Proposal Tesis Nawar Pemikiran Frithjo

PEMIKIRAN FRITHJOF SCHUON TENTANG MAKNA AGAMA
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT AGAMA
Usulan Penelitian untuk Tesis S-2
Program Studi Ilmu Filsafat

diajukan oleh
NAZWAR
13/354421/PFI/00363
Kepada

PROGRAM MASTER FILSAFAT
PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT
FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN
1. Permasalahan
Pemahaman manusia terhadap makna agama menentukan sikap terhadapnya.
Bagi para pemeluk agama yang berusaha taat, agama adalah jalan hidup yang menjadi

acuan segala tindakan. Seorang yang memaknai agama sebagai ‘sesuatu yang adanya
hanya berdasarkan keyakinan’ saja, melahirkan pemahaman agama yang taklid.
Agama disikapi sebagai suatu prinsip yang tidak perlu diperdebatkan dan cukup
diyakini saja. Sehingga, sikap mereka dalam berkehidupan (agama) cenderung
tertutup (eksklusif). Sebaliknya, seseorang yang mempunyai pandangan bahwa,
agama sebagai jalan hidup yang dinamis harus dimaknai secara kontekstual. Agama
dihadirkan sebagai suatu ‘paket’ produk yang keberadaannya tidak lepas dari campur
tangan manusia sehingga layak untuk dipertanyakan. Disisi lain, pesan kebijaksanaan
yang melekat pada agama dinilai beberapa kalangan sebagai suatu ‘kerumitan yang
tidak menemukan titik kepastian. Kebenaran yang dibawa agama tidak memberikan
kejelasan ‘bukti terkait asal-usulnya. Sehingga, orang-orang yang mempunyai
pemahaman demikian melahirkan sikap penolakan akan kebenaran agama.
Pemahaman mereka tentang kebenaran menegasikan kebijaksanaan yang dibawa oleh
agama. Pemaknaan terhadap agama demikian melahirkan pengamalan dan sikap
terhadap agama yang beragam pula.
Contoh sikap yang didasarkan pada pemahaman terhadap makna agama
dapat diangkat pada berbagai periode zaman. Pada zaman modern misalnya; corak

1


2

pandang hidup di zaman modern adalah bertumpu pada rasio. Agama sebagai ‘wadah
untuk kehidupan yang secara gamblang ditimbang secara rasional. Secara spesifik
bagi kaum intelektual zaman modern, segala sesuatu yang misterius tidak lain adalah
ketidaktahuan manusia sehingga harus dibuktikan secara positivistik. Padahal,
sejatinya setiap agama tentunya mengandung nilai-nilai yang bersifat ortodoks
(sakral) yang tidak dapat dijangkau sepenuhnya oleh nalar (rasio).
Franz Magnis-Suseno (2006: 53) mengatakan, bagi kaum modern yang
mengagungkan rasio, agama seluruhnya harus dapat dimengerti oleh nalar. Sehingga,
agama direduksikan menjadi ajaran moral, suatu lembaga untuk membuat manusia
bertindak beradab. Takhta rasionalitas dan makna tidak lagi milik Allah melainkan
rasio dan kehendak manusia itulah yang menjadi titik fokus kesatuan dan arti (Wora,
2006: 55). Agama bagi kaum modern tidak lain adalah alat untuk suatu tujuan
tertentu dan melepaskan makna agama sebagai suatu yang terintegrasi dengan
kehidupan.
Modernisme kemudian berkembang dan memuncak dengan lahirnya
saintisme pada perumusan perkembangan budaya manusia melalui konsep
positivisme yang dikembangkan Auguste Comte. Perumusan tersebut terdiri atas tiga
tingkatan; pertama mitos-agama, kemudian tingkatan kedua yaitu filsafat dan

tingkatan ketiga adalah positivistik. Atau dalam bahasa Magnis-Susno (2006: 56)
yaitu hokum tiga tahap. Tiga tahap yang bersifat hirarkis ini menurut Comte yang
menggerakkan peradaban umat manusia.

3

Pola pemikiran yang digagas oleh Auguste Comte ini menjadi peletak dasar
perkembangan ilmu pengetahuan yang diikuti dan terus dikembangkan oleh para
intelektual/ilmuwan zaman modern. Mitos dan agama yang dianut masyarakat
dianggap sebagai tahapan perkembangan kebudayaan manusia yang paling awal. Jadi,
menurut Comte, cara berfikir manusia, juga masyarakat di mana pun akan mencapai
puncaknya pada tahap positif, setelah melampui tahap theologik dan metafisik
(Wibisono, 6). Tahapan positivistik yang menurutnya puncak kebudayaan manusia
dan dapat dipertanggungjawabkan.
Peneliti memandang, dalam pola yang dikemukakan Comte tersebut terdapat
kekeliruan. Hal ini disebabkan oleh pencampuran atara mitos dengan agama. Agama
dinilai Comte adalah suatu yang setara dengan mitos. Padahal, dalam peranan
perkembangan ilmu, keduanya an sich berbeda. Agama justru memungkinkan
pendekatan ilmiah karena, dengan membedakan antara Tuhan dan alam dunia, agama
memungkinkan pendekatan duniawi (Magniz-Suseno, 2006: 63). Hal inilah yang


