis dapat menjadi sulit jika manifestasi
awal hanya nyeri kepala dan demam. Selain itu, kaku kuduk tidak selalu ditemukan pada
pasien sopor, koma, atau pada lansia.
Meningitis meningokokal harus dicurigai jika terjadi perburukan kondisi yang sangat cepat
(kondisi delirium atau sopor dalam hitungan jam), terdapat ruam petechiae atau purpura, syok
sirkulasi, atau ketika ada wabah lokal meningitis. Ruam petechiae muncul pada sekitar 50%
infeksi

meningokokal,

manifestasi

tersebut

mengindikasikan

pemberian

antibiotik

secepatnya.
Meningitis pneumokokal sering didahului oleh infeksi paru, telinga, sinus, atau katup
jantung. Etiologi pneumokokal juga patut dicurigai pada pasien alkoholik, pascasplenektomi,
lansia, anemia bulan sabit, dan fraktur basis kranium. Sedangkan etiologi H. infl uenzae
biasanya terjadi setelah infeksi telinga dan saluran napas atas pada anakanak. Etiologi lain
20

sangat tergantung pada kondisi medik tertentu. Meningitis setelah prosedur bedah saraf
biasanya disebabkan oleh infeksi stafi lokokus. Infeksi HIV, gangguan myeloproliferatif,
defek tulang kranium (tumor, osteomyelitis), penyakit kolagen, kanker metastasis, dan terapi
imunosupresan adalah kondisi yang memudahkan terjadinya meningitis yang disebabkan
Enterobacteriaceae, Listeria, A. calcoaceticus, dan Pseudomonas. Tanda-tanda serebral fokal
pada stadium awal meningitis paling sering disebabkan oleh pneumokokus dan H. infl uenza.
Meningitis dengan etiologi H. infl uenza paling sering menyebabkan kejang. Lesi serebal
fokal persisten atau kejang yang sulit dikontrol biasanya terjadi pada minggu kedua infeksi
meningen dan disebabkan oleh vaskulitis infeksius, saat terjadi sumbatan vena serebral
superfi sial yang berujung pada infark jaringan otak. Abnormalitas saraf kranial sering terjadi
pada meningitis pneumokokal, karena invasi eksudat purulen yang merusak saraf yang
melalui ruang subaraknoid.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis MB ditegakkan melalui analisis CSS, kultur darah, pewarnaan CSS, dan biakan
CSS. Pada prinsipnya, pungsi lumbal harus dikerjakan pada setiap kecurigaan meningitis
dan/atau ensefalitis. Pada pemeriksaan darah, MB disertai dengan peningkatan leukosit dan
penanda infl amasi, dan kadang disertai hipokalsemia, hiponatremia, serta gangguan fungsi
ginjal dengan asidosis metabolik. Pencitraan otak harus dilakukan secepatnya untuk
mengeksklusi lesi massa, hidrosefalus, atau edema serebri yang merupakan kontraindikasi
relatif pungsi lumbal. Jika pencitraan tidak dapat dilakukan, pungsi lumbal harus dihindari
pada pasien dengan gangguan kesadaran, keadaan immunocompromised (AIDS, terapi
imunosupresan, pasca-transplantasi), riwayat penyakit sistem saraf pusat (lesi massa, stroke,
infeksi fokal), defi sit neurologik fokal, bangkitan awitan baru, atau papil edema yang
memperlihatkan tanda-tanda ancaman herniasi.
Tekanan pembukaan saat pungsi lumbal berkisar antara 20-50 cmH2O. CSS biasanya keruh,
tergantung dari kadar leukosit, bakteri, dan protein. Pewarnaan Gram CSS memberi hasil
meningokokus positif pada sekitar 50% pasien dengan meningitis meningokokal akut. Kultur
darah dapat membantu, namun tak selalu bisa diandalkan. Pemeriksaan polymerase chain
reaction (PCR) bersifat sensitif terhadap Streptococcus pneumoniae dan Neisseria
meningitidis.
PENATALAKSANAAN
21

MB adalah kegawatdaruratan medik. Pemilihan antibiotik yang tepat adalah langkah yang
krusial, karena harus bersifat bakterisidal pada organisme yang dicurigai dan dapat masuk ke
CSS dengan jumlah yang efektif. Pemberian antibiotik harus segera dimulai sambil
menunggu hasil tes diagnostik dan nantinya dapat diubah setelah ada temuan laboratorik.
Pada suatu studi, didapatkan hasil jika pemberian antibiotik ditunda lebih dari 3 jam sejak
pasien masuk RS, maka mortalitas akan meningkat secara bermakna.

