Pembuatan Sediaan Floating Dispersi Padat Klaritromisin dengan Menggunakan Cangkang Kapsul Alginat dan Pengujian Aktivitas Antibakterinya

BAB II
TINJUAN PUSTAKA
2.1

Ulkus Peptikum
Ulkus peptikum merupakan tukak yang terjadi dalam saluran pencernaan

baik di lambung maupun di duodenum. Gambaran klinis utamanya adalah rasa
nyeri yang terjadi pada bagian lambung dan akan mereda setelah makan atau
sesudah menelan antasida. Nyeri biasanya timbul 2 sampai 3 jam setelah makan
atau pada malam hari sewaktu lambung kosong. Nyeri ini seringkali digambarkan
sebagai nyeri teriris, terbakar, atau rasa tidak enak. Sekitar seperempat dari
penderita m engalami perdarahan, walaupun hal ini lebih lazim terjadi pada ulkus
duodenum. Gejala dan tanda penyakit ini adalah muntah, muntahan berwarna
merah atau “seperti kopi”, mual, anoreksia, dan penurunan berat badan (Price dan
Wilson, 2005).
Awalnya, hal tersebut diperkirakan terjadi karena stres dan makanan
pedas, akan tetapi setelah diteliti lebih lanjut hal tersebut terjadi karena beberapa
faktor, dapat disebabkan karena adanya asam lambung dan enzim pepsin ketika
Helicobacter pylori, NSAIDs, atau faktor lainnya mengganggu sistem pertahanan
mukosa dan penyembuhan mukosa (Berardi dan Welage, 2005).


2.2

Helicobacter Pylori
Helicobacter pylori merupakan bakteri basil berbentuk spiral, pH-sensitif,

gram negatif, dan bakteri mikroaerofilik yang tinggal diantara laipsan mukosa dan
permukaan epitel sel dalam lambung. Kombinasi antara bentuknya yang spiral
dan berflagel memungkinkan bakteri ini berpindah dari lumen lambung, tempat
dimana pH rendah, ke lapisan mukus lambung, tempat dimana pH netral (Dipiro
7

Universitas Sumatera Utara

et. al., 2005). H.pylori dapat berkembang dalam lambung karena bakteri tersebut
dapat menghasilkan urease dan protein penghambat asam lambung. Bakteri ini
hanya dapat berkembang di epitel seperti epitel dan mukosa lambung
(Siddalingam dan Cidambaram, 2014).
Secara umum, ada 3 mekanisme infeksi bakteri H. pylori yang
menyebabkan tukak lambung. Pertama, H. pylori menginfeksi bagian bawah

lambung antrum. Kedua, setelah infeksi akan terjadi peradangan bakteri yang
mengakibatkan peradangan lendir lambung (gastritis), peristiwa ini seringkali
terjadi tanpa penampakan gejala (asimptomotik). Ketiga, terjadinya peradangan
dapat berimplikasi terjadinya tukak lambung atau usus 12 jari. Hal ini bisa
terjadi komplikasi akut, yaitu luka dengan pendarahan dan luka berlubang. Tujuan
terapi obat H.pylori adalah untuk eradikasi organisme ini. Terapi yang digunakan
harus efektif, dapat ditoleransi, mudah dikombinasi, dan murah (Rani dan Fauzi,
2009).

2.3

Klaritromisin

2.3.1

Uraian bahan

Gambar 2.1 Struktur klaritromisin
Rumus Molekul


: C38H69NO13

Nama Kimia

: 6-O-Metil-6-O-metileritromisin
8

Universitas Sumatera Utara

Berat Molekul

: 747,95

Pemerian

: Serbuk hablur; putih sampai hampir putih

Kelarutan

: Larut dalam aseton; sukar larut dalam etanol absolut,

dalam metanol, dalam asetonitril dan dalam dapar fosfat
pH

2-5; praktis tidak larut dalam air (Ditjen POM,

2014).
2.3.2

Farmakologi klaritromisin
Antibiotik makrolida semisintesis ini menghambat sintesis protein bakteri

dengan cara berikatan dengan subunit ribosomal 50s organisme yang rentan dan
menghambat sintesis protein dalam proses translokasi aminoacyl transfer RNA
(Kumar et. al., 2012).
2.3.3

