KEPEMIMPINAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM KAJI

1

KEPEMIMPINAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM: KAJIAN
TEMATIK AL-QURAN DAN HADITS
Nurul Amin, M.Ag
nurulamin@staim-tulungagung.ac.id
Ketua STAI Muhammadiyah Tulungagung
Jawa Timur – Indonesia
www.staim-tulungagung.ac.id
(Disampaikan pada Seminar Konfederasi Pembangunan
Kedamaian Masyarakat Thailand Selatan)

Pendahuluan
Manusia diciptakan oleh Allah Swt. ke muka bumi ini sebagai khalifah
(pemimpin), oleh sebab itu manusia tidak terlepas dari perannya sebagai
pemimpin yang merupakan peran sentral dalam setiap upaya pembinaan. Hal
ini telah banyak dibuktikan dan dapat dilihat dalam gerak langkah setiap
organisasi. Peran kepemimpinan begitu menentukan bahkan seringkali menjadi
ukuran dalam mencari sebab-sebab jatuh bangunnya suatu organisasi. Dalam
menyoroti pengertian dan hakekat kepemimpinan, sebenarnya dimensi
kepemimpinan memiliki aspek-aspek yang sangat luas, serta merupakan proses

yang melibatkan berbagai komponen di dalamnya dan saling mempengaruhi.
Tugas yang pokok manusia adalah beribadah kepada Allah Swt. serta
menjadi khalifah di muka bumi. Sebagai khalifah Allah, maka kelak manusia
akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Untuk itu kita
harus tahu tentang bagaimana hakekat memimpin dan kepemimpinan itu yang
tercantum dalam al-Quran dan penjelasan Rasululloh dalam kumpulan haditshaditsnya.
Kalau kita mendengar perkataan kepemimpinan dalam Islam biasanya
asosiasi pertama terarah pada “kepemimpinan tertinggi bagi umat Islam” yang
terkenal dengan sebutan khalifah, imamah, imaratul mukminin dan sebagainya.
Artinya, kepemimpinan tertinggi bagi umat Islam dalam urusan agama dan
dunia. Definisi yang populer mengenai khalifah adalah pemimpin tertinggi
dalam urusan agama dan dunia menggantikan Rasululloh Saw.

Imam al-

Mawardi dalam kitabnya al-Ahkam al-Sulthoniyah memberikan definisi

2

khilafah yaitu “Penggantian (tugas) kenabian untuk memelihara agama dan

mengatur urusan dunia”.
Dari kepemimpinan tertinggi ini, kemudian berkembang ke seluruh
aspek kehidupan manusia, sampai ke kelompok yang paling kecil, keluarga dan
individunya. Dalam hal ini, sudah barang tentu kita tidak akan membahas
masalah khalifah, suksesi pimpinan nasional dan sebagainya, akan tetapi kita
hanya akan mempelajari secara sepintas bagaimana mestinya kalau kita
kebetulan diserahi tugas untuk memimpin suatu lembaga atau organisasi.
Oleh karena itu, yang perlu kita ketahui adalah sifat-sifat pemimpin
tersebut, sehingga kita dapat meneladaninya atau memudahkan kita untuk
memilih seorang pemimpin.

Al-Quran Berbicara tentang Kepemimpinan

             

             

( ۳ ۠ : ۶‫قر‬۵‫ )ال‬  

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,

”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi”. Mereka berkata
“Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan
darah disana, sedangkan kami bertasbih, memuji-Mu, dan menyucikan namaMu?” Dia berfirman,”Sungguh Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui”(al-Baqarah:30).1
Allah Ta’ala memberitahukan ihwal pemberian karunia kepada Bani
Adam dan penghormatan kepada mereka dengan membicarakan mereka di alMala’ul A’la, sebelum mereka diadakan. Maka Allah berfirman, “Dan ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat.” Maksudnya, hai
Muhammad, ceritakanlah hal itu kepada kaummu. “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan khalifah di bumi.” Yakni, suatu kaum yang akan menggantikan
satu sama lain, kurun demi kurun, dan generasi demi generasi, sebagaimana
1

Ahmad Hatta, Tafsir Quran Perkata (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2009), 6.

3

Allah Ta’ala berfirman, “Dialah yang menjadikanmu sebagai khalifah-khalifah
di bumi.” (al-Faathir: 39).
Abdur Razaq, dari Muammar, dan dari Qatadah berkata berkaitan
dengan firman Allah, “Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi orang

yang akan membuat kerusakan padanya.” Seolah-olah Allah memberitahukan
kepada para malaikat bahwa apabila di bumi ada makhluk, maka mereka akan
membuat kerusakan dan menumpahkan darah disana. Perkataan malaikat ini
bukanlah sebagai bantahan kepada Allah sebagaimana diduga orang, karena
malaikat disifati Allah sebagai makhluk yang tidak dapat menanyakan apa pun
yang tidak diizinkan-Nya. Ibnu Juraij berkata bahwa sesungguhnya para
malaikat itu berkata menurut apa yang telah diberitahukan Allah kepadanya
ihwal keadaan penciptaan Adam. Maka malaikat berkata, “Mengapa Engkau
hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya?” Ibnu Jarir berkata, “Sebagian ulama mengatakan, ‘Sesungguhnya
malaikat mengatakan hal seperti itu, karena Allah mengizinkan mereka untuk
bertanya ihwal hal itu setelah diberitahukan kepada mereka bahwa khalifah itu
terdiri atas keturunan Adam. Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak
menjadikan orang yang akan membuat kerusakan padanya?” Sesungguhnya
mereka bermaksud mengatakan bahwa di antara keturunan Adam itu ada yang
melakukan kerusakan.
Pertanyaan itu bersifat meminta informasi dan mencari tahu ihwal
hikmah. Maka Allah berfirman sebagai jawaban atas mereka, “Allah berkata,
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” yakni Aku
mengetahui kemaslahatan yang baik dalam penciptaan spesies yang suka

melakukan kerusakan seperti yang kamu sebutkan, dan kemaslahatan itu tidak
kamu ketahui, karena Aku akan menjadikan diantara mereka para nabi, rasul,
orang-orang shaleh, dan para wali.2
Kesimpulannya, para malaikat jelas ingin mengetahui hikmah yang
terkandung dari penciptaan makhluq jenis manusia, karena jenis ini akan
2

Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid I (Jakarta: Gema
Insani Press, 1999), 103-105.