Pilihan antibiotik empirik pada pasien MB harus berdasarkan epidemiologi lokal, usia pasien,
dan adanya penyakit yang mendasari atau faktor risiko penyerta .Antibiotik harus segera
diberikan bila ada syok sepsis. Jika terjadi syok sepsis, pasien harus diterapi dengan cairan
dan mungkin memerlukan dukungan obat inotropik. Jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial, pertimbangkan pemberian manitol. Antibiotik empirik bisa diganti dengan
antibiotik yang lebih spesifi k jika hasil kultur sudah ada. Durasi terapi antibiotik bergantung
pada bakteri penyebab, keparahan penyakit, dan jenis antibiotik yang digunakan. Meningitis
meningokokal epidemik dapat diterapi secara efektif dengan satu dosis ceftriaxone
intramuskuler sesuai dengan rekomendasi WHO. Namun WHO merekomendasikan terapi
antibiotik paling sedikit selama 5 hari pada situasi nonepidemik atau jika terjadi koma atau
kejang yang bertahan selama lebih dari 24 jam. Autoritas kesehatan di banyak negara maju
menyarankan terapi antibiotik minimal 7 hari untuk meningitis meningokokal danhaemofi
lus; 10-14 hari untuk terapi antibiotik pada meningitis pneumokokal. Terapi dexamethasone
yang diberikan sebelum atau bersamaan dengan dosis pertama antibiotik dapat menurunkan
morbiditas dan mortalitas secara bermakna, terutama pada meningitis pneumokokal.
Dexamethasone dapat menurunkan respons inflamasi di ruang subaraknoid yang secara tak
langsung dapat menurunkan risiko edema serebral, peningkatan tekanan intrakranial,
gangguan aliran darah otak, vaskulitis, dan cedera neuron. Dexamethasone diberikan selama
4 hari dengan dosis 10 mg setiap 6 jam secara intravena. Sejumlah pakar berpendapat
pemberian dexamethasone harus dihentikan jika hasil kultur CSS menunjukkan penyebab
MB bukan H. infl uenzae atau S. pneumoniae, namun kelompok pakar lain
merekomendasikan pemberian dexamethasone apapun etiologi MB yang ditemukan.
Pemberian dexamethasone pada pasien MB dengan sepsis berat atau syok sepsis dapat
meningkatkan kesintasan. Pada penelitian lain, pemberian dexamethasone tidak menurunkan
angka mortalitas dan morbiditas secara bermakna.
22

Pasien MB harus dipantau ketat. Kejadian kejang sering muncul dan terapi antikonvulsan
sering kali diperlukan. Jika kesadaran pasien menurun setelah kejang, maka pasien terindikasi
untuk pemeriksaan elektroensefalografi . Kondisi pasien harus dipertahankan dalam status
normoglikemia dan normovolemia. Proton pump inhibitor perlu diberikan untuk mencegah
stressinduced gastritis. Jika kondisi klinis pasien belum membaik dalam 48 jam setelah terapi
antibiotik dimulai, maka analisis CSS ulang harus dilakukan.
Pada pasien MB dengan hidrosefalus akut, prosedur ventrikulostomi dapat dipertimbangkan.
Pada pasien dengan pembesaran sistem ventrikel ringan tanpa perburukan klinis, resolusi
spontan dapat terjadi, sehingga prosedur invasif dapat
Profi laksis
Individu yang mengalami kontak dengan pasien meningitis meningokokal harus diberi
antibiotik profi laksis. Pilihan antibiotik yang biasa diberikan adalah ciprofl oxacin 500 mg
dosis tunggal atau rifampicin 2 x 600 mg selama 2 hari. Profi laksis tidak dibutuhkan jika
durasi sejak penemuan kasus meningitis meningokokal sudah lebih dari 2 minggu. Imunisasi
S. pneumoniae, H. infl uenza dan N. meningitidis diketahui menurunkan insiden meningitis
secara bermakna.
PROGNOSIS
MB yang tidak diobati biasanya berakhir fatal. Meningitis pneumokokal memiliki tingkat
fatalitas tertinggi, yaitu 19-37%. Pada sekitar 30% pasien yang bertahan hidup, terdapat
sekuel defi sit neurologik seperti gangguan pendengaran dan defi sit neurologik fokal lain.
Individu yang memiliki faktor risiko prognosis buruk adalah pasien immunocompromised,
usia di atas 65 tahun, gangguan kesadaran, jumlah leukosit CSS yang rendah, dan infeksi
pneumokokus.Gangguan fungsi kognitif terjadi pada sekitar 27% pasien yang mampu
bertahan dari MB.
Terapi kortikosteroid jangka panjang
Terapi kortikosteroid sistemik digunakan secara luas untuk mengobati gangguan autoimun
atau infl amasi. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang (terutama dalam dosis tinggi)
berhubungan dengan efek samping serius pada berbagai sistem fi siologik tubuh, termasuk
sistem imun. Efek samping tersebut sebenarnya dapat diminimalisasi dengan cara memantau
23

