Uji daya analgetik ekstrak etanolik daun Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) pada mencit betina Swiss dengan metode rangsang kimia - USD Repository

  

UJI ANALGETIK EKSTRAK ETANOLIK DAUN SAMBILOTO

(Andrographis paniculata Nees) PADA MENCIT BETINA SWISS DENGAN

METODE RANGSANG KIMIA

SKRIPSI

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

  Program Studi Farmasi Oleh :

  Febrina Henny Anggraeni NIM : 068114125

  

UJI ANALGETIK EKSTRAK ETANOLIK DAUN SAMBILOTO

(Andrographis paniculata Nees) PADA MENCIT BETINA SWISS DENGAN

METODE RANGSANG KIMIA

SKRIPSI

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

  Program Studi Farmasi Oleh :

  Febrina Henny Anggraeni NIM : 068114125

HALAMAN PERSEMBAHAN

  ”Dan telah Kupenuhi dia dengan Roh

Allah, dengan keahlian dan pengertian

dan pengetahuan, dan segala macam

pekerjaan, untuk membuat berbagai

rancangan supaya dikerjakan dari

emas, perak dan tembaga”

  Kejadian 31:3-4

  karya ini kupersembahkan untuk :

  

PRAKATA

  Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih karunia dan anugerah-Nya yang senantiasa menjadi kekuatan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Uji Analgetik Ekstrak

  

Etanolik Daun Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) pada Mencit Betina

Swiss dengan Metode Rangsang Kimia” ini dipersiapkan dan disusun sebagai

  salah satu syarat untuk menyelesaikan program pendidikan strata satu Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  Skripsi ini dapat selesai dengan baik atas doa dan dukungan dari berbagai pihak yang telah banyak membantu penulis. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih atas segala dukungannya kepada :

  1. Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan hikmat, tuntunan, dan pertolongan kepada penulis sehingga akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan sesuai dengan rencana-Nya.

  2. Bapak Mulyono, Apt. selaku dosen pembimbing yang dengan sabar mengarahkan serta memberikan bimbingan, bantuan dan saran kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini. izin dalam penggunaan fasilitas Laboratorium Farmakologi demi terselesaikannya skripsi ini.

  5. Papa, mama, kakak dan adikku tersayang atas perhatian, dukungan dan doa yang begitu besar kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

  6. Riri, Vivin dan Amel atas dukungan, doa dan bantuannya yang diberikan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

  7. Widdy (2005) dan Jimmy (Farmasi UGM) yang telah membantu memberikan bimbingan, bantuan dan saran kepada penulis selama menyelesaikan skripsi.

  8. Laboran Laboratorium (Mas Kayat, Mas Parjiman, dan Mas Heru) yang telah banyak membantu penyediaan sarana dan prasarana penelitian.

  9. Mas Pandi (laboran bagian biologi farmasi UGM) yang telah banyak membantu dalam pembuatan ekstrak.

  10. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

  Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekeurangan yang harus diperbaiki. Untuk itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun terhadap skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Tuhan memberkati.

  

INTISARI

  Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) merupakan salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai obat tradisional. Kandungan terbesar pada daun sambiloto adalah lakton yang terdiri atas deoxy-andrographolide ,

  andrographolide (zat pahit), neoandro-grapholid

  e, 14-deoxy-11,12

  

didehydroandrographolide , dan homoandrographolide, yang mempunyai aktifitas

  biologis, di antaranya adalah efek analgetik. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efek analgetik dan besarnya daya analgetik ekstrak etanol daun sambiloto pada mencit betina.

  Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan penelitian acak lengkap pola searah. Penelitian ini menggunakan mencit putih betina galur Swiss, umur 2-3 bulan, berat badan 20-30 gram. Mencit dibagi menjadi tujuh kelompok, yaitu kelompok I sebagai kontrol negatif menggunakan Natrium karboksimetilselulose (CMC-Na) 0,5%, kelompok II-IV sebagai kontrol positif menggunakan suspensi parasetamol dalam natrium karboksimetilselulose (CMC-Na) 0,5% dengan dosis 45,5 mg/kg BB, 91 mg/kgBB, dan 182 mg/kgBB, kelompok V-VII sebagai kelompok perlakuan ekstrak etanol daun sambiloto dengan dosis 13 mg/kgBB, 26 mg/kgBB, dan 52 mg/kgBB. Bahan uji dan kontrol diberikan secara peroral. Setelah 15 menit, diberikan rangsang kimia asam asetat dengan dosis 100 mg/kgBB yang diberikan secara intraperitonial. Kemudian diamati geliat mencit tiap 5 menit selama 60 menit. Jumlah geliat mencit di ubah ke dalam bentuk persentase penghambatan geliat. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan one-sample

  

Kolmogorov-Smirnov tests , one-way Anova tests dan Post Hoc tests (Scheffe)

dengan taraf kepercayaan 95%.

  Hasil yang diperoleh persen penghambatan geliat pada parasetamol dosis 45,5; 91, 182 mg/kgBB berturut-turut adalah 60,68%; 85,67%; 92,14% dan ekstrak etanolik daun sambiloto dosis 13, 26, 52 mg/kgBB berturut-turut adalah 65,73%; 82,58%, 89,61%.

  ABSTRACT Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) is one of plants that can be used as a traditional medicine. Its contains was lakton (deoxy-andrographolide,

  andrographolide , neoandro-grapholid

  e, 14-deoxy-11,12

  

didehydroandrographolide , dan homoandrographolide), which had analgesic

  effect. The research had been done to prove the analgesic effect and analgesic potency of ethanolic extract of sambiloto’s leaf.

