Peran Politik Anggota Legislatif Perempuan Dalam Merespon Kepentingan Perempuan (Studi Kasus DPRD Kota Pematang Siantar 2016) Chapter III IV

BAB III
ANALISIS PERAN POLITIK ANGGOTA LEGISLATIF PEREMPUAN
DALAM MERESPON KEPENTINGAN PEREMPUAN DI KOTA
PEMATANGSIANTAR

3.1 Peran Politik Anggota Legislatif Perempuan
Penilaian peran politik merupakan suatu hal yang penting karena dapat
digunakan dalam mengkaji sebuah ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam hal
ini adalah DPRD Kota Pematangsiantar dalam menjalankan tugas yang telah
dimandatkan sebagai wakil rakyat. Dengan melakukan penilaian maka upaya
untuk memperbaiki kinerja bisa dilakukan secara terarah dan sistematis.
Peran politik anggota legislatif dapat dilihat dari peranan anggota legislatif
dalam menjalankan fungsinya. Anggota legislatif perempuan memiliki peran
ganda sebagai ibu rumah tangga dan juga sebagai representatif rakyat terutama
bagi kaum perempuan yang selama ini tertinggal akibat kurang diperjuangkannya
kepentingan-kepentingan perempuan yang jarang mendapatkan perhatian. Dengan
meningkatnya kuota perempuan di parlemen yang kemudian dipeertegas dengan
adanya UU Partai Politik dan UU Pemilu yang mewajibkan adanya keterwakilan
perempuan diparlemen merupakan kesempatan bagi anggota legislatif yang
terpilih untuk memperjuangkan kepentingan perempuan. Di DPRD Kota
Pematangsiantar keterwakilan perempuan sangat sedikit, namun untuk periode

2014-2019 dapat dikatakan meningkat dari tahun sebelumnya meskipun tidak
terlalu signifikan. Hal ini dapat dilihat pada periode 2009-2014 perempuan yang

61

Universitas Sumatera Utara

berhasil duduk di parlemen hanya berjumlah 6 orang dari 30 orang anggota
dewan. Pada periode 2014-2019 dari 30 anggota dewan, perempuan yang berhasil
duduk di parlemen ada 7 orang. Hal ini menunjukkan hal yang positif bagi
keterwakilan perempuan di parlemen.
Keterwakilan

perempuan

dalam

legislatif

sangat


penting

karena

perempuan memiliki kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami dengan baik
oleh perempuan itu sendiri. Kebutuhan khusus tersebut dapat meliputi kebutuhan
akan kesehatan reproduksi, masalah kesejahteraan keluarga (seperti soal harga
Sembilan bahan pokok yang terjangkau,masalah kesehatan, dan pendidikan anak),
kepedulian kepada anak, kebutuhan manusia tingkat lanjut, kekerasan dalam
rumah tangga serta isu-isu kekerasan seksual dan lain-lain.
Keadilan gender merupakan proses atau perlakuan keadilan bagi semua
kaum bagi laki-laki maupun perempuan. Terwujudnya keseteraan gender dan
keadilan gender dengan tidak adanya diskriminasi terhadap perempuan sehingga
memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dan memiliki akses kontrol dalam
proses pembangungan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari
pembangungan yang telah dilakukan dan memperoleh kesempatan serta hakhaknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan
ekonomi,hukum,politik,sosial

budaya,pendidikan,pertahanan


dan

keamanan

nasional, serta kesamaan dalam menikmati pembangunan yang dilakukan.

62

Universitas Sumatera Utara

Perempuan tidak banyak menguasai praktek politik untuk bisa
membantunya menghadapi perubahan kebijakan yang berpihak kepada mereka,
dibandingkan dengan laki-laki meskipun sebagai aktor handal politik, namun pada
umumnya rentan terhadap stress yang menimbulkan tindakan emosi berlebihan.
Sejak awal reformasi, pembicaraan tentang keterwakilan perempuan diparlemen
bergeser dari isu akademik dan gerakan sosial menjadi agenda kerja politik.
Dengan adanya peraturan kuota perempuan dilembaga legislatif dan partai politik
sebagaimana yang ditetapkan dalam UU pemilu No. 10 tahun 2010 semakin
menguatkan desakan terhadap partai dan parlemen untuk memberikan ruang

khusus bagi politisi perempuan. 27
Penduduk Indonesia khususnya di Sumatera utara di dominasi oleh kaum
perempuan sehingga keterwakilan perempuan di parlemen sangat dibutuhkan
untuk bisa merepresentasikan kepentingan perempuan yang tidak dapat diwakili
oleh kaum laki-laki dan disini lah dibutuhkan affirmative action. Affirmative
action juga dibutuhkan untuk kuota politik perempuan di parlemen,rekrutmen
pejabat politik,birokrasi yang sensitive gender,konsultasi khusus untuk kalangan
perempuan, akses-akses khusus bagi perempuan terhadap kebijakan publik dan
prioritas anggaran untuk mewujudkan kepentingan perempuan. Gender bukan
kodrat ketuhanan tetapi lebih kepada proses penempatan bagaimana sebaiknya
laki-laki dan perempuan bertindak dan berperan sesuai dengan tata nilai dan
struktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Seperti yang
27

Eep Saefullah Fattah, Perspektif, Gatra no.13, Februari 2009.