4

melatarbelakangi sikap orang modern terhadap kebenaran (dalam) agama secara
skeptis dan cenderung atheis.
Di zaman pra-modern (dimana semua agama-agama besar dunia dapat
ditemukan di zaman ini), sikap masyarakat yang mempunyai corak pemikiran
Postmodern, yang secara sistemtatis digagas oleh Jean Francois Lyotard
memposisikan agama dalam pandangannya juga tidak kalah cerobohnya. Konsepsi
individual yang memandang makna kebenaran didasarkan pada konteksnya masingmasing membuat universalitas dalam agama gugur. Dalam postmodernisme, segala
grand narrative (narasi besar)-jalur strategi intelektual yang mengklaim bahwa ada
prinsip-prinsip kebenaran, kesejahteraan, makna kehidupan, dan moral yang bersifat
universal- ditolak dan diganti dengan narasi-narasi kecil, dengan nilai-nilai mitos,
spiritual, dan ideologinya yang spesifik (Haber, 1994: 4).
Postmodernisme yang proyek besarnya lahir sebagai kritik terhadap
pemikiran corak modern menyamakan universalitas kebenaran rasio yang dianut oleh
kaum modern dengan konsepsi kebenaran universal yang terdapat dalam keyakinan
umat beragama. Sehingga masyarakat dengan corak pemikiran Postmodern meyakini
kebenaran yang pada kenyataannya adalah bersifat plural. Tidak ada kebenaran
universal. Keyakinan akan pluralitas kebenaran kemudian akan melahirkan

pemahaman makna hidup yang partikular. Corak pemikiran demikian-lah yang
kemudian melahirkan pemahaman akan realitas dan makna hidup yang bermasalah.

5

Kaum perenial berpendapat, pluralitas postmodernisme adalah sebuah
pluralitas yang simpang siur, liar dan tak beraturan, serta penuh kontradiksi. Dalam
pluralitas postmodernisme, tidak ada saling keterkaitan di antara unsur-unsur
pluralitas tersebut (Wora, 2006: 105). Dengan penolakan konsep universalitas ala
Lyotard tersebut secara otomatis juga menafikan pembahasan yang masuk pada ranah
metafisika. Keyakinan akan adanya realitas dibalik realitas yang tampak dalam
kajian metafisika menjadi nihil. Begitupun dalam memahami agama, Tuhan yang
terdapat dalam keyakinan umat beragama menjadi tidak terbaca, baik itu Tuhan yang
bersifat personal (transendent), dan bahkan Tuhan yang diyakini adanya sebagai
realitas yang impersonal (immanent). Faktor demikianlah yang menggeser hakikat
agama dan pada saat yang sama mencabut rasa religiusitas di zaman ini.
Realitas dalam pandangan modern dan postmodern adalah bersifat bineritas;
modern dengan corak rasio yang bersifat universal, dan postmodernisme mengakui
kebenaran yang bersifat plural, pada posisi tersebut kaum perennial menjadi sintesa
dari keduanya. Perenialisme mengakui kebenaran yang plural sekaligus terdapat

unsur yang bersifat universal. Pluralitas perenialisme adalah sebuah pluralitas
terintegrasi (Wora, 2006: 112). Realitas dipandang sebagai suatu yang bersifat plural
juga saling terkait satu sama lain. Jadi, pandangan terhadap realitas itu boleh berbedabeda, namun realitas itu sendiri Cuma satu, dan menyeluruh (Wora, 2006: 114).
Adalah Frithjof Schuon sebagai salah satu tokoh religio Perennis yang
beranggapan bahwa, salah satu penyelewenangan yang secara tidak langsung

6

diwariskan Renaissance kepada kita adalah kebingungan sekitar agama dan tanah air
dalam kultus sentimental ‘humanisme’ (Schuon, 2002: 35). Menurut Schuon, realitas
pada hakikatnya adalah satu. Pemahaman akan realitas yang hakiki tersebut adalah
ditempuh dengan jalan intuisi. Namun demikian, meskipun pemahaman realitas
didasarkan atas pengalaman intuisi yang bersifat personal, pengenalan akan dasardasar tentang realitas tersebut adalah dengan jalan agama. Agama adalah metode
yang tidak dapat ditinggalkan untuk memahami hakikat realitas.
Frijhtof Schuon hadir dengan corak filsafat perennial juga religius. Schuon
adalah pemikir Muslim kontemporer penganjur pluralisme religius (M. Legenhausen,
2010: 51). Meskipun ia mengakui perbedaan berupa pluralitas kebenaran yang
terdapat dalam setiap agama, namun ia juga mengharuskan seseorang yang ingin
memahami realitas sejati dengan mengikuti satu jalan (bentuk) melalui agama
tertentu, meskipun pada akhirnya akan berakhir pada muara yang sama, yaitu hakikat

kebenaran. Menurut Schuon, agama Islam, Kristen, Yahudi dan lain-lain adalah
hanya sebuah bentuk. Agama, merupakan jalan-jalan yang dapat mencapai
pemahaman akan realitas sejati, yaitu Tuhan. Bagi Schuon, inti agama ditemukan
dalam realitas transenden (Smith, 2003: xxi). Hal inilah yang menarik peneliti untuk
mengkaji pemikiran Schuon, tentang hakikat agama: adalah bentuk dan Tuhan adalah
esensi merupakan pendekatan yang baru dalam ulasan teologis-filosofis. Selain itu,
masih jarangnya penelitian yang mengangkat Frithjof Schuon sebagai tokoh kajian
menjadi alasan tersendiri bagi peneliti untuk mengkaji pemikirannya.

