Magister Pendidikan Bahasa Indonesia NOSI Volume 5, Nomor 4, Agustus 2017

KAJIAN FEMINISME TOKOH
DALAM NOVEL KARTINI KARYA ABIDAH EL KHAILEQY
Indrawati
Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana Unisma
indrawati@gmail.com
Abstrak:Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji feminisme tokoh
dalam novel Kartini karya Abidah El Khaileqy.Metode penelitian ini
adalah penelitian kualitatif kritis. Pendekatan penelitian ini adalah
pendekatan analisis wacana. Sumber data dalam penelitian ini adalah
teks novel Kartini karya Abidah El Khaileqy, penerbit Noura Books,
Jakarta, cetakan ke I, April 2017, setebal 376 halaman. Dalam penelitian
ini, peneliti bertindak sebagai instrumen utama yakni peneliti bertindak
sebagai perencana, pelaksana, pengumpul data, penafsir data, dan
menjadi pelapor hasil penelitian. Dalam penelitian ini digunakan kajian
tekstual yaitu menganalisis teks novel Kartini.Hasil penelitian ini dapat
disimpulkan sebagai berikut. Pertama, feminisme tokoh dalam novel
Kartini karya Abidah El Khaileqy dari sisi perbuatannya terdapat
beberapa ideologi yang diperjuangkan yaitu (1) keterikatan pada
struktur, (2) penolakan terhadap hakikat kodrat, (3) pembelaan
terhadap kelompoknya yang tertindas, dan (4) pengambilan distansi
untuk menunjukkan kemampuan. Kedua, feminisme tokoh dalam novel

Kartini karya Abidah El Khaileqy melalui ucapan-ucapannya
menggambarkan ada beberapa ideologi yang diperjuangkan yaitu (1)
pengurangan distansi dalam kerangka solidaritas, (2) pemberontakan
terhadap kemapanan laki-laki, (3) perasaan senasib dengan sesamanya,
dan (4) teguh dalam berjuang.
Kata-kataKunci:feminisme, tokoh, novel
PENDAHULUAN
Wanita Indonesia dalam memperjuangkan hak dan kesempatan yang
sama dengan pria telah dimulai sejak
zaman R.A. Kartini. Zaman sekarang
boleh dikatakan wanita Indonesia telah
memperoleh hak dan kesempatan yang
sama dengan kaum pria, meskipun hal
itu belum sepenuhnya dimiliki oleh
sebagian kaum wanita Indonesia.
Seiring
dengan
berjalannya
waktu perjuangan hak-hak perempuan
ini relatif populer dengan istilah


emansipasi wanita atau persamaan
gender. Gender dipahami sebagai
karakteristik yang melekat pada laki-laki
dan perempuan, dibuat,disosialisasikan,
dan dikonstruksikan oleh masyarakat
secara sosial melalui pendidikan, agama,
keluarga, dan sebagainya (Heroepoetri
dan Valentino, 2004:3).
Ditinjau dari kajian feminisme
adalah memperjuangkan kemanusiaan
perempuan, yaitu memperjuangkan perempuan sebagai kaum merdeka
seutuhnya (women demendiang their full
raights as human being). Secara prinsip,

NOSI Volume 5, Nomor 4 Agustus 2017 _________________________________________

ia berakar pada posisi perempuan dalam
dunia patriarki dan berorientasi pada
perubahan pola hubungan kekuasaan.

Untuk itu, tatanan masyarakat yang
heirarkis dan menindas perempuan baik
dalam aspek kelas, budaya, feodalistik,
dan konstruk sosial haruslah diubah
menuju penataan hubungan-hubungan
sosial baru di mana perempuan menjadi
subjek utuh dalam membuat keputusan
berdasarkan alokasi kekuasaan dan
sumber-sumbernya.
Jadi, hakikat feminisme adalah
perlawanan, anti, dan bebas dari penindasan, dominasi, hegemoni, ketidakadilan, dan kekerasan. Kekhasan feminisme
adalah
perlawanan
penindasan
(Heroepoetri & Valentina, 2004:5).
Anggapan di masyarakat selama ini,
bahwa perempuan adalah sosok yang
lemah, irrasional atau emosional,
sehingga perempuan tidak bisa tampil
memimpin, akibatnya muncul sikap

yang menempatkan perempuan pada
posisi yang tidak penting. Laki-lakilah
yang dianggap dominan berada di pusat.
Perempuan hanya sebagai konco
wingking atau dalam istilah bahasa Jawa
“swargo nunut neroko katut” (Fakih,
2013:12).
Anggapan atau pembebanan
perempuan
sebagai
pihak
yang
‘kodrat’nya “dapur, kasur, sumur” telah
mengakibatkan jutaan perempuan tidak
punya pilihan lain di luar kodratnya
(Heroepoetri & Valentina, 2004:5).
Kaitannya
dengan
sastra,
permasalahan yang ada tidak terbatas

pada keterlibatan perempuan di dalam
dunia penciptaan, kritik, dan sebagai
penikmat saja, tetapi juga tidak kalah
pentingnya adalah bagaimana sosok
perempuan direpresentasikan di dalam
sebuah teks sastra. Sosok perempuan
baik sebagai pengarang maupun tokoh

cerita dalam teks sastra selama ini
dipandang masih berada di bawah
bayang-bayang kaum pria. Secara nyata
maupun terselubung, perempuan masih
diperlakukan sebagai ‘yang lain’ karena
mereka ‘bukan’ pria.
Karya sastra terutama prosa
sering dihubungkan dengan kata fiksi.
Sastra adalah suatu kegiatan kreatif
sebuah karya seni (Wellek & Warren,
2016: 3). Kita sering mendengar kata
prosafiksi. Kata fiksi berarti khayalan

atau tidak berdasarkan kenyataan.
Padahal dalam kenyataannya, karya
sastra yang berwujud prosa diciptakan
dengan
bahan
gabungan
antara
kenyataan dan khayalan. Prosa yang
dibuat tidak hanya berdasarkan khayalan
tetapi juga berdasarkan kenyataan
(Siswanto, 2013: 115). Begitupula novel
yang merupakan salah satu bentuk dari
manifestasi kehidupan.
Novel sebagai salah satu bentuk
karya sastra juga menceritakan berbagai
masalah kehidupan manusia dalam
interaksinya dengan lingkungan dan
sesamanya. Selain itu, novel juga
merupakan hasil dialog, kontemplasi dan
reaksi pengarang terhadap lingkungan

dan kehidupan, walau hanya berupa
khayalan, novel bukan perenungan
secara intens terhadap hidup dan
kehidupan itu pun dilakukan dengan
penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Sebagai salah satu karya fiksi,
sebuah novel haruslah merupakan cerita
yang menarik, meskipunmasalah-masalah yang ditampilkan cukup kompleks.
Novel harus merupakan bangunan
struktur yang koheren, dan tetap mempunyai tujuan estetik. Daya tarik ceritalah
yang akanmemotivasi orang untuk
membacanya. Karena pada dasarnya
setiap orang senang cerita-cerita yang