63

Universitas Sumatera Utara


dikatakan Bapak Henri Dunand Sinaga S.P bahwa ‘antara laki-laki maupun
perempuan memiliki hak yang sama dalam membahas masalah ataupun isu dari
masyarakat pun juga sama hal nya soal penyusunan program tidak ada dibatasi
hak bersuara perempuan disini. Ketika rapat juga semua bebas mengelurakan
pendapat tanpa adanya pembedaan antara laki-laki dan perempuan. 28
Memperjuangkan keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan
merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan dalam pengambilan keputusan. Kesetaraan kesempatan dalam
pengambilan keputusan akan mewujudkan persamaan peran dan posisi antara lakilaki dan perempuan dalam kuasa pengambilan keputusan sehingga kepentingan
perempuan dapat diperjuangkan. Pengalaman, kepentingan, dan daya tanggung
perempuan dan laki-laki seharusnya menjadi pertimbangan dalam perumusan
kebijakan dan pengambilan keputusan, sehingga semua kebijakan public
memberikan manfaat yang sama adilnya bagi perempuan dan laki-laki.
Perjuangan mewujudkan keterwakilan perempuan di parlemen adalah salah satu
strategi mewujudkan kesetaraan gender di bidang politik, terutama dalam hal
pengambilan keputusan. Tujuan akhir dari perjuangan mewujudkan kesetaraan
gender dalam politik melalui peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen
adalah mencapai keadilan bagi perempuan dan laki-laki (keadilan gender) di
segala aspek kehidupan. Kaum perempuan harus tahu bahwa dalam Undangundang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2
28

Hasil wawancara dengan bapak Henri Dunand Sinaga S.P, pada hari Rabu tanggal 18 Januari 2017 pukul
11.00

64

Universitas Sumatera Utara

tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol), kuota keterlibatan perempuan dalam
dunia politik adalah sebesar 30 %, terutama untuk duduk di dalam parlemen. Pasal
8 Butir d UU No. 10 tahun 2008, disebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30%
keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah
satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Dan Pasal 53 UU
mengatakan bahwa daftar bakal calon peserta pemilu juga harus memuat paling
sedikit 30 % keterwakilan perempuan. Ada yang pro dan kontra mengenai
keterwakilan perempuan di parlemen, seperti yang di ungkapkan oleh Ibu Nurlela
Sikumbang,SH
“dalam UU telah diatur tentang keterwakilan perempuan 30 % di parlemen,
memang ada sedikit masalah dan perdebatan dengan kuota perempuan 30 % tapi
kita harus bersyukur karena ini sudah menjadi pintu untuk kita perempuan
berpartisipasi, kalau tidak maka lelaki akan mendominasi.” 29

Undang-Undang tentang keterwakilan 30% perempuan di parlemen telah
membuka ruang demokrasi bagi perempuan untuk dapat lebih lagi masuk dalam
sistem politik dan untuk memperjuangkan kepentingan perempuan di parlemen,
namun banyak juga yang kurang begitu sepakat dengan kuota 30 % perempuan di
parlemen dikarenakan secara tersirat membatasi jumlah perempuan di parlemen
seperti yang dikatakan Hj. Rini Silalahi, S.Si
menurut saya ada kekeliruan dalam UU keterwakilan perempuan, dari redaksi 30
persen tersirat bahwa perempuan di batasi dalam parlemen, sebenarnya tidak
29

Hasil wawancara dengan Ibu Nurlela Sikumbang, SH, pada hari Senin tanggal 1 Mei 2017 pukul 10.00

65

Universitas Sumatera Utara

usah ada redaksi begitu sehingga tidak di batasi, asalkan mereka mampu dalam
melakukan fungsi sebagai wakil rakyat. Lebih dari itu bisa, dan perempuan dari
dulu sudah melakukan dan terlibat dalam perjuangan bersama rakyat.” 30
Lahirnya kuota perempuan melalui undang-undang tersebut sebenarnya

menjadi berita baik bagi kaum perempuan. Secara tekstual,undang-undang
tersebut memang baru mengakui adanya kebutuhan untuk melibatkan perempuan
dalam partai politik sebagai upaya agar perempuan dapat memperoleh akses yang
lebih luas dalam pengambilan keputusan. Pesan semacam itu tidak terdapat dalam
regulasi sebelumnya, yakni Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum. Apabila dicermati secara lebih mendalam, terutama dalam
undang-undang partai politik, kebijakan kuota perempuan ini sebenarnya sangat
lemah. Hal itu tercermin dari tidak adanya penekanan secara eksplisit tentang
keterlibatan perempuan dalam mengambil keputusan partai. Maka dari itu tidak
ada jaminan bahwa penyertaan 30% perempuan di dalam keanggotaan partai
politik akan secara otomatis mengubah paradigma partai untuk berpihak kepada
perempuan.

Ketidaktegasan

aturan

dalam

undang-undang


tersebut

juga

menyebabkan angka 30% menjadi angka yang meragukan untuk dapat terwujud.
Seperti yang dikatakan oleh bapak Zainal Purba selaku Ketua DPP Partai PAN
Kota Pematang Siantar
“Faktanya ditemukan di lapangan bahwa untuk mengisi kuota 30%
perempuan sangat sulit untuk menemukan calon legislatif perempuan yang mau

30

Hasil wawancara dengan Ibu Hj.Rini Silalahi, S.Si pada hari kamis 4 Mei 2017 Pukul 14.15

66

Universitas Sumatera Utara

dan berkompeten dalam hal berpolitik, karena pendidikan politik perempuan

disini masih sangat rendah

juga untuk mengisi kuota 30% itu

harus

diberlakukan sistem undangan yang dimana dalam hal ini walaupun bukan kader
partai tetap diberikan kartu anggota supaya bisa mencalonkan dan partai mampu
memenuhi kuota 30% yang telah ditetapkan”. 31
Pemberian kuota sama halnya dengan pemberian batasan atas perempuan
itu sendiri, karena hanya dilihat dari segi kuantitas. Padahal semestinya juga harus
melihat aspek kualitas, dalam hal ini bagaimana posisi dan peran perempuan itu
didalam sistem nantinya. Perwakilan perempuan di legislatif diharapkan dapat
mengartikulasikan kebutuhan kaumnya dalam setiap proses politik yang
menghasilkan kebijakan untuk kepentingan perempuan. Ada beberapa hal yang
membuat pemenuhan kuota 30% bagi keterwakilan perempuan dalam politik
dianggap sebagai sesuatu yang penting. Beberapa di antaranya adalah
tanggungjawab dan kepekaan akan isu-isu kebijakan publik, terutama yang terkait
dengan perempuan dan anak, lingkungan sosial, moral yang baik, kemampuan
perempuan melakukan pekerjaan multitasking, dan pengelolaan waktu. Dan juga

fakta di lapangan bahwa anggota dewan perempuan merupakan pemimpin dalam
kelompok-kelompok sosial dan dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti di
posyandu, kelompok pemberdayaan perempuan, komite sekolah, dan kelompokkelompok keagamaan. Seperti yang diutarakan ibu Nurlela Sikumbang,SH