  The research was a pure experimental research with one way random complete design. The test subjects were white female swiss mice, the age were 2-3 months, and their weight were 20-30 g and separated on 7 groups. Group I as a negative control used natrium carboxymethylcellulose 0,5%. Group II-IV as a positive control used paracetamol suspension in natrium carboxymethylcellulose 0,5% which doses were 45,5; 91; 182 mg/kgBB. Group V-VII as groups test used ethanolic extract of sambiloto’s leaf which doses were 13, 26, 52 mg/kgBB. Extract and control were given by oral injection. Fifteen minutes later, acetic acid was given in mice by intraperitoneal administration, doses 100 mg/kgBB. The writhing responds are watched closely and booked every 5 minutes in 60 minutes. The accumulation numbers of the writhing responds are transferred into the form of resistance percentage of writhing protection. The data which is got from the calculation, later, is analyzed statistically by Kolmogrov-Smirnov, One way ANOVA, and Pos Hoc test (Scheffe) with interval 95%.

  By this experiments, percentage of writhing protection in paracetamol at 45,5; 91; 182 mg/kgBB were 60,68%; 85,67%; 92,14% and ethanolic extract of sambiloto’s leaf at 13, 26, 52 mg/kgBB were 65,73%; 82,58%, 89,61%.

  Keywords : Andrographis paniculata, pain, analgesic

  

DAFTAR ISI

  Hal HALAMAN JUDUL ....................................................................................... ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. iii HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... v PRAKARTA .................................................................................................... vi PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .......................................................... viii

  INTISARI ......................................................................................................... ix

  

ABSTRACT ....................................................................................................... x

  DAFTAR ISI .................................................................................................... xi DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiv DAFTAR GAMBAR........................................................................................ xv

  1. Permasalahan .................................................................................

  3 2. Keaslian penelitian .........................................................................

  3 3. Manfaat penelitian ..........................................................................

  B. Tujuan Penelitian ..........................................................................

  4

  5 BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA .............................................................

  6 A. Tumbuhan Sambiloto .......................................................................

  6 B. Metode Penyarian .............................................................................

  8 C. Nyeri .................................................................................................

  10 D. Mediator-mediator Nyeri ...................................................................

  12 E. Mekanisme Nyeri ...............................................................................

  13 F. Analgesik ...........................................................................................

  15 G. Parasetamol .......................................................................................

  17 H. Metode Pengujian Analgesik secara in vivo........................................

  21 I. Metode Pengujian Analgesik secara in vitro......................................

  25

  BAB III. METODE PENELITIAN .................................................................

  28 A. Jenis dan Rancangan Penelitian .......................................................

  28 B. Variabel penelitian dan Definisi Operasional ..................................

  28 C. Bahan Penelitian ...............................................................................

  30 D. Alat Penelitian .................................................................................

  31 E. Tata Cara Penelitian ..........................................................................

  32 F. Analisis Hasil ....................................................................................

  41 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................

  42 A. Determinasi Tumbuhan Sambiloto ..................................................

  42 B. Uji Pendahuluan .............................................................................

  42 C. Efek dan Daya Analgetik Ekstrak Daun Sambiloto .......................

  48 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN .........................................................

  55 A. Kesimpulan .....................................................................................

  55 B. Saran ………………………………………………………………

  55

  

DAFTAR TABEL

  Hal Tabel I Jumlah kumulatif geliat hewan uji pada penetapan dosis efektif

  44 asam asetat …………………………………………………….... Tabel II Jumlah kumulatif geliat dan persen penghambatan geliat pada

  47 penetapan selang waktu pemberian parasetamol dan asam asetat Tabel III Persen penghambatan geliat parasetamol dosis 45,5 mg/kgBB, 91 mg/kgBB, dan 182 mg/kgBB, dan ekstrak daun sambiloto

  50 dosis 13 mg/kgBB, 26 mg/kgBB, dan 52 mg/kgBB…………… Tabel IV Hasil analisis persen penghambatan geliat parasetamol dosis

  45,5 mg/kgBB, 91 mg/kgBB, dan 182 mg/kgBB, dan ekstrak daun sambiloto dosis 13 mg/kgBB, 26 mg/kgBB, dan 52 52 mg/kgBB………………….......................................................

  

DAFTAR GAMBAR

  Hal Gambar 1. Struktur Andrografolid ....................................................

  7 Gambar 2. Mediator nyeri ………………………….………………......

  12 Gambar 3. Struktur N-acetyl-p-aminophenol (parasetamol)……………

  17 Gambar 4. Diagram batang jumlah kumulatif geliat asam asetat dosis 50, 100 dan 150 mg/kgBB…………………………………..

  44 Diagram batang persen penghambatan geliat parasetamol Gambar 5. dosis 91 mg/kgBB rentang waktu 5, 15, dan 30 menit……...

  48 Gambar 6. Diagram batang perbandingan kontrol negatif, parasetamol dosis 45,5 mg/kgBB, 91 mg/kgBB, dan 182 mg/kgBB dengan ekstrak daun sambiloto dosis 13 mg/kgBB, 26 mg/kgBB, dan 52 mg/kgBB …………………………..........

  51

  

DAFTAR LAMPIRAN

  Hal Lampiran 1. Foto geliat mencit yang diberikan rangsang kimia ......................