NOSI Volume 5, Nomor 4 Agustus 2017 _________________________________________

sensasional. Cerita demikian akan
menarik perhatian orang.
Keberadaa karya sastra secara
keseluruhan, selain dikenal adanya

sistem makro juga dikenal adanya sistem
mikro. Sistem makro berhubungan
dengan keberadaan kosa kata, berkaitan
dengan penutur, akar sosial budaya,
dunia acuan, maupun masyarakat
pembacanya. Sedangkan secara mikro
hanya berhubungan dengan unsur-unsur
intrinsik karya sastra itu sendiri.
Novel “Kartini” karyaAbidah El
Khalieqy merupakan wujud nyata
sebuah novel yang tidak melepaskan
kedua sistem di atas, sebagai penutur
Khalieqy
banyak
terlibat
dalam
jalannnya cerita, demikian juga unsur
sosial budaya yang sangat beragam
memberikan warna baru bagi pernovelan
Indonesia.Novel “Kartini” karyaAbidah

El Khalieqy juga dibangun dari sistem
mikro atau sistem yang berhubungan
dengan unsur-unsur intrinsik. Menurut
Nurgiantoro (2015:14) unsur-unsur
intrinsik dalam karya fiksi (novel)
meliputi tema, setting, alur, sudut
pandang, penokohan dan perwatakan,
kelima unsur di atas saling berhubungan
antara satu dengan yang lain.
Berdasarkan berbagai hal di atas,
maka peneliti tertarik untuk mengkaji
novel “Kartini” karya Abidah El
Khalieqy terutama tentangtokohyang
memiliki beragam watak yang dikaitkan
dengan feminisme
seperti yang
dihadirkan dalam novel tersebut, dengan
tujuan ingin mendapatkan gambaran
objektif tentang teknik penyajian watak
tokoh dikaitkan dengan feminisme.

Dengan memahami bahasa perempuan,
maka kita akan mengetahui realitas
sosial yang ada padanya. Dalam setiap
bahasa perempuan menyimpan ide-ide
atau gagasan yang perlu diungkap secara

komprehensif sehingga kita mengetahui
konstruk ideologi yang diperjuangkan
yang tersirat dalam bahasanya. Bahasabahasa yang digunakan tidaklah terlalu
bebas dipilih, akan tetapi keadaan
politis, sosial, budaya, dan ideologi yang
kemudian menuntut adanya pilihan
bahasa.
Novel “Kartini” karya Abidah El
Khalieqy merupakan salah satu bentuk
novel Indonesia yang bercerita tentang
kasihsayang, kehidupan sosial, toleransi,
dan kemanusiaan yang dikaitkan dengan
feminisme.Tidak seperti “isme” lainnya,
feminisme tidak mengambil dasar

konseptual dan teori dari suatu rumusan
tunggal. Dan oleh karenanya tidak ada
definisi abstrak yang khusus tentang
feminisme yang dapat diterapkan bagi
semua perempuan pada segenap waktu
dan tempat. Feminisme mendasarkan
diri pada realitas kultural dan kenyataan
sejarah yang konkret, maupun atas
tingkatan kesadaran, persepsi, serta
tindakan (Heroepoetri dan R. Valentin,
2004:11).
Berdasarkan latar belakang di
atas,
peneliti
ingin
mengetahui
bagaimanakah Abidah El Khaileqy
menggambarkan feminisme tokoh dalam
novel Kartini.Gambaran feminisme
tokoh ini akan diuraikan dalam dua
bagian. Pertama yaitu melalui apa yang
diperbuatnya. Kedua adalah melalui
ucapan-ucapannya. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengkaji feminisme tokoh
novel Kartini karya Abidah El Khaileqy.
Lebih khusus lagi, tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut (1) mengkaji
feminisme tokoh novel melalui apa yang
diperbuatnya,(2) mengkaji feminisme
tokoh novel melalui ucapan-ucapannya.
Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat teoritis dan praktis.
Secara teoritis penelitian ini dapat

NOSI Volume 5, Nomor 4 Agustus 2017 _________________________________________

memberikan landasan teori bagi peneliti
berikutnya, sekaligus dapat menambah
perbendaharaan pustaka yang dapat
dimanfaatkan oleh para pembaca,
khususnya peminat sastra.
Secara praktis penelitian ini
bermanfaat sebagai berikut (1) bisa
dijadikan sebagai bahan materi untuk
mengajar
sastra,
terutama
yang
membahas tentang novel dan unsur
tokohnya yang dikaitkan dengan kajian
feminisme, (2) bisa mengembangkan
pembaharuan seputar masalah sastra,
khususnya pembahasan karya sastra
berbentuk novel, (3) bisa menambah
wawasan masyarakat terhadap berbagai
fenomena kehidupan yang dikemas
dalam bentuk novel, (4) memberikan
informasi pandangan/wawasan tentang
nilai-nilai kehidupan, dan
(5)
memberikan
informasi
bagaimana
feminisme
tokoh
dibangun
oleh
pengarang dalam sebuah cerita.
METODE
Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian yang berjudul “Kajian
Feminisme Tokoh Novel Kartini Karya
Abidah El Khalieqy” adalah pendekatan
analisis wacana. Jenis penelitian ini
adalah penelitian deskriptif.
Dalam
penelitian
kualitatif,
kehadiran peneliti mutlak diperlukan
karena peneliti itu bertindak sebagai
instrument pengumpul data. Dalam
penelitian yang berjudul“ Kajian
Feminisme Tokoh Novel KartiniKarya
Abidah El Khalieqy” peneliti bertindak
sebagai partisipan penuh atau pengamat
penuh.
Data dalam penelitian ini berupa
data verbal, yang secara spesifik narasi
dan dialog tersebut memuat kajian
feminisme tokoh dalam novel Kartini
karya Abidah El Khalieqy.

