ETIKA PRODUKSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

A.ETIKA PRODUKSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Sistem produksi dalam suatu negara Islam harus dikendalikan oleh kriteria objektif dan subjektif;
kriteria yang objektif akan tercermin dalam bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari segi
uang, dan kriteria subjektif dalam bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari segi etika
ekonomi yang didasarkan atas perintah-perintah kitab
suci Al Qur’an dan Sunnah.
Bagi Islam, memproduksi sesuatu bukanlah sekedar untuk dikonsumsi sendiri atau dijual ke
pasar. Dua motivasi itu belum cukup karena masih terbatas pada fungsi ekonomi. Islam
menekankan bahwa setiap kegiatan produksi harus pula mewujudkan fungsi sosial (Q.S. Al
Hadid (57): 7). Tujuan dari kegiatan produksi mencapai dua hal pokok pada tingkat pribadi
muslim dan umat Islam adalah :
a. a.Memenuhi kebutuhan setiap individu. Di dalam ekonomi Islam kegiatan produksi
menjadi sesuatu yang unik dan istimewa sebab di dalamnya terdapat faktor itqan
(profesionalitas) yang dicintai Allah dan ihsan yang diwajibkan Allah atas segala sesuatu.
Pada tingkat pribadi muslim, tujuannya adalah merealisasi pemenuhan kebutuhan
baginya.
b. b.Merealisasikan kemandirian umat, hendaknya umat memiliki berbagai kemampuan,
keahlian dan prasarana yang memungkinkan terpenuhinya kebutuhan material dan
spiritual. Dalam upaya merealisasikan pemenuhan kebutuhan umat ada beberapa hal yang
perlu dilakukan, yaitu :
1. Melakukan perencanaan. Perencanaan yang dilakukan

seperti disyari’atkan oleh Nabi Yusuf adalah selama 15 tahun. Perencanaannya mencakup
produksi, penyimpanan, pengeluaran dan distribusi.
2. Mempersiapkan sumberdaya manusia dan pembagian tugas yang baik.
3. Memperlakukan sumber daya alam dengan baik.
4. Keragaman produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan umat.
5. Mengoptimalkan fungsi kekayaan berupa mata uang.

Al Qur’an dan hadits memberikan arahan tentang prinsip-prinsip produksi :
a. Tugas manusia di muka bumi sebagai khalifah adalah memakmurkan bumi dengan ilmu
dan amalnya
b. Islam selalu mendorong kemajuan di bidang produksi melalui penelitian, eksperimen dan
perhitungan dalam proses pengambangan produksi.
c. Teknik produksi diserahkan kepada keinginan dan kemampuan manusia.
d. Dalam berinovasi dan bereksperimen prinsipnya Islam menyukai kemudahan,
menghindari mudharat dan memaksimalkan manfaat. Adapun kaidah-kaidah dalam
berproduksi adalah:
1. Memproduksi barang dan jasa yang halal pada setiap tahapan produksi.
2. Mencegah kerusakan di muka bumi, termasuk membatasi polusi, memelihara keserasian,
dan ketersediaan sumber daya alam.
3. Produksi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat serta

mencapai kemakmuran. Kebutuhan yang harus dipenuhi harus berdasarkan prioritas yang

4.
5.
a.
b.
c.

d.
e.

ditetapkan agama yaitu terkait dengan kebutuhan untuk tegaknya akidah/agama,
terpeliharanya nyawa, akal dan keturunan/kehormatan serta kemakmuran material.
Produksi dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari tujuan kemandirian umat.
Meningkatkan kualitas sumber daya manusia baik kualitas spiritual, mental dan fisik.
Etika dalam berproduksi yaitu sebagai berikut:
Peringatan Allah akan kekayaan alam.
Berproduksi dalam lingkaran yang Halal. Sendi utamanya dalam berproduksi adalah
bekerja, berusaha bahkan dalam proses yang memproduk barang dan jasa yang toyyib,
termasuk dalam menentukan target yang harus dihasilkan dalam berproduksi.

Etika mengelola sumber daya alam dalam berproduksi dimaknai sebagai proses
menciptakan kekayaan dengan memanfaatkan sumber daya alam harus bersandarkan visi
penciptaan alam ini dan seiring dengan visi penciptaan manusia yaitu sebagai rahmat bagi
seluruh alam.
Etika dalam berproduksi memanfaatkan kekayaan alam juga sangat tergantung dari nilainilai sikap manusia, nilai pengetahuan, dan keterampilan. Dan bekerja
sebagai sendi utama produksi yang harus dilandasi dengan ilmu dan syari’ah islam.
Khalifah di muka bumi tidak hanya berdasarkan pada aktivitas menghasilkan daya guna
suatu barang saja melainkan Bekerja dilakukan dengan motif kemaslahatan untuk
mencari keridhaan Allah Swt.

