REGIONALISME DALAM POLITIK GLOBAL DAMPAK

REGIONALISME DALAM POLITIK GLOBAL: DAMPAK BREXIT
TERHADAP INGGRIS DAN REGIONALISME UNI EROPA

OLEH: WARITSA YOLANDA (1501115622)

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS RIAU

1

DAFTAR ISI
BAB I...................................................................................................... 3
PENDAHULUAN....................................................................................... 3
Latar Belakang Masalah.............................................................................3
Rumusan Masalah.................................................................................... 5
Tujuan Penulisan...................................................................................... 5
Metode Penulisan..................................................................................... 5
BAB II..................................................................................................... 6
PEMBAHASAN......................................................................................... 6
Regionalisme Secara Umum........................................................................6

Proses-Proses Regionalisme.....................................................................7
Regionalisme di Uni Eropa.......................................................................10
Fenomena Brexit.................................................................................... 14
Dampak Brexit Terhadap Inggris dan Uni Eropa.............................................17
Bidang Ekonomi.................................................................................17
Politik.............................................................................................. 19
Dengan berhasilnya referendum keluarnya Inggris dari uni Eropa, dampak politik
terjadi bagi Inggris adalah mundurnya David Cameron dari jabatannya sebagai
Perdana Menteri Inggris. Bagi Uni Eropa sendiri, fenomena brexit menimbulkan
sebuah pertanyaan mengenai kerjasama regional dan juga sistem free market di UE.
Penyebabnya karna brexit menghasil nasionalosme. Hal tersebut menjadi sebuah
tantangan tersendiri bagi UE terhadap rasa nasionalisme yang berkembang di negara
UE lainnya. Seperti bagaimana Perancis, belanda, dan italia menjadikan brexit
sebagai sebuah model untuk mempertanyakan mengenai kedaulatan yang sudah
mereka berikan sebagaian ke Brussel. Jadi intinya, brexit itu dijadikan sebuah acuan
untuk negara lainnnya di UE untuk melakukan referendum demi kepentingan politik
maupun kedaulatan negaranya................................................................19
Keamanan......................................................................................... 19
Sosial............................................................................................... 20


2

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Dalam buku “The Structure of Scientific Revolution” karangan Thomas
Kuhn yang diterbitkan pada tahun 1970, dikatakan bahwa dunia mengalami
pergeseran paradigma yang akan melahirkan trobosan-trobosan baru dipelbagai
bidang kehidupan (ekonomi-politik). Pergeseran paradigma akan terjadi jika
timbul satu krisis (deadlock) maka akan melahirkan peran baru pula. Dan jika
pergeseran-pergeseran paradigma ini kita hadapkan kepada tatanan hubungan
internasional saat ini, maka pergeseran terjadi setelah usainya Perang Dingin.
Globalisasi interdependensi terasa sangat kental diantara masyarakat internasional
(dunia).1 Salah satu contoh yang berkembang hingga saat ini adalah meningkatnya
peran regionalisme dalam dunia internasional melalui peran negara-negara yang
tergabung dalam organisasi regional. Organisasi regional yang dibahas pada
makalah ini adalah Uni Eropa.
Uni Eropa (European Union) adalah sebuah organisasi antar pemerintahan
dan supranasional yang terdiri dari beberapa negara Eropa. Dengan bergabungnya
Kroasia pada tanggal 1 Juli 2013, negara anggota Uni Eropa sekarang berjumlah

28 negara.2 Berbeda dengan regionalisme lainnya di dunia, Uni Eropa dianggap
sebagai sebuah regionalism yang lebih terintegrasi karena memiliki berbagai
1 Sitepu, Anthonius. 2003. Konsep Integrasi Regionalisme Dalam Studi Hubungan Internasional.
Medan: Library USU.
2 European Union, History of EU, http://europa.eu/about-eu/eu-history/1945-1959/, diakses
tanggal 19 Mei 2017, pukul 20.41 WIB

3

atribut yang dimiliki oleh negara-negara merdeka seperti bendera, lagu
kebangsaan, tanggal pembentukan, mata uang sendiri, kebijakan luar negeri
maupun kebijakan keamanan yang ditransaksikan dengan negara-negara lain.
Maka dari itu Uni Eropa berpotensi menjadi contoh bagi berbagai macam
integrasi regional lainnya di dunia internasional.3 Hal ini dibuktikan juga dengan
beberapa pencapaian yang telah diraih oleh Uni Eropa. Salah satunya adalah nobel
perdamaian yang didapatkan Uni Eropa pada tahun 2012. Thorbjoern Jagland,
Presiden Komite Nobel mengatakan “Uni Eropa selama lebih dari enam
dasawarsa berperan besar dalam mewujudkan perdamaian, rekonsiliasi,
demokrasi, dan hak asasi manusia”. Hadiah Nobel Perdamaian ini dianggap
sebagai dorongan moral bagi Uni Eropa dalam mengatasi krisis utang. Panitia