Farmakokinetik klaritromisin

a. Absorbsi: Klaritromisin larut dalam lemak dan sangat cepat diserap dalam
saluran pencernaan dengan bioavailabilitas sekitar 50-55%. Hal ini dikarenakan

efek metabolisme lintas pertama yang menghasilkan 14-hidroksiklaritromisin
(Fraschini et. al., 1993).
b. Distribusi dan Ikatan protein: Sekitar 42-50% klaritromisin akan berikatan
dengan protein plasma. Klaritromisin kan didistribusikan ke seluruh jaringan
tubuh keculai ke sistem saraf pusat (Frashcini et. al., 1993).
c. Metabolisme: Klaritromisin di metabolisme di hati dan mengalami dimetilasi,
hidrosilasi, dan hidrolisis.
d. Ekskresi: Klaritromisin di ekskresi melalui ginjal yaitu sekitar 20-40%.
Konsentrasi klaritromisin yang di ekskresikan melalui empedu dan feses hanyalah
sedikit (Frashcini et. al., 1993).

9

Universitas Sumatera Utara

2.4

Sistem Penghantaran Obat Gastroretentif
Penyampaian obat secara oral merupakan rute pemberian obat yang paling


banyak digunakan dikarenakan penggunaan yang mudah, pasien lebih patuh,
formulasi yang mudah, dan lebih murah. Akan tetapi, bentuk sediaaan oral
memiliki beberapa kekurangan yaitu proses absorbsi yang cepat, degradasi oleh
asam lambung, dan waktu paruh yang pendek. Oleh karena hal tersebut, peneliti
mengembangkan sediaan oral dengan pelepasan berkelanjutan yang dapat
mencapai efek yang diinginkan (Neetika dan Manish, 2012).
Salah satu sediaan oral yang telah dikembangkan adalah sistem
penyampaian obat yang bertahan dilambung atau gastroretentive drug delivery
system. Sistem ini dapat mempertahankan obat tetap berada di dalam lambung
selama beberapa jam dan karenanya dapat memperpanjang waktu tinggal obat di
lambung secara signifikan. Peningkatan waktu tinggal di lambung dapat
meningkatkan bioavailabilitas atau ketersediaan hayati, mengurangi residu obat,
dan meningkatkan kelarutan obat yang kurang larut dalam lingkungan pH tinggi.
Sistem ini juga diaplikasikan dalam pengobatan lokal untuk bagian perut dan
bagian atas usus kecil. Motilitas saluran cerna yang melambat dengan pemberiaan
bersamaan dengan obat ini juga meningkatkan waktu tinggal obat didalam
lambung (Neetika dan Manish, 2012).

Gambar 2.2 Sistem penghantaran obat di lambung
Gambar diatas merupakan berbagai sistem penghantaran obat di lambung,

yaitu sistem mukoadesif, sistem mengapung, mengembang, dan sistem high

10

Universitas Sumatera Utara

density yang dikembangkan untuk meningkatkan lama tinggal sediaan di dalam
lambung (Neetika dan Manish, 2012).

2.5

Sistem Penghantaran Obat Mengapung (Floating Drug Delivery
System)
Sediaan dengan sistem penghantaran mengapung (floating drug delivery

system) memiliki berat jenis yang jauh lebih kecil dari cairan lambung, hal ini
menyebabkan sediaan dapat tetap mengapung dalam waktu yang lama. Disaat
sediaan mengapung, maka obat akan terlepas lambat, kemudian residual akan
dikosongkan dari lambung. Hal ini menyebabkan lama tinggal sediaan dilambung
meningkat dan kontrol pelepasan konsentrasi obat lebih baik (Shah, 2009).