4

melakukan pertikaian selama di dunia. Para malaikat ingin pula mengetahui
rahasia yang mengakibatkan Allah mengesampingkan mereka (malaikat) yang
hanya bertasbih dan mensucikan-Nya. Kemudian Allah menjelaskan kepada
mereka bahwa Allah telah menganugerahi manusia ini suatu rahasia yang tidak
pernah diberikan kepada malaikat.3

         
            


“Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan
Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu
atas (karunia) yang diberikan-Nya, Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat
memberi hukuman dan sungguh Dia Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (al-An’am: 165)4

Sebagai penutup dari surat al-An’am, Allah mengingatkan bahwa Allah
telah menjadikan kalian sebagai penguasa di atas bumi, yang telah
menggantikan umat dan masyarakat yang sebelummu, juga Allah telah
mengangkat sebagian dari kamu beberapa derajat, setingkat dari yang lain,
kekuasaan dan ketinggian derajat itu tidak lain Allah akan menguji kalian,
bagaimana menerima, mempergunakan dan mensyukuri pemberian Tuhanmu
itu.5
Sesungguhnya Tuhanmu, Dia adalah Tuhan Segala sesuatu. Dialah
yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi ini setelah lewat umat
terdahulu, yang dalam perjalanan mereka terdapat pelajaran bagi orang yang
ingat dan memperhatikan. Demikian pula Dia telah mengangkat sebagian kamu
atas sebagian lainnya tentang kekayaan, kekafiran, kekuatan, kelemahan, ilmu,
kebodohan, agar Dia menguji kalian tentang apa yang Dia berikan kepadamu.

Artinya supaya dia memperlakukan kamu sebagai penguji terhadapmu pada
semua itu lalu dia berikan balasan atas amalmu. Sebab telah menjadi sunnah3

Ahmad Musthofa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi (Semarang: Karya Toha
Putra, 1992), 134.
4
Ahmad Hatta, Tafsir Quran Perkata (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2009), 150.
5
Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid II (Jakarta: Gema
Insani Press, 1999), 331.

5

Nya bahwa kebahagiaan manusia secara individual maupun kelompok di dunia
maupun di akhirat, atau kesengsaraan mereka di dunia dan akhirat, tergantung
pada amal dan tindakan mereka.
Untuk membuktikan bahwa bukan manusia yang melakukan reaksi itu,
Allah sekali lagi menjelaskan, “Dia meninggikan sebagian kamu dari sebagian
(yang lain) beberapa derajat.” Yakni karena adanya kekhalifahan itu kita
menjadi tidak sama, kita menjadi berbeda.

Dia Yang Maha Kuasa itu berkehendak agar kita saling melengkapi
dalam bakat dan kesempurnaan, karena kalau manusia semua persis sama
dalam bentuk yang berulang-ulang, maka kehidupan akan binasa, sebab
kebutuhan hidup manusia beragam. Ayat ini ditutup dengan menyebut satu
sifat Allah yang berkaitan dengan siksa-Nya, yaitu amat cepat siksa-Nya,
terhadap orang-orang musyrik, namun tetap Maha Pengampun terhadap orangorang mu’min yang mau bertaubat, dan Maha Pengasih terhadap orang-orang
mu’min yang baik. Sebab rahmat Allah melebihi murka-Nya dan meliputi
segala sesuatu. Oleh karena itu Dia menjadikan balasan atas kebaikan sampai
berlipat-lipat. Bahkan lebih dari itu, terkadang melipat gandakan pahala
kebaikan berlipat kali banyaknya bagi orang yang Dia kehendaki. Namun,
balasan atas keburukan Dia jadikan hanya berupa keburukan semisalnya, dan
Dia mengampuni orang yang bertaubat dari keburukan tersebut. Sesungguhnya
Allah sebaik-baik pemimpin dan sebaik-baik pemberi pertolongan.

           
             
6

(٦٢ : ‫ )ص‬     


“Wahai Daud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di
bumi, maka berilah keputusan diantara manusia dengan adil dan janganlah
engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan

6

Choiruddin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan al-Quran (Jakarta: Gema Insani Press,
2005), 8-9.

6

Allah, sungguh orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab
yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Q.S Shaad: 26).7
Ini adalah pesan dari Allah Swt. kepada para penguasa agar

memberikan keputusan diantara manusia dengan kebenaran yang telah
diturunkan dari sisi-Nya. Jika menyimpang, mereka sesat dari jalan Allah.
Sesungguhnya Allah telah menyediakan bagi orang yang sesat dan melupakan
hari perhitungan suatu siksa yang amat pedih.8
Terdapat persamaan antara ayat yang berbicara tentang Nabi Daud as.

diatas dengan ayat yang berbicara tentang pengangkatan Nabi Adam sebagai
khalifah. Kedua tokoh tersebut diangkat Allah menjadi khalifah di bumi dan
keduanya diberi pengetahuan. Keduanya pernah tergelincir dan keduanya
memohon ampun lalu diterima permohonannya oleh Allah. Sampai disini kita
dapat memperoleh dua kesimpulan. Pertama, kata khalifah digunakan al-Quran
untuk siapa yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun
terbatas. Nabi Daud mengelola wilayah Palestina dan sekitarnya, sedangkan
Nabi Adam secara potensial atau aktual mengelola bumi keseluruhannya pada
awal masa sejarah kemanusiaan. Kedua, seorang khalifah berpotensi bahkan
secara aktual dapat melakukan kekeliruan akibat mengikuti hawa nafsu. Karena
itu baik Adam maupun Daud diberi peringatan agar tidak mengikuti hawa
nafsu.9

            
              

“Katakanlah (Muhammad),”Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan
kekuasaan kepada siapapun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut
kekuasaan dari siapapun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapapun
yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan siapapun yang Engkau

kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh Engkau Maha
Kuasa atas segala sesuatu”. (Ali Imron: 26).10
7

Ahmad Hatta, Tafsir Quran Perkata (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2009), 454.
Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid IV (Jakarta: Gema
Insani Press, 1999), 69.
9
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2003), 133.
10
Ahmad Hatta, Tafsir Quran Perkata (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2009), 53.
8

7

Asbabun Nuzul:

Pada suatu hari Rasulullah berjanji kepada para sahabat bahwa suatu saat
nanti kerajaan Persia dan Romawi bakal ditaklukkan oleh umat Islam. Maka
orang-orang munafik mengejek dengan mengatakan bahwa hal tersebut adalah
tidak mungkin dan jauh dari nalar.11 Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa
Rasulullah Saw. memohon kepada Allah Swt. agar raja Romawi dan Persia
menjadi umatnya. Maka turunlah ayat tersebut di atas sebagai tuntunan dalam
berdoa mengenai hal itu.12
Ayat ini mengandung peringatan dan bimbingan untuk senantiasa
bersyukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat yang dikaruniakan-Nya kepada umat
ini berupa pengalihan kenabian dari tangan Bani Israel kepada seorang nabi yang
berbangsa Arab, suku Quraisy, dan orang Mekah; sebagai penutup seluruh nabi
dan rasul, yang diutus kepada manusia dan jin, yang diberi beberapa keistimewaan
yang tidak diberikan kepada seorangpun dari nabi dan rasul sebelumnya dari
golongan manusia di seantero alam ini; dan yang mengunggulkan agama dan
syariatnya atas agama dan syariat nabi lainnya. 13
Maksudnya bahwa Allah adalah Tuhan kami yang Maha Suci yang
kekuasaan hanya milik-Nya dan pengaturan yang sempurna di dalam mengatur
segala perkara serta menegakkan keseimbangan sunatulloh terhadap alam
semesta. Engkau memberikan kekuasaan kepada hamba-Mu yang Engkau
kehendaki dan mencabut kekuasaan dari orang yang Engkau kehendaki.14
Allah berkuasa sepenuhnya dalam mengatur segala urusan dan
menegakkan keseimbangan tatanan umum alam semesta ini. Engkaulah yang
memberikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dari hamba-hambaMu. Hal itu, kadang mengikuti derajat kenabian, seperti yang dialami oleh
11

