MEDIA ALTERNATIF DI INDONESIA Napak Tila
MEDIA ALTERNATIF DI INDONESIA
(Napak Tilas dan Pencarian Arah di Masa Depan)
Sandy Allifiansyah 1
Universitas Gadjah Mada
Abstrak
Sepanjang sejarahnya, media dan pers selalu menjadi bagian penting dari sebuah
peradaban. Di Indonesia, media alternatif selalu identik dengan perlawanan,
karena memiliki kecenderungan untuk menyuarakan kabar-kabar yang tidak
tersaji atau ditutupi oleh rezim. Sejak zaman kolonial hingga pasca reformasi,
kecenderungan itu selalu berulang. Media-media alternatif ini beredar dibawah
tanah dan dinikmati oleh kalangan tertentu yang tak jarang memicu pergolakan,
baik secara hukum maupun etika. Di era reformasi, media alternatif perlu
didefiniskan ulang karena dampak dari terbukanya keran arus informasi yang
menjadikan fakta dan berita mengalir deras. Kini informasi-informasi yang
semula terpendam, menjadi lebih mungkin untuk kita dengar, sehingga saluran
informasi bawah tanah lebih mudah untuk muncul ke permukaan. Saat ini, mediamedia di pedalaman Indonesia memiliki posisi yang unik. Kehadirannya menjadi
alternatif karena mengabarkan apa yang tidak dikabarkan oleh media arus utama,
mengingat permasalahan ketimpangan akses yang masih lebar terjadi di
Indonesia.
Kata Kunci : media alternatif, komparasi, pers, sistem pers, wacana
Latar Belakang
Sepanjang sejarah media massa global dan Indonesia, sistem pemerintahan dari
negara tersebut pasti menentukan sistem media itu sendiri. Di era Presiden
Soekarno kehidupan bermedia sudah tentu berbeda dengan zaman Presiden
1
Sandy Allifiansyah adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas
Gadjah Mada, penerima Beasiswa Unggulan Kemendikbud 2015. Ia menyelesaikan studi
sarjananya di bidang Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro.
1
Soeharto. Begitu juga saat ini, ketika arus kebebasan pers dibuka seluas-luasnya
sejak dihapusnya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dan dihilangkannya
jabatan Menteri Penerangan yang menjadi momok pers saat masa Orde Baru.
Selalu ada pergolakan di setiap perkembangan pers di Indonesia. Ada yang
menggunakannya sebagai alat kekuasaan, ada pula yang menggunakannya sebagai
alat perjuangan. Bila berbicara dalam konteks media alternatif, kemunculannya
selalu dianggap sebagai disorder atau penyimpangan dari apa yang lazim
dilakukan atau dipraktikkan oleh kebanyakan insan pers pada saat itu. Misalnya
selebaran-selebaran yang beredar di kalangan aktivis Orba atau media-media yang
khusus membahas kaum LGBT yang beredar secara terbatas. Tak jarang pula
eksistensi media alternatif ini mengalami keterkekangan karena sikapnya yang
berlawanan dengan norma mayoritas, sehingga kerap dianggap sebagai ancaman
oleh negara dan otoritas terkait.
Namun, tidak selamanya insan-insan pers selalu berlaku pasif atas
keterkungkungan sistem otoriter dan breidel yang selalu mengancam eksistensi
mereka. Para insan pers ini pada akhirnya bergerak dibawah tanah dan
menerapkan apa yang disebut sebagai cara-cara alternatif untuk mempublikasikan
produk jurnalistik. Cara pandang ini adalah pemahaman model alternatif yang
dirumuskan sebagai model sistem media massa yang terbit secara periodik tanpa
persetujuan dari pemerintah atau otoritas (Sterling,2009:1146).
Pengertian semacam ini bisa kita pakai dalam konteks sistem media yang
otoriter atau totaliter terhadap pers. Artinya, pers diancam eksistensinya bila
memberitakan berita-berita yang tidak sesuai dengan kehendak penguasa atau
berpotensi menimbulkan kerusuhan. Misalnya media-media alternatif di zaman
Orde Baru seperti milis “Apa Kabar” atau milis dari AJI (Aliansi Jurnalis
Independen) bernama “Suara Independen” yang bergerak di dunia maya
memberitakan beragam berita dan isu-isu sensitif yang tidak berani ditampilkan
oleh media-media komersil arus utama.
Pertanyaan kemudian muncul, apakah pengertian ini masih relevan bila
digunakan di era reformasi dan keterbukaan informasi saat media-media sudah
tidak lagi terinstitusi dan kanal-kanal informasi dibuka secara luas di internet?
2
Maka dari itu sangat sulit untuk membuat sebuah model alternatif media yang
rigid. Model alternatif media akan sangat lekat dengan konteks sosial politik yang
terjadi pada saat itu. Tulisan ini akan membahas sejarah perkembangan mediamedia alternatif apa saja yang pernah muncul di Indonesia sejak era kolonial
hingga pascareformasi. Tulisan ini juga akan mengambil contoh kasus media
massa di pedalaman sebagai media alternatif era reformasi sebagai sebuah
paradoks bahwa jalur informasi yang diidam-idamkan untuk masuk ke seluruh
wilayah Indonesia ternyata belum mampu bekerja sepenuhnya. Maka kemunculan
media-media di pedalaman ini adalah bukti bahwa alternatif media masih perlu
dan eksis di daerah pelosok Nusantara.
Eksistensi Media Alternatif Era Kolonial di Indoensia
Di zaman Hindia Belanda, geliat pers alternatif sudah mulai terasa semenjak
adanya pertentangan antara pers official dan unofficial. Awalnya, pada zaman
kolonial, surat kabar yang diperbolehkan terbit hanya surat kabar yang dimiliki
oleh pemerintah. Surat kabar pertama di Hindia Belanda bernama Bataviasche
Nouvelles yang lahir tahun 1744. Itu berarti 120 tahun sejak mesin cetak pertama
kali didatangkan ke Batavia. Surat kabar ini diinisiasi oleh Gubernur Jenderal
VOC di Batavia, Gustaaf Willem Baron van Imhoff yang memberikan mandat
kepengolaan surat kabar kepada J.E. Jordens, seorang pedagang dan pegawai
senior di kantor sekretariat jenderal VOC (Faber, 1930: 14).
Surat kabar yang harus berstempel pemerintah kolonial tersebut berisi iklan,
atau segala sesuatu yang berhubungan dengan administrasi pemerintah kolonial di
Indonesia. Gubernur Jenderal Daendels dicatat sebagai orang pertama yang
membuat regulasi percetakan dan penerbitan surat kabar milik pemerintah.
Regulasi yang diumumkan pada tahun 1809 tersebut menjelaskan antara lain
prioritas isi surat kabar official yaitu iklan, pengumuman dokumen publik dari
pemerintah, dan pengumuman tambahan lainnya (1930: 22). Pada masa Daendels
ini, sensor juga mulai diterapkan. Setiap pengelola surat kabar harus mengirimkan
salinan koran sehari sebelum waktu penerbitan kepada sekretariat jenderal untuk
diperiksa (1930: 23). Setahun setelah pemerintahan Daendels mengumumkan
3
regulasi ini, Daendels menerbitkan Bataviasche Koloniale Courant, yakni surat
kabar yang masih berupa perpanjangan tangan pemerintah kolonial yang sepi dari
kritik apalagi kontroversi terkait kebijakan yang diambil pemerintah kolonial pada
saat itu.
