TAPPDF.COM PDF DOWNLOAD IMPLEMENTASI SOSIALISASI JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DALAM ... 1 SM
IMPLEMENTASI SOSIALISASI JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
DALAM PELAYANAN DI POLI GIGI PUSKESMAS RURUKAN
TOMOHON
Mirsarinda Leander*
*Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi
ABSTRAK
Puskesmas sebagai salah satu Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) di era Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) menjamin pelayanan gigi yang bebas biaya bagi pasien peserta BPJS
Kesehatan. Kendati demikian sejak dimulainya program BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014,
hanya ada 150 pasien peserta BPJS yang berobat ke puskesmas dari total 6102 peserta yang
terdaftar di Puskesmas Rurukan. Sosialisasi sebenarnya sangat dibutuhkan karena belum semua
masyarakat memahami JKN secara keseluruhan khususnya dalam pelayanan gigi, seperti apa
manfaat yang akan diterima, hak dan kewajiban sebagai peserta BPJS, serta hak dan kewajiban
pemberi pelayanan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang implementasi
sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional dalam pelayanan di poli gigi Puskesmas Rurukan.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengambilan data dengan wawancara mendalam
dan dilaksanakan di Puskesmas Rurukan pada bulan Juli sampai November 2015. Informan dalam
penelitian ini diambil berdasarkan prinsip kesesuaian (appropriateness) dan kecukupan
(adequacy). Informan dalam penelitian ini berjumlah 8 orang terdiri dari Kepala P uskesmas
Rurukan, pemegang program kesehatan gigi dan mulut, staf BPJS cabang pembantu di Kota
Tomohon, dan 5 orang pasien gigi. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa sosialisasi tentang
cakupan pelayanan gigi, prosedur pendaftaran dan prosedur pelayanan gigi bagi peserta BPJS
masih kurang. Untuk itu disarankan agar Dinas Kesehatan, puskesmas, BPJS Kesehatan, dan
stakeholder terkait dapat menjalin kerjasama yang baik dalam mensosialisasikan pelayanan gigi
bagi peserta BPJS Kesehatan. Masyarakat juga diharapkan memiliki sikap terbuka sehingga dapat
bersama-sama mensukseskan program JKN ini.
ABSTRAK
Public Health Center as one of the First Level Health Facilities in the era of National Health
Insurance (JKN) ensure dental services are free of charge to the patient participants of BPJS Health.
However since the program's inception BPJS on January 1, 2014, there were only 150 patients BPJS
participants who went to the clinic of a total of 6102 participants enrolled in PHC Rurukan. Actual
socialization is needed because not all people understand the overall JKN particularly in dental
services, such as what benefits will be received, rights and obligations as participants BPJS, and
the rights and obligations of service providers. This study aimed to obtain information on the
implementation of the National Health Insurance socialization in service at the health center dental
clinic Rurukan. This study used qualitative methods. Retrieving data with in-depth interviews
carried out in health centers and Rurukan in July to November 2015. The informants in this study
were drawn based on the principle of appropriateness and adequacy. Informants in this study
amounted to 8 consists of the Head of Puskesmas Rurukan, holders of oral health programs, staff
BPJS branches in Tomohon, and 5 patients teeth. Results of this study found that the socialization
of dental care coverage, the registration procedures and procedures for participants BPJS dental
services is still lacking. It is recommended that the Department of Health, community health centers,
BPJS Health, and relevant stakeholders to establish a good cooperation in disseminating dental
services for participants BPJS Health. People are also expected to have an open attitude so as to
jointly succeed in this JKN program.
BPJS : Social Security Administrator
43
mendapatkan
pelayanan
kesehatan
tingkat lanjutan. Puskesmas sebagai salah
satu FKTP harus memiliki pelayanan
kesehatan yang bermutu dan berkualitas
serta harus menyentuh seluruh lapisan
masyarakat tanpa terkecuali. Pelayanan
kesehatan tersebut, termasuk didalamnya
adalah pelayanan kesehatan gigi dan
mulut.
Kesehatan gigi dan mulut
merupakan bagian integral dari kesehatan
tubuh secara keseluruhan yang tidak
dapat dipisahkan dari kesehatan tubuh
secara urnum. Menurut data WHO 6090% anak usia sekolah dan hampir 100%
orang dewasa memiliki masalah gigi.
Dari hasil Riskesdas 2013 sebesar 25,9%
penduduk Indonesia mempunyai masalah
gigi dan mulut. Di Propinsi Sulawesi
Utara, prevalensi penduduk yang
bermasalah gigi dan mulut adalah 31,6%
(Anonim, 2014b). Dengan demikian
dapat dibayangkan besarnya kebutuhan
masyarakat akan perawatan gigi dan
mulut. Namun sebagian besar masyarakat
sering mengabaikan kondisi kesehatan
gigi secara keseluruhan. Perawatan gigi
dianggap tidak terlalu penting, padahal
manfaatnya
sangat
vital
dalam
menunjang kesehatan dan penampilan.
Sebaliknya perawatan gigi justru
dianggap mahal sehingga sebagian
masyarakat belum mau dan mampu
membiayai pengobatan ke dokter gigi di
fasilitas kesehatan milik swasta atau
fasilitas kesehatan milik pemerintah
seperti puskesmas.
Puskesmas
Rurukan
yang
menjadi lokasi penelitian penulis
memiliki poli gigi yang terdiri dari 1
orang dokter gigi dan 3 orang perawat
gigi. Jumlah penduduk Kecamatan
Tomohon Timur yang berada di wilayah
kerja Puskesmas Rurukan tahun 2013
sebesar 10.876 jiwa (Anonim, 2013a).
Data terakhir bulan September 2015,
PENDAHULUAN
Hak tingkat hidup yang memadai untuk
kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan
keluarganya merupakan hak asasi
manusia dan diakui oleh segenap bangsabangsa di dunia, termasuk Indonesia.
Pengakuan itu tercantum dalam Deklarasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948
pasal 25 ayat 1 tentang Hak Azasi
Manusia.
Berdasarkan Deklarasi
tersebut, beberapa negara mengambil
inisiatif untuk mengembangkan jaminan
sosial, antara lain jaminan kesehatan bagi
semua penduduk atau yang disebut
Universal Health Coverage. (Anonim,
2014c).
Di Indonesia, falsafah dan dasar
negara Pancasila terutama sila kelima
juga mengakui hak asasi warga negara
atas kesehatan. Hak ini juga tercantum
dalam UUD 1945 pasal 28H dan pasal 34,
dan diatur dalam Undang-Undang No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Komitmen global dan konstitusi
di atas diwujudkan oleh pemerintah
dengan pelaksanaan jaminan kesehatan
masyarakat melalui Jaminan Kesehatan
Nasional
(JKN)
bagi
kesehatan
perorangan. Karena itu pada tahun 2004,
dikeluarkan Undang-Undang No. 40
Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN).
Undang-Undang
ini
mengamanatkan bahwa jaminan sosial
wajib bagi seluruh penduduk termasuk
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
melalui suatu Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS). (Anonim, 2014c).
Pelayanan
kesehatan
yang
diberikan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial terhadap peserta
dilakukan dengan sistem pelayanan
kesehatan berjenjang dimana saat peserta
membutuhkan pelayanan kesehatan,
peserta diwajibkan untuk datang ke
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP) terlebih dahulu sebelum mereka
44
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan di Kabupaten Temanggung
yang menyatakan dalam kesimpulannya
bahwa sosialisasi JKN di Kabupaten
Temanggung kurang efektif karena
terdapat faktor penghambat sosialisasi
yaitu kurangnya kesadaran masyarakat
akan pentingnya program JKN sebagai
proteksi dini. Sosialisasi ini sebenarnya
sangat penting karena belum semua
masyarakat memahami JKN secara
keseluruhan khususnya dalam pelayanan
gigi, seperti apa manfaat yang akan
diterima, hak dan kewajiban sebagai
peserta BPJS, serta hak dan kewajiban
pemberi pelayanan.
jumlah peserta BPJS yang terdaftar di
Puskesmas Rurukan berjumlah 6102
orang. Di era Jaminan Kesehatan
Nasional saat ini, Puskesmas Rurukan
sebagai penyedia pelayanan kesehatan
gigi dan mulut memberikan pelayanan
bebas
biaya
untuk
konsultasi,
premedikasi,
penambalan
dan
pencabutan gigi serta pembersihan
karang gigi bagi peserta BPJS yang
terdaftar. Karena semua perawatan ini
tidak dipungut biaya, seharusnya seluruh
pasien peserta BPJS dapat menikmati
perawatan gigi dan mulut tersebut.
Namun
pada
kenyataanya
sejak
dimulainya program BPJS Kesehatan 1
Januari 2014, pasien gigi peserta BPJS di
Puskesmas Rurukan masih banyak yang
belum menggunakan pelayanan gigi
tersebut. Data yang penulis dapatkan
selama tahun 2014 hanya ada 836 pasien
yang berkunjung ke poli gigi, 150
diantaranya adalah peserta BPJS, sisanya
adalah pasien umum yang dikenakan
biaya administrasi dan perawatan
(Anonim, 2014a). Menurut pengamatan
penulis berbagai kemudahan dalam
pemanfaatan program jaminan kesehatan
terutama dalam hal biaya perawatan yang
gratis
belum
cukup
mendorong
masyarakat untuk menggunakannya
karena belum semua masyarakat
mengerti manfaat yang akan didapat
ketika menjadi peserta BPJS di
puskesmas.
Penelitian dari Trias (2014)
menyimpulkan bahwa sosialisasi tentang
JKN dan BPJS saat ini masih kurang
dalam hal memberi informasi akan hak
dan kewajiban bila nanti menjadi peserta
dikarenakan dari pihak BPJS tidak
menjelaskan dengan lengkap. Hal ini
didukung oleh studi evaluasi dari Mariza
dan Sutopo (2014) yang berjudul
Efektivitas
Sosialisasi
Jaminan
Kesehatan
Nasional oleh
Badan
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode
penelitian kualitatif. Penelitian ini
dilaksanakan di Puskesmas Rurukan
Kecamatan Tomohon Timur pada bulan
Juli sampai November 2015.
Informan dalam penelitian ini
diambil berdasarkan prinsip kesesuaian
(appropriateness)
dan
kecukupan
(adequacy). Kesesuaian adalah informan
dipilih berdasarkan pengetahuan yang
dimiliki yang berkaitan dengan topik
penelitian. Prinsip kecukupan yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah
jumlah informan tidak menjadi faktor
penentu utama, akan tetapi kelengkapan
data yang dipentingkan. Berdasarkan
prinsip tersebut diatas, maka informan
dalam penelitian ini berjumlah 8
karakteristik informan yaitu Kepala
Puskesmas Rurukan (1 orang), pemegang
program kesehatan gigi dan mulut
Puskesmas Rurukan (1 orang), staf BPJS
cabang pembantu di Kota Tomohon (1
orang), pasien gigi peserta Jamkesmas (1
orang), pasien gigi peserta BPJS mandiri
(1 orang), pasien gigi PNS (1 orang),dan
pasien gigi umum (2 orang).
45
dilakukan sampai ke berbagai profesi, di
kampus serta sekolah-sekolah. Namun
jawaban yang berbeda didapat dari pasien
dan pemegang program gigi dan mulut.
Semua informan pernah melihat iklan
JKN dan BPJS di media massa seperti
televisi atau koran namun merasakan
bahwa sosialisasi belum maksimal.
Sosialisasi dari BPJS Kesehatan
ke Dinas Kesehatan Kota Tomohon
sudah pernah dilakukan awal tahun 2014
yang lalu dan pertemuan seperti ini akan
dilakukan secara berkala setiap kali
terjadi perubahan regulasi atau kebijakan
yang baru. Pertemuan tersebut dihadiri
oleh kepala puskesmas, dokter umum,
dokter gigi, kepala tata usaha dan
bendahara. Informasi yang didapat
diharapkan
akan diteruskan kepada
seluruh staf puskesmas sehingga semua
staf di puskesmas dapat memahami
tentang prosedur pelayanan bagi pasien
peserta BPJS. Namun yang terjadi adalah
beberapa staf medis di puskesmas kurang
memahami secara lengkap tentang BPJS
Kesehatan. Bila ada perubahan peraturan
atau kebijakan maka BPJS Kesehatan
akan langsung menyampaikan kepada
Dinas Kesehatan dan
puskesmas
sehingga diharapkan peraturan atau
kebijakan terbaru tersebut bisa langsung
disosialisasikan ke pasien.
Sosialisasi dari staf BPJS kepada
masyarakat sudah sering dilakukan. Hal
ini disampaikan dengan tegas oleh staf
BPJS cabang Tomohon. Menurut hasil
wawancara tersebut
di atas dapat
dikatakan bahwa sosialisasi yang
dilakukan oleh BPJS sudah cukup
maksimal. Sosialisasi sudah dilakukan
dari sebelum tahun 2014 sampai
sekarang. Berbeda dengan peryataan staf
BPJS di atas, informan pemegang
program gigi dan mulut menyatakan
bahwa sosialisasi ke pasien hanya
dilakukan secara langsung ke pasien yang
HASIL DAN PEMBAHASAN
Implementasi sosialisasi jaminan
kesehatan nasional bagi pelayanan
kepada pasien peserta BPJS di poli
gigi Puskesmas Rurukan meliputi
sosialisasi cakupan pelayanan gigi,
sosialisasi prosedur pendaftaran,
sosialisasi prosedur pelayanan, faktor
pendukung dan penghambat.
1. Cakupan pelayanan gigi dan mulut
bagi peserta BPJS Kesehatan
Pelayanan di poli gigi fasilitas
kesehatan tingkat pertama yang dijamin
oleh BPJS yaitu terdiri dari administrasi
pendaftaran peserta untuk berobat,
penyediaan dan pemberian surat rujukan
ke faskes lanjutan untuk penyakit yang
tidak dapat ditangani di faskes tingkat
pertama, pemeriksaan, pengobatan, dan
konsultasi
medis,
premedikasi,
kegawatdaruratan
oro-dental,
pencabutan gigi sulung (topikal,
infiltrasi), pencabutan gigi permanen
tanpa penyulit, obat pasca ekstraksi,
tumpatan komposit atau GIC (glass
ionomer cement), skeling gigi (satu kali
dalam setahun), gigi palsu (satu kali
dalam dua tahun). Ketika mewawancarai
pasien tentang cakupan pelayanan,
penulis terlebih dahulu menanyakan
tentang sejauh mana mereka mengetahui
JKN. Dari 5 informan pasien, hanya 1
orang informan yang mengatakan tidak
tahu. Informan pasien yang berjumlah 4
orang dengan latar belakang berbeda
pekerjaan dan pendidikan menjawab
mengetahui kepanjangan JKN yaitu
jaminan kesehatan nasional yang
memberikan pelayanan kesehatan gratis
bagi mereka yang memegang kartu
BPJS Kesehatan. Cakupan pelayanan
gigi yang dijamin oleh BPJS Kesehatan
belum diketahui secara jelas oleh pasien.