Bishri Musthofa, Tafsir al-Ibriz (Kudus: Menara Kudus, tt), 129.
K.H.Q. Shaleh, Asbabun Nuzul (Bandung: Diponegoro, 2007), 96.
13
Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid I (Jakarta: Gema
Insani Press, 1999), 501.
14
Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz III (Beirut: Dar Ihya’ wal
Turots al-‘Azali, tt), 131.
12

8

keluarga Nabi Ibrahim, dan ada kalanya berdiri sendiri sesuai dengan
kebijaksanaan sunnah-sunnah Allah yang menuntut ke arah itu, dan mengikuti
aspek-aspek sosial yang yang terdiri dari kabilah dan bangsa-bangsa.
Dan Engkau mencabut kerajaan dari tangan orang yang Engkau kehendaki
melalui pemberontakan rakyat dari jalan wajar yang bisa memelihara kelestarian
kerajaan, yaitu jalan keadilan, kebaikan dalam mengatur politik, dan menyisipkan
kekuatan semaksimal mungkin. Hal itu, sebagaimana Allah mencabutnya dari
Bani Israel dan lainnya lantaran kezhaliman dan kerusakan mereka sendiri.15
Dari beberapa ayat tersebut di atas menjadi jelas, bahwa konsep khalifah
dimulai sejak Nabi Adam secara personil yaitu memimpin dirinya sendiri, dan ini
menunjukkan bahwa kepemimpinan dalam Islam juga mencakup memimpin
dirinya

sendiri

yakni

mengarahkan

diri

sendiri

ke

arah

kebaikan.

Disamping memimpin diri sendiri, konsep khalifah juga berlaku dalam memimpin
umat, hal ini dapat dilihat dari diangkatnya Nabi Daud sebagai khalifah.
Konsep khalifah di sini mempunyai syarat antara lain, tidak membuat kerusakan
di muka bumi, memutuskan suatu perkara secara adil dan tidak menuruti hawa
nafsunya. Allah memberi ancaman bagi khalifah yang tidak melaksanakan
perintah Allah tersebut.

Hadits Berbicara tentang Kepemimpinan



“Pemimpin adalah bayangan Allah Swt. di muka bumi. Kepadanya berlindung
orang-orang yang teraniaya dari hamba-hamba Allah, jika ia berlaku adil maka
baginya ganjaran, dan bagi rakyat hendaknya bersyukur. Sebaliknya apabila ia
curang (dhalim) maka niscaya dosalah baginya dan rakyatnya hendaknya
bersabar. Apabila para pemimpin curang maka langit tidak akan menurunkan
15

Ahmad Musthofa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi (Semarang: Karya Toha
Putra, 1992), 236.

9

berkahnya. Apabila zina merajalela, maka kefakiran dan kemiskinan pun akan
merajalela ”. (H.R. Ibnu Majah dari Abdullah bin Umar).
Dari hadits di atas Yahya mengartikan bahwa kata “bayangan Allah Swt.”

mengisyaratkan bahwa pemimpin adalah perwakilan Allah Swt. di muka bumi ini.
Dan mengisyaratkan bahwa pemimpin harus selalu dekat kepada Allah. Kata
“rakyat hendaknya bersyukur” menurutnya bahwa wujud pemimpin yang adil
adalah nikmat Allah Swt. yang patut untuk disyukuri. Dan kata “rakyat hendaknya
bersabar” mengisyaratkan bahwa kelak akan muncul pemimpin yang tak bisa
untuk memimpin.

“Sebaik-baik pemimpin diantara kalian adalah pemimpin yang kalian cintai dan
mencintai kalian, kalian mendoakannya dan merekapun mendoakan kalian, dan
seburuk-buruknya pemimpin diantara kalian adalah pemimpin yang kalian benci
dan merekapun membenci kalian, kalian melaknatnya dan merekapun melaknat
kalian”. (H.R. Muslim dari ‘Auf bin Malik).16
Hadits ini mengisyaratkan bahwa salah satu ciri pemimpin yang baik
adalah dicintai dan didoakan rakyatnya, serta ciri pemimpin yang buruk adalah
dibenci dan dilaknat oleh rakyatnya. Rasulullah Saw. adalah tauladan bagi umat
Islam dalam segala aspek kehidupan, khususnya dalam hal kepemimpinan ini
beliau adalah sosok yang mencontohkan kepemimpinan paripurna dimana
kepentingan umat adalah prioritas utama beliau. Maka sangat tepatlah apabila kita
sangat mengidealkan visi dan model kepemimpinan Nabi Muhammad Saw.17



16

Ahmad Sunarto, Terjemah Riyadhus Sholihin Jilid I (Jakarta: Pustaka Amani,
1999), 604.
17
R. Yahya, Memilih Pemimpin dalam Perspektif Islam (Jakarta: Pustaka Nawaitu,
2004), 22-24.

10

“Telah menceritakanku Abdulloh ibn Maslamah dari Malik dari Abdulloh ibn
Dinar dari Abdulloh ibn Umar bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: Setiap
kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya, seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan
akan dimintai pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang
suami
adalah
pemimpin
bagi
keluarganya
dan
akan
dimintai
pertanggungjawaban perihal keluarga yang dipimpinnya, seorang isteri adalah
pemimpin atas rumah tangga suami dan anaknya dan akan dimintai
pertanggungjawaban
atas
tugasnya,
seorang
pembantu
adalah
bertanggungjawab atas harta tuannya dan akan ditanya dari tanggungjawabnya,
dan kamu sekalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban
perihal kepemimpinannya ”. (H.R. Bukhari dan Muslim).18
Pada dasarnya hadits diatas berbicara tentang etika kepemimpinan dalam
Islam. Etika yang paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggung jawab.
Semua orang yang hidup di dunia ini disebut pemimpin. Karenanya sebagai
pemimpin mereka memegang tanggungjawab, sekurang-kurangnya terhadap
dirinya sendiri. Seorang suami bertanggungjawab terhadap isterinya, anakanaknya dan seorang majikan bertanggungjawab kepada pekerjanya, seorang
atasan bertanggungjawab kepada bawahannya, seorang presiden, gubernur, bupati
bertanggungjawab kepada rakyat yang dipimpinnya.
Akan tetapi, tanggungjawab disini bukan semata-mata bermakna
melaksanakan tugas lalu setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak ( atsar )
bagi yang dipimpin. Melainkan lebih dari itu, yang dimaksud tanggungjawab
disini adalah lebih berarti sebuah upaya pemimpin untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi pihak yang dipimpin. Karena kata ra’a sendiri secara bahasa
bermakna gembala dan kata ra-‘in berarti penggembala. Ibarat penggembala,
maka pemimpin harus merawat, memberi makan dan mencarikan tempat berteduh
binatang gembalanya. Singkatnya, seorang penggembala bertanggungjawab untuk

18

610.