Namun, kecenderungan itu mulai berubah sejak koran yang dikelola oleh
swasta (unofficial) mulai menggeliat dan berani mengkritik kebijakan pemerintah
kolonial, terutama terkait Tanam Paksa. Gerakan inilah yang memulai spirit pers
dan media alternatif di era kolonial. Sebab, mengacu pada konsep Atton
(2002:13), ciri media alternatif adalah kontennya yang berisi suara-suara kaum
minoritas/yang terpinggirkan, mengandung ekspresi masyarakat dari berbagai
sudut
pandang,
berisi
social
responsibility,
mengeskpos
subjek-subjek
pemberitaan yang tidak terpublikasi secara reguler. Pers unofficial di era kolonial
ini resisten terhadap otoritas dan berhasil mengekspos sesutu yang dianggap tabu
oleh pemerintah.
Ahmat Adam dalam The Vernacular Press and the Emergence of Modern
Indonesian Consciousness, 1855-1913 (1995:7) mencatat bahwa pada tahun 1825
kalangan swasta mulai menerbitkan surat kabar. Pada tahun 1840an, ketika
dampak buruk sistem tanam paksa mulai terasa, banyak jurnalis yang mencoba
melaporkannya ke dalam konten surat kabar. Tak jarang dari mereka yang pada
akhirnya ditangkap dan dideportasi karena dianggap melawan pemerintahan
Hindia Belanda. Ditambah lagi surat kabar swasta ini secara vulgar berani
mengkritisi kebijakan bupati-bupati di Priangan (Adam,1995:13).
Di era kebangkitan nasional, sebuah pergolakan nasional yang dimotori oleh
warga Indonesia keturunan Belanda yang tak puas dengan sistem ekonomi politik
di Padang, Sumatera Barat. Maka pada 1877, Padang Handelsblad meluncurkan
gerakan bernama Jong Indie atau disebut juga gerakan Padang. Gerakan ini
dibangun oleh para penulis Indo di Padang dan dijuluki sebagai gerakan para
patriotis Indis. Penggerak Jong Indie adalah Frederik Karel Voorneman dan
dilanjutkan oleh anaknya A.M. Voorneman. Sang anak kemudian menjadi
redaktur Bintang Timor dan melanjutkan misi Jong Indie (Bosma et al.,2008: 276280).
4
Pergerakan yang pada akhirnya melibatkan masyarakat Indonesia asli atau
pribumi ini, mencapai puncaknya ketika media aternatif pertama lahir. Artinya,
surat kabar ini adalah milik pribumi, dan lepas dari campur tangan pihak kolonial,
baik dari sisi redaksi atau pun pendanaan. Di era kolonial, surat kabar pertama
milik pribumi terbit dengan judul Medan Prijaji yang menjadi blueprint dari
semangat nasionalisme bangsa Indonesia melalui media massa di era awal
terbentuknya kesadaran nasional. Setelah merdeka bangsa Indonesia mengalami
banyak keterkekangan kebebasan pers, terutama pada masa Orde Baru. Selama
lebih dari 30 tahun berkuasa, Orde Baru sukses membungkam daya kritis pers
yang kontra dengan kebijakan pembangunan. Namun, bukan berarti semangat
untuk menggelorakan informasi yang transparan berhenti dilakukan para aktivis.
Eksistensi Media Alternatif Pasca Era Kolonial Di Indonesia
Pasca kemerdekaan, pers dan altenatif memegang peran penting dalam menjaga
ragam suara daerah atau pun kabar-kabar yang tidak disiarkan oleh media arus
utama. Masing-masing media ini memiliki ciri khasnya tersendiri. Mereka
berusaha untuk lepas dan independen dari otoritas. Mengabarkan apa yang
dikaburkan atau ditutupi oleh kekuasaan. Beberapa di antaranya bahkan beredar
secara diam-diam dan keras terhadap pemerintah. Pencekalan dan pelarangan,
menjadi bagian tak terpisahkan dari eksistensi mereka. Pasca Kemerdekaan, era
media alternatif ini dibagi menjadi 3 era, yakni era Orde Lama, Orde Baru, dan
Reformasi.
Era Orde Lama
Era ini dimulai saaat Republik Indonesia mengumandangkan kemerdekaan dan
kedaulatannya pada tanggal 17 Agustus tahun 1945. Media pada saat itu bersatu
dalam mengabarkan kabar gembira kemerdekaan ke pelosok negeri. Situasi
berubah saat Soekarno menyatakan Undang-undang Darurat Perang pada 14
Maret 1957 dalam rangka membendung pemberontakan di daerah, yang disusul
pelarangan partai-partai seperti PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan Masyumi
(Semma,2008:117).
5
Belum lagi adanya seruan untuk menjadikan pers sebagai alat untuk
mempropagandakan revolusi dan demokrasi terpimpin. Pers akhirnya menjadi alat
kultus Presiden Soekarno. Di tengah kondisi seperti itu, muncul selebaranselebaran dari bawah tanah yang disebut juga dengan underground publication
yang diterbitkan oleh para aktivis-aktivis PRRI ataupun pemberontak lainnya di
masa Orde Lama. Selebaran itu berisi pembentukan opini publik atas
permasalahan dan ketimpangan ekonomi di masa Orde Lama. Bila kita mengacu
pada buku seorang aktivis bernama Soe Hok Gie, ia mengungkapkan bahwa ia
dan teman-teman sejawatnya sempat membuat selebaran yang berisi ulasan dan
analisis sekaligus pembentukan opini tentang peristiwa politik bangsa Indonesia
saat itu. Soe Hok Gie didukung langsung oleh Prof. Soemitro yang eksil di
Sumatera. Ia menamakan media dan gerakannya sebagai Gerakan Pembaharuan
Indonesia (Gie,1983:41-42).
Media-media bawah tanah yang dilancarkan oleh aktivis pergerakan yang
tersingkir karena ideologi Nasakom, adalah tonggak dari cara-cara mereka dalam
mengemas media alternatif guna membentuk opini publik. Tujuannya jelas, yakni
pada keragaman sudut pandang dan prinsip non-profit, persis seperti ciri media
alternatif. Pada era Orde Lama, media alternatif masih bercorak ideologi
tandingan. Artinya, mereka para aktivis yang membuat dan menyebarkan
selebaran maupun publikasi bawah tanah, berorientasi pada pengenalan akan
sebuah ideologi tandingan atau wacana yang berlawanan terhadap apa yang
selama ini menjadi pegangan masyarakat.
Mengingat belum munculnya internet, dan terbatasnya distribusi kertas, di
masa Orde Lama media alternatif hanya bisa dinikmati oleh para aktivis seperti
mahasiswa dan cendekiawan. Daya jangkau media alternatif ini belum mampu
menjangkau masyarakat umum. Kendati demikian, salah satu ciri media alternatif
adalah dikesampingkannya akspek kuantitas. Aspek kualitas lebih ditekankan
demi mencapai kedalaman ulasan dan komprehensifitas isi (Atton,2002:67). Hal
ini menjadi indikasi bahwa kuantitas tidak menjadi harga mati dari sebuah produk
pers alternatif, sebab yang terpenting adalah kualitas dan kemampuan untuk
6
menghadirkan wacana tandingan yang dipegang teguh oleh satu kelompok dan
disebarkan melalui cara-cara non-populer dan tak jarang sangat tersegmentasi.