31

Hasil wawancara dengan bapak Zainal Purba pada hari Senin 8 Mei 2017 Pukul 13.20

67

Universitas Sumatera Utara

“Di wilayah konstituen saya, saya sering menggelar program
pemberdayaan perempuan dalam hal ekonomi dimana saya mengadakan
pelatihan bagi para ibu-ibu di daerah saya, selain itu di bidang agama saya boleh
dikatakan sebagai penasihat ibu-ibu pengajian dan baru saja kami mengadakan
program yang kami adakan di gedung MUI Pematang siantar” 32
Adanya kebebasan berpolitik bagi kaum perempuan atau lahirnya politik
perempuan ternyata juga dianggap sebagai salah satu faktor atau indikator dari
kemajuan suatu negara. Suatu negara dianggap belum maju atau masih tertinggal
apabila belum memberikan kebebasan atau kesempatan yang setara antara lakilaki dan perempuan dalam ranah politik. Sebab kesetaraan adalah salah satu aspek
dari penegakan Hak Azasi Manusia yang merupakan ciri dari negara demokrasi.
DPRD Kota Pematang Siantar pada pemilu legislatif 2014 terpilih 7 orang
anggota legislatif perempuan, sehingga belum mencapai kuota 30 % yang
disediakan, seperti yang diungkapkan Boy Parady Purba S.sos.I :
“Jika melihat kuota belum tercapai disini, seharusnya sekitar 10 orang tapi disini
hanya 7 orang, tapi dari segi peran, kualitas mereka, serta fungsi, mereka itu
menyeimbangkan semua, antar tugas dirumah dan di DPRD, secara kuantitatif
belum, tapi secara kualitas saya tidak meragukan, saya berharap akan bertambah
lagi perempuan di DPRD pada periode berikutnya.” 33
Hal senada juga di katakana Oleh Bapak Henry Dunand Sinaga S.P

32
33

Hasil wawancara dengan ibu Nurlela Sikumbang,SH pada hari Senin 1 Mei 2017 Pukul 10.20
Wawancara dengan bapak Boy Parady Purba S.sos.I pada hari selasa 2 Mei 2017 pukul 11.45

68

Universitas Sumatera Utara

“Perempuan lebih banyak dan lebih cepat menampung aspirasi, dan mereka
bertujuh disini sudah terlatih, mereka sangat memperhatikan isu dan sensitif
melihat aspirasi diluar yang ditujukan ke DPRD, Antara laki-laki maupun
perempuan memiliki hak yang sama dalam membahas masalah ataupun isu dari
masyarakat pun juga sama hal nya soal penyusunan program tidak ada dibatasi hak
bersuara perempuan disini. Ketika rapat juga semua bebas mengeluarkan pendapat
tanpa adanya pembedaan antara laki-laki dan perempuan” 34

Dari pernyataan kedua narasumber diatas penulis menyimpulkan bahwa
secara kuantitas jumlah kuota 30 % keterwakilan perempuan di DPRD Kota
Pematang Siantar belum terpenuhi, namun secara kualitas ke tujuh anggota
legislatif perempuan tersebut telah menunjukan kapasitas mereka sebagai wakil
perempuan di DPRD yang berupaya untuk selalu memperjuangkan kepentingan
rakyat, khususnya perempuan. Perempuan Kota Pematang Siantar bisa semakin
meningkatkan peran sosial secara kuantitatif maupun kualitatif di berbagai bidang
ruang publik. Karena itu perempuan harus diletakkan sebagai subyek
pembangunan yang memiliki akses, kontrol, dan manfaat dari berbagai kebijakan
publik .
Adapun tugas yang dijalankan perempuan sebagai anggota dewan adalah:
1. Mengembangkan jaringan lintas fraksi antara perempuan di parlemen guna
memperkuat basis
dalam memperjuangkan kepentingan perempuan.
2. Mempertegas pasal tentang kuota perempuan
34

Wawancara dengan bapak Henry Dunand Sinaga S.P pada hari senin 1 Mei 2017 Pukul 09.15

69

Universitas Sumatera Utara

3. Memperjuangkan Undang-undang (perda) yang menjamin peran perempuan
diranah public
dan perlindungan kepada perempuan.
Berbicara kepentingan perempuan dalam proses legislasi setidaknya
menyangkut dua hal. Pertama, adanya produk legislasi yang memperhatikan
kepentingan kaum perempuan termasuk di dalamnya perempuan dan anak. Kedua,
partisipasi perempuan dalam proses legislasi. Keduanya saling berkaitan dan
mempengaruhi satu sama lain.
Ada beberapa faktor yang melatar belakangi sehingga kuota 30 % belum
diupayakan secara maksimal oleh perempuan, antara lain :
1. Perempuan menjalankkan dua peran sekaligus, yaitu peran reproduktif
serta peran produktif,di dalam maupun diluar rumah. Peran produktif,
perempuan berusaha membantu dalam hal

pendapatan keluarga.

Sedangkan peran reproduktif yaitu peran perempuan sebagai nyonya
rumah (home maker) yang bertanggung jawab atas kegiatan reproduktif
dan pekerjaan domesitik. Adanya peran ganda tersebut, membatasi waktu
pilihan-pilihan perempuan untuk berpartisipasi dalam politik.
2. Adanya hambatan budaya yang terkait dengan pembagian kerja secara
seksual dan pola interaksi perempuan dengan laki-laki yang membatasi
gerak perempuan. Kaum lelaki masih dominan dalam kepengurusan dan
kekuasaan di dalam partai politik. Seperti diungkapkan oleh Ibu
Hotmaulina Malau :