Staf BPJS menyatakan bahwa
sosialisasi JKN kepada masyarakat sudah
dikerjakan dengan baik. Sosialisasi
46
berobat di puskesmas saja. Belum pernah
ia mendengar tentang sosialisasi BPJS
Kesehatan diadakan dilingkup kantor,
lingkungan atau di gereja. Menurut
informan pasien menyatakan bahwa
sosialisasi dari BPJS Kesehatan secara
langsung belum pernah dilakukan namun
dari pihak kepala lingkungan dan dari
gereja sudah pernah berinisiatif untuk
ikut membantu mensosialisasikan BPJS
tersebut. Penulis berpendapat bahwa
sosialisasi
yang
dilakukan
oleh
stakeholder terkait memang
sangat
diperlukan karena BPJS sangat terbantu
dengan adanya gereja yang ikut
menggalakkan program JKN ini bagi
jemaatnya.
dengan penyuluhan kesehatan atau dari
UKS dan UKGS di sekolah-sekolah.
Peserta BPJS yang terdaftar di
Puskesmas Rurukan memang belum
disosialisasikan sehingga mereka yang
tidak pernah berobat gigi tidak akan tahu
tentang pelayanan gigi ini. Seiring
dengan penelitian dari Primantika (2014)
yang mendapatkan hasil penelitian di
Rumah Sakit Permata Medika Kota
Semarang tahun 2013-2014bahwa materi
sosialisasi JKN dapat dipahami, tetapi
masih terlalu umum. Metode ceramah
kurang menolong memahami materi
sedangkan
metode
diskusi
lebih
menolong. Alat sosialisasi lengkap tetapi
kurang bermanfaat. Organisasi BPJS, tim
khusus sosialisasi JKN hanya ada pada
tahun 2013 saja. Pernyataan dari staf
BPJS bertolak belakang dengan informan
yang lain dimana menurut mereka sudah
disosialisasikan kepada masyarakat
tentang cakupan pelayanan gigi lewat
buku terbitan BPJS berjudul Pelayanan
Gigi dan Protesa Gigi serta lewat
sosialisasi secara langsung ketika
mendaftar fasilitas kesehatan tingkat
pertama.
Sosialisasi harus dilakukan dengan
dua tahap besar untuk mencapai
pemahaman dan kesadaran luas akan
sistem JKN, yaitu:
a. Tahap sosialisasi kepada
pemangku kepentingan kunci, yaitu
para tokoh/ pimpinan serikat
pekerja, para pemberi kerja, para
akademisi, para penggiat organisasi
kemasyarakatan dan para pejabat di
pusat dan daerah.
Tokoh agama dan tokoh masyarakat
sangat berperan dalam hal memberikan
motivasi kepada masyarakat untuk
mengikuti program JKN ini. Kepala
lingkungan yang berinisiatif mengadakan
pertemuan
dengan
warganya,
memfasilitasi pihak puskesmas atau
pihak BPJS utuk bertemu dengan warga
lingkungannya mensosialisasikan tentang
BPJS ini perlu diberikan apresiasi, karena
tidak semua kepala lingkungan yang
memiliki inisiatif seperti di Keluarahan
tersebut.
Cakupan pelayanan gigi yang
dijamin bagi peserta BPJS memang
belum tersosialisasikan dengan baik. Hal
ini terlihat dari hasil wawancara kepada
informan pasien. Dari kelima pasien yang
diwawancara semua tidak mengetahui
tentang pelayanan gigi yang dijamin oleh
BPJS. Kepala puskesmas dan pemegang
program gigi dan mulut cukup
mengetahui tentang cakupan pelayanan
gigi yang dijamin oleh BPJS. Mereka
mensosialisasikan kepada pasien yang
kebetulan berobat di poli gigi puskesmas
dan melakukan sosialisasi bersamaan
b. Tahap sosialisasi kepada seluruh
publik (peserta) dilakukan setelah
peraturan
perundangan,
fasilitas/tenaga kesehatan telah
dikontrak, sistem dan prosedur baku
telah disusun dan diuji, serta bahan
47
dikeluarkan tidak seberapa bila
dibandingkan dengan manfaat dan
keuntungan yang bisa diperoleh ketika
sakit. Adapun iuran yang harus
dibayarkan oleh peserta mandiri adalah
Rp 25.500 untuk kelas III perawatan
rumah sakit, Rp 42.500 untuk kelas II
perawatan rumah sakit, dan Rp 59.500
untuk kelas I perawatan rumah sakit.
Paket pelayanan kesehatan sama untuk
semua kelas perawatan (Anonim,
2014c).
Masyarakat
masih
belum
memahami manfaat menjadi peserta
BPJS, seperti peneitian dari Rolos
(2014) manfaat yang di dapatkan peserta
BPJS Kesehatan di Kabupaten Minahasa
Tenggara adalah pelayanan kesehatan
preventif, promotif, kuratif dan
rehabilitatif yang pemanfaatannya
masih
kurang
dipahami
oleh
masyarakat.
Kunjungan pasien di poli gigi
selama 2014 adalah 836 pasien, 150
diantaranya adalah pasien BPJS. Jumlah
ini masih sangat sedikit bila
dibandingkan dengan jumlah peserta
BPJS yang terdaftar di Puskesmas
Rurukan yaitu 6102 orang. Menurut
hasil wawancara kepada informan
kepala puskesmas dan pemegang
program gigi dan mulut, pasien yang
datang hampir sebagian besar dengan
keluhan sakit gigi. Ketika belum timbul
rasa sakit maka pasien enggan untuk
datang berobat meskipun banyak
masalah di dalam mulutnya. Hal ini yang
menyebabkan kunjungan pasien di poli
gigi tidak mengalami kenaikan yang
signifikan. Karena itu menurut penulis
sangat perlu untuk memberikan edukasi
kepada pasien tentang kesehatan gigi
dan mulut sekaligus sosialisasi kepada
pasien tentang cakupan pelayanan,
prosedur pendaftaran dan prosedur
yang dibutuhkan telah tersedia.
(Roadmap JKN, 2012) .
Strategi sosialisasi, edukasi dan
advokasi
didesain
untuk
memudahkan
pemahaman,
penerimaan
dan
dukungan/partisipasi publik tentang
kebijakan jaminan kesehatan. Agar
kegiatan sosialisasi, edukasi dan
advokasi yang dilakukan berjalan
efektif maka harus dirumuskan
strateginya oleh BPJS Kesehatan
dan pemerintah.
2. Sosialisasi prosedur pendaftaran di
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP).
Jumlah kapitasi yang terdaftar di
Puskesmas Rurukan adalah sebanyak
6102 peserta. Jumlah ini dapat diketahui
dan diakses lewat layanan primary care
BPJS.
Menurut informan Kepala
Puskesmas Rurukan jumlah kapitasi ini
terus meningkat setiap bulannya.
Jumlah penduduk Kecamatan
Tomohon Timur Tahun 2013 sebesar
10.876 jiwa dengan perbandingan
jumlah laki-laki 5.586 jiwa sedangkan
perempuan 5.290 jiwa. Pasien yang
terdaftar di kapitasi Puskesmas Rurukan
baru 6102 berarti sisanya terdaftar di
dokter umum keluarga atau belum
menjadi peserta BPJS. Menurut data
terakhir yang diberikan oleh Kepala
Puskesmas,
masih
sekitar
30%
penduduk di Tomohon Timur yang
belum mendaftar menjadi peserta BPJS.
Hasil wawancara dengan informan
menyimpulkan
bahwa
banyak
masyarakat
(yang bukan pegawai
negeri) yang masih enggan menjadi
peserta karena masih mengharapkan
mendapat kartu jamkesmas atau
jamkesda sehingga lebih meringankan
karena mereka tidak perlu membayar
iuran per bulannya. Namun menurut
informan staf BPJS, iuran yang
48
c) tidak ada pendaftaran peserta ke
dokter gigi lain.
Namun
jika peserta memilih
terdaftar
di
dokter
praktek
perorangan (dokter umum) sebagai
fasilitas
kesehatan
tingkat
pertamanya, maka:
a) peserta dapat mendaftar ke dokter
gigi praktek mandiri atau perorangan
sesuai pilihan dengan mengisi daftar
isian peserta (DIP) yang disediakan
oleh BPJS Kesehatan.
b) pelayanan gigi kepada peserta
diberikan oleh dokter gigi sesuai
pilihan peserta.
c) Penggantian fasilitas kesehatan
dokter gigi diperbolehkan minimal
setelah terdaftar 3 (tiga) bulan di
fasilitas kesehatan tersebut.
Hal inilah yang belum dipahami pasien
secara mendalam, karena itu sering
terjadi salah komunikasi antara pasien
dengan penyedia layanan kesehatan
primer atau dalam penelitian ini
puskesmas.
Informan staf BPJS menyatakan
bahwa mereka sudah memberikan
edukasi, pemahaman yang baik kepada
peserta. Selain sosialisasi berkelompok,
sosialisasi langsung ke peserta yang
mendaftar di kantor BPJS juga sudah
dilaksanakan. Banyaknya peserta yang
mendaftar di kantor BPJS dan antrian
yang panjang menyebabkan para staf
BPJS tidak bisa menyediakan waktu yang
lebih untuk memberikan penjelasan
kepada satu calon peserta. Hanya sedikit
peserta yang tahu bahwa mereka dapat
memanfaatkan palayanan gigi dan mulut
secara gratis pula. Selain itu kembali lagi
kepada alasan calon peserta ketika
mendaftar BPJS, sebagian besar karena
sudah jatuh sakit bahkan butuh segera
dilayani di rumah sakit karena sakit yang
berat. Paradigma sehat atau slogan ‘lebih
baik mencegah daripada mengobati’
pelayanan, manfaat dan keuntungan
menjadi peserta BPJS.
Penelitian dari Rolos (2014) yang
berjudul Implementasi Program Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan di Kabupaten Minahasa
Tenggara menyatakan masyarakat nanti
baru bergabung menjadi peserta BPJS
Kesehatan jika sudah mengalami sakit
atau sudah mendapatkan rehabilitasi di
rumah sakit. Seharusnya masyarakat
juga bisa mendapatkan manfaat
promotif dan preventif dari penggunaan
BPJS Kesehatan sehingga masyarakat
bisa terhindar dari berbagai macam
penyakit. Persepsi masyarakat inilah
yang salah terhadap program yang
dibuat oleh pemerintah.
Informan pasien yang berjumlah 5
orang belum sepenuhnya memahami
tata cara pendaftaran sebagai peserta
BPJS. Hal ini terlihat dari hasil
wawancara kepada informan. Informan
Kepala Puskesmas dan pemegang
program
gigi
dan
mulut
mengungkapkan bahwa kurangnya
pemahaman masyarakat akan prosedur
pendaftaran disebabkan oleh kurangnya
petugas
BPJS
yang seharusnya
menjelaskan dengan rinci ketika calon
peserta datang ke kantor BPJS untuk
mendaftar.
Buku Pedoman Pelayanan
Gigi dan Protesa Gigi yang diterbitkan
BPJS menyatakan jika peserta memilih
terdaftar di puskesmas atau klinik
sebagai fasilitas kesehatan tingkat
pertamanya, maka :
a) puskesmas atau klinik wajib
melayani pasien tersebut, bila tidak
ada sarana maka wajib menyediakan
jejaring (dokter gigi dan sarana
penunjang lain).
b) peserta mendapatkan pelayanan
gigi di dokter gigi yang menjadi
jejaring puskesmas atau klinik.
49
Pandangan masyarakat (dalam hal
ini informan) terhadap kedokteran gigi
primer adalah lebih terbuka dan mau
menggunakannya. Sosialisasi tentang
kedokteran gigi di tingkat pertama
memang perlu ditingkatkan lagi karena
masih banyak peserta BPJS yang berpikir
bahwa semua perawatan gigi gratis.
Informan pasien yang berjumlah 5 orang
sama-sama belum memahami dengan
jelas tantang manfaat dan keuntungan
yang bisa didapatkan. Tiga orang
diantaranya mengatakan kalau mereka
tahu bahwa semua perawatan gigi gratis.
belum menjadi alasan utama bagi pasien
untuk mendaftar BPJS. Apalagi penyakit
gigi dan mulut yang seringkali dianggap
tidak terlalu penting. Dari hasil Riskesdas
2013 sebesar 25,9% penduduk Indonesia
mempunyai masalah gigi dan mulut.
Diantara mereka, terdapat 31,1% yang
menerima perawatan dan pengobatan dari
tenaga medis gigi (perawat gigi, dokter
gigi atau dokter gigi spesialis), sementara
68,9%
lainnya
tidak
dilakukan
perawatan.
3. Sosialisasi prosedur pelayanan di
fasilitas kesehatan tingkat pertama
(FKTP)
Pelayanan di poli gigi Puskesmas
Rurukan cukup membuat informan
pasien yang berjumlah 5 orang puas,
namun dari segi sarana masih kurang
lengkap. Kepala puskesmas dan
pemegang program gigi dan mulut
menyatakan bahwa alat dan bahan yang
sudah rusak akan diadakan kembali oleh
pemerintah daerah agar mendukung
jalannya pelayanan gigi di puskesmas.
Kepuasan
dari
pasien
terhadap
pelayanan di poli gigi antara lain
dikarenakan oleh pelayanan yang
efektif dan efisien, sikap ramah dari
tenaga medis, serta biaya yang tidak
mahal untuk informan dengan latar
belakang pasien umum sedangkan bagi
pasien Jamkesmas dan PNS tentu saja
tidak dikenakan biaya pengobatan
namun mereka puas dengan pelayanan
yang diberikan. Hal ini hampir sama
dengan penelitian dari Riyadi (2015)
yang mendapatkan hasil mutu pelayanan
kesehatan peserta BPJS di Puskesmas
Kembangan Jakarta Barat adalah baik
dilihat dari faktor kompetensi teknis,
akses terhadap pelayanan, efektifitas,
hubungan antara manusia, efisiensi,
pelayanan, keamanan, kenyamanan
serta kenikmatan.
Pelayanan gigi yang tidak dijamin
oleh BPJS menurut Buku Pedoman
Pelayanan Gigi dan Protesa Gigi (2014)
adalah pelayanan kesehatan yang
dilakukan tanpa melalui prosedur
sebagaimana diatur dalam peraturan yang
berlaku,
pelayanan kesehatan yang
dilakukan di fasilitas kesehatan yang
tidak bekerja sama dengan BPJS
Kesehatan (kecuali dalam keadaan
darurat), pelayanan kesehatan yang
dilakukan di luar negeri, pelayanan
kesehatan untuk tujuan estetik, pelayanan
meratakan gigi (ortodonsi), biaya
pelayanan lainnya yang tidak ada
hubungan dengan manfaat jaminan
kesehatan yang diberikan. Hak pasien
peserta BPJS untuk dapat mengetahui
pelayanan gigi yang dijamin dan tidak
dijamin oleh BPJS Kesehatan.