Era Orde Baru
Di era ini kehidupan pers Indonesia seperti mengalami pengulangan atas apa yang
pernah terjadi pada masa Orde Lama, yakni pelarangan dan breidel. Bahkan pada
masa Orde Baru, pelarangan tersebut lebih ganas, terstruktur, dan represif.
Mengingat rezim ini berkuasa selama lebih dari 30 tahun.
Hantu bernama SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dan Kementerian
Penerangan adalah momok bagi insan pers Indonesia untuk berkarya dan
menyajikan beragam sudut pandang terkait isu dan peristiwa nasional. Dua
momok tersebut adalah malaikat pencabut nyawa bagi setiap ruh kehidupan pers
Indonesia setiap kali memberitakan isu yang tidak sesuai dengan keinginan
penguasa atau dianggap mengganggu stabilitas nasional. Kendati demikian, media
alternatif tidak absen untuk hadir di era ini.
Di era Orba segala bentuk produk pers yang tidak memiliki SIUPP akan
dicekal dan dituding sebagai produk ilegal juga subversif. SIUPP sesungguhnya
bertujuan untuk mengontrol pers dalam situasi darurat, tetapi oleh Orde Baru
digunakan sebagai alat pemanis pers yang selalu menjadi pemanis rezim
(Lubis,2005:81). Mulai dari Peristiwa Malari, Peristiwa Priok, Peristiwa 77/78,
hingga pembereidelan paling terkenal yang menimpa Monitor , Detik, dan Tempo
pada tahun 1994 saat menyinggung kebijakan Habibie.
Bagi Lubis (2005:82) SIUPP adalah sebuah bentuk pelanggaran HAM,
sebab otoritas melakukan tindakan guilty by association terhadap seluruh elemen
pers. Tindakan seperti ini justru bertentangan dengan demokrasi yang dijunjung
tinggi lewat retorika-retorika penguasa. Di balik ganasnya perlakuan pemerintah
Orde Baru terhadap pers, muncul sebuah media alternatif yang hadir melalui
tangan-tangan mahasiswa. Produk ini sering disebut sebagai Pers Mahasiswa,
sebuah produk jurnalistik independen yang lahir dan diproduksi oleh mahasiswa
itu sendiri, serta berkecenderungan kritis. Pada masa Orde Baru, Pers Mahasiswa
7
memiliki posisi tawar yang unik sebagai media alternatif di tengah pembreidelan
media-media nasional.
Contoh produk pers mahasiswa yang keras menetang pemerintah Orde Baru
disetiap tulisan-tulisannya adalah Salemba dari UI, Gelora Mahasiswa dari UGM,
dan Kampus dari ITB (Siregar,1979:20). Pers Mahasiwa ini memiliki daya tahan
untuk berkembang, kendati berganti nama produk, tetapi spirit yang mereka
gunakan tetap sama, yakni mengabarkan apa yang tidak dikabarkan oleh media
nasional. Kampus menjadi corong utama lahirnya media alternatif ini, belum lagi
selebaran-selebaran buletin yang berisi tentang tanggapan dan ulasan kritis
mahasiswa. Tak jarang pula media pers yang berasal dari mahasiswa juga ikut
dilarang untuk beredar oleh penguasa.
Rezim Orde Baru yang identik dengan rezim militer, selalu menggunakan
senjata dalam menjalankan represinya, tak terkecuali untuk melawan mahasiswa.
Maka jangan heran jika mereka para mahasiwa sering keteteran dalam
menghadapi represi tersebut, begitu pula dalam hal penerbitan Pers Mahasiswa.
Siregar (1979) berpendapat bahwa ada beberapa produk Pers Mahasiwa yang pada
akhirnya diedarkan melalui bawah tanah dan menyebar secara diam-diam
dikalangan aktivis. Namun uniknya, dalam beberapa kali kesempatan, konferensi
nasional Pers Mahasiswa selalu dihadiri oleh tokoh-tokoh pers nasional, misalnya
Jacob Oetama dan Mochtar Lubis. Hal ini menjadi indikasi bahwa tokoh-tokoh
pers nasional pun mengakui dan ikut mendorong eksistensi Pers Mahasiswa agar
tetap hidup dan menjadi alternatif di tengah kondisi media nasional yang
dibisukan oleh SIUUP dan Menteri Penerangan.
Satu lagi wujud baru media alternatif yang muncul di era Orde Baru adalah
“Kabar dari Pijar”, “Suara Independen” dan yang paling tersohor adalah “Apa
Kabar” yang dikelola oleh John McDougall (Puthut,2011). Dua milis ini adalah
dua kanal informasi yang tersebar melalui internet, mengingat pada periode 90an,
internet sudah bisa diakses dan digunakan kendati daya jangakunya masih
terbatas. Hebatnya, kesempatan ini digunakan para aktivis untuk menyebarkan
kabar dan informasi yang dianggap kontroversi oleh pemerintah pada saat itu.
Pada saat kemunculannya di tahun
90an, rezim Orde Baru sedang ganas
8
berkuasa, nyaris tak ada media yang berani mengkritisi setiap kebijakan yang
diambil. Lucunya, pemerintah alpa memperhatikan regulasi internet, sehingga
dimanfaatkan oleh aktivis untuk memberikan sudut pandang lain terkait kebijakan
kontroversial yang sedang terjadi.
Belum lagi kemunculan majalah bawah tanah “Suara Independen” yang
lahir dari gerakan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dan bergerak menentang PWI
(Persatuan Wartawan Indonesia) yang mereka anggap perpanjangan tangan dari
Menteri Penerangan saat itu. Kemunculan internet inilah yang menjadi pembeda
paling kentara bila kita membedakan media alternatif di era Orba dengan era
sebelumnya. Kemunculan internet juga menjadi angin segar bagi aktivitas
pergerakan, terutama sebagai media tukar menukar informasi antar aktivis. Maka
tak heran, dengan milis dan kanal internet ini, kekuatan aktivis yang dimotori oleh
mahasiswa dapat berjalan dengan simultan dan berkesinambungan, di tengah
sulitnya mendapatkan informasi di media cetak (Sen & Hill,2006:27).
Intinya, pada zaman Orde Baru, media alternatif menjadi motor penggerak
sekaligus medium yang ampuh dalam menggalang kekuatan melawan hegemoni
otoritas yang mengekang. Hal baru terkait media alternatif di era Orde Baru
adalah munculnya bentuk baru dari varian media alternatif, yakni dalam wujud
pers mahasiswa dan milis internet. Sebuah bentuk media alternatif yang belum
muncul di era kolonial maupun zaman Orde Lama. Kendati demikian, perubahan
zaman mengharuskan bentuk-bentuk dan orientasi dari meda alternatif juga
berubah. Di zaman Orde Baru ini, media alternatif masih dinikmati secara terbatas
oleh kalangan intelektual dan kelas menengah atas.
Media di Pedalaman sebagai Media Alternatif Era Reformasi
Dari uraian perkembangan media alternatif di atas, harus diakui bahwa sangat
sulit untuk merumuskan model alternatif media massa secara rigid dan konstan.
Keberadaaanya sangat bergantung pada konteks zaman dan kondisi sosial politik,
serta sistem media yang sedang berlaku saaat itu. Perlu dicatat bahwa dalam era
sebelum reformasi, media cetak dan televisi masih merajai referensi masyarakat.