7

2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merumuskan tiga masalah kajian
dalam penelitian ini. Rumusan masalah tersebut, yaitu:
1. Bagaimana perbincangan makna agama dalam ruang lingkup filsafat
agama?
2. Bagaimana pandangan Frithjof Schuon tentang makna agama?
3. Bagaimna pertautan Pemikiran Frithjof Schuon dengan pluralitas agama di
Indonesia?


3. Keaslian Penelitian
Peneliti telah melakukan telaah atas berbagai karya baik berupa buku-buku
ilmiah, skripsi, tesis, jurnal, ataupun sumber ilmuah lain, dan berpendapat belum ada
kajian pemikiran Frithjof Scoun dalam pespektif filsafat agama di lingkungan
Universitas Gadjah Mada. Meskipun banyak pemikir, ahli sejarah dan perbandingan
agama sering memakai pola pemikiran yang dikembangkan Schuon sebagai landasan
atau dasar dalam teori/konsep mereka, namun belum ada yang mengkaji pemikiran
Schuon dengan tema demikian secara sistematis.
Peneliti beranggapan, ada beberapa literatur di lingkungan Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada yang relevan dan dapat mendukung penelitian ini. Berikut
ulasan singkat terkait penelitian tersebut. Pertama, Metafisika Frithjof Schuon, adalah
skripsi yang disusun oleh Guruh Salafi pada tahun 2004. Guruh Salafi menjelaskan

8

dalam skripsinya tersebut pengertian dan konsep matafisika secara umum dalam
pandangan Fritjhof Schuon. Kedua, ulasan tentang Filsafat Perenial dalam tesis
dengan judul Konsep Ketuhanan dalam Filsafat Perenial (Analisis Konseptual
bagi Pluralisme Agama di Indonesia) yang disusun Arqom Kuswanjono pada
tahun 2001. Peneliti berpendapat bahwa kajian dalam tulisan tersebut relevan dalam

kajian ini terkait dengan relevansinya dengan kemajemukan agama di Indonesia.
Sebab, dalam buku itu diungkapkan bahwa keberagaman agama merupakan hikmah
dan tidak menjadi halangan untuk kelangsungan hidup beragama di Indonesia.
Laporan Penelitian (LAPEN) yang berjudul Filsafat Agama yang disusun
oleh Mustofa Anshori Lidinillah pada tahun 2007. Dalam tulisan tersebut, Mustofa
Anshori Lidinillah tidak menyinggung pemikiran Frithjof Schuon, ia hanya mengulas
pengertian filsafat agama sebagai metode untuk memahami agama secara filosofis.
Meskipun ia banyak berbicara tentang filsafat agama dan konsep-konsep pemahaman
agama yang filosofis, namun ia tidak menjadikan pola pemahaman agama yang
dikemukakan Schuon. Berdasarkan hasil telaah peneliti terhadap berbagai karya yang
relevan sebagaimana telah disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak
ada penelitian yang sama dengan akan akan disusun peneliti, baik dalam pemikiran
tokoh (Frithcjof Schuon) ataupun konsep eksoterisme dan esoterisme dalam
perspektif filsafat agama.

9

4. Manfaat Penelitian
Penelitian pemikiran dalam filsafat agama dengan tokoh Frithjof Schuon ini
diharapkan dapat membawa manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap
wawasan

dan

khazanah

keilmuan

filosofis

terkait

makna

dan

pengahayatan agama. Penelitian ini bisa membawa manfaat bagi kaum
intelektual dan akademisi di lingkungan Fakultas Filsafat Universitas

Gadjah Mada Yogyakarta secara khusus, maupun bagi bangsa dan Negara
secara umum untuk bersikap ilmiah, religius dan bijaksana dalam
berbagai segi kehidupan
2. Manfaat Praktis
1. Memperoleh pengetahuan tentang konsep esoterisme dan eksoterisme
Frithjof Schuon dalam penghayatan agama.
2. Sebagai

tambahan

pengetahuan/perspektif

untuk

mendukung

pembangunan karakter bangsa Indonesia.

B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
1.

Menjabarkan dan menganalisis makna agama dalam perspektif filsafat
agama.

10

2.

Menjabarkan, menganalisis, dan menginterpretasikan makna agama
dalam pemikiran Fitjhof Schoun dalam perspektif Filsafat Agama.

3.