  58 Lampiran 2. Foto ekstrak etanolik daun sambiloto .........................................

  58 Lampiran 3. Foto suspensi ekstrak etanolik daun sambiloto ...........................

  59 Lampiran 4. Foto suspensi parasetamol ........................................................

  59 Lampiran 5. Foto tumbuhan sambiloto ………………………………………...

  60 Lampiran 6. Perhitungan dosis parasetamol dan pembuatan suspensi parasetamol ............................................................................

  61 Lampiran 7. Perhitungan dosis dan pembuatan suspensi ekstrak etanolik daun sambiloto …………………………………………………………

  63 Lampiran 8. Data jumlah geliat pada penetapan dosis asam asetat ……………

  65 Lampiran 9. Data jumlah geliat pada penetapan selang waktu pemberian asam asetat ……………………………………………………………...

  67 Lampiran 10. Data jumlah geliat dan % penghambatan geliat pada kontrol

  Lampiran 12. Data jumlah geliat dan % penghambatan geliat pada kontrol positif dosis sedang (suspensi parasetamol dosis 91 mg/kgBB)….

  72 Lampiran 13. Data jumlah geliat dan % penghambatan geliat pada kontrol positif dosis tinggi (suspensi parasetamol dosis 182 mg/kgBB)….

  73 Lampiran 14. Data jumlah geliat dan % penghambatan geliat pada kelompok perlakuan dosis rendah (suspensi ekstrak daun sambiloto dosis 13 74 mg/kgBB) …………………………………………………….. Lampiran 15 Data jumlah geliat dan % penghambatan geliat pada kelompok perlakuan dosis sedang (suspense ekstrak daun sambiloto dosis

  75 26 mg/kgBB) …………………………………………………….. Lampiran 16. Data jumlah geliat dan % penghambatan geliat pada kelompok perlakuan dosis tinggi (suspense ekstrak daun sambiloto dosis 52

  76 mg/kgBB) ………………………………………………………... Lampiran 17. Data penetapan dosis asam asetat 1% 50 mg/kgBB, 100 mg/kgBB, dan 150 mg/kgBB dengan one-sample Kolmogorov-

  77 smirnov test ………………………………………………………. Lampiran 19. Data uji homogenitas penetapan dosis asam asetat 1% 50 mg/kgBB, 100 mg/kgBB dan 150 mg/kgBB……………………..

  79 Lampiran 20. Data uji selang waktu pemberian asam asetat dengan suspensi parasetamol dengan one-sample Kolmogorov-Smirnov test……...

  79 Lampiran 21. Data uji selang waktu pemberian asam asetat dengan suspensi parasetamol dengan one-way Anova test dan Post Hoc…………..

  80 Lampiran 22. Data uji homogenitas selang waktu pemberian asam asetat dengan suspensi parasetamol …………………………………….

  81 Lampiran 23. Data uji persen penghambatan geliat kontrol negatif (CMC-Na 0,5%), suspensi parasetamol dosis 45,5 mg/kgBB, 91 mg/kgBB, 182 mg/kgBB, dan suspensi ekstrak daun sambiloto dosis 13 mg/kgBB, 26 mg/kgBB, dan 52 mg/kgBB dengan one-sample Kolmogorov-Smirnov test ……………………………………….

  81 Lampiran 24. Data uji % penghambatan geliat kontrol negatif (CMC-Na 0,5%), suspensi parasetamol dosis 45,5 mg/kgBB, 91 mg/kgBB, 182 mg/kgBB, dan suspensi ekstrak daun sambiloto dosis 13 mg/kgBB, 26 mg/kgBB, dan 52 mg/kgBB dengan one-way Lampiran 25. Data uji homogenitas % penghambatan geliat kontrol negatif (CMC-Na 0,5%), suspensi parasetamol dosis 45,5 mg/kgBB, 91 mg/kgBB, 182 mg/kgBB, dan suspensi ekstrak daun sambiloto dosis 13 mg/kgBB, 26 mg/kgBB, dan 52 mg/kgBB……………...

  85 Lampiran 26 Diagram batang perbandingan kontrol negatif, suspensi parasetamol dosis 45,5 mg/kgBB, 91 mg/kgBB, 182 mg/kgBB, dan suspensi ekstrak daun sambiloto dosis 13 mg/kgBB, 26 mg/kgBB, dan 52 mg/kgBB ……………………………...………

  86 Lampiran 27. Keterangan determinasi tumbuhan sambiloto ……………………

  87 Lampiran 28. Keterangan mencit putih betina galur swiss………………………

  88

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Tumbuhan Sambiloto merupakan herba semusim, tumbuh tegak, tinggi

  sekitar 50 cm dan rasanya sangat pahit. Tumbuhan ini, secara tradisonal digunakan sebagai imunostimulan, antibiotik, analgetika-antipiretika, antiinflamasi, hepatoprotektor, hipotensif, hipoglikemik, antiradang saluran pernafasan, serta meredian jantung dan paru-paru.

  Kandungan kimia yang terdapat pada herba sambiloto antara lain lakton, tannin, saponin, dan flavonoid. Senyawa aktif dalam herba sambiloto yang paling dominan adalah andrografolid (zat pahit). Andrografolid ini termasuk dalam jenis lakton dan banyak terdapat pada bagian daun sambiloto. Andrografolid akan memberikan berbagai macam khasiat, salah satunya adalah sebagai analgetik (Mahendra, 2005).