Artinya, interaktivitas masih belum ada sepenuhnya. Saluran informasi hanya
9
didominasi oleh pemilik alat produksi atau media itu sendiri. Maka tak heran bila
para elit penguasa media menggunakan media massa sebagai alat untuk pencitraan
dan seremonial kekuasaan. Disnilah media alternatif pada akhirnya muncul
sebagai peneyimbang dari sistem media yang berorientasi pada elit tersebut.
Memasuki era reformasi dan informasi, model media alternatif ternyata
telah berubah wujud dan paradigmanya. Dari yang semula activist oriented,
menjadi custom oriented. Artinya, media alternatif kini muncul eksistensinya di
wilayah-wilayah pedalaman yang menjangkau suku-suku adat di berbagai belahan
Nusantara dalam bentuk seperti radio dan jaringan internet (Cahyadi,2015).
Ciri media alternatif semacam ini sejalan dengan konsep alternative media
dikemukakan oleh Atton (2002:13-14), yaitu kontennya berisi suara-suara kaum
minoritas/yang terpinggirkan, berisi ekspresi masyarakat dari berbagai sudut
pandang. Harus diakui bahwa pasca reformasi, penyebaran informasi di Indonesia
belum merata sepenuhnya. Banyak daerah-daerah di Indonesia bahkan belum
tersentuh internet. Maka dari itu, media di daerah pedalaman muncul sebagai
alternative media
yang menghimpun aspirasi masyarakatnya, mengingat
penduduk di pedalaman juga butuh media guna menjalin relasi terkait bercocok
tanam maupun perkebunan. Misalnya akses radio untuk masyarakat Badui Dalam,
atau internet untuk masyarakat Sedulur Sikep atau Suku Samin.
Media ini bisa berupa radio, jaringan internet terbatas, atau pun televisi
lokal. Keberadaan media alternatif semacam ini, bukannya tanpa kendala. Aspekaspek seperti SDM (Sumber Daya Manusia) hingga sulitnya mendapatkan
fasilitas, menjadi momok tersendiri dalam tumbuh kembangnya media-media di
pedalaman Indonesia. Terlebih lagi bila kita melihat bagaimana sulitnya akses
informasi bagi warga di daerah-daerah terluar atau pulau terluas Indonesia. Media
di perbatasan adalah sebuah jawaban dari ketimpangan informasi antara pusat dan
daerah. Pemerintah juga harus jemput dalam mengakomodir masalah ini dengan
mednjadikan media alternatif di daerah sebagai corong pembangunan, sehingga
masyarakat yang bermukim di pedalaman tetap bisa literate terhadap informasi
dan isu-isu nasional dan berdaulat atas informasi.
10
Penutup dan Kesimpulan
Dari penjelasan tentang sejarah dan perkembangan media alternatif diatas, harus
diakui bahwa media alternatif tidak memiliki model secara rigid. Sistematika dan
modelnya akan selalu berubah-ubah mengikuti perkembangan sosial dan politik
yang terjadi saat media media alternatif itu muncul.
Perbedaan yang bisa dilihat dari mediumnya, siapa yang memulai, dan cara
penyebarluasannya. Di era pra internet, media alternatif muncul dari bawah tanah
dan diprakarsai oleh aktivis dan cendekiawan yang menginginkan perubahan.
Mereka menggunakan media alternatif untuk mengekspresikan berbagai sudut
pandang yang dibungkam oleh penguasa. Di era internet, ketika informasi telah
terbuka luas, otoritas tidak lagi bisa seketat dulu dalam membatasi gerak-gerik
aktivitas pers. Model dan jenis media alternatif kembali mengalami pergeseran.
Konteks belum ratanya akses informasi di Indonesia, menjadikan media-media di
pedalaman menjadi media alternatif di era reformasi, mengingat fungsinya yang
sanggup mengabarkan apa yang tidak bisa dikabarkan oleh media nasional yang
notabene adalah media arus utama. Media di pedalaman adalah jawaban dari
reformasi itu sendiri, yakni setiap warga negara harus berdaulat atas informasi dan
keterbukaan informasi. Maka dari itu, pemerintah sebagai penyelenggara negara
harus turun tangan dan memperhatikan eksistensi media-media di pedalaman
tanah air ini.
Dari penjelasan tentang media alternatif sejak zaman kolonial (pra internet)
hingga reformasi (pasca internet), dapat disajikan kesimpulan dalam bentuk bagan
dibawah berikut ini:
11
Media Alternatif
Berdasarkan Kondisi Otoritas dan Konteks Sosial Politik
Pra Internet
Pasca Internet
Media Diawasi Secara Ketat
Sistem Media Demokratis Partisipan
Media Harus Mempunyai Lisensi
Media Bisa Eksis Tanpa Lisensi
Represif Terhadap Media Tak Berizin
Lunak dan Bebas Terhadap Media
Belum Terdapat Jaringan Internet
Ada Jaringan Internet Interaktif
Media Alternatif Banyak Bermunculan di
Media Alternatif Bergerak Dibawah Tanah
Internet (Mis. Media LBGT dan Media
dengan Ideologi Kiri)
Media Alternatif Digerakkan Oleh Kaum
Media Alternatif Bisa Digerakkan Oleh
Terpelajar dan Intelektual
Siapa Saja yang Memiliki Akses Informasi
Media Alternatif Dianggap Sebagai
Media Alternatif Diperbolehkan, bahkan
Ancaman Oleh Negara
Digunakan Pemerintah di Daerah Pedalaman
Tak bisa dipungkiri bahwa internet sudah menjadi bagian penting dalam
eksistensi media alternatif itu sendiri. Pada awal kemunculannya, internet
dianggap sebagai saluran media alternatif paling ampuh karena kebebasan yang
ada di dalamnya dan kealpaan pemerintah dalam mengaturnya. Tetapi kini
internet dianggap media yang mainstream, daya sengatnya sebagai media
alternatif sudah berbeda, mengingat konteks sosial politik juga berbeda ketika
pertama kali muncul. Akhirnya, inti dari model alternatif media itu sendiri, sangat
bergantung pada kondisi masyarakat, sosial, politik, dan ekonomi kontemporer.
Model dan wujud dari media alternatif juga akan selalu mengikuti perkembangan
elemen-elemen tersebut.
12
Daftar Pustaka
Adam, Ahmat. (1995). The Vernacular Press and the Emergence of Modern
Consciousness (1855-1913). Ithaca: Cornell University Southeast Asia
Program.
Atton, Chris. (2002). Alternative Media . London: SAGE Publications.
Bosma, Ulbe, and Remco Raben. (2008). Being" Dutch" in the Indies: A
Histor y Cr eolisa tion a nd Empir e, 1500-1920 . Ohio: Ohio University
Press.
Cahyadi, Firdaus. Tantangan Gerakan “Online” Masyarakat Adat. Dalam
Kompas 26 Februari 2015. Dinduh 27 April 2015 jam 22.34 WIB.
Faber, GH von. (1930). A Short History of Journalism in the Dutch East Indies .
Surabaya: Kolff & Co.
Gie, Soe Hok. (1983). Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: LP3ES.
Lubis, Todung Mulya. (2005). Jalan Panjang Hak Assasi Manusia. Jakarta:
Gramedia.
Puthut, EA. (2011). Oposisi Maya . Yogyakarta: Insist Press.
Semma, Mansyur. (2008). Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis Atas
Negara, Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik. Jakarta:Yayasan Obor.
Sen, Krishna & David T Hill. (2006). Media, Culture , and Politic in Indonesia .
Australia: Equinox Publishing.
Siregar, Amir Effendi. (1983). Pers Mahasiswa, Patah Tumbuh Hilang Berganti.
