UPAYA MENGATASI KONFLIK HORISONTAL DALAM (1)

UPAYA MENGATASI KONFLIK HORISONTAL DALAM
KEMAJEMUKAN BANGSA INDONESIA
Oleh : Drs Kristiawan MSi

Sebagai seorang perencana pembangunan, konteksi konflik sosial menjadi
sebuah tantangan. Apa yang hendak anda lakukan menghadapi kondisi
masyarakat yang berkonflik?

Sebagaimana diketahui bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk. Heterogenitas
bangsa Indonesia adalah sesuatu yang tak terhindarkan dari adanya keanekaragaman suku bangsa
yang berasal dari ribuan pulau yang tersebar dalam wilayah 33 provinsi. Sifat heterogen juga
bersumber pada keragaman agama, dimana pemerintah mengakui adanya 6 agama, yaitu Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Sementara itu pengaruh globalisasi lewat
informasi komunikasi yang semakin canggih, membuat bangsa Indonesia memiliki berbagai
paham, persepsi dan pandangan yang berbeda sekaligus bertentangan. Dalam satu etnis dan satu
agama, bisa terjadi perbedaan paham yang bisa meruncing menjadi konflik horisontal. Hampir
setiap agama di Indonesia memiliki kelompok yang memiliki paham berbeda dan dalam satu
etnis atau suku bisa terjadi berbagai kelompok dengan tradisi, perilaku dan cara hidup berbeda.
Kemajemukan tentu saja menimbulkan kerawanan akan konflik. Karena sebab yang
sepele yang terjadi antar dua orang yang kebetulan berbeda agama dapat memicu konflik antar
suku atau antar agama. Tetapi dalam bangsa majemuk seperti Indonesia, sebenarnya juga

terdapat potensi yang luar biasa. Ketika kebudayaan dari berbagai suku dikelola dengan baik
akan menghasilkan khasanah budaya bangsa yang luar biasa. Ketika semua umat beragama dapat
hidup berdampingan dengan semangat toleransi yang tinggi, tentu akan menghasilkan kehidupan
yang indah, saling memberdayakan dan saling menghormati dalam kehidupan yang demokratis.
Maka kata kunci dalam mengelola konflik ( conflict management ) adalah bagaimana kita
hidup berdampingan dalam keanekaragaman tetapi tet[1]ap memiliki semangat persatuan; dalam
kerangka NKRI. Selama kita memiliki semangat Bhineka Tunggal Ika, dalam menghadapi
konflik akan tetap mengedepankan persatuan dan kesatuan, musyawarah – mufakat
dalam bentuk komunikasi dialogis serta menjauhkan diri dari fanatisme sempit dan kekerasan.
Konflik itu sendiri akan tetap muncul setiap saat, tetapi kita perlu memiliki konsensus untuk
menyelesaikan dalam koridor persatuan bangsa. Untuk itu Pancasila yang telah disepakati
sebagai dasar negara dan way of life harus kita jadikan alat pemersatu bangsa. Mengenai hal ini
M. Dawam Rahardjo ( 2010 ) menyatakan bahwa konsep NKRI hanya dapat dipertahankan kalau

kita tetap berpegang teguh pada semangat Bhineka Tunggal Ika, sehingga kemajemukan
masyarakat Indonesia bukan merupakan ancaman, melainkan justru merupakan kekuatan dan
ssumber dinamika.
Bapak Presiden dalam kaitannya dengan berbagai konflik horisontal yang terjadi pada akhirakhir ini, berpesan agar perbedaan diantara kita diselesaikan secara damai dan konstitusional.
Damai artinya tanpa kekerasan apalagi sampai merampas hak hidup orang lain. Dan
konstitusional artinya kita kembali menyimak ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945.

