TRANSFORMASI STRUKTURALIS DALAM KONTEKS. pdf

TRANSFORMASI STRUKTURALIS DALAM KONTEKS KEBAHASAAN
TEORI PASCASTRUKTURALISME
Dosen Pengampu : Dr. Wiyatmi, M.Hum
SIGIT SUHARSONO/SASINDO B/13210144001
Post-strukturalisme adalah suatu paradigma yang mengemukakan tentang obyek
yang mengutamakan kualitas daripada kuantitasnya dan tidak hadir dengan realitasnya, tetapi
sudah bercampur dengan persepsi pembaca. Selain itu post-strukturalisme melibatkan
kontekstual dan strukturalnya. Misalnya kursi jika strukturalisme berpendapat bahwa kursi itu
hanya untuk tempat duduk tetapi, post-strukturalisme berpendapat bahwa kursi juga
melambangkan sebuah kekuasaan seseorang. Strukturalisme dibangun atas prinsip Saussure*
bahwa bahasa sebagai sebuah sistem tanda harus dilihat ke dalam tahapan tunggal sementara
(single temporal plane). Untuk menjalaskan hal ini kita harus paham terlebih dahulu tentang
apa itu Strukturalisme. Kata kunci Strukturalisme adalah bahwa segala sesuatu adalah terdiri
dari bagian-bagian yang saling terkait satu sama lain dalam sebuah system. Bila kita melihat

karya sastra, pasti di dalamnya terdapat alur cerita, plot, setting, penoko-han, dsb. PrinsipPrinsip dalam Strukturalisme di antaranya adalah prinsip antar hubungan, formalisme dalam
teks (sosial), tiap bagian memiliki jalinan makna, menihilkan fungsi pembacaan atas teks,
melepaskan teks dari konteks yang historis.
Aspek diakronis bahasa, yakni bagaimana bahasa berkembang dan berubah dari masa
ke masa, dilihat sebagai bagian yang kurang penting. Dalam pemikiran post strukturalis,
berpikir sementara menjadi hal yang utama.Tokoh utama yang paling berpengaruh pada era

kritik sastra post-strukturalis adalah seorang filsuf perancis Jacques Derrida. Selain itu, buah
karya pemikiran psikoanalis Jacques Lacan dan ahli teori kebudayaan Michael Foucault juga
berperan penting dalam kemunculan post strukturalisme tersebut. Dalam hal ini, Derrida
menekankan “logosentrime” (berpusat pada logos) pemikiran barat bahwa makna dipahami
sebagai independensi bahasa yang dikomunikasikan dan tidak tunduk pada permainan bahasa.
Derrida sepakat dengan Saussure bahwa bahasa merupakan produk yang berbeda antar
penanda, tapi dia berpikir melampaui Saussure dalam menegaskan bahwa dimensi sesaat
(temporal dimension) tak dapat ditinggalkan. Derrida menilai bahwa Saussure tak dapat
membebaskan dirinya dari pandangan logosentris, sejak ia mengunggulkan bahasa di atas
tulisan. Derrida percaya bahwa penanda (signs) dan petanda (signified) dapat digabung ke
dalam tahapan yang sama dalam praktek tindak tutur (act of speaking). Derrida menyerang
pandangan logosentrisme dan menilai bahwa tulisan merupakan model yang lebih baik untuk

memahami bagaimana bahasa berfungsi. Dalam tulisan, penanda selalu produktif,
mengenalkan aspek sesaat ke dalam penandaan yang menentukan berbagai penggabungan
antara sign dan signified. Perumusan dasar “differance” Derrida disusun dengan
mempermainkan pada kata perancis ‘difference’, yang dapat berarti ‘pertentangan’ dan
“penundaan”, merusak logonsentrisme dengan menyatakan bahwa makna tak pernah dapat
mewakili seluruhnya karena makna tersebut selalu ditangguhkan. Praktik “dekonstruksi ”**nya ini berdasar pada teks yang dia teliti yang berpengaruh besar pada kritik sastra, misalnya
pada New Criticsm.

