Faktor yang Memengaruhi Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I Kabupaten Kampar Tahun 2014
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan adalah hak asasi manusia dan investasi untuk keberhasilan
pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan kesehatan secara
menyeluruh dan berkesinambungan. Tujuan Sistem Kesehatan Nasional adalah
terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa, baik
masyarakat swasta maupun pemerintah secara sinergis, berhasil-guna dan
berdayaguna, sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
(Depkes RI, 2004).
Derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari berbagai indikator, yang
meliputi indikator angka harapan hidup, angka kematian, angka kesakitan, dan status
gizi masyarakat sehingga banyak program-program kesehatan yang dilakukan
pemerintah terutama pada penduduk usia rentan, seperti program Safe Motherhood
Initiative, program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), program Maternal and Neonatal
Tetanus Elimination (MNTE), dan program Pemberantasan Penyakit Menular
(Depkes RI, 2010) .
Tujuan pembangunan millenium yang dicanangkan oleh masyarakat dunia
atau yang sering disebut dengan Millenium Development Goals (MDGs) adalah
menurunkan angka kematian anak usia di bawah lima tahun pada rentang waktu
antara 1990-2015. Kemudian ditegaskan kembali bahwa tujuan dari MDGs yang
1
2
belum tercapai secara merata khususnya di negara berkembang termasuk
Indonesia adalah menurunkan sepertiga kematian oleh Infeksi Saluran Pernafasan
Akut (ISPA) (Depkes RI, 2005). World Health Organization (WHO) memperkirakan
insidensi ISPA di negara berkembang 0,29% dan negara industri 0,05% (WHO,
2012b). ISPA menempati urutan pertama penyakit yang diderita pada kelompok bayi
dan balita di Indonesia.
Masa balita merupakan masa yang sangat penting dari seluruh kehidupan
manusia dan merupakan masa kritis yang menentukan kualitas hidup anak
selanjutnya. Masa pertumbuhan dan perkembangan tercepat dalam kehidupan anak
terjadi pada masa balita (Triton, 2006). Usia balita juga merupakan masa paling pesat
dalam hal pertumbuhan dan perkembangan dibandingkan dengan tahapan umur
berikutnya. Balita adalah anak yang berusia dari 0- 59 bulan (Depkes, 2005),
sedangkan menurut UU No.20 tahun 2003 balita adalah insan manusia yang berusia
0-5 tahun. Usia balita lebih sering terkena penyakit dibandingkan orang dewasa, yang
pertumbuhan dan perkembangannya sudah lengkap. Hal ini disebabkan sistem
pertahanan tubuh pada balita terhadap penyakit infeksi masih dalam tahap
perkembangan (Sastroasmoro, 2007).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering
terjadi pada anak. Insidens menurut kelompok umur balita 0,29 episode per
anak/tahun di negara berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di negara maju.
Ini menunjukkan bahwa terdapat 156 juta episode baru di dunia per tahun dimana
96,7% terjadi di negara berkembang. Kasus terbanyak terjadi di India (43 juta),
3
China (21 juta) dan Pakistan (10juta) dan Bangladesh, Indonesia, Nigeria masingmasing 6 juta episode. Dari semua kasus yang terjadi di masyarakat, 7-13% kasus
berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. Episode batuk-pilek pada Balita di
Indonesia diperkirakan 2-3 kali per tahun (Rudan et al Bulletin WHO 2008). ISPA
merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di Puskesmas (40%-60%)
dan rumah sakit (15%-30%) (Depkes RI, 2011).
Meskipun pemberantasan penyakit ISPA telah dikembangkan sejak tahun
1984, bersamaan dengan dilancarkannya pemberantasan penyakit ISPA di tingkat
global oleh World Health Organization (WHO). Namun hingga saat ini penyakit
ISPA masih disebut wabah raya yang terlupakan (The Forgotten Pandemic), karena
begitu banyak korban yang meninggal karena ISPA dan Pneumonia tetapi sangat
sedikit perhatian yang diberikan kepada masalah ISPA (Depkes, 2005).
Data World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa proporsi
kematian balita dan bayi karena ISPA di dunia adalah sebesar 19% dan 26% (Depkes,
2005). Menurut WHO 78% kematian balita di Indonesia terjadi pada usia neonatus
sekitar 38%, usia 1-11 bulan sekitar 40% dan 22% terjadi pada usia 1-5 tahun.
