Kinerja Lembaga Legislatif Perempuan Dalam Merespon Kepentingan Perempuan (Studi Kasus DPRD Provinsi Sumatera Utara 2009-2010)

(1)

“Kinerja Lembaga Legislatif Perempuan Dalam Merespon

Kepentingan Perempuan ”

(Studi Kasus DPRD Provinsi Sumatera Utara 2009-2010)

D

I

S

U

S

U

N

Oleh:

NAMA

: ASTI LATIFAH

NIM

: 070906008

DOSEN PEMBIMBING

: Drs. Tony P. Situmorang, M.Si

DOSEN PEMBACA

: Indra Fauzan, S.H.I, M.soc, Sc

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh: Nama : Asti Latifah

Nim : 070906008 Departemen : Ilmu Politik

Judul : Kinerja Lembaga Legislatif Perempuan Dalam Merespon Kepentingan Perempuan

(Studi Kasus DPRD Provinsi Sumatera Utara 2009-2010)

Menyetujui:

Ketua Departemen Ilmu Politik

(Dra. T. Irmayani, M.Si) NIP.196806301994032001

Dosen Pembimbing Dosen Pembaca

(Drs. Tony P. Situmorang, M.Si) (Indra Fauzan, S.H.I, M.Soc. Sc)

NIP.196210131987031004 NIP.198102182008121002

Menyetujui: Dekan FISIP USU

(Prof. Dr. Badaruddin, M.Si) NIP. 196805251992031002


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah diuji dan dipertahankan dihadapan panitia penguji skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara pada :

Hari : Tanggal : Pukul :

Tempat : Ruang Sidang FISIP USU

Tim Penguji

Ketua Penguji : Drs. Zakaria Thaher

NIP. (_____________________)

Dosen Penguji I : Drs. Tony P. Situmorang, M.Si NIP.196210131987031004 (_____________________)

Dosen Penguji II : Indra Fauzan, S.H.I, M.Soc. Sc NIP.198102182008121002


(4)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Kinerja Lembaga Legislatif Perempuan Dalam Merespon Kepentingan Perempuan (Studi Tentang Kinerja DPRD Provinsi Sumatera Utara 2009-2010). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan Kinerja Perempuan Dalam Menjalankan Fungsinya Sebagai Anggota Legislatif Yakni, Legislasi, Anggaran Dan Pengawasan Di DPRD Provinsi Sumatera Utara serta Meneliti Hambatan Yang Dialami Anggota Legislatif Perempuan Dalam Menjalankan Fungsinya Sebagai representasi kepentingan perempuan di Sumatera Utara. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diolah dari hasil pengamatan dan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi DPRD serta pihak-pihak yang terkait dengan pelaksaan fungsi legislatif perempuan untuk merespon kepentingan perempuan DPRD Provinsi Sumatera Utara. Sedangkan data Sekunder diperoleh dari dokumen lembaga DPRD Provinsi Sumatera Utara. Unit analisis dalam penelitian ini adalah DPRD Provinsi Sumatera Utara sebagai suatu lembaga organisasi, adapun Variabel dalam penelitian ini adalah hasil kerja yang dicapai oleh lembaga DPRD sesuai dengan fungsi dan tugasnya yang melaksanakan Akuntabilitas, Responsivitas Dan Efektivitas. Sedangkan yang menjadi variabel dependent adalah sejauh mana fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan dijalankan oleh anggota legislatif perempuan dalam merespon kepentingan perempuan di DPRD Provinsi Sumatera Utara. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kinerja anggota legislatif perempuan dalam merespon kepentingan perempuan di DPRD Provinsi Sumatera Utara tahun 2009-2010 masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari belum ada kinerja yang kinerja yang di hasilkan dalam menjalankan fungsi legislatif, anggaran dan pengawasan. Dalam setahun menjalankan kinerja anggota legislatif perempuan kurang berhasil menjalankan fungsinya. Dapat dilihat dari belum adanya Perda Inisiatif yang berhasil dibuat guna merespon kepentingan perempuan. Demikian dengan fungsi Anggaran dimiliki anggota Dewan belum berjalan sesuai apa yang diharapkan masyarakat. APBD masih belum berpihak pada perempuan yang tidak dapat dipungkiri bahwa perempuan lebih banyak membutuhkan biaya untuk bidang-bidang yang esensial. Seperti dalam bidang kesehatan dan untuk mengejar ketertinggalan perempuan yang selama ini terabaikan. Menjalankan fungsi pengawasan tentunya terlebih dahulu melahirkan peraturan perundangan-undangan yang dijadikan sebagai acuan dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Sehingga, karena Perda belum ada yang dihasilkan maka sejauh ini pengawasan yang dilakukan sejauh ini masih pengawasan terhadap SKPD yang berkaitan tentang Gender. Belum maksimalnya kinerja anggota legislatif perempuan juga tidak lepas dari tingkat pendidikan dan pengalaman di bidang politik. Sehingga dibutuhkan Sumber Daya Manusia yang memiliki potensi. Perlunya rekrutmen yang jelas dari partai politik juga sangat menentukan kualitas para calon Legislatif, yang berfungsi sebagai representasi rakyat.


(5)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Tiada daya dan upaya melainkan atas kehendak Allah SWT. Syukur terbaik hanyalah kepunyaan_Nya Penguasa atas segala yang ada di bumi dan dilangit. Puji terbesar hanyalah Milik_Nya, pemilik segala karunia yang melingkup segenap makhluk diseluruh alam semesta. Atas keridhoan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.

Skripsi yang berjudul Kinerja Lembaga Legislatif Perempuan Dalam Merespon Kepentingan Perempuan. Disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Sarjana di Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Di Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan skripsi ini melibatkan berbagai pihak. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya dan penghargaan yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan, baik moril maupun materil dalam bentuk dorongan semangat maupun sumbangan pemikiran, informasi, data dan lain-lain semoga Allah SWT membalas kebaikannya. Amin ya rabb…

Dalam menyusun Skripsi ini, penulis banyak memperoleh bantuan dan pengarahan serta motivasi. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terimaksih yang setulusnya kepada :

1. Bapak, Prof. Dr. Baddaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu, Dra. T. Irmayani, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.


(6)

3. Bapak, Drs. Tony P. Situmorang, MA selaku Dosen Wali Dan Dosen Pembimbing yang telah memberikan perhatiannya selama di perkuliahan dan juga sebagai Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan banyak saran selama Penulisan Skripsi ini.

4. Bapak, Indra Fauzan, S.H.I, M.Soc. Sc selaku Dosen Pembaca yang telah memberikan arahan dan petunjuk dalam penulisan Skripsi.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Sumatera Utara Terutama Jurusan Ilmu Politik yang telah memberikan bekal Ilmu yang tidak ternilai harganya selama masa kuliah.

6. Teristimewa untuk Papa Darmansyah, yang selalu mendoakan dan mendampingi penulis dengan penuh kasih sayang serta tiada hentinya buat memberi semangat dalam penyelesaian skripsi ini, terimakasih buat nasehat plus repetannya agar asty bisa menyelesaikan perkuliahan S1 ini, serta kelak menjadi anak yang bisa Papa banggakan. Insya Allah Asty udah sarjana Paa,…. Insya Allah Asty bisa menjadi anak yang Sukses seperti apa yang Papa harapkan. Ibunda Rosnimar dan mama Eriani terimakasih telah mendoakan dan mendampingi penulis serta tiada hentinya memberikan semangat dalam menyelesaikan Skripsi ini.

7. Buat Bapak Hadi Susanto, SE, terimakasih banyak atas bantuan baik bantuan materi yang selama ini di berikan buat asty, terimakasih pak buat jajan nya tiap bulan. Dan juga Bu’ Yulinda SE, M.Si terimaksih banyak atas kasih sayang dan perhatian yang selalu nanyain kapan Wisuda dan Itu bikin asty smangat dalam menyelesaikan Skripsi ini. Bapak N Ibu asty anggap orang tua asty sendiri. Winda ayo sayang ikut jejak kesuksesan


(7)

Mama N Bapak. Do’a in asty sukses ya Pak, Bu seperti Bapak N Ibu…….

8. Terimakasih untuk kakak qu Puspa Arianna, Amd atas dukungan dan doanya selama ini, kakak qu Elvianna ayo buruan wisuda raih Title Sarjana biar hilang satu lagi beban Papa dan anak Gadisnya pada punya nama tambahan dari yang telah di berikan waktu lahir. Hehehe. Buat adik-adik qu cwok smua ni, bg Ermansyah Putra, bg Najib Fahmi, bg Muhammad Arfan ayo buruan ikut jejak ka2k mu meraih gelar sarjana dan klo bisa anak cwok harus bisa lanjutin S2 untuk anak cwok minimal pendidikan terakhirnya S2 dunkzzzzz…. Chayo abg-abg ikut jejak ka2k mu, biar smua anak Papa punya title di belakang namanya. hehehehe 9. Terimakasih juga bwt sahabat-sahabat seperjuangan dan sekaligus yang

Asty anggap keluarga. Buat Osha, Disha, Nusha, Hendra, Dino Dan Irwan. Sukses slalu ya bwt qt, ntar suatu hari kita sukses slalu inget ya kenangan qt dulu slama mengeyam pendidikan S1. Buat sha Cs wujudkan truz cita yang kak disha pengen punya Pom bensin, Osha lanjut truz ya buat Butiknya, ntar sha2 Cs shoping baju t4 Osha, kak lu apa nich….. pengen jadi guru ngaji……?????

10.Buat bg Dana Permana, S.Sos trimakasih buat smangat dan selalu bilang “klo udah wisuda cakapnya udah di dengar orang”hingga Asty pengen cepet2 wisuda biar cakapnya di dengar ma orang…. 

11. Terimakasih banyak buat Ibu Meilizar Latif SE,MSi Anggota Dewan Legislatif DPRD, Prov SU Yang mw mengarahkan dan membimbing penulis yang dari awal bersedia memfasilitasi Asty dalam penulisan Skripsi ini.


(8)

12. Buat pak Analisman Zalukhu S.Sos, MSP yang selalu nyediain waktu N slalu Welcome buat Sharing-sharing tentang dunia politik.