70

Universitas Sumatera Utara

“ Perempuan saat ini harus pandai dalam melihat situasi apalagi di era
emansipasi wanita saat ini, perempuan mesti jeli melihat setiap
kesempatan. Walaupun hambatan terbesar bagi perempuan adalah
budaya yang menjadi penghalang terbesar dalam keterlibatan perempuan,
yang mana didominasi oleh lelaki”. 35
Mayoritas masyarakat kita, masih didominasi oleh cara pandang dan sikap
yang cenderung melihat serta memperlakukan kaum perempuan sebagai
pelengkap kaum laki-laki. Persepsi semacam ini, tidak jarang pada akhirnya
melihat dan menempatkan kaum perempuan sebagai pelengkap laki-laki bahkan
dalam tingkat tertentu hanya dilihat sebagai objek semata. Secara cultural dimana
sudut pandang patrinial (laki-laki dilihat lebih superior) menjadi acuan utama
dalam melihat dan menempatkan perempuan, telah menyebabkan peranan
perempuan selalu dikonotasikan dengan hal-hal yang bersifat pelengkap kaum
lakilaki, bukan sebagai mitra yang mempunyai kedudukan sejajar sehingga berhak
mendapatkan peluang yang sama diberbagai bidang sendi kehidupan. Hambatan
kultural merupakan hambatan yang cukup fundamental karena kultur/budaya akan
membentuk persepsi dan persepsi pada akhirnya akan bermuara pada pola
perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Untuk dapat terlibat dalam segala aspek
kegiatan politik bagi perempuan tidaklah mudah. Kondisi perempuan Indonesia
yang dicapai sekarang ini terbentuk oleh adanya kendala yang menghambat
partisipasi politiknya. Kendala pokok yang sering sekali dipergunakan sebagai

35

Wawancara dengan Ibu Hotmaulina Malau pada hari selasa 2 Mei 2017 Pukul 14.00

71

Universitas Sumatera Utara

alasan lemahnya partisipasi politik perempuan, keengganan besar perempuan
untuk terlibat dalam kegiatan politik. Keengganan ini dikarenakan budaya mereka
yang belum memungkinkan bisa aktif menyuarakan dan menyampaikan keinginan
serta aspirasinya di bidang politik.
3.1.1 Peran Politik Anggota Legislatif Perempuan dalam menjalankan
fungsi Legislasi
Legislasi daerah adalah instumen perencanaan program di daerah. Proses
penyusunan memiliki dua jalur. Pertama, melalui Inisiatif Eksekutif dimana
sebuah rancangan masuk ke dewan dari legislatif yang kemudian dibahas di rapat
dewan untuk dianalisis apakah layak untuk dibawa ke Panitia Khusus. Dari pansus
ini jika sudah dianalisis, diuji, dan disepakati maka akan diajukan ke tim dimana
tim ini terdiri atas eksekutif dan legislatif. Kedua, melalui Inisiatif dari DPRD,
dari sini sebenarnya bisa dilihat bahwa kewenangan penyusunan legislasi di
daerah dapat dilakukan oleh dewan.
Berdasarkan hasil wawancara saya dengan anggota legislatif perempuan
Ibu Hj.Rini Silalahi S.Si dari Fraksi Golkar mengatakan “Sampai pada saat ini
belum ada langkah dari anggota legislatif perempuan secara kelembagaan untuk
merespon kepentingan perempuan, hal ini disebabkan kurang vokalnya
sebahagian anggota DPRD perempuan untuk bersuara dan kurang mengerti akan
kewajibannya sebagai wakil rakyat yang harus bisa merepresentasikan

72

Universitas Sumatera Utara

kepentingan konstituennya” 36. Hal ini tentunya sangat disayangkan mengingat
anggota legislatif perempuan di Kota Pematangsiantar banyak yang menempati
posisi strategis di komisi maupun di fraksi, seharusnya hal ini harus diberdayakan
sebagai sumber kekuatan mereka dalam memperjuangkan kepentingan perempuan
di kota Pematangsiantar.
Jika dikaji lebih jauh, masih kurangnya rasa tanggung jawab anggota
legislatif perempuan ini dalam merespon kepentingan perempuan. Dapat dilihat
pada masa kerja anggota dewan DPRD Pematangsiantar yang telah berjalan
kuranglebih selama 3 tahun belum ada produk legislasi yang berhasil dibuat yang
khusus menangani perempuan. Seperti dalam menjalankan fungsi legislasi
membuat tentang perlindungan perempuan,serta memperjuangkan anggaran yang
pantas untuk memenuhi kepentingan perempuan yang memang dalam
kenyataanya perempuan lebih membutuhkan biaya yang lebih besar daripada
perempuan.Inilah yang harus nya menjadi agenda kerja mereka dalam
merepresentasikan kepentingan-kepentingan perempuan saat ini.
3.1.2 Peran Politik Anggota Legislatif Perempuan dalam menjalankan
fungsi Budgeting
Pengalokasian anggaran yang berpihak pada orang miskin dan perempuan
menjadi kegiatan yang selalu diadvokasi oleh masyarakat sipil baik ditingkat
nasional maupun daerah. Sejauh mana pemerintah komitmen dalam pemenuhan
36

Hasil wawancara dengan Ibu Hj.Rini Silalahi, S.Si pada hari kamis 4 Mei 2017 Pukul 14.30

73

Universitas Sumatera Utara

hak-hak dasar warga negaranya maka akan dilihat dari wajah anggarannya.
Minimnya akses layanan kesehatan memberatkan perempuan. Dewasa ini kondisi
kesehatan perempuan semakin menurun karena layanan kesehatannya tidak baik.
Upaya untuk mewujudkan Anggaran Responsif Gender (ARG), masih banyak
menemui kendala. Salah satunya adalah masih minimnya pemahaman
Pengarusutamaan Gender (PUG) di kalangan penentu kebijakan di tingkat lokal
(eksekutif/ legislative). Hal ini disebabkan karena dalam proses penyusunan
APBD masih sering muncul usulan titipan yang bermuatan politis. Seperti yang
diutarakan oleh ibu Nurlela Sikumbang SH “Peranan keterwakilan perempuan di
legislatif masih sangat lemah, sehingga tidak semua fraksi yang menempatkan
perempuan dalam posisi yang strategis,seperti menempatkan perempuan dalam
badan anggaran sehingga apabila perempuan menjabat posisi yang strategis
otomatis akan memperjuangkan anggaran untuk kepentingan perempuan” 37
3.1.3

Peran

Politik

Anggota

Legislatif

Perempuan

Dalam

Menjalankan Fungsi Pengawasan
Dalam menjalankan fungsi pengawasan pada dasarnya anggota dewan
laki-laki dan perempuan saling bersinergi dan bekerjasama. Menjalankan fungsi
pengawasan tentunya terlebih dahulu melahirkan peraturan perundang-undangan
yang dijadikan sebagai bahan acuan dalam melakukan pengawasan terhadap
pemerintah dalam menjalankan tugasnya.