Nobel memuji Uni Eropa, organisasi yang sekarang beranggotakan 28 negara,
dalam membangun kembali kawasan setelah Perang Dunia Kedua.
Akan tetapi pencapaian – pencapaian tersebut belum bisa membuat Uni
Eropa menjadi sebuah regionalisme yang sempurna. Dinamika di Uni Eropa
mengalami pasang surut, berbagai permasalahan muncul, baik dari luar maupun
dari dalam tubuh Uni Eropa itu sendiri. Penghargaan yang diraih Uni Eropa pada
tahun 2012, tidak berarti bisa membuktikan bahwa Uni Eropa berhasil secara
ekonomi.4 Krisis utang yang diawali oleh negara Yunani pada tahun 2008
menyebar ke negara anggota Uni Eropa lainnya seperti Irlandia, dan Portugal.5
Puncaknya adalah dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE), melalui
referendum di Inggris pada 23 Juni 2016 yang disebut dengan Brexit (Britain
Exit).
Dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa, keberhasilan Uni Eropa yang
sering dijadikan model bagi proses integrasi regionalisme bagi dunia internasional
dipertanyakan oleh banyak pihak. Fenomena Brexit ini memberikan banyak
3 Nuraeni, dkk. 2012. Regionalisme : Dalam Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Hal. 138
4 “Uni Eropa Raih Nobel Perdamaian”, BBC, 12 Oktober 2012,
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/10/121012 (diakses tanggal 19 Mei 2017 pukul 20.44
WIB).

5 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Krisis keuangan Eropa: Dampak terhadap
perekonomian Indonesia (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2011), 1.

4

dampak dalam berbagai bidang, baik itu bagi pihak Uni Eropa, maupun pihak
Inggris sendiri.
Atas dasar uraian di atas, maka dalam penelitian ini penulis memutuskan
untuk mengambil judul “DAMPAK FENOMENA BREXIT TERHADAP
INGGRIS DAN REGIONALISME UNI EROPA”

Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, pertanyaan yang nantinya akan
diangkat melalui penelitian ini yaitu:
“Apa Dampak Fenomena Brexit Terhadap Inggris dan Regionalisme Uni
Eropa?”

Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui alasan Inggris memilih keluar dari
Uni Eropa, dan mengetahui penyebab dan faktor yang membuat Ingrris memilih

untuk keluar dari Uni Eropa, serta untuk mengetahui dampak yang dihasilkan
akibat keluarnya Inggris dari Uni Eropa.

Metode Penulisan
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatitif
dengan sumber data primer berupa buku, jurnal dan website yang berhubungan
dengan materi makalah.

5

BAB II
PEMBAHASAN
Regionalisme Secara Umum
Interaksi dalam hubungan Internasional hanya mengenal dua bentuk;
kerjasama atau konflik. Kedua bentuk ini bisa saling mengisi satu sama lain.
Dalam kerja sama, perbedaan sudut pandang dan kepentingan nasional seringkali
mengarahkan untuk saling berkonflik terkait dengan tujuan negara melakukan
kerjasama yang selalu di dasari oleh keinginan untuk mengejar kepentingan.
Regionalisme lebih menenkankan pada bentuk interaksi kerjasama dari
negara-negara yang berdekatan secara geografis. Wujutnya bisa berbentuk

organisasi regional. Dalam analisis secara mendalam, reginalisme lebih melihat
pada proses-proses yang melatarbelakangi terbentuknya kerjasama regional
tersebut; daya ikat apa yang akhirnya menyatukan negara-negara dalam satu
wadah kerjasama regional. Namun, jika dalam satu analisis, suatu daya ikat
tertentu mampu menyatukan negara-negara yang tidak saling berdekatan tapi tetap
melakukan kerjasama, misalnya negara-negara yang tergabung dalam OKI
(Organisasi Konferensi Islam), maka hal ini juga tetap menjadi salah satu tinjauan
dalam hal unsur apa yang mampu menyatukan mereka.
Bagi negara yang cenderung berada dalam posisi lemah dalam organisasi
regional, Hurrell menjelaskan fungsi regionalisme adalah sebagai institusi
pembentuk peraturan dan prosedur. Selain itu, institusi tersebut juga membuka
“voice opportunities” atau kesempatan dan hak yang sama dalam berpendapat,
membuka peluang membentuk koalisi yang lebih kuat, dan membuka wadah
politis untuk membangun koalisi baru. Sedangkan bagi negara yang relatif kuat,
regionalisme berfungsi sebagai tempat untuk menjalankan strategi, tempat untuk
mewadahi hegemoni, dan tempat untuk melegitimasi power.
6

Regionalisme merupakan perkembangan integrasi sosial dalam sebuah
wilayah yang kerap kali tidak secara langsung dalam interaksi sosial dan ekonomi.