Didalamnya diatur tentang hak dan kewajiban setiap warganegara. Antara lain hak untuk hidup
dan hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif serta kewajiban menghormati hak asasi
manusia ( pasal 28 ).
KONFLIK HORISONTAL
Selama era Orde Baru kita merasakan bahwa konflik horisontal berupa bentrokan antar masa
yang disertai dengan kekerasan nyaris tidak pernah terjadi. Kehidupan antar umat beragama,
antar suku, antar etnis dan antar kelompok dalam masyarakat berlangsung dalam kedamaian.
Tetapi pada era reformasi ini, dimana kehidupan dinyatakan oleh para pakar politik lebih
demokratis, justru diwarnai oleh konflik horisontal dengan disertai oleh tindakan kekerasan.
Pada tahun 2009 tercatat ada 58 kasus dan pada tahun 2010 meningkat dengan 81 kasus.
Kemudian pada awal tahun 2011 muncul kasus kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah di
Desa Cikeusik, Pandeglang Provinsi Banten. Tiga orang tewas dalam kasus kekerasan tersebut.
Berikutnya di Temanggung masa membakar gereja, sekolah, panti asuhan dan merusak kantor
polisi. Beberapa hari kemudian muncul penyerangan terhadap Pondok Pesantren YAPI di
Pasuruan.
Kasus kasus kekerasan diatas tidak hanya antar umat beragama tetapi juga terjadi interen umat
beragama. Masalah kesenjangan sosial ekonomi, pengangguran, kemiskinan, perilaku antar etnis
dan ketidakmampuan paratur menjadikan masyarakat mudah diprovokasi melakukan tindak
kekerasan. Kasus di Temanggung misalnya, pelaku kerusuhan ternyata para petani miskin yang
tidak tahu apa-apa, tetapi melibatkan provokator dari luar kota Temanggung. Dalam hal ini

sebenarnya para elit atau tokoh agama, sudah bersepakat untuk mencari solusi atau jalan keluar
yang terbaik dari konflik yang terjadi. Di Temanggung misalnya, tiga hari setelah kasus amuk
masa terjadi, MUI Jateng bersama beberapa tokoh agama lainnya langsung datang ke
Temanggung untuk berdialog dengan pejabat pemerintah daerah dan melakukan Deklarasi
Damai. Demikian juga pada beberapa kasus yang lain, tetapi pada akar rumput konflik tersebut
tetap saja terjadi.
Pada era Orde baru, konflik yang terjadi lebih bersifat vertikal. Antara pemerintah dengan rakyat.
Misalnya konflik antara TNI dengan para pendukung Gerakan Aceh Merdeka ( GAM ) di Aceh,
kemudian antara TNI dengan pendukung Organisasi Papua Merdeka ( OPM ) di Papua dan juga
di Timor Leste. Pada waktu itu TNI ( pada waktu itu disebut ABRI ), memiliki peran sangat
menonjol; baik secara teritorial maupun secara politis karena mereka juga mendapat jatah kursi
di lembaga legislatif dan berbagai posisi di pemerintahan. Peran yang sangat menonjol dari TNI
ini bertolak belakang dengan kebebasan berserikat, berkumpul atau menyatakan pendapat dari
masyarakat dalam kerangka kehidupan berdemokrasi. Kontrol sosial politik militer yang sangat

kuat memang menghasilkan kehidupan berdemokrasi yang lemah. Tetapi konflik horisontal
dapat dikendalikan dengan baik. Kondisi persatuan dan kesatuan masyarakat cukup kokoh dan
terkendali.
Ketika era reformasi bergulir, kehidupan menjadi lebih demokratis. Kebebasan berserikat
( antara lain mendirikan partai politik ), berkumpul dan menyatakan pendapat ( misalnya melalui

demonstrasi ) lebih semarak. Tetapi kebebasan tersebut sering bersifat anarkis, tanpa
mempedulikan hukum yang berlaku. Sikap penegak hukum juga sering tidak tegas, misalnya
terhadap kelompok sosial keagamaan yang melakukan tindakan anarkis dan penuh kekerasan.
Hal ini dapat dimaklumi karena penegak hukum dihadapkan pada situasi dilematis. Mereka tidak
mau dituduh melanggar HAM sementara masyarakat yang dirugikan menuntut mereka bertindak
tegas. Kasus di Makasar misalnya, polisi setempat dianggap bersikap brutal terhadap mahasiswa.
Dilain pihak kasus Ahmadiyah di Pandeglang, polisi dianggap lemah dan tidak mampu
mengatasi amuk masa.
Menurut Aryanto Sutadi ( 2009 ), konflik mengandung spektrum pengertian yang sangat luas,
mulai dari konflik kecil antar perorangan, konflik antar keluarga sampai dengan konflik antar
kampung dan bahkan sampai dengan konflik masal yang melibatkan beberapa kelompok besar,
baik dalam ikatan wilayah ataupun ikatan primordial. Dalam hal ini dapat dibedakan antara
konflik yang bersifat horisontal dan vertikal, dimana keduanya sama-sama besarnya berpengaruh
terhadap upaya pemeliharaan kedamaian di negara ini.
Konflik horisontal yang dimaksudkan adalah konflik antar kelompok masyarakat yang
disebabkan oleh berbagai faktor seperti ideologi politik, ekonomi dan faktor primordial.
Sedangkan konflik vertikal maksudnya adalah konflik antara pemerintah/penguasa dengan warga
masyarakat.
1. Beberapa contoh konflik horisontal yang pernah terjadi di Indonesia misalnya:
Konflik antar kampung/desa/wilayah karena isu etnis, isu aliran kepercayaan, isu ekonomi