  Pemberian secara intraperitoneal pada mencit ekstrak air daun sambiloto dosis sampai dengan 1200 mg/kg dan ekstrak etanol pada dosis 600 mg/kg tidak menunjukkan efek analgetik (Sawasdimongkol et al., 1990 cit Kardono, Artanti, rangsang kimia yang diinduksi asam asetat pada mencit (Madav et al., 1995 cit Kardono, Artanti, Dewiyanti, dan Basuki, 2003) .

  Penelitian yang telah dilakukan oleh Maharani (2004) mengenai uji efek analgetik infusa daun sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) pada mencit putih betina dengan metode lempeng panas diperoleh hasil bahwa aktivitas infusa daun sambiloto dalam menghambat nyeri yang ditimbulkan oleh induksi panas (lempeng panas) sangat lemah.

  Menurut Budavari (1989), kelarutan andrografolid dalam air sangat rendah. Andrografolid dapat diekstraksi dengan menggunakan pelarut alkohol atau dengan larutan alkali. Etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena sifatnya lebih selektif, dan tidak beracun. Kapang dan jamur akan sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas sehingga sediaan ekstrak etanol relatif lebih tahan lama dan banyak digunakan dalam skala industri. Bentuk sediaan ekstrak etanol juga dipilih karena jumlah zat aktif yang terlarut lebih banyak sehingga diharapkan efek farmakologis yang muncul akan lebih optimal (Anonim, 1986).

  Metode pengujian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode rangsang kimia karena metode ini merupakan langkah pengujian awal untuk mengetahui adanya efek analgetik pada suatu senyawa. Metode ini juga cukup peka untuk pengujian senyawa-senyawa analgetik yang mempunyai efek analgetik

  1. Permasalahan

  a. Apakah ekstrak etanolik daun sambiloto memiliki efek analgetik terhadap mencit putih betina? b. Seberapa besar persentase daya analgetik yang dimiliki ekstrak etanolik daun sambiloto jika dibandingkan dengan parasetamol pada mencit putih betina?

  2. Keaslian penelitian

  Sejauh pengamatan penulis, penelitian mengenai Uji Analgetik Ekstrak Etanolik Daun Sambiloto (Andrographis paniculata, Nees.) pada Mencit Betina

  

Swiss dengan Metode Rangsang Kimia belum pernah dilakukan di wilayah

  Universitas Sanata Dharma. Adapun penelitian-penelitian tentang tanaman Sambiloto yang pernah dilakukan adalah sebagai berikut :

  1. Efek Antibakteri Infus Herba Andrographis paniculata Nees (Sambiloto) terhadap bakteri Salmonella thypimurium dan Staphylococcus aureus (Oematan, 2000). Hasil penelitiannya adalah Infus Andrographis

  paniculata Nees mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Salmonella

  dan Staphylococcus aureus dan aktifitas antibakteri akan

  thypimurium semakin meningkat dengan peningkatan konsentrasi larutan uji.

  3. Daya Hambat Ekstrak Etanol Herba Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f) Nees) terhadap Pertumbuhan Plasmodium berghei in vivo (Indirawati, 2004). Hasil penelitiannya adalah Ekstrak etanol herba sambiloto dosis terbesar dalam penelitian yaitu 700 mg/kgBB yang diberikan peroral dapat menghambat pertumbuhan P. Berghei in vivo sebesar 71,16%.

  4. Uji Efek Analgetik Infusa Daun Sambiloto (Andrographis paniculata, Nees.) pada Mencit Putih Betina dengan Metode Lempeng Panas (Maharani, 2004). Hasil penelitiannya adalah

  a. Aktivitas infusa daun sambiloto dalam menghambat nyeri yang ditimbulkan oleh induksi panas (lempeng panas) sangat lemah.

  b. Dosis infusa daun sambiloto yang diberikan untuk menekan rasa nyeri secara sentral belum dapat memberikan efek secara maksimum.

  c. Daun sambiloto hanya mempunyai khasiat sebagai analgetika perifer.

3. Manfaat penelitian

  Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :

  a. Manfaat teoritis Penelitian ini merupakan sumbangan informasi khususnya dibidang

B. Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan :

  1. Untuk mengetahui efek analgetik ekstrak etanolik daun sambiloto terhadap mencit betina.

  2. Untuk mengetahui seberapa besar daya analgetik yang dimiliki ekstrak etanolik daun sambiloto terhadap mencit betina.

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Tumbuhan Sambiloto

  1. Keterangan botani

  Sambiloto (Andrographis paniculata) termasuk familia Acanthaceae yang memiliki nama daerah di antaranya : Sumatera Barat : Ampadu tanah Jawa Tengah : Sambiloto, ki pait, bidara, andiloto Sunda : Ki oray Madura : Pepaitan (Mahendra, 2005).

  2. Morfologi tumbuhan

  Sambiloto merupakan herba semusim, tumbuh tegak, tinggi sekitar 50 cm dan rasanya sangat pahit. Batang sambiloto berkayu, berpangkal bulat, berbentuk segi empat saat muda dan bulat setelah tua, percabangan monopodial (banyak cabang), dan berwarna hijau. Daun sambiloto tunggal, tersusun berhadapan, berbentuk pedang (lanset), bertepi rata (integer), ujung dan pangkal daun tajam

3. Kandungan kimia

  Kandungan kimia yang terdapat pada daun sambiloto adalah lakton yang terdiri dari deoxy-andrographolide, 14-deoxy-11,12 didehydroandrographolide,

  

andrographolide (zat pahit), neoandrographolide, dan homoandrographolide.