Sumber data penelitian ini yaitu
teks novel Kartini KaryaAbidahEl
Khalieqy, penerbit Noura Books (PT.
Mizan Publika), cetakan ke-1, April
2017, tebal 376 halaman; 21 cm.
Instrumen penelitian adalah alat
fasilitas yang digunakan oleh peneliti
dalam mengumpulkan data, agar
pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya
lebih baik, dalam arti lebih cermat,
lengkap dan sitematis sehingga lebih
mudah diolah (Arikunto, 2013:203).
Untuk memperoleh data penelitian, peneliti sebagai instrumen menggunakan korpus data. Korpus data akan
membantu peneliti dalam mengambil
dan menganalisis data.
Prosedur pengumpulan data
dalam penelitian ini adalah dengan
teknik studi dokumenter, karena sumber
data penelitian merupakan dokumen
yang berupa novel. Teknik dokumenter
adalah teknik pengumpulan data dengan
cara mengkaji dokumen-dokumen yang
berkaitan dengan masalah yang akan
dibahas.
Dalam analisis data menggunakan rambu-rambu data yang dibuat
berdasarkan masalah dan tujuan
penelitian. Hal ini dilakukan untuk
membantu dalam interpretasi atau
penafsiran terhadap data penelitian.
Keabsahan data penelitian diuji
dengan beberapa cara berikut (1)
kecermatan pengamatan, (2) kecukupan
referensi,(3) mengecek data penelitian
secara mendalam, cermat, akurat, tepat
sasaran, dan relevan dengan kebutuhan
hasil penelitia secara berulang-ulang.
Prosedur penelitian merupakan
kerja penelitian dari awal sampai akhir,
baik bersifat administrasi maupun
akademis penelitian, dalam pelaksanaaanya melui beberapa prosedur atau
langkah kerja yang meliputi tahap

NOSI Volume 5, Nomor 4 Agustus 2017 _________________________________________

persiapan, pelaksanaan, dan penyelesaian.
Pada tahap persiapan, peneliti
melakukan kegiatan sebagaiberikut (1)
pengajuan judul, (2) mengadakan studi
kepustakaaan, dalam hal ini penulis
mencari pustaka yang relevandengan
masalah yang diteliti, (3) menyusun
rancangan penelitian, dalam kegiatana
ini yang penulis laksanakan antara lain:
menyusun tujuan dan hasil yang
diharapkan, menyusun penegasan istilah,
menyusun kerangka teori, menentuka
metode penelitian dan menyusun
prosedur penelitiab, dan (4) menyusun
instrumen penelitian.
Padatahap pelaksanaan, peneliti
melakukanhal-halsebagaiberikut(1)
penyusunan konsep laporan, (2) revisi
konsep laporan, dan (3) pemantapan
konsep laporan.
Kegiatan yang dilakukan oleh
peneliti pada tahap penyelesaian ini
adalah: (1) pembuatan kesimpulan dari
hasil analisis kajian, (2) penyusunan
laporan, dan (3) penggandaan laporan
dalam bentuk tesis yang terdiri dari lima
bab, yaitu bab pendahuluan, kajian
kepustakaan, metode penelitian, paparan
data dan temuan penelitian, pembahasan,
dan penutup.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis data
penelitian tentang feminisme tokoh
dalam novel Kartini karya Abidah El
Khalieqy. Hasil Analisis data tersebut
meliputi (1) feminisme tokoh melalui
apa yang diperbuatnya, dan (2) feminisme tokoh melalui ucapan-ucapannya.
Gambaran hasil analisis data
tersebut, terdapat beberapa ideologi yang
selalu dipegang dan diperjuangkan
perempuan sebagai indikatornya, yang
akan dibahas dalam penelitian ini yaitu

keterikatan pada struktur, penolakan
terhadap kodrat, pembelaan terhadap
kelompoknya
yang
tertindas,
pengambilan distansi untuk menunjukkan kemampuan, pengurangan distansi
dalam kerangka solidaritas, pemberontakan terhadap kemapanan laki-laki, dan
peresaan senasib dengan sesamanya.
Feminisme Tokoh melalui Apa Yang
Diperbuatnya
Feminisme Tokoh Kartini
Ideologi
“Keterikatan
pada
Struktur”Istilah struktur meminjam
istilah dari bidang sosiologi merujuk
pada “kode tersembunyi yang berfungsi
sebagai pedoman bagi individu dalam
menjalankan peran sosialnya” (Santoso,
2009:172) beberapa elit perempuan
berpandangan akan keterikatannya kepada keluarga, lingkungan, masyarakat,
kaum dan negaranya.
Ideologi keterikatan pada struktur yang ada dalam novel ini memberikan gambaran bahwa perempuan
Indonesia merupakan makhluk yang
menyandarkan dirinya pada kekuatan
struktur yakni keluarga yang mengikat
perempuan yang memiliki tugas dan
peran itu. Tugasnya sebagai ibu telah
membawanya pada sebuah keadaan yang
tidak mungkin diabaikannya, ia sadar
bahwa peran sebagai seorang ibu telah
membawa konsekuensi tertentu, hingga
apa yang dilakukannya jelas bahwa
perempuan tampaknya memang tidak
dapat melepaskan diri dari keterperangkapan atau cengkraman struktur itu.
Keadaan seperti ini mengingatkan kita pada pandangan yang terkenal
dari Julia Christeva, seorang pejuang
feminisme, yang mengatakan bahwa
identittas sejumlah perempuan ‘sungguh-sungguh terbelah’ akibat keharusan