(seperti rebutan lahan ekonomi pertanian, perikanan, pertambangan) isu solidaritas (suporter olah
raga, kebanggaan group), isu ideologi dan isu sosial lainnya (tawuran antar anak sekolah, antar
kelompok geng).
1. Contoh peristiwa konflik vertikal misalnya: konflik ideologi untuk memisahkan dari
wilayah RI, konflik yang dipicu oleh perlakuan tidak adil dari pemerintah berkaitan
dengan pembagian hasil pengolahan sumber daya alam, kebijakan ekonomi yang dinilai
merugikan kelompok tertentu, dampak pemekaran wilayah, dampak kebijakan yang
dinilai diskriminatif.
Konflik masal tidak akan terjadi secara serta merta, melainkan selalu diawali dengan adanya
potensi yang mengendap di dalam masyarakat, yang kemudian dapat berkembang memanas
menjadi ketegangan dan akhirnya memuncak pecah menjadi konflik fisik akibat adanya faktor
pemicu konflik. Oleh karenanya dalam rangka penanggulangan konflik, yang perlu diwaspadai
bukan hanya faktor-faktor yang dapat memicu konflik, namun juga yang tidak kalah pentingnya
adalah faktor-faktor yang dapat menjadi potensi atau sumber-sumber timbulnya konflik.

Dari pengamatan empiris, konflik masal lebih sering terjadi seiring menggeloranya era reformasi
yang dampaknya tidak hanya mengganggu ketentraman dan kedamaian, melainkan juga cukup
menghawatirkan bagi kelangsungan persatuan dan kesatuan bangsaIndonesia. Beberapa contoh
konkrit masalah konflik yang cukup serius baik yang bersifat vertical ataupun horisontal yang
terjadi pada akhir-akhir ini antara lain:

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Konflik yang bernuansa separatisme: konflik di NAD, Maluku, dan Papua.
Konflik yang bernuansa etnis: konflik di Kalbar, Kalteng, danAmbon.
Konflik yang bernuansa ideologis: isu faham komunis, faham radikal.
Konflik yang benuansa politis: konflik akibat isu kecurangan Pilkada, isu pemekaran
wilayah di beberapa wilayah yang berakibat penyerangan dan pengrusakan.
Konflik yang bernuansa ekonomi: konflik antar kelompok nelayan di selat Madura, antar
kelompok preman, antar kelompok pengemudi, antar kelompok pedagang.
Konflik Sosial lainnya: konflik antar anak sekolah, mahasiswa,
Konflik bernuansa solidaritas liar: tawuran antar wilayah, antar suporter sepak bola.
Konflik isu agama atau aliran kepercayaan: isu berkaitan dengan Achmadiyah, isu aliran

sesat.
Konflik isu kebijakan pemerintah: BBM, BOS, LPG. dsb.

Pemicu Konflik adalah peristiwa, kejadian atau tindakan yang dapat menyulut sumber potensi
konflik menjadi konflik yang nyata. Tanpa adanya sumber potensi konflik, pada umumnya
peristiwa yang terjadi di suatu lokasi mudah diselesaikan dengan cepat dan tanpa menimbulkan
dampak yang meluas. Sebaliknya di lokasi yang memang sudah ada endapan potensi konflik,
peristiwa kecil dapat dengan cepat meluas dan melibatkan konflik masal yang sangat sulit untuk
diatasi. Dengan demikian pemicu konflik pada dasarnya dapat berupa peristiwa gangguan
keamanan yang biasa atau bahkan sangat sederhana, namun akibat dari
adanya kaitan dengan potensi yang mengendap tersebut, maka peristiwa kecil justru sering
dimanfaatkan oleh provokator untuk menyulut konflik yang besar.
Dari kajian terhadap konflik-konflik besar yang telah terjadi di Indonesia beberapa peristiwa
yang telah menjadi pemicu konflik sangat bervariasi, contohnya:
1. Pemicu konflik di Poso dan di Maluku yang berkepanjangan sampai beberapa tahun,
diawali oleh perkelahian antara seorang pemuda dengan seorang pemuda beragama lain
walaupun tinggalnya tidak berjauhan.
2. Konflik masal antar wilayah di NTB, Jateng dan beberapa Wilayah lainnya diawali oleh
peristiwa pemukulan pemuda yang sedang berkunjung rumah pacanya di wilayah
tetangga.