Ahmad Sunarto, Terjemah Riyadhus Sholihin Jilid I (Jakarta: Pustaka Amani, 1999),

11

mensejahterakan binatang gembalanya. Dalam hadits tersebut mempunyai empat
macam arti kepemimpinan, yaitu:
1. Pertama,

ro’i.

Seorang

imam

adalah

ro’i

dan

akan

dimintai

pertanggungjawabannya. Seorang suami, isteri, dan pembantu adalah
pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya.
2. Kedua , imam. Artinya pemimpin yang selalu berada di depan. Sehingga
dalam terminologi ini, imam adalah pemimpin yang berfungsi sebagai
teladan dan sosok panutan yang membimbing bagi orang-orang yang
dipimpinnya.
3. Ketiga , khalifah. Secara terminologi artinya pengganti kepemimpinan
Rasulullah Saw. Kepemimpinan dalam terminologi khalifah juga berarti
menyiapkan kepemimpinan berikutnya sesuai dengan aturan syari’ah demi
tercapainya kemaslahatan dunia dan ukhrowi.
4. Keempat, amir. Artinya pemerintah, kita wajib menaati seorang pemimpin
apapun

warna kulitnya, bentuk rupanya, kaya atau miskin, selama

pemimpin itu berada dalam bimbingan Allah Swt. Ketaatan kepada
pemimpin adalah satu pilar pemerintahan dalam Islam. Umar bin Khattab
berkata, “Tidak ada arti Islam tanpa jamaah, tidak ada arti jamaah tanpa
amir/pemimpin, dan tidak ada arti pemimpin tanpa kepatuhan.” Seorang
pemimpin memang harus

memiliki keistimewaan, cerdas, berakhlaq

mulia, dan bermental baja. Namun, itu semua tidak ada artinya tanpa
adanya loyalitas dari rakyatnya. 19



“Dari Mu’qil bin Yasar, ia berkata,”Aku pernah mendengar Rasululloh Saw.
bersabda: “Siapapun hamba yang diberi wewenang oleh Allah untuk
membimbing rakyatnya, namun kebijakannya tidak mampu menjaga mereka (dari
19

E. Sujana, Visi Pemimpin Masa Depan: Menggagas Politik Berkeadilan (Bandung:
Marja’, 2003), 30-33.

12

perbuatan keji) maka kelak dia tidak akan mendapatkan bau surga.”Disebutkan
dalam sebuah riwayat,”Siapapun wali itu yang membawahi rakyatnya yang
terdiri dari kaum muslimin kemudian mati, sedangkan pada hari kematiannya itu
ia masih menipu rakyatnya niscaya Allah akan mengharamkan surga atasnya ”.
(H.R Bukhari dan Muslim).20

Rakyat adalah amanat yang berada di tangan pemimpin yang harus ia jaga,
harus ia layani, dan harus pula ia berdayakan demi kemaslahatan mereka.
Siapapun orang yang oleh Allah diberi wewenang untuk mengatur kehidupan
manusia maka ia harus menjaga mereka dengan kebijakannya dan dengan hati
yang tulus mengatur mereka, sehingga semua kepentingan mereka tetap terjaga
seperti halnya kepentingan dirinya sendiri. Karena ia menuntut untuk
diperlakukan secara adil dan apa adanya maka kepada merekapun ia harus berlaku
adil dan bermuamalah dengan apa adanya juga. Karena ia mencintai kesehatan,
keberhati-hatian, ilmu dan kekayaan maka kepada merekapun ia harus
memberlakukan cara hidup yang terjauh dari segala macam penyakit, menjaga
mereka dari bahaya yang mengancam, mendirikan pusat-pusat pembelajaran serta
menciptakan

sarana-sarananya,

dan

mengalokasikan

kekayaannya

untuk

meningkatkan mutu wiraswasta, mendirikan jaringan perdagangan, dan
mengintensifikasi pertanian. Merasa senang karena jiwa, harta dan kehormatannya
dalam suasana aman, maka kepada merekapun ia harus menjaga jiwa mereka,
memperhatikan harta mereka dan menjamin kehormatan mereka. Tangan-tangam
penghancur yang hendak mengacaukan tatanan harus dipukul dengan tangan besi
yang tujuannya semata-mata untuk mendidik. Karena senang dirinya diperlakukan
dengan santun dan mulia maka ia pun harus berbuat untuk memuliakan,
mengangkat dan menyantuni mereka.
Rasulullah kemudian menjelaskan bahwa orang yang tidak menjaga
rakyatnya dengan kebajikannya dan tidak melindungi mereka dengan kata-kata
dan amal perbuatannya, tapi justru menjadi seorang hakim yang jatuh
martabatnya, wali yang dzalim dan pemimpin yang curang, yang hanya menghiasi
bibirnya dengan kemanisan sementara hatinya penuh dengan kebusukan,
20

604.

Ahmad Sunarto, Terjemah Riyadhus Sholihin Jilid I (Jakarta: Pustaka Amani, 1999),

13

menunjukkan

kesungguhan

kepada

masyarakat

dalam

memperjuangkan

kemaslahatan sementara di hatinya menyimpan niat-niat yang menghancurkannya,
menampakkan diri sebagai seorang yang ahli ibadah dan berpantang terhadap
segala kekejian namun dibalik itu semua kenyataannya bahwa ia adalah seorang
penipu dan musuh yang licik, bila tidak ia hentikan sampai kematian
menjemputnya, maka Allah akan mengharamkan surga atasnya bahkan tidak akan
mencium baunya yang merebak kemana-mana itu; tempatnya adalah di neraka;
bahwa orang-orang yang dzalim itu tidak akan mendapatkan satu penolong pun.
Ini adalah sebuah ancaman yang sangat keras dan adzab yang pedih.
Sesungguhnya, semua itu benar adanya, memenuhi persyaratan hukum dan
merupakan keputusan yang adil. Orang yang menipu beribu-ribu bahkan berjutajuta orang, membuat mereka terhina selama berpuluh-puluh tahun dan
menghalangi mereka untuk menikmati kehidupan dunia maka ia akan
menanggung adzab yang berlipat-lipat; dan sekali-kali tidaklah Rabmu
menganiaya hamba-hambanya.21

“Rasulullah Saw. bersabda tentang kepemimpinan: Bahwasanya kepemimpinan
adalah suatu amanat. Dan amanat itu pada hari kiamat adalah suatu kesedihan
kecuali orang yang mengambil hak dan melaksanakan kewajibannya ”. (H.R.
Muslim).

“Apabila kamu menyia-nyiakan amanat, maka tunggulah waktunya, ada sahabat
yang bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang disia-siakan itu?” Nabi
menjawab:”Apabila urusan itu diberikan kepada orang yang bukan haknya, maka
tunggulah waktunya”. (H.R. Bukhari).22
Sababul Wurud:

21

Abdul Qadir Ahmad Atha, Adabun Nabi (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1992),

243-245.
22

Asyhari Marzuqi, Wawasan Islam (Yogyakarta: LP2M Nurul Ummah, 1998), 46-47.

