MEWUJUDKAN PERDAMAIAN AGAMA DALAM BINGKA (1)

MEWUJUDKAN PERDAMAIAN AGAMA DALAM BINGKAI DIALOG
Oleh: Husna Amin
A. Pendahuluan
Tema ini dipilih terinspirasi oleh ungkapan Hans Kung dalam salah satu karya
besarnya tentang Islam1, “Is Dialoque Impossible” yang seolah-olah menegaskan bahwa
No peace among the nations without peace among the religions; No peace among the
religions without dialogue among the religions; No dialogue between religions without
investigating the foundation of the religions (Tidak ada perdamaian antar bangsa-bangsa
tanpa perdamaian antar agama-agama; tidak ada perdamaian antar agama-agama tanpa
dialog antar agama; tidak ada dialog antar agama tanpa mempelajari fondasi agamaagama).
Kesejahteraan hidup umat beragama yang mencerminkan perdamaian secara
hakiki sesuai dengan titah suci agama, sampai saat ini belum dapat diwujudkan secara
nyata dalam kehidupan umat manusia. Berbagai upaya telah dilakukan, bahkan oleh
berbagai pihak mulai dari pemerintah hingga masyarakat biasa, baik secara teoretis
maupun praktis. Sejarah telah mencatat bahwa Indonesia sebagai sebuah Negara yang
dikenal sangat religius, sudah melakukan berbagai upaya agar tercipta hubungan
harmonis antara umat beragama, namun usaha ini seakan sia-sia ketika melihat sejumlah
problem yang dihadapi umat beragama semakin marak terjadi, bahkan telah merubah
wajah agama menjadi sadis, kejam, intoleran, bahkan non-dialogis.
Dialog antar umat beragama, khususnya di Indonesia telah dilakukan sejak tahun
1970-an, mulai dari tingkat nasional maupun internasional. Sebahagian besar

diprakarsai oleh proyek pengembangan Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama
Departemen Agama.2 Meskipun usaha mendialogkan agama dilakukan sangat intens
dan sinergis, namun sampai saat ini belum menunjukkan hasil maksimal, bahkan masih
jauh dari yang diharapkan. Untuk itu perlu memikirkan serta menemukan strategi yang
mapan dan sesuai dengan tuntutan zaman, sehingga dialog inklusif antar umat beragama
menjadi penting untuk dikaji dalam upaya mewujudkan pesan perdamaian agama.
Menurut Amin Abdullah, ukuran keberhasilan yang ditunjukkan sebagai tandatanda positif dari aktivitas dialog yang inklusif adalah meredanya isu pertikaian antar
umat beragama di tanah air, meskipun tidak bisa dikatakan hilang sama sekali. Di
samping itu munculnya konsep ideologi kerukunan yang disebut sebagai Trilogi
Kerukunan: (1) Kerukunan Antar Inter Umat Beragama, (2) Kerukunan Antar Umat
Beragama, dan (3) Kerukunan Antar Pemerintah dan Umat Beragama.3
Membangun proses keberagamaan yang dialogis dalam membina kerukunan antar
umat beragama, mesti dipertimbangkan kesucian dan kehadiran agama-agama.
Demikian juga memposisikan agama sebagai landasan pembangunan dan peradaban,
merupakan prasyarat bagi sebuah masyarakat atau bangsa untuk melangkah pada bentuk
negara maju yang lebih bermartabat, beradab, demokratis, toleran, adil, makmur dan
berkarakter.
1

Hans Kung: Islam: Past Present and Future, (England: One World, Publications, 2007): p.6

Muhammad Sabri, Filsafat Perennial: Perspektif Alternatif bagi Studi Agama dan Signifikansinya
terhadap Kehidupan Beragama Di Indonesia. (Yogyakarta: UIN Sunan Kalidjaga, 1997), hal. 132.
2

3

Amin Abdullah, “Etika dan Dialog Antar Agama: Perspektif Islam”, dalam Jurnal Ulumul
Qur’an No. 4 Vol IV. (1996), hal. 2-3
3

Islam juga sangat menjunjung tinggi perdamaian agama, demikian juga agama
yang lain. Manusia dilarang menghina dan memandang rendah terhadap agama lain.
Allah menciptakan manusia berbeda-beda, dan perbedaan yang terlihat sangat
kontradiktif justru merupakan keniscayaan bagi harmonisasi dan keseimbangan alam
semesta, sebagaimana dituangkan dalam Surat al-Hujurat ayat 13. Dengan demikian
kemashlahatan dan keadilan menjadi dasar bagi terwujudnya tujuan dari agama, yakni
terciptanya perdamaian dalam kehidupan dan peradaban manusia, khususnya
perdamaian antar umat beragama.
Keragaman corak dan ciri masing-masing gerakan keagamaan dan sejumlah
problem yang muncul akhir-akhir ini khususnya di Indonesia, apabila disikapi dengan

rasa saling menghargai dan kerjasama yang baik dan dialogis, akan menimbulkan
dinamika dan terciptanya kehidupan harmonis antar umat beragama dalam setiap aspek
kehidupan, sekaligus akan menjadi khasanah kekayaan bangsa. Memang tidak dapat
dipungkiri, sebagai bangsa yang majemuk sangat berpotensi timbulnya ketidakrukunan
dengan sikap eksklusif dan paham yang berbeda, terutama yang menyakini pahamnya
saja yang benar, sedangkan di luar itu salah.
Situasi ini justru mencerminkan ketercerabutan kehidupan umat beragama dari
karakter atau nilai-nilai luhur agama dan Pancasila sebagai jati diri bangsa dan falsafah
negara, yang mengajarkan perdamaian bagi umat atau bangsa Indonesia. Semua agama
mengajarkan perdamaian. Pancasila sebagai falsafah negara juga telah memberikan
landasan nilai sebagai haluan sikap dasar warga negara yang adil, damai dan harmonis,
baik terhadap dirinya maupun dunianya.4
Saat ini terkesan bahwa konsep agama tentang perdamaian telah terkikis dalam
hati sebahagian umat beragama, sehingga kehidupan antara umat beragama sangat jauh
dari cita-cita ini. Fenomena kehidupan umat beragama saat ini sedang berada dalam
situasi yang memprihatinkan. Konflik, kekerasan, perang, pembunuhan dan perusakan
eko sistem alam semesta terus berlangsung meningkat dan meluas, bahkan diberbagai
belahan dunia. Para elit bangsa yang seharusnya menjadi teladan masih sering
menampakkan sikap mereka yang jauh dari nilai-nilai sosial, bahkan sebahagian mereka
mendorong penggunaan kekerasan sekadar untuk mempertahankan kekuasaan.