Kontekstualisasi konsep atau makna agama dalam pandangan Frithjof
Shuon dengan pluralitas agama di Indonesia.
C. Tinjauan Pustaka

Peneliti telah melakukan tela’ah terhadap karya-karya yang terbatas,
beberapa karya yang relevan dengan penelitian ini antara lain adalah karya Frithjof
Schuon sendiri, yaitu, “The Transcendent Unity of Religions” (1975) yang
dialihbahasakan oleh Saafroedin Bahar menjadi Mencari Titik Temu Agama-agama.
Pembahasan makna agama dalam buku ini cukup komprehensif. Schuon memaparkan
dasar-dasar filosofis dalam pemikirannya, antara lain tentang metafisika dan
kebenaran, dan pegertian agama-agama besar dunia. Dimensi-dimensi filosofis
tersebut kemudian diulas kembali oleh Schuon dalam karya selanjutnya, “Islam and
The Perennial Philosophy” (1976) yang dialihbahasakan oleh Rahmani Astuti
menjadi Islam dan Filsafat Perenial. Pembahasan tentang keragaman agama yang
merupakan manifestasi dari Tuhan (yang satu) juga terdapat dalam buku ini, hanya
saja, penjelasan tentang agama Islam mendapat porsi yang lebih banyak.
Berbeda dengan kedua buku di atas, karya Schuon yang berjudul “The
Transfiguration of Man” (1995) yang diterjemahkan oleh Fakhruddin Faiz menjadi
Transfigurasi

Manusia:

Refleksi

Antrosophia Perennialis (2002)

mengulas

11

perkembangan manusia berkaitan dengan agama. Selain itu, agama-agama besar
dalam buku itu diulas dari garis sejarah lahirnya.
Pandangan Frithjof Schuon tentang agama sebagaimana yang didiskripsikan
di atas, pernah diulas oleh Komar dalam kajian tesisnya yang berjudul Konsep
Kesatuan Transenden sebagai Salah Satu Solusi Konflik Atas Nama Agama:
Perspektif Filsafat Perennial Frithjof Schuon tahun 2007. Dalam kajian tersebut,
Komar (2007: iv) mengatakan bentuk agama-agama yang dimaksud Frithjof Schuon
adalah dalam dimensi eksoteris yang bersifat relatif, namun di dalamnya terkandung
muatan substansi yang sama dan mutlak pada dimensi esoteris. Inilah yang disebut
dengan kesatuan transenden agama-agama. Dalam kajiannya tersebut, Komar
berpendapat bahwa pemikiran Frithjof Schuon tersebut sangat relevan untuk
dijadikan pintu masuk dialog antar umat beragama.
Ngainun Naim dalam disertasinya yang berjudul Pluralitas Agama: Studi
Komparatif Pemikiran Frithjof Schuon dan Nurcholish Madjid (2011) mempunyai
harapan yang sama akan terciptanya pluralitas agama melalui dialog antar agama.
Konsep eksoterisme dan esoterisme yang dikemukakan Frithjof Schuon menurut
Naim adalah keniscayaan. Keragaman agama-agama adalah kenyataan yang harus
dihormati (Naim, 2011: x). Riset kepustakaan yang diterapkan Naim dalam
penelitiannya ini adalah dengan metode historis, komparatif, deskriptif-analisis dan
sintesis (Naim, 2011: 30-33).

12

Nurcholish Madjid dalam Pengantar untuk buku Tiga Agama Satu Tuhan
(1990:xxvii) menarik konsep tersebut kerana yang lebih praktis, ia menghimbau
kaum inklusif (Muslim) diperintahkan untuk membuka diri dan mengajak kaum ahli
kitab menuju ke “pokok-pokok kesamaan”, yaitu menuju ke ajaran Ketuhanan Yang
Maha Esa (Monoteisme, tawhid). Dengan mengutip N.J. Woly (1998), Nurcholish
Madjid memetakan perlunya dialog antar agama untuk memperjernih makna agama
dalam tiga sikap dialog berikut:
Pertama, sikap yang ekslkusif dalam melihat agama lain.
Kedua, sikap inklusif dengan memandang agama-agama lain adalah bentuk
implicit agama kita.
Ketiga, sikap pluralis dalam pengertian, memandang agama-agama lain
adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama. Agamaagama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran yang sama.
Adapun beberapa karya lain yang cukup relevan dalam penelitian ini
diantaranya: Budhy Munawwar-Rachman (2010: 690) dalam buku Reorientasi
Pembaruan Islam;Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Barus Islam
Indoneia memberikan pandangan makna agama terkait eksoterisme dan esoterisme.
Dalam buku tersebut Budhy mengungkapkan; Eksoteris adalah kebenaran dalam
partikulasi agama-agama yang berbeda sedangkan esoteris adalah kebenaran agama
yang bersifat ebsolut. Akan tetapi keduanya saling berhubungan dan mempengaruhi
satusama lain.