13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran guna membantu penyelesaian skripsi ini. Serta semua pihak yang telah dan keluarga besar yang telah mendo’akan dan selalu memberi semangat.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Atas segala kekurangan dalam skripsi ini , Penulis Memohon Maaf . Terimakasih Wassalamua’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Medan, Februari 2011 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

ABSTRAK……….. v

DAFTAR ISI……….. viii

BAB I……….. PENDAHULUAN……… 1

1.1. Latar Belakang………. 1

1.2. Perumusan Masalah………. 7

1.3.Tujuan Penelitian.………. 7

1.4. Manfaat Penelitian……… 7

1.5. Kerangka Teori………. 8

1.5.1. Politik Gender………. 8

1.5.1.1. Keterwakilan Perempuan Dalam Politik………. 9

1.5.1.2. Partisipasi Politik Perempuan………. 10

1.5.2. Kinerja Lembaga DPRD……….. 11

1.5.2.1. Pengertian Kinerja……… 11

1.5.2.2. Pengukuran Kinerja……….. 12

1.5.3. Teori Perwakilan Politik……… 17

1.5.3.1. Teori Mandat………. 17

1.5.3.2. Teori Abracian………... 17

1.6. Metodologi Penelitian………. 18

1.6.1. Jenis penelitian……… 18

1.6.2. Lokasi Penelitian………. 18


(10)

1.6.4. Populasi dan Sample………. 19

1.6.5. Teknik Analisis Data……… 20

1.6.6. Defenisi Konsep……… 20

1.6.7. Sistematika Penulisan………... 22

BAB II……….. Deskripsi Profil Susunan DPRD Provinsi Sumatera Utara……….... 23

2.1. Profil DPRD Provinsi Sumatera Utara………. 23

2.1.1. Sejarah Singkat Mengenai DPRD Provinsi Sumatera Utara……….… 23

2.2. Gambaran umum DPRD Provinsi Sumatera Utara……….…. 25

2.3. Partai Yang Memperoleh Kursi Di DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode 2009-2014………. 33

2.4. Kaukus Perempuan Di DPRD Provinsi Sumatera Utara……….. 34

BAB III……… Hasil dan Pembahasan……… 37

3.1. Kinerja Lembaga Legislatif Perempuan………... 37

a. Kinerja Anggota Legislatif Perempuan Dalam Menjalankan Fungsi Legislatif……… 55

b. Kinerja Anggota Legislatif Perempuan Dalam Menjalankan Fungsi Budgeting……….. 57

c. Kinerja Anggota Legislatif Perempuan Dalam Menjalankan Fungsi Pengawasan……… 58

3.2. Indikator Kinerja Lembaga Legislatif Perempuan………. 59


(11)

a. Akuntabilitas……… 59

b. Responsivitas……… 60

c. Efektivitas………. 64

3.3. Hambatan Anggota Dewan Perempuan Dalam Memperjuangkan Kepentingan Perempuan……….. 65

3.3.1. Hambatan Ekonomi……….………… 65

3.3.2. Hambatan Budaya……… 66

3.3.3. Hambatan Pendidikan Dan Pengalaman Di Bidang Politik……….………. 67

BAB IV……… PENUTUP……….. 69

4.1. Kesimpulan………... 69

4.2. Saran……….. 70

DAFTAR PUSTAKA……….. 73


(12)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Kinerja Lembaga Legislatif Perempuan Dalam Merespon Kepentingan Perempuan (Studi Tentang Kinerja DPRD Provinsi Sumatera Utara 2009-2010). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan Kinerja Perempuan Dalam Menjalankan Fungsinya Sebagai Anggota Legislatif Yakni, Legislasi, Anggaran Dan Pengawasan Di DPRD Provinsi Sumatera Utara serta Meneliti Hambatan Yang Dialami Anggota Legislatif Perempuan Dalam Menjalankan Fungsinya Sebagai representasi kepentingan perempuan di Sumatera Utara. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diolah dari hasil pengamatan dan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi DPRD serta pihak-pihak yang terkait dengan pelaksaan fungsi legislatif perempuan untuk merespon kepentingan perempuan DPRD Provinsi Sumatera Utara. Sedangkan data Sekunder diperoleh dari dokumen lembaga DPRD Provinsi Sumatera Utara. Unit analisis dalam penelitian ini adalah DPRD Provinsi Sumatera Utara sebagai suatu lembaga organisasi, adapun Variabel dalam penelitian ini adalah hasil kerja yang dicapai oleh lembaga DPRD sesuai dengan fungsi dan tugasnya yang melaksanakan Akuntabilitas, Responsivitas Dan Efektivitas. Sedangkan yang menjadi variabel dependent adalah sejauh mana fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan dijalankan oleh anggota legislatif perempuan dalam merespon kepentingan perempuan di DPRD Provinsi Sumatera Utara. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kinerja anggota legislatif perempuan dalam merespon kepentingan perempuan di DPRD Provinsi Sumatera Utara tahun 2009-2010 masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari belum ada kinerja yang kinerja yang di hasilkan dalam menjalankan fungsi legislatif, anggaran dan pengawasan. Dalam setahun menjalankan kinerja anggota legislatif perempuan kurang berhasil menjalankan fungsinya. Dapat dilihat dari belum adanya Perda Inisiatif yang berhasil dibuat guna merespon kepentingan perempuan. Demikian dengan fungsi Anggaran dimiliki anggota Dewan belum berjalan sesuai apa yang diharapkan masyarakat. APBD masih belum berpihak pada perempuan yang tidak dapat dipungkiri bahwa perempuan lebih banyak membutuhkan biaya untuk bidang-bidang yang esensial. Seperti dalam bidang kesehatan dan untuk mengejar ketertinggalan perempuan yang selama ini terabaikan. Menjalankan fungsi pengawasan tentunya terlebih dahulu melahirkan peraturan perundangan-undangan yang dijadikan sebagai acuan dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Sehingga, karena Perda belum ada yang dihasilkan maka sejauh ini pengawasan yang dilakukan sejauh ini masih pengawasan terhadap SKPD yang berkaitan tentang Gender. Belum maksimalnya kinerja anggota legislatif perempuan juga tidak lepas dari tingkat pendidikan dan pengalaman di bidang politik. Sehingga dibutuhkan Sumber Daya Manusia yang memiliki potensi. Perlunya rekrutmen yang jelas dari partai politik juga sangat menentukan kualitas para calon Legislatif, yang berfungsi sebagai representasi rakyat.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Salah satu hak dan kewajiban perempuan adalah berpartisipasi dalam politik. Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertujuan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah1

1

Antonius Sitepu, Sistem Politik Indonesia, Medan, Fisip Usu, 2004, Hal 147

. Perempuan dan politik adalah wacana yang menarik untuk diperbincangkan dan menjadi suatu hal yang politis untuk diperdebatkan. Peranan perempuan dalam menjalankan fungsinya di badan legislatif belum mendapatkan tempat yang strategis, dimana kedudukan laki-laki yang lebih mendominasi dan dalam menentukan kebijakan publik, biasanya perempuan hanya menjadi peserta dan penikmat kebijakan saja.

Membahas mengenai peranan perempuan dalam politik yang dimaksud disini adalah rumusan tentang perempuan dalam mengambil kebijakan yaitu rumusan yang mengatur aktivitas perempuan atau ruang dan penampilan perempuan dalam dunia politik dan kebijakan publik merupakan suatu keharusan, sebab akses, kontrol dan partisipasi politik perempuan dalam tingkat pembuatan keputusan dan pengambilan keputusan merupakan Hak Asasi Manusia. Alasan perempuan penting dipahami anggota dewan yaitu pertama, ketiadaan perspektif gender akan melahirkan perancangan anggaran yang tidak adil karena tidak mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan realistis kaum perempuan. Padahal perempuan lah yang menjadi korban terdepan dalam bidang-bidang yang esensial seperti kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup, ketenagakerjaan, bantuan hukum dan lain-lain.


(14)

Faktor rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen, dalam hal ini ditingkat legislatif disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor internal ialah faktor yang berkaitan dengan konstruksi dan tradisi yang berlaku didalam masyarakat. Faktor internal ini juga disebut dengan nurture yaitu aspek sosial budaya, perempuan terbentuk /terkonstruksi dengan tugas yang berbeda dengan kaum laki-laki. Juga perannya sebagai ibu dan pengurus rumah tangga tidak selalu dapat “siap pakai” dalam peran mengurusi organisasi. Sikap alam yang melekat pada seorang perempuan seperti hamil, menyusui, menstruasi dan mengurus anak. Hal-hal inilah yang mematahkan gairah kaum perempuan berpolitik. Faktor eksternal ialah faktor yang berkaitan dengan lemahnya kebijakan-kebijakan yang diambil terutama untuk kaum perempuan. Dan bahkan sering terdengar bahwa anggota legislatif perempuan tidak berdaya dalam merespon persoalan-persoalan masyarakat. Hal ini disebabkan karena perempuan belum mampu dalam melepaskan tugas sebagai ibu rumah tangga dan juga beban kerja dan waktu kerja yang belum bisa diikuti secara penuh oleh anggota legislatif perempuan, dan juga karena sikap mental yang lemah dan posisinya yang dimarginalkan.

Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut Trias Politika. Yang mana dalam konsep Trias Politika harus adanya pembagian kekuasaan secara horizontal yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya yang dibagi dalam tiga bagian yaitu : eksekutif, legislatif dan yudikatif2

2

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1992, hal 151

. Dalam hal ini kekuasaan eksekutif ditingkat pusat dipegang oleh Presiden, ditingkat daerah dipegang oleh Gubernur atau Walikota. Kekuasaan yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung. Dan kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR (Dewan


(15)

Perwakilan Rakyat) ditingkat pusat dan DPRD (Dewan perwakilan Rakyat Daerah). Yang menjadi objek penelitian dalam penelitian ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Sejak otonomi daerah diberlakukan berdasarkan UU Nomor 22/1999 tentang pemerintah daerah pada tahun 2001. UU ini memisahkan dengan tegas antara fungsi pemerintah daerah dengan (eksekutif) dengan fungsi perwakilan rakyat (legislatif). Sehingga berdasarkan fungsi tersebut eksekutif melakukan perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan atas anggaran daerah yang merupakan manifestasi dari pelayanan kepada publik, sedangkan legislatif (DPRD) berperan aktif dalam melaksanakan fungsinya sebagai legislasi, anggaran (budgeting) dan pengawasan (controling).

Menurut Arbi Sanit DPRD dalam menjalankan fungsinya antara lain : fungsi anggaran (budgeting), fungsi pengawasan (controling) dan fungsi perundang-undangan (legislasi), merupakan sebagai salah satu unsur pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi legislasi yang mewakili kepentingan atau aspirasi masyarakat. Sedangkan hak dan kewajiban DPRD adalah melaksanakan secara konsekuen GBHN, ketetapan-ketetapan MPR serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku. DPRD bersama kepala daerah menyusun APBD untuk kepentingan daerah.

Keseluruhan dari fungsi DPRD telah diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004. Melalui fungsi tersebut DPRD sebagai representasi rakyat dalam struktur kelembagaan daerah menjalankan fungsi perundang-undangan dan juga fungsi anggaran/ keuangan yang telah diatur dalam hak anggaran sampai pada fungsi pengawasan. Fungsi DPRD berakar pada subtansi demokrasi yang terus mengingatkan bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, anggota


(16)

parlemen adalah wakil rakyat dan bukan wakil partai politik. Yang menjadi persoalan kali ini dalam membicarakan badan legislatif jika dikaitkan dengan perempuan adalah bagaimana perempuan yang duduk di kursi legislatif dalam menjalankan fungsinya sebagai anggota legislatif khususnya di tingkat daerah.