Di tengah-tengah kekerasan yang sedang terjadi, sebahagian kelompok dengan
sengaja menarik agama ke dalam wilayah konflik dan menjadikannya sebagai alat
legitimasi untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok lainnya. Contoh konkret,
makna jihad dalam Islam yang begitu luas mencakup setiap usaha untuk meningkatkan
kualitas kemanusiaan, direduksi menjadi perang suci atas nama agama. Inilah karakter
manusia yang merusak tatanan kehidupan umat beragama dan berlawanan dengan
tujuan hakiki keberagamaan manusia. Dalam kondisi seperti ini, antara damai dan
perang, antara kasih sayang dan kekerasan menjadi sangat kabur, hanya dibatasi sekat
yang sangat tipis, seakan-akan kedamaian hanya menjadi sekedar penantian yang penuh
kecemasan dan retorika yang tidak pernah menjadi kenyataan.
Isu pluralitas yang seharusnya menjadi ruang terbuka bagi dialog yang toleran,
justru menjadi sesuatu yang dihindari bahkan dianggap mengancam identitas masingmasing agama karena notabene menuai isu tuntutan kesamaan agama, yang kadangkala
hanya disebabkan oleh pandangan yang keliru tentang istilah pluralisme agama.
Meskipun demikian, semangat untuk menggagas perdamaian tidak boleh padam, usaha
yang serius pasti akan memperoleh hasil sebagaimana diharapkan.
4

Munir Mulkhan, Agama dalam Dialog Budaya, dalam Andito (ed.), Atas Nama Agama: Wacana
Agama dalam Dialog Bebas Konflik, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hal. 49.


Untuk itu dialog inklusif dalam upaya mewujudkan pesan perdamaian antar umat
beragama, merupakan sebuah upaya signifikan untuk mengembalikan hakikat agama
dan keberagamaan manusia. Membangun proses keberagamaan yang dialogis dalam
membina kerukunan antar umat beragama, juga mesti dipertimbangkan kesucian dan
kehadiran agama. Memposisikan agama dalam bingkai dialog merupakan prasyarat bagi
umat beragama untuk melangkah pada kesadaran hidup yang damai, lebih bermartabat,
beradab, demokratis, toleran, adil dan berkarakter.
Atas dasar pemikiran ini, menjadi penting mengkaji tentang pesan perdamaian
agama dalam bingkai dialog inklusif, sehingga perdamaian antara umat beragama dapat
diwujudkan. Jika dialog antara agama dapat diwujudkan maka dialog inklusif menjadi
strategi membumikan pesan perdamaian abadi agama. Penelitian ini diharapkan dapat
menjadi salah satu alternatif pemikiran dalam menjembatani isu pluralitas dan berupaya
mengungkap kembali makna agama sebagai sumber perdamaian abadi kehidupan antar
umat beragama, sehingga strategi membumikan pesan perdamaian agama dapat
diwujudkan dan menjadi alternatif mengatasi problem pluralitas.
Berdasarkan pada uraian di atas, diketahui bahwa meskipun usaha mendialogkan
agama dilakukan sangat intens dan sinergis, namun, sampai saat ini perdamaian antara
umat beragama belum dapat diwujudkan, masih jauh dari yang diharapkan, bahkan
konflik, pertikaian, perang, dan pembunuhan semakin meningkat. Perbedaan antar
aliran saja dapat memicu gerakan keagamaan dan perang pemikiran intern umat

beragama. Untuk itu perlu menggali lebih jauh makna dialog agama, khususnya
relevansi dialog inklusif bagi upaya mewujudkan perdamaian agama. Untuk menjawab
persoalan di atas, maka peneliti memvokuskan diri pada beberapa pertanyaan penelitian
yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep dialog dalam kaitannya dengan agama?
2. Bagaimana membumikan pesan perdamaian agama dalam
bingkai dialog inklusif?
Membangun keberagamaan yang saling menyapa membutuhkan sikap
keberagamaan yang dialogis. Sikap keberagaman yang dialogis ini tidak akan terbentuk
apabila tidak memahami agama sebagai sebuah ajaran yang menjunjung tinggi
perdamaian agama-agama. Hal ini menunjukkan signifikansi pendekatan dialog inklusif
dalam menyelesaikan konflik antar umat beragama yang terjadi selama ini. Selama ini
pendekatan yang digunakan masih bersifat top down, belum menggunakan model dialog
yang bersifat bottonm up, sehingga dialog inklusif bisa dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dan evaluasi penyelenggaraan dialog antara umat beragama di masa
depan, sekaligus menjadi alternatif bagi problem pluralitas agama. Pada dataran ini
pesan perdamaian yang terkandung dalam agama memungkinkan untuk diwujudkan
dalam kehidupan nyata.
Adapun kerangka konseptual yang digunakan dalam penelitian ini adalah teologi
kerukunan antar umat beragama yang dikembangkan oleh Karl Rahner dan Raimundo

Pannikar. Karl Rahner menggunakan pendekatan teosentris/kristosentris dan Raimundo
Pannikar menggunakan pendekatan dialogis. Teosentris Karl Rahner merupakan upaya
sistematis untuk menegaskan sikap eksklusifisme dan universalitas Kristus dan
sekaligus menghormati kehendak Allah untuk menyelamatkan sifat universalnya. 5
Sementara Pannikar melalui metode dialog berusaha menunjukkan kehadiran kebenaran
agama yang ada dalam setiap agama dan memperlihatkan bagaimana “penyingkapan
5

Karl Rahner, Christianity and The Non-Christian Religions” dalam Christianity and Other
Religions, (Chicago: University Press), 32/79

kebenaran tersebut dapat menjadi pencerahan timbal balik bagi semua yang terlibat. 6
Dengan berpijak pada dua teori yang dikembangkan masing tokoh dia atas, peneliti
mencoba mengungkap makna dialog bagi upaya mewujudkan perdamaian anta umat
beragama.
B. Pembahasan
Indonesia merupakan salah satu bentuk masyarakat multikultural.
Multikulturalitas masyarakat Indonesia tidak saja karena keanekaragaman suku, budaya,
bahasa, dan ras, tetapi juga agama. Agama yang diakui di Indonesia adalah: Islam,
Khatolik, Protestan, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu. Dengan perbedaan agama yang

dianut masyarakat Indonesia, menjadi rasional adanya gesekan-gesekan. Keadilan dan
kebersamaan merupakan hal penting dan utama yang mesti dipertimbangkan antar
kelompok yang berbeda, baik dalam kaitannya dengan ras atau agama. Untuk itu dalam
rangka menjaga keutuhan dan persatuan bangsa, maka diperlukan sikap saling
menghormati dan rasa saling menghargai, sehingga gesekan-gesekan yang dapat
menimbulkan pertikaian dapat dihindari.
Dalam pembukaan UUD 45 pasal 29 ayat 2 disebutkan, “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap individu untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Kebebasan beragama dalam Islam juga
diatur sedemikian rupa. Manusia diberi kebebasan untuk beriman atau tidak. Tidak ada
paksaan dalam agama. Keadilan Tuhan nyata diberikan kepada manusia dengan
menjunjung tinggi nilai, harkat dan martabat kemanusiaannya.
Keadilan ekonomi, politik, budaya maupun agama merupakan seperangkat nilainilai yang berkaitan erat dengan harkat, martabat dan kesejahteraan manusia. Visi sejati
agama, khususnya syari’at Islam juga bertujuan mewujudkan kemaslahatan dan
keadilan bagi manusia dunia dan akhirat. Syari’at Islam itu dibangun berlandaskan pada
kebijaksanaan. Islam mengajarkan keadilan, kemaslahatan, kebijaksanaan, dan kasihsayang. Jika keluar dari nilai-nilai ini, maka dianggap bertentangan dengan syari’at
Islam.
Ketika reformasi lahir bersama nilai-nilai demokratis yang dibawanya,
keterbukaan dan kebebasan yang melekat pada nilai itu telah disalahartikan oleh
sebahagian orang. Keterbukaan untuk menyatakan pendapat didistorsi menjadi