NOSI Volume 5, Nomor 4 Agustus 2017 _________________________________________

mereka menampilkan tindakan yang
‘seimbang’ antara komitmen ‘profesional’ dan ‘tanggung jawab terhadap
keluarga’. Artinya, selain ia harus sukses
dalam peran profesionalnya, ia dituntut
juga sebagai makhluk yang terikat serta
tidak
boleh
mengabaikan
atau
meninggalkan keluarganya, masyarakatnya, dan bangsanya.
Tokoh Kartini sebagai perempuan Indonesia berusaha membebaskan
diri terhadap keterikatan pada “struktur”
secara imperatif telah mengatur anggotanya untuk menjalankan tugas dan peran
tertentu. Tampaknya sebuah tuntutan,
bahkan imperasi terhadap “sukses kedua-duanya” haruslah selalu diperjuangkan. Sukses professional yang
tidak diikuti atau tidak dibarengi oleh
sukses keluarga akan menjadi aib
masyarakat. Sebaliknya, sukses dalam
keluarga tanpa diikuti olehsukses professsional juga bukan menjadi pilihan
bagi
elite
perempuan
dalam
memperjuangkan emansipasinya.
Ideologi “Penolakan Terhadap Kodrat”
Beberapa perempuan membangun sebuah ideologi yang mencoba
“menolak keberadaan kodrat bagi
perempuan”. Sementara itu, ideologi
dominan di Indonesia pada umumnya
adalah “wanita sudah lahir dengan
kodratnya”, yakni sebagai ibu rumah
tangga yang menjalankan peran-peran
domestik makhluk yang secara kodrat
sebagai manusia kelas dua, makhluk
yang secara kodrat menjalankan fungsi
objek, dan sebagainya. Dalam budaya
Jawa misalnya, ada sebuah ungkapan
bahwa wanita menjalankan “3M”, yakni
macak ‘berhias’, masak ‘memasak di
dapur’, dan manak ‘melahirkan anak’,
Santoso (2011:77).

Ideologi penolakan terhadap
kodrat yang ada dalam novel ini
menggambarkan
betapa
kodrat
perempuan dikonsep hanya bisa macak,
masak, dan manak, di luar ituadalah
pekerjaan laki-laki. Berakibat bahwa
semua pekerjaan gender rumah tangga
menjadi
tanggungjawab
kaum
perempuan.
Dikalangan masyarakat luas,
berdar pandangan atau keyakinan bahwa
pekerjaan yang dianggap masyarakat
sebagai jenis pekerjaan perempuan,
seperti semua pekerjaan gender, dianggap dan dinilai lebih rendah disbandingkan dengan jenis pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan laki-laki. Sementara itu kaum perempuan sejak dini telah
disosialisasikan dan diajari untuk menekuni peran gender mereka. Dilain pihak,
kaum laki-laki tidak diwajibkan secara
kultural untuk menekuni berbagai jenis
pekerjaan gender itu.
Selain itu memberikan penegasan
menjadi wanita pada hakekatnya sama
dengan pria. Ia mesti dipandang sebagai
manusia, bukan karena memiliki jenis
kelamin tertentu yang sudah terkontruksi
oleh faktor-faktor sosial budaya.
Perempuan menyadari bahwa sterotip
dan stigma terhadap perempuan lebih
berkaitan dengan label-labelkonstruksi
sosial dan karenanya perlu dihilangkan
dengan berbagai cara salah satunya
adalah melalui usaha wanita untuk
menunjukkan kepada pria bahwa ia
mampu mengerjakan berbagai tugas
seperti laki-laki, atau berkarakter kuat
dan tidak cengeng seperti laki-laki.
Wanita pada hakekatnya sama
menjadi pria. Ini tampaknya senada
dengan apa yang diperjuangkan seorang
feminis Prancis, yakni Beauvoir. Bagi
Beauvoir, ide tentang hakikat atau kodrat
perempuan harus ditolak. Secara eks-

NOSI Volume 5, Nomor 4 Agustus 2017 _________________________________________

trem, ia mengatakan bahwa seseorang
tidak ditakdirkan sebagai perempuan,
tetapi seseorang berproses menjadi
“seseorang”. Untuk itulah, tidak perlu
ada pembedaan terhadap laki-laki dan
perempuan karena keduanya selalu
dalam keadaan “berproses” untuk
menjadi “seseorang”, Santoso (2011:79).
Senada dengan Beauvoir, Caplan
(dalam Fakih, 2013:72) mengatakan
dalam
bukunya
The
Cultural
Construction of Sexuality menguraikan
bahwa perbedaan perilaku antara lakilaki danperempuan tidaklah sekadar
biologi, namun melalui proses sosial dan
kultural. Oleh karena itu, gender berubah
dari waktu ke waktu, dari tempat ke
tempat bahkan dari kelas ke kelas,
sedangkan jenis kelamin biologis (sex)
akan tetap tidak berubah.
Hanya saja masalahnya adalah
bahwa sebuah peran gender tidak
bersifat alami dan opsional. Pada
kenyataannya peran gender terkonstruksi
oleh berbagai wacana kultural, dan
khususnya bahasa. Seks dan gender
diyakini sebagai konstruksi sosial yang
secara intrinsik terkandung dalam soalsoal representasi. Dengan kata lain, seks
dan gender lebih merupakan persoalan
budaya daripada soal alam. Sering
dijumpai dalam berbagai ungkapan yang
amat bias gender, yakni adanya sebuah
representasi
bahwa
pria
adalah
“penakluk alam” dan wanita adalah
“representasi alam” yang kalau tidak
sensitif akan dianggap sebagai sebuah
kebenaran.
Ideologi “Pembelaan kepada Kelompoknya yang Tertindas”
Elite perempuan
Indonesia—paling
tidak sebagian—begitu sadar akan
keberadaan kaumnya yang sampai saat
ini tertindas, baik dari segi ekonomi,
sosial, bahkan linguistik. Dari segi