Informan kepala puskesmas, staf
BPJS dan pemegang program gigi dan
mulut mengatakan bahwa
indikasi
medis yang tidak dapat ditangani di
FKTP dapat dirujuk ke rumah sakit atau
dokter spesialis dan sub spesialis yang
bekerja sama dengan puskesmas. Saat
ini sarana di poli gigi Puskesmas
Rurukan belum lengkap dan masih perlu
perbaikan sehingga tidak dapat melayani
pasien sesuai dengan kewajiban dari
50
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama.
Poli gigi tidak bisa melayani pencabutan
dengan komplikasi, penambalan gigi,
perawatan saraf gigi,
pembersihan
karang gigi dan semua perawatan yang
memakai alat kompresor. Pengadaan
alat dan bahan gigi baru akan
ditindaklanjuti oleh pemerintah agar
dapat
memaksimalkan
pelayanan,
karena itu banyak pasien yang dirujuk ke
rumah sakit terdekat yang bekerjasama
dengan BPJS atau pasien diberikan
pengertian agar bersabar dengan kondisi
yang ada. Solusi lain yang dapat
diberikan untuk pasien yang kurang
kooperatif adalah pasien disarankan
untuk berpindah ke dokter gigi keluarga
agar dapat dilayani dengan maksimal.
Hal ini juga menjadi hambatan bagi
pasien yang ingin dilayani cepat karena
pergantian fasilitas kesehatan tingkat
pertama baru berlaku setelah 3 bulan
kemudian. Hal yang penting diketahui
juga adalah pasien tidak diijinkan untuk
meminta rujuk ke rumah sakit bila
indikasi medisnya masih bisa ditangani
di fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Kurangnya sosialisasi menyebabkan
banyak pasien yang langsung meminta
rujukan padahal belum diperiksa oleh
tenaga medis di poli gigi atau ada
beberapa pasien yang langsung pergi ke
rumah sakit tanpa surat rujukan dari
puskesmas.
Sejalan dengan penelitian dari
Geswar (2014) dalam tesisnya yang
berjudul Kesiapan Stakeholder dalam
Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan
Nasional di Kabupaten Gowa yang
menyatakan bahwa belum ada kesiapan
untuk
aspek
fasilitas
kesehatan
dikarenakan alat kesehatan masih kurang,
pencabutan
dengan
komplikasi,
penambalan gigi, perawatan saraf gigi,
dan pembersihan karang gigi tidak bisa
dilakukan sama sekali. Seiring dengan
berjalannya waktu, kunjungan para
pasien akhirnya berkurang. Sejak
berdirinya Puskesmas Rurukan, sarana di
poli gigi hanya terdapat di Puskesmas
Pembantu Paslaten 1. Kunjungan pasien
dari tahun 2006 rata-rata 3 sampai 5
orang per hari, namun sejak alat rusak
makan kunjungan semakin berkurang.
Hal ini tentunya tidak sesuai dengan
harapan program jaminan kesehatan yang
sudah memberikan kemudahan kepada
para pasien dalam hal biaya. Para peserta
BPJS Rurukan seharusnya lebih banyak
berkunjung ke poli gigi karena ada
cakupan pelayanan gigi yang dijamin
BPJS Kesehatan sehingga tidak perlu
mengeluarkan biaya sama sekali.
4.
Faktor pendukung dan penghambat
sosialisasi JKN
Staf BPJS menyatakan kendala dan
faktor yang menjadi hambatan sosialisasi
jaminan kesehatan nasional bagi
pelayanan di poli gigi Puskesmas
Rurukan ini tidak ada karena BPJS sudah
mensosialisasikan dengan baik kepada
masyarakat. Setiap kali membuat
pertemuan, masyarakat sangat merespon
dengan baik, hanya saja ada masyarakat
yang masih berpikir nanti jatuh sakit baru
akan mendaftar menjadi peserta BPJS.
Mereka tidak tahu bahwa kartu BPJS
akan berlaku 2 minggu kemudian sejak
mendaftar.
Kepala puskesmas dan
pemegang program gigi dan mulut tidak
sependapat, mereka menyatakan bahwa
masih banyak kendala di lapangan dan
faktor yang menghambat diantaranya
adalah sarana di poli gigi yang tidak
lengkap, dana operasional yang belum
bisa digunakan karena masalah birokrasi,
regulasi atau peraturan yang sering
Sarana di poli gigi ini sangat perlu
untuk diperbaiki karena sejak kondisi alat
(kompresor) rusak maka untuk pelayanan
51
masyarakat karena sesungguhnya banyak
puskesmas yang belum siap sewaktu
dimulainya program JKN ini. Seiring
dengan berjalannya waktu diharapkan
puskemas dapat memperbaiki sistem dan
sarana agar dapat memenuhi persyaratan
kredensial dari BPJS.
Kepala
puskesmas
melalui
wawancara dengan penulis memberikan
pernyataan bahwa ia telah berencana
untuk memperbaiki sarana
dan
menambah alat serta bahan obat
kedokteran gigi di poli gigi namun
memiliki kendala dana yang belum
tersedia. Dana kapitasi yang diterima
oleh FKTP dari BPJS Kesehatan
dimanfaatkan
seluruhnya
untuk
pembayaran jasa pelayanan kesehatan
dan untuk dukungan biaya operasional
pelayanan kesehatan. Alokasi untuk
pembayaran jasa pelayanan kesehatan
untuk tiap FKTP ditetapkan sekurangkurangnya 60% dari penerimaan dana
kapitasi. Biaya operasional pelayanan
ditetapkan sebesar selisih dari besar dana
kapitasi dikurangi dengan besar alokasi
untuk pembayaran jasa pelayanan
kesehatan. Dana kapitasi untuk dukungan
biaya operasional pelayanan kesehatan
dimanfaatkan untuk obat, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai, upaya
kesehatan perorangan berupa kegiatan
promotif,
preventif,
kuratif,
dan
rehabilitatif lainnya, kunjungan rumah
dalam
rangka
upaya
kesehatan
perorangan,
operasional
untuk
puskesmas keliling, bahan cetak atau alat
tulis kantor, administrasi keuangan dan
sistem informasi (Anonim, 2014g).
Pembayaran kapitasi oleh BPJS
Kesehatan didasarkan pada jumlah
peserta yang terdaftar di FKTP sesuai
dengan
data
BPJS
Kesehatan.
Pembayaran kapitasi kepada FKTP milik
Pemerintah Daerah ini dilakukan oleh
BPJS Kesehatan setiap bulan paling
berubah sehingga membingungkan bagi
masyarakat dan penyedia layanan primer,
sistem komputer yang masih bergantung
kepada jaringan atau sinyal, serta
sosialisasi yang belum maksimal dari staf
BPJS kepada calon peserta. Sejalan
dengan itu, penelitian dari Rolos (2014)
mengatakan pelaksanaan sosialisasi
kepada masyarakat tentang BPJS
Kesehatan yang ada di Kabupaten
Minahasa Tenggara sudah diadakan
namun belum optimal.
Hasil penelitian dari Geswar (2014)
juga menyatakan dalam kesimpulannya
bahwa belum ada kesiapan untuk aspek
fasilitas kesehatan dikarenakan alat
kesehatan masih kurang, aspek regulasi
juga
belum terlihat kesiapannya
dikarenakan belum ada petunjuk teknis di
Kabupaten Gowa mengenai jaminan
kesehatan, untuk sosialisasi sudah
dilakukan seluruh pihak stakeholder
namun karena sosialisasi yang belum
optimal sehinggga masih banyak
masyarakat belum memahami tentang
program JKN.
Latar
(2014)
di
dalam
penelitiannya yang berjudul ‘Kesiapan
Stakeholder dalam Pelaksanaan Program
Jaminan Kesehatan Nasional di Kota
Tual’ menyimpulkan bahwa untuk
kesiapan stakeholder dalam pelaksanaan
JKN di Kota Tual dilihat dari kesiapan
fasilitas kesehatan belum siap dalam
memenuhi syarat kredensial dan belum
siap menerima sistem pembiayaan
kapitasi
dan
INA-CBGs.
Pada
kenyataannya pelayanan di puskesmas
harus tetap berjalan karena fasilitas
kesehatan tingkat pertama milik
pemerintah diharuskan menjadi mitra
BPJS Kesehatan untuk mensukseskan
program JKN dari Januari 2014 . Hal
inilah
yang
seringkali
membuat
puskesmas tidak bisa memberikan
pelayanan yang maksimal kepada
52
sebagai fasilitas kesehatan tingkat
pertama dan fasilitas kesehatan tingkat
lanjutan harus memberikan pelayanan
yang baik sesuai dengan peraturan yang
telah dibuat. Sejalan dengan hasil
penelitian Taubati (2009) menunjukkan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
kunjungan pasien untuk datang ke rumah
sakit gigi dan mulut adalah faktor kondisi
fisik gedung, administrasi biaya,
administrasi pelayanan pasien, hubungan
dokter/operator dan pasien.
Informan staf BPJS mengatakan
bahwa sebenarnya dari Pemerintah
Daerah harus mendukung, stakeholder
yang terkait juga seperti Dinas
Kesehatan, puskesmas. Kegiatan promosi
kesehatan dapat di lakukan bersamaan
dengan sosialisasi tentang jaminan
kesehatan
nasional
BPJS.
BPJS
Kesehatan dan Kementerian Kesehatan
merilis Buku Pegangan Sosialisasi
Jaminan Kesehatan (JKN) dalam Sistem
Jaminan Sosial Nasional. Buku ini secara
ringkas memuat informasi tentang JKN
yang mencakup arti pentingnya skema
jaminan kesehatan nasional serta
mekanisme
dan
penyelenggaraan
jaminan kesehatan nasional. Namun
demikian, masih terdapat kebingungan di
masyarakat luas, yakni pertama dalam hal
substansi informasi. Informasi yang
disampaikan di media massa belum
komprehensif meliputi aspek-aspek
praktis yang dibutuhkan pengguna
layanan. Iklan yang disampaikan di
televisi tidak dapat menjelaskan segala
hal mengenai BPJS. Kedua, penggunaan
media informasi yang belum tepat guna.
Penggunaan media informasi memiliki
dampak yang berbeda bagi penerimanya.
Masyarakat dengan akses media
elektronik dengan mudah menemukan
informasi BPJS di internet atau televisi.
Namun demikian, hal ini tidak berlaku
bagi masyarakat dengan akses terbatas.
lambat tanggal 15 bulan berjalan.
Pembayaran dana kapitasi oleh BPJS ke
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
milik Pemerintah Daerah ini langsung ke
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang
selanjutnya disetor ke Kas Daerah
(KASDA) atau langsung dari BPJS
Kesehatan ke Kas Daerah sebagai
penerimaan
daerah.
Sejak
diundangkannya Perpres 32/2014 dan
Permenkes 19/2014 dana kapitasi
langsung
dibayarkan
oleh
BPJS
Kesehatan ke FKTP milik Pemerintah
Daerah. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia nomor 19 tahun 2014
tentang Penggunaan Dana Kapitasi
Jaminan Kesehatan Nasional untuk jasa
pelayanan kesehatan dan dukungan biaya
operasional pada fasilitas kesehatan
tingkat pertama milik Pemerintah
Daerah. Pada kenyataannya dana
operasional dari BPJS Kesehatan ini
masih terkendala di sistem birokrasi
sehingga dana tersebut belum dapat
digunakan untuk memperbaiki alat yang
rusak dan menambah alat kedokteran gigi
yang masih diperlukan.
Informan pasien berpendapat
faktor yang menghambat adalah
pandangan masyarakat yang salah
terhadap puskesmas. Baginya dan
beberapa orang sering menganggap
puskesmas adalah fasilitas kesehatan
yang
kurang
memenuhi
standar
operasional prosedur dari segi pelayanan
maupun sarana karena biaya berobat yang
murah namun ternyata setelah pergi ke
puskesmas dan mendapat pelayanan yang
baik, pandangannya terhadap puskesmas
menjadi
berubah.
Informan
lain
mengatakan bahwa kepedulian terhadap
pasien BPJS lebih di tingkatkan lagi,
karena banyak yang seolah-olah
mengundurkan diri karena tidak bisa
mendapatkan pelayanan yang seharusnya
sesuai peraturan yang ada. Karena itu
53
cukup efektif, karena mampu menjaring
para peserta baru khusunya peserta BPJS
mandiri yang mendaftarkan diri ke BPJS.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
dari
Roesalya
(2014)
yang
menyimpulkan bahwa terdapat hubungan
antara terpaan sosialisasi program BPJS
Kesehatan dengan keputusan masyarakat
sebagai peserta program BPJS Kesehatan
dan terdapat hubungan antara sikap
masyarakat
pada
program BPJS
Kesehatan dengan keputusan masyarakat
sebagai peserta BPJS Kesehatan. Hal ini
berarti pesan yang disampaikan melalui
sosialisasi yang dilakukan oleh BPJS
Kesehatan berkaitan dalam pembuatan
keputusan masyarakat untuk bergabung
menjadi peserta BPJS Kesehatan
sehingga sosialisasi merupakan hal yang
penting agar masyarakat mengetahui
informasi-informasi yang dibutuhkan dan
yang ingin disampaikan oleh BPJS
Kesehatan sehingga akan membantu
untuk
menghasilkan
keputusan
masyarakat yang menguntungkan BPJS
Kesehatan.
Faktor pendukung yang didapatkan
dari hasil wawancara yaitu sikap
masyarakat yang terbuka yang penting
demi kesuksesan program JKN. Hal ini
berhubungan
dengan
bagaimana
masyarakat bersikap terhadap suatu
program dengan keputusan yang akan
diambil sehingga BPJS Kesehatan harus
bisa mengambil hati masyarakat dengan
memberikan apa yang diinginkan dan
dibutuhkan oleh masyarakat sehingga
kelak masyarakat dapat memberikan
sikap yang positif terhadap program
BPJS Kesehatan yang pada akhirnya
kelak akan membantu masyarakat dalam
mengambil keputusan yang positif pula.
Penulis berpendapat bahwa
bentuk komunikasi yang digunakan oleh
staf BPJS sudah tepat yaitu bentuk
komunikasi langsung (tatap muka)
Sosialisasi seharusnya dibuat dalam
bentuk himbauan, penyuluhan, dan
pengumuman di berbagai tempat yang
dekat dengan masyarakat, terutama di
rumah sakit dan puskesmas. Selain itu,
pemerintah
disarankan
melakukan
sosialisasi lebih intensif ke tempattempat umum dan pusat keramaian.
Sosialisasi BPJS dapat dilakukan di malmal, pasar-pasar, terminal, universitas,
dan tempat keramaian lainnya (Mulyadi,
2014).