kondisi pasien secara seksama dan menggunakan jenis kortikosteroid dengan potensi dan
dosis serendah mungkin. Kortikosteroid menekan fungsi imun normal dengan menurunkan
ekspresi limfosit T, monosit, makrofag, eosinofi , mastosit, dan sel endotelial. Supresi sitokin
bukan satusatunya efek kortikosteroid pada respons imun dan antiinfl amasi normal.
Kortikosteroid juga dipercaya mengeksitasi produksi sitokin antiinflamasi TGF-s
(Transforming Growth Factor-β). Kortikosteroid juga mengganggu ekspresi molekul
pengikat pada antigenprecenting cell serta menginduksi apoptosis pada limfosit T matur dan
monosit. Pengguna kortikosteroid jangka panjang rentan terhadap infeksi karena
kortikosteroid dapat menghambat kerja sistem imun normal dan menekan proses infl amasi.
Gejala infeksi pada pengguna kortikosteroid jangka panjang dapat menunjukkan gejala yang
tidak khas karena adanya inhibisi pelepasan sitokin dan reduksi respons infl amasi. Untuk
mencegah infeksi oportunistik pada pengguna kortikosteroid jangka panjang, beberapa pakar
menganjurkan memulai terapi kortikosteroid dengan dosis dan potensi serendah mungkin
tanpa mengabaikan efi kasi. Sebelum memulai terapi kortikosteroid jangka panjang,
pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sebagai data dasar. Selanjutnya, pemeriksaan
darah lengkap harus dilakukan setiap 3 bulan (selama pasien masih dalam terapi
kortikosteroid) untuk melihat adanya kemungkinan infeksi yang belum bermanifestasi spesifi
k. Setiap pasien juga harus memiliki termometer pribadi di rumah dan harus segera ke dokter
bila suhu meningkat di atas 38°C. American College of Rheumatology merekomendasikan
vaksinasi pneumokokus dan infl uenza pada pasien tersebut.
SIMPULAN
Meningitis bakterial merupakan suatu kasus kegawatdaruratan neurologik dengan angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Oleh karena itu, diagnosis dan terapi harus dilakukan
secepatnya untuk mencegah keluaran yang buruk. Diagnosis MB ditegakkan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti pungsi lumbal.
Penatalaksanaan MB memerlukan pemahaman tentang karakter pasien agar pemilihan
antibiotik dapat dilakukan dengan tepat. Penegakan diagnosis dan penentuan terapi yang baik
dapat memberi harapan kualitas hidup yang baik bagi pasien. Saat ini sudah terdapat
imunisasi untuk beberapa bakteri etiologi MB, sehingga angka kejadian MB dapat
diturunkan.

24

BAB VII
HIPOTESIS AKHIR (DIAGNOSIS)
Meningitis bakteria

25

BAB VIII
MEKANISME DIAGNOSA

Anamne
sis

Nama :
Umur :

Pemeriksa
an Fisik

Pemeriksaan
Penunjang :
Pemeriksaan
Neurologi

Diagno
sis :
Meningitis
26
Ganggu
bakteri
an

form

1. Anamnesa
Identitas pasien
Nama: An. Toni
Umur: 1 tahun
Alamat: dukuh kupang sby
Jenis Kelamin: laki laki
Nama ibu: Ny.Sukiah
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Usia: 36 tahun
Nama bapak: Tn. Margo
Usia : 42 tahun
Pekerjaan : sales otomotif
Keluhan utama: kejang
Riwayat Penyakit Sekarang:
1. Sejak 1 hari sebelum ke IRD kejang berulang 3x masing masing 1 menit
2. Kejangnya kelonjotan tangan dan kaki kanan dan kiri (kejang umum).
27

3. Panas 3 hari naik turun
4. batuk pilek ringan
5. masih mau makan dan minum sebelum ke IRD
6. 1 hari sebelum ke IRD anak tampak banyak tidur tapi masih bisa dibangunkan tapi tidur
lagi.
Riwayat Penyakit Dahulu:
1.tidak pernah kejang sebelumnya
2. tidak ada riwayat trauma kepala
3.otitits media purulen negatif
4.Batuk pilek sudah diobati
5.Tidak ada kejang sebelumnya
Riwayat kehamilan: normal, lahir cukup bulan, ditolong bidan langsung menangis, saudara
2 tanpa riwayat kejang
Riwayat Keluarga: tidak ada keluarga yang seperti itu