ekonomi mereka tidak memiliki akses ke
pusat-pusat sumber ekonomi. Dari segi
sosial, mereka menjalankan peran yang
sering
hanya
sebagai
pelengkap
penderita bagi kaum laki-laki. Dari segi
linguistik,
mereka
sering
tidak
memperoleh hak yang proporsional
dalam pembentukan teks. Teks yang ada
adalah buatan laki-laki (man’s made).
Dengan demikian, cara pandang yang
dilahirkan pun cenderung cara pandang
laki-laki.
Pandangan Kartini sebagai golongan elite perempuan, nasib perempuan masih dalam posisi didiskriminasi,
dikalahkan, dan disubordinasi oleh
sistem yang dibuat menurut kaca mata
laki-laki. Oleh karena itu, kelompok
yang terdiskriminasi atau terkalahkan
dan tersubordinasi perlu dibela.
Kedudukan seorang perempuan
dipandang rendah, padahal Al-Quran
sebagai
rujukanprinsip
masyarakat
islam, pada dasarnya mengakui bahwa
kedudukan laki-laki dan perempuan
adalah sama. Dimana yang satu tidak
memiliki keunggulan terhadap yang lain.
Hak istri diakui sederajat dengan hak
suami. Dengan kata lain, laki-laki memiliki hak dan kewajiban terhadap perempuan dan sebaliknya perempuan juga
memiliki hak dan kewajiban terhadap
laki-laki. Dalam hal ini, Al-Quran
dianggap memiliki pandangan yang
revolusioner terhadap hubungan kemanusiaan, yakni memberikan keadilan hak
antara laki-laki dan perempuan, Fakih
(2007:50). Pada hakekatnya ajaran islam
memberikan perhatian yang sangat besar
serta kedudukan terhormat kepada
perem-puan. Perempuan adalah partner
kaum laki-laki.
Ideologi “Pengambilan Distansi untuk
Menunjukkan Kemampuan”

NOSI Volume 5, Nomor 4 Agustus 2017 _________________________________________

Perempuan
Indonesia
juga
menyadari bahwa salah satu yang harus
diperjuangkan adalah menuntaskan
pekerjaan. Ia harus mampu menunjukkan kepada kekuatan higemonik
bahwaperempuan pun bisa melakukan
sesuatu
tanpa
perjuangan
untuk
menunjukkan kemampuan, perempuan
akan selalu diremehkan oleh kekuatan
higemonik.
Abidah El Khalieqy sebagai
salah seorang penulis perempuan
menggambarkan tokoh perempuan,
dalam hal ini Kartini, yang bertindak dan
menunjukkan kemampuannya kepada
kekuatan hegemonic, bahwa perempuan
pun bisa melakukan sesuatu yang bisa
mengangkat citranya sebagai perempuan.
Penggunaan bahasa Al-Quran
dapat menunjukkan bahwa penghasil
teks mampu menguasai sesuatu sejajar
dengan apa yang dapat dikuasai oleh
kekuatan hegemonik, yakni kekuasaan
laki-laki. Artinya, sebagai sesorang
pengarang perempuan ia dapat berbuat
sesuatu terhadap persoalan ketertinggalan perempuan Indonesia melalui
karyanya.
Tokoh Ngasirah
Ideologi “Keterikatan pada Struktur”
Seperti telah dijelaskan pada
keterangan di atas mengenai istilah
struktur,
merujuk
kepada
kode
tersembunyi yang berfungsi menjadi
pedoman
bagi
individu
dalam
menjalankan peran sosialnya.
Dalam cerita novel ini Ngasirah
menjalankan perannya sebagai perempuan, makhluk yang menyandarkan pada
kekuatan struktur yakni keluarga yang
mengikat perempuan yang memiliki
tugas yang dilakukannya tanpa ada
pertanyaan yang menggugat tugas dan

peran itu. Disini Ngasirah tergambar
sebagai sosok perempuan yang tidak
memiliki keberanian atau kemampuan
untuk memberontak terhadap keterikatan
pada struktur sosialnya.
Ideologi “Penolakan Terhadap Kodrat”
Di Indonesia pada umumnya
adalah wanita sudah lahir dengan
kodratnya yakni sebagai ibu rumah
tangga yang menjalankan peran-peran
domestik, makhluk yang secara kodrat
sebagai manusia kelas dua, makhluk
yang secara kodratmenjalankan fungsi
sebagai objek, dan sebagainya.
Gambaran tokoh Ngasirah dalam
novel ini adalah sebagai perempuan
yang terikat oleh budaya jawa yaitu
wanita yang identik dengan peran-peran
domestik, peran-peran kerumahtanggaan
tanpa berani memperjuangkan sebuah
konsep bahwa harkat dan martabat
perempuan adalah hasil konstruk sosial.
Ideologi “Pembelaan kepada Kelompoknya yang Tertindas”
Paling tidak sebagian perempuan
Indonesia menyadari keberadaan kaumnya yang sampai saat ini tertindas, baik
dari segi ekonomi, sosial bahkan
linguistic.
Tokoh Ngasirah dalam novel ini
digambarkan sebagai sosok perempuan
yang tertindas, masih dalam posisi
didiskriminasi, terkalahkan, dan tersubordinasi oleh sistem yang dibuat oleh
laki-laki. Tentu saja ini tidak menguntungkan bagi perempuan. Bahkan dalam
banyak hal, laki-laki cenderung memproduksi dan mereproduksi apayang
disebut pandangan laki-laki (male gaze).
Dengan demikian, ukuran dan norma
yang dibangun dan dinaturalisasikan pun
adalah ukuran laki-laki.

NOSI Volume 5, Nomor 4 Agustus 2017 _________________________________________

Ideologi “Pengambilan Distansi untuk
Menunjukkan Kemampuan”
Seperti telah dijelaskan di atas,
perempuan Indonesia menyadari bahwa
salah satu yang harus diperjuangkan
adalah menuntaskan pekerjaan. Ia harus
mampu menunjukkan kepada kekuatan
hegemonik bahwa perempuan pun bisa
melakukan sesuatu.
Tokoh Ngasirah sebenarnya
memiliki kemampuan untuk menjadi
“seseorang”, tapi kurang ada keberanian
untuk mengekspresikan kemampuannya.
Pengungkapan kemampuan itu paling
hanya berani dilakukannya sebatas
dilingkup keluarga, itupun hanya sebatas
kamampuan sebagai “kodratnya”. Tokoh
Ngasirah terlahir dalam lingkup budaya
Jawa, yang antara lain ada ungkapan
bahwa wanita menjalankan “3M”, yakni
macak ‘berhias’, masak ‘memasak di
dapur’,dan manak ‘melahirkan anak’.
Wanita identik dengan peran-peran
domestik itu.
Feminisme Tokoh melalui Ucapanucapannya
Dari analisis kritis terhadap
“ucapan-ucapan” tokoh dalam novel
Kartini karya Abidah El Khalieqy,
terdapat beberapa ideologi
yang
diperjuangkan
perempuan
sebagai
bentuk feminisme tokoh.
Feminisme Tokoh Kartini
Ideologi “Pengurangan Distansi dalam
Kerangka Solidaritas”
Perempuan
Indonesia
juga
memanfaatkan penggunaan bentukbentuk informal, seperti penggunaan
kosakata sehari-hari, kolokial, gaul,
dan/atau “nonbaku”. Dalam novel
Kartini ini, Abidah juga menggunakan
bahasa informal atau bahasa sehari-hari