13

Pentingnya perbincangan bentuk (eksoterik) dan esensi (esoterik) dalam
agama juga ditegaskan oleh Eric J. Sharpe (1975: 253) dengan tiga poin berikut:
1. Meningkatkan pengetahuan yang lebih baik antara pemeluk agama dan
tradisi.
2. Menegaskan unsur-unsur yang universal di semua agama.
3. Membangkitkan keyakinan bahwa agama-agama mempunyai tanggung
jawab besar untuk bekerja sama menyebarkan moralitas di dunia.
Beragam bentuk agama (eksoterik) yang bersifat manifestasi dari ‘yang
hakikat’ dipandang berbeda oleh George A. Lindleck (1985: 16) yang dikutip oleh
Emanuel Wora (2006: 107-109) dalam buku Perenialisme: Kritik atas Modernisme
dan Postmodernisme. George A. Lindleck memandang bahwa pentingnya rekonsiliasi
doktrin untuk memahami permasalahan mengenai agama. Ragamnya bentuk agama
dipandang Goerge sebagai ekspresi rasa dan skema interpretatif-komprehensif yang
biasanya terkandung di dalam mitos atau cerita yang kemudian diritualkan. Bentuk
agama yang identik dengan doktrin-doktrinnya yang kemudian dihadirkan sebagai
produk budaya (seperti layaknya mitos).
Berbeda dengan tokoh-tokoh yang telah diulas di atas, Sigmund Freud
(1927: 30) memandang bahwa kebenaran agama bukanlah kebenaran yang
diwahyukan oleh Tuhan, atau kesimpulan logis yang didasarkan pada bukti ilmiah.
Kebenaran agama adalah kebenaran yang diinginkan oleh pemeluk-pemeluknya.
Kebenaran agama adalah harapan umat manusia yang paling mendesak dan oleh

14

karena itu rahasia kekuatannya adalah harapan akan kebenaran itu sendiri.
Pengalaman (individual) keagamaan bagi Freud tak lain adalah neurosis psikologis
yang akan mengakibatkan neurosis obsesional universal (Freud, 1927: 150).
Buku selanjutnya yaitu Tren Pluralisme Agama yang disusun oleh Anis
Malik Thoha (2005). Sebagai pemikir/ahli tentang agama, Anis Malik (2005:266)
memandang berbeda terkait penggalian hakikat agama secara filosofis. Menurutnya,
pendekatan filosofis terhadap agama (khususnya yang dikemukakan John Hick)
adalah gagasan yang meredusir dan meminggirkan peran agama. Namun demikian,
meskipun kritik yang dikemukakan Anis Malik cukup ketat dan kritis, pada karyanya
tersebut, Anis Malik tidak memaparkan secara jelas terkait konsep pengganti dalam
mengelola pluralitas agama yang ada. Ia hanya menghimbau kepada umat Muslim
dalam menyikapi pluralitas yang ada dengan bertumpu pada penegasan jati diri atau
identitas keagamaan dan pemberdayaan hubungan dengan agama, serta pengakuan
terhadap peran agama yang meliputi kehidupan manusia.
Dalam karyanya tersebut, Anis menegasikan konsep yang dibawa melalui
pendekatan ilmu (sejarah, antropologi, budaya dll.), filsafat dan perenial dalam
meneropong agama, namun hal ini tidak diafirmasi lebih lanjut dengan menghadirkan
konsep pengganti.
Peneliti memandang perlunya memperkaya perspektif dalam melihat
pemaknaan hakikat agama. Oleh karena itu, peneliti juga menghadirkan pandangan
berbeda terkait pendekatan filosofis dalam melihat agama. Hal ini dilakukan dengan

15

harapan terjadinya dialektika perspektif dalam melihat dan kemudian menganalisis
konsep-konsep terkait objek material dan objek formal dalam penelitian ini agar dapat
mendapatkan makna yang jelas dan komprehensif.
D.

Landasan Teori

Peneliti mengangkat pemikiran tokoh Frithjof Schuon tentang Hakikat
agama dalam perspektif filsafat agama. Objek material ini dimaksudkan untuk
menjernihkan makna agama yang terkadang masih menjadi masalah.
Perbincangan filsafat agama tentang hakikat agama adalah penggalian
bentuk dan hakikat agama. Frithjof Schuon, dalam buku Mencari Titik Temu Agamaagama (1975: 77) sebagai objek material dalam penelitian ini mengatakan: Agama
adalah “bentuk” dari “jiwa”. Agama dianggap sebagai sesuatu yang bersifat esensi
dan termanifestasi menjadi bentuk-bentuk agama tertentu. Huston Smith (1975: 11),
selaku Pengantar dalam buku tersebut berpendapat semua agama hanya berbeda
dalam bentuknya saja yaitu pada ranah. Meskipun kesatuan absolut, yaitu Tuhan,
tidak dapat dilukiskan atau bahkan dijelaskan secara tepat, akan tetapi penjelasan
seperti itu tetap diperlukan.
Seyyed Hossein Nasr (1975: 8) dengan memakai istilah yang sering
digunakan Frithjof Schuon; religio perennis atau religio cordis adalah dengan
menggabungkan wawasan metafisika dengan pengetahuan yang luas mengenai
berbagai agama dalam aspek doktrinal, etika dan artistik. Pemahaman akan suatu
bentuk, yaitu agama akan mengantarkan manusia pada pemahaman yang hakiki.