Jakarta: Unipress.
13
(Napak Tilas dan Pencarian Arah di Masa Depan)
Sandy Allifiansyah 1
Universitas Gadjah Mada
Abstrak
Sepanjang sejarahnya, media dan pers selalu menjadi bagian penting dari sebuah
peradaban. Di Indonesia, media alternatif selalu identik dengan perlawanan,
karena memiliki kecenderungan untuk menyuarakan kabar-kabar yang tidak
tersaji atau ditutupi oleh rezim. Sejak zaman kolonial hingga pasca reformasi,
kecenderungan itu selalu berulang. Media-media alternatif ini beredar dibawah
tanah dan dinikmati oleh kalangan tertentu yang tak jarang memicu pergolakan,
baik secara hukum maupun etika. Di era reformasi, media alternatif perlu
didefiniskan ulang karena dampak dari terbukanya keran arus informasi yang
menjadikan fakta dan berita mengalir deras. Kini informasi-informasi yang
semula terpendam, menjadi lebih mungkin untuk kita dengar, sehingga saluran
informasi bawah tanah lebih mudah untuk muncul ke permukaan. Saat ini, mediamedia di pedalaman Indonesia memiliki posisi yang unik. Kehadirannya menjadi
alternatif karena mengabarkan apa yang tidak dikabarkan oleh media arus utama,
mengingat permasalahan ketimpangan akses yang masih lebar terjadi di
Indonesia.
Kata Kunci : media alternatif, komparasi, pers, sistem pers, wacana
Latar Belakang
Sepanjang sejarah media massa global dan Indonesia, sistem pemerintahan dari
negara tersebut pasti menentukan sistem media itu sendiri. Di era Presiden
Soekarno kehidupan bermedia sudah tentu berbeda dengan zaman Presiden
1
Sandy Allifiansyah adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas
Gadjah Mada, penerima Beasiswa Unggulan Kemendikbud 2015. Ia menyelesaikan studi
sarjananya di bidang Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro.
1
Soeharto. Begitu juga saat ini, ketika arus kebebasan pers dibuka seluas-luasnya
sejak dihapusnya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dan dihilangkannya
jabatan Menteri Penerangan yang menjadi momok pers saat masa Orde Baru.
Selalu ada pergolakan di setiap perkembangan pers di Indonesia. Ada yang
menggunakannya sebagai alat kekuasaan, ada pula yang menggunakannya sebagai
alat perjuangan. Bila berbicara dalam konteks media alternatif, kemunculannya
selalu dianggap sebagai disorder atau penyimpangan dari apa yang lazim
dilakukan atau dipraktikkan oleh kebanyakan insan pers pada saat itu. Misalnya
selebaran-selebaran yang beredar di kalangan aktivis Orba atau media-media yang
khusus membahas kaum LGBT yang beredar secara terbatas. Tak jarang pula
eksistensi media alternatif ini mengalami keterkekangan karena sikapnya yang
berlawanan dengan norma mayoritas, sehingga kerap dianggap sebagai ancaman
oleh negara dan otoritas terkait.
Namun, tidak selamanya insan-insan pers selalu berlaku pasif atas
keterkungkungan sistem otoriter dan breidel yang selalu mengancam eksistensi
mereka. Para insan pers ini pada akhirnya bergerak dibawah tanah dan
menerapkan apa yang disebut sebagai cara-cara alternatif untuk mempublikasikan
produk jurnalistik. Cara pandang ini adalah pemahaman model alternatif yang
dirumuskan sebagai model sistem media massa yang terbit secara periodik tanpa
persetujuan dari pemerintah atau otoritas (Sterling,2009:1146).
Pengertian semacam ini bisa kita pakai dalam konteks sistem media yang
otoriter atau totaliter terhadap pers. Artinya, pers diancam eksistensinya bila
memberitakan berita-berita yang tidak sesuai dengan kehendak penguasa atau
berpotensi menimbulkan kerusuhan. Misalnya media-media alternatif di zaman
Orde Baru seperti milis “Apa Kabar” atau milis dari AJI (Aliansi Jurnalis
Independen) bernama “Suara Independen” yang bergerak di dunia maya
memberitakan beragam berita dan isu-isu sensitif yang tidak berani ditampilkan
oleh media-media komersil arus utama.
Pertanyaan kemudian muncul, apakah pengertian ini masih relevan bila
digunakan di era reformasi dan keterbukaan informasi saat media-media sudah
tidak lagi terinstitusi dan kanal-kanal informasi dibuka secara luas di internet?
2
Maka dari itu sangat sulit untuk membuat sebuah model alternatif media yang
rigid. Model alternatif media akan sangat lekat dengan konteks sosial politik yang
terjadi pada saat itu. Tulisan ini akan membahas sejarah perkembangan mediamedia alternatif apa saja yang pernah muncul di Indonesia sejak era kolonial
hingga pascareformasi. Tulisan ini juga akan mengambil contoh kasus media
massa di pedalaman sebagai media alternatif era reformasi sebagai sebuah
paradoks bahwa jalur informasi yang diidam-idamkan untuk masuk ke seluruh
wilayah Indonesia ternyata belum mampu bekerja sepenuhnya. Maka kemunculan
media-media di pedalaman ini adalah bukti bahwa alternatif media masih perlu
dan eksis di daerah pelosok Nusantara.
Eksistensi Media Alternatif Era Kolonial di Indoensia
Di zaman Hindia Belanda, geliat pers alternatif sudah mulai terasa semenjak
adanya pertentangan antara pers official dan unofficial. Awalnya, pada zaman
kolonial, surat kabar yang diperbolehkan terbit hanya surat kabar yang dimiliki
oleh pemerintah. Surat kabar pertama di Hindia Belanda bernama Bataviasche
Nouvelles yang lahir tahun 1744. Itu berarti 120 tahun sejak mesin cetak pertama
kali didatangkan ke Batavia. Surat kabar ini diinisiasi oleh Gubernur Jenderal
VOC di Batavia, Gustaaf Willem Baron van Imhoff yang memberikan mandat
kepengolaan surat kabar kepada J.E. Jordens, seorang pedagang dan pegawai
senior di kantor sekretariat jenderal VOC (Faber, 1930: 14).
Surat kabar yang harus berstempel pemerintah kolonial tersebut berisi iklan,
atau segala sesuatu yang berhubungan dengan administrasi pemerintah kolonial di
Indonesia. Gubernur Jenderal Daendels dicatat sebagai orang pertama yang
membuat regulasi percetakan dan penerbitan surat kabar milik pemerintah.
Regulasi yang diumumkan pada tahun 1809 tersebut menjelaskan antara lain
prioritas isi surat kabar official yaitu iklan, pengumuman dokumen publik dari
pemerintah, dan pengumuman tambahan lainnya (1930: 22). Pada masa Daendels
ini, sensor juga mulai diterapkan. Setiap pengelola surat kabar harus mengirimkan
salinan koran sehari sebelum waktu penerbitan kepada sekretariat jenderal untuk
diperiksa (1930: 23). Setahun setelah pemerintahan Daendels mengumumkan
3
regulasi ini, Daendels menerbitkan Bataviasche Koloniale Courant, yakni surat
kabar yang masih berupa perpanjangan tangan pemerintah kolonial yang sepi dari
kritik apalagi kontroversi terkait kebijakan yang diambil pemerintah kolonial pada
saat itu.