B.ETIKA KONSUMSI DALAM ISLAM
Salah satu persoalan penting dalam kajian ekonomi Islam ialah masalah konsumsi.
Konsumsi berperan sebagai pilar dalam kegiatan ekonomi seseorang (individu), perusahaan
maupun negara. konsumsi secara umum diformulasikan dengan : ”Pemakaian dan
penggunaan barang –barang dan jasa, seperti pakaian, makanan, minuman, rumah, peralatan
rumah tangga, kenderaan, alat-alat hiburan, media cetak dan elektronik, jasa
telephon, jasa konsultasi hukum, belajar/ kursus, dsb”.
Berangkat dari pengertian ini, maka dapat dipahami bahwa konsumsi sebenarnya tidak
identik dengan makan dan minum dalam istilah teknis sehari-hari; akan tetapi juga meliputi
pemanfaatan atau pendayagunaan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia. Namun, karena yang

paling penting dan umum dikenal masyarakat luas tentang aktivitas konsumsi adalah makan dan
minum, maka tidaklah mengherankan jika konsumsi sering diidentikkan dengan makan dan
minum. Tujuan konsumsi dalam Islam adalah untuk mewujudkan maslahah duniawi dan
ukhrawi. Maslahah duniawi ialah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, seperti makanan,
minuman, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan (akal). Kemaslahatan akhirat ialah
terlaksanaya kewajiban agama seperti shalat dan haji. Artinya, manusia makan dan minum agar
bisa beribadah kepada Allah. Manusia berpakaian untuk menutup aurat agar bisa shalat, haji,
bergaul sosial dan terhindar dari perbuatan mesum (nasab)
Sebagaimana disebut di atas, banyak ayat dan hadits yang berbicara tentang
konsumsi, di antaranya Surat al A’raf ayat 31. Ayat ini tidak saja membicarakan konsumsi
makanan dan minuman, tetapi juga pakaian. Bahkan pada ayat selanjutnya (ayat 33) dibicarakan
tentang perhiasan.

Prinsip-prinsip Konsumsi
Menurut Abdul Mannan bahwa perintah Islam mengenai konsumsi dikendalikan oleh lima
prinsip, yaitu:
a. Prinsip Keadilan
b. Prinsip Kebersihan
c. Prinsip Kesederhanaan
d. Prinsip Kemurahan Hati

e. Prinsip Moralitas.
Etika Konsumsi
Etika konsumsi menurut Naqvi adalah sebagai berikut:
a.Tauhid (Unity/ Kesatuan)
Karakteristik utama dan pokok dalam Islam adalah “tauhid” yang menurut Qardhawi dibagi
menjadi dua kriteria, yaitu
rubaniyyah gayah
(tujuan) dan
wijhah
(sudut pandang). Kriteria pertama menunjukkan maksud bahwa tujuan akhir dan sasaran Islam
adalah menjaga hubungan baik dan mencapai ridha-Nya. Sehingga pengabdian kepada Allah
merupakan tujuan akhir, sasaran, puncak cita-cita, usaha dan kerja keras manusia dalam
kehidupan yang fana ini. Kriteria kedua adalah
rabbani yang masdar
(sumber hukum) dan
manhaj
(sistem). Kriteria ini merupakan suatu sistem yang ditetapkan untuk mencapai sasaran dan tujuan
puncak (kriteria pertama) yang bersumber alQur’an dan Hadits
Rasul.
b.Adil

(Equilibrium/ Keadilan)
Khursid Ahmad mengatakan, kata
‘adl
dapat diartikan seimbang
(balance)
dan setimbang
(equlibrium).
Atas sebab dasar itu ia menyebutkan konsep
al‘adl
dalam prespektif Islam adalah
keadilan Ilahi.
Salah satu manifestasi keadilan menurut alQur’an adalah kesejahteraan. Keadilan akan mengantarkan manusia
kepada ketaqwaan, dan ketaqwaan akan menghasilkan kesejahteraan bagi manusia itu sendiri.
c.Free Will (Kehendak Bebas)