Adapun hambatan lain yang
dihadapi di lapangan dalam pelaksanaan
kegiatan sosialisasi adalah wilayah yang
luas sehingga jarak yang ditempuh untuk
menjangkau semua wilayah cukup jauh.
Sikap
masyarakat
yang
tidak
memperhatikan materi sosialisasi saat
kegiatan berlangsung sehingga membuat
pelaksana sosialisasi sering mengulangi
materi yang disampaikan. Bahasa yag
dipakai saat sosialisasi juga harus
disesuaikan dengan bahasa daerah atau
dialek yang ada di Tomohon agar materi
mudah dipahami oleh penduduk setempat
yang memiliki latar belakang pendidikan,
sosial ekonomi yang berbeda
Sejalan dengan hasil wawancara
yang sudah penulis jelaskan sebelumnya,
hambatan yang sering ditemui menurut
Mariza dan Sutopo (2014) adalah
keberatan masyarakat menyisihkan
sedikit pendapatannya sebagai tabungan
jaminan
kesehatan
yang
dapat
meringankan beban biaya saat sakit,
keberatan masyarakat dengan peraturan
baru yang mengharuskan pendaftaran
JKN diikuti oleh satu keluarga, kesibukan
pelaksana sosialisasi yang bukan saja
bertugas dalam mengatur kegiatan
sosialisasi saja melainkan masih
memiliki tugas lain di luar sosialisasi.
Hasil wawancara yang telah
dilakukan menyatakan bahwa program
sosialisasi JKN ini bisa dikategorikan
54
karena terlihat masyarakat belum
memahami ketika datang berobat ke
puskesmas, meskipun dari pihak
BPJS sudah melakukan banyak
sosialisasi kepada masyarakat.
Sarana di poli gigi Puskesmas
Rurukan juga belum tersedia dengan
lengkap karena itu kunjungan pasien
berkurang.
4. Faktor pendukung dan penghambat
sosialisasi
jaminan
kesehatan
nasional
kepada masyarakat di
wilayah kerja Puskesmas Rurukan
Tomohon harus dapat menjadi
evaluasi dan bahan perbaikan bagi
kesuksesan
program
jaminan
kesehatan nasional khususnya untuk
pelayanan gigi dan mulut.
mengingat materi program masih
dianggap awam dan baru bagi sebagian
masyarakat. Materi program JKN
seharusnya dapat memuat ketentuan dan
kebijakan yang perlu dijelaskan secara
lebih mendetail oleh staf BPJS atau
pelaksana program. Penyuluhan di
tingkat lingkungan maupun berupa
gathering atau pertemuan , efektif untuk
menyampaikan pesan-pesan yang akan
disampaikan dalam sosialisasi JKN.
KESIMPULAN
1. Sosialisasi cakupan pelayanan gigi
dan mulut bagi peserta BPJS di
Puskesmas Rurukan Tomohon
belum terlaksana dengan baik
karena masyarakat banyak yang
belum memahami dengan baik
tentang cakupan pelayanan gigi
yang dijamin untuk peserta BPJS
Kesehatan di fasilitas kesehatan
tingkat pertama. Hal ini disebabkan
karena kesehatan gigi dan mulut
serta pelayanan gigi dan mulut
dianggap belum terlalu penting bagi
masyarakat..
2. Sosialisasi prosedur pendaftaran
pasien gigi dan mulut di Puskesmas
Rurukan
Tomohon belum
terlaksana dengan baik karena
masyarakat
terlihat
belum
memahami secara menyeluruh
prosedur ketika akan mendaftar dan
setelah terdaftar sebagai peserta
BPJS. Pasien masih bingung
menggunakan kartu peserta dan
belum mengetahui dimana fasilitas
kesehatan tingkat pertamanya,
meskipun dari pihak BPJS sudah
melakukan
banyak
sosialisasi
kepada masyarakat.
3. Sosialisasi prosedur pelayanan pasien
gigi dan mulut bagi peserta BPJS di
Puskesmas Rurukan Tomohon
belum terlaksana dengan baik
SARAN
1. Untuk Dinas Kesehatan dan Sosial
Kota Tomohon
a. Dinas Kesehatan dan Sosial Kota
Tomohon dapat berkoordinasi
dengan Puskesmas Rurukan dan
stakeholder
lainnya
untuk
meningkatkan
pelaksanaan
sosialisasi jaminan kesehatan
nasional kepada masyarakat
terutama untuk pelayanan gigi
dan mulut.
b. Dinas Kesehatan dan Sosial Kota
Tomohon diharapkan dapat
menyediakan leaflet, pamflet,
brosur, poster tentang cakupan
pelayanan
gigi,
prosedur
pendaftaran
dan
prosedur
pelayanan gigi untuk masyarakat
dan seluruh fasilitas kesehatan.
2. Untuk Puskesmas Rurukan
a. Perlu dilakukan pertemuan staf
puskesmas khusus membahas
tentang BPJS beserta dengan tata
laksananya agar seluruh staf
puskesmas memahami dengan
baik
sehingga
dapat
55
mensosialisasikan dengan benar
kepada masyarakat.
b. Pelaksanaan program promotif
preventif kesehatan gigi dan
mulut perlu ditingkatkan lagi
untuk menambah pengetahuan
masyarakat.
Penyuluhan
kesehatan gigi dan mulut dapat
dilakukan bersamaan dengan
sosialisasi BPJS.
c. Bersama
dengan
Dinkesos
Tomohon melakukan sosialisasi
lebih efektif lagi dengan
kelompok-kelompok potensial di
masyarakat seperti organisasi
gereja, lingkungan, kelurahan,
dan organisasi lainnya yang ada
di wilayah kerja Puskesmas
Rurukan.
d. Kepala Puskesmas hendaknya
memberikan solusi yang terbaik
untuk dapat memperbaiki alat
yang rusak dan menyediakan
sarana di poli gigi yang belum
lengkap sehingga pelayanan gigi
boleh berjalan dengan baik.
3. Bagi peneliti selanjutnya karena
pertimbangan tertentu ingin
melakukan penelitian lanjutan,
diharapkan dapat meneliti ruang
lingkup yang sama dengan
variabel berbeda sebagai salah
satu variabel penelitian.
Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
Anonim. 2014c. Buku Pegangan
Sosialisasi Jaminan Kesehatan
Nasional dalam Sistem Jaminan
Sosial Nasional. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
Anonim. 2014d. BPJS Kesehatan,
Peraturan BPJS Kesehatan
Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan
Jaminan
Kesehatan.
Anonim. 2014e. Kementerian Kesehatan
RI.
Peraturan
Menteri
Kesehatan Republik Indonesia
No. 59 Tahun 2014 tentang
Standar
Tarif
Pelayanan
Kesehatan
dalam
Penyelenggaraan
Program
Jaminan Kesehatan.
Anonim. 2014f. BPJS Kesehatan.
Pelayanan Gigi dan Protesa Gigi
bagi peserta JKN.
Anonim. 2014g. Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 19 tentang
Penggunaan Dana Kapitasi
Jaminan Kesehatan Nasional
untuk jasa Pelayanan Kesehatan
dan
Dukungan
Biaya
Operasional pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama
Milik Pemerintah Daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2014a. Register Pasien Gigi
Puskesmas Rurukan. Tidak
diterbitkan.
Anonim. 2013a. Profil Puskesmas
Rurukan. Tidak diterbitkan.
Anonim. 2014b. Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2013. Jakarta :
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Kesehatan
Anonim. 2013b. Panduan Dokter Gigi di
Faskes Primer, Direktorat BUK
Dasar Kemenkes RI.
56
Anonim. 2011. Undang-Undang No. 24
Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial
Purwosari Kecamatan Laweyan
Kota Surakarta. Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo.
Program Studi Diploma IV
Kebidanan
Anonim. 2009. Departemen Kesehatan
Republik
Indonesia.1990.
Pedoman
Supervisi
Upaya
Kesehatan Puskesmas Direktorat
Jendral Bankesmas. Depkes RI :
Jakarta.
Azwar, A. 2010. Pengantar Administrasi
Kesehatan.
Edisi
Ketiga,
Binarupa Aksara Publisher,
Tangerang.
Balqis.
2013.
Kesiapan
Badan
Penyelenggara Kesehatan dalam
Menghadapi Jaminan Kesehatan
Nasiona.Jurnal AKK Vol 2 No 3
September 2013
Anonim. 2008. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Anonim. 2009. Undang-Undang No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan,
dalam Himpunan Peraturan
Perundang-undangan, Penerbit
Fokusmedia, Bandung.
Budiharto. 2002. Peran Kedokteran Gigi
Masyarakat dan Pencegahan
Dalam Pembangunan Kesehatan
Gigi Di Indonesia . Jakarta.
Anonim. 2004. Undang-Undang No. 40
Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional.
Darwita, R. 2004. Pencegahan Sakit Gigi
dan Mulut dipandang dari proses
Patofisiologis. Jakarta : FKG UI.
Adisasmito, W. 2014. Sistem Kesehatan.
Edisi Kedua, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Geswar R.K., Nurhayani, Balqis. 2014.
Kesiapan Stakeholder Dalam
Pelaksanaan Program Jaminan
Kesehatan
Nasional
di
Kabupaten Gowa . (Online).
Jurnal AKK Vol. 3 No. 1.
(http://journal.unhas.ac.id)
Diakses pada tanggal 17
September 2014. Hal: 16.
Adisasmito,
W.
2008.
Persepsi
Stakeholders tentang Kompetensi
Dokter di Layanan Kesehatan
Primer . Majalah Kedokteran
Indonesia Volume 60, No. 1
Januari 2010
Asih Eka Putri.2013. Tranformasi Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial.
Jurnal Legislasi Indonesia ;9(2):
239-257
Herijulianti, E. 2002. Pendidikan
Kesehatan Gigi. Jakarta:EGC
Irawan, P. 2010. Logika dan Prosedur
Penelitian, Jakarta, STIA LAN
Press, hal. 249.
Ayuningtyas.
2014.
Hubungan
Pengetahuan dengan Sikap
Kepala
Keluarga
tentang
Program Jaminan Kesehatan
Nasional
di
Kelurahan
Latar, R. Kesiapan Stakeholder dalam
Pelaksanaan Program Jaminan
Kesehatan Nasional di Kota Tual
57
: Kebijakan Kesehatan FKM
Sosial Bagi Masyarakat Miskin.
Yogyakarta: UGM.
Universitas Hasanuddin.
Usman, N. 2002. Konteks Implementasi
berbasis Kurikulum. Bandung:
CV Sinar Baru.
Massie, R. 2013. Proposal/Protokol
Penelitian.
Pascasarjana
Universitas
Sam Ratulangi
Manado.
Ovedoff, D. 2002. Kapita Selekta
Kedokteran. Jakarta : Binarupa
Aksara.
Mansjoer.
2001.
Kapita
Selekta
Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius.
Pintauli, S. 20013. Dokter Gigi Sebagai
Manager
Kesehatan
di
Puskesmas. Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Sumatra Utara.
Mariza dan Sutopo. 2014. Efektivitas
Sosialisasi Jaminan Kesehatan
Nasional
oleh
Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan di Kabupaten
Temanggung. Program Studi
Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu
Sosial
dan
Ilmu
Politik
Universitas
Sebelas
Maret
Surakarta.
Primantika, A. D. 2014. Evaluasi
Pelaksanaan Sosialisasi Program
Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) dari Aspek Struktur dan
Interaksi Sosialisasi di Rumah
Sakit Permata Medika Kota
Semarang Tahun 2013-2014.
Mundiharno. 2012. Peta Jalan Menuju
Universal Jaminan
KesehatanNasional. Jurnal
Legislasi Indonesia ;9(2): 207222
Purwoko,
B.
2012.
Konsepsi
Pengawasan
Operasional
Dewan Jaminan Sosial Nasional
(DJSN)
terhadap
Kegiatan
Operasional
Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS).
(Online).
Jurnal
Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2
(http://ditjenpp.kemenkumham.g
o.id.pdf)Diakses 22 Juli 2014.
Hal: 295.
Mulyadi, M. 2014. Info Singkat:
Sosialisasi Ketentuan Jaminan
Sosial 2014. Jakarta: P3DI Setjen
DPR RI.
Notoatmodjo, S. 2007. Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Prinsip – Prinsip
Dasar . Edisi revisi, Jakarta.
Penerbit Rineka Cipta.
Putra, N. 2011. Penelitian Kualitatif :
Proses dan Aplikasi. Indeks.
Jakarta.
Notoatmodjo,
S. 2010.
Promosi
Kesehatan Teori dan Aplikasi.
Jakarta: Rineka Cipta.
Putri, R. Kesiapan PT Askes (Persero)
Cabang
Manado
Dalam
Bertransformasi Menjadi Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS)
Kesehatan.
Jurnal
Legislasi Indonesia. 2013; 9(2):
315-322.
Noviansyah. 2006. Persepsi Masyarakat
Terhadap Program Jaminan
58
Riyadi, R. 2015. Mutu Pelayanan Peserta
Jaminan Kesehatan Nasional di
Puskesmas
Kecamatan
Kembangan Jakarta Barat :
Fakultas
Ilmu
Komunikasi
Universitas Islam Negri.
Trias,
P.K.2014. Tinjauan Yuridis
Pelaksanaan Jaminan Kesehatan
Nasional. Info Singkat Hukum,
Vol.
VI,
No.
07/P3DI/April/2014.
Zaelani. 2012. Komitmen Pemerintah
dalam
Penyelenggaraan
Jaminan
Sosial
Nasional.
(Online).
Jurnal
Legislasi
Indonesia Vol. 9 No. 2
(http://ditjen.kemenkuham.go.id.
pdf). Diakses pada tanggal 22
Juli 2014. Hal: 203.
Roesalya, P. 2014. Hubungan Terpaan
Sosialisasi BPJS Kesehatan dan
Sikap masyarakat pada Program
dengan Keputusan Masyarakat
sebagai Peserta BPJS Kesehatan.
Rolos, W. 2014. Implementasi Program
Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial Kesehatan di Kabupaten
Minahasa Tenggara . Fakultas
Kesehatan
Masyarakat
Universitas
Sam
Ratulangi
Manado.
Setiawan, G. 2004. Implementasi Dalam
Birokrasi
Pembangunan.
Bandung: Remaja Rosdakarya
Offset.
Shihab, A.N. 2012. Hadirnya Negara di
Tengah
Rakyatnya
Pasca
Lahirnya
Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2011 Tentang
Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial. (Online). Jurnal Legislasi
Indonesia Vol. 9 No. 2
(http://ditjen.kemenkumham.go.i
d.pdf). Diakses pada tanggal 21
Juli 2014. Hal: 178,189.
Taubati, A. 2009. Perbedaan Faktorfaktor
yang
mempengaruhi
Kunjungan Pasien Untuk Datang
ke Rumah Sakit Gigi dan Mulut
Universitas
Jember
Antara
Pasien Mahasiswa dan pasien
umum. Fakultas Kedokteran Gigi
Jember.