  Juga terdapat flavonoid, alkane, keton, dan aldehyde, selain mineral seperti kalium, kalsium, natrium, dan asam kresik (Aliadi, 1996).

  Komponen utama yang terdapat pada daun sambiloto yang sekaligus memiliki efek analgetik adalah andrografolid. Andrografolid dapat diekstraksi dengan etanol 95% (Anonim, 2004).

  Andrografolid memiliki khasiat sebagai analgetik dengan meningkatkan kadar β-endorfin. Β-endorfin merupakan neutransmitter yang berefek analgetik atau pereda nyeri dan antipiretik. Betaendorfin merupakan suatu pereda nyeri yang berasal dari tubuh, neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P (Potter dan Perry, 2005).

  Struktur kimia andrografolid adalah HO O O

  CH 3 CH 2

4. Khasiat penggunaan

  Tumbuhan sambiloto mempunyai rasa pahit, dingin, masuk meridian paru, lambung, usus besar dan usus kecil. Mempunyai efek antibakteri, menghambat reaksi imunitas, penghilang nyeri (analgetik), pereda demam (antipiretik), menghilangkan panas dalam, penawar racun (Muhlisah, 2000).

B. Metode Penyarian

1. Ekstrak

  Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung (Anonim, 1979).

  Ekstrak kental sambiloto adalah ekstrak yang dibuat dari tumbuhan

  

Andrographis paniculata Nees, suku Acanthaceae, mengandung andrografolid

tidak kurang dari 19,8% (Anonim, 2004).

  Ekstraksi adalah proses penyarian zat-zat aktif dari bagian tanaman dengan tujuan untuk menarik komponen kimia yang terdapat dalam simplisia dan didasarkan pada perpindahan massa komponen zat padat ke dalam pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka, kemudian berdifusi masuk ke

  2. Pemilihan pelarut

  Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi dapat berupa air, eter, atau campuran etanol dan air. Andrografolid dapat diekstraksi dengan etanol 95%, sehingga dalam penelitian ini digunakan penyari etanol 95% (Anonim, 2004).

  Etanol digunakan sebagai penyari karena lebih selektif, kapang/kuman sulit tumbuh dalam etanol di atas 20%, tidak beracun, bersifat netral, dapat bercampur dengan air, panas yang digunakan untuk pemekatan lebih sedikit (Anonim, 1986).

  3. Maserasi

  Maserasi merupakan cara penyarian sederhana yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk kedalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang diluar sel, maka larutan yang terpekat di desak keluar sel.

  Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentasi antara larutan diluar sel dan didalam sel (Anonim, 1986).

C. Nyeri

  Menurut Suroto dan Purwanto (2004), rasa nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Ambang toleransi nyeri pada setiap orang berbeda-beda. Ambang nyeri merupakan tingkat (level) yang mana nyeri di rasakan untuk pertama kalinya atau intensitas rangsangan yang terendah saat seseorang merasakan nyeri (Tjay dan Rahardja, 2002).

  Nyeri merupakan gejala paling umum pada pemeriksaan klinis, karena nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang penting yang berfungsi melindungi tubuh. Kemampuan merasakan nyeri disebut juga nosiseptif, membantu individu untuk menghindari situasi yang berbahaya dan merusak di lingkungan sekitar (Baumann, 2005).

  Rasa nyeri dapat di bagi menjadi dua rasa nyeri utama, yaitu rasa nyeri cepat dan rasa nyeri lambat. Bila di berikan stimulus nyeri, maka rasa nyeri cepat timbul dalam waktu kira-kira 0,1 detik, sedangkan rasa nyeri lambat timbul setelah 1 detik atau lebih dan kemudian secara perlahan bertambah selama beberapa detik dan kadangkala bahkan beberapa menit. Rasa nyeri cepat juga di syok elektrik. Rasa nyeri cepat, nyeri tajam tak akan terasa di sebagian besar jaringan dalam dari tubuh (Guyton dan Hall, 1996).

  Rasa nyeri dapat dirasakan melalui berbagai jenis rangsangan, yaitu rangsang nyeri mekanis, nyeri suhu, dan nyeri kimiawi yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa zat kimia yang merangsang jenis nyeri kimiawi meliputi bradikinin, serotonin, histamin, ion kalium, asam, dan asetilkolin. Selain itu, prostaglandin dan substansi P meningkatkan sensitivitas ujung-ujung serabut nyeri tetapi tidak secara langsung merangsangnya. Serabut saraf aferen tak bermielin mengandung beberapa neuropeptida terutama substansi P dan

  

Calcitonin gene-related peptide (CGRP). Zat-zat ini dilepaskan sebagai mediator

  dipusat dan diperifer dan berperan penting dalam mekanisme nyeri (Guyton dan Hall, 1996).

D. Mediator –mediator Nyeri

  Stimulus Kerusakan jaringan

  Pembebasan : pembentukan :

  • H (pH<6) kinin (mis : bradikinin)
  • K ( >20 mmol/L) prostaglandin Asetilkolin Serotonin sensitibilitas reseptor Histamin Nyeri pertama nyeri lama

  Gambar 2. Mediator nyeri (Mutschler, 1986)

E. Mekanisme Nyeri

  Menurut Mutschler (1986), nyeri timbul bila rangsang mekanik, termal, kimia atau listrik melampaui suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri) sehingga menyebabkan kerusakan jaringan. Kerusakan jaringan akan menimbulkan aktivasi reseptor nyeri (nosiseptor).