Namun, kecenderungan itu mulai berubah sejak koran yang dikelola oleh
swasta (unofficial) mulai menggeliat dan berani mengkritik kebijakan pemerintah
kolonial, terutama terkait Tanam Paksa. Gerakan inilah yang memulai spirit pers
dan media alternatif di era kolonial. Sebab, mengacu pada konsep Atton
(2002:13), ciri media alternatif adalah kontennya yang berisi suara-suara kaum
minoritas/yang terpinggirkan, mengandung ekspresi masyarakat dari berbagai
sudut
pandang,
berisi
social
responsibility,
mengeskpos
subjek-subjek
pemberitaan yang tidak terpublikasi secara reguler. Pers unofficial di era kolonial
ini resisten terhadap otoritas dan berhasil mengekspos sesutu yang dianggap tabu
oleh pemerintah.
Ahmat Adam dalam The Vernacular Press and the Emergence of Modern
Indonesian Consciousness, 1855-1913 (1995:7) mencatat bahwa pada tahun 1825
kalangan swasta mulai menerbitkan surat kabar. Pada tahun 1840an, ketika
dampak buruk sistem tanam paksa mulai terasa, banyak jurnalis yang mencoba
melaporkannya ke dalam konten surat kabar. Tak jarang dari mereka yang pada
akhirnya ditangkap dan dideportasi karena dianggap melawan pemerintahan
Hindia Belanda. Ditambah lagi surat kabar swasta ini secara vulgar berani
mengkritisi kebijakan bupati-bupati di Priangan (Adam,1995:13).
Di era kebangkitan nasional, sebuah pergolakan nasional yang dimotori oleh
warga Indonesia keturunan Belanda yang tak puas dengan sistem ekonomi politik
di Padang, Sumatera Barat. Maka pada 1877, Padang Handelsblad meluncurkan
gerakan bernama Jong Indie atau disebut juga gerakan Padang. Gerakan ini
dibangun oleh para penulis Indo di Padang dan dijuluki sebagai gerakan para
patriotis Indis. Penggerak Jong Indie adalah Frederik Karel Voorneman dan
dilanjutkan oleh anaknya A.M. Voorneman. Sang anak kemudian menjadi
redaktur Bintang Timor dan melanjutkan misi Jong Indie (Bosma et al.,2008: 276280).
4
Pergerakan yang pada akhirnya melibatkan masyarakat Indonesia asli atau
pribumi ini, mencapai puncaknya ketika media aternatif pertama lahir. Artinya,
surat kabar ini adalah milik pribumi, dan lepas dari campur tangan pihak kolonial,
baik dari sisi redaksi atau pun pendanaan. Di era kolonial, surat kabar pertama
milik pribumi terbit dengan judul Medan Prijaji yang menjadi blueprint dari
semangat nasionalisme bangsa Indonesia melalui media massa di era awal
terbentuknya kesadaran nasional. Setelah merdeka bangsa Indonesia mengalami
banyak keterkekangan kebebasan pers, terutama pada masa Orde Baru. Selama
lebih dari 30 tahun berkuasa, Orde Baru sukses membungkam daya kritis pers
yang kontra dengan kebijakan pembangunan. Namun, bukan berarti semangat
untuk menggelorakan informasi yang transparan berhenti dilakukan para aktivis.
Eksistensi Media Alternatif Pasca Era Kolonial Di Indonesia
Pasca kemerdekaan, pers dan altenatif memegang peran penting dalam menjaga
ragam suara daerah atau pun kabar-kabar yang tidak disiarkan oleh media arus
utama. Masing-masing media ini memiliki ciri khasnya tersendiri. Mereka
berusaha untuk lepas dan independen dari otoritas. Mengabarkan apa yang
dikaburkan atau ditutupi oleh kekuasaan. Beberapa di antaranya bahkan beredar
secara diam-diam dan keras terhadap pemerintah. Pencekalan dan pelarangan,
menjadi bagian tak terpisahkan dari eksistensi mereka. Pasca Kemerdekaan, era
media alternatif ini dibagi menjadi 3 era, yakni era Orde Lama, Orde Baru, dan
Reformasi.
Era Orde Lama
Era ini dimulai saaat Republik Indonesia mengumandangkan kemerdekaan dan
kedaulatannya pada tanggal 17 Agustus tahun 1945. Media pada saat itu bersatu
dalam mengabarkan kabar gembira kemerdekaan ke pelosok negeri. Situasi
berubah saat Soekarno menyatakan Undang-undang Darurat Perang pada 14
Maret 1957 dalam rangka membendung pemberontakan di daerah, yang disusul
pelarangan partai-partai seperti PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan Masyumi
(Semma,2008:117).
5
Belum lagi adanya seruan untuk menjadikan pers sebagai alat untuk
mempropagandakan revolusi dan demokrasi terpimpin. Pers akhirnya menjadi alat
kultus Presiden Soekarno. Di tengah kondisi seperti itu, muncul selebaranselebaran dari bawah tanah yang disebut juga dengan underground publication
yang diterbitkan oleh para aktivis-aktivis PRRI ataupun pemberontak lainnya di
masa Orde Lama. Selebaran itu berisi pembentukan opini publik atas
permasalahan dan ketimpangan ekonomi di masa Orde Lama. Bila kita mengacu
pada buku seorang aktivis bernama Soe Hok Gie, ia mengungkapkan bahwa ia
dan teman-teman sejawatnya sempat membuat selebaran yang berisi ulasan dan
analisis sekaligus pembentukan opini tentang peristiwa politik bangsa Indonesia
saat itu. Soe Hok Gie didukung langsung oleh Prof. Soemitro yang eksil di
Sumatera. Ia menamakan media dan gerakannya sebagai Gerakan Pembaharuan
Indonesia (Gie,1983:41-42).
Media-media bawah tanah yang dilancarkan oleh aktivis pergerakan yang
tersingkir karena ideologi Nasakom, adalah tonggak dari cara-cara mereka dalam
mengemas media alternatif guna membentuk opini publik. Tujuannya jelas, yakni
pada keragaman sudut pandang dan prinsip non-profit, persis seperti ciri media
alternatif. Pada era Orde Lama, media alternatif masih bercorak ideologi
tandingan. Artinya, mereka para aktivis yang membuat dan menyebarkan
selebaran maupun publikasi bawah tanah, berorientasi pada pengenalan akan
sebuah ideologi tandingan atau wacana yang berlawanan terhadap apa yang
selama ini menjadi pegangan masyarakat.
Mengingat belum munculnya internet, dan terbatasnya distribusi kertas, di
masa Orde Lama media alternatif hanya bisa dinikmati oleh para aktivis seperti
mahasiswa dan cendekiawan. Daya jangkau media alternatif ini belum mampu
menjangkau masyarakat umum. Kendati demikian, salah satu ciri media alternatif
adalah dikesampingkannya akspek kuantitas. Aspek kualitas lebih ditekankan
demi mencapai kedalaman ulasan dan komprehensifitas isi (Atton,2002:67). Hal
ini menjadi indikasi bahwa kuantitas tidak menjadi harga mati dari sebuah produk
pers alternatif, sebab yang terpenting adalah kualitas dan kemampuan untuk
6
menghadirkan wacana tandingan yang dipegang teguh oleh satu kelompok dan
disebarkan melalui cara-cara non-populer dan tak jarang sangat tersegmentasi.