kebebasan memfitnah dan menyerang orang lain. Kebebasan mengeluarkan aspirasi dan
ekspresi mengalami pembiasaan menjadi prilaku anarkhis yang sewenang-wenang.
Akibatnya, kebebasan bagi yang satu menjadi ancaman bagi yang lain. Yang terancam
merasa bebas untuk membalas, sehingga terjadilah konflik berkepanjangan, baik
bersifat horizontal maupun (semi) vertikal. Ironisnya, agama ikut berperan menciptakan
dan mengembangkan anarkisme dan konflik tersebut. Sebahagian orang atau kelompok
menjadikan agama sebagai justifikasi untuk menyerang kelompok lain yang tidak
sealiran atau tidak seagama. Dengan menggunakan lebel agama, konflik dan kerusuhan
atau api permusuhan semakin mudah berkobar dan merambah ke mana-mana.7
Menurut Azra, akar berbagai konflik bermula pada rasa frustasi, alienasi, serta
derivasi ekonomi dan politik. Situasi politik yang berkembang menumbuhkan
kekecawaan dan kemarahan yang siap meledak setiap saat menjadi kekerasan politik.
Pada kondisi ini, agama menjadi pemicu paling mudah dan efektif sebagai alat
6
7

Raimundo Pannikar, The Unknown Christ of Hinduism, (Maryknoll: Orbis Books,1981), p.7
Abd A’la, Melampoui..., hal. 11-12

pemersatu dalam mengarahkan massa untuk melakukan kekerasan yang dibungkus

dengan lebel agama. Pada saat yang sama hukum sulit ditegakkan. Akibatnya, proses
pengadilan hukum terhadap pelaku kekerasan bersifat setengah hati.8
Kondisi ini semakin diperburuk oleh sebahagian elit politik yang kini duduk di
lembaga tinggi Negara yang membuat situasi kehidupan semakin memanas melalui
pernyataan-pernyataan yang justru membuat masyarakat semakin marah, seakan-akan
tidak lagi tersisa sikap dan prilaku mereka yang mengarah untuk penyelesaian masalah,
selain sikap mengumpulkan kekuatan untuk saling rebut pengaruh. Selama egoisme,
ambisi, kepentingan pribadi, kepentingan kelompok, dan semua interes di luar
kepentingan rakyat dan bangsa, maka segala upaya dari pihak manapun – termasuk
pemerintah – tidak pernah bisa menyelesaikan persoalan dengan tuntas, bahkan bangsa
terus terpuruk dalam krisis yang lebih parah. Dengan demikian, perlu upaya serius dan
intens serta menyeluruh agar dapat menyelesaikan persoalan secara tuntas. Untuk itu
jeda pilitik yang diusulkan J. Kristiadi (Kompas, 10 Juli 2000) menjadi sangat
signifikan diperhatikan. Melalui jeda politik, pertarungan politik dan perebutan
kekuasaan dikalangan elit yang bertujuan untuk kepentinan subyektif atau kelompok,
yang mengabaikan kepentingan rakyat atau umat beragama harus benar-benar
dihentikan.9
Dalam perspektif mana pun, politik semacam itu tidak pernah berdampak positif,
termasuk si pelaku sendiri. Para elit politik dalam Negara, termasuk kaum agamawan,
perlu melakukan semacam dialog yang benar-benar tumbuh dari nilai kemanusiaan dan

ajaran substansial agama, yang mencerminkan ketulusan hati nurani, sikap kedewasaan
dan rasa tanggung jawab sosial serta kesadaran moral yang tinggi, sehingga perdamaian
antar bangsa dan antar umat beragama dapat terbangun, bukan dialog semu
sebagaimana sering dilakukan selama ini. Dialog seperti ini perlu dikembangkan dalam
skala nasional yang melibatkan tokoh-tokoh seluruh komponen bangsa dan dari semua
unsur - dari daerah, suku, intelektual, dan agama. Dialog ditekankan pada upaya
menumbuhkan kesadaran intrinsik bahwa kekerasan, konflik dan perang tidak pernah
membuahkan nilai positif bagi siapap pun dan dalam aspek mana pun, dan tidak pernah
ditolerir oleh agama apa pun dan rasa kemanausiaan universakl yang hakiki.
Abd A’la dalam bukunya “Melampaui Dialog Agama” (2002), menegaskan
bahwa keinginan untuk menciptakan perdamaian antar umat beragama semakin tampak
ketika pada tahun 1993 dilaksanakan konferensi World Parliament of Religions di
Chicago. 6.500 anggota Majlis Perlemen Agama-agama Dunia hadir dalam konferensi
ini dan berhasil merumuskan suatu pernyataan yang diberi judul Global Ethics. Dalam
pernyataan itu disebutkan bahwa “menjadi manusia seutuhnya dalam spirit agamaagama besar dan tradisi etik berarti umat manusia seluruh dunia dalam kehidupan
publik dan pribadi harus peduli terhadap sesamanya dan alam lingkungannya, siap
membantu dan tidak boleh brutal dan keras. Setiap bangsa, ras, dan penganut agama
hendaknya menunjukkan toleransi dan respek dalam bentuk apresiasi yang tinggi
terhadap yang lain. Yang minoritas perlu dilindungi dan dibantu dan pada saat yang
sama kelompok mayoritas jangan bersifat angkuh dan arogan serta mau menang
sendiri.10
Budhy Munawar Rachman, dalam bukunya “Argumen Islam untuk Pluralisme”
(2010), mengatakan bahwa umat Islam pada umumnya tidak memiliki persepsi untuk
8

Abd A’la, Melampoui..., hal. 23-24
Abd A’la, Melampaui..., hal. 24
10
Abd A’la, Melampoui..., hal. 11-12
9