14

Kata Abu Hurairah, ketika Rasulullah berada di dalam masjid bercakapcakap dengan sekumpulan orang, datanglah seorang Arab desa, kemudian ia
bertanya:”Kapan

saat

(kehancuran)

itu

datangnya?

“Namun

Rasulullah

meneruskan percakapannya sehingga sebagian mereka berbisik-bisik: ”Beliau
mendengar apa yang dikatakan orang itu, tetapi beliau membenci apa yang
ditanyakan kepadanya”. Sebagian mereka mengatakan, bahwa Rasulullah tidak
mendengarnya. Setelah selesai percakapannya, Rasulullah bertanya:”Siapa yang
bertanya tentang saat?”. “Ini saya ya Rasulullah”. Sabda Rasulullah:”Jika amanah
hilang, maka nantikanlah saatnya”. Mereka bertanya:”Bagaimana hilangnya?”.
Jawab Rasulullah: ”Jika urusan itu diserahkan kepada yang bukan ahlinya…dan
seterusnya”.
Keterangan:

Khianat terhadap amanah, termasuk menyerahkan urusan kepada yang
bukan ahlinya. Sehingga timbullah kerusakan-kerusakan di tengah masyarakat.
Dan ini merupakan tanda akan dekatnya saat-saat kehancuran.

“Ya Allah, barang siapa yang mengendalikan urusan umatku mengenai sesuatu
hal, lalu ia menyulitkan urusan mereka (kasar), maka timbulkan pula kesulitan
atas dirinya, dan barang siapa yang mengendalikan urusan umatku suatu hal,
lalu mereka memperlakukan dengan lemah lembut, maka perlakukan pula ia
dengan lemah lembut”.23
Sababul Wurud:

Ibnu Syamamah masuk ke rumah Aisyah. Lalu istri Rasulullah Saw. itu
bertanya: “Dari mana (dari suku apa) kamu berasal? Dia menjawab:”Dari suku
(bani) Mudhar. Aisyah bertanya lagi: Bagaimana kesanmu tentang Ibnu Khudaij
dalam peperanganmu? Ia menjawab: “Dia adalah pemimpin yang terbaik. Tetapi
Aisyah mengatakan yang sebaliknya: “Dia tidak mencegahku membunuh
saudaraku. Akan aku ceritakan kepadamu apa yang pernah aku dengar dari
23

605.

Ahmad Sunarto, Terjemah Riyadhus Sholihin Jilid I (Jakarta: Pustaka Amani, 1999),

15

Rasulullah Saw.: “Ya Allah, barang siapa yang mengendalikan urusan umatku…
dan seterusnya seperti bunyi hadits diatas”.
Keterangan:

Yang mengendalikan urusan umatku (Islam) itu bisa orang-orang yang
terkena seruan masuk Islam tetapi menolaknya (ummatul ijabah) atau orang-orang
yang memperkenankan seruan dakwah Nabi (ummatul dakwah), karena risalah
Rosul adalah sebagai rahmat untuk sekalian manusia, guna mewujudkan keadilan
di muka bumi ini. Maka siapa yang berkuasa mengendalikan urusan umat Islam,
baik dalam kedudukannya sebagai amir (gubernur), khalifah, kepala negara atau
pemimpin rakyat dalam bidang tugas tertentu, lalu dia bebankan rakyatnya dan
menjalankan pemerintahan itu dengan hal-hal yang menimbulkan kesulitan bagi
mereka, maka Nabi mendoakan supaya sang pemimpin itu ditimpa siksa Tuhan.
Sebaliknya barang siapa yang menjadi pemimpin dan bertindak dengan lemah
lembut (ramah-tamah), maka Nabi mendoakan mudah-mudahan Tuhan juga
lemah lembut terhadap dirinya. Dialah yang mengendalikan setiap pemimpin
yang harus bertanggung jawab kepada-Nya sepanjang yang diketahui oleh
pemimpin itu.

“Jihad yang paling utama adalah (menyampaikan) kalimat yang benar di
hadapan penguasa yang dzalim.”
Sababul Wurud:

Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Umamah al-Bahili r.a. bahwa seorang
laki-laki datang menghadap Rasulullah Saw. ketika ia melontar jumrah pertama.
Lalu ia bertanya: “Ya Rasulullah, apakah jihad yang paling utama? Beliau
mendiamkan saja (tidak menjawab). Selesai melontar jumrah kedua, laki-laki itu
bertanya lagi seperti tadi. Beliau tetap tidak menjawabnya. Setelah selesai
melontar jumrah yang ketiga, laki-laki itu meletakkan kakinya ke dalam kaki
pelana kendaraannya dan siap berangkat. Nabi bersabda:”Mana orang yang
bertanya tadi? Laki-laki itu menjawab: Saya ya Rasulullah! Beliau bersabda: Jihad

16

yang paling utama adalah menyampaikan kalimat yang benar di hadapan
penguasa yang dzalim”.

Keterangan:

Menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang dzalim itu dipandang
sebagai jihad yang paling utama, oleh karena orang yang menyampaikannya itu
telah merelakan dirinya menanggung bahaya (resiko) pada jalan yang benar dan
ingin mewujudkan kebenaran itu.

“Sesungguhnya kamu akan menginginkan sekali pangkat (dalam pemerintahan),
dan sesungguhnya kamu akan menyesal dan sedih (karena gila pangkat). Maka
sebaik-baiknya adalah wanita yang menyusui dan yang sejaha t-jahatnya wanita
yang menyapih”.
Sababul Wurud:

Abu Hurairoh menceritakan, aku pernah bertanya kepada Rasulullah Saw:
”Wahai Rasulullah, kenapa engkau tidak mengangkatku untuk memangku suatu
jabatan?” Rasulullah Saw. menjawab seperti bunyi hadits diatas.
Keterangan:

Khilafah atau imaroh (jabatan dalam pemerintahan) menimbulkan
kesedihan/penyesalan di hari kiamat bagi orang yang menjalankan fungsi khalifah
itu dengan mengabaikan (tidak memperdulikan sunah Rasulullah) dan sunah
khulafa’ur rasyidin. Maka nikmatnya menduduki jabatan pemerintahan itu
hanyalah pada permulaannya, yakni di dunia ini, karena dapat memamerkan harta
dan pangkat, serta kelezatan kepuasan. Oleh sebab itu disebut dengan kiasan
dalam hadits di atas dengan ungkapan”nikmatnya wanita yang menyusui”. Tetapi
ketika pangkat itu dilepaskan, waktu itulah dirasakan pahitnya, yaitu ketika
datangnya kematian. Rasulullah melukiskan dengan ungkapan “sejahat-jahatnya
wanita yang menyapih”. Disaat yang bersangkutan diperiksa segala perbuatannya
dan bertanggungjawab atas adanya orang yang lapar, yang miskin dengan pakaian

17

compang-camping, dan yang teraniaya. Demikian pula diperiksa mengenai harta
yang dia peroleh. Untuk apa dibelanjakan, dan bagian-bagian yang berhak
memperoleh perbelanjaan (dari negara). Bila ia melaksanakan dengan baik, maka
kebaikanlah yang akan diperolehnya. Kalau dia dilalaikan oleh dunia dan selalu
sibuk sehingga lupa mengingat akherat, maka keadaannya seperti bayi yang baru
lepas dari penyapihan ibunya.