Pengambilan kebijakan di dalam regionalisme berdasarkan kebijakan yang secara
sadar dibuat oleh negara maupun sekumpulan negara yang tergabung di dalam
organisasi regional tersebut, seperti misalnya Uni Eropa. Sedangkan kesadaran
regional dan identitas menekankan pada sense of belonging atau rasa memiliki
antar entitas-entitas yang terlibat di dalamnya. Kerapkali regionalisme jenis ini
didasari oleh persamaan identitas dan identifikasi terhadap identitas itu sendiri
sehingga kerap menimbulkan diferensiasi dan kategorisasi. Misalnya saja
penggolongan masyarakat masyarakat Eropa dan bukan Eropa. Kerjasama
regional antar negara merupakan regionalisme yang terbentuk sebagai upaya
untuk merespon tantangan eksternal. Dalam regionalisme ini ditekankan adanya
koordinasi untuk menentukan posisi regional dalam sistem internasional. Di lain
sisi, integrasi regional menekankan pada pengurangan atau bahkan usaha untuk
menghilangkan batas antar negara. Dalam konteks ini bukan batas geografis yang
ingin dihilangkan, namun batas interaksi seperti batasan pajak ekspor dan impor.
Regionalisme yang terakhir, kohesi regional, bisa jadi merupakan
gabungan dari keempat regionalisme sebelumnya yang membentuk unit regional
yang terkonsolidasi. Pembentukan kohesi regional dapat dilatarbelakangi oleh
keinginan untuk membentuk organisasi regional yang supranasional untuk
memperdalam integrasi ekonomi dan membentuk rezim serta membentuk
hegemoni regional yang kuat.

Proses-Proses Regionalisme6
Regionalisasi (regionalization)

Regionalisasi merujuk pada proses pertumbuhan integrasi societal –
integrasi kemasyarakatan – dalam suatu wilayah dalam proses interaksi sosial dan
ekonomi yang cenderung tidak terarah (undirected) (Hurrel, 1995: 39). Proses ini
bersifat alami di mana dengan sendirinya negara-negara yang saling bertetangga,
yang secara geografis berdekatan, melakukan serangkaian kerja sama guna
memenuhi berbagai kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi sendiri. Terdapat dua
6 Nuraeni, op.cit. Hal 6

7

pengistilahan regionalisme alam proses ini, yakni soft regionalism dan
transnational regionalism.
Soft regionalism mengarah pada proses otonom meningkatnya derajat
interdependensi ekonom yang lebih tinggi di dalam wilayah geografis tertentu.
Dorongan yang paling penting dalam proses terbentuknya regionalisasi ekonomi
berasal dari pasar, arus perdagangan dan investasi pribadi, dan dari kebijakan dan
keputusan perusahaanperusahaan.

Transnational regionalism mencakup meningkatnya arus mobilitas orangorang: perkembangan jejaring (network) sosial yang kompleks dan melalui
berbagai saluran di mana ide-ide, sikap-sikap politis dan aliran-aliran pemikiran
terbesar dari satu area ke area lain dengan mudah: serta terciptanya suatu
masyarakat sipil regional transnasional.
Kesadaran dan Identitas Regional (regional awarness and identity)

Semua kawasan bisa dipahami dengan istilah “cognitive region” yang
berarti bahwa, sama halnya dengan bangsa, maka suatu kawasan bisa
“dibayangkan” seperti komunitas (masyarakat) yang berada pada suatu “peta
mental” yang menonjolkan segi-segi tertentu dan mengabaikan hal lainnya.
Artinya sebuah kawasan itu hanyalah pengistilahan, pelabelan, pendefinisian
orang saja terhadap wilayah geografis yang pengelompokannya didasarkan pada
ciri-ciri tertentu.
Proses kesadaran regional menekankan pada: 1) bahasa dan retorika; 2)
pada wacana tentang regionalisme dan berbagai proses politik di mana berbagai
definisi tentang regionalisme dan identitas regional terus didefinisikan dan
didefinisikan kembali; dan 3) pada pemahaman umum dan pengertian yang
diberikan pada kegiatan politik yang dilakukan oleh para aktor yang terlibat.
Kerja sama regional antar negara (regional interstate co-operation)


Merujuk pada aktivitas kerja sama regional yang menunjukkan
interdependensi termasuk negosiasi-negosiasi bilateral sampai pembentukan rezim
yang dikembangkan untuk memelihara kesejahteraan, meningkatkan nilai-nilai

8

bersama, serta memecahkan masalah bersama terutama yang timbul dari
meningkatnya tingkat interdependensi regional.
Aktivitas para regionalis meliputi negosiasi dan konstruksi kesepakatan
atau rezim, di mana kerja sama tersebut bisa bersifat formal maupun informal
tanpa adanya jaminan efektivitas pelaksanaan dan nilai pentingnya secara politis.
Integrasi Regional yang didukung negara (state promoted regional integration)

Salah satu sub-kategori penting dalam kerja sama regional adalah integrasi
ekonomi regional. Integrasi regional melibatkan pembuatan kebijakan khusus oleh
pemerintah yang disusun untuk mengurangi atau menghilangkan hambatanhambatan dalam pertukaran barang, jasa dan orang-orang. Kebijakan-kebijakan
tersebut telah melahirkan literatur dalam jumlah yang banyak: tentang proses
integrasi, di bagian mana literatur tersebut dibuat, dan tentang sasaran yang
mungkin bisa dipenuhi oleh literatur tersebut.
Kohesi regional (regional cohesion)

Merujuk pada kemungkinan kombinasi dari keempat proses yang
terdahulu mengarah pada terbentuknya unit regional yang kohesif dan
terkonsolidasi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai model termasuk pembentukan
organisasi supranasional secara bertahap dalam konteks peningkatan integrasi
ekonomi; atau melalui integrasi kerja sama dan pembentukan rezim-rezim, atau
gabungan kompleks antara intergovermentalisme tradisional dengan
supranasionalisme (Hurrel, 1995:44).
Kemudian, kohesi regional mungkin didasarkan pada berbagai model
(Hurrel, 1995:45). Salah satunya adalah pembentukan organisasi regional
supranasional secara bertahap dalam konteks semakin mendalamnya integrasi
ekonomi. Model yang kedua adalah pembentukan seperangat tatanan atau rezim
(menyangkut peraturan, norma dan nilai-nilai) yang tumpang tindih dan sangat
kuat pengaruhnya terhadap negara-negara anggota. Model yang ketiga adalah
percampuran traditional intergovernmentalism dengan munculnya
supranationalism. Contohnya seperti pembentukan Uni Eropa.