untuk menunjukkan keakraban terhadap
pembacanya.
Penghasil teks, dalam hal ini
Abidah sebagai pengarang, sebenarnya
ingin menunjukkan sisi feminisme tokoh
seorang Kartiniyang ingin memperjuangkan ideologi perempuan, tetapi
dalam pengekspresiannya pengarang
memilih menampilkan kosa kata seharihari dengan menggunakan bentukbentuk informal yang dapat mengurangi
ketegangan, jarak sosial, atau distansi
sosial. Ia menggunakan bahasa Jawa
yang sesuai dengan konteks sosial tokoh
dalam cerita, sehingga bagi penikmat
teks kesan yang muncul adalah kesan
tidak serius dan alamiah. Kesan dan citra
yang muncul dari teks itu adalah nilainilai solidaritas antara penghasil dengan
konsumen teks. Dalam jangka panjang,
jarak sosial antara penghasil dan
penikmat teks dapat semakin dekat.
Setiap pengarang memiliki gaya masingmasing dalam menyajikan hal-hal yang
berhubungan
erat
dengan
selera
perbadinya dan kepekaannya dengan
segala sesuatu disekitarnya. Gaya itu
digunakan sebagai cara pemakaian
bahasa yang spesifik, yang merupakan
kemahiran seorang pengarang dalam
memilih dan menggunakan kata-kata,
kelompok kata, kalimat, dan ungkapan
yang pada akhirnya akan ikut
menentukankeberhasilan, keindahan, dan
kemasukakalan suatu karya yang
dihasilkannya. Sastra sebagai salah satu
jenis karya seni tentu tidak lepas dari
aspek estetika atau aspek keindahan.
Tapi perwujudan keindahan dalam karya
sastra berbeda dengan karya seni
lainnya. Jika keindahan dalam karya seni
lain dapat diamati langsung melalui
bentuknya, tidak demikian dengan
sastra. Sastra mampu memancarkan
keindahan dalam dirinya tidak hanya

NOSI Volume 5, Nomor 4 Agustus 2017 _________________________________________

dari bentuk namun yang lebih utama lagi
adalah dari bahasa yang digunakan
didalamnya. Bahasa sastra adalah bahasa
yang istimewa, Simson (2004:98).
Keistimewaan bahasa dalam
sastra tersebut tampak pada pengolahan
kata atau kalimat yang kesemuanya
mampu mencipatkan nuansa keindahan
didalamnya. Karakteristik bahasa sastra
yang pertama adalah penggunaan bahasa
yang estetis atau indah, kedua, bahasa
sastra
merupakan
plastik
untuk
membungkus amanat dalam sebuah cipta
sastra yang dijadikan sebagai media
untuk menyampaikan amanatberupa
ujaran dan berbagai pesan moral kepada
pembacanya, ketiga, bahasa sastra
dinamis. Sastra mampu memanfaatkan
bahasa
secara
leluasa,
karena
penyusunan bahasa dalam karya sastra
lebih dinamis, dan keempat, bahasa
sastra bersifat simbolik dan konotatif.
Ideologi“Pemberontakan terhadap Kemapanan Laki-laki”
Beberapa perempuan Indonesia,
memiliki pandangan hidup yang cukup
menonjol yakni pemberontakan terhadap
kemapanan laki-laki. Ada beberapa hal
yang menandai evaluasi penghasil teks
terhadap realitas disekitarnya, terutama
masalah dominasi pria yang sudah
berlangsung turun temurun.
Dengan
perjuangan
itu,
bagaimanapun kaum perempuan akan
dapat menentukan cara-cara untuk
“menggambarkan pandangan kaum
perempuan ke dalam kehidupan kultural
kita”. Atau paling tidak dapat tercipta
apa yang disebut pandangan perempuan
(female gaze). Dengan cara ini, laki-laki
lebih menghargai bahwa ada cara
pandang lain atau cara pandang the other
di luar cara pandang yang secara bawah
sadar selama ini berlaku, yakni cara

pandang dari self. Cara pandang yang
baru itu paling tidak dapat menempatkan
perempuan pada posisi yang lebih baik,
posisi yang lebih setara, posisi yang
memiliki akses yang banyak bagi
perempuan, tanpa harus merugikan
pemilik cara pandang sebelumnya yang
sudah dianggap baku dan universal
yakni laki-laki.
Ideologi “Perasaan Senasib dengan Sesamanya”
Tokoh Kartini sebagai perempuan memiliki perasaan senasib dengan
sesama perempuan dan berusaha
memperjuangkan ideologi perempuan
untuk bisa terbebas dari budaya
patriarki. Abidah El Khaileqy sebagai
pengarang
perempuan,
mencoba
mengangkat perempuan sebagai tokoh
utama dalam karyanya dengan berbagai
sisi kehidupannya. Novel Kartini karya
Abidah El Khaileqy adalah sebuah novel
yag berbingkai feminisme. Novel ini
dinilai sebagai bentuk perjuangan yang
bisa dilakukan oleh seorang penulis
wanita untuk meningkatkan kedudukan
kaumnya. Perspektif feminisme lebih
mengarah pada karya sastra yang ditulis
perempuan sekaligus menampilkan
tokoh perempuan dengan berbagai
masalahnya. Perspektif dimaksud tidak
semata-mata memandang novel dari
kaca mata estetika tetapi, juga memfokuskan kajian pada makna dan hubungannya dengan realitas sosial budaya.
Novel Kartini memiliki kandungan
ekspresi dan konsistensi fiksional untuk
mengutuhkan kepribadian, kecerdasan,
dan keyakinan tokoh perempuan
didalamnya. Pengutuhan itu bukan saja
terbaca dari latar sosial tokohnya,
Kartini, tetapi juga emansipasi pemikiran dan keberaniannya untuk melawan
dominasi dan diskriminasi tokoh-tokoh