“Akan ada setelah aku nanti pemimpin-pemimpin. Janganlah engkau
membenarkan kedustaan mereka dan janganlah engkau membantu mereka dalam
kedzaliman. Barang siapa membenarkan kedustaan mereka dan membantu
kedzalimannya, dia tidak akan sampai ke telaga ”.
Sababul Wurud:

Diriwayatkan dalam al-Jami’ul Kabir dari Khabab bahwa dia pernah
duduk-duduk di pintu rumah Nabi sampai beliau keluar. Kata beliau:
“Dengarlah!”, Jawab kami, “Kami dengar ya Rasulullah!”. Beliaupun bersabda:
“Akan ada setelah aku nanti…….dan seterusnya.”

“Barangsiapa dari pemimpin (pemerintah) yang menyuruh kamu mengerjakan
maksiat maka janganlah kamu taati perintahnya. ”
Sababul Wurud:

Abu Said al-Khudry menceritakan: “Kami berada dalam perjalanan
ekspedisi militer (sariyah) yang dipimpin Abdulloh ibnu Hudzafah yaitu seorang
yang pernah ikut perang Badar. Dalam perjalanan itu kami mengadakan sejenis
permainan (du’aabah). Maka kami singgah di suatu tempat. Orang-orangpun
bangun dari tidurnya dan mulai menyalakan api unggun. Abu Hudzafah
mengajukan pertanyaan: “Bukankah kalian harus mendengar dan mentaatiku?
Mereka menjawab: Ya! Abu Hudzafah memerintahkan: Sesungguhnya aku
memerintahkan kamu terjun ke dalam api unggun itu. Maka orang-orangpun

18

berdiri mendekat ke api unggun tersebut, sedangkan yang lain berusaha
mencegahnya, sehingga sebagian mereka menyangka bahwa orang-orang tersebut
benar-benar hendak terjun ke dalam api. Maka Abu Hudzafah berteriak:
“Tahanlah (berhentilah), karena sesungguhnya aku hanya ingin bercanda dengan
kamu”. Setelah mereka sampai di Madinah mereka ceritakan hal itu kepada
Rasulullah Saw. Maka beliau bersabda: Barangsiapa dari pemimpin (pemerintah)
menyuruh kamu…..dan seterusnya.”
Keterangan:

Maksud hadits tersebut adalah barangsiapa para wali (pemimpin) yang
memerintahkan berbuat durhaka terhadap agama, maka tidak ada hak bagi
pemimpin tersebut untuk ditaati terhadap apa yang dia perintahkan. Tidak ada
kewajiban taat terhadap makhluq (manusia) yang menyuruh durhaka kepada
Tuhan Sang Pencipta. Allah lebih berhak kamu mencari keridlaan-Nya. Jika kamu
mendurhakai Allah maka tiada arti kamu taat kepadaku.

“Hai Abu Dzar, sesungguhnya engkau orang yang lemah, sedangkan (pekerjaan)
itu suatu kepercayaan (amanah), dan sesungguhnya pada hari kiamat karena
menyia-nyiakan amanah itu suatu kehinaan dan penyesalan kecuali barangsiapa
yang mengambilnya dengan menjalankan haknya dan menunaikan sesuatu
(kewajiban) yang terdapat dalam amanah itu.24
Sababul Wurud:

Abu Dzar berkata: “Aku meminta kepada Rasulullah Saw., wahai
Rasulullah apakah tiada engkau dapat memberikan suatu pekerjaan (jabatan)?”
Beliau menjawab: Hai Abu Dzar ……dst, hadits di atas.
Keterangan:

Hadits tersebut menunjukkan bahwa suatu jabatan/urusan yang diserahkan
kepada seseorang (imaroh) merupakan amanah, dan tiada sepatutnya seseorang

24

619.

Ahmad Sunarto, Terjemah Riyadhus Sholihin Jilid I (Jakarta: Pustaka Amani, 1999),

19

menuntut atau mencarinya melainkan jika dia memiliki kecakapan (kesanggupan)
melaksanakannya.

“Tidak akan memperoleh keberhasilan suatu kaum yang menyerahkan
(kepemimpinan) urusannya kepada wanita.”
Sababul Wurud:

Dari Abi Bakrah, ia berkata: “Ketika sampai berita kepada Rasulullah
bahwa penduduk Persi telah mengangkat Putri Kisra sebagai Raja, Rasulullah
bersabda: Tidak akan memperoleh keberhasilan…..dst.
Keterangan:

Hadits ini menerangkan tentang persyaratan menjadi Hakim atau penguasa
yakni harus seorang laki-laki, sebab untuk wanita bukan bidangnya disebabkan
banyaknya kekurangan dan kelemahannya. Sebab pemimpin diperintahkan untuk
melaksanakan urusan dan kepentingan rakyat dengan penuh ketegasan dan
ketegaran. Dia harus berbaur dengan semua jenis dan lapisan, sedangkan wanita
punya keterbatasan-keterbatasan. Oleh karena itu wanita tidak dibenarkan menjadi
kepala pemerintahan, dan tidak boleh menjadi kepala Hakim (qadli).25

Sifat-Sifat Pemimpin
Sebelum disebutkan sifat-sifat pemimpin, perlu disampaikan disini apa
yang pernah disampaikan Ibnu Taimiyah dalam al-Siyasah al-Syar’iyyah: “Setiap
orang yang memegang satu urusan dari kaum muslimin, baik yang telah
disebutkan atau lainnya, wajib menempatkan orang-orang yang paling baik
(mampu) pada bidang tersebut pada bidang-bidang yang ada di bawahnya.”
Hal ini berdasarkan pada hadits riwayat Imam al-Hakim:

25

Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi al-Damsyiqi, Asbabul Wurud (Jakarta: Kalam
Mulia, 2008), 267.