melihat krisis yang muncul dari sudut Islam sendiri, tetapi yang dilihat adalah bahwa
Islam menghadapi ancaman dan konspirasi, khususnya konspirasi Yahudi dan Kristen
untuk menghancurkan Islam. Pandangan itu mengacu pada ayat-ayat al-Qur’an yang
melihat sikap orang Yahudi dan Kristen itu sebagai permanen dan tidak berubah.
Sebaliknya kebangkitan Islam juga menjadi ancaman bagi orang lain dan
lingkungannya. Krisis umat Islam sebenarnya terjadi diseluruh dunia Islam. Dunia
Islam tidak lagi menjadi Dar al-Islam (Bumi Yang damai), tetapi Dar al-Harb (Bumi
Konflik dan Perang). Krisis ini juga terjadi di Indonesia yang ditandai oleh munculnya
terorisme yang dilakukan oleh organisasi-organisasi atau individu yang
mengatasnamakan Islam. Islam sebagai syari’at yang toleran tidak lagi tercermin dalam
perilaku umat Islam sendiri. Partai-partai Islam tidak bersatu bahkan terpecah belah.
Jika John Naisbitt melihat gerakan fundamentalis Islam dan aksi-aksi teroris sebagai
fenomena kebangkitan agama, maka dalam realitasnya gejala itu sama sekali tidak bisa
disebut sebagai gejala kebangkitan, justru menjadi gejala krisis keagamaan.11
Sementara itu, J.B. Banawiratma, Zainal Abidin Baqir dkk, dalam bukunya
Dialog Antar Umat Beragama (2010), membagikan upaya dialog yang telah dilakukan
dalam tiga kelompok: pertama, dialog yang disponsori oleh pemerintah, terutama
Kementerian Agama yang memulai sejarah dialog di Indonesia, kemudian oleh
kementerian Luar Negeri melalui diplomasi publiknya yang baru dimulai beberapa
tahun yang lalu. Kedua, dialog yang difasilitasi lembaga masyarakat sipil. Ketiga,
dialog yang dikembangkan di lembaga-lembaga akademis, khususnya pada tingkat
pascasarjana, dan pengembangan studi agama yang memiliki implikasi pada dialog.12
Di era teknologi informasi saat ini, mulai memberikan warna lain bagi metode
dialog antar agama, sehingga kesulitan berdialog dalam dunia nyata dengan leluasa
dapat dilakukan melalu kecanggihan dunia maya (internet). Facebook misalnya, yang
sangat digandrungi oleh masyarakat Asia, khususnya bangsa Indonesia, meskipun
gagasan ini merupakan milik sebuah organisasi Yahudi Inggris, yang bertujuan untuk
mempertemukan orang dari berbagai latar belakang kepercayaan dan agama melalui
internet. Uniknya, Facebook yang bertujuan untuk memerangi ekstremisme keagamaan
ini juga didukung oleh Muslim Institute London yang merupakan organisasi terkemuka
di Inggris, tanpa menghiraukan muatan budaya apa pun, latar belakang rasial atau
keyakinan yang diikuti, mereka sama-sama mengakui serta menerima bahwa pencipta
adalah sama apapun manusia menyebutnya.13
Hassan Hanafi, sebagaimana diuraikan panjang lebar oleh M. Zainuddin (2010),
bahwa tujuan dialog adalah terwujudnya landasan humanisme umum; memodernisir
kedua agama (Islam-Kristen) pada satu titik pusat sasaran, yakni peran dan arti agama;
meningkatkan keimanan; membangun dialektika yang berciri pluralisme, tidak hanya
bersifat teoretis, tetapi dialog kehidupan yang bersifat praktis.14 Sementara itu, dialog
menurut Howe Reuel L., ibarat darah dengan tubuh, jika darah berhenti mengalir, maka
tubuh tidak akan berfungsi dan mati. Melalui dialog inklusif dapat menghadirkan Tuhan
dalam dunia, karena dalam dialog inklusif manusia saling membuka diri, sekaligus
11

Budhy Munawar Rachman, Argumen Islam untuk Pluralisme, (Jakarta: Gramedia, 2010), hal. xxii-

12

J.B. Banawiratma dan Zainal Abidin Baqir, etc., Dialog Antar Agama, (Bandung: Mizan, 2010),

xxiii
hal. ix
13

J.B. Banawiratma dan Zainal Abidin Baqir, etc., Dialog..., hal. 35
M. Zainuddin, Pluralisme Agama Pergulatan Dialogis Islam-Kristen Di Indonesia, (Malang: UIN
Maliki Press, 2010), hal. 59-60
14

membuka diri kepada Tuhan. Apabila manusia telah membuka diri kepada Tuhan, maka
disanalah ditemukan hakikat serta keajaiban dialog.15
Dialog inklusif menurut Hans Kung adalah bahwa setiap orang beragama harus
membuktikan keimanannya masing-masing, terlepas dari semua perbedaan yang ada.
Setiap umat beragama harus bertanggung jawab terhadap Tuhan dan melayani
masyarakat manusia dengan penuh penghormatan satu sama lain. Dialog antar umat
beragama benar-benar dapat menimbulkan pemahaman dan pencerahan kepada umat
dalam wadah kerukunan hidup antar umat beragama. Dalam dialog inklusif diperlukan
sikap saling terbuka antar pemeluk agama.16
Mudji Sutrisno menegaskan bahwa tidaklah cukup membangun dialog antar umat
beragama hanya dengan dialog logika rasional, tetapi perlu logika psikis, sehingga
upaya dialog teologi kerukunan juga harus dibarengi dengan pencarian-pencarian
psikologis, seperti rasa saling curiga yang selama ini selalu muncul, dan ini baru dapat
dilakukan oleh orang yang inklusif dalam beragama, karena sikap eksklusivisme terus
berusaha agar orang lain mengikuti agamanya dengan menganggap agama lain keliru
dan tidak mempunyai keselamatan.17
Berdasarkan beberapa hasil penelitian di atas, dapat ditegaskan bahwa bahwa
dialog inklusif antar umat beragama yang dikembangkan dalam penelitian ini
merupakan sesuatu yang urgen dan berada dalam kerangka relasi serta pencarian makna
kebenaran dan perdamaian antar agama yang hendak dicapai. Dialog dalam penelitian
ini diarahkan untuk kebenaran yang mengantarkan pada situasi di mana isi dan ajaran
yang dipertentangkan satu sama lain dapat terlampaui, dengan memperhatikan aspek
sosiologis, filosofis religius dan aspek edukasi. Tujuan dilakukan dialog adalah
memecahkan persoalan yang terjadi dalam kehidupan beragama, sehingga agama dapat
hidup berdampingan secara damai. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian yang akan
dilakukan berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya.
A. Agama dan Kebutuhan Manusia
Agama merupakan kebutuhan fundamental kehidupan manusia. Di sepanjang
sejarah dan disetiap tahap evolusi umat manusia, ada agama yang diikuti oleh penduduk
dunia. Pada tahap evolusi apa pun dan dalam periode manapun, manusia selalu
membutuhkan kehadiran agama. Kebutuhan manusia pada agama tidak dapat digantikan
oleh pemenuhan lainnya, seperti ekonomi, politik dan lain-lain. Agama pada hakikatnya
diturunkan ke bumi atas kehendak Tuhan, sebagai pedoman dan petunjuk bagi
hambanya beriman. Agama melandasi setiap peradaban yang dibuat manusia, namun
sering manusia tidak menyadarinya.
Manusia memang tidak mungkin dilepaskan sama sekali dari agama, setinggi
apapun kemajuan yang dicapainya. Ada ruang spiritualitas dalam diri manusia, karena
manusia bukan hanya homo sapiens, melainkan juga homo religius. Karen Amstrong,
dalam bukunya A History of God mengungkapkan kekhawatirannya sebagai berikut:
“Manusia tidak bisa menanggung beban kehampaan, mereka akan mengisi kekosongan
itu dengan menciptakan fokus baru untuk meraih hidup yang bermakna. Berhala-hala
kaum fundamentalis bukanlah pengganti yang baik untuk Tuhan, Tuhan senantiasa ada
dan akan selamanya ada dalam setiap jiwa manusia sebagai spirit identity”.18
15

M. Zainuddin, Pluralisme..., hal. 65
Hans Kung, Islam, Past, Present and Future, (England: One World Publication, 2007), p. 504
17
Hans Kung, Islam..., p. 507
18
Karen Amstrong, A History of God, (New York, Alfred A. Knoff, 1993), 399
16