Penyebab kematian balita terbesar di Indonesia adalah diare 18%, pneumonia 14%,
campak 5%, atau sekitar 37% dari 161.000 kematian balita di Indonesia.
Penyakit ISPA masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia
berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 angka kematian
akibat pneumonia, mencapai 5 kasus diantara 1000 bayi dan balita. Ini berarti ISPA
mengakibatkan 150 ribu bayi dan balita meninggal setiap tahunnya, atau 12.500
4
korban perbulan, atau 416 kasus sehari, atau 17 anak per jam, atau 1 orang balita tiap
5 menit (Misnadiarly, 2008). Diperkirakan setiap anak mengalami 3 sampai 6 episode
ISPA setiap tahunnya dan mengakibatkan kematian sekitar 20-30% (Depkes RI,
2002). Penyebab kematian terbanyak pada balita akibat ISPA adalah terjadinya
pneumonia.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan
prevalensi nasional ISPA 25,5%, dimana angka kesakitan (morbiditas) pneumonia
pada bayi 2,2%, pada balita 3%, sedangkan angka kematian (mortalitas) pada bayi
23,8% dan balita 15,5% dan pada tahun 2013 hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) menunjukkan prevalensi nasional ISPA 25,0% karakteristik penduduk
dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun (25,8%) dimana
ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%),
Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur (28,3%), dan pada Riskesdas 2007,
Nusa Tenggara Timur juga merupakan provinsi tertinggi dengan ISPA.
Bencana asap akibat kebakaran lahan dan hutan di Riau sangat berdampak
terhadap kesehatan penduduk Riau hal ini dapat dilihat dari kasus penyakit Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Data dari Dinas Kesehatan Propinsi Riau
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kasus penderita ISPA di seluruh Riau, data
pada 26 Februri 2014 kasus ISPA berjumlah 18.893 orang dan pada 12 Maret 2014
meningkat
menjadi 43.463 orang. Kabupaten yang paling banyak penderitanya
adalah Rokan Hilir dan Pekanbaru dengan jumlah penderita > 5.000 orang.
Selanjutnya daerah dengan jumlah penderita ISPA 2.000 – 5.000 orang adalah Rokan
5
Hulu, Kota Dumai, Bengkalis, Kampar, Siak dan Pelalawan. Dan wilayah dengan
penderita < 2.000 orang adalah Meranti, Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, dan Kuantan
Sengingi.
Kematian balita akibat ISPA terjadi karena Pnemonia yang tidak cepat
ditolong secara dini dan diberikan pengobatan yang tepat. Dalam upaya pencegahan
dan menghindari peningkatan kejadian pnemonia yang berakibat kematian balita
disebabkan pneumonia dilakukan upaya program deteksi dini ISPA pada balita. Case
Detection Rate (CDR) pneumonia balita selama kurun waktu 2010-2012, jumlah
kasus ISPA terlihat berfluktuasi pada tahun 2010 sebesar 17,8% atau 10.024 balita
menurun cukup signifikan dibandingkan tahun 2011 sebesar 13,7% atau 8.653 balita
dan tahun 2012 mengalami peningkatan yaitu sebesar 15.9% Jumlah kasus yang
ditemukan sebanyak 10.059 kasus (Dinkes Riau, 2012).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Kampar 2013, didapatkan data
penderita ISPA balita dari Januari sampai dengan September
sebanyak 19.887
dengan 658 balita menderita ISPA dengan pneumonia, sebanyak 19.229 balita dengan
ISPA bukan pneumonia. ISPA juga merupakan 10 besar penyakit yang ditangani di
Puskesmas (Dinkes Kab Kampar, 2013).
Puskesmas XIII Koto Kampar I memiliki wilayah kerja meliputi 1 kelurahan
dan 3 desa, diantaranya Kelurahan Batu Bersurat, Desa Tanjung Alai, Desa Balung,
Desa Binamang. Beberapa tahun terakhir kunjungan penderita ISPA ke puskesmas
XIII Koto Kampar I menunjukkan adanya peningkatan dari tahun 2010 sebesar 566
orang (5,48%), 861 orang (7,66%) pada tahun 2011, 1318 orang (13.00%) pada tahun
6
2012 dan 1356 orang (22,62%) pada tahun 2013 dari seluruh kunjungan, Penyakit
ISPA dari data 10 besar menduduki urutan pertama dari tahun 2010 sampai tahun
2013. Proporsi penderita ISPA pada balita pada tahun 2013 sebesar 36%, dan
meningkat dari tahun 2012 yaitu sebesar 29%.
Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian ISPA terbagi atas faktor
instrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik meliputi umur, jenis kelamin, status
gizi, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), status imunisasi, pemberian Air Susu Ibu
(ASI), dan pemberian vitamin A. Faktor ekstrinsik seperti kondisi fisik lingkungan
rumah yang meliputi kepadatan hunian, polusi udara, tipe rumah, ventilasi, asap
rokok, penggunaan bahan bakar, serta faktor ibu baik pendidikan, umur, maupun
perilaku ibu (Dewi, 2012).
Secara umum ada 3 (tiga) faktor risiko terjadinya ISPA yaitu faktor
lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku. Faktor lingkungan meliputi
pencemaran udara dalam rumah, kondisi fisik rumah, dan kepadatan hunian rumah.
Faktor individu anak meliputi umur anak, berat badan lahir, status gizi, vitamin A,
dan status imunisasi. Sedangkan faktor perilaku berhubungan dengan pencegahan dan
penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek
penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga
lainnya (Depkes RI, 2002).
Berdasarkan hasil penelitian Khin dkk tahun 2002-2003 di Myanmar,
didapatkan bahwa insidens penyakit ISPA pada balita sebesar 1,8 dari 1.000 balita
7
dalam sehari, hal ini berhubungan dengan polusi udara dalam rumah yang kurang
mendukung kesehatan balita.
Penelitian Hariyani (2010) menunjukkan bahwa, status gizi balita, dan status
imunisasi balita berhubungan dengan penyakit ISPA pada balita usia 12-60 bulan.
Dewi (2012) menunjukkan bahwa ada hubungan antara status luas ventilasi,
kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita, sejalan dengan penelitian
Angelina (2012). Penelitian Ria (2008) menunjukkan ada hubungan yang bermakna
antara bahan bakar untuk memasak dengan kejadian ISPA pada balita.
Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian tentang “faktor
yang memengaruhi kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas XIII Koto
Kampar I Kabupaten Kampar”.
1.2 Permasalahan
Permasalahan yang dikemukakan adalah belum diketahui faktor yang
memengaruhi kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas XIII Koto
Kampar I Kabupaten Kampar Tahun 2013.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor yang memengaruhi kejadian ISPA pada balita di wilayah
kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I Kabupaten Kampar Tahun 2013.
8
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui hubungan status gizi terhadap kejadian ISPA pada balita di
wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.
2. Untuk mengetahui hubungan Berat Badan Lahir (BBL) terhadap kejadian ISPA
pada balita di wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.
3. Untuk mengetahui hubungan status ASI terhadap kejadian ISPA pada balita di
wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.
4. Untuk mengetahui hubungan status imunisasi terhadap kejadian ISPA pada balita
di wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.
5. Untuk mengetahui hubungan ventilasi terhadap kejadian ISPA pada balita di
wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.
6. Untuk mengetahui hubungan kepadatan hunian terhadap kejadian ISPA pada
balita di wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.
7. Untuk mengetahui hubungan bahan bakar untuk memasak terhadap kejadian
ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.
1.4 Hipotesis
1. Ada hubungan status gizi terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja
Puskesmas XIII Koto Kampar I
2. Ada hubungan Berat Badan Lahir (BBL) terhadap kejadian ISPA pada balita di
wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I
3. Ada hubungan status pemberian ASI terhadap kejadian ISPA pada balita di
9
wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.
4. Ada hubungan status imunisasi terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah
kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.
5. Ada hubungan ventilasi rumah terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah
kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.
6. Ada hubungan kepadatan hunian terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah
kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.
7. Ada hubungan bahan bakar untuk memasak terhadap kejadian ISPA pada balita di
wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.
1.5 Manfaat Penelitian
1.
Sebagai bahan masukan pada petugas kesehatan dalam merencanakan upaya
penanggulangan kejadian ISPA pada anak balita.
2.
Menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti khususnya yang berkaitan
dengan faktor-faktor yang memengaruhi kejadian ISPA.
3.