20

“Barang siapa memegang satu urusan kaum muslimin, kemudian ia mengangkat
seseorang (untuk suatu jabatan) padahal dia mendapatkan orang yang lebih
maslahat (untuk jabatan itu), maka berarti dia telah mengkhianati Allah dan
Rasul-Nya.
Mengenai sifat-sifat atau syarat-syarat pemimpin tertinggi umat Islam
banyak sekali uraian para ulama. Misalnya dapat disebutkan disini apa yang
disampaikan oleh Imam al-Mawardi dalam kitabnya al-Ahkam al-Shulthaniyah
bahwa seorang pemimpin haruslah orang yang adil, mampu berijtihad, sehat jiwa
dan sehat badan, mengutamakan kemaslahatan rakyat, berani dan berjuang untuk
memerangi lawan, dan berasal dari keturunan Quraisy.
Sedangkan Imam Ghazali dalam kitabnya al-Iqtishad fi al-I’tiqad menulis
syarat-syarat pemimpin sebagai berikut:
1. Mampu mengurusi keperluan orang banyak dan membawa mereka kepada
petunjuk ilahi.
2. Berilmu dan wara’
3. Memenuhi syarat-syarat qadli
4. Keturunan Quraisy

Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa seorang pemimpin haruslah seorang
yang berilmu, adil, kecukupan, sehat jiwa dan badan yang dapat mempengaruhi
dalam berpikir dan berbuat. Mengenai syarat yang kelima, yaitu berasal dari
keturunan Quraisy, para ulama berbeda pendapat.
Kesemuanya itu merupakan syarat-syarat bagi pemimpin tertinggi umat
Islam. Demikian pula para pemimpin di bawahnya, tentunya juga memiliki syaratsyarat semacam itu, tetapi tingkatnya di bawahnya ditambah dengan keahlian
masing-masing bidang.26

Tugas-tugas Para Pemimpin
26

43.

Asyhari Marzuqi, Wa wasan Islam (Yogyakarta: LP2M Nurul Ummah, 1998), 42-

21

Mereka yang mendapat anugrah “menguasai wilayah” diberi berbagai
tugas, yang antara lain diuraikan oleh surat al-Hajj ayat 41:

          
       
“Orang-orang yang jika Kami kukuhkan kedudukan mereka di muka bumi,
mereka mendirikan sholat, menunaikan zakat, memerintahkan kepada yang
ma’ruf dan mencegah yang mungkar, dan kepada Allah kesudahan segala urusan
(Q.S al-Hajj: 41).
“Mendirikan sholat” adalah lambang hubungan baik dengan Allah,
sedangkan “menunaikan zakat” adalah lambang perhatian yang ditujukan kepada
masyarakat lemah. “Amar ma’ruf” mencakup segala macam kebajikan, adat
istiadat, dan budaya yang sejalan dengan nilai-nilai agama, sedang nahi ‘an al
munkar adalah lawan dari amr ma’ruf.

Dalam rangka melaksanakan tugas-tugasnya, para penguasa dituntut untuk
selalu melakukan musyawaroh, yakni bertukar pikiran dengan siapa yang
dianggap tepat guna mencapai yang terbaik untuk semua. Mereka juga dituntut
untuk memanfaatkan semua potensi yang dapat dimanfaatkan guna mencapai hasil
maksimal yang diharapkan.27

Kepemimpinan dalam Pendidikan Islam
Menurut Soebagio Atmodiwirio, kepemimpinan pendidikan memerlukan
perhatian utama karena melalui kepemimpinan yang baik kita harapkan lahirnya
tenaga-tenaga yang berkualitas dalam berbagai bidang, baik sebagai pemikir
maupun pekerja. Intinya, melalui pendidikan, kita menyiapkan tenaga-tenaga yang
berkualitas, tenaga yang siap latih, dan siap pakai untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat.28

27

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran (Bandung: Mizan Pustaka, 2007), 429.
Soebagio Atmodiwirio, Manajemen Pendidikan Indonesia (Jakarta: PT. Ardadizya
Jaya, 2000), 161.
28

22

Ali Muhammad Taufiq menjelaskan macam-macam sifat kondusif yang
harus dimiliki oleh pemimpin sebagai berikut:
1. Memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk mengendalikan.
2. Memfungsikan keistimewaan yang lebih dibanding orang lain (Q.S. alBaqarah: 247).
3. Memahami kebiasaan dan bahasa orang yang menjadi tanggung jawabnya
(Q.S. Ibrahim: 4).
4. Mempunyai karisma dan wibawa di hadapan manusia atau orang lain (Q.S.
Hud: 91).
5. Konsekuen dengan kebenaran dan tidak mengikuti hawa nafsu (Q.S. Shad:
26).
6. Bermuamalah dengan lembut dan kasih sayang terhadap bawahannya, agar
orang lain simpatik kepadanya (Q.S. Ali Imron: 159).
7. Menyukai suasana saling memaafkan antara pemimpin dan pengikutnya,
serta membantu mereka agar segera terlepas dari kesalahan. (Q.S. Ali
Imron: 159).
8. Bermusyawarah dengan para pengikut serta mintalah pendapat dan
pengalaman mereka (Q.S. Ali Imron: 159).
9. Menertibkan semua urusan dan membulatkan tekad untuk bertawakkal
kepada Allah Swt (Q.S. Ali Imron: 159).
10. Membangun kesadaran akan adanya pengawasan dari Allah (Muraqabah)
sehingga terbina sikap ikhlas di manapun, kendati tidak ada yang
mengawasi kecuali Allah.
11. Memberikan santunan sosial (takaful ijtima’) kepada para anggota,
sehingga tidak terjadi kesenjangan sosial yang menimbulkan rasa dengki
dan perbedaan strata sosial yang merusak (Q.S. al-Hajj: 41).
12. Mempunyai power dan pengaruh yang dapat memerintah serta mencegah,
karena seorang pemimpin harus melakukan kontrol pengawasan atas
pekerjaan anggota, meluruskan kekeliruan, serta mengajak mereka untuk
berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran (Q.S. al-Hajj: 41).

23

13. Tidak membuat kerusakan di muka bumi, serta tidak merusak ladang, dan
lingkungan (Q.S. al-Baqarah: 205).
14. Bersedia mendengar nasehat dan tidak sombong karena nasehat dari orang
yang ikhlas jarang sekali kita peroleh (Q.S. al-Baqarah: 206).29

Dalam menghadapi kehidupan terbuka abad 21 ini, diperlukan pemimpin
yang profesional, yaitu pemimpin yang bukan hanya menguasai kemampuan dan
keterampilan untuk memimpin, tetapi juga harus:
1. Dapat mengejawantahkan nilai-nilai Islam di dalam sistem pendidikan
Islam, dan
2. Menguasai nilai-nilai ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan
permintaan zaman.

Profil profesional tersebut berbatas dalam konteks kemampuan sebagai
pemimpin. Sementara itu, dalam konteks kemampuan sebagai pengelola,
pemimpin yang profesional memiliki tuntutan yang berbeda lagi. Dalam kaitan ini
menurut Tilaar, seorang pemimpin profesional tidak hanya harus menguasai visi,
misi, serta program-program yang telah disepakati, tetapi juga strategi yang sesuai
dengan potensi masyarakat untuk melaksanakan program-program tersebut.
Kemampuan manajerial ini mengharuskan penguasaan sejumlah ilmu
pengetahuan

manajemen,

khususnya

manajemen

pendidikan.