9

Regionalisme di Uni Eropa
Regionalisme Uni Eropa terbentuk untuk menyesuaikan diri dengan ritme
globalisasi agar tidak tertinggal dan untuk menjawab tantangan global yang ada.
Dalam pergerakkannya, regionalisme ini dimaksudkan untuk membangun tingkat
kompetisi dalam menghadapi tantangan dari luar dan meningkatkan bargaining
position di mata Internasional.7 Selain itu, regionalisme Uni Eropa dijadikan
sebuah strategi dalam menghadapi arus globalisasi, dimana negara-negara anggota
Uni Eropa akan mendorong Eropa menjadi kawasan yang kuat dan menjadi
pengendali proses globalisasi itu sendiri.
Seiring berjalannya waktu, Eropa telah membuktikan bahwa kawasan ini
mampu menjadi salah satu aktor utama dalam pengendali globalisasi seperti apa
yang dikatakan oleh Wallace dan Wallace (2000), “EU has acted as both a shelter
from, and accelerator of, global processes.” Kutipan tersebut menjelaskan bahwa
Uni Eropa telah berhasil menjadi bagian dari proses global dan sebagai salah satu
aktor penting dalam proses globalisasi yang berlangsung di dunia sebagai
pemercepat proses globalisasi yang terjadi.8 Segala bentuk percepatan yang
dilakukan oleh Uni Eropa sebagai bukti dari upaya bertahap integrasi Uni Eropa
dalam berbagai bidang, yaitu bidang perekonomian hingga ke bidang perpolitikan
juga sosial dan budaya.
Keberhasilan Uni Eropa tersebut tidak terlepas dari sejarah terbentuknya
Uni Eropa yang telah melalui berbagai tahapan yang diawali dengan kerjasama
ekonomi antarnegara anggota dalam European Coal and Steel Community
(ECSC), yang didirikan pada 9 Mei 1950 melalui Deklarasi Schuman sampai
ditandatanganinya Perjanjian Maastricht pada 7 februari 1992 yang kemudian
membawa Uni Eropa semakin terintegrasi tidak hanya dibidang ekonomi tetapi
juga dalam bidang politik.9 Integrasi Uni Eropa ini mendorong kemudahan
berbagai akses perpindahan barang dan jasa, serta kecepatan dan transparansi laju
informasiyang jelas sebagai pendukung globalisasi. Karena hal itulah, kerjasama
7 J.H Mittelman, The Globalization Syndrome, Transformation and Resistance, New Jersey,
Princeton University Press, 2000, hal. 111-112
8 S. Sweeney, Europe, the State, and Globalization, Pearson Education Limited, London, 2005,
hal. 300
9 P. Fontaine, Europe in 12 Lessons, European Commission Directorate-General for
Communication Publications, Brussels, 2010, hal. 5

10

ekonomi menjadi titik penting bagi integrasi yang dilakukan oleh Uni Eropa guna
menjawab segala tantangan dalam dunia Internasional.
Lebih lanjut mengenai proses globalisasi yang terjadi di Eropa, terdapat
dua pandangan baik secara internal maupun eksternal. Pertama, dilihat secara
internal, Uni Eropa sebagai salah satu aktor dominan dalam proses globalisasi
diawali dari kerjasama besi dan baja dalam ECSC sehingga menyebabkan
hubungan ekonomi antarnegara Eropa semakin terjalin erat dan saling
terinterdependensi satu dengan yang lain. Aktivitas perpindahan barang dan jasa
semakin dipermudah dengan adanya penghapusan hambatan-hambatan dalam
perdagangan akibat kerjasama ekonomi tersebut. Untuk mempererat hubungan
kerjasama itulah yang kemudian menjadi alasan terbentuknya European Monetary
System (EMS) pada tanggal 6 dan 7 Juli tahun 1978, yang kemudian mulai
berlaku pada 13 Maret 1979.10 Tidak hanya itu, Uni Eropa juga membentuk
Economic and Monetary Union (EMU) pada tahun 992. EMS dan EMU ini
merupakan cikal bakal dari hadirnya mata uang bersama yang dicita-citakan di
Uni Eropa, yakni Euro.
Dalam proses pengenalan mata uang bersama, EMS memperkenalkan
European Exchange Rate Mechanism I (ERM I), hal ini dimaksudkan untuk
mengurangi variabilitas nilai tukar antara negara-negara di Uni Eropa yang
merupakan langkah pengenalan mata uang umum. EMS juga memberlakukan 3
pilar terkait program mata uang bersama ini, pertama sebagai wadah alat tukar
antar anggotanya, kedua penetapan fluktuasi alat tukar dua negara dibatasi hingga
2,25%, dan peraturan bagi setiap negara untuk menyerahkan 20% dari currency
dan cadangan emas. EMS bertujuan untuk menjaga kestabilan moneter di wilayah
Eropa sebelum terwujudnya single currency. Namun, EMS juga memiliki
masalah, hal ini berkaitan dengan intervensi bank sentral. Ketika interval yang
disebutkan sebelumnya dicapai pada nilai tukar antara dua negara EMS, maka
bank sentral kedua negara harus campur tangan sehingga nilai tukar tetap dalam
intervalnya. Intervensi bank sentral dapat bersifat unilateral untuk
mempertahankan mata uangnya.
10 Europedia Moussis European Union, ‘European Monetary System’, Europedia. diakses pada