3. Beberapa konflik masal di Papua diawali dengan peristiwa tindakan keras oknum aparat
terhadap warga masyarakatnya.
4. Pemicu konflik isu Pilkada, isu pemekaran wilayah di beberapa wilayah sering berawal
dari tindakan petugas lapangan yang kurang profesional.
5. Konflik bernuansa ekonomi antara kelompok pengemudi taxi sering diawali dari saling
rebutan penumpang.

Konflik masal dapat terjadi selain akibat dari peristiwa pemicu konflik yang
masalahnya berkaitan dengan endapan potensi konflik seperti disebutkan di atas, tindakan aparat
yang kurang tepat atau kurang profesional juga sering dianggap sebagai faktor yang
mengakibatkan terjadinya dan meluasnya konflik, contohnya:
1. Jumlah personil pengamanan unjuk rasa yang tidak berimbang dengan jumlah massa,
sering dinilai sebagai pemicu konflik, karena dianggap memberi peluang bagi warga
untuk melakukan tindakan yang lebih berani karena dianggap tidak ada petugas yang
dapat menindak mereka.
2. Tindakan aparat yang ragu-ragu melakukan pelanggaran yang dilakukan oleh massa,
sehingga menambah keberanian pelanggar melakukan tindakan yang lebih brutal.
3. Tindakan aparat yang berlebihan atau melakukan kekerasan, sehingga memicu
kemarahan massa.
4. Tindakan aparat yang memihak salah satu kelompok yang sedang bersengketa.

5. Kelemahan intelijen yang tidak mampu mendeteksi adanya ancaman yang akan terjadi,
sehingga petugas yang dikerahkan tidak memadai.
6. Kelemahan mendeteksi provokator yang sering memanfaatkan kekeruhan, sehingga
provokator dapat berbuat bebas melakukan agitasi terhadap massa.
Dari sisi eksternal, faktor pemberitaan yang tidak proporsional juga sering memegang peranan
yang mengakibatkan meluasnya atau semakin maraknya konflik, antara lain sebagai berikut:
1. Pemberitaan yang membesar-besarkan masalah, memperuncing perbedaan pendapat,
membesarkan peristiwa kekerasan, menayangkan korban, atau penyiaran berulangulang,
sehingga menggugah emosi atau solidaritas masing-masing pihak.
2. Pemberitaan yang menyudutkan aparat yang menangani peristiwa, menonjolkan tindakan
kekerasan yang tidak berimbang dengan tindakan anarkhi yang dilakukan oleh kelompok
masyarakat yang brutal.
3. Pemberitaan yang kurang bertanggungjawab terhadap dampak negatif berita, karena
hanya memburu rating tinggi dengan motto bad news is good news.
Analisis permasalahan yang dapat menyemarakkan konflik atau masalah yang dapat
menghambat usaha memelihara kedamaian juga dapat diarahkan kepada keadaan masyarakat
yang kurang kondusif bagi upaya penanggulangan konflik, antara lain sebagai berikut:
1. Melemahnya kesadaran dan semangat persatuan dan kesatuan seiring dengan dampak
maraknya semangat kedaerahan yang barangkali ini merupakan salah satu kekeliruan
dalam menafsirkan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah.

2. Eforia demokrasi yang mengarah kepada tuntutan kebebasan yang serba boleh, sehingga
lebih menonjolkan kepentingan kelompok dari pada kepentingan umum.
3. Pengalaman sukses (success story) dari para tokoh situasional yang terlahir dari situasi
konflik, paling tidak menarik minat para oportunis untuk memanfaatkan situasi konflik
guna meningkatan popularitas diri.
4. Peran pihak ketiga yang berkepentingan untuk memelihara konflik yang berkepanjangan
baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.