37

Hasil wawancara dengan ibu Nurlela Sikumbang,SH pada hari Senin 1 Mei 2017 Pukul 10.30

74

Universitas Sumatera Utara

Ibu Hotmaulina Malau mengatakan “Dalam menjalankan fungsi
pengawasan sejauh ini kami anggota dewan perempuan melakukan jajak dengar
pendapat dengan masyarakat, ikut turun langsung ke lapangan dan melakukan
pengawasan ke setiap SKPD yang berkaitan dengan perempuan seperti Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana” 38
Dari pengamatan peneliti sejauh ini kinerja lembaga legislatif perempuan
dalam menjalankan fungsi pengawasan belum maksimal. Hal ini disebabkan
karena masih banyak anggaran yang kurang tepat sasaran.
Lahirnya UU KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)membuktikan
bahwa sering sekali terjadi kekerasan terhadap perempuan yang disebabkan
karena cara pandang kaum pria terhadap perempuan. Begitu pula dalam kasus
hubungan suami-istri, kaum perempuan cenderung diperlakukan tidak sejajar dan
dalam posisi bargaining yang lemah sehingga dominasi dan ego kaum laki laki
seolah-olah mendapatkan tempat yang lebih baik. Pencerahan politik kepada
kaum perempuan ini masih sangat jarang. Aspek-aspek historis yang menuturkan
peran perempuan dalam kehidupan politik seharusnya diangkat agar ruang politik
jangan dikesankan maskulin sehingga membuat kaum perempuan phobia,
menekankan pentingnya peningkatan kapasitas dan kompetensi kaum perempuan
agar bisa semakin melebarkan peran-peran sosial di dalam ruang publik.
Keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam dunia politik dan
kebijakan publik merupakan suatu keharusan, sebab akses, kontrol, dan partisipasi
38

Wawancara dengan Ibu Hotmaulina Malau pada hari selasa 2 Mei 2017 Pukul 14.10

75

Universitas Sumatera Utara

politik perempuan dalam berbagai tingkatan pembuatan dan pengambilan
keputusan merupakan hak asasi manusia. Tidak dapat dipungkiri perempuan
secara demografis merupakan mayoritas, namun secara politis mereka menempati
posisi minoritas. Di Kota Pematang Siantar kualitas perempuan sudah dapat
dikatakan baik diliat dari potensi, tingkat pendidikan dan strata hidup. Namun
untuk terlibat dalam politik minat perempuan Kota Pematang Siantar masih
terbilang sedikit, mereka lebih nyaman hanya menjadi partisipasi aktif politik
dalam memilih, ketimbang harus dipilih, dan perempuan Kota Pematang Siantar
banyak yang lebih memilih berada pada jajaran jabatan publik ketimbang jabatan
politik. seperti yang diungkapkan Hj Frida Damanik
“Perempuan Pematang Siantar sudah dapat dikatakan mampu dan
memiliki skill, pemerataan pendidikan perempuan merata semakin meningkat.
Perempuan sebenarnya sangat teliti dalam dan peka terhadap aspirasi.
Sayangnya mereka masih agak ragu-ragu terlibat dalam jabatan politik, mereka
lebih banyak yang suka pada tataran jabatan publik.” 39
Mayoritas masyarakat kita, masih didominasi oleh cara pandang dan sikap yang
cenderung melihat serta memperlakukan kaum perempuan sebagai pelengkap
kaum laki-laki. Persepsi semacam ini, tidak jarang pada akhirnya melihat dan
menempatkan kaum perempuan sebagai pelengkap laki-laki bahkan dalam tingkat
tertentu hanya dilihat sebagai objek semata. Hambatan kultural merupakan
hambatan yang cukup fundamental karena kultur/budaya akan membentuk

39

Wawancara dengan Ibu Hj.Frida Damanik pada hari selasa 2 Mei 11.00

76

Universitas Sumatera Utara

persepsi dan persepsi pada akhirnya akan bermuara pada pola perilaku dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban bersama untuk
meluruskan cara pandang budaya yang kurang tepat dalam memahami dan
memandang kaum perempuan sehingga kaum perempuan dapat memainkan peran
dan fungsinya lebih maksimal lagi.
Untuk dapat terlibat dalam segala aspek kegiatan politik bagi perempuan
tidaklah mudah. Kondisi perempuan Indonesia yang dicapai sekarang ini
terbentuk oleh adanya kendala yang menghambat partisipasi politiknya. Kendala
pokok yang sering sekali dipergunakan sebagai alasan lemahnya partisipasi politik
perempuan, keengganan besar perempuan untuk terlibat dalam kegiatan politik.
Keengganan ini dikarenakan budaya mereka yang belum memungkinkan bisa
aktif menyuarakan dan menyampaikan keinginan serta aspirasinya di bidang
politik. Hal senada juga diungkapkan oleh anggota DPRD Kota Pematang Siantar
Nazli Juwita Panei
”Perempuan Masih belum memiliki minat dan terlihat kurang nyaman
untuk duduk di politik, mungkin karena politik masih di dominasi oleh kaum lelaki
dan banyakanya persaingan pertarungan dan intrik. Saya sendiri mengapa mau
terlibat dikarenakan kalau saya terlibat maka saya akan bisa memperjuangkan
aspirasi masyarakat, kita lebih bisa efektif karena kita sudah masuk ke dalam
sistem pemerintahan” 40