Masih banyak hak-hak perempuan yang selama ini kurang mendapat perhatian dari anggota legislatif perempuan yang berhasil duduk di DPRD. Masih banyak hal yang perlu diperjuangkan. Diperlukan dukungan terhadap upaya bersama demi tercapainya persamaan hak bagi perempuan, menghilangkan diskriminasi, mengatasi persoalan kesehatan, pendidikan, kemiskinan, meningkatkan keterwakilan di parlemen, dan lain-lain, sehingga perlu mendapatkan perhatian dan perlakuan khusus. Hal ini karena kurangnya pengetahuan, banyak perempuan yang terjebak dengan penyakit keperempuanan seperti kanker rahim, kanker payudara, keputihan, menstruasi yang tidak teratur, dan lain sebagainya. Belum lagi masalah kehamilan, persalinan, penyusuan, yang kadang tidak seperti yang diharapkan. Perempuan akan tampil dengan sendirinya sebagai manusia yang utuh apabila masalah keperempuanannya berlangsung normal ataupun kalau bermasalah dapat teratasi. Suatu negara dikatakan negara yang baik apabila mampu memberikan perhatian yang lebih kepada masyarakat yang termasuk didalamnya adalah perempuan. perhatian tersebut dapat dilakukan dalam bentuk memberikan pengetahuan, perawatan ataupun pengobatan yang gratis atas masalah-masalah perempuan dengan campur tangan negara dalam merespon kepentingan-kepentingan perempuan tersebut.

Oleh sebab itu perempuan harus mampu mengorganisir diri mereka sendiri dengan meningkatkan pendidikannya, karena dengan pendidikan akan menambah pengetahuan dan berakal serta berkompeten dalam berbicara dan


(17)

mengemukakan pendapat di depan umum . Dalam memperjuangkan keadilan dibidang politik bagi perempuan, berbagai gerakan Affirmative Action kembali di lakukan oleh para aktivis untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen. Salah satunya ialah pada saat parlemen mengesahkan dua undang-undang politik yaitu UU No. 31/2002 tentang partai politik dan UU No.12/2003 tentang pemilu. Dalam dua undang-undang ini tercantum klausal mengenai affirmative untuk perempuan. UU No. 12/2003 tertera pada Pasal 65 (1) secara spesifik menyebutkan setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD kabupaten/ kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Walaupun pada Pasal ini tidak mencantumkan jumlah tetapi jelas. Pada Pasal 13 ayat 3 tercantum dengan jelas bahwa kesetaraan dan keadilan gender dicapai melalui peningkatan jumlah perempuan secara signifikan dalam kepengurusan partai politik disetiap tingkatan.3

Sebelum abad 20, di Amerika sendiri banyak sistem hukum yang mendiskriminasi kaum perempuan. Bahkan di negeri women’liberation sebelumnya kaum perempuan dilarang mengikuti pemilihan umum dan dalam sistem perkawinan perempuan tidak berhak menguasai harta miliknya sendiri, harta menjadi milik suami sekalipun si istri bekerja. Dari ketimpangan inilah timbul “pemberontakan” kaum perempuan kepada kaum pria. Di Amerika lahirlah berbagai gerakan feminisme, feminisme liberal dan dibentuk women

Liberation. Kaum perempuan melalui gerakan feminisme berkampanye supaya

3

http://massadmasrur.com. ”Peluang Keterwakilan Perempuan Dalam Lembaga Politik Di Indonesia”, Diakses pada tanggal 28 Agustus 2010


(18)

keluar dari kungkungan sistem yang mensubordinasikan mereka dari berbagai bidang kehidupan sosial ekonomi dan politik. 4

Bahkan CEDAW (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Againts Women) sebagai konvensi internasional telah diratifikasi negara kita menjadi UU No 7 Tahun 1984. Inti dari konfensi CEDAW adalah menghentikan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. CEDAW menentukan bahwa setiap undang-undang negara, diminta supaya menghapuskan semua sistem-sistem yang membedakan kaum perempuan dengan laki-laki. Dan pada tanggal 4 januari di undangkan sebuah Undang-Undang Partai Politik yaitu UU No. 2 Tahun 2008 sebagai pengganti UU No.31 Tahun 2002. Dengan hadirnya UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang pemilihan umum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dewan Perwakilan Daerah Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan perkembangan yang cukup signifikan bagi kondisi feminisme di indonesia, karena undang-undang ini menegaskan bahwa indonesia berusaha keluar dari dari sistem patriarki. Legalitas keterlibatan perempuan dalam pemilu dengan kuota 30% dianggap suatu kemenangan bagi para pengusung gender yang menyerukan keadilan dan kesetaraan gender (KKG). Lebih jauh Pasal 66 ayat 2 UU Nomor 10 Tahun 2008 juga menyebutkan : “KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/kota mengumumkan persentasi keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap Partai Politik pada media cetak harian dan media elektronik nasional”. Sementara pada Pasal 2 ayat 3 UU Partai Politik disebutkan : “bahwa pendirian dan pembentukan partai politik menyertakan 30% keterwakilan perempuan.

5

4

Astid Anugrah, Keterwakilan Perempuan Dalam Politik: Pancuran Alam, Jakarta 2009, Hal 5

5

Ibid hal


(19)

Berdasarkan pada hal-hal diatas maka penulis tertarik dan berminat meneliti tentang peran perempuan dalam politik yang dalam hal ini melihat peran anggota legislatif perempuan di DPRD Provinsi Sumatera Utara dalam merespon kepentingan perempuan.

1.2. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang diatas, yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Kinerja Anggota Legislatif Perempuan

Dalam Merespon Kepentingan Perempuan Terkait Dalam Menjalankan Fungsinya Sebagai Anggota Legislatif Yaitu Legislasi, Anggaran Dan Pengawasan di DPRD Provinsi Sumatera Utara.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk Melihat Kinerja Perempuan Dalam Menjalankan Fungsinya Sebagai Anggota Legislatif Yakni, Legislasi, Anggaran Dan Pengawasan Di DPRD Provinsi Sumatera Utara.

2. Untuk Melihat Hambatan Yang Dialami Anggota Legislatif Perempuan Dalam Menjalankan Fungsinya Sebagai Wakil Rakyat.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dalam penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang ilmiah tentang penerapan sistem demokrasi yang dianut dinegara kita, sehingga dapat menjadi


(20)

pertimbangan bagi pihak-pihak yang berada di instansi pemerintahan untuk membuka kesempatan bagi wanita Indonesia untuk dapat berkiprah di kancah politik dan membuktikan kemampuan yang dimiliki kaum perempuan dalam pemerintahan.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat khususnya bagi peneliti sendiri berupa fakta-fakta temuan dilapangan yang membantu menguji analisis peneliti dalam mengungkapkan sesuatu yang menambah pengetahuan bagi peneliti dari penelitian tersebut.

1.5. KERANGKA TEORI 1.5.1. Politik Gender

Gender merupakan suatu wacana yang menarik dan sedang juga menjadi perhatian masyarakat sehingga ada suatu gerakan untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pada suatu sisi hubungan gender menjadi persoalan tersendiri, hal ini disebabkan karena persoalan emansipasi wanita masih belum mendapat posisi yang sepenuhnya bisa diterima. Perempuan seharusnya tidak diikat oleh aturan patriarki karena hal ini dapat membuat posisi perempuan semakin lemah dan dapat menghambat pekerjaan atau pendidikan yang sedang mereka jalani. Sehingga pada posisi inilah dibutuhkan pengertian atau konsep gender agar masyarakat bisa membedakan emansipasi perempuan dan gender.

Konsep gender pertama sekali di bedakan oleh sosiolog asal Inggris yaitu Ann Oaekley dimana ia membedakan antara seks dan gender. Perbedaan seks berarti perbedaan atas dasar ciri-ciri biologis yang menyangkut prokreasi


(21)

(menyusui, hamil, melahirkan dan menstruasi). Perbedaan gender adalah perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks tetapi tidak selalu identik dengannya.6 Dalam khasanah ilmu-ilmu sosial, istilah gender diperkenalkan untuk mengacu pada perbedaan-perbedaan antara perempuan dan laki-laki tanpa konotasi-konotasi yang sepenuhnya bersifat biologis. Jadi bila dimaknai lebih dalam bahwa rumusan gender merujuk pada perbedaan-perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang merupakan konstruksi dan terbentuknya masyarakat secara sosial, ekonomi dan politik.7

Gender adalah perbedaan peran, perilaku, tingkah laki-laki dan perempuan oleh budaya masyarakat melalui interpretasi terhadap perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Jadi gender tidak diperoleh sejak lahir tetapi dikenal melalui proses belajar (sosialisasi) dari masa anak-anak hingga dewasa8

1.5.1.1. Keterwakilan Perempuan Dalam Politik

. Di indonesia kesetaraan gender sudah mulai dirasakan sejak emansipasi yang dicita-citakan oleh kartini sedikit banyak telah melahirkan perubahan-perubahan pada aspek kehidupan perempuan indonesia. Ditambah lagi dengan adanya undang-undang untuk memasukkan perempuan dalam lembaga politik formal, sehingga semakin tampak perjuangan keadilan terhadap gender.

Pada UUD 1945 Pasal 28 jelas mengatakan pengakuan Hak Asasi bagi setiap warga negaranya adalah sama. Setiap warganya baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa ada batasan. Sehingga hak politik perempuan ditetapkan melalui instrumen hukum

6 Harmona Daulay, Op.Cit.,hal 3

7 Leo Agustino, Politik Ilmu Politik: sebuah bahasan memahami ilmu politik, PT.Graha Ilmu,

Yogyakarta 2007, hal.227

8


(22)

dengan meratifikasi berbagai konvensi yang menjamin hak-hak dalam perpolitikan tersebut. Hak-hak perpolitikan perempuan dibuktikan dengan telah diratifikasinya konvensi PBB yang menjelaskan beberapa hal :

1. Perempuan berhak dalam memberikan suara dalam semua pemilihan dengan syarat-syarat yang sama bagi laki-laki, tanpa suatu diskriminasi. 2. Perempuan berhak untuk dipilih bagi semua badan yang telah dipilih

secara umum, diatur oleh hukum nasional dengan syarat-syarat yang sama dengan laki-laki dan tanpa ada diskriminasi.

3. Perempuan berhak untuk memegang jabatan publik dan menjalankan semua fungsi publik, diatur oleh hukum nasional dengan syarat-syarat yang sama dengan laki-laki.9

Pada tanggal 4 Januari di undangkan sebuah Undang-Undang partai politik baru yaitu UU No. 2 Tahun 2008 sebagai pengganti UU.No. 31 tahun 2002. Dan juga UU. No 2 Tahun 2008 tentang pemilihan umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah merupakan peluang bagi perempuan untuk berkiprah dikancah perpolitikan karena jika dilihat dalam UU tersebut maka indonesia berusaha keluar dari sistem yang bersifat patriarki.

1.5.1.2. Partisipasi Politik Perempuan

Perjuangan dalam menggolkan perempuan di parlemen bukan hanya memperjuangkan kuantitas saja tetapi, hal yang paling penting adalah kualitas perempuan. bagaimana perempuan dapat memiliki kepekaan dan komitmen untuk mewujudkan kesetaraan, pemberdayaan perempuan dan keadilan.

9

Romany Sihite, Perempuan, Kesetaraan, Keadilan, , Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007, hal 155-157.