Meskipun agama berasal dari Tuhan, tetapi memahami serta merealisasikan
agama diserahkan kepada manusia. Pada dataran inilah ilmu agama lahir, yang bersifat
sepenuhnya manusiawi dan bergantung pada pengetahuan dan penguasaan manusia.
Para pencari unsur-unsur yang konstan dan yang varian dalam agama, hendaknya
mengetahui bahwa perbedaan antara keduanya dan ketentuan atas perwujudannya
adalah bagian dari wilayah ilmu agama.
Dengan demikian, keduanya mengikuti interpretasi tertentu terhadap agama.
Ketentuan atas unsur-unsur yang konstan dan yang varian ini tidak akan diperoleh
sebelum memahami agama, melainkan setelah memahaminya. Konsekuensinya, di
mana pun dan apa pun yang kita hadapi adalah ilmu manusia tentang agama yang
mengamati dan memahami agama, sehingga yang demikian itu tidak bisa serta merta
disebut agama, bahkan bukan agama. Ketentuan semacam ini mencakup semua cabang
ilmu pengetahuan manusia.
Atas dasar ini suatu bidang ilmu yang dikaji manusia, baik itu ilmu agama, kurang
lengkap bahkan tidak memadai dan selalu terikat dengan budaya. Upaya memperbaiki
serta meluruskan pandangan merupakan upaya terpuji, sehingga ilmu keagamaan selalu
uptudate dan seiring dengan perubahan peradaban manusia, serta selalu
mempertimbangkan keseimbangan antara ilmunya dengan realitas kosmis atau ajaran
Tuhan yang disebut sebagai agama. Aktivitas seperti ini dapat disebut sebagai reformasi
dan kebangkitan agama, sehingga maraknya muncul gerakan keagamaan akhir-akhir ini,
meskipun kadangkala menimbulkan konflik, agama semakin menunjukkan
signifikannya di tengah-tengah kancah perdebatan dan peradaban manusia.
Memposisikan agama pada dataran eksistensialnya sebagai sumber kedamaian
dan kemashlahatan hidup manusia, memang dirasakan sangat sulit dalam situasi dunia
yang karut-marut saat ini, jika tidak dilandasi oleh kemampuan intelektual dan strategi
yang mapan. Apabila kaum agamawan bersedia mengajukan pertanyaan-pertanyaan
tentang keberagamaannya, maka orang akan mengetahui adanya perubahan dan evolusi
ilmu agama. Jika psikologi Islam lahir pada zaman modern, jika ilmu agama tetap di
bawah dominasi pemikiran Yunani, dan jika gaya tradisional penetapan hukum agama
(ijtihad) dianggap tidak memadai lagi, apakah ilmu agama akan mengalami kefanaan?
Tentu tidak, hanya orang yang tidak mengetahui perbedaan antara agama dan ilmu
agama yang akan mencapai kesimpulan yang keliru bahwa ilmu agama, bahkan agama
itu sendiri akan fana.
Wahyu Ilahi berasal dari wilayah yang mengatasi ruang dan waktu, wahyu bukan
penjara alam atau peradaban, sehingga pengetahuan atau pemahaman manusia atas
agama berlangsung temporal, jika tidak maka tidak dapat bertahan. Dengan demikian,
sifat ilmu agama adalah temporal, suatu pedoman yang berlaku secara universal, tidak
lain maksudnya selain mensikronkan dan mengadaptasi cabang ilmu pengetahuan
manusia ini dengan ilmu-ilmu dan kebutuhan masing-masing zaman. Transformasi
dalam bentuk ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia kecil kemungkinannya menjadi
penyebab transformasi ilmu agama.
Pertanyaan penting yang harus menjadi renungan bersama saat ini adalah
“mengapa agama sebagai sumber rahmat bagi sekalian alam justru menuai petaka dan
kemunafikan. Mengapa agama sebagai sumber kedamaian bagi hidup sesama antar
kepercayaan yang berbeda, justru memunculkan konflik dan pertikaian? Mengapa
agama yang seharusnya menjadi tuan bagi kebudayaan, justru menjadi budak bagi
pemenuhan nafsu manusia? Mengapa evolusi dalam pemikiran agama tidak bisa
dielakkan? Mengapa fatwa fuqaha Arab dan Non Arab bertentangan dengan watak

masing-masing budayanya? dan mengapa filsuf Islam berbeda dengan kaum sufi?
Sejumlah pertanyaan inilah yang menggiring sejumlah pemerhati ilmu agama kepada
pertanyaan besar yang harus di jawab, yakni: mengapa manusia membutuhkan
reformasi dan kebangkitan agama?
Titik tolak untuk memperoleh jawaban dari sejumlah pertanyaan yang muncul di
atas, dapat dimulai dengan mencoba memehamai kembali eksistensi agama dan
fungsinya bagi kepentingan kemanusiaan. Agama sebagai sistem nilai dan ajaran,
memiliki fungsi yang pasti dan jelas untuk mengembangkan kehidupan umat manusia
yang lebih beradab dan sejahtera. Secara historis, agama Islam termasuk agama apapun
yang terdapat di dunia ini bertujuan untuk memperbaiki moralitas manusia, dari
kebiadaban menuju manusia bermoral. Karena itu, ketika manusia telah jauh
menyimpang dari fitrah, nabi-nabi diturunkan untuk mengembalikan mereka kepada
kehidupan yang benar, yang cenderung kepada kebaikan dan menjauhi segala
kejahatan.19
Kebenaran agama sebagai suatu tradisi universal adalah abadi (perennial). Sejak
diturunkan pertama sekali kepada Adam, hingga Nabi yang terakhir Muhammad saw,
kebenaran, kesejatian dan kesucian agama ada dan terpelihara, tidak pernah berubah.
Sifat al-Qur’an yang disebut universal, menunjukkan bahwa kebenaran yang ada dalam
agama sebagai subtansi dari Firman Allah senantiasa dapat hadir dan siap menghadapi
tantangan apapun yang ada dan terjadi dalam kehidupan manusia.
Meskipun ilmu pengetahuan manusia terus berubah dan peradaban yang
diciptakan manusia terus melangkah ke arah lebih maju dan berkembang tanpa
mengenal kata henti, agama dalam dimensi fitrahnya, senantiasa mampu menjawab
setiap persoalan kehidupan. Agama akan senantiasa hadir, bahkan manusia sendiri yang
akan berusaha menghadirkan agama saat di mana manusia sendiri membutuhkannya.
Jika agama kini dianggap tidak mampu menjawab tantangan zaman, berarti manusia
tidak lagi memahami agama sebagai mana mestinya dan tidak mampu menangkap pesan
dan menemukan kebenaran sejati agama sebagai jalan keluarnya.
Hal ini dapat dilihat pada prilaku yang ditunjukkan oleh sebahagian umat
beragama diseluruh dunia saat ini, tampak tidak bersesuaian dengan anjuran suci
agama-agama. Suasana paradoks selalu mengitari kehidupan umat beragama, bahkan
ada yang merasa bahwa dengan melakukan hal-hal yang menjatuhkan atau menganggap
salah serta melawan agama lain sebagai pekerjaan mulia dan mendapat pahala, dakwah
agama dengan cara kekerasan menjadi sebuah ajaran yang seolah-olah diajarkan agama.
Tidak jarang sebahagian orang menganggap bahwa perbuatan menghalangi atau
melarang adalah jihad yang didorong oleh justifikasi agama. Cara semacam ini semakin
menunjukkan tanda-tanda ortodoksi pemahaman agama.
Keadaan ini menjadi tugas berat umat beragama yang ingin beragama secara
benar, saleh, mendamaikan dan menebar keselamatan. Memposisikan agama sebagai
kepentingan kemanusiaan, berarti mengembalikan agama pada posisi yang sebenarnya,
yang mengajarkan keadilan, kedamaian dan kemashlahatan bagi kehidupan. Kedamaian
dan kemashlahatan agama berdimensi universal, dalam arti mencakup seluruh umat
manusia dan setiap aspek kehidupannya, baik prilaku ekonomi, politik, hukum, mauun
aktivitas-aktivitas sosial kemanusiaan lainnya.
Apabila selama ini dirasakan adanya pemegang otoritas atas tafsir wacana agama,
sudah semestinya dipikirkan ulang untuk melakukan reinterpretasi, agar dapat
menjawab tantangan-tantangan yang terus menghdang. Peradaban telah berubah,
19