Sedangkan

penguasaan strategi harus memperhatikan bahwa suatu strategi yang mantap
hanya dapat dilaksanakan di dalam suatu organisasi yang efisien. Maka, seorang
pemimpin yang profesional harus menguasai dan mengembangkan struktur
organisasi pendidikan Islam yang efisien, sehingga sumber daya yang tersedia
baik sumber daya manusia maupun sumber dana serta infrastruktur lainnya dapat
dimanfaatkan seoptimal mungkin.30
Keberhasilan

suatu

lembaga

pendidikan

sangat

tergantung

pada

kepemimpinan kepala sekolah. Karena ia merupakan pemimpin di lembaganya,
29
30

Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam (Jakarta: Erlangga: 2007), 277-278.
Ibid., 282.

24

maka ia harus mampu membawa lembaganya kearah tercapainya tujuan yang
telah ditetapkan, ia harus mampu melihat adanya perubahan serta mampu melihat
masa depan dalam kehidupan global yang lebih baik. Kepala sekolah/madrasah
harus bertanggung jawab atas kelancaran dan keberhasilan semua urusan
pengaturan dan pengelolaan sekolah secara formal kepada atasannya atau secara
informal kepada masyarakat yang telah menitipkan anak didiknya. Kepala sekolah
sebagai seorang pendidik, administrator, pemimpin, dan supervisor, diharapkan
dengan sendirinya dapat mengelola lembaga pendidikan ke arah perkembangan
yang lebih baik dan dapat menjanjikan masa depan.31

Khasanah Kepemimpinan dalam Pendidikan Islam
1. Kepemimpinan Umar bin Abdul Azis

Umar bin Abdul Azis dilahirkan di Hulwan, nama sebuah desa di
Mesir. Ayahnya, Marwan pernah menjadi gubernur di wilayah itu. Dia
dilahirkan pada tahun 61 H, ada juga yang menyatakan 63 H. Ibunya bernama
Ummu ‘Ashim binti ‘Ashim bin Umar bin al-Khattab.32
Umar bin Abdul Azis adalah salah seorang khalifah Bani Umayyah
yang memimpin pemerintahan hanya dua tahun lima bulan (717-720 M).
Meskipun memerintah dalam tempo yang singkat, pada masanya kondisi
masyarakat aman, tentram dan sangat makmur. Sang khalifah sangat
bijaksana dan hidup secara sederhana meskipun kekayaan negara berlimpah.
Ia mengamalkan ajaran-ajaran Islam, baik secara pribadi di tengah kehidupan
keluarga maupun dalam memimpin negara. Dalam suatu kisah disebutkan
bahwa ia

memadamkan lampu yang dibiayai negara hanya karena yang

dibicarakan dengan anaknya tidak ada hubungannya dengan kepentingan
negara.
Umar bin Abdul Azis memiliki karakter mental yang terpuji. Jabatan
yang ia sandang bukanlah sesuatu yang dipuja-puja karena ia tidak
31

Marno dan Trio Supriyatno, Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam
(Bandung: Refika Aditama, 2008), 33.
32
Imam as-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, Terj. Samson Rahman (Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2003), 270.

25

mengharapkan sebelumnya. Bahkan ketika Sulaiman, khalifah sebelumnya
yang menyerahkan tahta kekhalifahan kepadanya memberi mandat, dia ingin
sekali menolak. Tetapi penolakannya tidak dapat diterima karena masyarakat
tetap menghendaki agar Umar menduduki jabatan tersebut. Oleh karena itu,
ketika jabatan itu “terpaksa” diterima, ia memikulnya dengan penuh tanggung
jawab tanpa merasa terbebani. Umar menyakini bahwa apa yang ditanggung
sekarang adalah amanat yang harus dijalankan sebagaimana mestinya.
Pemerintahannya yang dipenuhi dengan kebijakan-kebijakan yang
menentramkan masyarakat membawa konsekuensi kepatuhan masyarakat
yang tulus. Demikian juga kemampuannya memberikan motivasi spiritual
yang disertai contoh yang kongkret dalam tindakan semakin mengukuhkan
kepribadiannya yang amat terpuji. 33
Umar bin Aziz berkata,”Jika mampu, jadilah kalian orang alim; jika
tidak mampu, jadilah penuntut ilmu; jika tidak mampu, jadilah pecinta ulama;
jika tidak mampu, janganlah kalian membenci ulama.” Umar bin Abdul Aziz
juga berkata,”Allah Swt. Akan memberikan kepada seseorang jalan keluar
jika dia menerima ilmu.”
Suatu hari Umar bin Abdul Aziz mengutus Yazid bin Abi Malik dan
Harits bin Muhammad ke tengah kampung untuk mengajarkan sunnah kepada
rakyat. Umar memberi mereka gaji. Yazid menerimanya dan al-Harits tidak
menerimanya seraya berkata,”Aku tidak mau mengambil gaji dari ilmu yang
diajarkan Allah kepadaku.” Hal itu disampaikan kepada Umar bin Abdul
Aziz, lalu ia berkata,”Setahuku, apa yang dilakukan Yazid tidak apa-apa dan
semoga Allah memperbanyak orang semisal al-Harits pada kita.”34
2. Kepemimpinan Pendidikan K.H. Dr. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA

Abdullah Syukri Zarkasyi dilahirkan di Desa Gontor pada tanggal 19
September 1942. Beliau putra pertama K.H. Imam Zarkasyi (1910-1985),

Ahmad Kholil, Konsep Pemimpin Ideal dalam Syi’ir Madah Jarir dalam Jurnal
el-Qudwah Lembaga Penelitian dan Pengembangan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang No.
4, Edisi April 2010, 161.
34
Abdullah bin Abdul Hakam, Biografi Umar bin Abdul Aziz (Jakarta: Gema
Insani Pers), 199.
33

26

salah satu pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur.
Abdullah Syukri Zarkasyi memulai pendidikannya di SR, KMI Pondok
Modern Gontor, kemudian meneruskan kuliah di Fakultas Adab IAIN Syarif
Hidayatulloh Jakarta sampai memperoleh gelar sarjana muda (BA). Lalu
meraih gelar Lc dan MA di Fakultas Adab Universitas Al-Azhar Kairo,
Mesir.
Kyai Syukri bukan hanya dikenal sebagai seorang pimpinan pondok
modern Gontor yang sangat disegani di dalam negeri dan luar negeri,
melainkan juga sebagai seorang cendekiawan muslim yang sangat akrab serta
mengerti lika-liku dan tradisi kehidupan pesantren. Satu hal yang tidak boleh
dilupakan adalah bahwa beliau juga seorang enterpreuner dan manajer handal
yang mampu mengelola pesantren besar Pondok Modern Darussalam Gontor
beserta cabang-cabangnya yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Tidak hanya itu, bagi sejumlah kalangan beliau adalah seorang tokoh
pesantren yang mampu menjelaskan peran dan kiprah alumninya dalam
mengembangkan kemandirian, kepemimpinan, dan dasar-dasar persaudaraan
Islam sebagai modal dalam menyatukan umat Islam di seluruh dunia.35

-

35

224-225.

-

Choirul Fuad Yusuf, Pemikir Pendidikan Islam (Jakarta: Pena Citasatria, 2007),

27

DAFTAR PUSTAKA
Al-Damsyiqi, Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi. Asbabul Wurud. Jakarta: Kalam
Mul