Dasar teori postrukturalisme adalah strukturalisme yang juga dilahirkan oleh Formalisme
Rusia (Roman Jakobson, Victor Shklovsky, Boris Eichenbaum). Konsep dasar formalisme
adalah ciri-ciri khas kesusasteraan; pola suara dan kata-kata formal bukan isi. Konsep dasar
strukturalisme adalah unsur-unsur dan totalitas dengan pola antarhubungan di dalamnya.
Disebut sebagai penelitian Ergocentric yang berpusat pada karya dan menolak penulis dan
pembaca. Menurut kaum pascastrukturalis, tidak ada hubungan yang statis antara proposisi
dengan realitas. Penanda-penanda mengambang terus menerus dan sukar ditentukan
hubungannya dengan acuan ekstralinguistik. Kodrat pemaknaannya tidak stabil secara esensial
(Bertens, 1993: 485-7; Selden, 1991: 75). Penemuan ini membawa implikasi yang sangat
mendalam bagi teori-teori kebudayaan pada umumnya, yang telah membangun sistem-sistem
teori universal. Oleh karena penanda mengambang jauh dari petanda dan semiotik
mengacaukan sistem simbol, pascastrukturalisme membongkar dan mendefinisikan kembali
teori-teori dan nilai-nilai yang dianut selama ini. Studinya terfokus pada wacana nonliterer
yang dipandang sebagai faktor yang membentuk dan membuat proses sosial dan sejarah dan
yang secara tidak sadar terungkap dalam wacana literer.
Konsep “arti” yang berasal dari de Saussure oleh penganut dekonstruksi ditafsirkan
sedemikian rupa sehingga pengertian mengenai teks dibongkar (didekonstruksi). Kaum
strukturalisme klasik menganggap teks sebagai sesuatu yang sudah bulat dan utuh. Menurut
faham dekonstruksi, bahasa bukan lagi semacam jendela yang transparan terhadap kenyataan
asli yang belum dibahasakan. Menurut Derrida, tidak ada kenyataan objektif yang bisa

dibahasakan. Demikian pula, tidak ada ungkapan bahasa dengan arti tertentu. Bahasa tidak
mencerminkan kenyataan melainkan menciptakan kenyataan.
Gerakan pasca-strukturalis sulit untuk diringkas, tetapi mungkin secara luas dipahami
sebagai respon tubuh berbeda untuk Strukturalisme. Sebuah gerakan intelektual yang

dikembangkan di Eropa dari awal hingga pertengahan abad ke-20, Strukturalisme berpendapat
bahwa budaya manusia dapat dipahami dengan cara struktur - model pada bahasa (linguistik
struktural) yang berbeda baik dari organisasi realitas dan organisasi ide dan imajinasi. Sifat
yang tepat dari revisi atau kritik strukturalisme berbeda dengan masing - masing penulis poststrukturalis, meskipun tema umum termasuk penolakan terhadap swasembada dari struktur
yang strukturalisme berpendapat dan interogasi dari oposisi biner yang merupakan strukturstruktur.
Dua tokoh kunci dalam gerakan post-strukturalis awal Jacques Derrida dan Roland
Barthes. Meskipun awalnya Barthes strukturalis, selama tahun 1960-an ia semakin menyukai
pandangan post-strukturalis. Pada tahun 1967, Barthes menerbitkan "The Death of Author" di
mana ia mengumumkan acara metaforis: "kematian" dari penulis sebagai sumber otentik
makna untuk teks yang diberikan. Barthes berpendapat bahwa setiap teks sastra memiliki
banyak arti, dan bahwa penulis bukanlah sumber utama isi semantik atas karya tersebut. The
"Kematian Pengarang," yang dipertahankan Barthes, "Kelahiran Pembaca," adalah sebagai
sumber proliferasi makna dari teks.
Sebuah teori utama yang terkait dengan Strukturalisme adalah oposisi biner. Teori ini
mengusulkan adanya teori tertentu dan konsep yang berlawanan, yang seringkali disusun dalam