UPAYA MENGATASI KONFLIK
Dewasa ini pada era globalisasi, secara teoritis, tidak mungkin ada suatu bangsa yang
homogen dan monolitis. Hanya terdiri dari satu etnis atau satu agama. Globalisasi dengan salah
satu wujudnya berupa free trade, telah menciptakan ” bordeless world ”. Dunia tanpa batas.
Karena barang, modal, jasa dan manusia akan mengalir dari suatu negara ke negara lain tanpa
hambatan administrasi. Apalagi pada dasarnya memang tidak ada negara satupun di dunia ini
yang mampu hidup tanpa bantuan negara lain. Jepang adalah negara industri yang kaya raya,
tetapi tidak mampu mengembangkan pertanian dan perkebunan. Demikian juga dengan negaranegara di Timur Tengah yang kaya karena minyak pasti memerlukan produk pertanian dan bahan
makanan dari negara lain. Uni Emirat Arab, sebagai negara terkaya nomor 8 di dunia, dengan
penduduk hanya sekitar 1,5 juta orang ternyata memiliki penduduk asing sebesar 4 juta orang.
Mereka datang ke Uni Emirat Arab sebagai tenaga kerja, pedagang, pengajar di perguruan tinggi,
konsultan bangunan dan lain sebagainya. Tanpa pendatang dari negara lain Uni Emirat arab tidak

mungkin membangun negaranya menjadi negara yang moderen seperti sekarang ini. Beberapa
diantaranya adalah pelabuhan moderen di Dubai, Hotel Burj Khalifa Dubai sebagai hotel
tertinggi di dunia ( 820 m ) dan kawasan balapan mobil Formula 1 di Abu Dhabi.
Hampir semua bangsa di dunia harus menerima kenyataan bahwa negaranya tergantung
kepada negara lain. Konsekuensinya mereka terpaksa menerima kehadiran bangsa lain yang
berbeda secara etnis, agama maupun tradisi. Setelah ratusan tahun kemudian bangsa yang
tadinya homogen menjadi heterogen. Amerika yang mayoritas berpenduduk Eropa dan Kristen
harus hidup berdampingan dengan penduduk berasal dari Afrika dan Asia yang beragama Islam.
Sebaliknya Malaysia yang mayoritas Melayu beragama Islam harus hidup berdampingan dengan
penduduk dari etnis Cina beragama Kristen . Contoh heterogenitas dalam suatu negara ini masih
dapat diperpanjang lagi.
Dan heterogenitas adalah sumber konflik. Beberapa negara mengalami perang saudara
karena perbedaan etnis atau agama selama bertahun-tahun dengan korban mencapai jutaan orang.
Sebagai contoh di Sudan, negara terbesar di Afrika, terjadi perang saudara ( civil war ) antara
Sudan Utara ( penduduknya keturunan Arab dan mayoritas Muslim ) dengan Sudan Selatan
( mayoritas berpenduduk asli Afrika beragama Animisme dan Kristen ) selama lebih dari 15
tahun dan diperkirakan memakan korban 2 juta jiwa. Melalui referendum, Sudan selatan resmi
menjadi negara baru sejak tanggal 9 Januari 2011.
Dawam Rahadjo ( 2010 ) menyatakan pembangunan yang dilaksanakan dewasa ini
termasuk kegiatan dalam rangka penanaman modal asing, telah melahirkan masyarakat
multikultur. Untuk itu ada tiga perspektif yang harus disepakati. Pertama, bahwa negara harus
bersikap adil terhadap semua agama yang berbeda dan diasumsikan mengandung potensi konflik.
Kedua, harus ada semangat yang mengedepankan kerukunan dalam pergaulan antar umat
beragama. Ketiga, perlu dibangun masyarakat yang terbuka yang mendorong kemajuan bagi
umat beragama dan masyarakat itu sendiri.
Menyelesaikan konflik pada dasarnya dapat melalui 2 ( dua ) cara :
1. Mengeliminasi konflik ( conflict elimination )