  Nyeri nosiseptif terbagi dalam 4 proses, yaitu :

  1. Stimulasi Rangsangan (mekanik, panas, kimia) dari luar tubuh akan merangsang reseptor tertentu dalam tubuh yang dikenal sebagai nosiseptor yang terdapat pada struktur somatik dan visceral. Rangsangan tersebut mensentisi nosiseptor sehingga menyebabkan pelepasan mediator-mediator kimia seperti bradikinin,

  • K , prostaglandin, histamin, leukotrien, serotonin dan substansi P (substansi peptide) yang juga mensentisisasi nosiseptor. Aktivitas ini digunakan untuk menghasilkan potensial aksi yang akan ditransmisikan sepanjang serabut saraf menuju serabut saraf spinal.

  2. Transmisi Proses transmisi nosiseptif berlangsung melewati serabut A δ dan C. Rangsangan yang melewati serabut saraf A

  δ (diameternya besar, mempunyai serabut saraf spinal pada sumsum tulang belakang dengan pelepasan bermacam-macam neurotransmitter termasuk glutamat, substansi P, dan gen kalsitonin terikat peptida (CGRP). Transmisi ini berlangsung lebih kurang 5 jalur : traktus spinothalamic, traktus spinoretikular, traktus spinomesenphallic, jalur kolom dorsal spinomedula postsinaptik, system propiospinal multisinaptik menaik.

  3. Persepsi Ketika transmisi nyeri berjalan dengan baik, seseorang akan merasakan nyeri secara sadar. Timbulnya nyeri berasal dari aktivitas akhiran saraf tertentu yang menghasilkan respon terhadap rangsang yang kuat. Perangsangan ini menimbulkan impuls saraf yang berjalan sepanjang saraf sensorik dan mencapai medula spinalis, lalu dikirim ke korteks serebral di hipotalamus. Serat saraf rasa sakit mengadakan sinaps dengan neuron-neuron lain di sumsum tulang belakang naik keatas melalui tractus spinothalamicus.

  Aktivasi nosiseptor dimungkinkan karena pada setiap kerusakan jaringan, akan dihasilkan zat meditor seperti prostaglandin, bradikinin, leukotrien, histamin, dan serotonin yang kemudian akan menghasilkan sensitisasi reseptor. modulasi alami yang dilakukan tubuh terhadap nyeri dilakukan oleh opiat endogen yang terikat reseptornya yang mennghambat transmisi nyeri. Proses modulasi ini dapat dihambat oleh tipe reseptor lain, yaitu reseptor N-metil-D- Aspartat (NMDA) yang berada di dorsal horn dapat menurunkan tanggapan reseptor mu terhadap agonisnya. Sistem saraf pusat juga mempunyai suatu sistem menurun yang terorganisasi untuk mengontrol transmisi nyeri, neurotransmitter yang penting dalam proses ini antara lain opiat endogen, serotonin, norepinefrin, asam γ-aminobupirat (GABA) dan neurotensin (Baumann, 2005).

F. Analgesik

  Analgesik adalah obat atau senyawa yang dalam dosis terapetik dapat meringankan atau menekan rasa nyeri tanpa memiliki kerja anestesi umum (Anonim, 1991). Menurut Tjay dan Rahardja (2002), atas dasar kerja farmakologisnya, analgesik di bagi dalam dua kelompok besar, yaitu analgesik perifer (non narkotik) dan analgesik narkotik. Untuk analgesik non narkotik, terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral, sedangkan untuk analgesik narkotik, khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti pada fractura dan kanker.

  2. Anestetik lokal, yang merintangi penyaluran rangsangan di saraf-saraf sensoris

  3. Analgesik sentral (narkotik), yang memblokir pusat nyeri di SSP dengan anestesi umum

  4. Antidepresiva trisiklis, yang di gunakan pada nyeri kanker dan saraf, mekanisme kerjanya belum di ketahui, misal amitriptilin

  5. Antiepileptika, yang meningkatkan jumah neurotransmitter di ruang sinaps pada nyeri, misal pregabalin, karnamazepin, okskarbazepin, fenitoin,valproat (Tjay dan Rahardja, 2002).

  Nyeri ringan dapat ditangani dengan obat perifer, seperti parasetamol, asetosal, mefenaminat, propifenazon atau aminofenazon, begitu pula rasa nyeri dengan demam. Untuk nyeri sedang dapat di tambahkan kofein atau kodein. Nyeri yang hebat perlu ditanggulangi dengan morfin atau opiat lainnya. Secara kimiawi, analgetik perifer dapat di bagi menjadi beberapa kelompok, yakni:

  1. Parasetamol

  2. Salisilat : asetosal, salisilamida dan benorilat

  3. Penghambat biosintesis prostaglandin (NSAIDs) : ibuprofen

G. Parasetamol

  1. Definisi Parasetamol (asetaminofen) merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik yang lama dan telah digunakan. Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. Asetaminofen di Indonesia dikenal dengan nama parasetamol, dan tersedia sebagai obat bebas. Laporan kerusakan fatal hati akibat overdosis akut perlu di perhatikan. Parasetamol hampir tidak memiliki efek antiinflamasi (Wilmana, 2005).