(23)

Keikutsertaan perempuan dalam politik dapat menyumbangkan pemikiran terhadap permasalahan politik yang sangat diperlukan. Ada beberapa hal yang menyebabkan perempuan harus ikut dalam pengambilan kebijakan :

1. Perempuan adalah separuh penduduk dunia sehingga secara demokratis pendapat dari perempuan harus dipertimbangkan. Dalam demokrasi pandangan kelompok-kelompok yang berbeda jenis harus diformulasikan dan dipertimbangkan dalam setiap kebijakan,

2. Partisipasi poliitik perempuan diharapkan dapat mencegah kondisi yang tidak menguntungkan bagi kaum perempuan dalam menghadapi masalah steriotipe terhadap perempuan, diskriminasi dibidang hukum, kehidupan sosial dan kerja dan juga eksploitasi terhadap perempuan.

3. Partisipasi perempuan dalam pengambilan kebijakan politik dapat berpengaruh pada pengambilan keputusan politik yang mengutamakan maian.

4. Keterwakilan politik perempuan dalam parlemen akan membuat perempuan lebih berdaya untuk terlibat dalam pembuatan budget berperspektif gender. Penggunaan analisa berperspektif gender akan meningkatkan efektivitas kebijakan sehingga penggunaan uang publik juga akan mempertimbangkan perspektif gender tersebut.

1.5.2. KINERJA LEMBAGA DPRD 1.5.2.1. Pengertian Kinerja

Menurut Mangkunegara kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Kinerja sangat dipengaruhi


(24)

oleh sikap dan karakternya dalam menyelesaikan pekerjaannya yang didasari oleh sebuah orientasi. Scott A. Snell dan Kenneth N. Wexley menyebutkan bahwa kinerja ialah mencakup tiga elemen antara keterampilan (skill), upaya dan sifat keadaan eksternal.10 Menurut Rue dan Byars kinerja didefenisikan sebagai pencapaian hasil atau the degree of accomplishment.11

Kinerja atau Performance menurut Suyadi Prawirosentono adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.

Dengan kata lain kinerja merupakan tingkat pencapaian tujuan organisasi. Atau dengan kata lain kinerja merupakan suatu tingkatan sejauh mana proses kegiatan organisasi itu memberikan hasil atau dalam mencapai tujuan.

12

1.5.2.2. Pengukuran Kinerja

Dalam melakukan penilaian terhadap pelaksanaan pekerjaan atau kinerja seorang pegawai harus memiliki pedoman dan dasar-dasar penilaian. Pedoman dan dasar-dasar penilaian tersebut dapat dibedakan dalam aspek-aspek penilaian. Menurut Soeprianto aspek-aspek yang perlu dinilai untuk level pimpinan atau manager dalam suatu organisasi ialah: Tanggungjawab, ketaatan, kejujuran, kerjasama, prakarsa atau inisiatif dan kepemimpinan. Untuk dapat mengetahui kinerja suatu organisasi, harus diketahui ukuran keberhasilan untuk dapat menilai

10

A.A Anwar Prabu Mangkunegara, evaluasi Kinerja SDM, cetakan ketiga, PT.Refika Aditama, Bandung.

11 Dalam Yeremias T Keban, 1995, Indikator Kinerja Pemerintah Daerah : Pendekatan

Manajement Dan Kebijakan, Seminar Sehari Kinerja Organisasi Sektor Publik, Kebijakan Dan Penerapan, 20 Mie 1995, Yogyakarta , MAP-UGM. Hal 1

12

Suyudi Prawirosentono, 1992, Kebijakan Kinerja Karyawan : Kiat Membangun Organisasi Kompetitif Menjelang gangan Bebas Dunia BPFE, Yogyakarta. HAL 2.


(25)

kinerja tersebut. Sehingga ada indikator atau tolok ukur atau ukuran yang jelas dan tentunya harus dapat merefleksikan tujuan dan misi dari organisasi yang bersangkutan. Dalam organisasi publik tujuan dan misi utama kehadiran organisasi publik adalah untuk memenuhi dan melindungi kepentingan publik maka kinerja organisasi publik dikatakan berhasil ketika mampu mewujudkan misi dan tujuannya dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingan publik. Menurut Lenvine (dalam Dwiyanto) dalam mengukur kinerja organisasi publik ada tiga konsep yaitu responsivenees, responsibility dan accountability.13

a. Akuntabilitas

Untuk memperjelas penggunaan indikator tersebut berikut dikemukakan beberapa hal yang berhubungan dengan teori dan konsep dari masing-masing indikator sebagai berikut :

Menurut Affan Ghafar akuntabilitas adalah setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggung jawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya. Tidak hanya itu juga ia harus dapat mempertanggung jawabkan ucapan atau kata-katanya. Dan tidak kalah pentingnya juga adalah prilaku dalam kehidupan dan yang pernah dan bahkan yang sedang akan dijalanainya.14

13 Agus Dwiyanto, 1995, Penilaian Kinerja Organisasi Publik, Makalah Dalam Seminar Sehari :

Kinerja Organisasi Sektor Publik, Kebijakan Dan Penerapannya, Fisipol UGM, Yogyakarta Hal 7.

14

Affan Gaffar, 2000, Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hal 7.

Dalam konteks di Indonesia menurut Agus Dwiyanto mengatakan bahwa konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijaksanaan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak. Karena itu dilihat dari dimensi ini kinerja organisasi publik tidak bisa hanya dilihat dari ukuran internal yang


(26)

dikembangkan oleh organisasi publik atau pemerintah, seperti pencapaian target. Kinerja sebaliknya harus dinilai dari ukuran eksternal seperti nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat.15

Dari pendapat dan penjelasan diatas maka dijelaskan bahwa kinerja dianggap berhasil apabila memiliki akuntabilitas yang baik dan apabila organisasi tersebut melakukan kegiatan yang tidak bertentangan dengan aturan-aturan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Sehingga karena dalam penelitian ini studi kasus DPRD jadi dapat disimpulkan bahwa kinerja DPRD salah satunya juga dinilai dari akuntabilitas sehingga untuk melihat seberapa besar pelaksanaan kegiatan dan tugas dari fungsi legislasi yang berhubungan dengan upaya menterjemahkan aspirasi masyarakat menjadi keputusan-keputusan politik yang nantinya dilaksakan pihak eksekutif. Sehingga dalam akuntabiltas ini DPRD di uji dimana ia harus merancang dan mementukan arah tujuan aktifitas pemerintahan di Sumatera Utara khususnya dengan menyesuaikan kondisi dan kebutuhan perempuan yang sampai saat ini masih banyak kebutuhan perempuan yang belum terpenuhi serta anggota Dewan yang terhormat dapat mempertanggungjawabkannya ke Publik.

15 Agus Dwiyanto, 1995, Penilaian Kinerja Organisasi Publik, Makalah Dalam Seminar Sehari :

Kinerja Organisasi Sektor Publik, Kebijakan Dan Penerapannya, Fisipol UGM, Yogyakarta Hal 8.


(27)

b. Responsivitas

Responsivitas sebagai salah satu indikator untuk mengukur kinerja pelayanan publik, atau secara sederhana dikatakan ketika mau mendengarkan saran atau aspirasi.16 Menurut S.P Siagian adalah kemampuan aparatur dalam mengantisipasi dan menghadapi aspirasi baru, kepentingan baru, tuntutan baru dan pengetahuan baru, birokrasi harus merespon secara cepat agar tidak tertinggal dalam menjalankan tugas dan fungsinya.17

Dari pendapat-pendapat diatas maka diambil kesimpulan bahwa tolok ukur dari kinerja organisasi publik ialah responsivitas dimana dalama hal ini sejauh mana tingkat kepekaan organisasi publik ini untuk mau mendengarkan tuntutan dan aspirasi masyarakat. Tingkat responsivitas yang akan diteliti ialah kemampuan anggota DPRD perempuan dalam mengenali kebutuhan kaum perempuan yang belum terpenuhi dan responsivitas anggota DPRD perempuan dalam memberantas ketertindasan kaum perempuan serta mengengkat derajat

Suatu organisasi yang memiliki peran kepada pelayanan publik dituntut harus peka terhadap apa yang menjadi kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

Agus Dwiyanto dan Baveola Kusumari mengemukakan tentang pentingnya responsivitas dalam hubungannya dengan penilaian kinerja yaitu dalam kaitannya dengan penilaian kinerja pelayanan publik, responsivitas sangat diperlukan dalam pelayanan publik karena hal tersebut merupakan bentuk kemampuan organisasi untuk menggali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda, memprioritaskan pelayanan dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan aspirasi masyarakat.

16 Jhon M Echols And Shadily, Hasan, 1992, An English-Indonesia Dictionary (Kamus Inggris

Indonesia), PT. Gramedia, Jakarta. Hal 481

17

P. Sondang Siagian, 2000, Organisasi, Kepemimpinan Dan Prilaku Adminstrasi, PT. Gunung Agung, Jakarta Hal 165.


(28)

kaum perempuan sehingga tercapainya kesetaraan gender yang hingga kini nampak sekali ketimpangan anatara laki-laki dan perempuan. kemampuan untuk merespon kebutuhan masyarakatlah maka suatu organisasi mampu untuk mencapai keberlanjutan organisasi itu sendiri. Organisasi yang memiliki responsivitas yang rendah dengan sendirinya menunjukkan kinerja yang jelek dan menunjukkan kegagalan organisasi.

c. Efektivitas

Menurut Kumorotomo efektifitas adalah menyangkut apakah tujuan dari didirikannya organisasi pelayanan publik tersebut tercapai. Hal tersebut erat kaitannya dengan teknis, nilai, misi tujuan organisasi serta fungsi agen pembangunan.18

Dari pendapat diatas efektifitas dari kinerja DPRD dapat dilihat dari seberapa jauh anggota dewan perempuan ini dalam menjalankan fungsinya untuk merespon kepentingan perempuan yang dapat diperjuangkan dalam legislasi, budgeting dan pengawasan. Legislasi seberapa besar perjuangan kaum perempuan ini untuk membuat peraturan yang melindungi dan memperjuangakan hak-hak kaum perempuan, pengawasan yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) serta mengawasi pelaksaaan peraturan yang telah dibuat atau yang telah dirumuskan dalam . Budgeting ialah seberapa kuat para anggota dewan kaum perempuan di DPRD dalam membuat anggaran yang tinggi untuk merespon kepentingan perempuan.

18

Wahyudi Kumorotomo, Dkk, 1998, “Sistem Informasi Management Dalam Organisasi Publk”, Gadjah Mada University Perss, Yogyakarta. Hal 25.


(29)

1.5.3. TEORI PERWAKILAN POLITIK

Teori hubungan perwakilan adalah duduknya seseorang dilembaga perwakilan parlemen (DPR-DPRD) mengakibatkan timbulnya, ”hubungan si wakil dengan terwakili”. Teori yang berhubungan dengan perwakilan. 19

1.5.3.1. Teori Mandat

a) Teori Mandat Imperatif, yaitu siwakil bertindak di lembaga perwakilan sesuai dengan instruksi yang diberikan konstituennya. Si wakil tidak bisa bertindak diluar instruksi tersebut, maka si wakil akan mendapat instruksi dari konstituennya baru dapat dilaksanakan (sifatnya kaku).

b) Teori Mandat Bebas, yaitu si wakil adalah orang-orang terpercaya dan terpilih, serta memiliki kesadaran hukum masyarakat yang diwakilinya, sehingga si wakil dapat bertindak atas nama mereka yang diwakili atas nama rakyat (tindakan wakil tidak tergantung indtruksi yang mewakili ia tidak bs bebas mwakili individu lain).

c) Teori Mandat Representatif yaitu si wakil dianggap bergabung dengan suatu lembaga perwakilan. Rakyat memilih dan memberikan mandat kepada lembaga perwakilan, sehingga si wakil sebagai individu tidak memiliki hubungan dengan pemilihnya apalagi pertanggungjawaban. Lembaga perwakilan bertanggungjwab kepada rakyat.20

1.5.3.2. Teori Abracian

a) Trustee adalah wakil bebas bertindak tanpa konsultasi dengan yang diwakilinya.

b) Delegate adalah wakil bertindak seolah sebagai utusan/ duta dari yang

19

Arbi Sanit, “Perwakilan Politik Indonesia”, CV. Rajawali, Jakarta hal 23.