Era Orde Baru
Di era ini kehidupan pers Indonesia seperti mengalami pengulangan atas apa yang
pernah terjadi pada masa Orde Lama, yakni pelarangan dan breidel. Bahkan pada
masa Orde Baru, pelarangan tersebut lebih ganas, terstruktur, dan represif.
Mengingat rezim ini berkuasa selama lebih dari 30 tahun.
Hantu bernama SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dan Kementerian
Penerangan adalah momok bagi insan pers Indonesia untuk berkarya dan
menyajikan beragam sudut pandang terkait isu dan peristiwa nasional. Dua
momok tersebut adalah malaikat pencabut nyawa bagi setiap ruh kehidupan pers
Indonesia setiap kali memberitakan isu yang tidak sesuai dengan keinginan
penguasa atau dianggap mengganggu stabilitas nasional. Kendati demikian, media
alternatif tidak absen untuk hadir di era ini.
Di era Orba segala bentuk produk pers yang tidak memiliki SIUPP akan
dicekal dan dituding sebagai produk ilegal juga subversif. SIUPP sesungguhnya
bertujuan untuk mengontrol pers dalam situasi darurat, tetapi oleh Orde Baru
digunakan sebagai alat pemanis pers yang selalu menjadi pemanis rezim
(Lubis,2005:81). Mulai dari Peristiwa Malari, Peristiwa Priok, Peristiwa 77/78,
hingga pembereidelan paling terkenal yang menimpa Monitor , Detik, dan Tempo
pada tahun 1994 saat menyinggung kebijakan Habibie.
Bagi Lubis (2005:82) SIUPP adalah sebuah bentuk pelanggaran HAM,
sebab otoritas melakukan tindakan guilty by association terhadap seluruh elemen
pers. Tindakan seperti ini justru bertentangan dengan demokrasi yang dijunjung
tinggi lewat retorika-retorika penguasa. Di balik ganasnya perlakuan pemerintah
Orde Baru terhadap pers, muncul sebuah media alternatif yang hadir melalui
tangan-tangan mahasiswa. Produk ini sering disebut sebagai Pers Mahasiswa,
sebuah produk jurnalistik independen yang lahir dan diproduksi oleh mahasiswa
itu sendiri, serta berkecenderungan kritis. Pada masa Orde Baru, Pers Mahasiswa
7
memiliki posisi tawar yang unik sebagai media alternatif di tengah pembreidelan
media-media nasional.
Contoh produk pers mahasiswa yang keras menetang pemerintah Orde Baru
disetiap tulisan-tulisannya adalah Salemba dari UI, Gelora Mahasiswa dari UGM,
dan Kampus dari ITB (Siregar,1979:20). Pers Mahasiwa ini memiliki daya tahan
untuk berkembang, kendati berganti nama produk, tetapi spirit yang mereka
gunakan tetap sama, yakni mengabarkan apa yang tidak dikabarkan oleh media
nasional. Kampus menjadi corong utama lahirnya media alternatif ini, belum lagi
selebaran-selebaran buletin yang berisi tentang tanggapan dan ulasan kritis
mahasiswa. Tak jarang pula media pers yang berasal dari mahasiswa juga ikut
dilarang untuk beredar oleh penguasa.
Rezim Orde Baru yang identik dengan rezim militer, selalu menggunakan
senjata dalam menjalankan represinya, tak terkecuali untuk melawan mahasiswa.
Maka jangan heran jika mereka para mahasiwa sering keteteran dalam
menghadapi represi tersebut, begitu pula dalam hal penerbitan Pers Mahasiswa.
Siregar (1979) berpendapat bahwa ada beberapa produk Pers Mahasiwa yang pada
akhirnya diedarkan melalui bawah tanah dan menyebar secara diam-diam
dikalangan aktivis. Namun uniknya, dalam beberapa kali kesempatan, konferensi
nasional Pers Mahasiswa selalu dihadiri oleh tokoh-tokoh pers nasional, misalnya
Jacob Oetama dan Mochtar Lubis. Hal ini menjadi indikasi bahwa tokoh-tokoh
pers nasional pun mengakui dan ikut mendorong eksistensi Pers Mahasiswa agar
tetap hidup dan menjadi alternatif di tengah kondisi media nasional yang
dibisukan oleh SIUUP dan Menteri Penerangan.
Satu lagi wujud baru media alternatif yang muncul di era Orde Baru adalah
“Kabar dari Pijar”, “Suara Independen” dan yang paling tersohor adalah “Apa
Kabar” yang dikelola oleh John McDougall (Puthut,2011). Dua milis ini adalah
dua kanal informasi yang tersebar melalui internet, mengingat pada periode 90an,
internet sudah bisa diakses dan digunakan kendati daya jangakunya masih
terbatas. Hebatnya, kesempatan ini digunakan para aktivis untuk menyebarkan
kabar dan informasi yang dianggap kontroversi oleh pemerintah pada saat itu.
Pada saat kemunculannya di tahun
90an, rezim Orde Baru sedang ganas
8
berkuasa, nyaris tak ada media yang berani mengkritisi setiap kebijakan yang
diambil. Lucunya, pemerintah alpa memperhatikan regulasi internet, sehingga
dimanfaatkan oleh aktivis untuk memberikan sudut pandang lain terkait kebijakan
kontroversial yang sedang terjadi.
Belum lagi kemunculan majalah bawah tanah “Suara Independen” yang
lahir dari gerakan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dan bergerak menentang PWI
(Persatuan Wartawan Indonesia) yang mereka anggap perpanjangan tangan dari
Menteri Penerangan saat itu. Kemunculan internet inilah yang menjadi pembeda
paling kentara bila kita membedakan media alternatif di era Orba dengan era
sebelumnya. Kemunculan internet juga menjadi angin segar bagi aktivitas
pergerakan, terutama sebagai media tukar menukar informasi antar aktivis. Maka
tak heran, dengan milis dan kanal internet ini, kekuatan aktivis yang dimotori oleh
mahasiswa dapat berjalan dengan simultan dan berkesinambungan, di tengah
sulitnya mendapatkan informasi di media cetak (Sen & Hill,2006:27).
Intinya, pada zaman Orde Baru, media alternatif menjadi motor penggerak
sekaligus medium yang ampuh dalam menggalang kekuatan melawan hegemoni
otoritas yang mengekang. Hal baru terkait media alternatif di era Orde Baru
adalah munculnya bentuk baru dari varian media alternatif, yakni dalam wujud
pers mahasiswa dan milis internet. Sebuah bentuk media alternatif yang belum
muncul di era kolonial maupun zaman Orde Lama. Kendati demikian, perubahan
zaman mengharuskan bentuk-bentuk dan orientasi dari meda alternatif juga
berubah. Di zaman Orde Baru ini, media alternatif masih dinikmati secara terbatas
oleh kalangan intelektual dan kelas menengah atas.
Media di Pedalaman sebagai Media Alternatif Era Reformasi
Dari uraian perkembangan media alternatif di atas, harus diakui bahwa sangat
sulit untuk merumuskan model alternatif media massa secara rigid dan konstan.
Keberadaaanya sangat bergantung pada konteks zaman dan kondisi sosial politik,
serta sistem media yang sedang berlaku saaat itu. Perlu dicatat bahwa dalam era
sebelum reformasi, media cetak dan televisi masih merajai referensi masyarakat.
Artinya, interaktivitas masih belum ada sepenuhnya. Saluran informasi hanya
9
didominasi oleh pemilik alat produksi atau media itu sendiri. Maka tak heran bila
para elit penguasa media menggunakan media massa sebagai alat untuk pencitraan
dan seremonial kekuasaan. Disnilah media alternatif pada akhirnya muncul
sebagai peneyimbang dari sistem media yang berorientasi pada elit tersebut.