Sebagai bahan masukan dan perbandingan serta data awal bagi peneliti
selanjutnya yang ingin melakukan penelitian yang berhubungan dengan masalah
yang sama.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan adalah hak asasi manusia dan investasi untuk keberhasilan
pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan kesehatan secara
menyeluruh dan berkesinambungan. Tujuan Sistem Kesehatan Nasional adalah
terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa, baik
masyarakat swasta maupun pemerintah secara sinergis, berhasil-guna dan
berdayaguna, sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
(Depkes RI, 2004).
Derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari berbagai indikator, yang
meliputi indikator angka harapan hidup, angka kematian, angka kesakitan, dan status
gizi masyarakat sehingga banyak program-program kesehatan yang dilakukan
pemerintah terutama pada penduduk usia rentan, seperti program Safe Motherhood
Initiative, program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), program Maternal and Neonatal
Tetanus Elimination (MNTE), dan program Pemberantasan Penyakit Menular
(Depkes RI, 2010) .
Tujuan pembangunan millenium yang dicanangkan oleh masyarakat dunia
atau yang sering disebut dengan Millenium Development Goals (MDGs) adalah
menurunkan angka kematian anak usia di bawah lima tahun pada rentang waktu
antara 1990-2015. Kemudian ditegaskan kembali bahwa tujuan dari MDGs yang
1
2
belum tercapai secara merata khususnya di negara berkembang termasuk
Indonesia adalah menurunkan sepertiga kematian oleh Infeksi Saluran Pernafasan
Akut (ISPA) (Depkes RI, 2005). World Health Organization (WHO) memperkirakan
insidensi ISPA di negara berkembang 0,29% dan negara industri 0,05% (WHO,
2012b). ISPA menempati urutan pertama penyakit yang diderita pada kelompok bayi
dan balita di Indonesia.
Masa balita merupakan masa yang sangat penting dari seluruh kehidupan
manusia dan merupakan masa kritis yang menentukan kualitas hidup anak
selanjutnya. Masa pertumbuhan dan perkembangan tercepat dalam kehidupan anak
terjadi pada masa balita (Triton, 2006). Usia balita juga merupakan masa paling pesat
dalam hal pertumbuhan dan perkembangan dibandingkan dengan tahapan umur
berikutnya. Balita adalah anak yang berusia dari 0- 59 bulan (Depkes, 2005),
sedangkan menurut UU No.20 tahun 2003 balita adalah insan manusia yang berusia
0-5 tahun. Usia balita lebih sering terkena penyakit dibandingkan orang dewasa, yang
pertumbuhan dan perkembangannya sudah lengkap. Hal ini disebabkan sistem
pertahanan tubuh pada balita terhadap penyakit infeksi masih dalam tahap
perkembangan (Sastroasmoro, 2007).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering
terjadi pada anak. Insidens menurut kelompok umur balita 0,29 episode per
anak/tahun di negara berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di negara maju.
Ini menunjukkan bahwa terdapat 156 juta episode baru di dunia per tahun dimana
96,7% terjadi di negara berkembang. Kasus terbanyak terjadi di India (43 juta),
3
China (21 juta) dan Pakistan (10juta) dan Bangladesh, Indonesia, Nigeria masingmasing 6 juta episode. Dari semua kasus yang terjadi di masyarakat, 7-13% kasus
berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. Episode batuk-pilek pada Balita di
Indonesia diperkirakan 2-3 kali per tahun (Rudan et al Bulletin WHO 2008). ISPA
merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di Puskesmas (40%-60%)
dan rumah sakit (15%-30%) (Depkes RI, 2011).
Meskipun pemberantasan penyakit ISPA telah dikembangkan sejak tahun
1984, bersamaan dengan dilancarkannya pemberantasan penyakit ISPA di tingkat
global oleh World Health Organization (WHO). Namun hingga saat ini penyakit
ISPA masih disebut wabah raya yang terlupakan (The Forgotten Pandemic), karena
begitu banyak korban yang meninggal karena ISPA dan Pneumonia tetapi sangat
sedikit perhatian yang diberikan kepada masalah ISPA (Depkes, 2005).
Data World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa proporsi
kematian balita dan bayi karena ISPA di dunia adalah sebesar 19% dan 26% (Depkes,
2005). Menurut WHO 78% kematian balita di Indonesia terjadi pada usia neonatus
sekitar 38%, usia 1-11 bulan sekitar 40% dan 22% terjadi pada usia 1-5 tahun.