20


(30)

diwakilinya.

c) Politico adalah bisa bertindak ”trustee” atau ”delegate”tergantung dari masalah yang dihadapi.

d) Partisan adalah bertindak atas nama parpol, bukan yang diwakilinya.

1.6. Metodologi Penelitian

6.1. Jenis Penelitian

Untuk mendeskripsikan kinerja anggota legislatif perempuan dan fungsi anggota legislatif perempuan di Provinsi Sumatera Utara maka dalam penelitian ini yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif yaitu suatu metode yang bertujuan menggambarkan, meringkas berbagai kondisi situasi berbagai variabel yang timbul dalam masyarakat yang menjadi objek penelitian.21

6.2. Lokasi Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini guna untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan, lokasi tempat penelitian adalah DPRD Provinsi Sumatera Utara, yang beralamat dijalan Imam Bonjol No 5 Medan.

6.3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan, maka penulis dalam hal ini menggunakan teknik wawancara langsung dengan narasumber.

21


(31)

Ada 2 cara dalam pengumpulan data yaitu teknik data sekunder dan teknik data primer.22

1. Data Sekunder

Data yang didapat dari tinjauan pustaka (library reseearch), yaitu dengan mempelajari jurnal-jurnal, laporan penelitian, dokumen lembaga, buku-buku dan dokumentasi yang relevan untuk data yang dibutuhkan pada penelitian. Data juga diperoleh dari browsing dan clipping print yaitu untuk pencarian bahan yang lengkap penulis menggunakan media internet.

2. Data Primer

Untuk mengumpulkan data dilakukan dengan mengadakan wawancara terstruktur ialah dengan mengadakan pembicaraan langsung dengan informen yang terlibat dalam masalah dan mengetahui benar tentang masalah.

6.4. Populasi Dan Sample

6.4.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan elemen, sekelompok orang atau unsur yang akan kita teliti. Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah 16 orang Anggota dewan perempuan di DPRD Provinsi Sumatera Utara.

6.4.2. Sample

Sample adalah merupakan perwakilan dari populasi yang dapat mewakili sebanyak mungkin karakteristik populasi. Penarikan sample dalam penelitian ini dilakukan dengan Accidental Sampling. Accidental Sampling ialah penarikan

sample pada saat seseorang yang dijadikan sample diambil sebagai sampel dari

22


(32)

populasi karena kebetulan berada ditempat saat peneliti melakukan wawancara untuk kebutuhan penelitian.

6.5. Teknik Analisis Data

Adapun teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian adalah menggunakan metode kualitatif. Riset kualitatif menganalisis perilaku dan sikap politik yang tidak dapat atau tidak di anjurkan untuk di kuantifikasikan. Dengan kata lain penelitian kualitatif cenderung fokus pada usaha mengeksplorasikan sedetail mungkin sejumlah contoh atau peristiwa yang dipandang menarik dan mencerahkan, dengan tujuan untuk mendapatkan pamahaman yang mendalam. Karena itu pada umumnya diakui bahwa penelitian dengan kualitatif memberikan kesempatan ekspresi dan penjelasan yang lebih besar.23

1. Defenisi Konsep Dependent Variabel :

1.6.6. Definisi Konsep

Defenisi konsep dari masing-masing variabel pada penelitian ini adalah :

Kinerja lembaga legislatif perempuan di DPRD adalah hasil kerja yang dicapai oleh lembaga DPRD sesuai dengan fungsi dan tugasnya yang melaksanakan Akuntabilitas, Responsivitas Dan Efektivitas yang hasil dari kerja mereka tersebut dapat dinikmati langsung masyarakat khususnya kaum perempuan di Sumatera Utara.

2. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel independentnya adalah :

a) Anggaran : diwujudkan dalam menyusun dan menetapkan APBD bersama pemerintah daerah.

23


(33)

b) Legislasi : diwujudkan dalam membentuk peraturan daerah bersama kepala daerah.

c) Pengawasan/controlling : diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang ataupun peraturan daerah yang telah dibuat dalam fungsi pengawasan.


(34)

1.6.7. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran yang lebih terperinci, serta untuk mempermudah pemahaman maka penulis membagi dalam empat bab. Sistematika penulisannya antara lain :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : DESKRIPSI PROFIL DAN SUSUNAN DPRD PROVINSI SUMATERA UTARA

Bab ini membahas gambaran secara umum tentang kedudukan, fungsi, tugas, anggota legislatif DPRD Provinsi Sumatera Utara

BAB III : HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan hasil dari penelitian mengenai analisis

deskriptif peran perempuan di DPRD Kota Gunungsitoli Propinsi Sumatera Utara yaitu menjelaskan fungsi-fungsi yang dijalankan berdasarkan data yang diperoleh guna menjawab permasalahan dalam penelitian.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini berisikan tentang kesimpulan yang diperoleh dari hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya, serta berisikan saran-saran yang berguna dan mendukung bagi penyusunan hasi penelelitian.


(35)

BAB II

DESKRIPSI PROFIL DAN SUSUNAN DPRD PROPINSI SUMATERA UTARA

2.5. Profil DPRD Provinsi Sumatera Utara

2.5.1. Sejarah Singkat Mengenai DPRD Provinsi Sumatera Utara

Provinsi Sumatera Utara dibentuk pada tanggal 15 April 1948, berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1948. Daerah ini meliputi keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli. Berdasarkan surat Penetapan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus, Sumatera Utara menjadi sebuah provinsi dan daerah adminstrasi. Seperti halnya pulau Jawa, berangsur-angsur dibentuk Komite Nasional. Daerah yang kedudukannya diatur oleh maklumat Gubernur Sumatera Utara tertanggal 12 April 1946 No. 2/MGS yang isinya sesuai dengan undang-undang No.1 Tahun 1945. Dalam maklumat tersebut ditetapkan bahwa Komite Nasional Daerah yang dibentuk diProvinsi dan keresidenan tersebut manjadi kota otonom. Daerah-daerah tersebut memiliki Dewan Perwakilan Rakyat dan berhak untuk mengatur rumah tangganya sendiri.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membentuk suatu badan eksekutif, yang terdiri dari 5 orang anggota. Berdasarkan maklumat tersebut diatas, anggota Dewan Perwakilan Daerah di Sumatera Utara berjumlah 100 orang mewakili penduduk.

1. Sub Provinsi Sumatera Utara meliputi : Keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli.

2. Sub Provinsi Sumatera Selatan meliputi : Keresidenan Bangka, Belitung, Lampung dan Palembang.


(36)

3. Sub Provinsi Sumatera Tengah meliputi : Keresidenan Sumatera Barat, Jambi dan Riau.

Setiap sub provinsi diketuai oleh Gubernur Muda yang bertindak sebagai koordinator dari keresidenan dan jabatan pemerintah yang ada diwilayahnya. Pemerintahan Sumatera Utara dijalankan sesuai maklumat gubernur Sumatera Utara tanggal 30 Agustus 1946, yang mengatakan bahwa pemerintah provinsi disesuaikan dengan pemerintah pusat.

Pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera menjadi daerah yang dilegalisasi oleh pemerintah pusat. Ditetapkan melalui peraturan pemerintah No.8 Tahun 1974 yang mengatakan dengan tegas bahwa Provinsi Sumatera Utara dijalankan oleh Gubernur dan diserahkan kepada dewan pertimbangan rakyat dan badan eksekutif pemerintah daerah Sumatera Utara berhubungan dengan pemerintah pusat dan berada dibawah menteri-menteri dan selanjutnya dalam peraturan pemerintah Nomor 8 Tahun 1974 dinyatakan yang merupakan daerah otonom di Sumatera adalah keresidenan dan daerah-daerah yang ditunjuk sebagai daerah otonom.

Dalam Undang-Undang Nomor 10. Tahun 10 Tahun 1948 tentang pembagian Sumatera menjadi 3 Provinsi yaitu :

1. Provinsi Sumatera Utara 2. Provinsi Sumatera Tengah 3. Provinsi Sumatera Selatan

Pada tanggal 13 Desember 1948 untuk pertama kalinya anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi Sumatera Utara yang bertempat di Tapak Tuan, yang anggotanya berasal dari masing-masing Sub Propinsi terdahulu. Dengan Undang-Undang Nomor 24 1956 dibentuklah provinsi Aceh


(37)

dibekas keresidenan Aceh, dengan demikian Provinsi Sumatera Utara otomatis menjadi tersendiri dari keresidenan Sumatera Timur dan Tapanuli. Sebagai pelaksanaan Undang-Undang tertanggal 15 April 1948 tentang penetapan Komisariat Pemerintah Pusat di Sumatera yang kemudian diubah menjadi peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 1948, maka komisariat ini menjalankan tugas gubernur Sumatera sehingga tugas-tugas tersebut diserahkan kapada pelaksananya. Komisariat Pusat di Sumatera Utara yang berkedudukan di Bukit Tinggi yang dipimpin oleh Mr. Teuku Mohammad Hasan.

2.6. Gambaran umum DPRD Provinsi Sumatera Utara 2.6.1. Tugas DPRD

1. Menetapkan anggaran pandapatan dan belanja daerah bersama dengan kepala daerah.

2. Membentuk peraturan daerah yang dibahas bersama dengan kepala daerah untuk mencapai tujuan bersama.

3. Meminta laporan pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan tugas desentralisasi.

4. Mengusulkan pendapat dan pertimbangan kepala daerah terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah.

5. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya, keputusan kepala daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan Daerah, dan kerjasama internasional di daerah.


(38)

6. Tugas-tugas lain yang diberikan oleh undang-undang

7. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah atau wakil Kepala Daerah kepada Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melalui Gubernur.24

2.2.2. Fungsi DPRD

1. Legislasi : Diwujudkan dalam membuat peraturan-peraturan daerah bersama kepala daerah.

2. Anggaran : Diwujudkan dalam menyusun dan menetapkan APBD bersama pemerintah daerah.

3. Pengawasan: Diwujudkan dalam bentuk

pengawasan/controlling terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah, Undang-Undang Dan Kebijakan Yang Ditetapkan Oleh Pemerintah Daerah.