2. Mengelola konflik ( conflict management )
Pada cara yang pertama, konflik diselesaikan dengan cara mengeliminasi konflik berupa
pemisahan orang-orang yang konflik pada wilayah yang berbeda. Kasus Sudan diatas termasuk
cara ini. Antara mereka yang konflik sebenarnya tidak ada upaya perdamaian. Perseteruan antara
kedua pihak tetap berlangsung tetapi tidak ada konflik karena mereka dipisahkan dalam wilayah
yang berbeda. Kasus Pakistan yang memisahkan diri dari India termasuk cara pertama. Demikian
juga kasus pecahnya Yugoslavia menjadi beberapa negara, yaitu Serbia, Kroasia, Bosnia
Herzegovina, Macedonia dan Slovenia. Mereka yang konflik mendirikan negara sendiri sesuai
etnis dan agama yang dianut.
Pada cara yang kedua, mereka yang konflik tetap berada di suatu wilayah yang sama.
Tetapi mereka mulai berdialog, membuat kesepakatan dan menghormati perbedaan. Mereka
menyadari kemajemukan tidak harus disertai konflik tetapi harus saling toleransi sehingga
terwujud kehidupan yang penuh kedamaian. Inilah yang terjadi di Swiss, yang memiliki 3 etnis,
3 bahasa dan 3 tradisi tetapi dapat hidup berdampingan tanpa harus konflik. Cara ini pulalah
yang diupayakan di Indonesia. Keberagaman etnis, suku bangsa dan agama diupayakan dapat
hidup bersama dalam kerukunan dan perdamaian. Kunci dari cara yang kedua ini adalah masingmasing pihak yang bertikai memiliki kesadaran akan pentingnya wawasan kebangsaan sebagai
bangsa yang satu dan bertanah air satu. Meskipun beraneka ragam tetapi tetap bersatu.
Setiap warganegara harus menyadari bahwa konflik horisontal, yg disertai kekerasan karena
perbedaan yg bersumber dari kemajemukan dapat melemahkan persatuan bangsa dan
menghambat pembangunan nasional.
Konflik terjadi karena memudarnya nilai2 dasar bermasyarakat seperti religiusitas, musyawarah–
mufakat, tenggang rasa, menghargai perbedaan dll.
Konflik horisontal dapat mengarah kepada disintegrasi nasional, separatisme dan mengancam
keutuhan NKRI
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005, pengelolaan keragaman budaya di
Indonesia dapat dilakukan dengan :
1. Pelaksanaan dialog antar budaya yg terbuka dan demokratis.
2. Pengembangan multikultural dalam rangka meningkatkan toleransi dalam
masyarakat.
3.Membangun kesadaran hidup multikultural menuju terciptanya keadaban
Dalam rangka memahami keragaman budaya, setiap manusia Indonesia harus mampu
memahami nilai – nilai kultural yg berbeda dengan nilai – nilai pribadi. Kemudian sebaiknya
dapat mensinergikan keragaman budaya & melakukan komunikasi lintas budaya serta berusaha
untuk menyesuaikan diri & menghormati sistem budaya lain.