11

Efektivitas EMS ini berlanjut pada ditetapkannya EMU pada saat
perjanjian Maastricht ditandatangani. EMU dibentuk untuk menjaga kestabilan
moneter antarnegara Uni Eropa dan pembentukan Bank Sentral. Terbentuknya
EMU ini akhirnya ditandai dengan peresmian mata uang bersama, yakni Euro
pada tahun 1995 dan mulai diimplementasikan secara bertahap dimulai dengan
transaksi nontunai pada tahun 1999 dan transaksi keseluruhan pada tahun 2002.11
Kedua, dilihat secara eksternal, Uni Eropa merupakan salah satu aktor
penting yang menjadi akselerator dan pendukung dalam jalannya globalisasi itu
sendiri baik di Eropa maupun menyebar ke seluruh dunia. Hal itu dibuktikan
dengan bergabungnya Uni Eropa ke dalam organisasi-organisasi internasional
sebagai satu kesatuan, seperti World Trade Organization (WTO). Uni Eropa
menjadi pemain utama di dalam WTO.12
Dalam hubungannya dengan globalisasi yang telah dimulai ketika
ditetapkannya formasi sosial global baru yang ditandai dengan diberlakukannya
secara global suatu mekanisme perdagangan melalui terciptanya kebijakan free
trade, yakni ditandatanganinnya kesepakatan internasional tentang perdagangan
pada bulan April tahun 1947 setelah melalui proses yang sulit di Marrakesh,
Maroko, berupa suatu perjanjian internasional perdagangan yang dikenal dengan
General Agreement on Tarif and Trade (GATT). Setelah itu, pada tahun 1995,
didirikan suatu organisasi pengawasan perdagangan dan kontrol perdagangan
yang dikenal dengan World Trade Organizations (WTO).13 Hadirnya WTO
merupakan salah satu aktor dan forum perundingan antar perdagangan dari
mekanisme globalisasi yang penting. Karena cara kerja WTO tidak seperti
General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), dimana anggotanya harus
mematuhi keputusan dari GATT, tetapi WTO bekerja berdasarkan komplain dari
anggotanya.

11 P. Fontaine, Europe in 12 Lessons, European Commission Directorate-General for
Communication Publications, Brussels, 2010, hal 45
12 European Commission, Trade: EU and WTO, EUROPA, diakses pada laman

13 European Commission, Trade: EU Position in World Trade,EUROPA, diakses pada laman


12

WTO sebagai salah satu organisasi yang memiliki kekuatan dalam
perdagangan di dunia, ia memiliki peran penting membuat kebijakan dalam pasar
global yang dapat mempengaruhi jalannya arus ekonomi setiap negara di dunia.
Karena Uni Eropa sebagai regionalisme dan aktor utama dalam WTO, kebijakankebijakan yang dibentuk oleh Uni Eropa menjadi penting dalam membangun
perekonomian dunia. Kebijakan-kebijakan Uni Eropa dalam sektor perekonomian
dan perdagangan menyebabkan banyak negara-negara lain yang ingin melakukan
aktivitas perdagangan dengan Uni Eropa harus menyesuaikan diri dengan
kebijakan Uni Eropa.
Bersama-sama dengan Amerika Serikat, Uni Eropa telah memainkan peran
sentral dalam mengembangkan sistem perdagangan dunia sejak Perang Dunia II.
Pada awalnya, kebijakan perdagangan Uni Eropa bagi kawasan Eropa berupa
penghapusan hambatan bea cukai dan mempromosikan perdagangan antarnegara
anggota Uni Eropa. Hal itulah yang kemudian menginspirasi terciptanya single
market bagi kawasan Uni Eropa.14 Selain bergabung dengan organisasi
internasional, adanya kebijakan yang diterapkan oleh Uni Eropa, seperti kebijakan
FLEGT – VPA pada tahun 2003, ikut mempengaruhi kebijakan negara-negara lain
di luar Uni Eropa untuk melakukan aktivitas impor kayu ke dalam kawasan ini.15
Setiap kayu yang diimpor ke Uni Eropa harus memiliki sertifikat legalitas
dari masing-masing negaranya. Kebijakan ini merupakan komitmen Uni Eropa
untuk menanggulangi masalah pembalakan liar di berbagai hutan yang ada di
dunia. Berdasarkan apa yang telah dijelaskan di atas, yakni bergabungnya Uni
Eropa ke dalam organisasi penting dunia dan menerapkan kebijakan yang dapat
mempengaruhi kebijakan negara lain membuktikan bahwa Uni Eropa telah
menjadi pengemudi dalam fenomena globalisasi.

14 European Parliament, The European Union and World Trade Organization, EUROPA, diakses
pada laman 22
15 P. Lujala & S. A. Rustad (ed.), High-Value Natural Resources and Post-Conflict Peacebuilding,
Routledge, London, 2011, hal. 211

13

Fenomena Brexit
Latar Belakang Munculnya Fenomena Brexit

Brexit merupakan singkatan dari istilah “British Exit” yang dimaksudkan
sebagai kebijakan Inggris untuk melaksanakan referendum agar rakyatnya dapat
memutuskan apakah Inggris harus keluar atau tetap menjadi negara anggota Uni
Eropa. Referendum ini telah dilaksanakan pada tanggal 23 Juni 2016 secara
serentak di keempat wilayah negara anggota Britania Raya, yaitu Inggris, Wales,
Skotlandia, dan Irlandia Utara yang dipimpin pelaksanaannya oleh mantan
Perdana Menteri Inggris, David Cameron. Sebelum memenangkan pemilu pada
tahun 2010, dalam masa kampanye David Cameron sebagai pemimpin Partai
Konservatif mengangkat isu penyelenggaraan referendum Inggris agar keluar dari
Uni Eropa karena hal ini dipercaya merupakan kebijakan yang sesuai dengan
prinsip demokrasi dimana rakyat Inggris menjadi pemegang penuh hak politik di
negara tersebut.
Referendum Brexit tersebut kemudian menghasilkan kesepakatan bahwa
Inggris harus melepaskan keanggotaannya di Uni Eropa dengan perolehan suara
dimana 51,9% rakyat Inggris memilih untuk keluar dari Uni Eropa, sedangkan
48% rakyat Inggris lainnya memilih untuk tetap menjadi anggota Uni Eropa.16
Tabel perolehan suara referendum Brexit dapat dilihat berikut ini,
Tabel 1

16 BBC News, “EU Referendum: BBC Forecasts UK votes to leave‟,
www.bbc.com/news/uk-politics-36615028, Diakses pada Selasa, 01 November 2016.

14

Alasan-alasan yang menyebabkan keputusan mayoritas rakyat Inggris
memilih untuk keluar dari Uni Eropa karena:
1. Kepercayaan bahwa Uni Eropa telah melanggar kedaulatan Inggris
dalam banyak aspek, mulai dari kebijakan Luar Negeri, keamanan,
hingga isu-isu internal seperti penentuan standar upah pekerja-pekerja
industri, maupun kebijakan Perikanan dan Kelautan Inggris yang
seharusnya menjadi kewenangan penuh pemerintah domestik dalam
rangka mempertahankan dan menjalankan kedaulatan negaranya.
Uni Eropa dinilai telah melakukan terlalu banyak intervensi dalam
implementasi kebijakan pemerintah Inggris karena seringkali
memaksakan kebijakannya untuk diterapkan, walaupun kebijakan
tersebut bertentangan dengan kepentingan nasional Inggris. Hal ini
disebabkan oleh sistem yang dianut Uni Eropa dalam perumusan serta
penentuan kebijakannya, dimana keputusan organisasi supranasional
tersebut diambil melalui proses voting atau pemungutan suara negaranegara anggota yang membuat Inggris tidak mampu berdiri sendiri dan
menentang kebijakan-kebijakan tersebut karena Inggris tidak mampu
sehingga rakyat Inggrispun akhirnya mewujudkan keinginan mereka
untuk optout atau melakukan referendum keluar dari Uni Eropa pada
bulan Juni lalu.17Dalam rangka memenuhi tujuan didirikannya Uni
Eropa, organisasi regional ini kemudian membentuk sistem
kelembagaan kompleks yang antara lain terdiri dari Parlemen Eropa,
Dewan Uni Eropa, Komisi Eropa, Lembaga Peradilan, Lembaga
Pemeriksaan Keuangan, serta sistem institusional Uni Eropa lainnya.
Semakin meluasnya otoritas Uni Eropa, pusat pemerintahan
menjadi seakan berpindah tangan dari pemerintah domestik negara ke
pemerintahan di Brussel, lokasi kantor parlemen utama Uni Eropa,
sehingga pemerintah domestic semakin berkurang pengaruhnya
terhadap perumusan kebijakan internal negara. Inilah yang dianggap
Inggris sangat merugikan.

17 ddd

15

2. Inggris telah bergabung dengan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE)
sejak tahun 1973. Selama 27 tahun, Inggris telah mengalami defisit
perdagangan dengan negara-negara anggota MEE yang dengan ratarata 30 juta poundsterling per hari. Sebaliknya, neraca perdagangan
Inggris mengalami surplus dengan setiap benua di dunia. Kemudian
pada tahun 2010, kontribusi “kotor” Inggris untuk anggaran Uni Eropa
mencapai 14 miliar pound sterling. Padahal, Inggris hanya bisa
menyimpan 7 miliar pound sterling setahun dengan seluruh
pengeluaran pemerintah.
3. Kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan oleh Inggris tidak selalu
sejalan dengan masyarakat Eropa. Pada masa pemerintahan beberapa
Perdana Menteri, hubungan Inggris dengan masyarakat Eropa maupun
setelah menjadi bagian dari Uni Eropa banyak terjadi perbedaanperbedaan. Sebagai contoh pada masa Perdana Menteri Margaret
Tatcher yang menolak untuk menyetujui kebijakan Common
Agricultural Policy (CAP) karena menurutnya kebijakan ini tidaklah
bermanfaat bagi perekonomian Inggris yang dominan di bidang
industri.
4. Kebijakan Uni Eropa yang terlalu ramah dalam imigrasi mendorong
niat Inggris keluar dari Uni Eropa. Hal ini tampak di kalangan mereka
yang sangat tidak toleran terhadap orang asing atau imigran, dengan
berbagai perbedaan latar belakang, seperti kondisi ekonomi,
pendidikan, agama, dan kultur. Dewasa ini terdapat 5,4 juta imigran,
sekitar 8,4% dari total penduduk Inggris. Inggris menjadi penerima
imigran terbesar kedua setelah Jerman dengan 7,5 juta imigran atau
9,3%. Sebanyak 5,23 juta imigran diprediksi membanjiri Inggris
sampai tahun 2030. Sikap Brussels yang mengharuskan para
anggotanya berbagi beban mengatasi pengungsi yang mengalir ke
daratan Eropa telah memaksa London juga harus membuka pintu
lebar-lebar atas pengungsi. Mereka sudah berada di kamp
penampungan di perbatasan Prancis, dan siap memasuki daratan
Inggris lewat jalan tol dan kereta api. Perilaku pengungsi imigran yang

16

beringas, ditambah lagi dengan biaya dan pengorbanan lebih besar
yang harus dikeluarkan Pemerintah Inggris, telah membuat sebagian
elit politik dan rakyat Inggris harus mengambil langkah drastis dengan
referendum pada 23 Juni 2016.

Dampak Brexit Terhadap Inggris dan Uni Eropa
Dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa, hal ini tentu memberikan dampak bagi
masing-masing pihak, baik itu dalam bidang ekonomi, politik, keamanan maupun
sosial, berikut ini dijabarkan dampak-dampak yang diterima kedua pihak.
Bidang Ekonomi

Terdapat dampak bagi Uni Eropa jika Inggris keluar dari Uni Eropa; yaitu
Uni Eropa akan kehilangan anggaran karena Inggris merupakan anggota
penyumbang nomor empat terbesar untuk anggaran Uni Eropa; 11.3 miliar Euro
setelah Jerman, Perancis dan Italia. Dengan mundurnya Inggris, akan mengancam
operasional Uni Erop itu sendiri.
Negara anggota Uni Eropa lain harus mengisi setidaknya setengah
sejumlah kekurangan dari hilangnya kontribusi dana Inggris kepada Uni Eropa.
Total kontribusi Inggris untuk anggaran Uni Eropa untuk tahun 2016 adalah 19,4
miliar euro, termasuk pemotongan tarif dan pajak impor. Inggris menerima sekitar
7 miliar euro dari subsidi regional dan pertanian. Jerman, negara anggota Uni
Eropa terbesar, akan mau tak mau harus menyediakan uang tunai ekstra untuk
menutupi celah ini. Institut Jerman, Ifo, memperkirakan dana yang diperlukan
mencapai 2,5 miliar euro.
Ditambah lagi, Inggris merupakan Negara dengan perekonomian terbesar
kedua di Eropa, sehingga secara langsung akan berdampak kepada perekonomian
Uni Eropa. Karena baik free flow of goods dan free flow of movement akan
berbeda jika nanti Inggris benar-benar keluar dari Uni Eropa.
Bagi Inggris, fenomena Brexit merugikan perekonomian Inggris. Menurut
laporan Office for National Statistics (ONS), poundsterling jatuh secara dramatis
Referendum Brexit pada tahun 2016, dan semenjak itu menjadi perbandingannya
15% lebih rendah daripada Dollar dan 12% lebih rendah daripada Euro.
17

18

Perdagangan

Dalam sektor perdagangan, negara-negara anggota Uni Eropa mengalami
surplus neraca perdagangan sekitar 100 miliar euro dalam perdagangan dengan
Inggris. Sementara nilai ekspor Inggris lebih besar 20 miliar euro ketimbang nilai
impornya. Kondisi serupa juga berlaku di bidang jasa keuangannya. Banyak
ekonom memperkirakan Brexit akan setidaknya, untuk sementara, mengurangi
pertumbuhan Inggris. Faktor ketidakpastian juga akan memengaruhi permintaan
domestik dan melemahkan mata uang pound sterling. Ini akan berimplikasi
terhadap kinerja ekspor Uni Eropa ke Inggris, yang nilainya mencapai sekitar 2,6
persen dari total PDB Uni Eropa pada 2014.
Perdana Menteri Inggris David Cameron memutuskan mundur menyusul
hasil referendum yang menyatakan Inggris keluar dari Uni Eropa. (Reuters/Stefan
Wermuth) Diperkirakan terjadi "kejutan dari sisi permintaan" di Inggris yang
terkait dengan kemungkinan tarif impor baru. Pegiat gerakan Brexit menilai Uni
Eropa akan ingin membentuk kesepakatan perdagangan bebas dengan Inggris,
meskipun Inggris keluar dari blok itu. Satu-satunya ekspor bidang jasa Uni Eropa
yang tak akan berpengaruh adalah sektor wisata ke Inggris.

18 BBC. http://www.bbc.co.uk/news/business-36956418. Diakses 20 Mei 2017
pukul 00.38 WIB

18

Investasi

Inggris merupakan destinasi penanaman modal asing Uni Eropa yang
terbesar, menurut data daro UNCTAD, dengan rata-rata mencapai US$56 miliar
per tahun pada periode 2010-2014. Negara Uni Eropa lainnya hanya memiliki
jumlah penanaman modal kurang dari jumlah ini. Sekitar 72 persen investor
dalam kajian EY di tahun 2015 menyatakan bahwa akses memasuki pasar tunggal
Uni Eropa merupakan faktor utama penanaman modal mereka di Inggris.
Diperkirakan, para investor akan mencari akses dari negara lain jika Inggris tidak
dapat menyediakan pintu masuk ke pasar tunggal Uni Eropa.
Politik

Dengan berhasilnya referendum keluarnya Inggris dari uni Eropa, dampak
politik terjadi bagi Inggris adalah mundurnya David Cameron dari jabatannya
sebagai Perdana Menteri Inggris. Bagi Uni Eropa sendiri, fenomena brexit
menimbulkan sebuah pertanyaan mengenai kerjasama regional dan juga sistem
free market di UE. Penyebabnya karna brexit menghasil nasionalosme. Hal
tersebut menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi UE terhadap rasa nasionalisme
yang berkembang di negara UE lainnya. Seperti bagaimana Perancis, belanda, dan
italia menjadikan brexit sebagai sebuah model untuk mempertanyakan mengenai
kedaulatan yang sudah mereka berikan sebagaian ke Brussel. Jadi intinya, brexit
itu dijadikan sebuah acuan untuk negara lainnnya di UE untuk melakukan
referendum demi kepentingan politik maupun kedaulatan negaranya.
Keamanan

Tantangan yang harus dihadapi Uni Eropa dengan adanya fenomena Brexit
adalah bagaimana cara melanjutkan program Kebijakan Keamanan dan Ketahanan
Umum (Common Security and Defense Policy / CSDP) Uni Eropa, karena Inggris
merupakan penggerak utama dan merupakan salah satu pemegang saham utama di
bidang kebijakan ini. Dikatakan bahwa 50% kemampuan pertahanan Uni Eropa di
kapal induk dan kapal selam nuklir berasal dari Inggris. Sehingga, Uni Eropa
harus menyusun kerangka kerja kemitraan untuk menjaga agar Inggris terlibat
dalam aktivitas CSDP di masa depan sebagai pihak ketiga.

19

Sosial

Warga imigran atau ekspatriat akan menjadi kubu yang paling menderita
jika Inggris keluar dari Uni Eropa. Berbagai kebijakan soal imigran di Inggris
akan mengalami perubahan drastis. Jumlah imigran di Inggris tahun 2015
mencapai 333 ribu orang, selalu naik 100 ribu setiap tahunnya sejak 1998. Usai
referendum yang memenangkan "keluar" dari Uni Eropa, para ekspatriat Eropa di
Inggris terancam dideportasi. Menurut laporan CNN, warga Eropa di Inggris
mengaku resah.
Brexit juga akan mengancam 1,2 juta pekerja imigran di Inggris yang
datang dari negara-negara Eropa Timur. Menurut data Reuters, pada 2014
sebanyak 853 ribu pekerja imigran Inggris berasal dari Polandia, 175 ribu dari
Romanua dan 155 ribu dari Lithuania.Negara Eropa dengan ekonomi besar
lainnya, Jerman, juga diperkirakan akan kedatangan lebih banyak imigran Uni
Eropa dengan keluarnya Inggris.19
Keluarnya Inggris atau Brexit (Britain Exit) dari Uni Eropa mulai
membawa dampak buruk dalam kehidupan sosial di Inggris. Tindakan yang
dilakukan oleh Inggris memicu aksi rasisme yang menyasar pada warga muslim.
Salah satu yang terkena dampak dari hasil refrendum ini adalah mantan
calon anggota Partai Konservatif, Shazia Awan. Wanita kelahiran Wales itu
meminta pemerintah Inggris untuk lebih memerhatikan konsekuensi dari Brexit
tersebut. Beliau mengatakan hasil referendum melegitimasi kebencian rasial.
Walaupun mereka tidak mayoritas namun mereka tidak toleran dan bersuara keras
dan ini melukai semua komunitas.
Dewan Kepala Polisi Nasional Inggris, NPCC, telah mengumpulkan data
kekerasan rasial yang mencapai 85 kasus. Data tersebut terkumpul lewat True
Vision, sebuah situs aduan terhadap kejahatan rasisme bentukan kepolisian
Inggris.20

19 http://www.cnnindonesia.com/internasional/20160624152859-134-140703/dampak-brexitbagi-uni-eropa-dari-ekonomi-hingga-imigrasi/
20 CNN Indonesia.
http://www.cnnindonesia.com/internasional/20160624152859-134140703/dampak-brexit-bagi-uni-eropa-dari-ekonomi-hingga-imigrasi/. Diakses
20 Mei 2017 pukul 00.15 WIB

20

21