2.2.3. Hak DPRD

DPRD mempunyai beberapa hak-hak tertentu yaitu sebagai berikut :

• Hak Angket

• Hak Interpelasi

• Hak mengajukan pernyataan pendapat

2.2.4. Hak Anggota DPRD • Mengajukan pertanyaan

• Mengajukan rancangan

24


(39)

• Menyampaikan usul dan pendapat

• Imunitas

• Protokoler

• Membela diri

• Memilih dan dipilih

• Keuangan dan adminstratif.25

2.2.5. Komisi DPRD

Untuk melakukan tugas dalam melaksanakan mekanisme kerja agar lebih optimal maka DPRD di bagi dalam komisi-komisi. Komisi yang ada di DPRD adalah sebagai berikut :

• Komisi A : Meliputi bidang pemerintahan dan keamanan yaitu ketertiban, kependudukan, kebakaran, penerangan, perundang-undangan, perizinan, agraria, pariwisata, pos dan telekomunikasi.

• Komisi B : Meliputi bidang keuangan yaitu perpajakan, perbankan, perusahaan daerah dan perusahaan patungan.

• Komisi C : Meliputi bidang perekonomian yaitu distribusi, perindustrian, pertanian, koperasi, perikanan, peternakan, kehutanan.

• Komisi D : Meliputi bidang pembangunan yaitu, pekerjaan umum, tata kota, pertamanan, kebersihan dan perhubungan.

• Komisi E : Bidang Kesejahteraan Rakyat meliputi : Ketenagakerjaan, Pendidikan, Kebudayaan dan Pariwisata, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Pemuda dan Olah Raga, Agama, Sosial, Kesehatan, Keluarga

25


(40)

Berencana, Pengembangan Peranan Perempuan, Mobilitas Penduduk, Penanganan Bencana.26

2.2.6. Panitia-Panitia Tetap Di DPRD

Panitia tetap adalah sebagai alat kelengkapan dewan yang mempunyai hak dan kewajiban tertentu dalam menyelesaikan tugas-tugas DPRD. Pembentukan panitia-panitia tetap ini merupakan hal yang penting dan logis karena dalam menjalankan tugas DPRD yang terus ada tetapi tidak secara periodik. Adapun jenis panitia yang ada dalam DPRD ialah :

1. Panitia Musyawarah 2. Panitia Anggaran 3. Panitia Legislasi

Panitia Musyawarah

Panitia musyawarah merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk oleh DPRD pada awal masa jabatan keanggotaan DPRD. Panitia Musyawarah merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk oleh DPRD pada awal masa jabatan keanggotaan DPRD. Pemilihan anggota Panitian Musyawarah ditetapkan setelah terbentuknya Pimpinan DPRD, Komisi-komisi, Panitia Anggaran dan Fraksi. Panitia Musyawarah terdiri dari unsur-unsur Fraksi berdasarkan perimbangan jumlah anggota dan sebanyak-banyaknya tidak lebih dari setengah jumlah anggota DPRD. Ketua dan Wakil Ketua DPRD karena jabatannya adalah Pimpinan Panitia Musyawarah merangkap anggota. Susunan keanggotaan Panitia Musyawarah ditetapkan dalam

26


(41)

Rapat Paripurna. Sekretaris DPRD karena jabatannya adalah Sekretaris Panitia Musyawarah bukan anggota.

Panitia Musyawarah menurut ketentuan Pasal 47 PP 25/2004, mempunyai tugas :

a. memberikan pertimbangan tentang penetapan program kerja DPR, baik diminta maupun tidak diminta;

b. menetapkan kegiatan dan jadwal acara rapat DPRD;

c. memutuskan pilihan mengenai isi risalah rapat apabila timbul perbedaan pendapat;

d. memberikan saran pendapat untuk memperlancar kegiatan; e. merekomendasikan pembentukan Panitia Khusus.

Berkaitan dengan tugas menetapkan kegiatan dan jadwal acara rapat DPRD, Panitia Musyawarah menetapkan acara DPRD untuk satu masa sidang atau sebagian dari suatu masa sidang dan perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah, serta jangka waktu penyelesaian suatu Rancangan dan penentuan besarnya quota Rancangan yang dibahas oleh masing-masing alat kelengkapan Dewan dengan tidak mengurangi hak Rapat Paripurna untuk mengubahnya.

Melihat pentingnya posisi Panitia Musyawarah dalam kelembagaan dewan, seharusnya tugas Panitia Musyawarah tidak hanya ‘terpathok’ pada apa yang telah diamanatkan oleh Pasal 47 PP No. 25/2004 di atas. Ada tugas-tugas lain yang masih relevan dan substansi terkait dengan kewenangan Panitia Musyawarah. Tugas-tugas dimaksud antara lain :

a. memberikan pendapat kepada pimpinan DPRD dalam menentukan garis kebijakan yang menyangkut pelaksanaan tugas dan wewenang DPRD;


(42)

b. meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada alat kelengkapan DPRD yang lain untuk memberikan keterangan/penjelasan mengenai hal yang menyangkut pelaksanaan tugas tiap-tiap alat kelengkapan tersebut;

c. mengatur lebih lanjut penanganan dalam hal peraturan perundang-undangan () menetapkan bahwa Pemerintah Daerah atau pihak lainnya diharuskan untuk melakukan konsultasi dan koordinasi dengan DPRD mengenai suatu masalah; d. menentukan penanganan suatu Rancangan atau pelaksanaan tugas DPRD

lainnya oleh alat kelengkapan DPRD. Namun Panitia Musyawarah tidak boleh mengubah keputusan atas suatu Rancangan atau pelaksanaan tugas DPRD lainnya oleh alat kelengkapan DPRD;

e. melaksanakan hal-hal yang oleh Rapat Paripurna diserahkan kepada Panitia Musyawarah.

Berkaitan dengan tugas-tugas di atas, setiap anggota Panitia Musyawarah wajib mengadakan konsultasi dengan fraksi-fraksi sebelum mengikuti rapat Panitia Musyawarah dan menyampaikan pokok-pokok hasil rapat Panitia Musyawarah kepada fraksi.

Panitia Anggaran

Panitia anggaran terlibat dalam membahas anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan perealisasian hak anggaran yang dimiliki DPRD. Panitia anggaran dapat peran yang besar dalam menentukan jumlah dan proporsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Adapun tugas panitia anggaran adalah sebagai berikut :


(43)

b. Membantu kepala daerah dalam menyususn nota perubahan atas RAN mengenai RAPBD.

c. Memberikan pendapat kepada DPRD mengenai nota keuangan dan RAPBD yang oleh kepala daerah disampaikan kepada DPRD.27

Panitia Legislasi

Panitia legislasi terlibat dalam membahas kebijakan yang akan dibentuk menjadi sebuah . Panitia legislasi bersama eksekutif bersama membahas tentang apa saja yang akan menjadi kebijakan daerah yang berguna untuk kesejahteraan rakyat di daerah tersebut, serta kebijakan juga dibuat agar untuk menertibkan masyarakat di daerah tersebut. Dalam ketentuan Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 43 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib DPRD, tidak menyebut secara tegas Panitia Legislasi sebagai salahsatu alat kelengkapan DPRD, namun yang disebut alat kelengkapan DPRD adalah “pimpinan, komisi, panitia musyawarah, panitia anggaran, badan kehormatan, dan alat kelengkapan lain yang diperlukan”. Poin yang terakhir inilah sebagai ‘pintu masuk’ dibentuknya alat kelengkapan Panitia Legislasi, sehingga tidak dianggap sebagai alat kelengkapan yang bersifat tetap. Untuk itu, jika ada komitmen dan keinginan yang kuat dalam upaya meningkatkan optimalisasi dalam fungsi legislasi, alat kelengkapan Panitia Legislasi di DPRD hendaknya dipersamakan dengan alat-alat kelengkapan DPRD lainnya yang telah ada dan ditetapkan keberadaannya bersifat tetap.

27


(44)

Alat kelengkapan ini dipandang perlu jika ada komitmen untuk melakukan penguatan fungsi legislasi di DPRD. Tugas-tugas yang dapat dilaksanakan oleh alat kelengkapan ini adalah :

a. Menyusun program legislasi daerah yang memuat daftar urutan rancangan peraturan daerah untuk satu masa keanggotaan dan prioritas setiap tahun anggaran, yang selanjutnya dilaporkan dalam Rapat Paripurna untuk ditetapkan dengan Keputusan Ketua DPRD.

b. Menyiapkan rancangan peraturan daerah usul inisiatif DPRD berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan.

c. Melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan peraturan daerah yang diajukan anggota, komisi, dan gabungan komisi sebelum rancangan peraturan daerah tersebut disampaikan kepada pimpinan dewan.

d. Memberikan pertimbangan terhadap pengajuan rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh anggota, komisi, dan gabungan komisi diluar rancangan peraturan daerah yang terdaftar dalam program legislasi daerah atau prioritas rancangan peraturan daerah tahun berjalan.

e. Melakukan pembahasan dan perubahan/penyempurnaan rancangan peraturan daerah yang secara khusus ditugaskan Panitia Musyawarah.

f. Melakukan penyebarluasan dan mencari masukan untuk rancangan peraturan daerah yang sedang dan/atau yang akan dibahas dan sosialisasi rancangan peraturan daerah yang telah disahkan.

g. Mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap materi peraturan daerah melalui koordinasi dengan komisi;


(45)

h. Menerima masukan dari masyarakat baik tertulis maupun lisan mengenai rancangan peraturan daerah;

i. Memberikan pertimbangan terhadap rancangan peraturan daerah yang sedang dibahas oleh Bupati/Walikota dan DPRD.

j. Menginventarisasi masalah hukum dan peraturan perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan DPRD untuk dipergunakan sebagai bahan oleh Panitia Legislasi pada masa keanggotaan berikutnya.

2.3. Partai Yang Memperoleh Kursi Di DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode 2009-2014

1. Partai Demokrat : 27 Kursi

2. Partai Golongan Karya (GOLKAR) : 13 Kursi 3. Partai demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) : 12 Kursi 4. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) : 11 Kursi 5. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) : 8 Kursi 6. Partai Amanat Nasional (PAN) : 7 Kursi 7. Partai Pelopor Peduli Rakyat Nasional (gabungan) : 7 Kursi

8. Partai Hanura : 5 Kursi

9. Partai Gerindra Bulan Bintang reformasi (gabungan) : 5 Kursi


(46)

2.4. Kaukus Perempuan Di DPRD Provinsi Sumatera Utara

Kaukus yang terbentuk pada 15 September 2009 ini bertujuan untuk menjalin jejaring sesama anggota kaukus perempuan mulai dari tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kota.28

Program kegiatan ini akan menjalin sinergisitas dengan organisasi perempuan, Biro Pemberdayaan Perempuan Pemprov Sumut dan PKK dalam upaya memberdayakan kaum perempuan di semua sektor mulai di bidang politik, social, ekonomi, budaya dan pendidikan. Guna memperjuangkan hal tersebut diatas maka, perlu dibangun sinergi antara komponen perempuan anggota DPRD SU sebagai upaya strategi dalam percepatan pengarusutamaan gender dalam pembangunan khususnya di Sumatera Utara. Dengan dasar pemikiran seperti itulah, maka Kaukus Perempuan Parlemen DPD RI terbentuk. Kaukus perempuan

Susunan Kepengurusan KPP DPRD Sumut yakni ketua Ristiawati, Sekretaris Syafrida Fitri, Bendahara Rinawaty Sianturi. Pengarusutamaan gender merupakan sebuah strategi yang diambil untuk mempercepat tercapainya kesetaraan dan keadilan antara perempuan dan laki-laki. Pada era reformasi dan otonomi daerah memang telah memberi ruang bagi partisipasi masyarakat, namun perlu adanya dorongan yang kuat untuk segera terwujudnya tata pemerintahan yang baik dengan menyertakan pertimbangan dimensi gender dalam seluruh rangkaian proses pembangunan melalui upaya peningkatan keterwakilan perempuan dalam pengambilan kebijakan publik. Hal ini perlu untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya perempuan, karena salah satu penyebab ketimpangan gender antara lain karena rendahnya keterwakilan perempuan di lembaga pengambil kebijakan publik di legislasi.