40

Wawancara dengan Ibu Nazli Juwita Panei Pada Hari Kamis 4 Mei 2017 Pukul 11.00

77

Universitas Sumatera Utara

Lingkungan sosial budaya yang kurang mendukung pengembangan
potensi perempuan, antara lain wawasan orang tua, adat, penafsiran terhadap
ajaran agama yang tidak tepat, tingkat pendapatan keluarga, dan sistem
pendidikan yang diskriminatif. Masih lekatnya budaya tradisional dan kecilnya
akses wanita pada penguasaan faktor sosial ekonomi menyebabkan terbentuknya
image dalam diri perempuan bahwa memang sewajarnya mereka berada di
belakang pria. Kendala pokok lemahnya partisipasi politik perempuan antara lain
berada pada lingkungan social budaya yang kurang mendukung pengembangan
potensi perempuan. Selain itu dapat pula bersumber dari kebijaksanaan
pembangunan politik yang kurang memadai serta kurang berfungsinya partai
politik. Peningkatan partisipasi politik perempuan dapat diupayakan antara lain
dengan melalui pendidikan politik yang mampu menciptakan kemampuan dan
kesadaran perempuan akan hak dan kewajibannya di bidang politik.
Adanya hambatan legal bagi perempuan seperti larangan berpartisipasi
dalam politik tanpa seijin suami. Perempuan masih sering diposisikan sebagai
pihak yang harus bersikap “menerima” tanpa perlawanan (reserve) sehingga pada
akhirnya kaum perempuan lebih dilihat sebagai objek dari pada sebagai subjek
yang menjadi mitra kaum laki-laki. Kekerasaan rumah tangga yang sering
menempatkan perempuan pada posisi yang lemah, adalah sebuah contoh nyata
dimana

kaum

perempuan

tidak

mempunyai

kekuatan

untuk

melawan

ketidakadilan dan kesewenang-wenangan dari kaum laki-laki.

78

Universitas Sumatera Utara

Pencerahan politik kepada kaum perempuan ini masih sangat jarang.
Aspek-aspek historis yang menuturkan peran perempuan dalam kehidupan politik
seharusnya diangkat agar ruang politik jangan dikesankan maskulin sehingga
membuat kaum perempuan phobia, menekankan pentingnya peningkatan
kapasitas dan kompetensi kaum perempuan agar bisa semakin melebarkan peranperan sosial di dalam ruang publik.
Keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam dunia politik dan kebijakan
publik merupakan suatu keharusan, sebab akses, kontrol, dan partisipasi politik
perempuan dalam berbagai tingkatan pembuatan dan pengambilan keputusan
merupakan hak asasi manusia. Tidak dapat dipungkiri perempuan secara
demografis merupakan mayoritas, namun secara politis mereka menempati posisi
minoritas. Di Kota Pematang Siantar kualitas perempuan sudah dapat dikatakan
baik diliat dari potensi, tingkat pendidikan dan strata hidup. Namun untuk terlibat
dalam politik minat perempuan Kota Pematang Siantar masih terbilang sedikit,
mereka lebih nyaman hanya menjadi partisipasi aktif politik dalam memilih,
ketimbang harus dipilih, dan perempuan Kota Pematang Siantar banyak yang
lebih memilih berada pada jajaran jabatan publik ketimbang jabatan politik.
seperti yang diungkapkan Yesika Sidabalok,SH
“Perempuan di Kota Pematangsiantar sudah dapat dikatakan mampu dan
memiliki skill, pemerataan pendidikan perempuan merata semakin meningkat.
Perempuan sebenarnya sangat teliti dalam dan peka terhadap aspirasi.

79

Universitas Sumatera Utara

Sayangnya mereka masih agak ragu-ragu terlibat dalam jabatan politik, mereka
lebih banyak yang suka pada tataran jabatan publik.” 41
Terkait peran anggota legislatif perempuan dalam merespon kepentingan
perempuan di Kota Pematang Siantar, Kepentingan perempuan dapat dibedakan
menjadi kepentingan gender “strategis” dan kepentingan gender “praktis”.
Kepentingan gender strategis lahir dari analisis subordinasi perempuan dalam
masyarakat yang mendorong keinginan untuk mewujudkan tatanan sosial yang
lebih adil gender. Contoh kepentingan gender strategis adalah penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga, pemberian kesempatan bagi perempuan di bidang
politik, tuntutan-tuntutan tersebut identik dengan feminisme. Sementara itu,
kepentingan gender praktis berangkat dari kondisikondisi konkret yang dialami
perempuan sehari-hari. Kepentingan gender praktis tidak mempersoalkan
konstruksi gender yang tidak adil, melainkan bersumber dari kesulitan-kesulitan
yang dihadapi perempuan dalam menjalankan fungsi-fungsi mereka sebagai
perempuan, seperti masalah pemeliharaan anak, perawatan kesehatan, kebutuhan
sanitasi lingkungan, air bersih dan pemenuhan kebutuhan pangan.
Dari penelitian penulis, pada tahun 2016 telah ditemukan 64 kasus yang
melibatkan perempuan namun hingga saat ini belum ada peraturan legislasi yang
dikeluarkan oleh anggota legislatif kota Pematangsiantar yang khusus untuk
memenuhi kebutuhan perempuan, organisasi anggota dewan perempuan atau
KAUKUS juga belum ada dibentuk di legislatif kota Pematangsiantar, hal ini

41

Wawancara dengan Ibu Yesika Sidabalok, SH pada hari Rabu 3 Mei 2017 pukul 15.00

80

Universitas Sumatera Utara

disebabkan oleh masih belum mengertinya sebahagian anggota legislatif
mengenai tugas mereka sebagai wakil perempuan yang duduk sebagai dewan.
Mereka sampai saat ini juga belum pernah menaikkan wacana tentang pembuatan
program khusus untuk perempuan. Seperti yang dikatakan oleh ibu Asrida
Sitohang Amd
“di dalam DPRD kota Pematang Siantar tidak ada program khusus yang
diperuntukkan

khusus untuk menanggapi kepentingan perempuan, dan juga para

anggota legislatif perempuan hingga saat ini belum ada membentuk organisasi kaukus
perempuan yang bertujuan khusus untuk merespon kepentingan perempuan di Pematang
Siantar” 42

Dalam hal ini memang tidak terlepas dari keberadaan laki-laki yang secara
luas

mendominasi

arena

politik,

laki-laki

sangat

dominan

dalam

memformulasikan aturan-aturan permainan politik; dan laki-laki lah yang sering
mendefinisikan standar untuk evaluasi.
Sebagai anggota legislatif perempuan, sudah seharusnya mereka selalu
memperdalam khasanah berpikir tentang politik, hal ini agar mereka dapat
menunjukkan kualitas mereka dan mereka sebagai perempuan tidak disepelekan.
Permasalahan nya bukan lah mengenai jumlah atau kuanttitas akan tetapi lebih
kepada kualitas personal anggota legislatif perempuan dalam menyampaikan
usulan menjadi faktor penting yang menentukan apakah anggota laki-laki akan
mendukung usulan anggota legislatif perempuan atau tidak, karena respon