  Parasetamol merupakan serbuk hablur yang berwarna putih, tidak berbau, dan rasanya pahit, larut dalam air mendidih, NaOH, dan mudah larut dalam etanol. Parasetamol memiliki khasiat sebagai analgetikum dan antipiretikum. Bobot molekul parasetamol adalah 151,16 dengan rumus molekul C

  8 H

  9 NO

  2 (Anonim, 1979).

  Menurut Katzung (2002), struktur parasetamol adalah seperti gambar di bawah ini :

  H O HO N C CH

  3

  2. Farmakodinamik Efek analgetik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang, selain itu juga dapat menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga berdasarkan efek sentral. Efek antiinflamasinya sangat lemah, sehingga parasetamol tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa (Wilmana, 2005).

  3. Farmakokinetik Parasetamol diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna.

  Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar keseluruh cairan tubuh. Dalam plasma, 25% parasetamol terikat protein plasma. Kedua obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian parasetamol (80%) dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Selain itu obat ini juga dapat mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi ini dapat menimbulkan

  4. Indikasi Di Indonesia penggunaan parasetamol sebagai analgetik dan antipiretik, telah menggantikan penggunaan salisilat. Sebagai analgetik, parasetamol sebaiknya tidak diberikan terlalu lama karena kemungkinan menimbulkan nefropati analgetik. Jika dosis terapi tidak memberi manfaat, biasanya dosis lebih besar tidak menolong. Penggunaannya untuk meredakan demam tidak seluas penggunaannya sebagai analgetik (Wilmana, 2005).

  5. Sediaan Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500 mg atau sirup yang mengandung 120 mg/5ml. Selain itu parasetamol terdapat sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun cairan. Dosis parasetamol untuk dewasa 300mg -1 g perkali, dengan maksimum 4 g perhari; untuk anak 6-12 tahun : 150-300 mg/kali, dengan maksimum 1,2 g/hari. Untuk anak 1-6 tahun : 60-120 mg/kali dan bayi dibawah 1 tahun : 60 mg/kali; pada keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari (Wilmana, 2005).

  6. Toksisitas akut dapat terjadi pada hari kedua, dengan gejala peningkatan aktivitas serum transaminase, laktat dehidrogenase, kadar bilirubin serum serta pemanjangan masa protrombin. Aktivitas alkali fosfatase dan kadar albumin serum tetap normal. Kerusakan hati dapat mengakibatkan ensefalopati, koma, dan kematian.

  Kerusakan hati yang tidak berat pulih dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan (Wilmana, 2005).

  Masa paruh parasetamol pada hari pertama keracunan merupakan petunjuk beratnya keracunan. Masa paruh lebih dari 4 jam merupakan petunjuk akan terjadi nekrosis hati dan masa paruh lebih dari 12 jam meramalkan akan terjadinya koma hepatik. Penentuan kadar parasetamol sesaat kurang peka untuk meramalkan terjadinya kerusakan hati. Kerusakan ini tidak hanya disebabkan oleh parasetamol, tetapi juga oleh radikal bebas, metabolit yang sangat reaktif yang berikatan secara kovalen dengan makromolekul vital sel hati. Karena itu hepatotoksisitas parasetamol meningkat pada penderita yang juga mendapat barbiturat, antikonvulsi lain atau pada alkoholik yang kronis. Kerusakan yang timbul berupa nekrosis sentrilobularis. Keracunan akut ini biasanya diobati secara simtomatik dan suportif, tetapi pemberian senyawa sulfhidril tampaknya dapat bermanfaat, yaitu dengan memperbaiki adangan glutation hati. N-asetilsistein cukup efektif bila diberikan peroral 24 jam setelah minum dosis toksik parasetamol (Wilmana,

H. Metode Pengujian Analgetik secara in vivo

  Berdasarkan jenis analgetik, Turner (1965) membagi metode pengujian menjadi dua, yaitu:

  1. Golongan analgetik non narkotik

  a. Metode induksi kimia Pada metode ini, rangsang kimia yang digunakan berupa zat kimia yang diberikan secara intraperitonial pada mencit yang sebelumnya telah diberikan senyawa uji secara oral pada selang waktu tertentu. Beberapa zat kimia yang biasa digunakan antara lain asam asetat dan fenilkuinon. Respon nyeri pada mencit adalah geliat berupa kontraksi perut disertai tarikan kedua kaki belakang dan perut menempel pada lantai. Metode rangsang kimia digunakan sebagai metode pengujian efek analgetik karena metode ini sederhana, mudah dilakukan, dan cukup peka untuk pengujian senyawa-senyawa yang memiliki daya analgetik lemah. Pemberian analgesik akan mengurangi rasa nyeri sehingga jumlah geliat dalam jangka waktu tertentu akan berkurang.

  Daya analgetik dapat di evaluasi menggunakan persen penghambatan

  Keterangan : P : jumlah kumulatif geliat hewan uji setelah pemberian obat yang telah diuji K : jumlah rata-rata geliat hewan uji kelompok kontrol

  b. Metode pedolorimeter Mencit yang telah diberikan senyawa uji, ditempatkan pada tempat yang sudah berarus listrik dengan tegangan 20 volt. Respon mencit yang ditimbulkan berupa suara mencicit. Senyawa uji yang mempunyai daya analgetik dapat menaikkan tegangan untuk dapat menimbulkan teriakan mencit.

  c. Metode rektodolometer Hewan uji tikus diletakkan dalam sebuah kandang yang dibuat khusus dengan menggunakan alas tembaga yang dihubungkan dengan sebuah gulungan yang berfungsi sebagai penginduksi. Ujung lain dari gulungan tersebut di hubungkan dengan silinder elektroda tembaga.