NOSI Volume 5, Nomor 4 Agustus 2017 _________________________________________

antagonis yang bersifat patriarkis.
Penggambaran posisi dan sikap tokoh
perempuan tersebut juga mencerminkan
adanya upaya untuk menanggapi dan
mencari solusi terhadap masalah gender
yang ditimbulkan oleh ketidak adilan
sosial dan budaya di sekitar keberadaan
tokoh itu.
Ideologi “Teguh dalam Berjuang”
Perempuan Indonesia juga memperjuangkan salah satu pandangan hidup
“teguh dalam berjuang”.
Tokoh Kartini adalah tokoh
perempuan yang dibentuk pengarang
untuk menjadi agen atau pioneer
perbaikan derajat kaum perempuan
khususnya dalam lingkungan keraton.
Kartini berusaha membebaskan
diri dan perempuan lain dari kebiasaan
dan cara pandang yang memandang
sesuatu dari gender. Dalam novel ini
Kartini digambarkan sebagai sosok yang
mempunyai tekat kuat dan pantang
menyerah, tekat itu ia manifestasikan
ketika menghadapi berbagai masalah
yang menyudutkannya. Hal inilah yang
menggambarkan ideologi teguh dalam
berjuang.
Patriarki adalah penyebab penindasan terhadap perempuan. Perbedaan
biologi antara laki-laki dan perempuan
dianggap sebagai awal pembentukan
budaya patriarki. Menurut Millet, intitusi
dasar dalam pembentukan budaya
patriarki adalah keluarga, dimana
ideologi patriarki terpelihara dengan
baik dalam masyarakat tradisional
maupun modern. Keluarga mendorong
setiap anggotanya untuk berpikir dan
berperilaku sesuai dengan aturan
masyarakat yang menganut patriarki.
Ideologi patriarki dikenalkan kepada
setiap anggota keluarga, terutama
kepada anak.

Feminisme Tokoh Ngasirah
Ideologi “Pengurangan Distansi dalam
Kerangka Solidaritas”
Seperti telah dijelaskan di atas,
perempuan Indonesia juga memanfaatkan penggunaan bentuk-bentuk
informal seperti penggunaan kosakata
sehari-hari, kolokial, gaul, dan atau
‘non-baku’. Penghasil teks sebenarnya
ingin memberikan komentar terhadap
keadaan yang tidak baik. Ia memilih
bentuk-bentuk
informal
sebagai
gambaran latar sosial budayanya yang
dapat mengurangi ketegangan, jarak
sosial, atau distansi sosial. Tokoh
Ngasirah sebagai gambaran tokoh yang
tunduk kepada kodratnya dengan
lingkungan kehidupan budaya Jawa,
digambarkan oleh penghasil teks sebagai
sosok wanita Jawa yang kental dengan
kepatuhan terhadap budaya Jawa.
Ideologi “Pemberontakan terhadap Kemapanan Laki-laki”
Pemberontakan terhadap kemapanan laki-laki merupakan salah satu
pandangan hidup yang cukup menonjol
dari beberapa perempuan Indonesia.
Tokoh Ngasirah sebagai perempuan yang mencoba melakukan pemberontakan terhadap kemapanan laki-laki
melalui doa-doanya karena dia kurang
mampu melakukannya dalam bentuk
tindakan nyata. Hal ini disebabkan
karena dominasi laki-laki yang sudah
berlangsung turun-temurun dan sikap
fatalistik perempuan terhadap keadaan
yang ada.
Bagaimanapun kaum perempuan
dalam perjuangannya akan dapat
menentukan cara-cara untuk menggambarkan pandangan kaum perempuan ke
dalam kehidupan kultur kita, atau paling

NOSI Volume 5, Nomor 4 Agustus 2017 _________________________________________

tidak dapat tercipta apa yang disebut
pandangan perempuan.
Ideologi “Perasaan Senasib dengan Sesamanya”
Perempuan Indonesia juga memiliki perasaan senasib dengan sesama
perempuan, begitu pula dengan tokoh
Ngasirah dalam tokoh ini.
Ucapan Ngasirah”biar nanti saya
bicarakan pada Romo mu,” itu menggambarkan perasaan senasib dengan
sesamanya, dalam hal ini Kartini. Dia
mendorong Kartini untuk mengekspresikan
pemberontakan
perempuan
terhadap kungkungan budaya patriarki.
Ideologi “Teguh dalam Berjuang”
Salah satu pandangan hidup yang
diperjuangkan oleh perempuan Indonesia adalah ‘teguh dalam berjuang’.
Perempuan memiliki tanggungjawab
ganda yakni sebagai ibu yang harus
merawat anak-anaknya dan istri yang
melayani suaminya di rumah, inilah
yang mengakibatkan ketimpangan atau
ketidak setaraan gender antara laki-laki
dan perempuan dalam berbagai hal.
Ketimpangan atau bias gender terepresentasi melalui tokoh-tokoh dalam karya
sastra dan menggambarkan baik diskriminasi, subordinasi, marginalisasi, pembagian kerja, stereotip maupun kekerasan terhadap perempuan yang tertuang di
dalamnya.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data,
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
dalam novel Kartini karya Abidah El
Khaileqy ditemukan adanya feminisme
tokoh melalui apanya yang diperbuatnya
dan ucapan-ucapannya. Selanjutnya
melalui apa yang diperbuatnya dan