42

Wawancara dengan ibu Asrida Sitohang Amd Pada hari Rabu 18 Januari 2017 Pukul 11.30

81

Universitas Sumatera Utara

anggota legislatif laki-laki sangat tergantung kepada kualitas bagaimana anggota
perempuan dalam menyampaikan argumen.
Sampai saat ini isu perempuan belum mendapatkan perhatian dari anggota DPRD
kota Pematangsiantar. Hal ini dapat dilihat dari belum adanya produk legislasi
yang dikeluarkan khusus menanggapi dan mengatur kepentingan perempuan,
maupun program dari DPRD yang khusus dibentuk untuk menanggapi
permasalahan perempuan yang ada di kota Pematangsiantar. Kedudukan
perempuan dalam ekonomi dan politik sangat strategis, sehingga diperlukan suatu
skema pelayanan khusus bagi perempuan, seperti kemudahan pendidikan,
kemudahan mengakses modal dan teknologi, semua itu semestinya dapat diatur
dengan Perda sesuai dengan kewenangan daerah. Penulis melihat tentang perlunya
Perda yang dapat mengakomodir kepentingan perempuan menunjukkan adanya
perhatian anggota legislatif laki-laki terhadap persolan perempuan merupakan
bukti kekritisan mereka dalam melihat persoalan perempuan, sebuah pandangan
yang semestinya disampaikan oleh anggota legislatif perempuan.
Peraturan Daerah Kota Pematangsiantar sampai saat ini belum ada yang
secara khusus mengatur tentang kepentingan perempuan, namun dalam
melandasinya, dasar hukum yang dipakai adalah Undang-Undang yang bersifat
universal secara keseluruhan yang dipakai di Indonesia. UU No 23 tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang pada
ayat (1) disebutkan : “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,

82

Universitas Sumatera Utara

psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.”
Media massa merupakan salah satu sarana bagi anggota legislatif
perempuan untuk menggalang kekuatan dalam memperjuangkan kepentingan
perempuan. Melalui media massa, anggota legislatif dapat berwacana untuk
membentuk opini publik. Media massa biasanya memanfaatkan peristiwaperistiwa tertentu yang berkaitan dengan persoalan perempuan ketika melakukan
peliputan dan wawancara. Momentum yang biasanya dimanfaatkan media massa
untuk melakukan peliputan dan wawancara adalah Hari Perempuan, Hari Ibu,
Hari Kartini, saat ada audiensi di DPRD yang membawa persoalan-persoalan
perempuan, saat komisi terkait terjun ke lapangan kemudian menemukan kasus,
atau pada saat penyusunan anggaran untuk dinas-dinas pemerintah.
Selain memperjuangkan kepentingan perempuan dalam proses legislasi,
serta memanfaatkan media massa , anggota legislatif perempuan juga seharusnya
membuka diri dan bekerjasama dengan masyarakat, terutamanya organisasi
perempuan

maupun

lembaga

pemerintahan

yang

bergerak

di

bidang

pemberdayaan perempuan. Seperti yang dikatakan oleh Ibu Asrida Sitohang Amd
“Keterkaitan antara lembaga DPRD dengan lembaga pemberdayaan
perempuan kota pematangsiantar belum lah terjalin dengan baik, kami di DPRD

83

Universitas Sumatera Utara

tidak ada menyimpan data-data mengenai permasalahan perempuan , data-data
tersebut dapat ditemukan di kantor BP2KB” 43
Memang pada prakteknya di lapangan anggota DPRD perempuan kota
pematangsiantar tidak bersinergi dengan Badan Pemberdayaan Perempuan dan
Keluarga Berencana (BP2KB) Kota Pematangsiantar guna melakukan konsultasi
untuk membahas masalah perempuan yang ada di kota ini. Seperti yang dikatakan
oleh Ibu Juita Tarigan selaku bagian pemberdayaan di BP2KB kota
Pematangsiantar
“Sejauh ini belum pernah kami melakukan kerjasama dengan DPRD kota
Pematangsiantar, kami melakukan tugas kami sesuai arahan dari pemerintah
kota, dan biasanya ketika kami menjalankan program para anggota dewan
perempuan hanya datang sebagai tamu undangan yang di undang melalui
Pemko” 44
Seharusnya kerjasama antara anggota legislatif perempuan dengan
Lembaga pemberdayaan perempuan sudah seharusnya dilaksanakan, agar tupoksi
dari anggota dewan perempuan dalam memberdayakan perempuan dapat berjalan
dengan optimal. Dengan demikian BP2KB ataupun organisasi perempuan di kota
Pematangsiantar dapat menitipkan isu untuk diperjuangkan di lembaga legislatif.
Ada empat indikator yang penulis digunakan untuk menilai apakah keterlibatan
perempuan di parlemen berdampak positif atau berpihak pada kepentingan
perempuan atau tidak, yaitu:
43
44

Wawancara dengan Ibu Asrida Sitohang Amd pada hari selasa 2 Mei 2017 Pukul 12.00
Wawancara dengan Ibu Juita tarigan pada hari Kamis 19 Januari 2017 pukul 10.00