Sistem penghantaran obat mengapung dibagi ke dalam dua variabel
formulasi yaitu sistem effervescent dan sistem non-effervescent.
a. Bentuk Sediaan Floating Effervescent
Merupakan sistem yang menggunakan polimer agar dapat mengapung
seperti HPMC, senyawa polisakarida polisakarida lain, kitosan, dan effervescent
seperti sodium bikarbonat, kalsium karbonat, asam sitrat, dan asam tartat. Sediaan
diformulasikan sedemikian rupa sehingga saat kontak dengan asam lambung CO2
akan dilepaskan dan terperangkap dalam hidrokoloid yang telah mengembang, hal
ini menyebabkan sediaan mengapung (Narang, 2010).
b. Bentuk Sediaan Floating Non-Effervescent
Menggunkan bahan pembentuk gel dan dapat mengembang seperti
hidrokoloid (hidroksi etil selulosa, hidroksi propil selulosa, hidroksipropil metil
selulosa, dan sodium karboksi metil selulosa), polisakarida, dan matriks
pembentuk polimer (polikarbopol, poliakrilat, dan polistiren). Pada proses
11

Universitas Sumatera Utara

formulasinya, obat dan hidrokoloid pembentuk gel dicampurkan secara merata.
Setelah diberikan secara oral, sediaan akan mengembang setelah kontak dengan

asam lambung dengan massa jenis lebih kecil dari satu, daya apung sediaan
disebabkan oleh udara yang terjerap didalam matriks (Narang, 2010).
2.5.1

Kandidat obat untuk sediaan mengapung
Pada sistem penghantaran obat ini dimaksudkan untuk obat-obat dengan

tujuan pemakaian tertentu, dengan maksud untuk penghantaran, dan aktivitas
kerja obat yang lebih baik. Berbagai macam kandidat obat yang tepat untuk
diformulasikan pada sistem penghantaran obat mengapung diantaranya:
a. Obat-obat yang aktif bekerja secara lokal di lambung, contoh: misoprostol dan
antasida.
b. Obat-obat yang memiliki rentang absorpsi sempit dalam saluran pencernaan,
contoh: Levodopa, asam p-amino benzoat, furosemid, dan riboflavin.
c. Obat-obat yang tidak stabil pada lingkungan basa di bagian usus atau kolon,
contoh: Captopril, ranitidine HCl, dan metronidazol.
d. Obat-obat yang mengganggu aktivitas kerja mikroba di kolon, contoh:
antibiotik yang digunakan pada pengobatan Helicobacter Pylori, diantaranya
tetrasiklin, klaritomisin, metronidazol, dan amoksisilin.
e. Obat-obat yang menunjukkan kelarutan yang rendah pada pH yang tinggi,

contoh: diazepam, klordiazeposid, dan verapamil (Bharathi, et al., 2015).
2.5.2

Keuntungan bentuk sediaan mengapung
Bentuk sediaan floating memiliki beberapa keuntungan, yaitu:

a. Peningkatan penyerapan obat karena peningkatan waktu tinggal di lambung dan
peningkatan waktu kontak obat dengan daerah penyerapan.
b. Penghantaran obat dapat dikendalikan.
12

Universitas Sumatera Utara

c. Penghantaran obat secara lokal untuk daerah kerja di lambung.
d. Meminimalkan terjadinya iritasi pada mukosa lambung karena obat-obatan
tertentu dengan cara melepaskan obat secara lambat pada tingkat terkendali.
e. Digunakan untuk pengobatan gangguan pencernaan.
f. Menggunakan peralatan yang sederhana dan konvensional.
g. Kemudahan dalam penggunaannya dan meningkatkan faktor kepatuhan pasien
menjadi lebih baik.

h. Penghantaran obat pada daerah tertentu (Sharma, et al., 2011).
Berbagai keuntungan ini menjadikan sistem lebih dikembangkan lagi
untuk menghasilkan sistem penghantaran yang ideal (Sharma, et al., 2011).
2.5.3

Kekurangan sistem penyampaian obat mengapung
Selain keuntungan, bentuk sediaan ini juga memiliki beberapa

kekurangang, diantaranya:
a. Retensi lambung yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti makanan, pH,
dan motilitas lambung. Faktor-faktor ini tidak pernah tetap dan karenanya daya
apung sediaan tidak dapat diprediksi.
b. Obat-obatan yang menyebabkan iritasi dan lesi pada mukosa lambung tidak
cocok untuk sistem pemberian obat ini.
c. Variabilitas tinggi dalam waktu pengosongan lambung.
d. Pengosongan lambung untuk pasien pada posisi tidur telentang yang terjadi
secara acak tidak dapat diprediksi dan bergantung pada diameter dan ukuran
sediaan mengapung. Oleh karena itu sebaiknya tidak diberikan sediaan ini saat
pasien akan tidur (Sharma, et al., 2011).