Manusia merupakan makhluk yang berkehendak bebas namun kebebasan ini tidaklah berarti
bahwa manusia terlepas dari qadha dan qadar yang merupakan hukum sebab-akibat yang
didasarkan pada pengetahuan dan kehendak Tuhan.
d.Amanah (Responsibility/ Pertanggungjawaban)
Etika dari kehendak bebas adalah pertanggungjawaban. Dengan kata lain, setelah manusia

melakukan perbuatan maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dengan demikian
prinsip tanggung jawab merupakan suatu hubungan logis dengan adanya prinsip kehendak
bebas.
e.Halal Kehalalan adalah salah satu kendala untuk memperoleh maksimalisasi kegunaan
konsumsi salam kerangka Ekonomi Islam. Kehalalan suatu barang konsumsi merupakan
antisipasi dari adanya keburukan yang ditimbulkan oleh barang tersebut.
f.Sederhana Sederhana dalam konsumsi mempunyai arti jalan tengah dalam berkomunikasi.
Diantara dua cara hidup yang
ekstrim
antara paham materilialistis dan
zuhud.
Ajaran alQur’an menegaskan bahwa dalam berkonsumsi manusia dianjurkan
untuk tidak boros dan tidak kikir.

C.ETIKA DISTRIBUSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
System ekonomi yang berbasis Islam menghandaki bahwa dalam hal pendistribusian harus
berdasarkan dua sendi, yaitu
sendi kebebasan dan keadilan kepemilikan
. Kebebasan disini adalah kebebasan dalam bertindak yang di bingkai oleh nilai-nilai agama dan
keadilan tidak seperti pemahaman kaum kapitalis yang menyatakannya sebagai tindakan

membebaskan manusia untuk berbuat dan bertindak tanpa campur tangan pihak mana pun, tetapi
sebagai
keseimbangan antara individu dengan unsur materi dan spiritual yang dimilikinya,
keseimbangan antara individu dan masyarakat serta antara suatu masyarakat dengan masyarakat
lainnya. Keberadilan dalam pendistribusian ini tercermin dari larangan dalam alqur’an agar
supaya harta kekayaan tidak diperbolehkan menjadi barang dagangan yang hanya beredar
diantara orang-orang kaya saja, akan tetapi diharapkan dapat memberi kontribusi kepada
kesejahteraan masyarakat sebagai suatu keseluruhan (59:7). Dalam system ekonomi kapitalis
bahwa kemiskinan dapat diselesaikan dengan cara menaikkan tingkat produksi dan
meningkatkan pendapatan nasional (national income) adalah teori yang tidak dapat dibenarkan
dan bahkan kemiskinan menjadi salah satu produk
dari sistem ekonomi kapitalistik yang melahirkan pola distribusi kekayaan secara tidak adil Fakta
empirik menunjukkan, bahwa bukan karena tidak ada makanan yang membuat rakyat menderita
kelaparan melainkan buruknya distribusi makanan (Ismail Yusanto). Mustafa E Nasution pun

menjelaskan bahwa berbagai krisis yang melanda perekonomian dunia yang menyangkut sistem
ekonomi kapitalis dewasa ini telah memperburuk tingkat kemiskinan serta pola pembagian
pendapatan di dalam perekonomian negara-negara yang ada, lebih-lebih lagi keadaan
perekonomian di negara-negara Islam
Urgensi dan Tujuan Distribusi

Islam sangat mendukung pertukaran barang dan menganggapnya produktif dan mendukung para
pedangang yangg berjaln di muka bumi mencari sebagian dari karunia Allah, dan membolehkan
orang memiliki modal untuk berdagang, tapi ia tetap berusaha agar pertukaran barang itu
berjalan atas prinsip-prinsip sebagai berikut: a. Tetap mengumpulkan antara kepentingan
individu dan kepentingan masyarakat. b. Antara dua penyelenggara muamalat tetap ada keadilan
dan harus tetap ada kebebasan ijab kabul dalam akad-akad. c. Tetap berpengaruhnya rasa cinta
dan lemah lembut. d. Jelas dan jauh dari perselisihan.
Tujuan Distribusi dalam Ekonomi Islam
a. Tujuan Dakwah, yakni dakwah kepada Islam dan menyatukan hati kepadanya. b. Tujuan
Pendidikan, tujuan pendidikan dalam distribusi adalah seperti dalam surah at-Taubah ayat 103
yang bermaksud menjadikan insan yang berakhlak karimah. c. Tujuan sosial, yakni memenuhi
kebutuhan masyarakat serta keadilan dalam distribusi sehingga tidak terjadi kerusuhan dan
perkelahian. d. Tujuan Ekonomi, yakni pengembangan harta dan pembersihannya,
memberdayakan SDM, kesejahteraan ekonomi dan penggunaan terbaik dalam menempatkan
sesuatu.
Etika Distribusi
a. Selalu menghiasi amal dengan niat ibadah dan ikhlas. b. Transfaran, dan barangnya halal serta
tidak membahayakan. c. Adil, dan tidak mengerjakan hal-hal yang dilarang di dalam Islam. d.
Tolong menolong, toleransi dan sedekah.
e. Tidak melakukan pameran barang yang menimbulkan persepsi. f. Tidak pernah lalai ibadah