84

Universitas Sumatera Utara

1. Perubahan institusional/prosedural yang menghasilkan peraturan-peraturan
yang lebih ramah terhadap perempuan,
2. Perubahan representasi, termasuk tindakan di parlemen yang dirancang
untuk menempatkan perempuan dalam posisi penting di parlemen
3. Perubahan terhadap keluaran (output), yaitu apakah lahir Undang-Undang
atau regulasi yang mengakomodir keinginan perempuan(gender sensitive)
4. Perubahan wacana, sehingga menjadikan berpolitik sebagai sikap yang
wajar dan membuat akses yang lebih besar bagi media dan publik kepada
parlemen.
Dari hasil penelitian, peran anggota legislatif perempuan di kota
pematangsiantar secara keseluruhan masih lah minim, hal ini dapat dilihat dari
belum adanya kebijakan ataupun program yang dimiliki khusus untuk
mengakomodir kepentingan perempuan, selain itu juga belum terbentuknya
KAUKUS perempuan di lembaga ini menjadi bahan penilaian bahwasanya
anggota legislatif perempuan belum menjadikan kaum perempuan sebagai fokus
kebijakan mereka, selama ini mereka belum pernah menaikkan isu ataupun
wacana mengenai perempuan. Kepemimpinan perempuan di parlemen sebagai
pengambil kebijakan juga menjalankan fungsi legislasi,anggaran,dan monitoring
akan sangat berdampak dalam perkembangan perubahan bagi kemajuan
pembangunan khususnya bagi kaum perempuan.
Kerjasama dengan organisasi perempuan ataupun dengan lembaga
pemerintah seperti BP2KB sudah semestinya harus segera dilaksanakan, agar

85

Universitas Sumatera Utara

nantinya dapat mengakomodir kebutuhan khusus kaum perempuan di kota
Pematangsiantar, nantinya dengan di adakan kerjasama ini merupakan bentuk
keterbukaan diri dari para anggota dewan perempuan. Kerjasama ini juga
menunjukkan arti penting organisasi perempuan dan BP2KB di mata anggota
perempuan.

86

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Keterlibatan perempuan di kancah politik bukanlah sesuatu hal yang baru.
Dalam sejarah perjuangan kaum perempuan, partisipasi perempuan dalam
pembangunan telah banyak kemajuan dicapai terutama di bidang pendidikan,
ekonomi, lembaga kenegaraan dan pemerintahan. Partisipasi perempuan dibidang
politik pada masa reformasi kini mengalami perluasan peran menjadi anggota
parlemen.Pada prinsipnya perempuan di Indonesia secara hukum mempunyai hak,
kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk berkiprah dibidang
politik. Tetapi karena alasan nilai kultural yang berkembang di masyarakat dan
kendala struktural sehingga hanya sedikit sekali jumlah perempuan yang tampil di
panggung politik. Sehingga dalam merepresentasikan kepentingan-kepentingan
perempuan pun lemah untuk di perjuangkan.
Mengingat kualitas perempuan secara Intelengesia dan potensi lainnya
yang pada dasarnya sama dengan laki-laki, diharapkan dimasa mendatang, jumlah
perempuan yang memasuki panggung politik dan menduduki posisi yang strategis
di lembaga legislatif semakin meningkat demi tercapainya keadilan gender yang
selama ini selalu menjadikan perempuan lemah. Dengan adanya keterwakilan
perempuan di Parlemen diharapkan berbagai aspirasi yang berkaitan tentang
masalah-masalah perempuan bisa “terinstitusionalisasikan” melalui berbagai
produk politik yang dibuat. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008

87

Universitas Sumatera Utara

tentang Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pasal 53 mengamanatkan agar
partai politik memuat (keterwakilan) paling sedikit 30% perempuan dalam daftar
calon legislatifnya. Kebijakan kuota perempuan paling sedikit 30% dalam daftar
calon legislatif juga diperkuat dengan kebijakan pemerintah melalui UndangUndang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik.Keterwakilan perempuan
dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat (DPR/DPRD), bukan tanpa
alasan yang mendasar.
Keterwakilan perempuan di legislatif merupakan suatu keharusan yang
dipergunakan untuk memperjuangkan kepentingan perempuan dalam arena
legislasi, dengan adanya mereka diharapkan kepentingan perempuan dapat
terwakili. Partisipasi perempuan yang terlibat seharusnya bukan untuk pemenuhan
kuota belaka, namun lebih dari itu mereka semestinya menunjukkan kemampuan
dirinya sebagai penyalur aspirasi masyarakat. Penulis menyimpulkan :
1. Secara Kuantitas jumlah kuota 30% keterwakilan perempuan di
DPRD Pematangsiantar belum terpenuhi,pada pemilihan legislatif
tahun 2014 hanya terpilih 7 (tujuh) orang wakil perempuan.
Namun demikian tidak seluruhnya anggota DPRD Perempuan
Kota Pematangsiantar menunjukkan peranannya dalam merespon
kepentingan perempuan di kota Pematangsiantar. Wakil-wakil
perempuan di DPRD ini semestinya turut memperjuangkan
kepentingan perempuan dalam proses legislasi.

88

Universitas Sumatera Utara

2. Hubungan antara DPRD dengan lembaga perempuan lainnya
seperti BP2KB belum memiliki sinergitas untuk melakukan
kerjasama

untuk

melakukan

program-program

kerja

yang

berorientasi kepada perlindungan dan pemberdayaan perempuan di
kota Pematangsiantar.

B. Saran
Setelah melakukan penelitian kurang lebih selama dua bulan dan dengan berbagai
temuan di lapangan, maka penulis memberikan beberapa saran terkait dengan
peran anggota DPRD Perempuan dalam merespon kepentingan perempuan di kota
Pematangsiantar, antara lain :
1. DPRD Kota Pematangsiantar hendaknya melahirkan suatu regulasi dalam
bentuk perda yang khusus untuk melindungi dan mengakomodasi
kepentingan perempuan di kota Pematangsiantar.
2. Memberikan pemahaman khusus kepada setiap anggota legislatif
perempuan sebagai representatif masyarakat, agar lebih paham mengenai
fungsi nya dalam melindungi dan menanggapi kepentingan perempuan.
3. KAUKUS Perempuan sudah sepatutnya dibentuk di lembaga DPRD Kota
Pematangsiantar,

sebagai

wadah

yang

khusus

dalam

merespon

kepentingan perempuan.
4. Ketegasan semua unsure atau lembaga dalam menetapkan undang-undang
terkait dengan politik perempuan, khususnya komisi pemilihan umum dan

89

Universitas Sumatera Utara

partai politik. Partai Politik seharusnya memberikan kebebasan terhadap
perempuan demi mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Komisi Pemilihan Umum juga dituntut untuk tegas dalam menerapkan
aturan, dimana jika ada ditemukan partai politik yang tidak memenuhi
aturan, maka tidak diberi izin untuk menjadi peserta pemilu.

90

Universitas Sumatera Utara