13

Universitas Sumatera Utara

2.6

Sistem Dispersi Padat

2.6.1

Definisi dispersi padat
Istilah dispersi padat mengacu kepada sekelompok produk padatan yang

terdiri setidaknya dari dua komponen yang berbeda, umumnya matriks hidrofilik
dan obat hidrofobik. Matriks ini dapat berupa kristal atau amorf. Obat ini dapat
terdispersi secara molekuler, dalam partikel amorphous (kluster) atau dalam
partikel kristal (Chiou dan Reigelman, 1971).
Dispersi padat dapat didefenisikan sebagai sistem dispersi satu atau lebih
bahan aktif ke dalam suatu pembawa atau matriks inert dalam kondisi padat, yang
dibuat dengan cara peleburan, pelarutan, atau kombinasi dari peleburan dan
pelarutan, dimana masing-masing metode ini memiliki keuntungan dan kerugian
masing-masing dan disesuaikan dengan sifat bahan dan matriks yang akan
didispersikan.

Keuntungan

dari

formulasi

dispersi

padat

dibandingkan

tablet/kapsul konvensional untuk peningkatan disolusi dan biovailabilitas dari
obat yang sukar larut dalam air (Chiou dan Rielgeman, 1971).
2.6.2

Metode pembuatan sistem dispersi padat

2.6.2.1 Metode pelelehan
Metode ini pertama kali diusulkan Sekiguchi dan Obi tahun 1961. Untuk
membuat bentuk sediaan dispersi padat. Campuran obat dan pembawa yang larut
air dilebur secara langsung sampai meleleh. Campuran tersebut didinginkan dan
dibekukan pada penangas berisi es (ice bath) dengan pengadukan kuat. Massa
padat dihancurkan, diserbuk dan diayak (Goldberg, et al., 1966). Massa padat
tersebut biasanya membutuhkan penyimpanan satu hari atau lebih dalam desikator
pada suhu kamar untuk pengerasan dan kemudahan diserbuk (Levy, 1963).

14

Universitas Sumatera Utara

Keuntungan utama metode ini adalah sederhana dan ekonomis. Sebagai
tambahan dapat dicapai supersaturasi zat terlarut atau obat pada sistem dengan
mengkristalkan lelehan langsung secara cepat dari temperatur tinggi Dibawah
kondisi seperti itu, molekul zat terlarut tertahan pada matriks pelarut dengan
proses pemadatan langsung. Sehingga didapat dispersi kristalit yang lebih halus
dari

sistem

campuran

eutetis

sederhana

bila

metode

ini

digunakan.

Kekurangannya adalah banyak zat baik obat atau pembawa, dapat terurai atau
menguap selama proses peleburan pada suhu tinggi (Chiou dan Riegelman, 1971).
2.6.2.2 Metode pelarutan
Metode ini telah lama digunakan dalam pembuatan dispersi padat atau
kristal campuran senyawa organik dan anorganik (Chiou dan Riegelman, 1971).
Dispersi padat dibuat dengan melarutkan campuran dua komponen padat dalam
suatu pelarut umum, diikuti dengan penguapan pelarut. Metode ini digunakan
untuk membuat dispersi padat ß- karoten-polivinilpirolidon (Tachibana dan
Nakamura, 1965), sulfathiazol-polivinilpirolidon (Simonelli, et al., 1969).
Keuntungan utama dari metode ini adalah penguraian obat atau pembawa dapat
dicegah karena penguapan pelarut terjadi pada suhu rendah. Kekurangannya
adalah