16

Menurut Nasr, religio perenis adalah penjelasan tentang aspek-aspek yang lebih
dalam dari tradisi-tradisi (khususnya yang berkaitan dengan agama) dengan bahasa
yang dapat dimengerti secara murni sekaligus setia kepada kebenaran Kekal.
Filsafat agama mempunyai orientasi penggalian makna hakikat dari setiap
agama. Wilfred Cantwell Smith dalam The Meaning and The End of Religion (1962:
17) menyatakan perlunya mengkaji ulang terminologi agama. Menurut Smith,
terminologi agama sangat problematik, ambigu, kontroversial yang mengundang
polemik tak berujung dan tidak dapat dikenali di alam nyata. Sehingga menurut
Smith, pentingnya pengkajian ulang atas terminologi agama baik secara historis
maupun filosofis (filsafat agama).
Whitehead memandang agama sebagai entitas yang terus berproses.
Menurutnya, agama selalu dalam ‘proses menjadi’ dan proses situ tidak akan pernah
selesai dan tidak dapat didefinisikan dalam konteks das sein (Religion as it is)
melainkan lebih pada agama sebagai das sollen (“religion as it should be”)
(Whitehead, 2009: 33).
Muhammad Iqbal (1966:4) berpendapat terkait perbincangan filsafat tentang
hakikat agama, menurutnya, filsafat (agama) diharapkan tidak menempatkan agama
lebih rendah dari pada ilmu-ilmu lain. Agama bukanlah bagian dari masalah
kehidupan manusia, bukan hanya sekedar pikiran, bukan hanya sekedar tindakan saja,
agama adalah pernyataan manusia yang selengkapnya. Jadi, didalam menilai agama,
filsafat mesti mengakui posisi agama yang asasi, dan tidak menganggap agama

17

sebagai alternatif lain dalam proses pemikiran yang sintesis melainkan harus
menerimanya sebagai suatu sumber kekuatan.

E. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah suatu cara bertindak menurut sistem aturan yang
bertujuan agar kegiatan praktis terlaksana secara rasional dan terarah sehingga dapat
mencapai hasil yang optimal (Anton H. Barkker: 1986, 6). Adapun metode dalam
penelitian ini dilalui dengan penentuan tiga tahap berikut:
1. Bahan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dengan berdasarkan dua
macam bahan yakni pustaka utama dan pustaka sekunder. Pustaka utama terdiri dari
karya-karya Frithjof Schuon, sedangkan pustaka sekunder merupakan materi yang
bersumber dari berbagai buku, jurnal, artikel dan tulisan lain, yang terkait dengan
tema penelitian ini.
a. Pustaka utama:
i. “Islam and The Perennial Philosophy” (1976) dialihbahasakan oleh
Rahmani Astuti menjadi Islam dan Filsafat Perenial (Bandung: Mizan,
1993).
ii. “Esoterism as Principle and as Way” (1978).
iii. “The Transfiguration of Man” (1990) dialihbahasakan oleh Fakhruddin
Faiz menjadi Transfigurasi Manusia (Yogyakarta: Qalam, 2002).

18

iv. “The Transcendent Unity of Religions (1945). Dialihbahasakan oleh
Saafroedin Bahar menjadi Mencari Titik Temu Agama-agama (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2003).
v. Ringkasan Metafisika yang Integral dalam Ahmad Norma Permata (ed.),
Perennialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1996).

b. Pustaka sekunder:
i.

Aymard, Jean-Baptiste dan Laude, Patrick, 2005, Frithjof Schuon; Life
and Teachings, Suhail Academy Lahore, Pakistan.

ii.

Magniz-Suseno, Franz, 2006, Menalar Tuhan, Kanisius, Yogyakarta.

iii.

Nasr, Seyyed Hossein, 1975, Kata Pengantar dalam Frithjof Schuon,
1993, Islam dan Filsafat Perenial, Mizan, Bandung.

iv.

Smith, Huston, 1973, Kata Pengantar dalam Frijhtof Schuon, 1994,
Mencari Titik Temu Agama-agama, (terj.) Safroedin, 1994, Pustaka
Firdaus, Jakarta.

v.

Smith, Huston, 1991, Agama-agama Manusia Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta.

vi.

Thoha, Anis Malik, 2005, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis,
Perspektif, Jakarta.

19

2. Jalan Penelitian
Proses penelitian akan dilaksanakan melalui tahapan-tahapan berikut:
i. Pembagian objek kajian. Pembagian ini berdasarkan pada objek formal dan
objek material. Data yang pertama berisi pustaka mengenai filsafat agama.
Data yang kedua terbagi pada dua objek, pertama berisi tentang pustaka
mengenai pemikiran Frithjof Schuon yang terdapat dalam karya-karyanya
yang merupakan sumber primer dan, kedua berupa kajian tokoh yang
berkaitan dengan objek (formal dan material) yang diangkat.
ii. Pengklasifikasian data. Jika pada tahap pengumpulan data penulis
mengumpulkan data sebanyak mungkin, maka pada tahap ini data-data yang
telah diperoleh mulai diklasifikasikan dan dipilah-pilah berdasarkan bab dan
sub-sub bab yang telah penulis susun sesuai dengan rencana dan kebutuhan
penelitian.
iii. Analisis data. Data yang telah diklasifikasikan dianalisis oleh peneliti sesuai
dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.
iv. Penyajian data, pada tahap ini peneliti akan memaparkan hasil analisis secara
sistematis berdasarkan sub-sub bab yang telah ditentukkan. Penyajian data
diawali dari pokok-pokok pikiran atau unsur-unsur yang paling mendasar dan
sederhana, kemudian menuju pada pokok pembahasan yang lebih rumit.