Memasuki era reformasi dan informasi, model media alternatif ternyata
telah berubah wujud dan paradigmanya. Dari yang semula activist oriented,
menjadi custom oriented. Artinya, media alternatif kini muncul eksistensinya di
wilayah-wilayah pedalaman yang menjangkau suku-suku adat di berbagai belahan
Nusantara dalam bentuk seperti radio dan jaringan internet (Cahyadi,2015).
Ciri media alternatif semacam ini sejalan dengan konsep alternative media
dikemukakan oleh Atton (2002:13-14), yaitu kontennya berisi suara-suara kaum
minoritas/yang terpinggirkan, berisi ekspresi masyarakat dari berbagai sudut
pandang. Harus diakui bahwa pasca reformasi, penyebaran informasi di Indonesia
belum merata sepenuhnya. Banyak daerah-daerah di Indonesia bahkan belum
tersentuh internet. Maka dari itu, media di daerah pedalaman muncul sebagai
alternative media
yang menghimpun aspirasi masyarakatnya, mengingat
penduduk di pedalaman juga butuh media guna menjalin relasi terkait bercocok
tanam maupun perkebunan. Misalnya akses radio untuk masyarakat Badui Dalam,
atau internet untuk masyarakat Sedulur Sikep atau Suku Samin.
Media ini bisa berupa radio, jaringan internet terbatas, atau pun televisi
lokal. Keberadaan media alternatif semacam ini, bukannya tanpa kendala. Aspekaspek seperti SDM (Sumber Daya Manusia) hingga sulitnya mendapatkan
fasilitas, menjadi momok tersendiri dalam tumbuh kembangnya media-media di
pedalaman Indonesia. Terlebih lagi bila kita melihat bagaimana sulitnya akses
informasi bagi warga di daerah-daerah terluar atau pulau terluas Indonesia. Media
di perbatasan adalah sebuah jawaban dari ketimpangan informasi antara pusat dan
daerah. Pemerintah juga harus jemput dalam mengakomodir masalah ini dengan
mednjadikan media alternatif di daerah sebagai corong pembangunan, sehingga
masyarakat yang bermukim di pedalaman tetap bisa literate terhadap informasi
dan isu-isu nasional dan berdaulat atas informasi.
10
Penutup dan Kesimpulan
Dari penjelasan tentang sejarah dan perkembangan media alternatif diatas, harus
diakui bahwa media alternatif tidak memiliki model secara rigid. Sistematika dan
modelnya akan selalu berubah-ubah mengikuti perkembangan sosial dan politik
yang terjadi saat media media alternatif itu muncul.
Perbedaan yang bisa dilihat dari mediumnya, siapa yang memulai, dan cara
penyebarluasannya. Di era pra internet, media alternatif muncul dari bawah tanah
dan diprakarsai oleh aktivis dan cendekiawan yang menginginkan perubahan.
Mereka menggunakan media alternatif untuk mengekspresikan berbagai sudut
pandang yang dibungkam oleh penguasa. Di era internet, ketika informasi telah
terbuka luas, otoritas tidak lagi bisa seketat dulu dalam membatasi gerak-gerik
aktivitas pers. Model dan jenis media alternatif kembali mengalami pergeseran.
Konteks belum ratanya akses informasi di Indonesia, menjadikan media-media di
pedalaman menjadi media alternatif di era reformasi, mengingat fungsinya yang
sanggup mengabarkan apa yang tidak bisa dikabarkan oleh media nasional yang
notabene adalah media arus utama. Media di pedalaman adalah jawaban dari
reformasi itu sendiri, yakni setiap warga negara harus berdaulat atas informasi dan
keterbukaan informasi. Maka dari itu, pemerintah sebagai penyelenggara negara
harus turun tangan dan memperhatikan eksistensi media-media di pedalaman
tanah air ini.
Dari penjelasan tentang media alternatif sejak zaman kolonial (pra internet)
hingga reformasi (pasca internet), dapat disajikan kesimpulan dalam bentuk bagan
dibawah berikut ini:
11
Media Alternatif
Berdasarkan Kondisi Otoritas dan Konteks Sosial Politik
Pra Internet
Pasca Internet
Media Diawasi Secara Ketat
Sistem Media Demokratis Partisipan
Media Harus Mempunyai Lisensi
Media Bisa Eksis Tanpa Lisensi
Represif Terhadap Media Tak Berizin
Lunak dan Bebas Terhadap Media
Belum Terdapat Jaringan Internet
Ada Jaringan Internet Interaktif
Media Alternatif Banyak Bermunculan di
Media Alternatif Bergerak Dibawah Tanah
Internet (Mis. Media LBGT dan Media
dengan Ideologi Kiri)
Media Alternatif Digerakkan Oleh Kaum
Media Alternatif Bisa Digerakkan Oleh
Terpelajar dan Intelektual
Siapa Saja yang Memiliki Akses Informasi
Media Alternatif Dianggap Sebagai
Media Alternatif Diperbolehkan, bahkan
Ancaman Oleh Negara
Digunakan Pemerintah di Daerah Pedalaman
Tak bisa dipungkiri bahwa internet sudah menjadi bagian penting dalam
eksistensi media alternatif itu sendiri. Pada awal kemunculannya, internet
dianggap sebagai saluran media alternatif paling ampuh karena kebebasan yang
ada di dalamnya dan kealpaan pemerintah dalam mengaturnya. Tetapi kini
internet dianggap media yang mainstream, daya sengatnya sebagai media
alternatif sudah berbeda, mengingat konteks sosial politik juga berbeda ketika
pertama kali muncul. Akhirnya, inti dari model alternatif media itu sendiri, sangat
bergantung pada kondisi masyarakat, sosial, politik, dan ekonomi kontemporer.
Model dan wujud dari media alternatif juga akan selalu mengikuti perkembangan
elemen-elemen tersebut.
12
Daftar Pustaka
Adam, Ahmat. (1995). The Vernacular Press and the Emergence of Modern
Consciousness (1855-1913). Ithaca: Cornell University Southeast Asia
Program.
Atton, Chris. (2002). Alternative Media . London: SAGE Publications.
Bosma, Ulbe, and Remco Raben. (2008). Being" Dutch" in the Indies: A
Histor y Cr eolisa tion a nd Empir e, 1500-1920 . Ohio: Ohio University
Press.
Cahyadi, Firdaus. Tantangan Gerakan “Online” Masyarakat Adat. Dalam
Kompas 26 Februari 2015. Dinduh 27 April 2015 jam 22.34 WIB.
Faber, GH von. (1930). A Short History of Journalism in the Dutch East Indies .
Surabaya: Kolff & Co.
Gie, Soe Hok. (1983). Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: LP3ES.
Lubis, Todung Mulya. (2005). Jalan Panjang Hak Assasi Manusia. Jakarta:
Gramedia.
Puthut, EA. (2011). Oposisi Maya . Yogyakarta: Insist Press.
Semma, Mansyur. (2008). Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis Atas
Negara, Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik. Jakarta:Yayasan Obor.
Sen, Krishna & David T Hill. (2006). Media, Culture , and Politic in Indonesia .
Australia: Equinox Publishing.
Siregar, Amir Effendi. (1983). Pers Mahasiswa, Patah Tumbuh Hilang Berganti.
Jakarta: Unipress.
13