melalui ucapan-ucapannya seperti yang
ada dalam rumusan masalah diuraikan
sebagai berikut.
Feminisme tokoh melalui apa yang diperbuatnya
Melalui apa yang diperbuatnya
ada beberapa ideologi yang menonjol,
yang diperjuangkan yaitu (1) ideologi
keterikatan pada struktur, (2) ideologi
penolakan terhadap hakikat kodrat, (3)
ideologi pembelaan terhadap kelompoknya yang tertindas, dan (4) ideologi
pengambilan distansi untuk menunjukkan kemampuan.
Feminisme tokoh melalui ucapan-ucapannya
Melaluiucapan-ucapannya
menggambarkan ada beberapa ideologi
yang diperjuangkan yaitu (1) ideologi
pengurangan distansi dalam kerangka
solidaritas, (2) ideologi pemberontakan
terhadap kemapanan laki-laki, (3)
ideologi perasaan senasib dengan
sesamanya, dan (4) ideologi teguh dalam
berjuang.
Kartini sebagai tokoh utama
dalam novel Kartini karya Abidah El
Khaileqy
betul-betul
menunjukkan
sebagai sosok feminis baik dari apa yang
diperbuatnya
maupun
ucapanucapannya. Kartini sebagai salah satu
elit perempuan dijamannya yang
diuntungkan oleh sistem budaya Jawa
cenderung berada pada perspektif
keterikatan pada struktur, yang rata-rata
adalah perempuan yang tidak banyak
menuntut. Dalam keadaan demikian,
Kartini mampu dan berani mengekspresikan perjuangannya baik dalam
bentuk perbuatan maupun ucapanucapannya sehingga ia bisa mewujudkan
segala ideologi yang diperjuangkannya
demi
perempuan-perempuan
yang

NOSI Volume 5, Nomor 4 Agustus 2017 _________________________________________

senasib dengannya, juga perempuan
Indonesia pada umumnya. Apa yang
diperjuangkan Kartini menjadi tonggak
emansipasi wanita di Indonesia sehingga
sekarang wanita Indonesia bisa lebih
bebas dan leluasa mengekspresikan diri
tampil sederajat dari berbagai segi
kehidupan dengan kaum laki-laki.
Sedangkan kehadiran tokoh
Ngasirah dalam novel Kartini karya
Abidah El Khaileqy memberikan
gambaran sebagai tokoh perempuan
yang berusaha melakukan perjuangan
terhadap ideologi perempuan dengan
segala keterbatasan kungkungan adat
sosial budaya Jawa yang melatarinya.
Tokoh Ngasirah merupakan gambaran
sosok wanita pribumi yang dalam
budaya Jawa tergolong sebagai ‘nomor
dua’ yang hak-haknya terbelenggu oleh
sistem patriarki, laki-laki memiliki kuasa
penuh terhadap perempuan sehingga
mereka dapat melakukan apapun yang
diinginkan terhadap istrinya. Dengan
keadaan demikian ini Ngasirah mencoba
berusaha
memperjuangkan
sisi
feminismenya baik melalui perbuatan
maupun ucapan-ucapannya dengan
segala keterbatasan yang terikat oleh
aturan turun-temurun yang harus
dianutnya.
Saran
Bagi Perempuan
Sebagai seorang perempuan
harus memiliki karakter pribadi yang
tegar, optimis, dan penuh percaya diri
dalam mengekspresikan ide-ide maupun
gagasannya tanpa meninggalkan sisi
feminismenya. Perempuan harus dapat
menempatkan diri secara tepat dalam
berbagai segi kehidupannya baik
didalam keluarga, masyarakat, maupun
pekerjaannya. Ia harus berupaya
memperoleh
penghargaan
dan
pengakuan dari masyarakat secara layak.

Selain itu, perempuan sebagai sosok
pribadi yang dinamis, harus kritis atas
segala peristiwa dan perubahan sosial
yang terjadi dalam kehidupannya, dan
dengan perubahan tersebut perempuan
harus mengekspresikan dirinya dengan
penuh motivasi, tujuan, kemampuan, dan
kewajibannya untuk membangun citra
dirinya. Terakhir, sebagai perempuan
harus mampu menumbuhkan keberanian
untuk
mengakhiri
semua
tindak
marginalisasi, subordinasi, stereotype,
tindak kekerasan, serta beban kerja yang
tidak proporsional. Perempuan harus
senantiasa bersungguh-sungguh memperjuangkan hak-haknya disetiap segi
kehidupannya
tanpa
meninggalkan
kewajibannya sebagai “seorang perempuan”.
Bagi Pengajar Sastra
Kajian feminisme tokoh novel ini
dapat dijadikan sebagai salah satu
alternatif pemilihan bahan pengajaran
karena banyak berisi pesan moral yang
mendidik,
yang
berguna
bagi
perkembangan pribadi anak, terutama
anak didik perempuan yang sedang
berupaya untuk mencari jati dirinya.
DAFTAR RUJUKAN
Arikunto,
Suharsimi.
2013.
ProsedurPenelitian.
Jakarta:
RinekaCipta
Darma,
Yoce
Aliah.
2009.
AnalisisWacana
Kritis.
Bandung:Yrama Widya
Eriyanto.
2001.
Analisis
Wacana:Pengantar
Analisis
TeksMedia.
Yogyakarta:PTLkiS
Pelangi Aksara
Fakih, Mansour. 2013. AnalisisGender
danTransformasiSosial.
Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Heroepoetri, Arimbi dan R Valentina.
2004. PercakapanTentang Fe-

NOSI Volume 5, Nomor 4 Agustus 2017 _________________________________________

minisme
dan
Neoliberalisme.Jakarta:
Debtwatch
dan
InstitutPerempuan
Departemen Pendidikan Nasional.2015.
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta:
PT
Gramedia
Pustaka Utama
Muslikhati, Siti. 2004. Feminisme dan
Pemberdayaan Perempuan
dalamTimbangan
Islam.
Jakarta:Gema Insani.
Moleong,
Lexy.
2000.
MetodologiPenelitian Kualitatif.
Bandung:
PT
RemajaRosdakarya.
Nurgiyantoro,
Burhan.
2015.
TeoriPengkajianFiksi.Yogyakarta:
UGM Press
Santoso,
Anang.
2011.
BahasaPerempuan.
Jakarta:
BumiAksara
Sumiarni, Endang. 2004. Gender
danFeminisme.
Yogyakarta:Wonderful
PublishingCompany.
Tong, Rosemari Putnam. 2006.Feminist
Thought. Yogyakarta
dan
Bandung:Jalasutra
Wellek, Rene dan Agustin Warren.
2016. Teori Kesusastraan(Terjemahan Milani Budianto).
Jakarta: PT.Gramedia.

NOSI Volume 5, Nomor 4 Agustus 2017 _________________________________________

NOSI Volume 5, Nomor 4 Agustus 2017 _________________________________________ Halaman 15