hirarki, logika manusia yang telah diberikan kepada teks. Dapat mencakup Pencerahan /
Romantis, pria / wanita, berbicara / menulis, rasional / emosional, penanda / signified, simbolik
/ imajiner. Post-strukturalisme menolak gagasan kualitas penting dari hubungan yang dominan
dalam hirarki, dan lebih memilih untuk mengekspos hubungan - hubungan dan ketergantungan
istilah dominan padanya tampak tunduk pada pasangannya. Satu - satunya cara untuk benar
memahami makna adalah mendekonstruksi asumsi dan sistem pengetahuan yang menghasilkan
ilusi makna tunggal. Tindakan dekonstruksi menerangi bagaimana laki - laki dapat menjadi
perempuan dan bagaimana rasional dapat menjadi emosional.
Post-strukturalisme dalam kesusasteraan Strukturalisme dibangun atas prinsip
saussure, bahwa bahasa sebagai sebuah sistem tanda harus dilihat ke dalam tahapan tunggal
sementara (single temporal plane). Aspek diakronis bahasa, yakni bagaimana bahasa
berkembang dan berubah dari masa ke masa, dilihat sebagai bagian yang kurang penting.
Dalam pemikiran post strukturalis, berpikir sementara menjadi hal yang utama. Poststrukturalis berpendapat bahwa konsep "diri" sebagai entitas yang terpisah, tunggal, dan

koheren membangun fiksi. Sebaliknya, individu terdiri dari ketegangan antara klaim-klaim
pengetahuan yang saling bertentangan (misalnya jenis kelamin, ras, kelas, profesi, dll).
Post-Strukturalisme mulai hadir dan berkembang dalam ranah Hubungan Internasional
sebagai sebuah perspektif pada tahun 1980. Perspektif ini dipelopori oleh beberapa aktor
seperti Richard Ashley, James Der Derian, Michael Shapiro, dan R.B.J. Walker. PostStrukturlisme tidak hadir sebagai suatu teori beru mengenai ilmu hubungan internasional,
namun sebagai suatu pendekatan yang fokus pada aspek abstraksi, representasi dan interpretasi.

Post-Strukturalisme fokus terhadap kritik atas teori-teori yang telah ada dalam ilmu hubungan
internasional sebelumnya. Mereka menganggap kritik sebagai sebuah hal yang dibutuhkan,
suatu hal yang positif, demi tercapainya alternatif-alternatif baru sehingga keadaan yang lebih
baik dapat tercapai.
Post-Strukturalisme memulai dengan etika perhatian untuk memasukkan semua yang
telah diabaikan atau disisihkan oleh mainstream dalam Hubungan Internasional (David, 2007).
Mereka fokus dengan mengartikulasi kritik meta-theoritical pada realis dan neorealis untuk
mendemonstrasikan bagaimana asumsi teoritikal dari perspektif tradisional tentang politik
internasional. Mereka tidak setuju dengan realisme dan neo-relisme yang hanya berfokus pada
power dan negara. Realisme dan neo-realisme dianggap telah memarginalisasikan hal-hal
penting seperti aktor-aktor transnasional, isu dan hubungan, serta tidak mendengarkan suarasuara yang berasa dari luar orang-orang realis dan perspektif mereka. Namun tidak berarti
bahwa post-strukturalis menolak negara, mereka juga mengkaji aspek-aspek historisis negara,
formasi politik, ekonomi, dan sosial.
Post-Srtukuralisme hadir setelah adanya strukturalisme. Dapat dikatakan bahwa poststrukturalisme hadir sebagai dekonstruksi dari Strukturalisme (David, 2007). Dekonstruksi
yang dibangun adalah sebuah anggapan-anggapan yang di anggap absolut padahal setiap
anggapan selalu kontekstual dan anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang
menyejarah. Strukturalisme beranggapan bahwa struktur akan membentuk individu, sementara
post-strukturalisme meyakini bahwa individulah yang menciptakan suatu struktur. Dari
struktur tersebutlah kemudian tercipta identitas. Bagi kaum post-strukturalis, identitas
merupakan hal yang sangat penting dalam hubungan internasional. Post-strukturalisme juga

membahas keterkaitan antara teori dan praktek. Mereka memandang teori juga merupakan
sebuah praktek.

Postrukturalisme juga menekankan hubungan antara ilmu pengetahuan dan power.
Hubungan antar ilmu pengetahuan dan power semkin kuat dengan adanya perkembangan ilmu
pengetahuan yang kita kenal sebagai masa Enlightenment. Masa Enlightenment membawa
ilmu pengetahuan pada tiga asumsi dasar. Pertama, epistemic realism menyadarkan akan
adanya dunia di luar sana yang keberadaan dan tidak bergantung pada peneliti. Kedua,universal
scientific language yaitu anggapan bahwa dunia luar dapat dideskripsikan melalui bahasa yang