biaya

mahal,

kesukaran

memisahkan

pelarut

secara

sempurna,

kemungkinan efek merugikan dari pelarut yang jumlahnya dapat diabaikan
terhadap stabilitas obat, pemilihan pelarut umum yang mudah menguap, dan
kesukaran menghasilkan kembali bentuk kristal (Chiou dan Riegelman, 1971).
2.6.2.3 Metode pelarutan-pelelehan
Sistem dispersi padat dibuat dengan melarutkan dahulu obat dalam pelarut
yang sesuai dan mencampurnya dengan lelehan polietilen glikol, dapat dicapai
dibawah suhu 70º C, tanpa memisahkan pelarut. Metode ini terbatas untuk obat
15

Universitas Sumatera Utara

dengan dosis terapetik yang rendah, misalnya dibawah 50 mg (Chiou dan
Riegelman, 1971).
2.6.3

Pembawa dispersi padat
Pembentukan sistem dispersi padat dalam pembawa yang mudah larut

telah luas digunakan diantaranya: polivinilpirolidon (PVP), polietilen glikol
(PEG), polivinilalkohol (PVA), derivat selulosa, poliakrilat dan polimethakrilat,
urea, gula, poliol dan polimernya, dan emulsifier (Leuner dan Dressman, 2000).
Polivinilpirolidon merupakan homopolimer dari N-vinilpirolidon dengan
berat molekul 2500-3000 yang digunakan sebagai agen pensuspensi dan dispersi,
pengikat tablet dan agen granulasi, dan sebagai pembawa untuk obat-obat seperti
penisilin, kortison, prokain, dan insulin. PVP tersedia dengan range angka dari
K15 sampai K90 (Attwood, 2008). Oleh karena kelarutan yang bagus dalam
pelarut organik, PVP cocok digunakan untuk pembuatan dispersi padat dengan
metode pelarutan. Peningkatan laju disolusi dari dispersi padat dengan PVP telah
dilakukan pada asam fufenamat (Itai et al., 1985).

2.7

Natrium Alginat
Alginat sangatlah berlimpah di alam indonesia karena alginat ini sebagai

komponen struktural yang terdapat dalam alga coklat (Phaeophyceae), yang
komponennya mencapai 40% dari bahan keringnya (Draget, et al., 2005)
Natrium Alginat merupakan produk pemurnian karbohidrat yang
diekstraksi dari alga coklat (Phaeophyceae) dengan menggunakan basa lemah.
Natrium alginat larut dengan lambat dalam air, membentuk larutan kental, tidak
larut dalam etanol dan eter. Alginat ini diperoleh dari spesies Macrocystis
pyrifera, Laminaria, Aschophyllum dan Sargassum (Belitz, et. al., 2009).
16

Universitas Sumatera Utara

Alginate komersil umumnya diproduksi dari Laminaria hyperborean,
Macrocystis pyrifera, Laminaria digitata, Ascophyllum nodosum, Laminaria
japonica, Edonia maxima, Lessonia nigrescens, Durvillea Antarctica, dan
Sargassum sp (Draget, et al., 2005).
Asam alginat merupakan kopolimer biner yang terdiri dari residu β-Dmannuronat (M) dan α-L-asam guluronat (G) yang tersusun dalam blok-blok yang
membentuk rantai linier (Grasdalen, et. al., 1979). Kedua unit tersebut berikatan
pada atom C1 dan C4 dengan susunan homopolimer dari masing-masing residu
(MM dan GG) dan suatu blok heteropolimer dari dua residu (MG) (Thom, et al.,
1980).
Asam alginat tidak larut dalam air, karena itu yang digunakan dalam
industri adalah dalam bentuk garam natrium dan garam kalium. Salah satu sifat
dari natrium alginat adalah mempunyai kemampuan membentuk gel dengan
penambahan larutan garam-garam kalsium seperti kalsium glukonat, kalsium
tartrat dan kalsium sitrat. Pembentukan gel dengan ion kalsium, disebabkan oleh
adanya ikatan silang membentuk khelat antara ion kalsium dan anion karboksilat
pada blok G-G melalui mekanisme antar rantai. Natrium alginat mempunyai
rantai poliguluronat yang menunjukkan sifat pengikatan ion kalsium yang lebih
besar (Morris, et al., 1980).