karena kegiatan distribusi g. Larangan Ikhtikar, ikhtikar dilarang karena akan menyebabkan
kenaikan harga. h. Mencari keuntungan yang wajar. Maksudnya kita dilarang mencari
keuntungan yang semaksimal mugkin yang biasanya hanya mementingkan pribadi sendiri tanpa
memikirkan orang lain. i. Distribusi kekayaan yang meluas, Islam mencegah penumpukan
kekayaan pada kelompok kecil dan menganjurkan distribusi kekayaan kepada seluruh lapisan
masyarakat. j. Kesamaan Sosial, maksudnya dalam pendistribusian tidak ada diskriminasi atau
berkasta-kasta, semuanya sama dalam mendapatkan ekonomi
D.
IMPLEMENTASI ETIKA ISLAM DALAM DUNIA BISNIS
Dalam kaitannya dengan paradigma Islam tetntang etika bisnis, maka landasan filosofis yang
harus dibangun dalam pribadi Muslim adalah adanya konsepsi hubungan manusia dengan
manusia dan lingkungannya, serta hubungan manusia dengan Tuhannya, yang dalam bahasa
agama dikenal dengan istilah (hablum minallah wa hablumminannas). Dengan berpegang pada
landasan ini maka setiap muslim yang berbisnis atau beraktifitas apapun akan merasa ada
kehadiran "pihak ketiga" (Tuhan) di setiap aspek hidupnya. Keyakinan ini harus menjadi bagian
integral dari setiap muslim dalam berbisnis. Hal ini karena Bisnis dalam Islam tisak semata mata
orientasi dunia tetapi harus punya visi akhirat yang jelas. Dengan kerangka pemikiran seperti
itulah maka persoalan etika dalam bisnis menjadi sorotan penting dalam ekonomi Islam. Dalam
ekonomi Islam, bisnis dan etika tidak harus dipandang sebagai dua hal yang bertentangan, sebab,
bisnis yang merupakan symbol dari urusan duniawi juga dianggap sebagai bagian integral dari


hal-hal yang bersifat investasi akherat. Artinya, jika oreientasi bisnis dan upaya investasi akhirat
(diniatkan sebagai ibadah dan merupakan totalitas kepatuhan kepada Tuhan), maka bisnis dengan
sendirinya harus sejalan dengan kaidah-kaidah moral yang berlandaskan keimanan kepada
akhirat. Bahkan dalam Islam, pengertian bisnis itu sendiri tidak dibatasi urusan dunia, tetapi
mencakup pula seluruh kegiatan kita didunia yang "dibisniskan" (diniatkan sebagai ibadah)
untuk
meraih keuntungan atau pahala akhirat. Pernyataan ini secara tegas di sebut dalam salah satu ayat
Al-Qur'an.
“Wahai Orang
-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan pada suatu perniagaan (bisnis) yang dapat
menyelamatkan kamu dari adzab pedih ? yaitu beriman kepada allah & Rasul-Nya dan berjihad
di jalan Allah dengan jiwa dan hartamu, itulah
yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”
Ketentuan Umum Etika Bisnis Dalam Ekonomi Islam
1. Kesatuan (
Tauhid/Unity
)

‫ا‬
‫ل‬

Dalam hal ini adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid yang memadukan
keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial menjadi
keseluruhan yang homogen, serta mementingkan konsep konsistensi dan keteraturan yang
menyeluruh. Dari konsep ini maka islam menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial
demi membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini pula maka etika dan bisnis menjadi
terpadu, vertikal maupun horisontal, membentuk suatu persamaan yang sangat penting dalam
sistem Islam. 2. Keseimbangan (
Equilibrium/Adil
) Islam sangat mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat curang
atau berlaku dzalim. Rasulullah diutus Allah untuk membangun keadilan. Kecelakaan besar bagi
orang yang berbuat curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain
meminta untuk dipenuhi, sementara kalau menakar atau menimbang untuk orang selalu
dikurangi. Kecurangan dalam berbisnis pertanda kehancuran bisnis tersebut, karena kunci
keberhasilan bisnis adalah kepercayaan. AlQur’an memerintahkan kepada
kaum muslimin untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan jangan sampai
melakukan kecurangan dalam bentuk pengurangan takaran dan timbangan.
‫اااااا‬
‫ و‬‫اااااا‬
‫ ف‬‫ واااااا‬‫اااااا‬
‫ ا‬‫اااااا‬
‫ و‬‫ اااااا‬
‫ااااااا‬
‫ ي‬‫ ااااااا‬