28

Wib.


(47)

di DPRD Provinsi Sumatera Utara yang masih seumur jagung ini masih banyak belajar dari DPR RI untuk membangun jaringan. Kaukus perempuan ini minimal dapat mendorong kesepahaman perempuan untuk masuk ke dalam partai politik. Kaukus perempuan ini diharapkan berpihak pada perempuan baik dalam bidang anggaran atau SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) yang ada di Sumatera Utara. Seperti yang dikatakan Ibu Ristiawati Ketua Kaukus perempuan parlemen mengatakan tujuan dari KPP Parlemen ialah untuk menjadikan organisasi yang dibangun ini (KPP DPRD Sumut) mampu menjadi pipa saluran bagi kalangan perempuan untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan di daerah ini.29

Periode 2009-2014.

Kaukus perempuan di DPRD Provinsi Sumatera Utara beranggotakan seluruh anggota legislatif perempuan di DPRD Provinsi Sumatera Utara. Anggota dewan di DPRD Provinsi Sumatera Utara berjumlah 100 orang, perempuan yang berhasil duduk di parlemen sebanyak 16 orang. Berikut nama-nama anggota legislatif perempuan di DPRD Provinsi Sumatera Utara.

Tabel 1.1

Nama anggota Dewan Perempuan Di DPRD Provinsi Sumatera Utara 30

No. Nama Partai

1. Nurhasanah, S.sos Demokrat

2. Hj. Ida Budiningsih, SH Demokrat

3. Megalia Agustina Demoktrat

4. Dra. Ristiawati Demokrat

29

30


(48)

5. Tiaisah Ritonga, SE Demokrat

6. Hj. Meilizar Latif, SE, MM Demokrat

7. Hj. Syafrida Fitrie, SP, M.SP Golkar

8. Hj. Helmiaty Golkar

9. Hj. Rahmiana Delima Pulungan, SE Golkar

10. Hj. Evi diana Golkar

11. Siti Aminah, Amd, S.PdI PKS

12. Hj. Nur Azizah Tambunan, SS PKS

13. Rooslynda Marpaung PPRN

14 Rinawati Sianturi PPRN

15. Mulyani, SH GERINDRA


(49)

BAB III

HASIL PEMBAHASAN

3.1. Kinerja Lembaga Legislatif Perempuan

Penilaian kinerja merupakan suatu kegiatan yang sangat penting karena dapat digunakan sebagai ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai misinya. Dengan melakukan penilaian terhadap kinerja maka upaya untuk memperbaiki kinerja bisa dilakukan secara lebih terarah dan sistematis.

Kinerja lembaga legislatif di DPRD dapat dilihat ketika anggota legislatif di DPRD berhasil menjalankan fungsinya. Anggota legislatif perempuan memiliki peran ganda sebagai ibu rumah tangga dan juga sebagai representatif rakyat terutama untuk mengangkat derajat kaum perempuan yang selama ini tertinggal akibat kurang diperjuangkannya kepentingan-kepentingan perempuan yang selama ini kurang mendapat perhatian. Sehingga dengan meningkatnya kuota perempuan diparlemen yang kemudian dipertegas lagi dalam UU Partai Politik dan UU Pemilu yang mewajibkan keterwakilan perempuan diparlemen merupakan kesempatan bagi anggota legislatif perempuan yang terpilih untuk memperjuangkan kepentingan perempuan. Di DPRD Provinsi Sumatera Utara keterwakilan anggota perempuan sangat sedikit, namun untuk periode 2009-2014 dapat dikatakan meningkat dari tahun sebelumnya. Hal ini dapat dilihat pada periode 2004-2005 perempuan yang berhasil duduk di parlemen hanya berjumlah 6 orang dari 85 orang anggota dewan. Pada periode 2009-2014 dari 100 orang anggota dewan, perempuan yang berhasil duduk di parlemen 16 orang. Hal ini menunjukkan hal yang positif bagi keterwakilan perempuan di parlemen.

Dengan melihat masih rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen maka dapat dikatakan belum berhasil dan belum memenuhi kuota perempuan


(50)

30%. Masih kurangnya 14% kuota perempuan untuk duduk di parlemen untuk merepresentasikan kepentingan perempuan. Untuk periode 2009-2014 ini hanya memenuhi kuota 16%. Dari data diatas, memang sudah ada peningkatan dalam hal kuantitas, tetapi bagaimana dengan kualitasnya. Keterwakilan perempuan dalam legislatif sangat penting karena perempuan memiliki kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami dengan baik oleh perempuan sendiri. Kebutuhan khusus tersebut meliputi kebutuhan akan kesehatan reproduksi (misalnya cara KB yang aman dan nyaman), masalah kesejahteraan keluarga (seperti soal harga sembilan bahan pokok yang terjangkau, masalah kesehatan dan pendidikan anak), kepedulian pada anak, kebutuhan manusia usia lanjut, Kekerasan Dalam Rumah Tangga serta isu-isu kekerasan seksual dan lain-lain.

Kesetaraan gender berarti penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural terhadap laki-laki dan perempuan. Keadilan gender adalah proses dan perlakuan keadilan bagi semua kaum baik laki-laki maupun perempuan. Terwujudnya kesetaraan gender dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi terhadap perempuan sehingga masing-masing memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dan memiliki akses kontrol dalam proses pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan yang dilakukan. Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, pertahanan dan keamanan nasional, serta kesamaan dalam menikmati pembangunan yang dilakukan.

Perempuan tidak banyak menguasai praktek politik untuk bisa membantunya menghadapi perubahan kebijakan yang berpihak pada mereka,


(51)

sedangkan laki-laki meskipun sebagai aktor handal dalam politik, umumnya mereka rentan terhadap stres yang menimbulkan tindakan emosional yang berlebihan. Mempertimbangkan perbedaan gender dalam hal resiko dan kerentanan dalam merancangan program perlindungan sosial adalah suatu keharusan karena perempuan dan laki-laki dalam suatu arena politik tidak bisa bersama-sama menghadapi resiko. Sejak awal reformasi, pembicaraan tentang keterwakilan perempuan diparlemen makin bergeser dari isu akademik dan gerakan sosial menjadi agenda kerja politik. Adanya ketentuan kuota perempuan dilembaga legislatif dan partai politik sebagaimana yang ditetapkan dalam UU Pemilu No. 10 Tahun 2010 semakin menguatkan desakan terhadap partai dan parlemen untuk memberikan peluang khusus bagi politisi perempuan.31

Affirmative Action dibutuhkan dikarenakan rata-rata penduduk di

Indonesia khususnya di Sumatera Utara didominasi oleh kaum perempuan, sehingga dibutuhkan keterwakilan perempuan diparlemen untuk dapat merepresentasikan kepentingan perempuan yang tidak dapat diwakili oleh kaum laki-laki. Aksi affirmasi juga dibutuhkan untuk kuota politik perempuan diparlemen rekrutmen diparlemen, rekrutmen pejabat politik dan birokrasi yang sensitif gender, konsultasi khusus untuk kalangan perempuan, akses-akses khusus bagi perempuan terhadap kebijakan publik dan prioritas anggaran untuk mewujudkan kepentingan perempuan. Gender bukan kodrat ketuhanan tetapi lebih kepada proses penempatan bagaimana sebaiknya laki-laki dan perempuan bertindak dan berperan sesuai dengan tata nilai dan struktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Seperti yang dikatakan Bapak Muslim Simbolon. S.Ag, anggota dari fraksi PAN bahwa “ Antara laki-laki dan

31


(52)

perempuan itu sama dalam lembaga legislatif ini semua mempunyai hak yang sama dalam membahas secara keseluruhan tentang seluruh masalah atau isu dari masyarakat. Dan semua pendapat yang disampaikan dalam rapat itu bebas menyampaikan pendapat dan setiap anggota dewan mempunyai hak yang sama tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan.32

Berdasarkan hasil wawancara dengan anggota legislatif perempuan Ibu Hj. Meilizar Latif, SE, MM dari Fraksi Demokrat mengatakan “Pada Tanggal 10

Dalam DPRD terdapat suatu organisasi yang disebut Kaukus, dimana organisasi ini merupakan perkumpulan anggota legislatif perempuan. Melalui organisasi ini, para anggota legislatif perempuan dapat memperjuangkan hak-hak perempuan. sejak tahun 2009-2010, anggota legislatif perempuan melalui kaukus telah melakukan dua kinerja penting dalam merespon kepentingan perempuan

Pertama, Adanya niat baik dari anggota legislatif perempuan di DPRD

Sumatera Utara dapat dilihat dari kinerja mereka untuk mewajibkan perempuan berpartisipasi dalam politik. Kebijakan untuk mendorong partisipasi dan representasi perempuan dalam proses politik telah diformalkan dalam dua kali revisi regulasi. Hal ini diharapkan memberikan efek positif untuk membangun represntasi yang setara dalam pengambilan keputusan dan pada akhirnya memajukan fungsi demokrasi. Peningkatan jumlah perempuan dilembaga legislatif dalam dua kali pemilu terakhir dapat dikatakan sebagai pengaruh regulasi pencalonan minimal 30% keterwakilan perempuan dan penempatan calon perempuan. kebijakan affirmasi tersebut telah diadopsi oleh UU No. 31/2002 dan UU No. 12/2003 untuk Pemilu 2004 dan serta UU No. 2/2008 dan UU No. 10 Tahun 2008 untuk Pemilu 2009.

32

Hasil Wawancara dengan bapak Muslim Simbolon, S.Ag pada hari selasa tanggal 12 oktober 2010 pukul 10.30


(53)

Desember 2010 anggota legislatif perempuan mendapat undangan dari DPR RI untuk turut serta dalam usulan Revisi UU Partai Politik NO.2/2008 dan UU Pemilu NO 10/2008. Untuk menghadapi Pemilu Tahun 2014, ada dua strategi yang dapat dilakukan. Pertama, adalah strategi jumlah dengan tujuan meningkatkan representasi perempuan di DPR dan DPRD karena target 30% belum tercapai. Kedua, strategi kompetensi dengan tujuan meningkatkan kompetensi calon terpilih (perempuan dan laki-laki) yang dimulai dari perbaikan kondisi internal pada hulunya yaitu partai politik. Kedua strategi tersebut salah satunya diwujudkan melalui perubahan dalam partai politik dan pemilihan umum".33

Tentang Representasi Perempuan.