17

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3 Struktur Alginat (a) monomer alginat (b) ikatan antar monomer
(c) gambaran blok monomer alginat
Asam alginat bersifat asam, dan sering digunakan dalam granulasi asam
atau netral. Jika digunakan dalam garam basa atau garam asam organik, zat ini
cenderung membentuk alginat yang larut atau tidak larut yang mempunyai sifat
gel dan memperlambat desintegrasi. Asam alginat biasa digunakan pada
konsentrasi 1% sampai 5%, sedangkan natrium alginat digunakan antara 2,5%
sampai 10%. Asam alginat dan garamnya merupakan suatu kombinasi yang baik
dengan pengembangan yang cukup dengan kelekatan minimal dan konsentrasi
serendah mungkin antara 4% sampai 5% sudah memadai dalam memberikan sifat
pengembangan tersebut (Siregar dan Wikarsa, 2010).
Kelarutan alginat dalam air ditentukan dan dibatasi oleh tiga parameter
berikut, antara lain:

18

Universitas Sumatera Utara

(i) pH pelarut merupakan parameter penting karena akan menentukan adanya
muatan elektrostatik pada residu asam uronat.
(ii) Kekuatan ionik total zat terlarut juga berperan penting (terutama efek saltingout kation-kation non-gelling), dan
(iii) Kandungan dari ion-ion pembentuk gel dalam pelarut membatasi kelarutan
(Draget, et al., 2005).
Kegunaan alginat dan kemampuannya mengikat air bergantung pada
jumlah ion karboksilat, berat molekul dan pH. Kemampuan mengikat air
meningkat bila jumlah ion karboksilat semakin banyak dan jumlah residu kalsium
alginat kurang dari 500, sedangkan pH dibawah 3 terjadi pengendapan. Secara
umum, alginat dapat mengabsorpsi air dan dapat digunakan sebagai pengemulsi
dengan viskositas yang rendah (Zhanjiang, 1990).
Dilaboratorium Farmasi Fisik Fakultas Farmasi USU dalam beberapa
tahun terakhir telah dikembangkan kapsul yang tahan terhadap asam lambung.
Dimana cangkang kapsul tersebut dibuat dengan bahan dasar berupa natrium
alginat dengan kalsium klorida menggunakan cetakan. Telah terbukti bahwa
cangkang kapsul alginat tahan atau tidak pecah dalam cairan lambung buatan
(pH 1,2). Utuhnya cangkang kapsul alginat didalam medium lambung buatan pH
1,2 disebabkan komponen penyusun cangkang kapsul alginat yaitu kalsium
guluronat masih utuh (Bangun, dkk., 2005).

2.8

Kapsul
Kapsul dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat dimana satu

macam obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya dimasukkan kedalam
cangkang atau wadah kecil yang umumnya dibuat dari gelatin lunak dan keras.
19

Universitas Sumatera Utara

Kebanyakan kapsul-kapsul yang diedarkan di pasaran adalah kapsul yang
semuanya dapat ditelan oleh pasien untuk memperoleh keuntungan dalam
pengobatan. Kapsul gelatin keras merupakan kapsul yang digunakan oleh ahli
farmasi dalam menggabungkan obat-obat dan pada umumnya kapsul jenis ini
sering diproduksi oleh para pembuat sediaan farmasi (Ansel, 2005).
Kulit kapsul dibuat dari gelatin pelentur, dan air. Kulit kapsul dapat juga
mengandung bahan-bahan tambahan seperti pengawet, bahan pewarna dan bahan
pengeruh, pemberi rasa, gula, asam, dan bahan obat untuk mendapat efek yang
diinginkan. Plasticizier (pelentur) yang digunakan dengan gelatin pada pembuatan
kapsul lunak relatif sedikit. Yang paling banyak adalah Gliserin USP, Sorbitol
USP, Pharmaceutical Grade Sorbitol Special, dan kombinasi-kombinasinya.
Perbandingan berat plastisator kering terhadap gelatin kering menetukan
kekerasan kulit/cangkang gelatin, dengan anggapan tidak ada pengaruh dari bahan
yang dikapsulkan (Lachman, dkk., 2008). Laju pengeringan kapsul juga
mempengaruhi kekerasan dan kerapuhan kapsul, kemampuan pelarutan, dan
kecenderungan untuk melekat satu sama lain. Kondisi penyimpanan yang
direkomendasikan untuk bentuk sediaan kapsul berkisar 15-30 o C dan 30%-60%
kelembaban relatif (Margareth, et. al., 2009).