3. Analisis Penelitian

20

Analisis data adalah usaha konkrit untuk memberikan interpretasi terhadap
data-data yang telah tersedia. Penelitian ini akan menggunakan analisis kualitatif
karena data-data yang digunakan adalah data kualitatif, serta penjelasannya dalam
bentuk ungkapan-ungkapan dan kalimat. Data dalam penelitian ini akan dianalisis
menggunakan metode Hermeneutika yang terdiri dari tiga unsur metodis; deskriptif,
verstehen dan interpretasi.
i.

Deskriptif:

konsep-konsep

pemikiran

filsuf dijabarkan

dan

dijelaskan dalam bentuk kalimat penjabaran maupun parafrase,
sehingga dapat dipahami pola pemikiran, paham-paham apa yang
mempengaruhinya dan kemungkinannya mempengaruhi pemikir lain.
ii.

Verstehen: data yang telah dikumpulkan akan dipahami karakteristik
masing-masing, kemudian diketahui makna tiap-tiap data.

iii.

Interpretasi: pemahaman
diketahui

maknanya

memberikan

atas

melalui

pandangan

data

yang

telah diperoleh dan

penerjemahan

penulis

atas

karya

karya-karya

filsuf

dan

tersebut.

Pembahasaan peneliti atas pemahaman terhadap pemikiran yang
diteliti.

F. Jadwal Penelitian
Penelitian ini dijadwalkan akan berlangsung secara kondisional, dengan dua
pembagian tahap penelitian. Tahap pertama adalah pengumpulan bahan berupa
materi atau data yang terkait dengan penelitian ini. Tahap selanjutnya adalah

21

penyusunan hasil penelitian sesuai dengan analisis sebagaimana yang telah
dijabarkan pada bagian sebelumnya. Tahap yang terakhir adalah penjabaran
deskriptif-analisis. Tahap ini

akan

dilengkapi

dengan

hasil konsultasi atau

bimbingan, revisi dan diskusi dengan pembimbing penelitian, sehingga rumusan
masalah dapat terjawab, dan tujuan penelitian dapat dipenuhi.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan

hasil

penelitian

ini

akan

dipaparkan

sesuai

dengan

sistematika berikut:
Bab I, memaparkan penjelasan secara umum penelitian terkait isi penelitian.
Secara berurutan: terdiri dari latar belakang penelitian, tujuan penelitian, tinjauan
pustaka, landasan teori, metode penelitian, jadwal penelitian, dan sistematika
penulisan dalam penelitian.
Bab II, berisi paparan tentang filsafat agama: terdiri dari definisi filsafat
agama, ruang

lingkup

filsafat

agama,

hubungan

filsafat

agama

dan

pengertian/hakikat agama, dan persoalan-persoalan yang menjadi kajian dalam
Filsafat Agama.
Bab III, berisi biografi Frithjof Schuon. Pada bagian ini akan dijabarkan
secara garis besar karya-karya, tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikiran, pokok
pemikiran, paradigma dan orientasi pemikiran Frithjof Schuon.
Bab IV, memaparkan hasil analisis atas pemikiran Frithjof Schuon tentang
makna agama. Pada bab ini akan dijelaskan makna agama berupa hakikat dan bentuk

22

dalam pandangan Frithjof Schuon. Hakikat dan bentuk dalam bahasa Frithjof Schuon
adalah Esoterisme dan Eksoterisme dalam pengahatan agama. Urutan penyusunan
hasil analisis penelitian ini adalah analisis filosofis terkait sikap Frithjof Schuon
terhadap keberagaman agama, pengertian istilah dan batasan-batasan Eksoterisme.
Dalam bab ini juga akan dijelaskan Konsep Esoterisme dalam pandangan Frithjof
Schuon, meliputi pengertian esoterisme dan konsep universalitas dalam agamaagama.
Bab V, berisi kontribusi pemikiran Frithjof Schuon tentang hakikat agama.
Kontribusi tersebut dijabarkan dalam poin-poin berikut, pertama, dijelaskan terlebih
dahulu agama-agama yang terdapat di Indonesia. Kedua, pemaparan bentuk
penghayatan (Religious Experience) masyarakat Indonesia terhadap agama yang
dianut. Ketiga, analisis peneliti berupa pertautan hakikat agama dalam pandangan
Frithjof Schuon dengan pluralitas agama di Indonesia.
Bab VI, merupakan bab penutup yang berisi rangkuman sejumlah
kesimpulan umum, dan pengusulan beberapa saran dari peneliti.

23

H. DAFTAR PUSTAKA
Bakker, Anton H., 1986, Metode-metode Filsafat, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Freud, Sigmund, 1961, “The Future of An Illusion” dalam James and Anna Freud,
“The Standard Edition of The Complete Psychological Works of Sigmund
Freud, London: Hogurth Press.
Haber, Fern, 1994, “Beyond Postmodern Politics: Lyotard, Rorty, Foucault”, New
York: Routledge.
Huxley, Aldous, 1946, “The Perennial Philosophy” , London: Fontana Books.
Iqbal, Muhammad, 1962, “The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (terj.)
Ali Audah, dkk., 1966, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam,
Jakarta: Tintamas.
Komar, 2007, Konsep Kesatuan Transenden sebagai Salah Satu Solusi Konflik Atas
Nama Agama: Perspektif Filsafat Perennial Frithjof Schuon, Tesis, Jakarta:
Universitas Indonesia.
Legenhausen, M., 1999, “Islam and Religious Pluralisem”, (terj.) Arif Mulyadi &
Ana Farida, 2010, Pluralitas dan Pluralisme Agama: Keniscayaan
Pluralitas Agama sebagai Fakta Sejarah dan Kerancuan Pluralisme Agama
dalam Liberalisme, Jakarta: Shadra Press.
Madjid, Nurcholish, 1998, Pengantar dalam buku Tiga Agama Satu Tuhan, Bandung:
Mizan.
Magniz-Suseno, Franz, 1997, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius.