59
DALAM PELAYANAN DI POLI GIGI PUSKESMAS RURUKAN
TOMOHON
Mirsarinda Leander*
*Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi
ABSTRAK
Puskesmas sebagai salah satu Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) di era Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) menjamin pelayanan gigi yang bebas biaya bagi pasien peserta BPJS
Kesehatan. Kendati demikian sejak dimulainya program BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014,
hanya ada 150 pasien peserta BPJS yang berobat ke puskesmas dari total 6102 peserta yang
terdaftar di Puskesmas Rurukan. Sosialisasi sebenarnya sangat dibutuhkan karena belum semua
masyarakat memahami JKN secara keseluruhan khususnya dalam pelayanan gigi, seperti apa
manfaat yang akan diterima, hak dan kewajiban sebagai peserta BPJS, serta hak dan kewajiban
pemberi pelayanan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang implementasi
sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional dalam pelayanan di poli gigi Puskesmas Rurukan.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengambilan data dengan wawancara mendalam
dan dilaksanakan di Puskesmas Rurukan pada bulan Juli sampai November 2015. Informan dalam
penelitian ini diambil berdasarkan prinsip kesesuaian (appropriateness) dan kecukupan
(adequacy). Informan dalam penelitian ini berjumlah 8 orang terdiri dari Kepala P uskesmas
Rurukan, pemegang program kesehatan gigi dan mulut, staf BPJS cabang pembantu di Kota
Tomohon, dan 5 orang pasien gigi. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa sosialisasi tentang
cakupan pelayanan gigi, prosedur pendaftaran dan prosedur pelayanan gigi bagi peserta BPJS
masih kurang. Untuk itu disarankan agar Dinas Kesehatan, puskesmas, BPJS Kesehatan, dan
stakeholder terkait dapat menjalin kerjasama yang baik dalam mensosialisasikan pelayanan gigi
bagi peserta BPJS Kesehatan. Masyarakat juga diharapkan memiliki sikap terbuka sehingga dapat
bersama-sama mensukseskan program JKN ini.
ABSTRAK
Public Health Center as one of the First Level Health Facilities in the era of National Health
Insurance (JKN) ensure dental services are free of charge to the patient participants of BPJS Health.
However since the program's inception BPJS on January 1, 2014, there were only 150 patients BPJS
participants who went to the clinic of a total of 6102 participants enrolled in PHC Rurukan. Actual
socialization is needed because not all people understand the overall JKN particularly in dental
services, such as what benefits will be received, rights and obligations as participants BPJS, and
the rights and obligations of service providers. This study aimed to obtain information on the
implementation of the National Health Insurance socialization in service at the health center dental
clinic Rurukan. This study used qualitative methods. Retrieving data with in-depth interviews
carried out in health centers and Rurukan in July to November 2015. The informants in this study
were drawn based on the principle of appropriateness and adequacy. Informants in this study
amounted to 8 consists of the Head of Puskesmas Rurukan, holders of oral health programs, staff
BPJS branches in Tomohon, and 5 patients teeth. Results of this study found that the socialization
of dental care coverage, the registration procedures and procedures for participants BPJS dental
services is still lacking. It is recommended that the Department of Health, community health centers,
BPJS Health, and relevant stakeholders to establish a good cooperation in disseminating dental
services for participants BPJS Health. People are also expected to have an open attitude so as to
jointly succeed in this JKN program.
BPJS : Social Security Administrator
43
mendapatkan
pelayanan
kesehatan
tingkat lanjutan. Puskesmas sebagai salah
satu FKTP harus memiliki pelayanan
kesehatan yang bermutu dan berkualitas
serta harus menyentuh seluruh lapisan
masyarakat tanpa terkecuali. Pelayanan
kesehatan tersebut, termasuk didalamnya
adalah pelayanan kesehatan gigi dan
mulut.
Kesehatan gigi dan mulut
merupakan bagian integral dari kesehatan
tubuh secara keseluruhan yang tidak
dapat dipisahkan dari kesehatan tubuh
secara urnum. Menurut data WHO 6090% anak usia sekolah dan hampir 100%
orang dewasa memiliki masalah gigi.
Dari hasil Riskesdas 2013 sebesar 25,9%
penduduk Indonesia mempunyai masalah
gigi dan mulut. Di Propinsi Sulawesi
Utara, prevalensi penduduk yang
bermasalah gigi dan mulut adalah 31,6%
(Anonim, 2014b). Dengan demikian
dapat dibayangkan besarnya kebutuhan
masyarakat akan perawatan gigi dan
mulut. Namun sebagian besar masyarakat
sering mengabaikan kondisi kesehatan
gigi secara keseluruhan. Perawatan gigi
dianggap tidak terlalu penting, padahal
manfaatnya
sangat
vital
dalam
menunjang kesehatan dan penampilan.
Sebaliknya perawatan gigi justru
dianggap mahal sehingga sebagian
masyarakat belum mau dan mampu
membiayai pengobatan ke dokter gigi di
fasilitas kesehatan milik swasta atau
fasilitas kesehatan milik pemerintah
seperti puskesmas.
Puskesmas
Rurukan
yang
menjadi lokasi penelitian penulis
memiliki poli gigi yang terdiri dari 1
orang dokter gigi dan 3 orang perawat
gigi. Jumlah penduduk Kecamatan
Tomohon Timur yang berada di wilayah
kerja Puskesmas Rurukan tahun 2013
sebesar 10.876 jiwa (Anonim, 2013a).
Data terakhir bulan September 2015,
PENDAHULUAN
Hak tingkat hidup yang memadai untuk
kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan
keluarganya merupakan hak asasi
manusia dan diakui oleh segenap bangsabangsa di dunia, termasuk Indonesia.
Pengakuan itu tercantum dalam Deklarasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948
pasal 25 ayat 1 tentang Hak Azasi
Manusia.
Berdasarkan Deklarasi
tersebut, beberapa negara mengambil
inisiatif untuk mengembangkan jaminan
sosial, antara lain jaminan kesehatan bagi
semua penduduk atau yang disebut
Universal Health Coverage. (Anonim,
2014c).
Di Indonesia, falsafah dan dasar
negara Pancasila terutama sila kelima
juga mengakui hak asasi warga negara
atas kesehatan. Hak ini juga tercantum
dalam UUD 1945 pasal 28H dan pasal 34,
dan diatur dalam Undang-Undang No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Komitmen global dan konstitusi
di atas diwujudkan oleh pemerintah
dengan pelaksanaan jaminan kesehatan
masyarakat melalui Jaminan Kesehatan
Nasional
(JKN)
bagi
kesehatan
perorangan. Karena itu pada tahun 2004,
dikeluarkan Undang-Undang No. 40
Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN).
Undang-Undang
ini
mengamanatkan bahwa jaminan sosial
wajib bagi seluruh penduduk termasuk
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
melalui suatu Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS). (Anonim, 2014c).
Pelayanan
kesehatan
yang
diberikan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial terhadap peserta
dilakukan dengan sistem pelayanan
kesehatan berjenjang dimana saat peserta
membutuhkan pelayanan kesehatan,
peserta diwajibkan untuk datang ke
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP) terlebih dahulu sebelum mereka
44
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan di Kabupaten Temanggung
yang menyatakan dalam kesimpulannya
bahwa sosialisasi JKN di Kabupaten
Temanggung kurang efektif karena
terdapat faktor penghambat sosialisasi
yaitu kurangnya kesadaran masyarakat
akan pentingnya program JKN sebagai
proteksi dini. Sosialisasi ini sebenarnya
sangat penting karena belum semua
masyarakat memahami JKN secara
keseluruhan khususnya dalam pelayanan
gigi, seperti apa manfaat yang akan
diterima, hak dan kewajiban sebagai
peserta BPJS, serta hak dan kewajiban
pemberi pelayanan.
jumlah peserta BPJS yang terdaftar di
Puskesmas Rurukan berjumlah 6102
orang. Di era Jaminan Kesehatan
Nasional saat ini, Puskesmas Rurukan
sebagai penyedia pelayanan kesehatan
gigi dan mulut memberikan pelayanan
bebas
biaya
untuk
konsultasi,
premedikasi,
penambalan
dan
pencabutan gigi serta pembersihan
karang gigi bagi peserta BPJS yang
terdaftar. Karena semua perawatan ini
tidak dipungut biaya, seharusnya seluruh
pasien peserta BPJS dapat menikmati
perawatan gigi dan mulut tersebut.
Namun
pada
kenyataanya
sejak
dimulainya program BPJS Kesehatan 1
Januari 2014, pasien gigi peserta BPJS di
Puskesmas Rurukan masih banyak yang
belum menggunakan pelayanan gigi
tersebut. Data yang penulis dapatkan
selama tahun 2014 hanya ada 836 pasien
yang berkunjung ke poli gigi, 150
diantaranya adalah peserta BPJS, sisanya
adalah pasien umum yang dikenakan
biaya administrasi dan perawatan
(Anonim, 2014a). Menurut pengamatan
penulis berbagai kemudahan dalam
pemanfaatan program jaminan kesehatan
terutama dalam hal biaya perawatan yang
gratis
belum
cukup
mendorong
masyarakat untuk menggunakannya
karena belum semua masyarakat
mengerti manfaat yang akan didapat
ketika menjadi peserta BPJS di
puskesmas.
Penelitian dari Trias (2014)
menyimpulkan bahwa sosialisasi tentang
JKN dan BPJS saat ini masih kurang
dalam hal memberi informasi akan hak
dan kewajiban bila nanti menjadi peserta
dikarenakan dari pihak BPJS tidak
menjelaskan dengan lengkap. Hal ini
didukung oleh studi evaluasi dari Mariza
dan Sutopo (2014) yang berjudul
Efektivitas
Sosialisasi
Jaminan
Kesehatan
Nasional oleh
Badan
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode
penelitian kualitatif. Penelitian ini
dilaksanakan di Puskesmas Rurukan
Kecamatan Tomohon Timur pada bulan
Juli sampai November 2015.
Informan dalam penelitian ini
diambil berdasarkan prinsip kesesuaian
(appropriateness)
dan
kecukupan
(adequacy). Kesesuaian adalah informan
dipilih berdasarkan pengetahuan yang
dimiliki yang berkaitan dengan topik
penelitian. Prinsip kecukupan yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah
jumlah informan tidak menjadi faktor
penentu utama, akan tetapi kelengkapan
data yang dipentingkan. Berdasarkan
prinsip tersebut diatas, maka informan
dalam penelitian ini berjumlah 8
karakteristik informan yaitu Kepala
Puskesmas Rurukan (1 orang), pemegang
program kesehatan gigi dan mulut
Puskesmas Rurukan (1 orang), staf BPJS
cabang pembantu di Kota Tomohon (1
orang), pasien gigi peserta Jamkesmas (1
orang), pasien gigi peserta BPJS mandiri
(1 orang), pasien gigi PNS (1 orang),dan
pasien gigi umum (2 orang).
45
dilakukan sampai ke berbagai profesi, di
kampus serta sekolah-sekolah. Namun
jawaban yang berbeda didapat dari pasien
dan pemegang program gigi dan mulut.
Semua informan pernah melihat iklan
JKN dan BPJS di media massa seperti
televisi atau koran namun merasakan
bahwa sosialisasi belum maksimal.
Sosialisasi dari BPJS Kesehatan
ke Dinas Kesehatan Kota Tomohon
sudah pernah dilakukan awal tahun 2014
yang lalu dan pertemuan seperti ini akan
dilakukan secara berkala setiap kali
terjadi perubahan regulasi atau kebijakan
yang baru. Pertemuan tersebut dihadiri
oleh kepala puskesmas, dokter umum,
dokter gigi, kepala tata usaha dan
bendahara. Informasi yang didapat
diharapkan
akan diteruskan kepada
seluruh staf puskesmas sehingga semua
staf di puskesmas dapat memahami
tentang prosedur pelayanan bagi pasien
peserta BPJS. Namun yang terjadi adalah
beberapa staf medis di puskesmas kurang
memahami secara lengkap tentang BPJS
Kesehatan. Bila ada perubahan peraturan
atau kebijakan maka BPJS Kesehatan
akan langsung menyampaikan kepada
Dinas Kesehatan dan
puskesmas
sehingga diharapkan peraturan atau
kebijakan terbaru tersebut bisa langsung
disosialisasikan ke pasien.
Sosialisasi dari staf BPJS kepada
masyarakat sudah sering dilakukan. Hal
ini disampaikan dengan tegas oleh staf
BPJS cabang Tomohon. Menurut hasil
wawancara tersebut
di atas dapat
dikatakan bahwa sosialisasi yang
dilakukan oleh BPJS sudah cukup
maksimal. Sosialisasi sudah dilakukan
dari sebelum tahun 2014 sampai
sekarang. Berbeda dengan peryataan staf
BPJS di atas, informan pemegang
program gigi dan mulut menyatakan
bahwa sosialisasi ke pasien hanya
dilakukan secara langsung ke pasien yang
HASIL DAN PEMBAHASAN
Implementasi sosialisasi jaminan
kesehatan nasional bagi pelayanan
kepada pasien peserta BPJS di poli
gigi Puskesmas Rurukan meliputi
sosialisasi cakupan pelayanan gigi,
sosialisasi prosedur pendaftaran,
sosialisasi prosedur pelayanan, faktor
pendukung dan penghambat.
1. Cakupan pelayanan gigi dan mulut
bagi peserta BPJS Kesehatan
Pelayanan di poli gigi fasilitas
kesehatan tingkat pertama yang dijamin
oleh BPJS yaitu terdiri dari administrasi
pendaftaran peserta untuk berobat,
penyediaan dan pemberian surat rujukan
ke faskes lanjutan untuk penyakit yang
tidak dapat ditangani di faskes tingkat
pertama, pemeriksaan, pengobatan, dan
konsultasi
medis,
premedikasi,
kegawatdaruratan
oro-dental,
pencabutan gigi sulung (topikal,
infiltrasi), pencabutan gigi permanen
tanpa penyulit, obat pasca ekstraksi,
tumpatan komposit atau GIC (glass
ionomer cement), skeling gigi (satu kali
dalam setahun), gigi palsu (satu kali
dalam dua tahun). Ketika mewawancarai
pasien tentang cakupan pelayanan,
penulis terlebih dahulu menanyakan
tentang sejauh mana mereka mengetahui
JKN. Dari 5 informan pasien, hanya 1
orang informan yang mengatakan tidak
tahu. Informan pasien yang berjumlah 4
orang dengan latar belakang berbeda
pekerjaan dan pendidikan menjawab
mengetahui kepanjangan JKN yaitu
jaminan kesehatan nasional yang
memberikan pelayanan kesehatan gratis
bagi mereka yang memegang kartu
BPJS Kesehatan. Cakupan pelayanan
gigi yang dijamin oleh BPJS Kesehatan
belum diketahui secara jelas oleh pasien.
Staf BPJS menyatakan bahwa
sosialisasi JKN kepada masyarakat sudah
dikerjakan dengan baik. Sosialisasi
46
berobat di puskesmas saja. Belum pernah
ia mendengar tentang sosialisasi BPJS
Kesehatan diadakan dilingkup kantor,
lingkungan atau di gereja. Menurut
informan pasien menyatakan bahwa
sosialisasi dari BPJS Kesehatan secara
langsung belum pernah dilakukan namun
dari pihak kepala lingkungan dan dari
gereja sudah pernah berinisiatif untuk
ikut membantu mensosialisasikan BPJS
tersebut. Penulis berpendapat bahwa
sosialisasi
yang
dilakukan
oleh
stakeholder terkait memang
sangat
diperlukan karena BPJS sangat terbantu
dengan adanya gereja yang ikut
menggalakkan program JKN ini bagi
jemaatnya.
dengan penyuluhan kesehatan atau dari
UKS dan UKGS di sekolah-sekolah.
Peserta BPJS yang terdaftar di
Puskesmas Rurukan memang belum
disosialisasikan sehingga mereka yang
tidak pernah berobat gigi tidak akan tahu
tentang pelayanan gigi ini. Seiring
dengan penelitian dari Primantika (2014)
yang mendapatkan hasil penelitian di
Rumah Sakit Permata Medika Kota
Semarang tahun 2013-2014bahwa materi
sosialisasi JKN dapat dipahami, tetapi
masih terlalu umum. Metode ceramah
kurang menolong memahami materi
sedangkan
metode
diskusi
lebih
menolong. Alat sosialisasi lengkap tetapi
kurang bermanfaat. Organisasi BPJS, tim
khusus sosialisasi JKN hanya ada pada
tahun 2013 saja. Pernyataan dari staf
BPJS bertolak belakang dengan informan
yang lain dimana menurut mereka sudah
disosialisasikan kepada masyarakat
tentang cakupan pelayanan gigi lewat
buku terbitan BPJS berjudul Pelayanan
Gigi dan Protesa Gigi serta lewat
sosialisasi secara langsung ketika
mendaftar fasilitas kesehatan tingkat
pertama.
Sosialisasi harus dilakukan dengan
dua tahap besar untuk mencapai
pemahaman dan kesadaran luas akan
sistem JKN, yaitu:
a. Tahap sosialisasi kepada
pemangku kepentingan kunci, yaitu
para tokoh/ pimpinan serikat
pekerja, para pemberi kerja, para
akademisi, para penggiat organisasi
kemasyarakatan dan para pejabat di
pusat dan daerah.
Tokoh agama dan tokoh masyarakat
sangat berperan dalam hal memberikan
motivasi kepada masyarakat untuk
mengikuti program JKN ini. Kepala
lingkungan yang berinisiatif mengadakan
pertemuan
dengan
warganya,
memfasilitasi pihak puskesmas atau
pihak BPJS utuk bertemu dengan warga
lingkungannya mensosialisasikan tentang
BPJS ini perlu diberikan apresiasi, karena
tidak semua kepala lingkungan yang
memiliki inisiatif seperti di Keluarahan
tersebut.
Cakupan pelayanan gigi yang
dijamin bagi peserta BPJS memang
belum tersosialisasikan dengan baik. Hal
ini terlihat dari hasil wawancara kepada
informan pasien. Dari kelima pasien yang
diwawancara semua tidak mengetahui
tentang pelayanan gigi yang dijamin oleh
BPJS. Kepala puskesmas dan pemegang
program gigi dan mulut cukup
mengetahui tentang cakupan pelayanan
gigi yang dijamin oleh BPJS. Mereka
mensosialisasikan kepada pasien yang
kebetulan berobat di poli gigi puskesmas
dan melakukan sosialisasi bersamaan
b. Tahap sosialisasi kepada seluruh
publik (peserta) dilakukan setelah
peraturan
perundangan,
fasilitas/tenaga kesehatan telah
dikontrak, sistem dan prosedur baku
telah disusun dan diuji, serta bahan
47
dikeluarkan tidak seberapa bila
dibandingkan dengan manfaat dan
keuntungan yang bisa diperoleh ketika
sakit. Adapun iuran yang harus
dibayarkan oleh peserta mandiri adalah
Rp 25.500 untuk kelas III perawatan
rumah sakit, Rp 42.500 untuk kelas II
perawatan rumah sakit, dan Rp 59.500
untuk kelas I perawatan rumah sakit.
Paket pelayanan kesehatan sama untuk
semua kelas perawatan (Anonim,
2014c).
Masyarakat
masih
belum
memahami manfaat menjadi peserta
BPJS, seperti peneitian dari Rolos
(2014) manfaat yang di dapatkan peserta
BPJS Kesehatan di Kabupaten Minahasa
Tenggara adalah pelayanan kesehatan
preventif, promotif, kuratif dan
rehabilitatif yang pemanfaatannya
masih
kurang
dipahami
oleh
masyarakat.
Kunjungan pasien di poli gigi
selama 2014 adalah 836 pasien, 150
diantaranya adalah pasien BPJS. Jumlah
ini masih sangat sedikit bila
dibandingkan dengan jumlah peserta
BPJS yang terdaftar di Puskesmas
Rurukan yaitu 6102 orang. Menurut
hasil wawancara kepada informan
kepala puskesmas dan pemegang
program gigi dan mulut, pasien yang
datang hampir sebagian besar dengan
keluhan sakit gigi. Ketika belum timbul
rasa sakit maka pasien enggan untuk
datang berobat meskipun banyak
masalah di dalam mulutnya. Hal ini yang
menyebabkan kunjungan pasien di poli
gigi tidak mengalami kenaikan yang
signifikan. Karena itu menurut penulis
sangat perlu untuk memberikan edukasi
kepada pasien tentang kesehatan gigi
dan mulut sekaligus sosialisasi kepada
pasien tentang cakupan pelayanan,
prosedur pendaftaran dan prosedur
yang dibutuhkan telah tersedia.
(Roadmap JKN, 2012) .
Strategi sosialisasi, edukasi dan
advokasi
didesain
untuk
memudahkan
pemahaman,
penerimaan
dan
dukungan/partisipasi publik tentang
kebijakan jaminan kesehatan. Agar
kegiatan sosialisasi, edukasi dan
advokasi yang dilakukan berjalan
efektif maka harus dirumuskan
strateginya oleh BPJS Kesehatan
dan pemerintah.
2. Sosialisasi prosedur pendaftaran di
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP).
Jumlah kapitasi yang terdaftar di
Puskesmas Rurukan adalah sebanyak
6102 peserta. Jumlah ini dapat diketahui
dan diakses lewat layanan primary care
BPJS.
Menurut informan Kepala
Puskesmas Rurukan jumlah kapitasi ini
terus meningkat setiap bulannya.
Jumlah penduduk Kecamatan
Tomohon Timur Tahun 2013 sebesar
10.876 jiwa dengan perbandingan
jumlah laki-laki 5.586 jiwa sedangkan
perempuan 5.290 jiwa. Pasien yang
terdaftar di kapitasi Puskesmas Rurukan
baru 6102 berarti sisanya terdaftar di
dokter umum keluarga atau belum
menjadi peserta BPJS. Menurut data
terakhir yang diberikan oleh Kepala
Puskesmas,
masih
sekitar
30%
penduduk di Tomohon Timur yang
belum mendaftar menjadi peserta BPJS.
Hasil wawancara dengan informan
menyimpulkan
bahwa
banyak
masyarakat
(yang bukan pegawai
negeri) yang masih enggan menjadi
peserta karena masih mengharapkan
mendapat kartu jamkesmas atau
jamkesda sehingga lebih meringankan
karena mereka tidak perlu membayar
iuran per bulannya. Namun menurut
informan staf BPJS, iuran yang
48
c) tidak ada pendaftaran peserta ke
dokter gigi lain.
Namun
jika peserta memilih
terdaftar
di
dokter
praktek
perorangan (dokter umum) sebagai
fasilitas
kesehatan
tingkat
pertamanya, maka:
a) peserta dapat mendaftar ke dokter
gigi praktek mandiri atau perorangan
sesuai pilihan dengan mengisi daftar
isian peserta (DIP) yang disediakan
oleh BPJS Kesehatan.
b) pelayanan gigi kepada peserta
diberikan oleh dokter gigi sesuai
pilihan peserta.
c) Penggantian fasilitas kesehatan
dokter gigi diperbolehkan minimal
setelah terdaftar 3 (tiga) bulan di
fasilitas kesehatan tersebut.
Hal inilah yang belum dipahami pasien
secara mendalam, karena itu sering
terjadi salah komunikasi antara pasien
dengan penyedia layanan kesehatan
primer atau dalam penelitian ini
puskesmas.
Informan staf BPJS menyatakan
bahwa mereka sudah memberikan
edukasi, pemahaman yang baik kepada
peserta. Selain sosialisasi berkelompok,
sosialisasi langsung ke peserta yang
mendaftar di kantor BPJS juga sudah
dilaksanakan. Banyaknya peserta yang
mendaftar di kantor BPJS dan antrian
yang panjang menyebabkan para staf
BPJS tidak bisa menyediakan waktu yang
lebih untuk memberikan penjelasan
kepada satu calon peserta. Hanya sedikit
peserta yang tahu bahwa mereka dapat
memanfaatkan palayanan gigi dan mulut
secara gratis pula. Selain itu kembali lagi
kepada alasan calon peserta ketika
mendaftar BPJS, sebagian besar karena
sudah jatuh sakit bahkan butuh segera
dilayani di rumah sakit karena sakit yang
berat. Paradigma sehat atau slogan ‘lebih
baik mencegah daripada mengobati’
pelayanan, manfaat dan keuntungan
menjadi peserta BPJS.
Penelitian dari Rolos (2014) yang
berjudul Implementasi Program Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan di Kabupaten Minahasa
Tenggara menyatakan masyarakat nanti
baru bergabung menjadi peserta BPJS
Kesehatan jika sudah mengalami sakit
atau sudah mendapatkan rehabilitasi di
rumah sakit. Seharusnya masyarakat
juga bisa mendapatkan manfaat
promotif dan preventif dari penggunaan
BPJS Kesehatan sehingga masyarakat
bisa terhindar dari berbagai macam
penyakit. Persepsi masyarakat inilah
yang salah terhadap program yang
dibuat oleh pemerintah.
Informan pasien yang berjumlah 5
orang belum sepenuhnya memahami
tata cara pendaftaran sebagai peserta
BPJS. Hal ini terlihat dari hasil
wawancara kepada informan. Informan
Kepala Puskesmas dan pemegang
program
gigi
dan
mulut
mengungkapkan bahwa kurangnya
pemahaman masyarakat akan prosedur
pendaftaran disebabkan oleh kurangnya
petugas
BPJS
yang seharusnya
menjelaskan dengan rinci ketika calon
peserta datang ke kantor BPJS untuk
mendaftar.
Buku Pedoman Pelayanan
Gigi dan Protesa Gigi yang diterbitkan
BPJS menyatakan jika peserta memilih
terdaftar di puskesmas atau klinik
sebagai fasilitas kesehatan tingkat
pertamanya, maka :
a) puskesmas atau klinik wajib
melayani pasien tersebut, bila tidak
ada sarana maka wajib menyediakan
jejaring (dokter gigi dan sarana
penunjang lain).
b) peserta mendapatkan pelayanan
gigi di dokter gigi yang menjadi
jejaring puskesmas atau klinik.
49
Pandangan masyarakat (dalam hal
ini informan) terhadap kedokteran gigi
primer adalah lebih terbuka dan mau
menggunakannya. Sosialisasi tentang
kedokteran gigi di tingkat pertama
memang perlu ditingkatkan lagi karena
masih banyak peserta BPJS yang berpikir
bahwa semua perawatan gigi gratis.
Informan pasien yang berjumlah 5 orang
sama-sama belum memahami dengan
jelas tantang manfaat dan keuntungan
yang bisa didapatkan. Tiga orang
diantaranya mengatakan kalau mereka
tahu bahwa semua perawatan gigi gratis.
belum menjadi alasan utama bagi pasien
untuk mendaftar BPJS. Apalagi penyakit
gigi dan mulut yang seringkali dianggap
tidak terlalu penting. Dari hasil Riskesdas
2013 sebesar 25,9% penduduk Indonesia
mempunyai masalah gigi dan mulut.
Diantara mereka, terdapat 31,1% yang
menerima perawatan dan pengobatan dari
tenaga medis gigi (perawat gigi, dokter
gigi atau dokter gigi spesialis), sementara
68,9%
lainnya
tidak
dilakukan
perawatan.
3. Sosialisasi prosedur pelayanan di
fasilitas kesehatan tingkat pertama
(FKTP)
Pelayanan di poli gigi Puskesmas
Rurukan cukup membuat informan
pasien yang berjumlah 5 orang puas,
namun dari segi sarana masih kurang
lengkap. Kepala puskesmas dan
pemegang program gigi dan mulut
menyatakan bahwa alat dan bahan yang
sudah rusak akan diadakan kembali oleh
pemerintah daerah agar mendukung
jalannya pelayanan gigi di puskesmas.
Kepuasan
dari
pasien
terhadap
pelayanan di poli gigi antara lain
dikarenakan oleh pelayanan yang
efektif dan efisien, sikap ramah dari
tenaga medis, serta biaya yang tidak
mahal untuk informan dengan latar
belakang pasien umum sedangkan bagi
pasien Jamkesmas dan PNS tentu saja
tidak dikenakan biaya pengobatan
namun mereka puas dengan pelayanan
yang diberikan. Hal ini hampir sama
dengan penelitian dari Riyadi (2015)
yang mendapatkan hasil mutu pelayanan
kesehatan peserta BPJS di Puskesmas
Kembangan Jakarta Barat adalah baik
dilihat dari faktor kompetensi teknis,
akses terhadap pelayanan, efektifitas,
hubungan antara manusia, efisiensi,
pelayanan, keamanan, kenyamanan
serta kenikmatan.
Pelayanan gigi yang tidak dijamin
oleh BPJS menurut Buku Pedoman
Pelayanan Gigi dan Protesa Gigi (2014)
adalah pelayanan kesehatan yang
dilakukan tanpa melalui prosedur
sebagaimana diatur dalam peraturan yang
berlaku,
pelayanan kesehatan yang
dilakukan di fasilitas kesehatan yang
tidak bekerja sama dengan BPJS
Kesehatan (kecuali dalam keadaan
darurat), pelayanan kesehatan yang
dilakukan di luar negeri, pelayanan
kesehatan untuk tujuan estetik, pelayanan
meratakan gigi (ortodonsi), biaya
pelayanan lainnya yang tidak ada
hubungan dengan manfaat jaminan
kesehatan yang diberikan. Hak pasien
peserta BPJS untuk dapat mengetahui
pelayanan gigi yang dijamin dan tidak
dijamin oleh BPJS Kesehatan.
Informan kepala puskesmas, staf
BPJS dan pemegang program gigi dan
mulut mengatakan bahwa
indikasi
medis yang tidak dapat ditangani di
FKTP dapat dirujuk ke rumah sakit atau
dokter spesialis dan sub spesialis yang
bekerja sama dengan puskesmas. Saat
ini sarana di poli gigi Puskesmas
Rurukan belum lengkap dan masih perlu
perbaikan sehingga tidak dapat melayani
pasien sesuai dengan kewajiban dari
50
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama.
Poli gigi tidak bisa melayani pencabutan
dengan komplikasi, penambalan gigi,
perawatan saraf gigi,
pembersihan
karang gigi dan semua perawatan yang
memakai alat kompresor. Pengadaan
alat dan bahan gigi baru akan
ditindaklanjuti oleh pemerintah agar
dapat
memaksimalkan
pelayanan,
karena itu banyak pasien yang dirujuk ke
rumah sakit terdekat yang bekerjasama
dengan BPJS atau pasien diberikan
pengertian agar bersabar dengan kondisi
yang ada. Solusi lain yang dapat
diberikan untuk pasien yang kurang
kooperatif adalah pasien disarankan
untuk berpindah ke dokter gigi keluarga
agar dapat dilayani dengan maksimal.
Hal ini juga menjadi hambatan bagi
pasien yang ingin dilayani cepat karena
pergantian fasilitas kesehatan tingkat
pertama baru berlaku setelah 3 bulan
kemudian. Hal yang penting diketahui
juga adalah pasien tidak diijinkan untuk
meminta rujuk ke rumah sakit bila
indikasi medisnya masih bisa ditangani
di fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Kurangnya sosialisasi menyebabkan
banyak pasien yang langsung meminta
rujukan padahal belum diperiksa oleh
tenaga medis di poli gigi atau ada
beberapa pasien yang langsung pergi ke
rumah sakit tanpa surat rujukan dari
puskesmas.
Sejalan dengan penelitian dari
Geswar (2014) dalam tesisnya yang
berjudul Kesiapan Stakeholder dalam
Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan
Nasional di Kabupaten Gowa yang
menyatakan bahwa belum ada kesiapan
untuk
aspek
fasilitas
kesehatan
dikarenakan alat kesehatan masih kurang,
pencabutan
dengan
komplikasi,
penambalan gigi, perawatan saraf gigi,
dan pembersihan karang gigi tidak bisa
dilakukan sama sekali. Seiring dengan
berjalannya waktu, kunjungan para
pasien akhirnya berkurang. Sejak
berdirinya Puskesmas Rurukan, sarana di
poli gigi hanya terdapat di Puskesmas
Pembantu Paslaten 1. Kunjungan pasien
dari tahun 2006 rata-rata 3 sampai 5
orang per hari, namun sejak alat rusak
makan kunjungan semakin berkurang.
Hal ini tentunya tidak sesuai dengan
harapan program jaminan kesehatan yang
sudah memberikan kemudahan kepada
para pasien dalam hal biaya. Para peserta
BPJS Rurukan seharusnya lebih banyak
berkunjung ke poli gigi karena ada
cakupan pelayanan gigi yang dijamin
BPJS Kesehatan sehingga tidak perlu
mengeluarkan biaya sama sekali.
4.
Faktor pendukung dan penghambat
sosialisasi JKN
Staf BPJS menyatakan kendala dan
faktor yang menjadi hambatan sosialisasi
jaminan kesehatan nasional bagi
pelayanan di poli gigi Puskesmas
Rurukan ini tidak ada karena BPJS sudah
mensosialisasikan dengan baik kepada
masyarakat. Setiap kali membuat
pertemuan, masyarakat sangat merespon
dengan baik, hanya saja ada masyarakat
yang masih berpikir nanti jatuh sakit baru
akan mendaftar menjadi peserta BPJS.
Mereka tidak tahu bahwa kartu BPJS
akan berlaku 2 minggu kemudian sejak
mendaftar.
Kepala puskesmas dan
pemegang program gigi dan mulut tidak
sependapat, mereka menyatakan bahwa
masih banyak kendala di lapangan dan
faktor yang menghambat diantaranya
adalah sarana di poli gigi yang tidak
lengkap, dana operasional yang belum
bisa digunakan karena masalah birokrasi,
regulasi atau peraturan yang sering
Sarana di poli gigi ini sangat perlu
untuk diperbaiki karena sejak kondisi alat
(kompresor) rusak maka untuk pelayanan
51
masyarakat karena sesungguhnya banyak
puskesmas yang belum siap sewaktu
dimulainya program JKN ini. Seiring
dengan berjalannya waktu diharapkan
puskemas dapat memperbaiki sistem dan
sarana agar dapat memenuhi persyaratan
kredensial dari BPJS.
Kepala
puskesmas
melalui
wawancara dengan penulis memberikan
pernyataan bahwa ia telah berencana
untuk memperbaiki sarana
dan
menambah alat serta bahan obat
kedokteran gigi di poli gigi namun
memiliki kendala dana yang belum
tersedia. Dana kapitasi yang diterima
oleh FKTP dari BPJS Kesehatan
dimanfaatkan
seluruhnya
untuk
pembayaran jasa pelayanan kesehatan
dan untuk dukungan biaya operasional
pelayanan kesehatan. Alokasi untuk
pembayaran jasa pelayanan kesehatan
untuk tiap FKTP ditetapkan sekurangkurangnya 60% dari penerimaan dana
kapitasi. Biaya operasional pelayanan
ditetapkan sebesar selisih dari besar dana
kapitasi dikurangi dengan besar alokasi
untuk pembayaran jasa pelayanan
kesehatan. Dana kapitasi untuk dukungan
biaya operasional pelayanan kesehatan
dimanfaatkan untuk obat, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai, upaya
kesehatan perorangan berupa kegiatan
promotif,
preventif,
kuratif,
dan
rehabilitatif lainnya, kunjungan rumah
dalam
rangka
upaya
kesehatan
perorangan,
operasional
untuk
puskesmas keliling, bahan cetak atau alat
tulis kantor, administrasi keuangan dan
sistem informasi (Anonim, 2014g).
Pembayaran kapitasi oleh BPJS
Kesehatan didasarkan pada jumlah
peserta yang terdaftar di FKTP sesuai
dengan
data
BPJS
Kesehatan.
Pembayaran kapitasi kepada FKTP milik
Pemerintah Daerah ini dilakukan oleh
BPJS Kesehatan setiap bulan paling
berubah sehingga membingungkan bagi
masyarakat dan penyedia layanan primer,
sistem komputer yang masih bergantung
kepada jaringan atau sinyal, serta
sosialisasi yang belum maksimal dari staf
BPJS kepada calon peserta. Sejalan
dengan itu, penelitian dari Rolos (2014)
mengatakan pelaksanaan sosialisasi
kepada masyarakat tentang BPJS
Kesehatan yang ada di Kabupaten
Minahasa Tenggara sudah diadakan
namun belum optimal.
Hasil penelitian dari Geswar (2014)
juga menyatakan dalam kesimpulannya
bahwa belum ada kesiapan untuk aspek
fasilitas kesehatan dikarenakan alat
kesehatan masih kurang, aspek regulasi
juga
belum terlihat kesiapannya
dikarenakan belum ada petunjuk teknis di
Kabupaten Gowa mengenai jaminan
kesehatan, untuk sosialisasi sudah
dilakukan seluruh pihak stakeholder
namun karena sosialisasi yang belum
optimal sehinggga masih banyak
masyarakat belum memahami tentang
program JKN.
Latar
(2014)
di
dalam
penelitiannya yang berjudul ‘Kesiapan
Stakeholder dalam Pelaksanaan Program
Jaminan Kesehatan Nasional di Kota
Tual’ menyimpulkan bahwa untuk
kesiapan stakeholder dalam pelaksanaan
JKN di Kota Tual dilihat dari kesiapan
fasilitas kesehatan belum siap dalam
memenuhi syarat kredensial dan belum
siap menerima sistem pembiayaan
kapitasi
dan
INA-CBGs.
Pada
kenyataannya pelayanan di puskesmas
harus tetap berjalan karena fasilitas
kesehatan tingkat pertama milik
pemerintah diharuskan menjadi mitra
BPJS Kesehatan untuk mensukseskan
program JKN dari Januari 2014 . Hal
inilah
yang
seringkali
membuat
puskesmas tidak bisa memberikan
pelayanan yang maksimal kepada
52
sebagai fasilitas kesehatan tingkat
pertama dan fasilitas kesehatan tingkat
lanjutan harus memberikan pelayanan
yang baik sesuai dengan peraturan yang
telah dibuat. Sejalan dengan hasil
penelitian Taubati (2009) menunjukkan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
kunjungan pasien untuk datang ke rumah
sakit gigi dan mulut adalah faktor kondisi
fisik gedung, administrasi biaya,
administrasi pelayanan pasien, hubungan
dokter/operator dan pasien.
Informan staf BPJS mengatakan
bahwa sebenarnya dari Pemerintah
Daerah harus mendukung, stakeholder
yang terkait juga seperti Dinas
Kesehatan, puskesmas. Kegiatan promosi
kesehatan dapat di lakukan bersamaan
dengan sosialisasi tentang jaminan
kesehatan
nasional
BPJS.
BPJS
Kesehatan dan Kementerian Kesehatan
merilis Buku Pegangan Sosialisasi
Jaminan Kesehatan (JKN) dalam Sistem
Jaminan Sosial Nasional. Buku ini secara
ringkas memuat informasi tentang JKN
yang mencakup arti pentingnya skema
jaminan kesehatan nasional serta
mekanisme
dan
penyelenggaraan
jaminan kesehatan nasional. Namun
demikian, masih terdapat kebingungan di
masyarakat luas, yakni pertama dalam hal
substansi informasi. Informasi yang
disampaikan di media massa belum
komprehensif meliputi aspek-aspek
praktis yang dibutuhkan pengguna
layanan. Iklan yang disampaikan di
televisi tidak dapat menjelaskan segala
hal mengenai BPJS. Kedua, penggunaan
media informasi yang belum tepat guna.
Penggunaan media informasi memiliki
dampak yang berbeda bagi penerimanya.
Masyarakat dengan akses media
elektronik dengan mudah menemukan
informasi BPJS di internet atau televisi.
Namun demikian, hal ini tidak berlaku
bagi masyarakat dengan akses terbatas.
lambat tanggal 15 bulan berjalan.
Pembayaran dana kapitasi oleh BPJS ke
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
milik Pemerintah Daerah ini langsung ke
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang
selanjutnya disetor ke Kas Daerah
(KASDA) atau langsung dari BPJS
Kesehatan ke Kas Daerah sebagai
penerimaan
daerah.
Sejak
diundangkannya Perpres 32/2014 dan
Permenkes 19/2014 dana kapitasi
langsung
dibayarkan
oleh
BPJS
Kesehatan ke FKTP milik Pemerintah
Daerah. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia nomor 19 tahun 2014
tentang Penggunaan Dana Kapitasi
Jaminan Kesehatan Nasional untuk jasa
pelayanan kesehatan dan dukungan biaya
operasional pada fasilitas kesehatan
tingkat pertama milik Pemerintah
Daerah. Pada kenyataannya dana
operasional dari BPJS Kesehatan ini
masih terkendala di sistem birokrasi
sehingga dana tersebut belum dapat
digunakan untuk memperbaiki alat yang
rusak dan menambah alat kedokteran gigi
yang masih diperlukan.
Informan pasien berpendapat
faktor yang menghambat adalah
pandangan masyarakat yang salah
terhadap puskesmas. Baginya dan
beberapa orang sering menganggap
puskesmas adalah fasilitas kesehatan
yang
kurang
memenuhi
standar
operasional prosedur dari segi pelayanan
maupun sarana karena biaya berobat yang
murah namun ternyata setelah pergi ke
puskesmas dan mendapat pelayanan yang
baik, pandangannya terhadap puskesmas
menjadi
berubah.
Informan
lain
mengatakan bahwa kepedulian terhadap
pasien BPJS lebih di tingkatkan lagi,
karena banyak yang seolah-olah
mengundurkan diri karena tidak bisa
mendapatkan pelayanan yang seharusnya
sesuai peraturan yang ada. Karena itu
53
cukup efektif, karena mampu menjaring
para peserta baru khusunya peserta BPJS
mandiri yang mendaftarkan diri ke BPJS.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
dari
Roesalya
(2014)
yang
menyimpulkan bahwa terdapat hubungan
antara terpaan sosialisasi program BPJS
Kesehatan dengan keputusan masyarakat
sebagai peserta program BPJS Kesehatan
dan terdapat hubungan antara sikap
masyarakat
pada
program BPJS
Kesehatan dengan keputusan masyarakat
sebagai peserta BPJS Kesehatan. Hal ini
berarti pesan yang disampaikan melalui
sosialisasi yang dilakukan oleh BPJS
Kesehatan berkaitan dalam pembuatan
keputusan masyarakat untuk bergabung
menjadi peserta BPJS Kesehatan
sehingga sosialisasi merupakan hal yang
penting agar masyarakat mengetahui
informasi-informasi yang dibutuhkan dan
yang ingin disampaikan oleh BPJS
Kesehatan sehingga akan membantu
untuk
menghasilkan
keputusan
masyarakat yang menguntungkan BPJS
Kesehatan.
Faktor pendukung yang didapatkan
dari hasil wawancara yaitu sikap
masyarakat yang terbuka yang penting
demi kesuksesan program JKN. Hal ini
berhubungan
dengan
bagaimana
masyarakat bersikap terhadap suatu
program dengan keputusan yang akan
diambil sehingga BPJS Kesehatan harus
bisa mengambil hati masyarakat dengan
memberikan apa yang diinginkan dan
dibutuhkan oleh masyarakat sehingga
kelak masyarakat dapat memberikan
sikap yang positif terhadap program
BPJS Kesehatan yang pada akhirnya
kelak akan membantu masyarakat dalam
mengambil keputusan yang positif pula.
Penulis berpendapat bahwa
bentuk komunikasi yang digunakan oleh
staf BPJS sudah tepat yaitu bentuk
komunikasi langsung (tatap muka)
Sosialisasi seharusnya dibuat dalam
bentuk himbauan, penyuluhan, dan
pengumuman di berbagai tempat yang
dekat dengan masyarakat, terutama di
rumah sakit dan puskesmas. Selain itu,
pemerintah
disarankan
melakukan
sosialisasi lebih intensif ke tempattempat umum dan pusat keramaian.
Sosialisasi BPJS dapat dilakukan di malmal, pasar-pasar, terminal, universitas,
dan tempat keramaian lainnya (Mulyadi,
2014).
Adapun hambatan lain yang
dihadapi di lapangan dalam pelaksanaan
kegiatan sosialisasi adalah wilayah yang
luas sehingga jarak yang ditempuh untuk
menjangkau semua wilayah cukup jauh.
Sikap
masyarakat
yang
tidak
memperhatikan materi sosialisasi saat
kegiatan berlangsung sehingga membuat
pelaksana sosialisasi sering mengulangi
materi yang disampaikan. Bahasa yag
dipakai saat sosialisasi juga harus
disesuaikan dengan bahasa daerah atau
dialek yang ada di Tomohon agar materi
mudah dipahami oleh penduduk setempat
yang memiliki latar belakang pendidikan,
sosial ekonomi yang berbeda
Sejalan dengan hasil wawancara
yang sudah penulis jelaskan sebelumnya,
hambatan yang sering ditemui menurut
Mariza dan Sutopo (2014) adalah
keberatan masyarakat menyisihkan
sedikit pendapatannya sebagai tabungan
jaminan
kesehatan
yang
dapat
meringankan beban biaya saat sakit,
keberatan masyarakat dengan peraturan
baru yang mengharuskan pendaftaran
JKN diikuti oleh satu keluarga, kesibukan
pelaksana sosialisasi yang bukan saja
bertugas dalam mengatur kegiatan
sosialisasi saja melainkan masih
memiliki tugas lain di luar sosialisasi.
Hasil wawancara yang telah
dilakukan menyatakan bahwa program
sosialisasi JKN ini bisa dikategorikan
54
karena terlihat masyarakat belum
memahami ketika datang berobat ke
puskesmas, meskipun dari pihak
BPJS sudah melakukan banyak
sosialisasi kepada masyarakat.
Sarana di poli gigi Puskesmas
Rurukan juga belum tersedia dengan
lengkap karena itu kunjungan pasien
berkurang.
4. Faktor pendukung dan penghambat
sosialisasi
jaminan
kesehatan
nasional
kepada masyarakat di
wilayah kerja Puskesmas Rurukan
Tomohon harus dapat menjadi
evaluasi dan bahan perbaikan bagi
kesuksesan
program
jaminan
kesehatan nasional khususnya untuk
pelayanan gigi dan mulut.
mengingat materi program masih
dianggap awam dan baru bagi sebagian
masyarakat. Materi program JKN
seharusnya dapat memuat ketentuan dan
kebijakan yang perlu dijelaskan secara
lebih mendetail oleh staf BPJS atau
pelaksana program. Penyuluhan di
tingkat lingkungan maupun berupa
gathering atau pertemuan , efektif untuk
menyampaikan pesan-pesan yang akan
disampaikan dalam sosialisasi JKN.
KESIMPULAN
1. Sosialisasi cakupan pelayanan gigi
dan mulut bagi peserta BPJS di
Puskesmas Rurukan Tomohon
belum terlaksana dengan baik
karena masyarakat banyak yang
belum memahami dengan baik
tentang cakupan pelayanan gigi
yang dijamin untuk peserta BPJS
Kesehatan di fasilitas kesehatan
tingkat pertama. Hal ini disebabkan
karena kesehatan gigi dan mulut
serta pelayanan gigi dan mulut
dianggap belum terlalu penting bagi
masyarakat..
2. Sosialisasi prosedur pendaftaran
pasien gigi dan mulut di Puskesmas
Rurukan
Tomohon belum
terlaksana dengan baik karena
masyarakat
terlihat
belum
memahami secara menyeluruh
prosedur ketika akan mendaftar dan
setelah terdaftar sebagai peserta
BPJS. Pasien masih bingung
menggunakan kartu peserta dan
belum mengetahui dimana fasilitas
kesehatan tingkat pertamanya,
meskipun dari pihak BPJS sudah
melakukan
banyak
sosialisasi
kepada masyarakat.
3. Sosialisasi prosedur pelayanan pasien
gigi dan mulut bagi peserta BPJS di
Puskesmas Rurukan Tomohon
belum terlaksana dengan baik
SARAN
1. Untuk Dinas Kesehatan dan Sosial
Kota Tomohon
a. Dinas Kesehatan dan Sosial Kota
Tomohon dapat berkoordinasi
dengan Puskesmas Rurukan dan
stakeholder
lainnya
untuk
meningkatkan
pelaksanaan
sosialisasi jaminan kesehatan
nasional kepada masyarakat
terutama untuk pelayanan gigi
dan mulut.
b. Dinas Kesehatan dan Sosial Kota
Tomohon diharapkan dapat
menyediakan leaflet, pamflet,
brosur, poster tentang cakupan
pelayanan
gigi,
prosedur
pendaftaran
dan
prosedur
pelayanan gigi untuk masyarakat
dan seluruh fasilitas kesehatan.
2. Untuk Puskesmas Rurukan
a. Perlu dilakukan pertemuan staf
puskesmas khusus membahas
tentang BPJS beserta dengan tata
laksananya agar seluruh staf
puskesmas memahami dengan
baik
sehingga
dapat
55
mensosialisasikan dengan benar
kepada masyarakat.
b. Pelaksanaan program promotif
preventif kesehatan gigi dan
mulut perlu ditingkatkan lagi
untuk menambah pengetahuan
masyarakat.
Penyuluhan
kesehatan gigi dan mulut dapat
dilakukan bersamaan dengan
sosialisasi BPJS.
c. Bersama
dengan
Dinkesos
Tomohon melakukan sosialisasi
lebih efektif lagi dengan
kelompok-kelompok potensial di
masyarakat seperti organisasi
gereja, lingkungan, kelurahan,
dan organisasi lainnya yang ada
di wilayah kerja Puskesmas
Rurukan.
d. Kepala Puskesmas hendaknya
memberikan solusi yang terbaik
untuk dapat memperbaiki alat
yang rusak dan menyediakan
sarana di poli gigi yang belum
lengkap sehingga pelayanan gigi
boleh berjalan dengan baik.
3. Bagi peneliti selanjutnya karena
pertimbangan tertentu ingin
melakukan penelitian lanjutan,
diharapkan dapat meneliti ruang
lingkup yang sama dengan
variabel berbeda sebagai salah
satu variabel penelitian.
Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
Anonim. 2014c. Buku Pegangan
Sosialisasi Jaminan Kesehatan
Nasional dalam Sistem Jaminan
Sosial Nasional. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
Anonim. 2014d. BPJS Kesehatan,
Peraturan BPJS Kesehatan
Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan
Jaminan
Kesehatan.
Anonim. 2014e. Kementerian Kesehatan
RI.
Peraturan
Menteri
Kesehatan Republik Indonesia
No. 59 Tahun 2014 tentang
Standar
Tarif
Pelayanan
Kesehatan
dalam
Penyelenggaraan
Program
Jaminan Kesehatan.
Anonim. 2014f. BPJS Kesehatan.
Pelayanan Gigi dan Protesa Gigi
bagi peserta JKN.
Anonim. 2014g. Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 19 tentang
Penggunaan Dana Kapitasi
Jaminan Kesehatan Nasional
untuk jasa Pelayanan Kesehatan
dan
Dukungan
Biaya
Operasional pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama
Milik Pemerintah Daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2014a. Register Pasien Gigi
Puskesmas Rurukan. Tidak
diterbitkan.
Anonim. 2013a. Profil Puskesmas
Rurukan. Tidak diterbitkan.
Anonim. 2014b. Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2013. Jakarta :
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Kesehatan
Anonim. 2013b. Panduan Dokter Gigi di
Faskes Primer, Direktorat BUK
Dasar Kemenkes RI.
56
Anonim. 2011. Undang-Undang No. 24
Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial
Purwosari Kecamatan Laweyan
Kota Surakarta. Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo.
Program Studi Diploma IV
Kebidanan
Anonim. 2009. Departemen Kesehatan
Republik
Indonesia.1990.
Pedoman
Supervisi
Upaya
Kesehatan Puskesmas Direktorat
Jendral Bankesmas. Depkes RI :
Jakarta.
Azwar, A. 2010. Pengantar Administrasi
Kesehatan.
Edisi
Ketiga,
Binarupa Aksara Publisher,
Tangerang.
Balqis.
2013.
Kesiapan
Badan
Penyelenggara Kesehatan dalam
Menghadapi Jaminan Kesehatan
Nasiona.Jurnal AKK Vol 2 No 3
September 2013
Anonim. 2008. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Anonim. 2009. Undang-Undang No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan,
dalam Himpunan Peraturan
Perundang-undangan, Penerbit
Fokusmedia, Bandung.
Budiharto. 2002. Peran Kedokteran Gigi
Masyarakat dan Pencegahan
Dalam Pembangunan Kesehatan
Gigi Di Indonesia . Jakarta.
Anonim. 2004. Undang-Undang No. 40
Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional.
Darwita, R. 2004. Pencegahan Sakit Gigi
dan Mulut dipandang dari proses
Patofisiologis. Jakarta : FKG UI.
Adisasmito, W. 2014. Sistem Kesehatan.
Edisi Kedua, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Geswar R.K., Nurhayani, Balqis. 2014.
Kesiapan Stakeholder Dalam
Pelaksanaan Program Jaminan
Kesehatan
Nasional
di
Kabupaten Gowa . (Online).
Jurnal AKK Vol. 3 No. 1.
(http://journal.unhas.ac.id)
Diakses pada tanggal 17
September 2014. Hal: 16.
Adisasmito,
W.
2008.
Persepsi
Stakeholders tentang Kompetensi
Dokter di Layanan Kesehatan
Primer . Majalah Kedokteran
Indonesia Volume 60, No. 1
Januari 2010
Asih Eka Putri.2013. Tranformasi Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial.
Jurnal Legislasi Indonesia ;9(2):
239-257
Herijulianti, E. 2002. Pendidikan
Kesehatan Gigi. Jakarta:EGC
Irawan, P. 2010. Logika dan Prosedur
Penelitian, Jakarta, STIA LAN
Press, hal. 249.
Ayuningtyas.
2014.
Hubungan
Pengetahuan dengan Sikap
Kepala
Keluarga
tentang
Program Jaminan Kesehatan
Nasional
di
Kelurahan
Latar, R. Kesiapan Stakeholder dalam
Pelaksanaan Program Jaminan
Kesehatan Nasional di Kota Tual
57
: Kebijakan Kesehatan FKM
Sosial Bagi Masyarakat Miskin.
Yogyakarta: UGM.
Universitas Hasanuddin.
Usman, N. 2002. Konteks Implementasi
berbasis Kurikulum. Bandung:
CV Sinar Baru.
Massie, R. 2013. Proposal/Protokol
Penelitian.
Pascasarjana
Universitas
Sam Ratulangi
Manado.
Ovedoff, D. 2002. Kapita Selekta
Kedokteran. Jakarta : Binarupa
Aksara.
Mansjoer.
2001.
Kapita
Selekta
Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius.
Pintauli, S. 20013. Dokter Gigi Sebagai
Manager
Kesehatan
di
Puskesmas. Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Sumatra Utara.
Mariza dan Sutopo. 2014. Efektivitas
Sosialisasi Jaminan Kesehatan
Nasional
oleh
Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan di Kabupaten
Temanggung. Program Studi
Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu
Sosial
dan
Ilmu
Politik
Universitas
Sebelas
Maret
Surakarta.
Primantika, A. D. 2014. Evaluasi
Pelaksanaan Sosialisasi Program
Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) dari Aspek Struktur dan
Interaksi Sosialisasi di Rumah
Sakit Permata Medika Kota
Semarang Tahun 2013-2014.
Mundiharno. 2012. Peta Jalan Menuju
Universal Jaminan
KesehatanNasional. Jurnal
Legislasi Indonesia ;9(2): 207222
Purwoko,
B.
2012.
Konsepsi
Pengawasan
Operasional
Dewan Jaminan Sosial Nasional
(DJSN)
terhadap
Kegiatan
Operasional
Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS).
(Online).
Jurnal
Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2
(http://ditjenpp.kemenkumham.g
o.id.pdf)Diakses 22 Juli 2014.
Hal: 295.
Mulyadi, M. 2014. Info Singkat:
Sosialisasi Ketentuan Jaminan
Sosial 2014. Jakarta: P3DI Setjen
DPR RI.
Notoatmodjo, S. 2007. Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Prinsip – Prinsip
Dasar . Edisi revisi, Jakarta.
Penerbit Rineka Cipta.
Putra, N. 2011. Penelitian Kualitatif :
Proses dan Aplikasi. Indeks.
Jakarta.
Notoatmodjo,
S. 2010.
Promosi
Kesehatan Teori dan Aplikasi.
Jakarta: Rineka Cipta.
Putri, R. Kesiapan PT Askes (Persero)
Cabang
Manado
Dalam
Bertransformasi Menjadi Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS)
Kesehatan.
Jurnal
Legislasi Indonesia. 2013; 9(2):
315-322.
Noviansyah. 2006. Persepsi Masyarakat
Terhadap Program Jaminan
58
Riyadi, R. 2015. Mutu Pelayanan Peserta
Jaminan Kesehatan Nasional di
Puskesmas
Kecamatan
Kembangan Jakarta Barat :
Fakultas
Ilmu
Komunikasi
Universitas Islam Negri.
Trias,
P.K.2014. Tinjauan Yuridis
Pelaksanaan Jaminan Kesehatan
Nasional. Info Singkat Hukum,
Vol.
VI,
No.
07/P3DI/April/2014.
Zaelani. 2012. Komitmen Pemerintah
dalam
Penyelenggaraan
Jaminan
Sosial
Nasional.
(Online).
Jurnal
Legislasi
Indonesia Vol. 9 No. 2
(http://ditjen.kemenkuham.go.id.
pdf). Diakses pada tanggal 22
Juli 2014. Hal: 203.
Roesalya, P. 2014. Hubungan Terpaan
Sosialisasi BPJS Kesehatan dan
Sikap masyarakat pada Program
dengan Keputusan Masyarakat
sebagai Peserta BPJS Kesehatan.
Rolos, W. 2014. Implementasi Program
Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial Kesehatan di Kabupaten
Minahasa Tenggara . Fakultas
Kesehatan
Masyarakat
Universitas
Sam
Ratulangi
Manado.
Setiawan, G. 2004. Implementasi Dalam
Birokrasi
Pembangunan.
Bandung: Remaja Rosdakarya
Offset.
Shihab, A.N. 2012. Hadirnya Negara di
Tengah
Rakyatnya
Pasca
Lahirnya
Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2011 Tentang
Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial. (Online). Jurnal Legislasi
Indonesia Vol. 9 No. 2
(http://ditjen.kemenkumham.go.i
d.pdf). Diakses pada tanggal 21
Juli 2014. Hal: 178,189.
Taubati, A. 2009. Perbedaan Faktorfaktor
yang
mempengaruhi
Kunjungan Pasien Untuk Datang
ke Rumah Sakit Gigi dan Mulut
Universitas
Jember
Antara
Pasien Mahasiswa dan pasien
umum. Fakultas Kedokteran Gigi
Jember.
59