2.9

Uji Aktivitas Antibakteri
Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan untuk mengukur respon

pertumbuhan populasi mikroorganisme terhadap agen antimikroba. Tujuan
pengujian antimikroba adalah untuk menentukan potensi dan kontrol kualitas
selama proses produksi senyawa antimikroba di pabrik, untuk menentukan
farmakokinetik obat pada hewan atau manusia, dan untuk memonitor dan
20

Universitas Sumatera Utara

mengontrol kemoterapi obat. Kegunaan uji antimikroba adalah diperolehnya
susatu sistem pengobatan yang efektif dan efisien. Beberapa macam metode uji
antimikroba dijelaskan berikut ini (Pratiwi, 2008).
2.9.1

Metode difusi

2.9.1.1 Tes Kirby & Bauer (disk-diffusion agar method)
Metode ini telah dikembangkan sejak tahun 1940, digunakan dalam
banyak uji klinis mikrobiologi untuk pengujian sensitivitas antimikroba.
Sekarang ini, banyak standar umum dan diakui telah dipublikasikan oleh Clinical
Laboratory Standart Institute (CLSI) untuk menguji bakteri dan jamur, meskipun
tidak semua bakteri tertentu dapat diuji menggunakan metode ini (Clinical
Laboratory Standart Institute, 2007).
Prosedur

pengujiannya,

plat

agar

diikulasi

dengan

inokulum

mikroorganisme yang telah distandarisasi. Kemudian, pencadang kertas/paper
discs (beriameter 6 mm) yang mengandung bahan yang akan diuji dengan
konsentrasi yang diinginkan di tempatkan pada permukaan agar. Cawan petri
siinkubasi pada kondisi yang sesuai. Umumnya, agen antimikroba akan berdifusi
ke agar dan menghambat pertumbuhan dari mikroorganisme uji dan diameter
dari daerah hambat diukur (Balouiri, et.al., 2016). Antimikroba memberikan
hasil kualitatif dengan kategori susceptible, intermediate, dan

resistant

(Jorgensen, 2009). Hasil pengujian aktivitas antibakteri menggunakan metode
difusi agar dapat dilihat pada gambar 2.4.

21

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.4 Tes Kirby & Bauer (disk-diffusion agar method) terhadap bakteri
C.albicas
2.9.1.2 Metode E-test
Metode E-test digunakan untuk mengestimasi konsentrasi hambat
minimum (KHM), yaitu konsentrasi minimal suatu agen antimikroba untuk
menghambat pertummbuhan mikroorganisme. Pada metode ini digunakan stip
plastik yang mengandung agen antimikroba dari kadar yang terendah hingga
kadar yang tertinggi dan diletakkan pada permukaan media agar yang telah
ditanami mikroorganisme. Pengamatan dilakukan pada areah jernih yang telah
ditimbulkannya yang menunjukkan kadar agen antimikroba yang menghambat
pertumbuhan mikroorganisme pada media agar (Pratiwi, 2008).