Penyebab kematian balita terbesar di Indonesia adalah diare 18%, pneumonia 14%,
campak 5%, atau sekitar 37% dari 161.000 kematian balita di Indonesia.
Penyakit ISPA masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia
berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 angka kematian
akibat pneumonia, mencapai 5 kasus diantara 1000 bayi dan balita. Ini berarti ISPA
mengakibatkan 150 ribu bayi dan balita meninggal setiap tahunnya, atau 12.500
4
korban perbulan, atau 416 kasus sehari, atau 17 anak per jam, atau 1 orang balita tiap
5 menit (Misnadiarly, 2008). Diperkirakan setiap anak mengalami 3 sampai 6 episode
ISPA setiap tahunnya dan mengakibatkan kematian sekitar 20-30% (Depkes RI,
2002). Penyebab kematian terbanyak pada balita akibat ISPA adalah terjadinya
pneumonia.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan
prevalensi nasional ISPA 25,5%, dimana angka kesakitan (morbiditas) pneumonia
pada bayi 2,2%, pada balita 3%, sedangkan angka kematian (mortalitas) pada bayi
23,8% dan balita 15,5% dan pada tahun 2013 hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) menunjukkan prevalensi nasional ISPA 25,0% karakteristik penduduk
dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun (25,8%) dimana
ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%),
Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur (28,3%), dan pada Riskesdas 2007,
Nusa Tenggara Timur juga merupakan provinsi tertinggi dengan ISPA.
Bencana asap akibat kebakaran lahan dan hutan di Riau sangat berdampak
terhadap kesehatan penduduk Riau hal ini dapat dilihat dari kasus penyakit Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Data dari Dinas Kesehatan Propinsi Riau
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kasus penderita ISPA di seluruh Riau, data
pada 26 Februri 2014 kasus ISPA berjumlah 18.893 orang dan pada 12 Maret 2014
meningkat
menjadi 43.463 orang. Kabupaten yang paling banyak penderitanya
adalah Rokan Hilir dan Pekanbaru dengan jumlah penderita > 5.000 orang.
Selanjutnya daerah dengan jumlah penderita ISPA 2.000 – 5.000 orang adalah Rokan
5
Hulu, Kota Dumai, Bengkalis, Kampar, Siak dan Pelalawan. Dan wilayah dengan
penderita < 2.000 orang adalah Meranti, Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, dan Kuantan
Sengingi.
Kematian balita akibat ISPA terjadi karena Pnemonia yang tidak cepat
ditolong secara dini dan diberikan pengobatan yang tepat. Dalam upaya pencegahan
dan menghindari peningkatan kejadian pnemonia yang berakibat kematian balita
disebabkan pneumonia dilakukan upaya program deteksi dini ISPA pada balita. Case
Detection Rate (CDR) pneumonia balita selama kurun waktu 2010-2012, jumlah
kasus ISPA terlihat berfluktuasi pada tahun 2010 sebesar 17,8% atau 10.024 balita
menurun cukup signifikan dibandingkan tahun 2011 sebesar 13,7% atau 8.653 balita
dan tahun 2012 mengalami peningkatan yaitu sebesar 15.9% Jumlah kasus yang
ditemukan sebanyak 10.059 kasus (Dinkes Riau, 2012).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Kampar 2013, didapatkan data
penderita ISPA balita dari Januari sampai dengan September
sebanyak 19.887
dengan 658 balita menderita ISPA dengan pneumonia, sebanyak 19.229 balita dengan
ISPA bukan pneumonia. ISPA juga merupakan 10 besar penyakit yang ditangani di
Puskesmas (Dinkes Kab Kampar, 2013).
Puskesmas XIII Koto Kampar I memiliki wilayah kerja meliputi 1 kelurahan
dan 3 desa, diantaranya Kelurahan Batu Bersurat, Desa Tanjung Alai, Desa Balung,
Desa Binamang. Beberapa tahun terakhir kunjungan penderita ISPA ke puskesmas
XIII Koto Kampar I menunjukkan adanya peningkatan dari tahun 2010 sebesar 566
orang (5,48%), 861 orang (7,66%) pada tahun 2011, 1318 orang (13.00%) pada tahun
6
2012 dan 1356 orang (22,62%) pada tahun 2013 dari seluruh kunjungan, Penyakit
ISPA dari data 10 besar menduduki urutan pertama dari tahun 2010 sampai tahun
2013. Proporsi penderita ISPA pada balita pada tahun 2013 sebesar 36%, dan
meningkat dari tahun 2012 yaitu sebesar 29%.
Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian ISPA terbagi atas faktor
instrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik meliputi umur, jenis kelamin, status
gizi, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), status imunisasi, pemberian Air Susu Ibu
(ASI), dan pemberian vitamin A. Faktor ekstrinsik seperti kondisi fisik lingkungan
rumah yang meliputi kepadatan hunian, polusi udara, tipe rumah, ventilasi, asap
rokok, penggunaan bahan bakar, serta faktor ibu baik pendidikan, umur, maupun
perilaku ibu (Dewi, 2012).
Secara umum ada 3 (tiga) faktor risiko terjadinya ISPA yaitu faktor
lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku. Faktor lingkungan meliputi
pencemaran udara dalam rumah, kondisi fisik rumah, dan kepadatan hunian rumah.
Faktor individu anak meliputi umur anak, berat badan lahir, status gizi, vitamin A,
dan status imunisasi. Sedangkan faktor perilaku berhubungan dengan pencegahan dan
penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek
penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga
lainnya (Depkes RI, 2002).
Berdasarkan hasil penelitian Khin dkk tahun 2002-2003 di Myanmar,
didapatkan bahwa insidens penyakit ISPA pada balita sebesar 1,8 dari 1.000 balita
7
dalam sehari, hal ini berhubungan dengan polusi udara dalam rumah yang kurang
mendukung kesehatan balita.
Penelitian Hariyani (2010) menunjukkan bahwa, status gizi balita, dan status
imunisasi balita berhubungan dengan penyakit ISPA pada balita usia 12-60 bulan.
Dewi (2012) menunjukkan bahwa ada hubungan antara status luas ventilasi,
kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita, sejalan dengan penelitian
Angelina (2012). Penelitian Ria (2008) menunjukkan ada hubungan yang bermakna
antara bahan bakar untuk memasak dengan kejadian ISPA pada balita.
Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian tentang “faktor
yang memengaruhi kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas XIII Koto
Kampar I Kabupaten Kampar”.
1.2 Permasalahan
Permasalahan yang dikemukakan adalah belum diketahui faktor yang
memengaruhi kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas XIII Koto
Kampar I Kabupaten Kampar Tahun 2013.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor yang memengaruhi kejadian ISPA pada balita di wilayah
kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I Kabupaten Kampar Tahun 2013.
8
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui hubungan status gizi terhadap kejadian ISPA pada balita di
wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.
2. Untuk mengetahui hubungan Berat Badan Lahir (BBL) terhadap kejadian ISPA
pada balita di wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.
3. Untuk mengetahui hubungan status ASI terhadap kejadian ISPA pada balita di
wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.
4. Untuk mengetahui hubungan status imunisasi terhadap kejadian ISPA pada balita
di wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.
5. Untuk mengetahui hubungan ventilasi terhadap kejadian ISPA pada balita di
wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.
6. Untuk mengetahui hubungan kepadatan hunian terhadap kejadian ISPA pada
balita di wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.
7. Untuk mengetahui hubungan bahan bakar untuk memasak terhadap kejadian
ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.
1.4 Hipotesis
1. Ada hubungan status gizi terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja
Puskesmas XIII Koto Kampar I
2. Ada hubungan Berat Badan Lahir (BBL) terhadap kejadian ISPA pada balita di
wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I
3. Ada hubungan status pemberian ASI terhadap kejadian ISPA pada balita di
9
wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.
4. Ada hubungan status imunisasi terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah
kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.
5. Ada hubungan ventilasi rumah terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah
kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.
6. Ada hubungan kepadatan hunian terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah
kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.
7. Ada hubungan bahan bakar untuk memasak terhadap kejadian ISPA pada balita di
wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.
1.5 Manfaat Penelitian
1.
Sebagai bahan masukan pada petugas kesehatan dalam merencanakan upaya
penanggulangan kejadian ISPA pada anak balita.
2.
Menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti khususnya yang berkaitan
dengan faktor-faktor yang memengaruhi kejadian ISPA.
3.
Sebagai bahan masukan dan perbandingan serta data awal bagi peneliti
selanjutnya yang ingin melakukan penelitian yang berhubungan dengan masalah
yang sama.