 ‫ا‬

‫ااااااا‬


‫ا‬‫ذ‬‫ا‬
‫م‬

‫ت‬
‫ ااااااااا‬‫ ااااااااا‬



‫ااااا ا‬
‫ و‬‫ اااااا‬ ‫ز‬‫اااااا‬
‫ و‬‫ ااااا‬



‫س‬
‫ك‬

‫ ااااااا‬ ‫ ط‬‫ ااااااا‬ ‫ ق‬‫ ااااااا‬

 ‫ ب‬‫ااااااا‬
‫ م‬‫ااااااا‬
‫ ي‬‫ااااااا‬
‫ ق‬‫ااااااا‬
‫ ت‬‫ ااااااا‬




‫ ا‬‫ ااااااا‬

‫ ااااااا‬ ‫ ا‬‫ااااااا‬
‫ ذ‬‫ ااااااا‬
‫ر‬‫ي‬‫خ‬
‫ اااا ن‬ ‫ح‬
‫ اااا‬‫ اااا و‬
‫ ي‬‫ااااااا‬
‫ و‬‫ت ااااااا‬


‫ ااااااا‬


Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang
benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya

.(Q.S. alIsra’: 35)
Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat adil,tak
terkecuali pada pihak yang tidak disukai. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat AlMaidah : 8 yang artinya : “
Hai orang-orang beriman,hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
karena Allah SWT,menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-sekali kebencianmu terhadap
suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.Berlaku adillah karena adil lebih dekat
dengan takwa
”.
3. Kehendak Bebas (
Free Will
) Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis islam, tetapi kebebasan itu tidak
merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar. Tidak adanya batasan
pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala
potensi yang dimilikinya. Kecenderungan manusia untuk terus menerus memenuhi kebutuhan
pribadinya yang tak terbatas dikendalikan dengan adanya kewajiban setiap individu terhadap
masyarakatnya melalui zakat, infak dan sedekah. 4. Tanggungjawab (
Responsibility
) Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak
menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas. untuk memenuhi tuntunan keadilan dan
kesatuan, manusia perlu mempertaggungjawabkan tindakanya secara logis prinsip ini
berhubungan erat dengan kehendak bebas. Ia menetapkan batasan mengenai apa yang bebas
dilakukan oleh manusia dengan bertanggungjawab atas semua yang dilakukannya. 5. Kebenaran:
kebajikan dan kejujuran Kebenaran dalam konteks ini selain mengandung makna kebenaran
lawan dari kesalahan, mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran. Dalam konteks
bisnis kebenaran dimaksudkan sebagia niat, sikap dan perilaku benar yang meliputi proses akad
(transaksi) proses mencari atau memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam proses
upaya

meraih atau menetapkan keuntungan. Dengan prinsip kebenaran ini maka etika bisnis Islam
sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak
yang melakukan transaksi, kerjasama atau perjanjian dalam bisnis.
Tingkatan Aplikasi Etika Bisnis Dalam Ekonomi Islam
Adapun penerapan etika bisnis dapat dilakukan pada tiga tingkatan, yaitu; individual, organisasi,
dan sistem. Pertama, pada tingkat individual, etika bisnis mempengaruhi pengambilan keputusan
seseorang atas tanggungjawab pribadinya dan kesadaran sendiri, baik sebagai penguasa maupun
manajer. Kedua, pada tingkat organisasi, seseorang sudah terikat kepada kebijakan perusahaan
dan persepsi perusahaan tentang tanggungjawab sosialnya. Ketiga, pada tingkat sistem,
seseorang menjalankan kewajiban atau tindakan berdasarkan sistem etika tertentu. Realitasnya,
para pelaku bisnis sering tidak mengindahkan etika. Nilai moral yang selaras dengan etika bisnis,
misalnya toleransi, kesetiaan, kepercayaan, persamaan, emosi atau religiusitas hanya dipegang
oleh pelaku bisnis yang kurang berhasil dalam berbisnis. Sementara para pelaku bisnis yang
sukses memegang prinsip-prinsip bisnis yang tidak bermoral, misalnya maksimalisasi laba,
agresivitas, individualitas, semangat persaingan, dan manajemen konflik.
https://id.scribd.com/document/206889124/Etika-Dalam-Perspektif-Islam