2.9.1.3 Metode difusi lain
Metode difusi yang lebih lanjut digunakan dalam penelitian di
laboratorium mikrobiologi untuk mencari potensi ekstrak, fraksi atau komponen
murni sebagai antimikroba atau untuk memerikasa antogonisme diantara
mikroorganisme. Beberapa diantara metode tersebut yang paling umum

22

Universitas Sumatera Utara

digunakan adalah agar well diffusion method, agar plug diffusion method, cross
streak method, dan pasioned food method (Balouiri, et.al., 2016).
2.9.2

Metode dilusi
Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair (broth dilution) dan

dilusi padat (solid dilution) (Pratiwi, 2008).
2.9.2.1 Metode dilusi cair
Dilusi cair mikro atau makro merupakan salah satu metode uji antimikroba
yang paling dasar. Prosedurnya melibatkan penyiapan dilusi kelipatan dua dari
agen antimikroba (contoh 1, 2, 4, 8, 16, dan 32 µg/mL) dalam media pertumbuhan
bakteri cair yang didispersikan didalam tabung yang mengandung volume
minimum 2 mL (makrodilusi) atau dengan volume yang lebih kecil plat 96-sumur
mikrotitrasi (mikrodilusi). Kemudian, setiap tabung atau sumur di inokulasi
dengan inukulum mikroba disiapkan dalam medium yang sama setelah suspensi
dilusi mikroba distandarisasi disesuaikan dengan larutan McFurland 0,5. Setelah
diaduk dengan baik, tabung inokulasi atau plat 96-sumur mikrotrasi diinkubasi
dalam konsisi yang sesuai tergantung dari jenis mikroorganisme uji yang
digunkan (Balouiri, et.al., 2016). Metode ini digunakan untuk mengukur
konsentrasi hambat minimum (KHM) dan konsentrasi bunuh minimum (KBM)
(Pratiwi, 2008). Pada Gambar 2.5 dapat di lihat prosedur pengujian antibakteri
dengan metode mikrodelusi cair.

23

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.5 Mikrodilusi cair untuk uji antibakteri berdasarkan CLSI
2.9.2.2 Metode dilusi padat
Metode ini sama dengan metode dilusi cair namaun menggunakan media
padat (solid), keuntungan dari metode ini adalahh satu konsentrasi dari agen
antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji
(Pratiwi, 2008).
2.9.3

Media pertumbuhan bakteri
Menurut Irianto (2006) media pertumbuhan bakteri berdasarkan

kegunaannya dapat di bagi atas:
1.

Media selektif yaitu media biakan yang mengandung paling sedikit satu
bahan yang dapat menghambat perkembangbiakan mikroorganisme yang
tidak diinginkan dan membolehkan perkembangbiakan mikroorganisme
tertentu yang ingin diisolasi.

2.

Media difrensial yaitu media yang digunakan untuk menyeleksi suatu
mikroorganisme dari berbagai jenis dalam suatu lempengan agar

24

Universitas Sumatera Utara

3. Media diperkaya yaitu media yang digunakan untuk menumbuhkan
mikroorganisme yang diperoleh dari lingkungan alami karena jumlah
mikroorganisme yang ada terdapat dalam jumlah sedikit.
2.9.4

Fase pertumbuhan bakteri

Ada empat macam fase pertumbuhan bakteri menurut Pratiwi (2008), yaitu:
1.

Lag phase (fase penyesuaian) merupakan fase adaptasi dimana tidak adanya
peningkatan jumlah sel, yang ada hanya peningkatan ukuran sel. Lama fase
ini tergantung pada kondisi dan jumlah awal mikroorganisme dan media
pertumbuhan.

2.

Log phase (fase eksponensial/pembelahan) merupakan fase dimana
mikroorganisme tumbuh dan membelah pada kecepatan maksimum,
tergantung pada genetika mikroorganisme, sifat media, dan kondisi
pertumbuahan. Untuk organisme aerob yang membatasi pertumbuhan adalah
oksigen.

3.

Stationary phase (fase stationer) merupakan fase dimana pertumbuhan
mikroorganisme terhenti dan terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang
membelah dengan jumlah sel yang mati dan terjadi akumulasi produk
buangan yang bersifat toksik.

4.

Death phase (fase kematian) merupakan fase dimana jumlah sel yang mati
meningkat karena ketidaktersediaan nutrisi dan akumulasi produk buangan
yang bersifat toksik.
Gambar kurva pertumbuhan bakteri dapat dilihat pada gambar dibawah

ini:

25

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.6 Fase pertumbuhan bakteri

26

Universitas Sumatera Utara