Abd. A’la, Melampoui..., hal.133-134

pemahaman dan cara pandang serta penafsiran tentang agama juga harus
dipertimbangkan agar sesuai dengan tuntan zaman. Jika tidak, maka agama akan terus
dipandang lemah dan bahkan dianggap tidak mampu menjawab persoalan
kemanusiaan.20
Dapat diprediksikan bahwa akan tiba suatu saat, ketika manusia mencari keadilan
yang lebih utuh daripada yang telah ditemukan diantara manusia, yakni suatu perasaan
keagamaan yang merindukan kebenaran suci yang mendamaikan kehidupan lahir dan
batin. Perasaan ini timbul bukan karena dorongan dari luar, tetapi justru bentuk
perlawanan kesejatian jiwa manusia terhadap apa yang terjadi dan berlawanan dengan
naluri kemanusiaannya. Sudah saatnya umat beragama membangun tradisi atau wacana
keagamaan yang menghargai kehadiran setiap agama, sehingga mampu menghadirkan
suasan kehidupan bersama yang lebih toleran dan transformatif.
Sudah saatnya juga para elit agama tampil sebagai pengemban misi agama-agama
yang bernuansa baru, yakni humanis, universalis, kulturalis, bahkan multikuralis,
menjadi sebuah model di mana para pemeluk agama menunjukkan sikap yang lebih
kental dan hanif keberagamaannya dengan leluasa memberikan kebebasan berekspresi
di kalangan setiap pemeluk agama-agama tanpa suatu pemaksaan untuk beriman pada
Tuhan.
Dalam kaitannya dengan hal ini, maka bukan saatnya lagi khutbah-khutbah agama
yang disampaikan di mesjid, gereja atau pura tidaklah harus berupa pemaparan dogmadogma yang kaku dan parsial, sehingga dipahami umatnya menjadi sangat parsial.
Khutbah atau ajaran agama akan lebih bermanfaat jika diarahkan pada pemahaman dan
perolehan ilmu pengetahuan tentang hakikat nilai yang terkandung dalam agama dan
dimensi spiritualitas agama yang tertanam dalam diri manusia sebagai fitrah
kemanusiaan yang melandasi iman. Ajaran agama yang bersifat dogmatik bukan hanya
membuat ilmu agama dan daya pikir umatnya tumpul, namun berpeluang terjadinya
claim-claim dan justifikasi yang menuai konflik antar umat beragama dan merusak
harmonisasi kehidupan yang kini sudah mulai terjalin dengan baik.
Saatnya kini umat beragama mulai memikirkan bagaimana membangun sikap
inklusif dalam beragama yang dilandasi pada etika pergaulan yang diajarkan setiap
agama dalam bingkai moral universal. Ini menjadi tugas sentral seluruh umat beragama
yang percaya bahwa Tuhan mengajarkan manusia melalui para nabi sebagai utusannya
untuk bertindak secara moral. Ukuran kebaikan adalah moralitas universal yang
senantiasa mendorong manusia sendiri untuk melakukan tindakan baik dan
meninggalkan tindaka yang buruk.
Dorongan tersebut bukan karena sekedar perintah Tuhan, tetapi merupakan bagian
dari perintah moral manusia sendiri yang ingin memperoleh kebaikan atas dirinya.
Kesadaran ini hanya dapat muncul apabila manusia memang ingin mendapatkan
kedamaian dalam hidupnya, sehingga manusia sendiri yang meretas perdamaian abadi
yang terkandung dalam agama sebagai unsur hakiki tujuan yang ingin dicapainya, demi
untuk memperoleh ketenangan dan ketentraman dalam hidupnya.
Untuk itu dialog dalam upaya mewujudkan pesan perdamaian antar umat
beragama, merupakan sebuah upaya signifikan untuk mengembalikan hakikat agama
dan tujuan hakiki kehidupan manusia. Dalam upaya mewujudkan cita-cita perdamaian
agama, salah satu strategi yang dianggap mapan dan sesuai dengan tuntutan zaman
adalah model dialog inklusif. Model dialog ini diharapkan dapat menjadi salah satu
20

Zuli Qodir, Agama dalam baying-Bayang Kekuasaan, I(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 5-6

strategi implementasi pesan perdamaian agama dalam kehidupan, demi keselamatan
agama dan masa depan kemanusiaan.
Dalam upaya membangun proses keberagamaan yang dialogis, juga mesti
dipertimbangkan dimensi metafisik dari makna kesucian dan kehadiran agama-agama.
Memposisikan agama dalam bingkai dialog inklusif berarti umat beragama mulai
melangkah kepada bentuk kesadaran hidup yang damai, harmonis, terbuka, toleran, adil
dan berkarakter. Jika dialog antar agama dapat diwujudkan maka dialog inklusif
menjadi strategi membumikan pesan perdamaian abadi yang terkandung dalam setiap
agama
. Gambaran Umum tentag Dialog Antar Agama
Akar kata dialog adalah dialektika dari bahasa Inggris (dialectic) dan Yunani
(dialektos) yang artinya pidato, pembicaraan atau perdebatan. Dalam konteks ilmu,
dialetika ini berawal dari Zeno, Sokrates dan Plato. Pada awal sejarah kemunculannya,
dialektika menunjuk kepada debat dengan tujuan utama menolak argumen lawan atau
membawa lawan kepada kontradiksi-kontradiksi, dilematis atau paradoks. Biasanya
seorang dialektikawan, tidak pernah membiarkan sesuatu untuk tidak dipersoalkan.
Dialektika juga dipandang sebagai seni mengajukan dan menjawab pertanyaanpertanyaan yang tepat dalam sebuah diskusi pada saat tepat, secara tepat, sehingga
melahirkan sebuah rumusan atau kesepakatan.21
Sokrates adalah orang pertama yang memberikan bentuk klasik tentang dialektika.
Melalui metode dialektika, Sokrates menggiring pemikiran manusia kepada hakikat halhal dengan menjelaskan konsep-konsep secara bertahap. Tahapan-tahapan ini kemudian
dilanjutkan oleh Plato (murid Sokrates) dalam bentuk dialog-dialog. Dialog-dialog yang
dilakukan Plato berupaya menggali hakikat hal-hal melalui proses pernyataan dan
kontradiksi. Pada akhirnya dialog tersebut menyiapkan jalan naik kepada realitas asli,
yakni ide-ide. Karena itu bagi Plato dialektika adalah sebuah metode metafisika dan
menghasilkan pengetahuan tertinggi. Plotinus mengembangkan lebih jauh dan
memandang dialog sebagai sebuah jalan naik menuju Yang Satu. Sementara Fichte
menganggap proses dialektika mencakup tiga hal yang saling terkait, yakni tesis,
antitesis dan sintesis, jejak ini kemudian diikuti oleh Hegel.22
Dialog dalam penelitian ini diarahkan pada sikap inklusif dalam beragama, Sikap
inklusisf biasanya dilawankan dengan sikap eksklusif dan dipertemukan dengan sikap
pluralis dalam beragama. Sikap eksklusif adalah sikap yang secara tradisional telah
sangat berpengaruh dan mengakar dalam masyarakat Muslim hingga saat ini, yang
menganggap bahwa Islam adalah satu-satunya jalan kebenaran dan keselamatan.
Sedangkan sikap inklusif adalah sikap yang memandang bahwa Islam adalah agama
yang mengisi dan menyempurnakan berbagai jalan yang lain. Semetara sikap pluralis
adalah sikap yang memandang bahwa setiap agama mempunyai jalannya sendiri, yang
sama absah, untuk mencapai keselamatan. 23 Ketiga istilah ini terkait erat dengan
perdamaian agama.
Dalam pemikiran Islam paham inklusivisme dimulai dengan penggalian
pengertian Islam bukan sebagai organized religion (agama terlembaga), tetapi
menggalinya dalam arti metafisik-transendental (rohani). Sebagai wujud dari fitrah
kemanusiaan, Islam bermakna pasrah sepenuhnya kepada Allah, sebuah sikap yang
21