  Pada gulungan bagian atas terdapat suatu konduktor yang dihubungkan dengan suatu voltmeter yang sensitif untuk dapat mengubah 0,1 volt.

  2. Golongan analgetik narkotik

  a. Metode jepitan ekor Mencit yang sudah diberi senyawa uji dengan dosis tertentu secara sub kutan atau intravena 30 menit sebelumnya pada jepitan arteri yang di lapisi karet tipis selama 30 detik. Mencit yang tidak diberi analgetik akan berusaha terus untuk melepaskan diri dari kekangan tersebut.

  Metode ini lebih baik daripada metode rangsang panas, karena rangsang yang diberikan tidak bersifat merusak (pada hot plate panas yang diberikan bersifat merusak).

  b. Metode rangsang panas Pada pengujian dengan metode ini digunakan alat berupa sebuah lempeng panas (hot plate) yang bersuhu antara 50ºC sampai 55ºC, dilengkapi dengan penangas yang berisi campuran sebanding antara aseton dan etil formiat dengan perbandingan 1 : 1. Hewan uji yang tela diberi larutan uji secara subkutan atau peroral di letakkan pada hot plate, kemudian diamati reaksinya ketika hewan uji mulai menjilat kaki belakang dan kemudian melompat. dihubungkan dengan monometer. Syringe yang pertama diletakkan dengan posisi vertikal dengan ujungnya menghadap ke atas. Ekor tikus diletakkan di bawah penghisap syringe, ketika tekanan diberikan pada syringe kedua, maka tekanan akan terhubung pada sistem hidrolik pada syringe yang pertama lalu pada ekor tikus. Tekanan yang sama pada syringe kedua akan meningkatkan tekanan pada ekor ikus, sehingga akan menimbulkan respon dan akan terbaca pada manometer. Respon tikus yang pertama adalah meronta-ronta kemudian akan mengeluarkan suara (mencicit) sebagai tanda kesakitan.

  d. Metode potensi petidin Metode ini kurang baik karena dibutuhkan hewan uji yang cukup banyak, tiap kelompok terdiri dai tikus sebanyak 20 ekor, setengah kelompok dibagi menjadi 3 bagian yang diberi petidin dengan dosis 2, 4, dan 8 mg/kg. Setengah kelompok lainnya diberi senyawa uji dengan dosis 20% dari LD . Persen daya analgetik di hitung dengan metode

  50 rangsang panas.

  e. Metode antagonis nalorfin efek analgetik morfin dan obat analgetik lain yang mempunyai mekanisme kerja yang sama.

  f. Metode kejang oksitosin Oksitosin merupakan hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pituitari posterior, yang dapat menyebabkan kontraksi uterin sehingga menimbulkan kejang pada tikus. Responnya berupa kontraksi abdominal, sehingga menarik pinggang dan kaki belakang. Penurunan jumlah kejang diamati dan ED 50 dapat diperkirakan.

  g. Metode pencelupan pada air panas Metode ini dilakukan dengan cara mencelupkan ekor mencit pada air temperatur 58ºC, dimulai 15 menit setelah diinjeksikan substansi yang diuji secara intraperitonial. Pencelupan diulang setiap 30 menit. Respon mencit terlihat pada sentakan ekornya untuk menghindari air panas.

  I. Metode Pengujian Analgetik secara in vitro Prinsip metode pengujian analgetik secara in vitro yaitu penggantian Berdasarkan profil farmakologi opiat, terdapat beberapa tipe reseptor yang telah diidentifikasi meliputi reseptor µ,

  1

  δ, σ, dan k. Untuk reseptor µ, subtipe µ dan µ

  2 telah dideskripsikan. Daya tahan terhadap rasa sakit disebabkan

  pengaktifan reseptor-reseptor µ (secara luas pada bagian supra-spinal) dan reseptor-reseptor k (secara prinsip dengan spinal cord); reseptor-reseptor δ juga mungkin dilibatkan dalam tingkat spinal dan supraspinal. Konsekuensi- konsekuensi lain akibat pengaktifan reseptor µ meliputi depresi saluran pernafasan, miosis, penurunan motilitas gastrointestinal, dan euforia. Reseptor- reseptor µ

  1 mampu sebagai perantara aksi analgetik supraspinal dan reseptor-

  reseptor µ mampu sebagai perantara terjadinya depresi pernafasan dan supresi

  2

  motilitas gastrointestinal. Reseptor µ ini juga berpengaruh terhadap kecepatan pompa jantung (Vogel, 2002).

  Berbagai macam reseptor opioid telah diisolasi dari jaringan dimana neurotransmisi sensitif akibat penghambatan oleh antagonis opioid. Potensi relatif dari antagonis opioid ditetapkan berdasarkan kemampuannya untuk menghambat kontraksi yang dibangkitkan dengan adanya listrik pada jaringan terisolasi dari lima macam spesies yang berbeda yang meliputi kontraksi vas deferens pada tikus yang dihambat dengan agonis µ,

  δ, σ, dan k; kontraksi otot myenteric

  

plexuslongitudinal pada babi yang dihambat dengan agonis µ dan k; kontraksi vas

  J. Landasan Teori

  Menurut Guyton dan Hall (1996), rasa nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh, yang timbul bila ada jaringan rusak, dan akan menyebabkan individu bereaksi dengan cara memindahkan stimulus nyeri.