PEMERIKSAAN FISIK PENYAKIT
1.a/i/c/d = -/-/-/2.Vital sign:
o Tensi: 110/70 mm/Hg
o Suhu: 39oC
o RR: 30x/mnt
o Nadi: 106x/mnt
o BB : 9,5 kg
7. Pemeriksaaan kepala dan leher
o UUB cembung
o Pharing hiperemia
o T1/T2 : normal
o Lain lain dalam batas normal
8. Thorax
Paru :
o Suara nafas vesikuler +/+
o Rhonki -/o Wheezing -/Jantung
o S1/S2 tunggal
28

o Murmur : Abdomen : dalam batas normal
Extremitas : akral hangat
Edema: -/Status neurologi:
o reflek patologis meningkat di 4 ekstremitas
o babinski +/+
o chaddock +/+
9. pemeriksaan Lab
Hb : 11,6gr/dl
Leukosit: 16.900/cmm (leukositosis meningkat)
Diff. Count: shift to the left (ada infeksi karena banyak sel motorik)
Analisis CSS : jumlah sel > 15000 gengan dominan PMN (infeksi akut)
Glukosa menurun, protein menurun
None/pandi +/+
Radiologi :
o USG kepala : dalam batas normal
Diagnosis Akhir : meningitis bakterial

BAB IX
STRATEGI MENYELESAIKAN MASALAH

A. Penatalaksanaan
29

B. Prinsip Tindakan Medis

BAB X
PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI
10.1 Komplikasi
10.2 Tanda untuk Merujuk Pasien
10.3 Prognosis
10.4 Pencegahan

30

DAFTAR PUSTAKA
1. Ropper AH, Brown RH. Adam and Victor’s principles of neurology. 8th ed. New
York: McGraw-Hill; 2005.
2. Clarke C, Howard R, Rossor M, Shorvon S. Neurology: A queen square textbook.
London: Blackwell Publishing; 2009.

3. Shay K. Infectious complications of dental and periodontal diseases in elderly
populations. Clinical Infectious Diseases 2002;34:1215-23.
4. Van De Beek D, De Gans J, Tunkel AR, Wijdicks EFM. Community-acquired
bacterial meningitis in adults. N Eng J Med. 2006;354:44-53.

5. Brouwer M, Van De Beek D, Thwaites G. Dilemmas in the diagnosis of bacterial
meningitis. Lancet 2012;380:1684-92.
6. Tunkel AR, Hartman BJ, Kaplan SL, Kaufman BA, Roos KL. Practice guidelines for
management of bacterial meningitis. Clinical Infectious Diseases 2004;39:1267-84.

31

7. Van De Beek D, Brouwer M, Thwaites G. Advances in treatment of bacterial
meningitis. Lancet 2012;380:1693-702.

8. Bhimraj A. Acute community-acquired bacterial meningitis in adults: An evidencebased review. Clev Clin J of Med. 2012;79:393-400.
9. Pokdi Neuroinfeksi Perdossi. Neuroinfeksi. Surabaya: Airlangga University Press;
2012.
10. 10. Van De Beek D, Farrar J, Gans J, Mai NTH, Tuan PQ, Zwinderman AH.
Adjunctive dexamethasone in bacterial meningitis: A meta-analysis of individual
patient data. Lancet Neurol.2010;9:254-63.
11. 11. Fernandes D, Pereira J, Silvestre J, Bento L. Acute bacterial meningitis in the
intensive care unit and risk factors for clinical outcomes: Retrospective study. J Crit
Care 2014;29:347-50.
12. 12. Singh N, Rieder MJ, Tucker MJ. Mechanisms of glucocorticoid-mediated antiinfl
ammatory and immunosuppresive action. Paed Perinatal Drug Ther. 2004;6:107-15.
13. 13. Brunton LL, Lazo JS, Parker KL. Goodman & Gilman’s the pharmacological
basis of therapeutics. 11th ed. New York: McGraw-Hill; 2006.
14. 14. Liu D, Ahmet A, Ward L, Krishnamoorthy P, Mandelcorn ED, Leigh R, et al. A
practical guide to the monitoring and management of the complications of systemic
corticosteroid therapy.Allergy, Asthma & Clinical Immunology 2013;9:1-25.
15. 15. Hsu D, Katelaris C. Long-term management of patients taking immunosuppresive
drugs. Aust Prescr. 2009;32:68-71.
16. 16. Saag KG, Teng GG, Patkar NM, Anuntiyo J, Finney C, Curtis JR. American
college of rheumatology 2008 recommendations for the use of nonbiologic and
biologic disease-modifying antirheumatic drugs in rheumatoid arthritis. Arthritis
Rheum. 2008;59:762-84.

32

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA REGULER DENGAN ADANYA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SD INKLUSI GUGUS 4 SUMBERSARI MALANG

64 523 26

STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN MALANG KOTA LAYAK ANAK (MAKOLA) MELALUI PENYEDIAAN FASILITAS PENDIDIKAN

73 431 39

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25