24

Munawar-Rachman, Budhy, 2010, Reorientasi Pembaruan Islam;Sekularisme,
Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Barus Islam Indoneia, Jakarta:
Lembaga Studi Agama dan Filsafat, dan Paramadina.
Naim, Ngainun, 2011, Pluralitas Agama: Studi Komparatif Pemikiran Frithjof
Schuon dan Nurcholish Madjid (2011) Disertasi, Yogyakarta, Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Schuon, Frithjof, 1945, “The Transcendent Unity of Religions”, (terj.) Saafroedin
Bahar, 2003, Mencari Titik Temu Agama-agama, Jakarta: Penerbit Pustaka
Firdaus.
, 1976, “Islam and The Perennial Philosophy”, (terj.) Rahmani
Astuti, 1993, Islam dan Filsafat Perenial, Bandung: Mizan.
, 1995, “The Transfiguration of Man”, (terj.) Fahkruddin Faiz,
2002, Transfigurasi Manusia: Refleksi Antrosophia Perennialis,
Yogyakarta: Qalam.
Sharpe, Eric J., 1975, “Comparative Religion: A History, New York: Charles
Scribenr’s Sons.
Siswomihardjo, Koento Wibisono, Sejarah Pengembangan Ilmu Pengetahuan,
Teknologi, dan Seni Suatu Tinjauan dari Perspektif Filsafati, Makalah
Perkuliahan, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Smith, Huston, 1973, Kata Pengantar dalam Frijhtof Schuon, 1994, Mencari Titik
Temu Agama-agama, (terj.) Safroedin, 1994, Jakarta: Pustaka Firdaus.

Smith, Wilfred Cantwell, 1962, “The Meaning and End of Religion”, London: SPCK.

25

Thoha, Anis Malik, 2005, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Jakarta:
Perspektif.
Whitehead, Alfred North, Mencari Tuhan Sepanjang Zaman: Dari Agama Kesukuan
Hingga Agama Universal. (terj.) Prof. Alois Agus Nugroho, Bandung:
Mizan.

Wora, Emanuel, 2006, Perenialisme: Kritik Atas Modernisme dan Postmodernisme,
Yogyakarta: Kanisius.

26

Rencana Daftar Isi

Halaman Judul
Halaman Pengesahan
Halaman Pernyataan
Halaman Persembahan
Halaman Moto
Prakata
Daftar Isi
Intisari
Abstract
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang
1. Masalah penelitian
2. Perumusan masalah
3. Keaslian penelitian
4. Manfaat penelitian
B. Tujuan Penelitian
C. Tinjauan Pustaka
D. Landasan Teori
E. Metode Penelitian
1. Materi Penelitian

27

2. Jalan Penelitian
3. Analisis Hasil
F. Jadwal Penelitian
G. Sistematika Penulisan
Bab II Makna Agama dalam Ruang Lingkup Filsafat Agama
A. Pengertian Filsafat Agama
1. Definisi dan Penggunaan Filsafat Agama
2. Hubungan Filsafat dengan Agama
B. Persoalan-persoalan dalam Filsafat Agama
1. Pengalaman Keagamaan (Religiuos Experience)
2. Eksistensi Tuhan dan Persoalan Kejahatan
3. Bahasa Keagamaan
4. Spiritualitas
5. Kesakralan Agama
C. Filsafat Agama dalam Memaknai Agama
Bab III Latar Belakang Kehidupan dan Orientasi Pemikiran Frithjof Schuon
A. Biografi Frithjof Schuon
B. Karya-karya dan Tokoh-tokoh yang Mempengaruhi Pemikiran Frithjof
Schuon
D. Dimensi Filosofis dalam Pemikiran Frithjof Schuon
E. Paradigma dan Orientasi Pemikiran Frithjof Schuon

28

Bab IV Hakikat dan Bentuk Agama dalam Pandangan Frithjof Schuon
A. Pengertian Agama dalam pandangan Frithjof Schuon
B. Bentuk agama
1. Pengertian Eksoterisme
2. Batas-batas Eksoterisme
D. Substansi Agama dalam Konsep Esoterisme
1. Pengertian Esoterisme
2. Konsep Universalitas dalam Agama-agama

Bab V Kontribusi Pemikiran Frithjof Schuon Tentang Hakikat Agama dalam
Mendukung Kemajemukan Agama di Indonesia
A. Agama-agama di Indonesia.
B. Bentuk Penghayatan Agama (Religious Experience) Masyarakat
Indonesia
C. Pertautan Hakikat Agama dalam Pandangan Frithjof Schuon dengan
Pluralitas Agama di Indonesia
Bab VI Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran