NILAI NILAI PENDIDIKAN DALAM SEJARAH PER

NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM SEJARAH PERKEMBANGAN
ISLAM
Tela’ah Interaksi Islam dengan Tradisi Lokal di Indonesia
Oleh : ZAINAL, M.Ag

Abstrak
Historical development of Islam in Indonesia contains many
educational values, ethnically diverse country consisting, tribe,
language, and culture can be tied to Islamic values. This success will
never be achieved, if only to ignore the character of the community.
The characters are embedded in the community and in life is a form of
actualization of the public to find his true identity. Because of this
understanding the character of the community is the value of high
value in the implementation of education. Public education that begins
touching stimulant identity, will affect the pattern of education.
Reviewing the history of the development of Islam in Indonesia mean
look at character education community that has embraced the
community.
Key Words: Pendidikan, Sejarah, Perkembangan, dan Islam
Abstrak
Sejarah perkembangan Islam Indonesia mengandung banyak nilai-nilai

pendidikan, negeri yang terdiri beragam etnis, suku, bahasa, dan
budaya dapat diikat dengan nilai-nilai keislaman. Keberhasilan ini tidak
akan pernah dicapai, sekiranya mengabaikan karakter masyarakat.
Karakter yang tertanam dalam serta diri dalam kehidupan masyarakat
merupakan bentuk aktualisasi masyarakat untuk menemukan jati
dirinya. Oleh karena ini memahami karakter masyarakat merupakan
nilai yang bernilai tinggi dalam pelaksanaan pendidikan. Pendidikan
masyarakat yang diawali menyentuh stimulan identitasnya, akan
memperngaruhi pola pendidikan. Mengkaji sejarah perkembangan
1

Islam di Indonesia berarti mencermati pendidikan karakter masyarakat
yang telah dianut masyarakat.
Key Words: Pendidikan, Sejarah, Perkembangan, dan Islam

A. Pendahuluan
Menyajikan materi tentang pergerakan Islam di Indonesia adalah
hal yang menarik, karena kajian transmisi dan penyebaran gagasan
Islam yang terjadi pada awal perkembangannya mengandung nilai-nilai
pendidikan. Interaksi Islam dengan tradisi lokal pada priode ini cukup

membantu

dalam

memahami

karakter

masyarakat

dan

sosial

budayanya. Pembahasan tentang karakter masyarakat dan sosial
budayanya adalah hal yang cukup terlantar dalam dunia pendidikan,
karena kebanyakan peneliti banyak menghabiskan energi pada sistem
pendidikan yang dikembangkan dunia Barat. Kalau dilihat dalam kajian
sejarah, para peneliti banyak menjatuhkan pilihan pada sejarah politik
Islam,1 sehingga perhatian terhadap sejarah dan perkembangan

intelektual

cendrung

terabaikan.

Sejarah

perkembangan

Islam

Indonesia telah banyak meninggalkan nilai-nilai pendidikan yang dapat
dikemas dan diaplikasikan untuk zamannya atau zaman berikutnya.
Pada abad XVI tampil seorang tokoh yang bernama Syekh Burhanuddin
yang mempraktekkan sosial budaya masyarakat sebagai sarana
memperbaiki karakter yang jauh dari nilai keagamaan. Menghampiri
masyarakat

melalui


memperhatikan

sosial

karakternya,

dan

budayanya,

karena

sosial

berarti
dan

kita


telah

budaya

yang

diterapkan masyarakat adalah gambaran karakternya. Oleh karena itu
menghampiri masyarakat seperti interaksi Islam dengan tradisi lokal
adalah hal menarik untuk ditilik lebih dalam.
1Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII & XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), xviii

2

Hasil penelitian Azyumardi Azra tentang Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaruan Islam
Indonesia dan Deliar Noer tentang Gerakan Modern Islam di Indonesia

telah membantu mengungkapkan dinamika Islam Indonesia khususnya
dalam bidang perkembangan pemikiran keagamaan. Di samping itu

Bambang Pranowo juga menyumbangkan karya lewat penelitiannya
yang berjudul Memahami Islam Jawa dalam rangka membantah teori
Clifford Geertz yang mengelompokkan Muslim Indonesia pada tiga
golongan, yaitu Islam abangan, santri, dan priyayi, 2 juga telah
memperlihatkan beberapa nilai-nilai pendidikan tentang interaksi Islam
dengan tradisi lokal.
Semua penelitian di atas membahas tentang Islam Indonesia
berarti mereka bercerita tentang Muslim yang terbesar di dunia. Potret
Islam Indonesia memiliki tampilan lokal yang beragam sesuai dengan
kondisi budaya dan kultur masing-masing. Meskipun Islam tampil
dengan nuansa kultul menurut Azra lslam lunak, 3 tidak berarti
menghilangkan keorisinilan Islam malah menunjukkan bahwa spirit
Islam mampu menampilkan wajah Islam yang ramah. Temuan mereka
menggambarkan

bahwa

spirit

agama


(Islam),

ternyata

mampu

mendongkrak kebuntuan yang memenjarakan geliat Muslim Indonesia
untuk bangkit dari keterpurukan. Seperti Azra berhasil menemukan
upaya konvergensi shari’ah dengan sufistik pada abad XVII & XVIII
sebagai bentuk pembaharuan telah diwacanakan serta diterapkan,
begitu

pula

Deliar

Noor

mampu


menyajikan

corak

pemikiran

keagamaan yang tradisionalis dan modernis pada abad XIX & XX saling
2M. Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Jakarta: Pustaka Alvabet,
2011), 8.
3Lihat Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan
Kekuasaan ( Jakarta: Rosda, 1999), 8. Sedangkan M. Dawam Rahardjo mengistilahkan
Islam lunak dengan sebutan “Islam Kultur” kebalikan dari Islam Keras dikategorikan
“Islam Politik” yang telah muncul sejak awal perkembangan Islam di Indonesia,
bahkan sejak awal perkembangan Islam itu sendiri sebagai agama di tanah
kelahirannya. Islam kultur muncul sulit dibantah adanya karena ia adalah suatu
gejala sosiologis dan teologis. Lihat Asep Gunawan (ed), Artikulasi Islam Kultural dari
Tahapan Moral ke Priode Sejarah (Jakarta: Grafindo, 2004), v.

3


mengisi sesuai wilayah gerakan masing-masing, begitu juga Bambang
Pranowo dapat meluruskan pembagian kelompok Islam abangan,
priyayi, dan santri pada abad kontemporer seperti yang dipopulerkan
oleh Clifford Geertz.4
Maka dalam makalah ini akan dikemukakan tentang nilai-nilai
pendidikan dalam sejarah perkembangan Islam di Minangkabau
sebagai potret dinamikan masyarakat merspon perubahan sosial. Pada
awal Islam disampaikan ke Indonesia penerimaan masyarakat banyak
terhadap aspek keyakinan atau kepercayaan. Dimana perubahan yang
terjadi adalah mainstream (pola pikir) dari menyembah ruh leluhur
berubah kepada menyembah Allah. Aspek ritual seperti ibadah shalat
dan puasa pada awal penyebaran Islam masih sebatas informasi dan
belum sampai pada tahap taklif (pembebanan). Secara perlahan tapi
pasti, proses Islamisasi terus berlangsung tanpa mengenal batas
waktu,

sehingga

pada


akhirnya

Islam

mampu

mempengaruhi

perubahan masyarakat, baik dari aspek sosial, politik dan budaya.
Begitu juga sebaliknya, dengan perubahan masyarakat juga terlibat
mempengaruhi agama. Maka pada tataran ini, mesti dipahami bahwa
Islam tidak statis tetapi Islam adalah agama dinamis yang mampu
hidup dimana dan sampai kapanpun. Dengan meyakini agama
memiliki seribu nyawa5 dapat dipastikan Islam tidak pernah kosong
dibahas dan dikaji setiap saat, baik untuk kepentingan keyakinan
maupun untuk keperluan ilmu pengetahuan.
Membahas nilai-nilai pendidikan dalam sejarah perkembangan
Islam di Minangkabau sulit lepas dari dinamika pemikiran keagamaan
yang telah menghiasi perjalanan sejarah Islam Indonesia, sehingga

terdapat beberapa dimensi yang memiliki kekhasan.

4Lebih lanjut baca Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago: The
University of Chicago Press, 1976)
5Lebih jelas lihat Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa (Jakarta:
Noura Book, 2012)

4

B. Memahami Nilai-Nilai Pendidikan dalam Corak Setting
Sosial Muslim
Menarik disajikan di sini adalah nilai-nilai pendidikan dalam
pendekatan pembagian Muslim Indonesia yang dipopulerkan oleh
Geertz dengan sebutan abangan, priyayi, dan santri. Muslim yang
dikategorikan abangan oleh Geertz tersebut adalah mereka yang
mengaku menganut Islam tetapi tidak diiringi dengan pelaksanaan
ajaran agama secara rutin, dan cendrung mengabaikan pendalaman
pengetahuan

tentang

Islam.

Kemudian

kategori

priyayi

dalam

pandangan Geertz adalah mereka mengecap pendidikan Barat yang
tidak memiliki pendidikan agama secara mendalam, tetapi mereka
punya perhatian terhadap Islam. Secara umum kategori priyayi ini
adalah mereka yang berasal dari kalangan menengah ke atas dari
kalangan pribumi. Sedangkan kategori santri menurut Geertz adalah
mereka

yang

memiliki

ketaatan

agama

yang

diiringi

dengan

mengantongi kemampuan ilmu agama yang mapan.6
Nilai pendidikan yang dapat diambil di sini adalah−meskipun
masyarakat dikelompok seperti di atas, memahami karakter mereka
melalui sosial dan budaya yang telah mengakar dengan kehidupan
masyarakat. Penelitian Geertz yang telah dirontokkan oleh penelitian
Bambang Pranowo yang menjelaskan bagaimana menyampaikan suatu
pesan

dengan

memahami

sosial

budayanya.

Dengan

segala

kelemahan dan kekurangan hasil penelitian Geertz tersebut, paling
kurang telah memberikan kontribusi terhadap potret Muslim Indonesia,
sehingga

banyak

kalangan

memberikan

apresiasi

atas

temuan

demikian. Data yang ditemukannya tentang sejarah perkembangan
Islam dapat memberikan arah dalam beberapa kebijakan, seperti
tentang pendidikan.

6Clifford Geertz, The Religion, 367-368, lihat juga M. Bambang Pranowo,
Memahami Islam, 11

5

Kemudian Deliar Noer mengelompokan kategori yang telah
disampaikan Geertz menjadi dua bagian yaitu kalangan tradisionalis
dan kalangan modernis. Menurut Deliar Noer, kalangan santri dan
priyayi adalah modernis tercatat sebagai kelompok yang menggerakan
kebangkitan Muslim Indonesia melalui gerakan sosial dan politik
mereka. Sedangkan abangan Menurut Deliar Noer adalah tradisionalis
yang terkesan menghambat dan menghalangi kemajuan. Dalam
penelitian Deliar ini mampu menghubungkan perkembangan gerakan
modernis Indonesia dengan kawasan lainnya, sehingga gerakan
modern Indonesia tergambar tidak berdiri sendiri. Arti kata dengan
mengkaji gerakan modernis Indonesia kita dapat mengenal saat
bersamaan gerakan modern Muslim wilayah lainnya. Dengan sajian
penelitian Deliar ini dapat membantu memperoleh bekal tentang
mengikuti dan memahami kebangkitan Islam masa dulu, sekarang dan
yang akan dating, sehingga dengan tulisan ini dapat diberlakukan nilainilai

pendidikan

untuk

membentuk

karakter

masyarakat

dalam

mewujudkan masyarakat yang ideal. Karya Deliar ini termasuk
penelitian awal yang memotret gerakan modern Islam di Indonesia.
Penting diketahui, bahwa pemahaman Deliar yang tertuang
dalam karyanya ini, banyak memberikan nilai-nilai pendidikan tentang
memahami kondisi masyarakat, meskipun Deliar cendrung terkesan
berangkat dari sikap alergi terhadap praktek keagamaan Muslim
Indonesia yang tergolong jumud, tertinggal dan mengabaikan aspek
kehidupan sosial, politik dan ilmu pengetahuan, sehingga Muslim
Indonesia

sulit

beranjak

dari

keterjajahan,

namun

mengangkat

permaslahan ini menunjukkan bagaimana mengarahkan masyarakat
dapat terbebas dari tekanan penjajah dengan membuka cakrawala
pemikiran

yang

mengarahkan

pada

kecerdasan,

bangkit

dari

kemiskinan melalui sebuah gerakan yang terkoodinir dengan baik.
Hal ini yang menjadi penyebab munculnya

penggolongan

masyarakat pada gagasan modernis dan tradisionalis seperti yang
6

dipopulerkan oleh Deliar Noer. Meskipun mereka menyadari bahwa
Muslim Indonesia pada umumnya adalah pengikut dan pengamal
ajaran tarekat, namun masih terkesan kalangan modernis memandang
serta menilai kelompok Muslim Indonesia seperti ini, tidak memberikan
kontribusi sama sekali. Tentu jurang pemisah seperti ini, harus dilihat
nilai-nilai pendidikannya untuk mengusahakan bagaimana memahami
karakter masyarakat sebagai pilar pendidikan. Pada hal yang terjadi itu
adalah suatu bentuk keberagaman dalam rangka saling melengkapi.
Secara

fungsional

mereka

tetap

berperan

dan

berarti

dalam

menggerak perubahan, walaupun ruang langkah dan modelnya
bervariasi.
Kecendrungan mengunggulkan kalangan pembaharu yang lebih
progresif ketimbang kelompok yang dianggap penghalang, merupakan
sikap

yang

mesti

dikoreksi.

Pada

hal

ditelaah

lebih

dalam,

kenyataannya tidak sepenuhnya demikian, seperti yang dikemukakan
Gusdur, kalangan ulama atau kiyai notabenenya adalah penganut
tarekat yang diikuti banyak jama’ah, sering dianggap penghambat
perubahan, tetapi kenyataan tidak demikian. Tanpa mereka sadari,
ternyata ada sebagian ulama yang tergolong dinamis dan memiliki ide
modernisasi, walau masih tidak sedikit yang dari mereka yang
berusaha mempertahankan tradisi, dan keberatan merubah status quo
yang bersifat statis.7
Bahwa, kemudian terbukti kelompok yang dianggap selama ini
menghambat

kemajuan,

ternyata

mampu

mengemban

amanat

perubahan. Contoh yang kongkrit dapat diamati melalui rintisan
program pengembangan masyarakat sejak dasawarsa terakhir ini, lalu
mengejutkan orang. Sama terkejutnya orang dengan pemunculan tibatiba

dari

radikalisme

kaum

pendeta

Katholik

melalui

theologia

pembebasan yang dikembangkan di Amerika Latin, atau gradualisme
7Abdurrahman Wahid, “Benarkah Kyai Membawa Perubahan Sosial? Sebuah
Pengantar”, dalam Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1987),
xi

7

gerakan Sarvodaya Shmaradhana di Sri Lanka, karena selama ini,
pesantren,

gereja

Khatolik

dan

pendeta

Budha

adalah

simbol

kebekuan. Di balik kebekuan lembaga-lembaga keagamaan, seringkali
didapati kemampuan para pemimpin agama untuk merumuskan
ajaran-ajaran

baru

yang

membawa

kepada

perubahan

dalam

kehidupan masyarakat. Contoh terbaik dari kenyataan ini adalah
Mahatma Gandhi, yang merumuskan persamaan melalui penentangan
terhadap system kasta, dan menetang kebiadaban manusia melalui
gerakan menentang kelaliman dengan tidak menggunakan kekerasan.
Perlawanan tanpa kekerasan dan ajaran persamaan tanpa kasta
bersumber sepnuhnya pada pembaharuan ajaran agama Hindu.
C. Dinamika dan Wacana Pemikiran Islam Sebagai Basis
Pendidikan
Tidak

ada

bantahan

hingga

sekarang

yang

meragukan

kebenaran Islam, hanya saja sulit dihindari keberagaman dalam Islam.
Seperti diketahui sesungguhnya, Islam yang bersumber dari al-Qur'an
dan Sunnah dan diyakini oleh umat sebagai kebenaran tunggal,
mereka tafsirkan sesuai dengan pengetahuan dan kondisi sosialbudaya yang mengitarinya. Sepintas terkesan berbeda dan berubahubah, sebagai akibat perbedaan kehidupan sosial penganut yang juga
terus berubah. Sehingga tidak bisa disangkal perbedaan penafsiran itu
mengakibatkan pemikiran fiqh dan teologi yang berbeda. Jika diuraikan
berdasarkan

kerangka

ideologis,

paling

kurang

terdapat

empat

kategorisasi umat Islam; tradisionalis-konservatif, reformis-modernis,
radikal-puritan, dan nasionalis-sekuler.8
Sebagaimana yang terjadi pada kemunculan beberapa pemikiran
teologi dan filsafat di dunia Islam pada abad klasik, kemunculan
gagasan tentang pemikiran ideologis di atas tidak terlepas dari
pengaruh kondisi sosial, kepentingan dan kondisi sosial dan budaya
8Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam (Surabaya: LPAM, 2004),
57.

8

bangsa yang sedang berkembang.9 Dalam perkembangan pemikiran
ini menjadi sebuah bentuk pendidikan yang mengarahkan penanaman
karakter terhadap masyarakat.
Hal ini menandakan bahwa meskipun Islam itu satu dari sudut
ajaran pokoknya, akan tetapi setelah terlempar dalam konteks sosialpolitik tertentu pada tingkat perkembangan sejarah tertentu pula
agama bisa memperlihatkan struktur interen yang berbeda-beda. 10
Maka, jika dilihat dari masalah yang diperdebatkan di antara beberapa
kelompok di atas, mereka berdebat bukan tentang pokok-pokok ajaran
Islam itu sendiri, akan tetapi bagaimana memanifestasikan ajaran
Islam itu di dalam sistem kehidupan sosial, 11 antara Islam sebagai
model of reality dan Islam sebagai models for reality,12sehingga
menciptakan setidaknya dua bentuk komunitas beragama yaitu antara
folk variant dan scholarly veriant,13 yang dalam konteks keindonesiaan
terwujud dalam bentuk komunitas NU, Perti, al-Wasliyah , dan
komunitas

Muhammadiyah,

al-Irsyad.14

Kalangan

pertama

sering

diklaim sebagai kelompok tradisionalis, dan kalangan yang kedua
sebagai kelompok modernis.

9Montgomery Watt, Islamic Theolory and Philosophy.
10Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat (Jakarta: LP3S, 1996), 11.
11Andrew Rippin, Muslim, 35.
12Yang pertama mengisyaratkan bahwa Islam adalah representasi dari
sebuah realitas, sementara yang kedua mengisyaratkan bahwa Islam merupakan
konsep bagi realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini
Agama mencakup teori-teori, dogma atau doktrin bagi sebuah realitas. Bassam Tibi,
Islam and the Cultural, 8.
13Ernest Gellner, Muslim Society (Cambridge: Cambridge University Press,
1984), 5.
14Kelompok yang diasumsikan tradisionalisme dalam pembahasan ini adalah
Nahdlatul Ulama (1926 di Surabaya), Mathla’ul Anwar (1916 di Menes Banten),
Persatuan Umat Islam (1917 di Majalengka), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (1926 di
Minangkabau), al-Jami’ah al-Wasliyah (1930 di Sumatera Utara), Nahdlatul Wathan
(1934 di Lombok), Dewan Dakwah wal Irsyad (1938 di Sulawesi Selatan), sedangkan
kelompok yang dianggap modernis adalah seperti Muhammadiyah (1912 di
Yogyakarta), Persatuan Islam (1920 di Bandung), Jamiat Khair (1905 di Jakarta), AlIrsyad (1913 di Jakarta). Lihat lebih lanjut, Djohan Efendi, Progressive Tradisionalist:
The Emergency of a New Discourse in Indonesia’s Nahdlatul Ulama during the
Abdurrahman Wahid Era (Dekain: Disertasi di Deakin University, 2000), 72.

9

Kelompok tradisionalis sering dikategorikan sebagai kelompok
Islam yang masih mempraktekkan beberapa praktek tahayyul, bid'ah,
khurafat, dan beberapa budaya animisme, atau sering diidentikkan
dengan ekspresi Islam lokal, sementara kelompok modernis adalah
mereka yang sudah tidak lagi mempraktekkan beberapa hal di atas.
Akan tetapi kategorisasi ini menjadi kurang tepat ketika ditemukan
adanya praktek budaya animisme yang dilakukan oleh kalangan
muslim modernis, seperti yang pernah diungkap oleh Munir Mulkhan
dalam penelitiannya tentang Islam Murni dalam Masyarakat Petani. Di
dalam penelitiannya ia menemukan adanya empat varian masyarakat
Muhammadiyah; yaitu Islam murni (kelompok al-Ikhlas), Islam murni
yang toleran terhadap praktek TBC (kelompok Kyai Dahlan), Islam neotradisionalis

(kelompok

MUNU,

Muhammadiyah-NU),

dan

Islam

neosinkretis (kelompok MUNAS, Muhammadiyah-Nasionalis).15
Dari temuan itu dengan sendirinya terbantahkan pengelompokan
Muslim Indonesia kepada tradisionalis dan modernis seperti yang
dipopulerkan oleh Deliar Noer, sekaligus memunculkan pertanyaan,
siapa sebenarnya yang disebut sebagai kelompok tradisionalis dan
siapa yang pula yang disebut sebagai kelompok modernis? Apa ciri-ciri
dari masing-masing tipe tersebut? Tentu saja sulit diketahui kategori
tradisionalis

dan

modernis

karena

telah

terjadi

peleburan

dan

pembongkaran ruang batas yang selama ini sengaja di kokohkan untuk
memecah belah umat Islam.
Maka di bawah ini perlu diketahui nilai-nilai pendidikan dalam
pemahaman yang berkembang tentang konsep konsep-konsep Islam di
Indonesia dari berbagai perspektif.
1. Pendidikan dalam Konsep Tradisionalisme Islam
Kecendrungan selama ini, ketika ada pembicaraan tentang
masyarakat Islam tradisional, sering yang terbayang adalah sebuah
15Abdul Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani (Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya, 2000), 2.

10

gambaran mengenai masyarakat yang terbelakang, masyarakat Islam
yang kolot, masyarakat yang anti atau menolak perubahan (anti
progresivitas), konservatif (staid approach), dan diliputi oleh sikap
taqlid. Ditambah lagi mereka adalah kelompok yang membaca dan
belajar “kitab kuning”, termasuk karya al-Ghazali dan ulama’ fiqh
klasik, dan tokoh-tokoh sufi pada zaman pertengahan Islam. 16 Terma
tradisional merupakan terma untuk sesuatu yang irrational, pandangan
dunia yang tidak ilmiah, lawan dari segala bentuk kemodernan.
Tradisionalisme dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada
fundamen Agama melalui penafsiran terhadap kitab suci Agama secara
rigid dan literalis.17
Secara etimologis, tradisional berarti kecenderungan untuk
melakukan

sesuatu

yang

telah

dilakukan

oleh

pendahulu,

dan

memandang masa lampau sebagai otoritas dari segala bentuk yang
telah mapan.18

Menurut Achmad Jainuri, kaum tradisionalis adalah

mereka yang pada umumnya diidentikkan dengan ekspresi Islam lokal,
serta kaum elit kultur tradisional yang tidak tertarik dengan perubahan
dalam pemikiran serta praktik Islam.19 Sementara itu, tradisionalisme
adalah

paham

modernisme,
Berdasarkan

yang

berdasar

liberalisme,
pada

tradisionalisme

tradisi.

radikalisme,

pemahaman

adalah

pada

bentuk

dan

Lawannya

adalah

fundamentalisme. 20

terhadap

tradisi

pemikiran

atau

di

atas,

maka

keyakinan

yang

berpegang pada ikatan masa lampau dan sudah diperaktekkan oleh
komunitas Agama.21

16Abdul Munir Mulkhan, Islam Murni, 2.
17Watt, William Montgomery, Fundamentalis Islam dan Modernis (Jakarta:
Grafindo, 1997), 13.
18Andrew Rippin, Muslim, 6.
19Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi, 68.
20Noah Webstar, Webstar new International Dictionary of the English
Language Unabridged (Massachusetts, USA: G&C, 1966), 2422.
21Noah Webstar, Webstar new International Dictionary of the English
Language Unabridged (Massachusetts-USA: G&C, 1996), 2422.

11

Di bidang pemikiran Islam, tradisionalisme adalah suatu ajaran
yang berpegang pada Sunnah Nabi, yang diikuti oleh para Sahabat dan
secara keyakinan telah diperaktekkan oleh komunitas Muslim. 22 Kaum
tradisionalis di Indonesia adalah mereka yang konsisten dalam
berpegang teguh pada mata rantai sejarah serta pemikiran ulama’ulama’

terdahulu

dalam

perilaku

keberagamaannya.

Konkritnya,

memegang dan mengembangkan ajaran fiqh scholastik madzhab
empat.23
Kaum tradisionalis meyakini Shari’ah sebagai hukum Tuhan yang
dipahami dan dipraktekkan semenjak beberapa abad silam dan sudah
terkristal dalam beberapa madhab fiqh. Dalam bahasa Fazlur Rahman,
mereka lebih cenderung memahami syari’ah sebagaimana yang telah
diperaktekkan oleh ulama’ terdahulu. 24 Mereka menerima prinsip
ijtihad, akan tetapi harus sesuai dengan prinsip-prinsip hukum
tradisional seperti qiyâs, ijmâ’ dan istihsân.25
Dalam

masalah

tarekat

mereka

menganggapnya

sebagai

dimensi terdalam dari ajaran Islam. Dalam masalah tarekat ini mereka
merujuk kepada Imam al-Ghazali untuk dijadikan sebagai tokoh
sentral, yang muncul pada abad ke-12/18, seperti ajaran yang
disampaikan oleh al-Ghazali.26
Howard Federspiel, mengartikan tradisionalisme di Indonesia
sebagai paham yang mempertahankan nilai-nilai yang telah mapan di
kalangan umat Islam penganut madhab Shafi’i. Kelompok ini, di
Indonesia, muncul pada abad ke-20 sebagai perlawanan terhadap
pandangan-pandangan kaum modernis. Sementara terma modernis
22Daniel Brown, Rethinking Tradition, 2.
23Seyyed Hossein Nasr mencatat salah atu kriteria pola keagamaan
tradisional adalah digunakannya konsep silsilah; mata rantai kehidupan dan
pemikiran dalam dunia kaum tradisional untuk sampai pada sumber ajaran. Lihat
Seyyed Hossein Nasr, Tradisional Islam Seyyed Hossein Nasr, Tradisional Islam in the
Modern Word (London & New York: Kegan Paul International, 1990), 13.
24Fazlur Rahman, “Islamic Modernism; Its Scope, Method, and Alternative”,
International Journal of Middle East Studies (1970), 317-332.
25Fazlur Rahman, “Islamic Modernism; Its Scope, 317-332.
26Fazlur Rahman, “Islamic Modernism; Its Scope, 317-332.

12

menunjukkan pada kelompok yang merasionalkan segala bidang
kehidupan, termasuk Agama, pengetahuan dan teknologi. Kelompok ini
muncul pada abad ke-20, yang menyerukan reformasi bidang Agama
dan menjadikan Islam sebagai senjata dalam melawan modernisasi di
tengah-tengah masyarakat muslim.27
Dalam konteks sosial-budaya, unsur-unsur yang terdapat pada
Islam tradisional Indonesia meliputi adanya lembaga pesantren,
peranan

dan

kharismatik.

kepribadian
Basis

masa

kyai
kaum

yang

sangat

tradisionalis

menentukan

semacam

ini

dan
pada

umumnya berada di pedesaan. Begitu lekatnya Islam tradisionalis di
Indonesia

dengan

kalangan

pedesaan,

sampai-sampai

dikatakan

bahwa Islam tradionalis adalah Islam pedesaan.28
Islam tradisional secara religi bersifat kultural, secara intelektual
sederhana, secara kultural bersifat sinkretik, dan secara politis bersifat
oportunis.29 Meskipun untuk saat ini banyak kaum tradisionalis yang
kontroversial dengan yang konservatif, akan tetapi peran warna
konservatifme sangat kuat sekali di tingkat lokal. 30 Kaum tradisionalis
sering digolongkan ke dalam organisasi sosial keagamaan terbesar 31
bernama NU, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan pada tahun
1926 di Surabaya, oleh beberapa ulama’ pengasuh pesantren, di
antaranya K.H. Hasyim Asy'ari (Tebu Ireng) dan K.H. Wahab Hasbullah
(Tambak Beras).32
Maka nilai pendidikan yang dapat dipetik dalam dinamika dan
wacana tradisionalisme Islam adalah bertahan dengan nilai akar Islam
27Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad 125-126.
28Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 1992), 38.
29Kacung Marijan, Quo Vadis NU, 38.
30Zainuddin Maliki, Agama Priyayi (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), 41.
31Jumlah anggota NU berkisar 35-40 juta orang, atau 20% dari seluruh
penduduk Indonesia. Greg Fealy, Percikan Api Muktamar 1994;Gus Dur, Suksesi dan
Perlawanan NU Terhadap Kontrol Negara, dalam Greg Fealy, Greg Barton (ed),
Tradisionalisme Radikan;Persinggungan Nahdatul Ulama’ Negara, ter. Ahmad Suaedy
(Yogyakarta;LKiS, 1997), 220.
32Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad, 124.

13

yang menyejarah. Pola pendidikan yang telah dikembangkan oleh
kelompok ini menjadi sebuah penekanan terhadap interaksi Islam
dengan tradisi lokal dalam rangka mewarnai karakter masyarakat
dengan

nilai

keislaman.

Tentu

untuk

era

berikutnya

peran

tradisionalisme Islam tetap menjadi sebuah pola seperti ini yang
dimanfaatkan sebagai bentuk kepedulian

terhadap khazanah

pendidikan yang telah berlangsung pada waktu sebelumnya.

2. Perkembangan Pendidikan menjadi bentuk Modern
Lawan dari tradisional adalah modern, yaitu suatu istilah yang
diidentikkan dengan zaman teknologi. Modernitas adalah sebuah sikap
yang mempertanyakan problem masa lampau, bentuk tradisional
harus dipertanyakan dan diuji, tidak ada sikap kembali ke belakang.
Ide-ide masa lampau tidak relevan lagi di masa sekarang.33
Kata

modern,

modernisme,

modernisasi,

modernitas,

dan

beberapa istilah yang terkait dengannya, selalu dipakai orang dalam
ungkapan sehari-hari. Karena perubahan makna yang terdapat di
dalamnya, istilah-istilah ini seringkali memiliki makna yang kabur.
Modern adalah sebuah istilah korelatif, yang mencakup makna baru
lawan dari kuno, innovative sebagai lawan tradisional. Meskipun
demikian, apa yang disebut modern pada suatu waktu dan tempat,
dalam kaitannya dengan budaya, tidak akan memiliki arti yang sama
baik pada masa yang akan datang atau dalam konteks yang lain.
Para peneliti agama, terutama, yang tertarik pada contoh-contoh
budaya menurut sebuah kerangka jangka panjang, tidak harus lupa
33Deliar Noer, Gerakan Modern, 320-321.., 12.

14

meletakkan pada persepsi perubahan perspektif dari apa yang disebut
baru dan kuno. Karena penilaian tentang apa yang disebut modern
adalah persoalan perspektif dari orang yang melihat, fenomena yang
kelihatannya sama bisa jadi sangat berbeda tergantung pada konteks
yang berbeda. Oleh karena itu, contoh karya arsitektur modern pada
pertengahan abad ke-20 sekarang sudah terlihat kuno.
Dalam bidang intelektual, modernisme Islam muncul karena
tantangan perkembangan yang dihadapi oleh umat. Dalam abad ke-19
dan awal abad ke-20 tantangan politik yang dihadapi oleh umat Islam
bagaimana membebaskan diri dari penjajahan Barat, tantangan
kultural adalah masuknya nilai-nilai baru akibat dari kemajuan ilmu
pengetahuan

modern

Barat,

tantangan

sosial-ekonomi

adalah

bagaimana mengentaskan kebodohan dan kemiskinan umat, dan
tantangan keagamaan adalah bagaimana meningkatkan wawasan
pengetahuan agama serta mendorong umat untuk bisa memahami
ajaran agama secara mandiri.34
Bagi muslim modernis, Islam memberikan dasar bagi semua
aspek kehidupan manusia di dunia, baik pribadi maupun masyarakat,
dan yang dipandang selalu sesuai dengan semangat perkembangan.
Oleh karena itu, bagi kaum modernis tugas setiap muslim adalah
mengimplementasikan semua aspek ajaran Islam dalam kehidupan
nyata. Dasar pandangan ini dibentuk oleh satu keyakinan bahwa Islam
memiliki watak ajaran yang universal. Universalitas ajaran Islam ini
dilihat dari aspek isi mencakup semua dasar norma bagi semua aspek
kehidupan, baik yang berkaitan dengan persoalan ritual maupun sosial,
dari aspek waktu, Islam berlaku sepanjang masa, dilihat dari aspek
pemeluk, Islam berlaku untuk semua umat manusia tanpa memandang
batasan etnik maupun geografis.

34Achmad Jaenuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam Modern (Surabaya: LPAM,
2004), 94.

15

Dalam masalah ijtihad kaum modernis menganggap bahwa
kesempatan untuk melakukan interpretasi masih tetap terbuka,
sehingga kelompok ini mengajak kepada seluruh ulama’ yang memiliki
kemampuan harus selalu melakukan interpretasi sepanjang masa. 35
Rumusan modernisme Islam paling awal muncul di Mesir oleh Rifa’ah
Rafi’ al-Tahtawi, dilanjutkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan mengalami
perkembangan yang luar biasa di tangan Muhammd ‘Abduh. Tokoh
terakhir ini disebut inspirator gerakan pembaharuan dalam Islam yang
sampai ke Indonesia. Kaum modernis di Indonesia sering digolongkan
kepada

organisasi

sosial

keagamaan

bernama

Muhammadiyyah,

PERSIS, al-Irsyad dan sejenisnya.36
Di antara ciri dari gerakan Islam modern adalah menghargai
rasionalitas dan nilai demokratis. Semua anggota memiliki hak yang
sama dan semua tingkat kepemimpinan dipilih tidak diangkat. Tidak
ada perbedaan antara warga biasa dan ulama menyangkut hak dan
kewajiban organisasi.37 Gerakan ini di Indonesia memiliki pengaruh
kuat

di

kalangan

pedagang,

seniman

kelas

menengah

sampai

para

kota,

mulai

professional.

dari

pengrajin,

Sebagai

sebuah

fenomena kota, di antara karakteristik gerakan ini adalah "melek
huruf", yang pada akhirnya ciri ini menuntut adanya pendidikan.
Sehingga pendidikan merupakan program yang paling utama.38
Kelompok ini memandang bahwa syari'ah harus diaplikasikan
dalam semua aspek kehidupan secara fleksibel dan mereka ini
cenderung

menginterpretasikan

ajaran

Islam

tertentu

dengan

menggunakan berbagai pendekatan, termasuk dari Barat. Maka
modernisme Islam memiliki pola pikir rasional, 39 memiliki sikap untuk
mengikuti model Barat di bidang pendidikan, teknologi, dan industri

1996).

35Achmad Jaenuri, Orientasi Ideologi, 127.
36Zainuddin Maliki, Agama Priyayi, 41.
37Zainuddin Maliki, Agama Priyayi, 97.
38Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3S,
39Kacung Marijan, Quo Vadis NU.

16

atau telah terbawa oleh arus modernisasi.40 Pemikiran kaum modernis
bukan hanya terbatas pada bidang teknologi ataupun industri, akan
tetapi juga merambah ke dalam bidang pemikiran Islam yang
bertujuan untuk mengharmonikan keyakinan Agama dengan pemikiran
modern.
Secara umum, orientasi ideologi keagamaan modernisme Islam
ditandai oleh wawasan keagamaan yang menyatakan bahwa Islam
merupakan nilai ajaran yang memberikan dasar bagi semua aspek
kehidupan dan karenanya harus diamalkan dalam kehidupan seharihari. Bagi mereka, pengamalan ini tidak hanya terbatas pada
persoalan ritual-ubudiyah, tetapi juga meliputi semua aspek kehidupan
sosial kemasyarakatan.
Dikotomi di atas sering kita kelompokkan dalam dua organisasi
besar yaitu Islam NU dan Islam Muhammadiyyah. NU sering dilihat
sebagai

representasi

kelompok

tradisionalis,

sementara

Muhammadiyyah sebagai representasi kelompok modernis. 41 Namun
dikotomi ini kemudian dianggap tidak layak lagi, karena dalam
perkembangan

selanjutnya,

NU

bersifat

lebih

terbuka

terhadap

modernitas.42 Bahkan dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Arbiyah Lubis, ditemukan bahwa Muhammadiyyah termasuk dalam
kelompok tradisionalis modernis. Menurutnya, Muhammadiyyah tampil
sebagai

modernis

hanya

dalam

dunia

pendidikan,

dan

dalam

memahami teks al Qur’an dan Hadith sebagai sumber ijtihad,
Muhammadiyyah berada dalam kelompok tradisonalis.43
Paham

tradisionalisme

yang

dianut

oleh

organisasi

Muhammadiyyah, menurut Arbiyah Lubis, tercermin dalam teologi
yang dianutnya, yaitu paham Jabariyyah yang mengakui kehendak
40Akbar S. Ahmed, Post Modernism and Islam (London: Routledge, 1992), 31.
41Akbar S. Ahmed, Post Modernism, 125.
42Azyumardi Azra, Suplemen Republika, Kamis, 14 Maret 2002, hal. 7.
43Lubis, Arbiyah, Pemikiran Muhammadiyyah dan Muhammad Abduh Suatu
Studi Perbandingan (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 185.

17

mutlak Tuhan, ketidak bebasan manusia dalam memilih perbuatannya
dan memberikan daya yang kecil kepada akal untuk memamahmi
masalah-masalah akidah.44
Sementara
mengatakan

dalam

bahwa

penelitian

dalam

lain,

beberapa

Muhammad
hal,

NU

Azhar

yang

juga

dianggap

tradisional, ternyata lebih modern ketimbang Muhammadiyah. Sebagai
contoh, proses penerimaan asas Pancasila, pendirian BPR Nusumma,
ternyata NU terkesan mendahului Muhammadiyah. 45 Nurcholish Madjid,
tokoh intelektual Muslim Indonesia, juga mengatakan bahwa pola
pemikiran Neo-modernisme Islam akan muncul dari kalangan NU yang
kaya khazanah klasik, ketimbang Muhammadiyah, dan kini hal itu
terbukti dengan munculnya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang tokohnya
banyak didominasi oleh kalangan pemuda NU.
Perkembangan pola pendidikan yang dilakukan kalangan modern
ini berawal dari respon terhadap keterbelakangan masyarakat yang
dipengaruhan pemikiran yang tidak maju. Berangkat alasan

ini

mereka mengembangkan ide-ide pendidikan dengan pendekatan
pembaharuan. Mendirikan sekolah yang berhaluan modernis, serta
menerbitkan beberapa jurnal, adalah bentuk kemajuan yang dilakukan
oleh

kelompok

ini.

Kendatipun

menurut

Nakamura, 46

kelompok

modernis di abad ke-20 yang dibintangi oleh Muhammadiyah mulai
ketinggalan oleh kalangan Islam tradisional dari segi pemikiran, namun
dari segi gerakan pendidikan seperti Perguruan Tinggi dan rumah sakit
masih

didominasi

oleh

kelompok

ini.

Memang

kelompok

Islam

tradisional yang selama ini dilabelkan kepada Nahdlatul Ulama mulai
kehilangan relevan dengan banyaknya para pemikir Nahdlatul Ulama
meninggalkan

kantong-kantong

belenggu.

Pemikiran-pemikiran

44Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, 183.
45Muhammad Azhar, Fiqh Peradaban (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), 89.
46Disampaikan Nakamura dalam Seminar Ulang Tahun Muhammadiyah di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 20 Nopember 2012

18

keagamaan, sosial, dan budaya yang digerakkan kelompok Islam
tradisional banyak melampaui kalangan Islam modernis.
Dengan gerakan kelompok Islam tradisional yang mencuat di
akhir Orde Baru, memberikan nilai-nilai pendidikan dalam memelihara
khazanah intelektual yang berkembang. Demikian juga halnya dengan
kelompok Islam modernis ini, juga telah berperan dalam memberikan
sebuah model pendidikan dalam bergerak mengaktualisasikan ide-ide
pembaharuan

melalui

gerakan

social

seperti

pendidikan

dan

kesehatan. Agresifitas tinggi dalam membangun kecerdasan umat
yang diiring dengan memperhatikan kesehatannya, merupakan bentuk
nyata pendidikan yang tidak bisa diabaikan. Walaupun menurut Azra 47
kelompok

Islam

modernis

yang

dilakukan

oleh

Muhammadiyah

termasuk kelompok yang bertanggung jawab atas hapusnya warnawarni

Islam

yang

diperkaya

oleh

tradisi

lokal,

tetapi

sisi

pengembangan gerakan masih tetap di garda depan. Nilai-nilai
pendidikan yang dapat diambil dari sejarah dan perkembangan Islam
adalah meskipun terdapat dinamika dalam menampilkan peran di
tengah masyarakat, tetap berorentasi kepada pengembangan karakter
yang tertanam dalam kehidupan masyarakat.
D.

Corak

Pendidikan

Dalam

Tradisionalisme

dan

Modernisme Islam
Di

dalam

konteks

keindonesiaan,

dikotomi

antara

kaum

tradisional dengan modernis bisa kita lihat di antaranya dari bentuk
cara melakukan beberapa praktek ritual keagamaan serta penggunaan
simbol yang berbeda satu sama lainnya.
Kaum tradisional adalah mereka yang gemar dengan ritual
diba’iyah, tahlilan, ziarah kubur, sholat subuh dengan menggunakan
qunut, membaca pujian setelah adzan, dan mengeraskan bacaan
47Disampaikan Azyumardi Azra dalam Mata Kuliah Kajian Islam Komprehensif
(KIK) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 23 Mei 2012

19

setelah sholat, serta bentuk masjid yang memiliki beduk, kentongan,
dan mimbar khotib yang menggunakan tongkat dan kursi singgasana
layaknya seorang raja. Sementara kaum modernis adalah mereka yang
anti slametan, tahlilan, ziarah kubur untuk meminta berkah, tidak
memakai sorban atau peci haji dalam sholat, membaca dzikir setelah
sholat sendiri-sendiri, tanpa suara keras, menolak qunut di waktu
sholat subuh, tidak menggunakan pujian setelah adzan, serta bentuk
masjid yang tidak menggunakan beduk, kentongan serta mimbar
khotib yang lebih modern dan tanpa tongkat.48
Beberapa hal lain yang menjadi perbedaan antara NU dan
Muhammadiyyah

adalah

bahwa

NU

lebih

besifat

rural

(gejala

pedesaan), syarat dengan simbol tradisional (dulu disimbolkan dengan
pakaian sarung dan serban), berlebihan dalam pengamalan ibadah,
lebih mempercayai kata ulama’, lebih terikat dengan jama’ah, lemah
inisiatif dan lebih hirarkis-struktural dalam hal status sosial, 49 tidak
menolak beberapa praktek ritual yang tidak tertulis di dalam hadith
sahih, atau tidak sesuai dengan pemikiran modern, karena, menurut
mereka, tidak berarti sesuatu yang tidak tercantum di dalam hadith
sahih itu bertentangan dengan Islam selama masih belum menyangkut
masalah akidah. Prinsip kaum tradisionalis adalah ‘adam al wujûd lâ
yadullu ‘alâ ‘adam al wujdân.50
Sebaliknya,

Muhammadiyyah

lebih

bersifat

urban

(gejala

perkotaan) yang sangat apresiatif dengan simbol modernitas (dulu
disimbolkan dengan memakai dasi, dan sebagainya), kritis, mandiri,
individu jadi fokus perhatian, penuh inisiatif, menganggap sesuatu
yang tidak tercantum di dalam hadith sahih dianggap sebagai sesuatu
yang menyimpang dari ajaran Islam dan tidak boleh diamalkan, karena
akan berdosa dan berimplikasi buruk terhadap akidah.51
48Deliar Noer, Gerakan Modern, 108.
49Muhammad Azhar, Fiqh Peradaban, 88.
50Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam, 14-15.
51Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, 19.

20

Dalam bentuk peraktek ritual di waktu sholat jum’at misalnya,
NU

menggunakan

dua

adzan,

sementara

Muhammadiyyah

menggunakan satu adzan. Bentuk mimbar yang digunakan juga
berbeda,

NU

menggunakan

mimbar

bertongkat,

sementara

Muhammadiyyah menggunakan bentuk mimbar modern.52
Perbedaan lain yang sangat mencolok adalah dalam penetapan
awal puasa dan hari raya, pelaksanaan sholat tarawih dan sholat Id.
Kelompok NU dalam menetapkan awal bulan puasa dan hari raya (Id)
berpegang

pada

konsep

ru’yah,

sementara

Muhammadiyyah

berpegang pada hisâb. Dalam pelaksanaan sholat tarawih, kelompok
NU berpegang pada jumlah 20 raka’at, sementara Muhammadiyyah
berpegang pada jumlah 8 raka’at. Dalam pelaksanaan sholat Id,
kelompok

NU

melakukannya

di

masjid,

sementara

orang

Muhammadiyyah di lapangan terbuka.53
Dalam bidang pendidikan, NU menggunakan gaya sorogan,
menggunakan kitab kuning sebagai bahan kajian, yaitu kitab-kitab
karya al-Ghazali dan beberapa pemikir lainnya, yang muncul pada
abad Islam klasik.54 Sementara dalam pendidikan yang dikelola
Muhammadiyyah, menggunakan sistem klasikal, menggunakan kitab
putih sebagai ganti dari kitab kuning.55 Kelompok tradisionalis ini
mengklaim bahwa pintu interpretasi telah tertutup, sementara kaum
modernis

menganggap

bahwa

kesempatan

untuk

melakukan

interpretasi masih tetap terbuka.56
Proses individu melakukan identifikasi diri di dalam dunia sosiokulturalnya tadi bisa disebut sebagai internalisasi. Secara kodrati
memang manusia memiliki kecenderungan untuk mengelompok.
Artinya, manusia akan selalu berada di dalam kelompoknya yang
kebanyakan didasarkan atas rasa seidentitas. Sekat interaksi tidak
52Deliar Noer, Gerakan Modern, 108.
53Deliar Noer, Gerakan Modern, 108.
54Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad, 126.
55Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyyah, 107-108.
56Andrew Rippin, Muslim, 127.

21

dijumpai jika manusia berada di dalam identitas yang sama. Jika
sesama warga NU, maka secara leluasa juga dapat melakukan
interaksi yang intensif. Demikian pula sesame warga Muhammadiyah.
Interaksi antara orang Muhammadiyah dan NU akan sangat terbatas
pada persoalan-persoalan segmental. Dalam segmen tertentu bisa
berkomunikasi tetapi dalam segmen lain akan membatasi diri.
Itulah sebabnya terdapat penggolongan sosial, misalnya orang
NU dan orang Muhammadiyah. Penggolongan sosial itu tentunya
memiliki basis nilai dan historis yang bisa dirujuk pada sejarah panjang
dua organisasi sosial keagamaan ini. Muhammadiyah ofensif untuk
memberantas tradisi lokal yang tidak genuine, sedangkan NU sibuk
untuk melakukan resistensi dengan mempertahankan tradisi-tradisi
lokalnya. Orang NU beranggapan bahwa tradisi lokal termasuk dalam
kategori furu'iyat, sementara orang Muhammadiyah beranggapan
bahwa tradisi lokal adalah persoalan teologis, dan sangat menentukan
Islam yang genuine atau Islam yang ditambah-tambah. Orang NU
beranggapan bahwa tradisi lokal adalah persoalan 'urf, sementara
orang

Muhammadiyah

menggapnya

sebagai

penyimpangan

dari

genuinitas Islam.

E. Isu Pendidikan dalam Agenda Modernis dalam Islam
Pokok pikiran yang hendak disajikan di sini adalah:
Pertama, soal khilafiah. Gerakan modernis di sini berusaha
mengubah faham tradisional yang termasuk ke dalamnya tentang
takhayul dan khurafat, yang disebut dengan masalah khilafiyah.
Kedua, sifat fragmentasi kepartaian. Sifat ini di masa tahun
1920-1942 sangat menonjol, baik pada kalangan Islam maupun pada
kalangan kebangsaan. Pada kalangan Islam, di samping Partai Sarekat
22

Islam (Indonesia) muncul Permi, Perti, Parii, Penyadar, PII, dan PSIIKartosuwiryo; pada kalangan kebangsaan yang mengaku netral
terhadap agama muncul PNI, Partindo, Gerindo, PBI, dan Parpindo.
Ketiga, kepemimpinan yang bersifat pribadi. Dalam tataran ini
ada

kecendrungan

pemimpin

dengan

alasan-alasannya

sendiri,

membawa pengikutnya ke luar organsiasi semula, dan membangun
partai baru ataupun mengubah sifat organisasinya menjadi partai
politik.
Keempat, perbedaan dan pertentangan paham. Tentu saja kita
sukar dikemukakan bahwa kalangan berbeda dalam soal ideologi,
karena ideologi merupakan hal yang bersifat prinsipil. Sidang-sidang
konstituante tahun 1956-1959 menempatkan kalangan Islam dalam
satu barisan yang kuat. Tetapi sebaliknya sebagai contoh orang dapat
pula menunjuk pada perbedaan kecendrungan dan sikap pada masa
Demokrasi Terpimpin, ketika sebagian kalangan Islam dengan keras
menolak citra dan konsep Soekarno tentang ini, sedangkan sebagian
lain menerima dan sekurang-kurangnya secara formal, mendukungnya.
Kelima, hubungan dengan

pemerintah. Pada masa penjajahan

dapat dijumpai sikap koperasi dan non-koperasi dalam berpolitik,
kemudian kedua istilah itu tidak dapat diterapkan di masa merdeka,
oleh karena pemerintah masa merdeka adalah pemerintah kita sendiri.
Tetapi ada dijumpai sifat penolakan (istilah yang tidak sama dengan
oposisi), baik terhadap pemerintah, maupun dari pemerintah terhadap
golongan masyarakat di zaman merdeka itu. Masalah pokok yang
muncul dalam tataran ini adalah berkisar pada pandangan tentang
kedudukan pemerintah. Dapat dipastikan bahwa dipandang dari
pergerakan nasional pemerintah jajahan adalah musuh: yang harus
dihancurkan, karena suasana saat demikian adala perang. Tepat
digunakan slogan yang dikobarkan Soekarno untuk “membentuk
kekuatan”

(machtsyorming)

dan

“mengarahkan

kekuata”

(machtsaanwending) untuk musuh yang dihadapi. Namun ketika
23

slogan demikian dikumandangkan lagi pada zaman merdeka, sehingga
pengaruhnya
semenjak

cukup

itu,

mempengaruhi

pandangan

oposisi

perjalanan
dianggap

bangsa.

lawan

Sebab

yang

harus

dihancurkan.
F.

Pendidikan Karakter dan Implikasinya terhadap
Perkembangan Pemikiran Agama Masyarakat Muslim
Indonesia

Dari

paparan

di

atas,

ditemukan

bagaiman

Islam

harus

berhadapan dengan dinamika tiga lapisan realitas, yaitu lapisanlapisan universal dan internasional, nasional dan lokal. Kenyataan di
atas juga berarti bahwa Islam tidak mengenal doktrin tunggal, apalagi
mutlak. Masing-masing dari kelompok di atas tentu sangat dipengaruhi
oleh situasi sosial-ekonomis, masalah penghayatan agama serta
kecenderungan
perubahan

doktrin

dalam

sosial-ekonomis

proses
bisa

pembentukannya.

mempengaruhi

Maka

perubahan

pemahaman seseorang terhadap agamanya.
Menurut Taufik Abdullah, agama tidak sekedar gejala sosiologis
yang bisa dikategorikan begitu saja menurut pengamat seorang
pengamat. Sebab bagi penganutnya, agama menyangkut masalah
makna sebagai landasan untuk melihat dan mengerti realitas. Dalam
kaitan inilah terdapat adanya hubungan dialektis antara system makna
yang dipercayakan agama dan pengertian yang dihayati oleh para
pemeluk, yang secara obyektif juga terkait oleh konteks relitasnya.
Perubahan sosial-ekonomi dapat merupakan unsur yang menyebabkan
terjadinya kemajemukan pemahaman terhadap doktrin yang utuh itu.57
Dalam proses dialektis antara doktrin agama sebagai landasan
sistem makna dan pengertian pemeluk ini, para pemeluk juga secara
aktif

memberi

makna

terhadap

perbuatannya.

Jadi

bukan

saja

perbuatan itu muncul sebagai hasil interpretasi terhadap struktur
situasi, tetapi perbuatan itu juga diberi nilai dan makna oleh mereka
57Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat (Jakarta: LP3ES, 1996), 10.

24

yang melakukannya. Maka proses sakralisasi dari perbuatan pun bisa
pula terjadi.58
Perubahan ekonomi, spesialisasi kerja dan mobilitas sosial, serta
perubahan politik ikut menjadi faktor utama dalam pembentukan
pemahaman seseorang terhadap suatu ajaran agama. Maka tidak
mustahil jika ideology seseorang akan selalu mengalami perubahan,
karena adanya perubahan pengetahuan yang dimilikinya (pendidikan),
perubahan lingkungan di sekitarnya, dan perbuahan pekerjaan atau
ekonomi yang dialaminya.
Hal ini bisa dilihat dari penelitian Munir Mulkhan tentang Islam
murni dalam masyarakat petani, yang menemukan adanya empat
varian masyarakat Muhammadiyah berdasarkan pada aspek-aspek
sosiologis yang mengitarinya; yaitu Islam murni (kelompok al-Ikhlas),
Islam murni yang toleran terhadap praktek TBC (kelompok Kyai
Dahlan), Islam neo-tradisionalis (kelompok MUNU, MuhammadiyahNU), dan Islam neosinkretis (kelompok MUNAS, MuhammadiyahNasionalis).59 Kenyataan ini penting, karena semula beberapa orang
termasuk penulis melihat bahwa Muhammadiyah hanya terdiri dari
satu kelompok saja, yaitu Islam murni. Padahal kenyataan di lapangan
tidak demikian.
Kenyataan semacam ini mungkin tidak saja terjadi dalam
masyarakat Muhammadiyah, tetapi juga dalam masyarakat NU, di
mana terdapat beragam varian mengenai masyarakat NU yang
tradisional, ada NU yang sinkretik, seperti yang digambarkan oleh
Geertz, ada NU yang akulturatif seperti yang digambarkan oleh
Muhaimin, ada NU yang Muhammadiyah (NUMU) karena sudah
terpengaruh oleh kondisi sosial dan ekonomi yang lebih modern.
Kematangan masyarakat dalam menyikapi perubahan demi
perubahan yang terjadi seiring dengan perubahan sosial merupakan
58Taufik Abdullah, Islam, 11.
59Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani (Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya, 2000).

25

bentuk penanaman karakter dalam menghadapi deras kemajuan
zaman yang dibonceng oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka
untuk

selanjutnya

nilai-nilai

yang

menjadi

ciri

khas

Indonesia

kehilangan momentum seiring munculnya imperium kebudayaan Barat
ke

dunia

Muslim.

Meninggalkan

khazanah

yang

telah

terbukti

memberikan kontribusi dalam mematang karakter masyarakat, akan
menyebabkan tidak terselesaikan persoalan bangsa yang semakin
waktu tetap berkembang.
E. Kesimpulan & Rekomendasi
Pergumulan pemikiran Islam yang berkembang di Indonesia
adalah salah satu bentuk pematangan karakter masyarakat yang
berusaha mencapai titik temu antara nilai normatif dengan fakta yang
menyejarah, sekaligus menunjukkan kepedulian umat Islam terhadap
masa depan Islam dan bangsanya. Secara umum, dunia Islam berada
dalam tekanan Barat setelah mereka berhasil memutar balik keadaan,
banyak dipengaruhi oleh karakter masyarakat yang telah tercerahkan.
Dapat dimengerti ketimpangan yang terjadi antara pemikiran dan
kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi dengan kondisi faktual
masyarakat yang dianggap tidak urusan umat Islam adalah kesimpulan
yang ditinjau ulang. Maka dalam keadaan demikian, muncul kesadaran
dari sebagian umat Islam,

yaitu tidak ada yang dapat merubah

keadaan ini kecuali umat Islam itu sendiri.
Dinamika pemikiran yang berkembang telah memberikan warna
perjalan sejarah Islam Indonesia. Setelah diamati secara mendalam,
khazanah yang dihasilkan dari dialog panjang pemikiran ini cukup
memberikan variasi dalam memahami Islam. Mereka tidak berbeda
pada persoalan asal, tetapi ketika menurunkan Islam pada ranah sosial
lokal masing-masing yang terdapat beragama. Walaupun dilihat Islam
beragam, tetapi pada hakikatnya tetap seragam.
Dalam
kecerdasan

hal

ini

intelektual

direkomendasikan,

peningkatan

umat

diintegrasikan

Islam
26

yang

terhadap
dengan

kematangan spiritual adalah prioritas utama untuk menghindari
pengulangan sejarah yang telah menimpa Indonesia. Bangsa yang
digerogoti kebodohan akan tetap menjadi objek dalam percaturan
politik, budaya, dan ekonomi global. Kemiskinan serta perpecah
belahan

antar

elemen

bangsa

senantiasa

menjadi

langganan

Indonesia. Memulai dari yang mudah, menghargai dinamika dan
ke