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedi, 1996), 161
Lorens Bagus, Kamus..., hal. 162-163
23
Budi Munawar Rahman, Argumen Islam untuk Pluralisem: Islam Progressif dan Perkembangan
Diskursusnya, (Jakarta: Gramedia, 2010), 23-24
22

menurut para pendukung paham inklusif menjadi inti ajaran agama yang benar di sisi
Allah. Karena itu semua agama yang benar disebut Islam. Al-Qur’an memang
mengatakan bahwa Nabi Nuh mengajarkan Islam dan mewasiatkan ajaran itu kepada
anak turunannya, termasuk keturunan Nabi Ya’qub atau Israil (QS. 2: 130-132).
Sikap inklusif menerima sifat plural dari agama. Sebagai agama atau sebagai
sejarah awal dari sebuah tradisi universal menurut pandangan inklusif, Islam adalah
agama yang mengembangkan ide plural. Islam hadir dalam lingkungan yang plural.
Akar dari sifat plural inilah yang kini dicoba kembangkan oleh kalangan intelektual
Islam progressif, sehingga mapan menjadi pandangan Islam tentang pluralisme. Islam
telah bertemu dan berdialog dengan agama-agama lain sejak awal sejarahnya.
Dialog Islam dimulai dengan etika pergaulan yang diinspirasi oleh al-Qur’an yang
mengajarkan pluralitas. Al-Qur’an menganut prinsip plural (QS. 2:62), prinsip
kebebasan beragama (QS. 2:256), hidup berdampingan secara damai (QS. 109; 1-61),
dan banyak lagi ayat-ayat lain yang berbicara tentang bagaimana membangun
kerjasama, bersikap adil serta melindungi tempat-tempat ibadah agama lain. Inilah dasar
yang membenarkan anggapan paham inklusif agama yang memandang bahwa Islam
agama yang melindungi setiap agama dan mengelola perbedaan dalam Rahmat Ilahi
yang mendamaikan.
Motivasi dari dialog inklusif adalah teleransi dan kerukunan antar umat beragama
dengan tujuan menyelamatkan agama dan misi ajarannya yang telah direduksi oleh
sains modern. Dialog yang sejati adalah dialog yang berangkat dari ketulusan hati
masing-masing pemeluk agama dengan menyadari adanya keterbatasan, tetapi sekaligus
mempunyai pelbagai kelebihan untuk saling berbagi. Yang paling bijak adalah
mendalami agama masing-masing, lalu mencari titik temu dan bersepakat untuk berbeda
dengan sikap saling menghargai hal-hal yang tidak bisa bertemu. Jika antara umat
beragama dapat bersikap seperti ini maka semua umat beragama dapat hidup dan
merasakan damai dalam perbedaan. Atas dasar ini dialog inklusif diharapkan dapat
menjadi landasan teoretis bagi kehidupan yang damai antar umat beragama sehingga
konsep perdamaian agama dapat menjadi alternatif mengatasi problem pluralitas dan
titik temu antar agama dapat dikenali.
Gagasan dialog antar agama di satu sisi merupakan bentuk dukungan bagi
keimanan masing-masing umat beragama dalam menghadapi tantangan, konflik serta
peperangan antar agama. Di sisi lain juga merupakan dukungan persaudaran umat
manusia dalam menghadapi rasialisme. Gagasan dialog antar agama menjadi penting
dalam upaya mewujudkan budaya damai dan kesadaran akan tanggungjawab
kemanusiaan. Sejak awal kemunculnya, dialog agama sebenarnya hendak menyeru
semua umat beragama untuk berhimpun merumuskan kembali strategi membangun
hubungan antar manusia atas dasar keadilan, toleransi, dan hidup berdampingan secara
damai dalam komunitas yang berbeda.
Pola dialog inklusif mengedepankan hati nurani, sekaligus mengembalikan agama
dan nilai hakiki kemanusiaan pada wilayah kekuasaannya, sehingga manusia beragama
adalah manusia yang memiliki sifat sifat Tuhan, bukan makhluk monster yang selalu
siap memangsa manusia lain. Dialog inklusif yang konstruktif akan memberi solusi
yang lebih menyegarkan dan bersifat transformatif, sehingga dimungkinkan untuk
mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian yang telah tergadaikan.
Meskipun benturan-benturan antar perdaban manusia masih terasa hingga kini,
namun upaya-upaya yang dilakukan sudah mulai menunjukkan tanda-tanda perubahan.
Untuk mencapai hasil maksimal kiranya penting mempertimbangkan model dialog

inklusif antar umat beragama, di satu sisi dapat menjembatani sikap eksklusif dalam
agama agar tidak merambat ke wilayah publik. Sikap eksklusif dalam agama memang
perlu untuk memelihara keimanan masing-masing umat beragama, tapi tidak untuk
menghakimi agama lain. Masing-masing umat beragama memiliki landasan iman yang
berbeda, dan berhak mempertahankan kebenaran agama mereka. Klaim pembenaran
agama hanya berlaku untuk agama masing-masing, tetapi tidak dapat dibenarkan jika
klaim pembenaran ini digunakan untuk menghakimi kebenaran atau menganggap salah
kebenaran yang diakui agama lain.
C. Membangun Sikap Keberagamaan Yang Damai dan Dialogis:
Tantangan dan Solusi
Tidak mudah untuk mencapai cita-cita perdamaian dan kemanusiaan di tengahtengah kompleksitas masalah yang sedang dihadapi umat beragama saat ini. Umat
beragama sedang menghadapi arus perubahan yang sangat cepat dan mempengaruhi
hampir seluruh aspek kehidupan. Kaum agamawan dituntut untuk memikirkan kembali
tentang agama dan nilai kemanusiaannya.
Bagaimana agama dan keberagamaan dapat berperan mengantarkan manusia
menjadi individu yang dewasa, merdeka dan bertanggung jawab terhadap agama dan
kehidupannya di tengah-tengah masyarakat dan bangsa di dunia, umat beragama harus
memperluas wawasan serta berlapang dada menghadapi berbagai isu yang terus
mengancam keutuhan bangsa. Kompleksitas persoalan yang muncul terkait dengan isu
keagamaan akhir-akhir ini, semakin mendorong para intelektual dan praktisi pendidikan
untuk memikirkan tentang agama, sehingga tak heran banyak sekali muncul pemerhati
agama dan masalahnya, baik di kalangan agamawan, budayawan, sosiolog, maupun
akademisi.
Salah satu faktor ketidakmampuan agama dalam memberikan landasan bagi
penciptaan kehidupan yang damai dan sejahtera terletak pada mandulnya teologi dalam
menangkap perkembangan realitas kehidupan. Teologi yang berkembang saat ini masih
disominasi oleh devensive teologia yang theistic-oriented dan sangat kental dengan
karakter eksklusif. Teologi semacam ini menitikberatkan bahasannya pada upaya
memperkukuh keimanan transcendental semata. Sementara nilai-nilai imanen yang
terdapat pada aspek akidah dan ibadah diabaikan.
Keimanan yang dikembangkan dalam konstruksi teologi tersebut tidak mampu
menjadi world view yang berfungsi sebagai landasan etika bagi kehidupan manusia.
Dalam kondisi seperti ini, sseorang atau sejumlah kaum agamawan bisa saja hidup
dalam simbol-simbol agama, tapi sikap dan prilaku mereka tidak mencerminkan sama
sekali nilai-nilai substansial agama. Demikian juga umat beragama di Indonesia, dapa
saja mengklaim sebagai bangsa yang religius, namun dalam kehidupan praktis mereka
melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan nilai dan ajaran agama mereka
sendiri.24
Dalam ranah pemikiran keagamaan, persoalan pelik yang dihadapi umat beragama
saat ini adalah minimnya pemahaman agama dan kesadaran masyarakat memisahkan
antara aspek doktrinal-teologis dari ajaran sebuah agama dengan aspek kultural
sosiologis-historisnya, padahal hanya merupakan hasil inteterpretasi atau penafsiran
para intelektual agama. Akibatnya, hal ini kemudian berimbas lebih jauh pada
efektivitas tawaran solusi agama atas persoalan-persoalan yang memiliki korelasi positif
24

Abd. A’la, Melampoui..., hal. 139

dengan historisitas kemanusiaan. Dengan kata lain, karena hanyut dalam persoalan
eskatologis dan cenderung diinterpretasikan secara taken for granted, agama kemudian
menjadi tumpul dan tidak lagi peka dalam merespon persoalan-persoalan kemanusiaan.
Mengatasi hal ini dibutuhkan upaya serius dan intens serta menyeluruh agar dapat
menyelesaikan persoalan secara tuntas. Para elit politik dalam Negara, khususnya kaum
agamawan, perlu melakukan dialog yang benar-benar tumbuh dari kesadaran religius
yang mencerminkan ketulusan hati nurani, sikap kedewasaan dan rasa tanggung jawab
sosial serta kesadaran moral yang tinggi, sehingga perdamaian antar bangsa dan antar
umat beragama dapat terbangun, bukan dialog semu sebagaimana sering dilakukan
selama ini. Dialog seperti ini lebih dikenal dengan dialog inklusif.
Dalam menciptakan hubungan yang harmonis di antara pemeluk agama,
setidaknya ada sepuluh prinsip menurut Leonard Swidler25, yang harus dijunjung tinggi
agar dialog inklusif antar umat beragama dapat terjalin dengan baik, damai dan
harmonis: Pertama, adanya keinginan untuk belajar. Tujuan penting dialog adalah
belajar mengenal dan memperoleh pengetahuan yang luas tentang bermacam-macam
agama-agama yang ada; Kedua, mengupayakan dialog dalam dua arah, memandang
secara adil antara agama yang dipeluk sendiri dengan yang dipeluk orang lain. Dalam
proses dialog tidak diperkenankan hanya melalui satu sudut pandang saja, diperlukan
sikap bijaksana serta tidak memihak pada satu agama yang dianut saja; Ketiga,
kejujuran. Setiap pemeluk agama harus bersikap jujur terhadap urusan intern agamanya;
Keempat, membuat perbandingan secara adil, antara afiliasi sikap beragama dengan
doktrin keagamaan, misalnya meyakini bahwa setiap agama mengajarkan hal-hal yang
mengarah kepada kebaikan bersama; Kelima, adanya identitas yang otentik. Dalam
dialog setiap anggota diharuskan menggambarkan realitas yang sesungguhnya terjadi
pada diri serta agamanya. Hal ini menjadi penting dalam menjaga keotentikan cara
pandang masing-masing agama; Keenam, menghilangkan prasangka-prasangka buruk,
demi menjaga hubungan harmonis antar umat beragama. Visi dari dialog antara agama
adalah bukan mendakwahkan agama, tetapi sebuah upaya mengenali dan menjalin
komunikasi antar pemeluk agama; Ketujuh, adanya kesetaraan atau keseimbangan. Hal
ini akan memberikan stimulus bahwa tiap agama memiliki kebaikannya masing-masing.
Prinsip kesetaraan mengajarkan bahwa tiap pemeluk agama tidak berhak untuk merasa
paling benar dari agama lain; Kedelapan, adanya rasa saling percaya, hal ini berguna
untuk menghapus prasangka-prasangka buruk atas agama lain; Kesembilan, sikap kritis
terhadap tradisi sendiri; Kesepuluh, merasakan dari dalam. Poin terakhir inilah menjadi
pokok dalam menumbuhkan kedamaian dan keharmonisan antar pemeluk agama dalam
bingkai dialog inklusif. Poin terakhir ini disebut juga dengan “passing over”, sebuah
upaya merasakan kesejukan dan kenyamanan dari agama lain di luar agama yang di
anut. Prinsip ini merupakan bentuk tingkatan sikap keberagamaan yang paling tinggi
dan paling jujur di antara tahapan-tahapan dialog antar iman.
Dengan demikian, seseorang diharapkan mampu menghormati komitmen sendiri
sebagai mutlak untuk dirinya sendiri, dan sekaligus menghormati komitmen mutlak
yang berbeda dari orang lain. Inilah yang oleh Sayyed Hossein Nasr disebut sebagai
relatively absolute. Dari uraian di atas bisa dipahami, betapa pentingnya dialog
antaragama. Bahwa umat beragama harus menyadari adanya persamaan dan perbedaan
di antara mereka, tetapi etika dan perilaku agama-agama memiliki banyak kesamaan.
Harus disadari pula, bahwa dialog antaragama bukan hanya bertujuan untuk hidup
25

Hendra Sunandar, Membumikan Dialog Agama-Agama, Makalah Seminar disampaikan pada
Seminar Dialog Agama pada Fakultas Sosial dan Ilmu Politik (Jakarta: FISIP, 2011), 5-6

bersama secara damai dengan membiarkan pemeluk agama lain bereksistensi,
melainkan juga berpartisipasi secara aktif dan mengakui eksistensi pemeluk agama
lain.26
Persoalan yang muncul kemudian adalah, dalam bentuk yang seperti apakah
dialog itu bisa dilaksanakan? Ada beberapa alternatif: Pertama, dialog parlementer
(parliamentary dialogue), yakni dialog yang melibatkan ratusan peserta seperti yang
dilakukan oleh World’s Parliament of Religions pada 1