Berikut ini adalah tabel rekomendasi revisi UU Partai Politik No.2/2008 dimana para anggota legislatif perempuan yang tergabung dalam kaukus di Indonesia berkumpul dan merekomendasikan agar dalam UU Partai Politik No.2/2008 keterwakilan perempuan dapat benar-benar di terapkan oleh Partai Politik dan bagi partai politik yang tidak menerapkannya akan dikenakan sanksi. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Rekomendasi Revisi UU Partai Politik No.2/2008 34

Poin Acuan Pasal Dalam UU No.2/2008

Usul Perubahan Alasan Perubahan

Pendaftaran partai politik

Pasal 3 ayat 2 (poin a sampai e)

Ditambahkan : Untuk menjadi

Konsisten dengan

33 Hasil Wawancara Dengan Ibu Hj. Meilizar Latif, SE, MM , Pada Hari Rabu Tanggal 2

Februari 2011 Pukul 14.00 Wib.

34


(54)

Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) partai politik harus mempunyai :

a. Akta notaris pendirian partai politik ;

b. Nama, lambang atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau

keseluruhannya dengan nama, lambang atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh partai politik lain sesuai dengan

peraturan perundang-undangan .

c. Kantor lengkap d. Kepengurusan paling

sedikit 60% (enam puluh perseratus) dari jumlah provinsi 50%

badan hukum, partai politik harus

mempunyai poin (f). memiliki

kepengurusan di tingkat pusat dengan memuat sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus keterwakilan perempuan) pembentukan partai politik yang salah satu syaratnya adalah menyertakan sekurang-kurangnya 30% perempuan (lihat Pasal 2 ayat 2 UU No.2/2008).


(55)

(lima puluh perseratus) dari jumlah

kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan

e. Memiliki rekening atas nama Partai Politik. kepengurusan Pasal 20

Kepengurusan partai politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing.

Diubah :

Kepengurusan harian partai politik tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota disusun dengan memuat sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Data menunjukkan jumlah perempuan harian partai politik selama berlakunya UU No.2 Tahun 2008, sangat minim. Kepengurusan harian berfungsi dalam pengelolaan aktivitas kepartaian sehari-hari


(56)

sehingga memiliki peran strategis dalam pengambilan keputusan internal partai. Rekrutmen Politik Pasal 29

1. Partai politik

melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia untuk menjadi : a. Anggota partai politik b. Bakal calon anggota

Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan perwakilan Rakyat Daerah.

c. Bakal calon Presiden dan Wakil Presiden. d. Bakal calon kepala

daerah dan wakil

Diubah :

1. Partai politik melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia untuk menjadi : a. Anggota partai

politik. b.Bakal calon

anggota DPR dan DPRD. c. Bakal calon

Presiden dan Wakil Presiden. d. Bakal calon


(1)

pendidikan tinggi. Dengan adanya pendidikan inilah, bagi kaum wanita bisa lebih dihargai dalam dunia kerja nyata saat ini. Disebutkannya, pendidikan inilah yang sangat penting bagi kaum wanita. Sehingga, wanita ini bisa mengambil kebijakan dan menganalisisnya mulai membuat skala prioritas tidak penting, penting dan sangat penting. Dengan pendidikan inilah sebagai bekal investasi terangkatnya martabat wanita dan bisa bersaingan dengan laki-laki.47

47

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Hj. Melizar Latif SE, MM anggota dewan dari fraksi Demokrat yang dulu juga berprofesi sebagai dosen mengatakan “ Seharusnya partai politik harus menyeleksi yang akan berkiprah dalam bidang politik, seperti calon legislatif. Partai politik harus memperhatikan pendidikan dan wawasan yang luas dari calon legislatif agar kelak setelah duduk di parlemen dapat menghasilkan kebijakan dan ide-ide yang cemerlang”.

Sehingga dari analisis Penulis, bahwa perlu diberikan pendidikan politik kepada perempuan dalam melakukan pendidikan yang berspektif perempuan dalam institusi, untuk mendorong partisipasi politik perempuan sehingga setelah terpilih menjadi anggota legislatif pendidikan politik yang diperoleh dapat menjadikan acuan untuk menghasilkan kebijakan yang memperhatikan kepentingan perempuan.


(2)

BAB IV

PENUTUP

4.1.KESIMPULAN

Pada prinsipnya perempuan di Indonesia secara hukum mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk berkiprah dibidang politik. Tetapi karena alasan nilai kultural yang berkembang di masyarakat dan kendala struktural sehingga hanya sedikit sekali jumlah perempuan yang tampil di panggung politik. Sehingga dalam merepresentasikan kepentingan-kepentingan perempuan pun lemah untuk di perjuangkan.

Mengingat kualitas perempuan secara Intelengesia dan potensi lainnya yang pada dasarnya sama dengan laki-laki, diharapkan dimasa mendatang, jumlah perempuan yang memasuki panggung politik dan menduduki posisi yang strategis di lembaga legislatif semakin meningkat demi tercapainya keadilan gender yang selama ini selalu menjadikan perempuan lemah.

Dalam upaya memenuhi kuota 30% perempuan untuk calon anggota legislatif secara empirik dan factual terdapat kendala yang menyebabkan keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sangat rendah. Dengan adanya anggapan bahwa dunia politik adalah dunia laki-laki. Dimana sistem dan struktur social patriarki telah menempatkan perempuan pada posisi yang tidak sejajar dengan laki-laki. Masih sedikitnya perempuan yang terjun kedunia politik dan rendanya perempuan tentang politik serta dukungan partai politik yang belum sungguh-sungguh terhadap kepentingan perempuan.

Dalam setahun menjalankan kinerja anggota legislatif perempuan kurang berhasil menjalankan fungsinya. Dapat dilihat dari belum adanya Perda Inisiatif yang berhasil dibuat guna merespon kepentingan perempuan. Demikian dengan


(3)

fungsi Anggaran dimiliki anggota Dewan belum berjalan sesuai apa yang diharapkan masyarakat. APBD masih belum berpihak pada perempuan yang tidak dapat dipungkiri bahwa perempuan lebih banyak membutuhkan biaya untuk bidang-bidang yang esensial. Seperti dalam bidang kesehatan dan untuk mengejar ketertinggalan perempuan yang selama ini terabaikan. Menjalankan fungsi pengawasan tentunya terlebih dahulu melahirkan peraturan perundangan-undangan yang dijadikan sebagai acuan dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Sehingga, karena Perda belum ada yang dihasilkan maka sejauh ini pengawasan yang dilakukan sejauh ini masih pengawasan terhadap SKPD yang berkaitan tentang Gender.

Belum maksimalnya kinerja anggota legislatif perempuan juga tidak lepas dari tingkat pendidikan dan pengalaman di bidang politik. Sehingga dibutuhkan Sumber Daya Manusia yang memiliki potensi. Perlunya rekrutmen yang jelas dari partai politik juga sangat menentukan kualitas para calon Legislatif, yang berfungsi sebagai representasi rakyat.

4.2. SARAN

Perlu adanya upaya membangun kesadaran peran dan partisipasi politik perempuan di lembaga DPRD Sumatera Utara secara sadar dan sengaja sehingga tujuan-tujuan program pemberdayaan perempuan yang ingin dicapai dapat dimaksimalkan. Perempuan-perempuan di Sumatera Utara juga perlu dibangun kesadarannya untuk berperan dan berpartisipasi politik dan dibangun kesadaran kritis secara maksimal sehingga mendukung secara penuh peran dan mengontrol serta dapat mempengaruhi jalannnya pemerintahan dan pembentukan hukum.


(4)

Perlu dilakukan kajian-kajian dan mengidentifikasi permasalahan yang selama ini memarginalisasikan dan terisolirnya perempuan dari dunia politik, utamanya perempuan ditingkat lokal yang masih memiliki keterbatasan terhadap perolehan pendidikan politik. Kalangan perempuan yang terlibat dalam partai politik perlu dibimbing secara profesional dan proporsional, sehingga menjadi sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.

Perempuan yang terjun kedunia politik harus mempersiapkan diri agar mampu bersaing dengan laki-laki. Untuk itu perempuan harus aktif dalam membekali diri dan dengan memenuhi kapasitas, kompetensi dan kualifikasi sebagai warga politik dengan tetap dalam koridor kesempurnaan jati diri perempuan.

Dalam konteks ini ada beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan cara memperkuat partisipasi politik perempuan agar kepentingan perempuan segera terpenuhi :

1. Meningkatkan jumlah pejabat perempuan di tingkat nasional, Provinsi dan lokal. Serta memberikan kesempatan kepada perempuan yang memang memiliki potensi dalam politik untuk menjadi wakil rakyat agar dapat memperjuangkan kepentingan bersama terutama kepentingan perempuan yang perlu untuk di perjuangkan.

2. Memberikan pendidikan politik kepada perempuan dalam melakukan pendidikan yang berspektif perempuan dalam institusi, untuk mendorong partisipasi politik perempuan sehingga setelah terpilih menjadi anggota legislatif pendidikan politik yang diperoleh dapat menjadikan acuan untuk menghasilkan kebijakan yang memperhatikan kepentingan perempuan.


(5)

3. Dalam melakukan strategi berkampanye menuju kursi legislatif (Ongkos Politiknya), hendaknya di hindari Money Politic, sehingga kelak setelah terpilih menjadi anggota legislatif fokus memikirkan kesejahteraan masyarakat, bukan sebaliknya untuk memikirkan strategi agar uang yang telah keluar selama pencapaian kursi di legislatif dapat kembali.

Pemberian mandat terhadap wakil rakyat tidak cukup dengan penghapusan streotipe gender, namun harus dilihat kualitas dan potensi yang dimiliki perempuan tersebut., karena jika wakil rakyat yang terpilih tidak punya kualitas yang baik dan tidak punya kemampuan untuk menjadi legislator yang baik, tentu berpengaruh juga terhadap kualitas parlemen, yang pada akhirnya akan berimbas kepada rakyat karena legislator yang diharapkan mampu merepresentasikan kepentingannya ternyata tidak seperti yang diharapkan.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Anugrah, Astrid, “Keterwakilan Perempuan Dalam Politik”, Jakarta, Pancur Alam, 2009.

Regen, Bintan, “Sistem Pemerintahan Dan Lembaga Perwakilan Di Indonesia”, Jakarta, Perintis Perss, 1985.

Budiardjo, Miriam, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Cipto, Bambang, “Dewan Perwakilan Rakyat”, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995

Daulay, Harmona , Perempuan Dalam Kemelut Gender, USU Press.

Dwiyanto, Agus, 1995, Penilaian Kinerja Organisasi Publik, Makalah Dalam Seminar

Sehari : Kinerja Organisasi Sektor Publik, Kebijakan Dan Penerapannya, Fisipol UGM,

Yogyakarta.

Gaffar, Affan 2000, Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Irianto, Sulistyowati, “Konvensi Wanita Di Indonesia”, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2001.

Keban, Yeremis T, 1995, Indikator Kinerja Pemerintah Daerah : Pendekatan Management Dan Kebijakan, Seminar Sehari Kinerja Organisasi Sektor Publik, Kebijakan Dan Penerapan 20 Mei 1995, Yogyakarta, MAP-UGM.

Mulia, Musdah Siti, Farida, Anik, “Perempuan dan Politik”, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Mangkunegara, A.A. Anwar Prabu, “Evaluasi Kerja SDM”, Cetakan Ketiga , Bandung : PT.Refika Aditama, 2007.