Menurut Thomas Hobbes dan John Locke, manusia tidak akan dapat bertahan hidup karena pada
dasarnya sumber kehidupan itu terbatas. Jadi perlu dibatasi dengan aturan bersama kalau tidak
akan terjadi pertikaian antar sesama manusia atau “War of All Against All” dan manusia dapat
menjadi srigala bagi manusia lainnya atau “Homo Homini Lupus”. Manusia sbg mahluk sosial
memang memiliki hak asasi dari alam : Life, liberty and property. Tetapi kebebasan tersebut
harus ada batasnya ketika manusia harus hidup bersama dengan manusia lainnya. Pembatasan
Justru untuk menjamin dan menghidupi Kebebasan Individual. Dan pada gilirannya akan muncul
masyarakat yg demokratis dimana negara melayani aspirasi dan kepentingan yg beragam untuk
menjamin kebebasan individual.
Sementara itu Rousan Sean menyatakan bahwa sebuah negara terbentuk karena ada kesepakatan
antara pihak – pihak yg berbeda kepentingannya. Kemudian setiap orang yang ingin
kepentingannya terjamin menyerahkan kemerdekaan yg dimiliki sejak lahir kepada organisasi yg
dibentuk bersama yang disebut negara. Dalam hal ini negara adalah organisasi yg berkuasa yang
disepakati untuk mengatur kehidupan bersama. Untuk itu setiap negara perlu melakukan apa
yang disebut sebagai ”nation building ” karena selalu ada kelompok masyarakat yg terikat
dalam loyalitas kelompoknya sehingga muncul konflik kepentingan. Negara harus melakukan
intervensi untuk mengintegrasikan kelompok – kelompok masyarakat yang beragam. Namun
dengan tetap menghormati karakteristik yg dimiliki kelompok tersebut ( agama, adat istiadat,
dsbnya )
Masalah yang dihadapi setiap agama adalah bagaimana menyatukan identitas dan karakteristik
yg berbeda menjadi identitas bersama yaitu identitas nasional.
Michael Walzer berpendapat bahwa keberagaman dapat diatas ketika setiap warganegara
memiliki toleransi. Dalam hal ini Walzer berpendapat bahwa toleransi merupakan salah satu
ukuran peradaban sebuah bangsa. Makin tinggi tingkat toleransi sebuah bangsa maka makin
tinggi tingkat keadabannya. Toleransi merupakan nilai yang harus dibudayakan dalam ruang
individu dan ruang publik, karena salah satu tujuan toleransi adalah membangun hidup damai
dalam kerbedaan kelompok
Walzer juga berpendapat bahwa toleransi harus berimplikasi pada sikap, antara lain sikap
menerima perbedaan, mengubah homogenitas menjadi heterogenitas, mengakui hak orang lain,
menghargai eksistensi orang lain dan mengawal secara serius perbedaan budaya dan keragaman
ciptaan Tuhan (multikulturalisme ).
Sedangkan Nurcholish Majid berpendapat sikap penuh pengertian kepada orang lain diperlukan
dalam masyarakat yang majemuk, yakni masyarakat yang tidak monolitik. Apalagi
sesungguhnya kemajemukan masyarakat itu sudah merupakan dekrit Allah dan design-Nya
untuk umat manusia. Jadi tidak ada masyarakat yang tunggal, monolitik, sama dan sebangun
dalam segala segi.
Sejalan dengan pemikiran diatas, Azyumardi Azra berpendapat bahwa pluralisme harus
dipahami secara mengakar dengan menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang menghargai dan
menerima kemajemukan dalam konteks kehidupan sehari – hari. Pluralisme tidak bisa dipahami
hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi harus

disertai dengan sikap tulus untuk menerima kenyataan pluralisme itu sebagai bernilai positif dan
merupakan rahmat Tuhan.
Berkaitan dengan masih banyaknya kejadian yang merupakan konflik horisontal , terutama antar
umat beragama dan interen umat beragama, Imam Taufiq, Sekretaris MUI Jawa Tengah
mengatakan bahwa kekerasan atas nama agama tidak dapat dibenarkan dan masalah perbedaan
harus diselesaikan dengan cara-cara damai dan beradab. Agama semestinya dikembalikan
menjadi landasan untuk hidup lebih damai. Untuk itu peran ulama dan pemimpin umat beragama
cukup strategis dalam mewujudkan kerukunan dan kedamaian di masyarakat. Hal ini sama
dengan himbauan Bapak Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang menghimbau kepada setiap
warganegara Indonesia untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang bersumber dari
perbedaan dapat diselesaikan secara damai dan konstitusional. Artinya tanpa mencederai orang
lain, tanpa merusak fasilitas publik apalgi sampai merampas hak orang lain untuk hidup.
Kemudian secara konstitusional berarti bahwa kita harus merujuk kepada ketentuan dalam UUD
1945. Dalam pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan antara lain :
l Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya
( pasal 28A )
l Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya ( pasal 28E )
l Setiap orang berhak untuk tidak disiksa dan berhak tidak diperlakukan secara diskriminatif (28
I)
l Penegakkan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara dan setiap orang wajib
menghormati hak asasi manusia ( 28 J ).
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa :
1. Masyarakat yg heterogen (majemuk) pada dasarnya selalu rawan konflik
2. Konflik horisontal yang terjadi di Indonesia berasal dari kemajemukan suku, agama ras
dan golongan.
3. Konflik horisontal dapat diatasi ketika setiap warga masyarakat mengedepankan
toleransi, menghargai perbedaan dan mau menerima kemajemukan sebagai kenyataan
dan rahmat Tuhan.
4. Kunci dari upaya menghilangkan konflik adalah mau berdialog dan tetap memiliki
semangat Bhineka Tunggal Ika