tidak mengisyaratkan apapun. Ketiga, correspondence theory of truth bahwa peneliti dapat
mengatakan bahwa sesuatu itu benar jika cocok dengan faktanya. Bahasa sains yang objektif
dan ketiga asumsi empiris di atas ditujukan untuk memberikan interpretasi dan representasi
yang valid atas suatu fenomena. Dalam ilmu Hubungan Internasional setiap interpretasi dan
kondisi dibangun untuk membentuk sudut pandang, posisi, dan perspektif yang akan
mengarahkan aktor dalam mengatakan dan melakukan sesuatu lalu kemudian memaknai
kejadian-kejadian. (Ashley, Richard. 1996)
Ciri khas Postrukturalisme jika dilihat dari ketidakmantapan teksantara lain adalah
bahwa makna karya ditentukan oleh apa yang dilakukan oleh teks, bukan apa yang
dimaksudkan, terjadi pergeseran dari estetika produksi ke estetika konsumsi, penerima menjadi

pencipta, makna teks tidak diproduksi melalui kontemplasi pasif, melainkan milik pembaca,
karya sebagai anonimitas, tidak ada karya pertama, semua intertekstual, dan makna teks
tergantung pada konteks, interaksi pada pembaca, teks tidak tertutup tapi terbuka karena ada
interaksi terus menerus.
Dalam satu karya sastra, terdapat banyak makna di dalamnya namun ada satu pusat
makna yang menjadi kekuatan yang mempersatukan semua unsur pembentuk karya sastra yang
sebenarnya beraneka, atau mencari satu invarian dari berbagai variasi. Terdapat fungsi dan
makna tanda di dalam bahasa tidak ditentukan oleh faktor-faktor yang ada di luarnya,
melainkan oleh hubungannya dengan tanda-tanda yang lain yang ada di dalam bahasa itu
sendiri. Dengan kata lain, fungsi dan makna tanda tidak bersifat substansial, melainkan formal,
relasional. Bahasa telah mensubjeksi manusia, sehingga beberapa paradigma dalam ilmu sastra
seperti strukturalisme dan post strukturalisme membangun subjektivitas manusia dengan
membebaskannya dari kondisi sebagai objek, sebagai benda mati, maupun sebagai sesuatu
yang tidak berdaya. Relasi antara unsur-unsur yang menjadi satu kesatuan seperti plot, tokoh,
latar, tema, dan lain-lain yang semuanya saling berkaitan sehingga pada akhirnya bias
ditemukan maknanya. Jadi, untuk memahami makna karya sastra, pembaca harus terlebih

dahulu memahami struktur dalam teks dan kemudian menginterpretasi. Kelemahan teori Post
strukturalisme adalah bahwa pada dasarnya, makna karya sastra tidak mutlak berada pada
pembaca, tetapi juga pada pengarang, teks, dan bahasanya karena Segala sesuatu adalah terdiri

dari bagian-bagian yang saling terkait satu sama lain dalam sebuah system. Coba lihat karya
sastra, pasti didalamnya terdapat alur cerita, plot, setting, penokohan, dan sebagainya.
Perbedaan antara strukturalisme dan post strukturalisme adalah bahwa strukturalisme
melihat kebenaran sebagai berada di balik atau di dalam suatu teks. Sedangkan post
strukturalisme menekankan interaksi pembaca dengan teks sebagai suatu produktivitas. Makna
karya sastra tidak mutlak berada pada pembaca, namun juga berada pada pengarang, teks dan
bahasanya. Bila dianalogikan, tukang pembuat kursi pasti lebih mengetahui segala hal tentang
kursi buatannya daripada sang pembeli. Maka, yang lebih mengetahui makna suatu karya sastra
pastilah pengarangnya. Karya sastra bersifat statis dan stabil. Sebuah karya sastra tercipta
melalui bahasa yang tertulis dalam teks, yang mana teks tersebut ditulis oleh seorang
pengarang. Sehingga mustahil pembaca bisa menafsirkan makna tanpa adanya pengarang, teks
dan bahasa dalm suatu karya sastra. Secara ringkas persamaan dan perbedaan antara
Strukturalisme dengan Postrukturalisme adalah. Persamaannya; memandang struktur (unsurunsur dan mekanisme antarhubungan) sebagai masalah utama, dan Perbedaannya;
strukturalisme memandang antarunsur dan mekanisme hubungan yang relatif stabil, bahkan
statis, sedangkan postrukturalisme memandang model hubungan tersebut bersifat labil dan
dinamis.